Anda di halaman 1dari 24

ETIKA KEILMUAN

“FILSAFAT DAN FILSAFAT PENDIDIKAN”

MAKALAH

Dosen Pengampu:
Bapak Dr. Subanji, M.Si

Disusun Oleh:
Devi Nur Afifah (220311802518)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN MATEMATIKA
2022
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................. 2
C. Tujuan .................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Filsafat .................................................................................................................... 3
B. Filsafat Pendidikan ............................................................................................... 5
C. Filsafat Konservatif ............................................................................................... 8
D. Filsafat Progressif................................................................................................ 11
E. Filsafat Idealisme ................................................................................................ 13
F. Filsafat Realisme ................................................................................................. 15
G. Filsafat Materialisme .......................................................................................... 17
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ................................................................................................................ 20
DAFTAR RUJUKAN ................................................................................................... 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak
pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran
yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun
setiap jawaban-jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus
mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini
bukanlah kebenaran yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu
kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah.
Di dalam dunia pendidikan, berfilsafat adalah suatu hal yang penting, karena
dengan berfilsafat dunia pendidikan akan mengetahi hakikat dari makna, tujuan,
metode, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan itu sendiri. Arti penting
dari berfilsafat itu sendiri adalah agar tujuan-tujuan yang telah diketahui dan
ditetapkan dapat tercapai. Sebagaimana Ali Khalil Abu ‘Ainaini merumuskan
pengertian filsafat pendidikan yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Ramayulis dalam
“bukunya Filsafat Pendidikan Islam” bahwa filsafat pendidikan itu sebagai “kegiatan-
kegiatan pemikiran yang ssistematis, diambil dari sistem filsafat sebagai cara untuk
mengatur dan menerangkan nilai-niai tujuan pendidikan yang akan dicapai
(direalisasikan) (Ramayulis, 2015).
Ada berbagai aliran filsafat pendidikan, antara lain Idealisme, Realisme,
Pragmatisme, dan sebagainya. Namun demikian, bangsa Indonesia sesungguhnya
memiliki filsafat pendidikan nasional tersendiri, yaitu filsafat pendidikan yang
berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan hal ini berbagai aliran filsafat pendidikan
perlu kita pelajari, namun demikian bahwa pendidikan yang kita selenggarakan
hendaknya tetap berlandaskan Pancasila. Pemahaman atas berbagai aliran filsafat
dalam pendidikan akan dapat membantu untuk tidak terjerumus ke dalam aliran
filsafat lain. Di samping itu, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila, kita pun dapat mengambil hikmah dari berbagai aliran filsafat pendidikan
lainnya, dalam rangka memperkokoh landasan filosofis pendidikan kita. Dengan

1
memahami landasan filosofis pendidikan diharapkan tidak terjadi kesalahan konsep
tentang pendidikan yang pada gilirannya terjadi kesalahan dalam praktek pendidikan.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah
untuk makalah ini sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan filsafat?
2. Apa yang dimaksud dengan filsafat pendidikan?
3. Apa yang dimaksud dengan filsafat konservatif?
4. Apa yang dimaksud dengan filsafat progressif?
5. Apa yang dimaksud dengan filsafat idealisme?
6. Apa yang dimaksud dengan filsafat realisme?
7. Apa yang dimaksud dengan filsafat materialism?

C. Tujuan
Adapun tujuan dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian filsafat
2. Untuk mengetahui pengertian filsafat pendidikan
3. Untuk mengetahui filsafat konservatif
4. Untuk mengetahui filsafat progressif
5. Untuk mengetahui filsafat idealisme
6. Untuk mengetahui filsafat realisme
7. Untuk mengetahui filsafat materialism

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Filsafat
Pengertian filsafat dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan antara
satu ahli filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda serta hampir sama bnayaknya
dengan ahli filsafat itu sendiri. Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi yakni
secara etimologi dan terminologi.
a. Filsafat secara etimologi
Kata filsafat dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah Falsafah dan dalam
bahasa Inggris dikenal dengan Phylosophy serta dalam Bahasa Yunani dengan
istilah Philosophia. Kata Philosophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta
(love) dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom) sehingga secara etimologi
istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaa (love of wisdom) dalam arti yang
sedalam-dalamnya. Dengan demikian, seorang filsuf adalah pecinta atau pencari
kebijaksanaan. Kata filsafat pertama kali digunakan oleh Phytagoras (582-486
SM). Arti filsafat pada waktu itu, kemudian filsafat itu diperjelas seperti yang
banyak dipakai sekarang ini dan juga digunakan oleh Socrates (470-390 SM) dan
filsuf lainnya (Suedi, 2016).
b. Filsafat secara terminologi
Secara terminologi adalah arti yang dikandung oleh istilah filsafat. Hal ini
disebabkan Batasan dari filsafat itu sendiri banyak maka sebagai gambaran
diperkenalkan beberapa batasan sebagai berikut (Suedi, 2016):
1) Plato, berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk
mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang ali karena kebenaran itu
mutlak di tangan Tuhan.
2) Aristoles, berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang
meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, etika, dan estetika.
3) Prof. Dr. Fuad Hasan, filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal,
artinya mulai dari radiksinya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak
dipermasalahkan.

