Anda di halaman 1dari 27

TUGAS FILSAFAT ILMU

Paham, Teori, dan Kritik Dalam Filsafat

Disusun Sebagai Pemenuhan Tugas Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Riau

Oleh :

Nadia Karima (2210247975)

Velisa Ratna Dilla (2210247903)

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. B. Isyandi, SE, MS

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS RIAU

2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..............................................................................................................i


BAB I ........................................................................................................................1
PENDAHULUAN .....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................................. 3
BAB II .......................................................................................................................4
PEMBAHASAN .......................................................................................................4
2.1 Tomisme ............................................................................................................ 4
2.2 Rasionalisme..................................................................................................... 5
2.3 Emperisme ........................................................................................................ 6
2.4 Kritikisme ........................................................................................................... 7
2.5 Idealisme ........................................................................................................... 8
2.6 Positivisme ........................................................................................................ 9
2.7 Materialisme .................................................................................................... 10
2.8 Pragmatisme dan Filsafat Hidup .................................................................. 10
2.9 Fenomenologi ................................................................................................. 12
2.10 Eksistensialisme ............................................................................................. 13
2.11 Teori Emanasi (Al- Farabi) ............................................................................ 16
2.12 Kritik Iqbal Terhadap Argumen-argumen Klasik Tentang Adanya Tuhan .
.......................................................................................................................... 19
BAB III .................................................................................................................... 23
KESIMPULAN ....................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 25

i
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran


manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak
didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-
percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari
solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses
dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika
bahasa. Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam
matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang
pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu
spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa
berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya
tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang
mempertanyakan segala hal.

Semenjak Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan


disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup
pengetahuan manusia secara tepat; maka semenjak itu pula refleksi filsafat
mengenai pengetahuan manusia menjadi menarik perhatian. Dan lahirlah
pada abad 18 cabang filsafat yang disebut sebagai filsafat pengetahuan
(theory of knowledge atau epistemology). Melalui cabang filsafat ini
diterangkan sumber serta tatacara untuk menggunakan sarana dan metode
yang sesuai guna mencapai pengetahuan ilmiah. Diselidiki pula evidensi dan
syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi apa yang disebut kebenaran ilmiah,
serta batas batas validitasnya.

Mula-mula filsafat berarti sifat seseorang berusaha menjadi bijak,


selanjutnya filsafat mulai menyempit yaitu lebih menekankan pada latihan
berpikir untuk memenuhi kesenangan intelektual (intelectual curiosity), juga
filsafat pada masa ini ialah menjawab pertanyaan yang tinggi yaitu
2

pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh sains. Secara terminologi filsafat
banyak diartikan oleh para ahli secara berbeda, perbedaan konotasi filsafat
disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan pandangan hidup yang berbeda
serta akibat perkembangan filsafat itu sendiri seperti; James melihat konotasi
filsafat sebagai kumpulan pertanyaan yang tidak pernah terjawab oleh sains
secara memuaskan. Russel melihat filsafat pada sifatnya ialah usaha
menjawab, objeknya ultimate question. Phytagoras menunjukkan filsafat
sebagai perenungan tentang ketuhanan. Poedjawijatna (1974: 11)
menyatakan filsafat diartikan ingin mencapai pandai, cinta, pada kebijakan,
dan sebagai jenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang
sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.
Hasbullah Bakry (1971: 11) mengatakan filsafat menyelidiki segala sesuatu
dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia
sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya
sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagiamana sikap manusia itu
harus setelah mencapai pengetahuan itu, dan masih banyak pendapat dari
tokoh-tokoh lainnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan tomisme?


2. Apa yang dimaksud dengan rasionalisme?
3. Apa yang dimaksud dengan empirisme?
4. Apa yang dimaksud dengan kritikisme?
5. Apa yang dimaksud dengan idealism?
6. Apa yang dimaksud dengan positivisme?
7. Apa yang dimaksud dengan materialisme?
8. Apa yang dimaksud dengan pragmatisme dan filsafat hidup?
9. Apa yang dimaksud dengan fenomenologi?
10. Apa yang dimaksud dengan eksistensialisme?
11. Apa yang dimaksud dengan teori emanasi (Al-Farabi) ?
12. Bagaimana kritik Iqbal terhadap argument-argumen klasik tentang adanya
Tuhan?
3

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tomisme


2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan rasionalisme
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan empirisme
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kritikisme
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan idealism
6. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan positivism
7. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan materialism
8. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pragmatisme dan filsafat
hidup
9. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan fenomenologi
10. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan eksistensialisme
11. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan teori emanasi (Al-Farabi)
12. Untuk mengetahui bagaimana kritik Iqbal terhadap argument-argumen
klasik tentang adanya Tuhan
4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tomisme

Nama aliran ini disandarkan kepada thomas Aquinas, salah seorang


tokoh intelektual termasyur skolastik Barat yang hidup pada tahun 1225-1274 M.
ada yang berpendapat bahwa thomas hanya menyesuaikan Aristoteles dengan
ajaran Katolik, hal ini tidaklah betul, ia memang menyerap ajaran Aristoteles
tetapi ia menyusun sistem yang berlainan dari sistem Aristoteles. Thomas
dilahirkan dekat kota Aquino pada tahun 1225. Karenanya, ia akrab disebut
Thomas Aquinas, ia menjadi murid Albertus di Paris, warisan buku-bukunya
sangat banyak dan sampai sekarang masih dipelajari orang dan malahan
menjadi pedoman dalam aliran yang masih sangat banyak penganutnya, teologi
dan filsafat adalah dua hal yang banyak dikaji dan ditelaahnya. Bagi Thomas,
kedua disiplin ilmu tersebut tidak bisa dipisah malah saling berkait dan
mempengaruhi.