3
4) Immanuel Kant, filsuf barat dengan gelar raksasa pemikir Eropa mengatakan
filsafat adalah ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di
dalamnya ada empat persoalan:
a) Apa dapat kita ketahui, dijawab oleh metafisika?
b) Apa yang boleh kita kerjakan, dijawab oleh etika?
c) Apa yang dinamakan manusia, dijawab oleh antropologi? dan
d) Sampai dimana harapan kita, dijawab oleh agama?
5) Rene Descartes, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan)
tentang hakikat bagaimana alam maujud yang sebenarnya.

Filsafat adalah feeling (love) in wisdom. Mencintai mencari menuju


penemuan kebijaksanaan atau kearifan. Mencintai kearifan dengan melakukan
proses dalam arti pencarian kearifan sekaligus produknya (Suedi, 2016).
1. Di dalam proses pencarian itu, yang dicari adalah kebenaran-kebenaran
prinsip yang bersifat general.
2. Prinsip yang bersifat general ini harus dapat dipakau untuk menjelaskan segala
sesuatu kajian atas objek filsafat.
Pengertian filsafat tersebut memberikan pemahaman bahwa filsafat adalah
suatu prinsip atau asas keilmuan untuk menelusuri suatu kebenaran objek dengan
modal berpikir secara radikal. Objeknya mengikuti realitas empiris dikaji secara
filsafat untuk menelusuri hakikat kebenarannya suatu entitas menggunakan
metode yang disebut metode ilmiah (kebenaran ilmiah) (Suedi, 2016).
Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah sebagai dasar dalam bertindak; 2)
sebagai dasar dalam mengambil keputusan; 3) untuk mengurangi salah paham dan
konflik; 4) persiapan menghadapi situasi dunia yang selalu berubah; dan 5)
menjawab keraguan. Kemudian ciri-ciri berfikir filosofis antara lain 1) berfikir
dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi; 2) berfikir secara sistematis
dan teliti; 3) menyusun suatu skema konsepsi; 4) menyeluruh dan seluas-luasnya
(universal); 5) setinggi-tingginya; dan 6) setuntas-tuntasnya serta selengkap-
lengkapnya (Dr. Muhammad Kristiawan, 2016).
Sementara itu Sudarsono (1993) menyatakan bahwa ciri-ciri berfikir
filosofis adalah sebagai berikut (Sudarsono, 1993):

4
a. Metodis: menggunakan metode dan cara yang lazim digunakan oleh filsuf
(ahli filsafat) dalam proses berfikir;
b. Sistematis: berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsurunsur dalam suatu
keseluruhan sehingga tersusun suatu pola pemikiran filosofis;
c. Koheren: di antara unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu yang
bertentangan dan tersusun secara logis;
d. Rasional: mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai
dengan kaidah logika);
e. Komprehensif: berfikir tentang sesuatu dari berbagai sudut pandang
(multidimensi);
f. Radikal: berfikir secara mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai pada
tingkatan esensi yang sedalam-dalamnya;
g. Universal: muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas
kehidupan manusia secara keseluruhan
Berfilsafat atau berfikir filosofis bukanlah sembarang berfikir tapi berfikir
dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan mendalam. Pada
dasarnya manusia adalah homo sapien, hal ini tidak serta merta semua manusia
menjadi filsuf, sebab berfikir filsafat memerlukan latihan dan pembiasaan yang
terus menerus dalam kegiatan berfikir sehingga setiap masalah/substansi
mendapat pencermatan yang mendalam untuk mencapai kebenaran jawaban
dengan cara yang benar sebagai manifestasi kecintaan pada kebenaran (Dr.
Muhammad Kristiawan, 2016).

B. Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai
masalah-masalah pendidikan. Filsafat akan menentukan “mau dibawa kemana”
siswa kita. Filsafat merupakan perangkat nilai-nilai yang melandasi dan
membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, filsafat yang
dianut oleh suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu atau yang dianut oleh
perorangan (dalam hal ini Dosen/Guru) akan sangat mempengaruhi tujuan
pendidikan yang ingin dicapai (Dr. Muhammad Kristiawan, 2016).

5
Falsafah yang dianut oleh suatu Negara bagaimanapun akan mewarnai tujuan
pendidikan di negara tersebut. Dengan demikian, tujuan pendidikan suatu negara
akan berbeda dengan negara lainnya, disesuaikan dengan falsafah yang dianut oleh
negara-negara tersebut. Tujuan pendidikan pada dasarnya merupakan rumusan yang
komprehemsif mengenai apa yang seharusnya dicapai. Tujuan itu memuat
pernyataan-pernyataan (statement) mengenai berbagai kemampuan yang diharapkan
dapat dimiliki oleh siswa selaras dengan sistem nilai dan falsafah yang dianut. Hal
ini menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara filsafat yang dianut
dengan tujuan pendidikan yang dirumuskan (Dr. Muhammad Kristiawan, 2016).
Filsafat pada awalnya mempersoalkan siapa manusia itu. Kajian terhadap
persoalan ini menelusuri hakekat manusia sehingga muncul beberapa asumsi tentang
manusia. Misalnya, manusia adalah makhluk religi, makhluk sosial, makhluk yang
berbudaya, dan sebagainya. Dari telaah tersebut filsafat mencoba menelaah tiga
pokok persoalan, yaitu hakekat benar-salah (logika/ ilmu), hakekat baik - buruk
(etika), dan hakekat indah - tidak indah (estetika). Pada dasarnya, pandangan hidup
manusia mencakup ketiga aspek tersebut, sehingga ketiga aspek tersebut sangat
diperlukan dalam pendidikan, terutama dalam menentukan arah dan tujuan
Pendidikan (Dr. Muhammad Kristiawan, 2016).
Suatu masyarakat memiliki kebiasaan yang menjadi pembeda dengan
masyarakat lainnya. Kebiasaan-kebiasaan tersebut menjadi cikal budaya. Budaya
menjadi semacam perekat sosial dalam suatu masyarakat. Tanpa masyarakat tidak
akan ada budaya, dan tanpa budaya tidak akan ada masyarakat (Smith, Stanley, and
Shores, 1957 dalam Zais S.R. 1976: 157). Setiap masyarakat bangga dengan
budayanya dan cendrung menganggap budaya mereka yang paling baik, oleh sebab
itu wajar bila mereka selalu ingin mewariskan nilai-nilai budaya yang dipakai pada
generasi muda, Seiring kemajuan zaman dan berkembangnya pengetahuan, orang tua
tidak mampu lagi menanamkan nilai dan pengetahuan secara langsung kepada anak
mereka, dan untuk itu didirikan sekolah (Zais S.R. 1976: 158). Pendidikan
memerlukan lembaga di luar keluarga, yang berperan dalam upaya membentuk
masyarakat ideal (Barnadib, 1990: 14).
Anak didik ada sebagaimana ia berada, sedangkan masyarakat dan negara
menginginkan anak didik terbina sesuai ideologi yang telah digariskan. Maka muncul

6
pertanyaan “apa yang harus dilakukan pendidik untuk membawa anak didik itu
mewujudkan tujuan tersebut?”. Jawaban pertanyaan ini berupa konsep-konsep
tentang isi dan proses pendidikan yang mempertemukan potensi anak didik dan
gambaran ideal menurut masyarakat dan negara tersebut (Barnadib, 1990: 14).
Pertanyaan ini bersifat filosofis dan memerlukan jawaban yang filosofis pula dan ini
merupakankajian filsafat pendidikan.
Filsafat pendidikan pada hakekatnya adalah penerapan analisa filsafat terhadap
lapangan pendidikan. John Dewey mengatakan bahwa filsafat adalah teori umum
dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran mengenai Pendidikan (Barnadib,
1990: 14-15). Pemikiran sesuai cabang-cabang filsafat turut mempengaruhi
pelaksanaan pendidikan.
Selain itu, Anas Salahudin di dalam bukunya Filsafat Pendidikan juga
merumuskan beberapa pengertian dari filsafat pendidikan, di antaranya yaitu
(Salahudin, 2011);
1. Filsafat pendidikan adalah pengetahuan yang memikirkan hakikat pendidikan
secara komprehensif dan kontemplatif tentang sumber, seluk beluk pendidikan,
fungsi, dan tujuan pendidikan.
2. Filsafat pendidikan adalah pengetahuan yang mengkaji proses pendidikan dan
teori-teori pendidikan.
3. Filsafat pendidikan mengkaji hakikat guru dan anak didik dalam proses
pembelajaran di kelas dan di luar kelas.
4. Filsafat pendidikan mengkaji berbagai teori kependidikan, metode, dan
pendekatan daam pendidikan.
5. Filsafat pendidikan mengkaji strategi pembelajaran alternatif.
6. Filsafat pendidikan mengkaji hakikat tentang kurikulum pendidikan.
7. Filsafat pendidikan mengkaji hakikat evaluasi pendidikan dan evaluasi
pembelajaran.
8. Filsafat pendidikan mengkaji hakikat alat-alat dan media pembelajaran.
Dalam kaitanya hubungan antara filsafat dan filsafat pendidikan ini Jalaluddin
dan Said menjelaskan, bahwa hubungan antara filsafat dan filsafat pendidikan
menjadi sangat penting sekali, sebab ia menjadi dasar, arah, dan pedoman suatu
sistem pendidikan. Filsafat pendidikan adalah aktivitas pemikiran teratur yang

7
menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan,
menyelaraskan dan mengharmoniskan dan menerangkan nilai-nilai dan tujuanyang
ingin dicapai. Jadi terdapat kesatuan yang utuh antara filsafat, filsafat pendididkan,
dan pengalaman manusia (Said, 1994).

C. Filsafat Konservatif
Filsafat Konservatif didasari oleh filsafat idealisme, realisme, humanisme
(humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religious (Dr. Muhammad
Kristiawan, 2016). Istilah konservatif pada mulanya merupakan sebuah kondisi yang
senantiasa cenderung pada kepatuhan kepada institusi dan produk budaya yang telah
terbukti dan melalui pengujian oleh waktu (Dananjaya, 2010). Konservatif diartikan
sebagai sikap atau perilaku dalam upaya mempertahankan dan menjaga suatu keadaan
tertentu, termasuk kebiasaan, tradisi yang sudah berlaku. Maka dari itu paradigma
pendidikan konservatif berawal dari sebuah bangunan filosofi yang cenderung
mengarah pada aliran filsafat pendidikan yaitu teori esensialisme dan perenialisme.
Kemudian, konsep pendidikannya lebih bersifat tidak berkembang juga dianggap
kurang terbuka terhadap pandangan baru (eksklusif) (Mu'arif, 2008).
Pendekatan ini secara sederhana dapat dijelaskan dengan bahwa pada
pendekatan mengakui dan mementingkan dunia sana yang transcendental metafisis
yang langgeng, yang menentukan tujuan hidup dan sekaligus tujuan pendidikan
manusia, sehingga akan menjadi sumber-sumber dasar nilai daripada filsafat
pendidikannya. Sedang tenaga sosial hanya akan menyediakan sarana, alat dengan
mana akan dicapai tujuan-tujuan di atas, dengan kata lain tenaga pengembangan sosial
ini akan memberikan modal dalam penyusunan “Science of educational” yang
diperlukan. Menurut pendekatan tradisional antara filsafat pendidikan dan science of
education dibedakan secara tegas, yaitu filsafat metafisika dan tenaga sosial, sedang
pada pendekatan progresif keduanya bersumber pada kenyataan yang sama, dan satu-
satunya, yaitu tenaga pengembang sosial masyarakat di atas.
Maka dari itu jika pendekatan progresif hanya berpijak pada teori etika sosial
dan metode penyesuaian masalah sosial, yaitu pola dasar sikap moral dan pola dasar
sikap mental seperti diuraikan di atas, dan menentang segala hal yang berkaitan
tentang kenyataan transcendental metafisis yang spiritual dan di dunia sana di masa

8
mendatang, Sebaliknya pendekatan-pendekatan tradisional, seperti namanya, sangat
taat pada sistematika filsafat tradisional, di mana dan karena itu menempatkan filsafat
sebagai dasar pendidikan dan pengajaran. Ini terbukti dengan penempatan filsafat
metafisika, yang sangat ditentang oleh aliran pendekatan progresif, sebagai masalah
pokok dalam filsafat pendidikan.
Bagi pendekatan ini, betapapun sulitnya masalah bidang metafisika ini, tetap
harus ditempatkan sebagai pusat perhatian pertama dan utama dalam setiap
pembahasan filsafat pendidikan. Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa tidak dapat
dipungkiri, bahwa masalah ini adalah masalah yang abstrak, dan universal sekali,
sehingga sulit dipelajari dan dibuktikan kenyataannya, namun tidak berarti bahwa
kenyataan yang metafisis itu tidak ada. Asumsi ini menurut para pengusaha ilmu
filsafat pendidikan agar apabila kita tidak dapat menemukan segala hal yang bersifat
metafisis, tidak berarti kenyataan itu tidak ada, tetapi kesalahan mungkin terletak pada
cara-cara mencarinya atau mungkin keterbatasan kemampuan berpikir dan pikiran
orang yang melakukannya. Atau mungkin orang tersebut, mendustai dirinya, sadar
akan kenyataan tersebut tetapi tidak jujur terhadap kesadarannya sendiri.
Asas pertama tentang rasionalitas manusia, asas ilmu jiwa daya, asas
pembentukan formal teoritis dan asa transfer hasil belajar maka menuntut jumlah dan
jenis mata pelajaran yang diperlukan, dan tidak perlu adanya pertimbangan
kesesuaian tidaknya dengan kenyataan kehidupan sosial anak, selama bahan atau
bidang studi akan memberikan nilai disiplin mental atau formal yang tinggi. Nilai
formal matematika adalah untuk melatih anak berpikir secara logis rasional
matematis, dan bukan dengan tujuan untuk memberikan kepada alat atau instrumen
dalam menyelesaikan problema hitung menghitung dalam kehidupan sehari-hari.
Asas kedua adalah bahwa hakikat jiwa manusia adalah tersendiri atas daya-
daya jiwa yang berbeda dan bekerja secara terpisah-pisah atau bersama-sama, yang
menimbulkan gejala kesadaran atau tingkah laku. Setiap daya-daya jiwa seperti
pengindraan, pengamatan, ingatan, tanggapan, pikiran, dan perasaan akan dapat
berkembang dan atau dikembangkan sesuai dengan bahan-bahan pelajaran tertentu.
Berdasar jalan pemikiran ini, maka dalam kepustakaan pendidikan dan psikologi
pendidikan kita dikenalkan konsep istilah mata pelajaran ingatan, pikiran, hafalan,
ekspresi dan mata pelajaran keterampilan.

9
Sebagai asas ketiga dan sesuai dengan asas kedua di atas, adalah bahwa nilai
fungsional mata pelajaran adalah untuk pembentukan, atau disiplin mental (mental
discipline) atau disiplin formal, yaitu nilai formal teoritis intelektual. Sehingga
semakin sulit bahan pelajaran semakin tinggi nilai pembentukan mentalnya. Semakin
keras ketat latihan-latihan semakin kuat dan besar nilai pembentukannya. Apakah
bahan yang disajikan sesuai dengan kehidupan sosialnya, dan digunakan untuk
mengadakan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, tidak menjadi masalah bagi
aliran ini.
Oleh sebab itu, aliran tersebut diselesaikan dengan memperkenalkan konsep
transfer of learning of training, artinya penggunaan atau pemindahan hasil belajar atau
latihan pada mata pelajaran atau bidang kehidupan, yang mungkin positif atau negatif
merugikan. Transfer positif adalah apabila penggunaan bidang yang satu
mempermudah, memperlancar penguasaan bidang atau mata pelajaran yang lain, dan
sebaliknya transfer negatif adalah suatu peristiwa dimana penguasaan satu bidang
tertentu mempersulit penguasaan bidang lain, seperti berenang dengan sepak bola.
Soal-soal hitungan yang amat sulit tetapi yang tidak ada kaitannya dengan, atau tidak
akan dijumpai dalam kehidupan sehari-hari anak, yang mengarah ke pengembangan
nilai materiil praktis, dijejaljejalkan kepada anak dengan harapan akan mempermudah
anak menyelesaikan problema-problema sosialnya (Ali Saifullah HA: 128-131)
Adapun asas-asas filsafat pendidikan dalam pendekatan tradisional secara rinci
adalah sebagai berikut :
a. Bahwa dasar-dasar pendidikan adalah filsafat, sehingga untuk mempelajari
filsafat pendidikan haruslah memiliki pengetahuan dasar tentang filsafat
b. Bahwa kenyataan yang esensial baik dan benar adalah kenyataan yang tetap, kekal
dan abadi.
c. Bahwa nilai norma yang benar adalah nilai yang absolut, universal dan objektif.
d. Bahwa tujuan yang baik dan benar menentukan alat dan saranan, artinya tujuan
yang baik harus dicapai dengan alat sarana yang baik pula.
e. Bahwa faktor pengembang sejarah atau sosial (science, technology, democracy
dan industry) adalah sarana alat untuk ” prosperity of life” dan bukannya untuk
”welfare of life” sebagai tujuan hidup dan pendidikan sebagaimana yang
ditentukan oleh filsafat

10
D. Filsafat Progressif
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman
menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal, menyala, tidak pernah sampai
pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang
terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang
telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk mempertinggi taraf
kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum
yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan
kebutuhan.
Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang
berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan
tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini
mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak
bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Aliran filsafat progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia
pendidikan pada abad ke-20, di mana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan
kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik
maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam
dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh
karena itu, filsafat progresivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab,
pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai
pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran, sekaligus mematikan daya
kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.
Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi
kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada
akhimya akan dapat memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang
dihasilkan sehingga keluaran yang dihasilkan (anak didik) adalah manusiamanusia
yang berkualitas unggul, kompetitif, insiatif, adaptif, dan kreatif sehingga sanggup
menjawab tantangan zamannya. Untuk itu sangat diperlukan kurikulum yang
berpusat pada pengalaman atau kurikulum eksperimental, yaitu kurikulum yang
berpusat pada pengalaman, di mana apa yang telah diperoleh anak didik selama di
sekolah akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyatanya.

11
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas
progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan, yaitu tetap survive
terhadap semua tantangan hidup manusia dan harus praktis dalam melihat segala
sesuatu dari segi keagungannya.
Progresivisme dinamakan instrumentalisme karena aliran ini beranggapan
bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan
eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas
eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Progresivisme dinamakan
environmentalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu
mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Sementara itu, pragmatisme berpendapat bahwa suatu keterangan itu benar
kalau kebenaran itu sesuai dengan realitas atau suatu keterangan akan dikatakan
benar kalau kebenaran itu sesuai dengan kenyataan. Aliran progresivisme memiliki
kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang meliputi: Ilmu Hayat, bahwa
manusia untuk mengetahui kehidupan semua masalah. Antropologi, bahwa manusia
mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru.
Psikologi, bahwa manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, dan
pengalaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan mengaturnya.
Progresivisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat sekitar
abad ke-20. John S. Brubaeher, mengatakan bahwa filsafat progresivisme bermuara
pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-
1910) dan John Dewey (1885 1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi
hidup praktis. Di dalam banyak hal, progresivisme identik dengan pragmatisme. Oleh
karena itu, apabila orang menyebut pragmatisme, maka berarti sama dengan
progresivisme.
Filsafat progresivisme sama dengan pragmatisme. Pertama, filsafat
progresivisme atau pragmatisme ini merupakan perwujudan dan ide asal wataknya.
Artinya, filsafat progresivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme
yang telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama, yaitu manusia dalam
hidupnya untuk terus survive (mempertahankan hidupnya) terhadap semua
tantangan, dan pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya.

12
Filsafat Progressif didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan
Romantic Naturalisme dari Roousseau. Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat
pendidikan Esensialisme, Perenialisme, dan sebagainya. 1) Filsafat pendidikan
Perenialisme yang didukung oleh Idealisme; 2) Filsafat pendidikan Esensialisme
yang didukung oleh Idealisme dan Realisme; 3) Filsafat pendidikan Progressivisme
yang didukung oleh filsafat Pragmatisme; dan 4) Filsafat pendidikan
Rekonstruksionisme yang didukung oleh filsafat pragmatisme sebagai lanjutan dari
filsafat Progressivisme (Dr. Muhammad Kristiawan, 2016).

E. Filsafat Idealisme
Idealisme (Plato, David Hume, Hegel, Immanuel Kant, dan Al-Ghazali) yang
berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau
intelegensi. Variasi aliran ini adalah idealisme subjektif dan idealisme objektif.
Aliran ini memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik.
Pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera adalah tidak pasti dan tidak
lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang
dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi
ke generasi.
Kata idealis dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari artinya
dalam bahasa sehari-hari. Secara umum kata idealis berarti: (1) seorang yang
menerima ukuran moral yang tinggi, estetika dan agama serta menghayatinya; (2)
orang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang
belum ada (Adela, 2021).
Arti falsafi dari kata idealisme ditentukan lebih banyak oleh arti biasa dari kata
ide daripada kata ideal. W.F. Hocking, seorang idealis mengatakan bahwa kata-kata
idea-isme adalah lebih tepat dari pada idealisme. Dengan ringkas idealisme
mengatakan bahwa realitas terdiri atas ide-ide, fikiran-fikiran, akal (mind) atau jiwa
(selves) dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind seagai
hal yang lebih dahulu daripada materi.
Jenis-jenis Idealisme
1. Idealisme Subyektif (Immaterialisme)

13
Jenis idealisme ini kadang-kadang dinamakan mentalisme atau
fenomenal-isme. Jenis ini sangat tidak dapat dipertahankan, karena paling
banyak mendapat tantangan. Seorang idealis subyektif berpendirian bahwa
akal, jiwa dan persepsi-persepsinya atau ide-idenya merupakan segala yang
ada. Obyek pengalaman bukan benda material, obyek pengalaman adalah
peersepsi. Bendabenda seperti bangunan dan pohon-pohonan itu ada, tetapi
hanya ada dalam akal yang mempersepsikannya.
Seorang idealis subyektif tidak mengingkari adanya apa yang
dinamakan alam yang riil. Permasalahannya adalah bukan pada adanya
benda-benda itu, akan tetapi bagaimana alam itu diinterpretasikan. Alam
tidak berdiri sendiri, bebas dari orang yang mengetahuinya. Bahwa dunia
luar itu ada menurut seorang idealis subyektif, mempunyai arti yang sangat
khusus, yakni bahwa kata ada dipakai dalam arti yang sangat berlainan dari
arti yang biasa dipakai. Bagi seorang idealis subyektif, apa yang ada adalah
akal dan ide-idenya. Idealisme subyektif diwakili oleh George Berkeley
(1685-1753), seorang filosof dari Irlandia. Ia lebih suka menamakan
filsafatnya dengan immaterialisme. Menurutnya, hanya akal dan ide-
idenyalah yang ada. Ia mengatakan bahwa ide itu ada dan ia dipersepsikan
oleh suatu akal (Adela D., 2021).
2. Idealisme Obyektif
Banyak filosof idealis, dari Plato, melalui Hegel sampai filsafat masa
kini menolak subyektivisme yang ekstrim atau mentalisme, dan menolak
juga pandangan bahwa dunia luar itu adalah buatan-buatan manusia. Mereka
berpendapat bahwa peraturan dan bentuk dunia, begitu juga pengetahuan,
adalah ditentukan oleh watak dunia sendiri. Akal menemukan peraturan
alam. Mereka itu idealis dalam memberi interpretasi kepada alam sebagai
suatu bidang yang dapat difahami, yang bentuk sistematiknya menunjukkan
susunan yang rasional dan nilai. Jika dikatakan bahwa watak yang
sebenarnya dari alam adalah bersifat mental, maka artinya bahwa alam itu
suatu susunan yang meliputi segala-galanya, dan wataknya yang pokok
adalah akal; selain itu alam merupakan kesatuan organik. Kelompok idealis
obyektif modern berpendapat bahwa semua bagian alam tercakup dalam

14
suatu tertib yang meliputi segala sesuatu, dan mereka menghubungkan
kesatuan tersebut kepada ide dan maksud-maksud dari suatu akal yang
mutlak (absolute mind).
3. Personalisme atau Idealisme Personal
Kelompok personalis berpendapat bahwa perkembangan terakhir dalam
sains modern, termasuk di dalamnya formulasi teori realitas dan pengakuan
yang selalu bertambah terhadap 'tempat berpijaknya si pengamat' telah
memperkuat sikap mereka. Realitas adalah suatu sistem jiwa personal, oleh
karena itu realitas bersifat pluralistik. Kelompok personalis menekankan
realitas dan harga diri dari orang-orang, nilai moral, dan kemerdekaan
manusia. Bagi kelompok personalis, alam adalah tata tertib yang obyektif,
walaupun begitu alam tidak berada sendiri. Manusia mengatasi alam jika ia
mengadakan interpretasi terhadap alam ini. Sains mengatasi materialnya
melalui teori-teorinya; alam arti dan alam nilai menjangkau lebih jauh
daripada alam semesta sebagai penjelasan terakhir (Adela D., 2021)

F. Filsafat Realisme
Realisme (Aristoteles, Galileo, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Stuart
Mill, dan John Locke), aliran ini memandang realitas secara dualitas. Realisme
membagi bahwa hakekat realitas terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme
membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui
di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat
dijadikan objek pengetahuan manusia.
Istilah realisme berasal dari Bahasa Latin “realis” yang berarti “sungguh-
sungguh, nyata benar”. Realisme adalah filsafat yang menganggap bahwa terdapat
satu dunia eksternal nyata yang dapat dikenali. Karena itu, realisme berpandangan
bahwa obyek persepsi indrawi dan pengertian sungguh-sungguh ada, terlepas dari
indra dan budi yang menangkapnya karena obyek itu memang dapat diselidiki,
dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat ilmu filsafat (Adela D., 2021).
Sebagai aliran filsafat, realisme berpendirian bahwa yang ada ditangkap panca indra
dan yang konsepnya ada dalam budi itu memang nyata ada. Contoh batu yang
tersandung di jalan yang baru dialami memang ada. Bunga mawar yang bau

15
harumnya merangsang hidup sungguh-sungguh nyata ada bertengger pada ranting
pohonnya di taman bunga
1. Bentuk-bentuk Realisme
1. Realisme ekstrem/primitif
Cara paling alamiah dan sederhana untuk menginterprestasikan hubungan
antara subyek dan obyek adalah dengan memahami tiap obyek yang dialami
sebagai tidak dipengaruhi pengamat manapun. Penganut realisme akan
mengatakan bahwa sebagimana kaki anda dapat berada dibawah meja dan
keberadaannya tidak tegantung pada hubungan antara meja dan kaki, begitu
juga obyek apapun dapat anda sebagai subyek ketahui tanpa dipengaruhi
oleh anda. Realisme ekstrem, yang berpendapat bahwa abstrak itu ada
sebagai entitas rill dalam dimensi lain realitas dan bahwa konkret yang kita
persepsi hanyalah merupakan cerminan yang tidak sempurna, namun
konkret tersebut menyebabkan timbulnya abstraksi daam penikiran kita.
Kelemahan realisme ekstrem adalah ada pngalaman universal kekeliruan
menilai persepsi tergantun konteks visual (Adela D., 2021).
2. Realisme akal sehat
Realisme akal sehat sepakat dengan realisme ekstrem atau primitif bahwa
obyek-obyek fisik tidak bergantung pada pikiran atau berada di luar pikiran,
walaupun objek-obyek itu secara langsung dan seketika dapat diobservasi
oleh pikiran. Hal yang membedakan dua pandangan ini adalah pemahaman
realisme akal sehat tentang obyek yang tidak nyata, yang khayalan atau yang
merupakan halusinasi (Adela D., 2021). Persepsi semacam ini bersifat
subyektif, dan obek-obyeknya seluruhnya terdapat di dalam pikiran.
2. Dasar pemikiran filsafat realisme
Berdasarkan aliran realisme, maka tujuan pendidikan akan dirumuskan
sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh peserta
didik untuk menjadi soptimal mungkin. Menurut realisme, yang dimaksud
dengan hakikat kenyataan itu berada pada “hal” atau “benda”. Jadi, bukan
sesuatu yang terlepas atau dilepaskan dari pemiliknya. Oleh karena itu, wajar
bila yang menjadi perhatian pertama dalam pendidikan adalah apa yang ada pada
peserta didik.

16
Prinsip dasar pendidikan realisme menurut Adela D. (2021). diantaanya:
a. Belajar pada dasanya mengutamakan pehatian pada peserta didik
b. Inisiatif dalam pndididkan harus ditekankan pada pendidik bukan pada
peserta didik
c. Inti dari proses pendidikan asimilasi dari subjek mater yang telah ditentukan

G. Filsafat Materialisme
Materialisme (Demokritos dan Ludwig Feurbach) berpendapat bahwa
kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui
adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu
materialisme dialektik dan materialisme humanistis. Filsafat Materialisme
berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau
supernatural.
Materialisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang pandangannya bertitik
tolak pada materi (benda). Materialisme memandang bahwa benda itu primer
sedangkan ide ditempatkan di sekundernya. Sebab materi ada terlebih dahulu baru
ada ide. Pandangan ini berdasarkan atas kenyataan menurut proses waktu dan zat.
Dengan kata lain materialisme mengakui bahwa materi menentukan ide, bukan ide
menentukan materi. Untuk pendidikan, materialisme memandang bahwa proses
belajar merupakan proses kondisioniasi lingkungan serta menekankan pentingnya
ketrampilan dan pengetahuan akademis empiris sebagai hasil kajian sains atau alam,
sedangkan perilaku sosial sebagai hasil belajar
1. Tokoh-tokoh filsafat materialisme
a. Demokritos
Merupakan pelopor pendangan materialisme klasik, ayng disebut juga
“atomisme”. Demokritos beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri dari
bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagibagi lagi yang disebut atom.
b. Ludwig Feuerbach Menurut Feuerbach, yang ada hanyalah materi, tidak
mengenal alam spiritual. Kepercayaan terhadap Tuhan hanyalah merupakan
suatu proyeksi dari kegagalan atau ketidakpuasan manusia mencapai cita-cita
kebahagiaan dalam hidupnya. Oleh karena itu, Tuhan hanyalah merupakan
hasil khayalab manusia.

17
c. Thomas Hobbes Sebagai pengikut materialistis berpendapat bahwa
pengalaman merupakan akal dari segala pengetahuan, juga aal pengetahuan
tentang asas-asas yang diperoleh dan dilakukan oleh pengalaman. Hanya
pengalaman yang memberi kepastian.
d. Auguste Comtesebagai pelopor positivisme membatasi pengetahuan pada
bidang berdaarkan fakta-fakta, berdasarkan data-data yang nyata.
Menerutnya terdapat tiga perkembangan berfikir yang dialami manusia,
yaitu:
1. Tingkatan teologis (pola berfikir manusia dikuasai oleh tahayul dan
prasangka)
2. Tingkatan metafisik (pola berfikir abstrak)
3. Tingkatan positif (pola berfikir yang mendasarkan pada sains)
2. Ciri-ciri filsafat materialisme
a. Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi;
b. Menjadikan panca indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu;
c. Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakan hukum;
d. Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak;
e. Tidak meyakini adanya alam ghaib (Adela D., 2021).
3. Variasi filsafat materialisme
a. Filsafat materialisme Dialektika
Materialisme dialektika adalah materialisme yang memandang segala
sesuatu selalu berkembang sesuai dengan hukum-hukum yang saling
hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku secara obyektif di
dalam dunia semesta. Misalnya “bumi berputar terus, ada siang ada malam”.
b. Filsafat materialisme Metafisik
Materialisme metafisik, yang memandang dunia secara parsial, tidak
menyeluruh dan statis. Pikiran-oikiran materialisme metafisik ini
memandang orang sudah ditakdirkan, tidak bisa berubah.
4. Kelebihan dan kekurangan filsafat pendidikan materialisme
Menurut Adela D. (2021) terdapat kekurangan dan kelebihan dari filsafat
pendidikan materialisme antara lain sebagai berikut.
Kelebihan

18
a. Paham materialisme berpegang pada kenyataan-kenyataan yang mudah
dimengerti, buka pada detaik-detail abstrak
b. Teor-teorinya jelas berdasarkan teori-teori pengetahuan yang sudah umum
c. Semua perubahan yang terjadi bersifat kepastian semata
d. Isi pendidik mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya, diorganisasi,
selalu berhubungan dengan sasaran perilaku
e. Semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi, pelajaran berprogram
dan kompetensi
Kekurangan
a. Materialisme mendasarkan segala kejadian dunia dan kehidupan pada asal
benda itu sendiri, padahal dalil itu menunjukkan adanya sumber dari luar
alam itu sendiri yait Tuhan
b. Aliran materialisme tidak mencakup keseluruhan, aliran materialisme
bersifat detotalisasi artinya mengingkari manusia secara total, materialisme
berpendapat yang terpenting bagi manusia adalah usaha, bukan hanya
akalnya
c. Mengingkari faktor penting dalam kehidupan, misalnya cinta dan kebaikan
d. Dalam kehidupan beragama, aliran ini dianggap tidak sesuai karena tidak
mengakui adanya Yang Mutlak
e. Materialisme tidak sanggup menerangkan suatu kejadian rohani yang paling
mendasar sekalipun

19
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi yakni secara etimologi dan
terminologi. Filsafat secara etimologi Kata Philosophia terdiri atas kata philein yang
berarti cinta (love) dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom) sehingga secara
etimologi istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaa (love of wisdom) dalam arti yang
sedalam-dalamnya. Sedangan filsafat secara terminology, menurut Plato bahwa filsafat
adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang
ali karena kebenaran itu mutlak di tangan Tuhan. Sedangkan Aristoles, berpendapat
bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang di dalamnya
terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, dan estetika. Adapun berbagai
aliran:
1. Filsafat Konservatif
Konservatif diartikan sebagai sikap atau perilaku dalam upaya mempertahankan dan
menjaga suatu keadaan tertentu, termasuk kebiasaan, tradisi yang sudah berlaku.
2. Filsafat Progressif
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut
progresivisme bersifat dinamis dan temporal, menyala, tidak pernah sampai pada
yang paling ekstrem, serta pluralistis.
3. Filsafat Aliran Idealisme
Idealisme (Plato, David Hume, Hegel, Immanuel Kant, dan Al-Ghazali) yang
berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau
intelegensi.
4. Filsafat Aliran Realisme
Realisme adalah filsafat yang menganggap bahwa terdapat satu dunia eksternal nyata
yang dapat dikenali. Karena itu, realisme berpandangan bahwa obyek persepsi
indrawi dan pengertian sungguh-sungguh ada, terlepas dari indra dan budi yang
menangkapnya karena obyek itu memang dapat diselidiki, dipelajari lewat ilmu, dan
ditemukan hakikatnya lewat ilmu filsafat

20
5. Filsafat Aliran Materialisme
Materialisme (Demokritos dan Ludwig Feurbach) berpendapat bahwa kenyatan yang
sebenarnya adalah alam semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya
kenyataan spiritual.

21
DAFTAR RUJUKAN

Adela, D. (2021). Buku Ajar Filsafat Pendidikan. Sukabumi: Nusaputra Press.


Dananjaya, U. (2010). Media Pembelajaran Aktif. Bandung: Nuansa.
Dr. Muhammad Kristiawan, M. (2016). Filsafat Pendidikan: The Choice Is Yours.
Jogjakarta: Valia Pustaka.
Mu'arif. (2008). Liberalisme Pendidikan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Ramayulis. (2015). Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Filosofis Sistem Pendidikan
Islam). Jakarta: Kalam Mulia.
Said, J. d. (1994). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Salahudin, A. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Sudarsono. (1993). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Suedi. (2016). Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: PT Penerbit IPB Press.

22

Anda mungkin juga menyukai