Filsafat Thomisme didasarkan pada keyakinan bahwa akal dan iman


sama-sama diperlukan untuk mencapai pengetahuan yang benar. Artinya, kaum
Thomist mengakui adanya keteraturan alamiah pada hal-hal yang dapat
diketahui melalui akal. Pada saat yang sama, wahyu dari Tuhan diperlukan untuk
mengetahui kebenaran tertentu tentang Tuhan dan moralitas.

Gagasan utama Thomisme adalah bahwa Tuhan adalah sumber pengetahuan


tertinggi dan bahwa manusia dapat mengetahui hal-hal tentang Tuhan melalui
akal dan wahyu. Thomisme juga menekankan perlunya menyelaraskan iman dan
akal dan menggunakan keduanya dalam pencarian kita akan kebenaran.
Akhirnya, Thomisme berpendapat ada tatanan moral objektif yang dapat kita
temukan melalui akal. Filsafatnya ini secara signifikan mempengaruhi pemikiran
Barat dan berpengaruh besar pada perkembangan teologi Katolik.

Thomistik juga berpendapat manusia pada dasarnya rasional dan sosial.


Kita harus menggunakan akal kita untuk mengejar kebenaran dan kebaikan.
Selanjutnya, Thomistik percaya pada keberadaan nilai-nilai moral objektif dan
5

bahwa kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai ini. Namun, aliran ini percaya
bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai di akhirat.

2.2 Rasionalisme

Rasionalisme adalah faham atau aliran yang berdasar rasio, ide-ide yang
masuk akal. Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Rasionalisme
merupakan aliran filsafat yang berpegang teguh pada akal. Itulah sebabnya
mengapa Rasionalisme menganggap akal adalah alat terpenting dalam
memperoleh dan menguji pengetahuan. Menurut aliran ini, pengetahuan dapat
dicari dengan akal dan penemuan dapat diukur dengan akal pula. Maksud dari
dicari dengan akal adalah dengan menggunakan pemikiran yang logis,
sementara maksud dari diukur dengan akal adalah menentukan apakah
penemuan tersebut dapat dikatakan logis atau tidak. Jika logis maka dapat
dipastikan benar, jika tidak logis maka sebaliknya.

Aliran rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang


mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan
yang mencukupi dan yang di peroleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang
dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai oleh
semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk
meneguhkan pengetahuan yang didapatkan oleh akal. Akal dapat menurunkan
kebenaran daripada dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas pertama yang pasti.
Metode yang digunakan adalah deduktif.teladan yang dikemukakan adalah ilmu
pasti. Itu berarti Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalam
memperoleh pengetahuan. Pengalaman indra digunakan untuk merangsang akal
dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Jadi, akal
dapat juga menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.

Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian
pengetahuan. Pengetahuan yang benar di peroleh dan di ukur dengan akal.
Manusia, menurut aliran ini memeperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal
menangkap objek. Orang megatakan (biasanya) bapak aliran ini adalah Rene
Descartes (1596-1650) ini benar. Akan tetapi sesungguhnya paham seperti ini
sudah ada jauh sebelun ini. Oarng-orang Yunani kuno telah meyakini juga bahwa
akal adalah alat dalam memperoleh pengetahuan yang benar, lebih-lebih pada
Aristoteles.
6

Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh


pengetahuan. Pengalaman indera di butuhkan untuk merangsana akal dan
memberikan bahan-bahan yang menyebabakan akal dapat bekerja. Akan tetapi
untyk sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata dengan akal.
Laporan idera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas, kacau.
Bahan ini kemudian di pertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berfikir. Akal
mengatur bahan itu sehingga dapatlah terbentuklah pengetahuan yang benar.
Jadi, akal bekerja akal bekerja karena da bahan dari indera. Akan tetapi akal juga
bisa menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama
sekali jadi akal dapat juga menghasilkan pengetahuan tentang objek yang benar-
benar absrtak.

Kerja sama antara empirisme dan rasionalisme inilah yang melahirkan


sains (scientific method), dan dari metode ini lahirlah pengetahuan sains
(scientific knowledge) yang dalam bahasa indonesia sering di sebut pebgetahuan
ilmiah atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan sains adalah ilmu pengetahuan
yang logis dan memiliki bukti empiris.

Jika yang bekerja hanya rasio yaitu andalan rasionalisme maka


pengetahuan yang di peroleh ialah pengetahuan filsapat. Pengetahuan filsapat
adalah pengetahuan yang lofis tanpa dukungan dari empiris.

2.3 Emperisme

Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber


pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman dengan cara observasi/penginderaan. Pengalaman merupakan
faktor fundamental dalam pengetahuan, ia merupakan sumber dari pengetahuan
manusia.

Empirisme berasal dari kata Yunani ”empiris” yang berarti pengalaman


indrawi. Karena itu, empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang
menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi
manusia. Pada dasarnya aliran ini sangat bertentangan dengan rasionalisme.
7

Penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu


objek yang merangsang alat-alat indrawi, yang kemudian dipahami di dalam
otak, dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah tanggapan-tanggapan
mengenai objek telah merangsang alat-alat indrawi tersebut. Empirisme
memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan. Penganut aliran ini
menganggap pengalaman sebagi satu-satunya sumber dan dasar ilmu
pengetahuan. Pengalaman indrawi sering dianggap sebagai pengadilan yang
tertinggi.

Namun demikian, aliran ini banyak memiliki kelemahan karena (1) indra
sifatnya terbatas, (2) indra sering menipu, (3) objek juga menipu, seperti
ilusi/fatamorgana, dan (4) indra dan sekaligus objeknya. Jadi, kelemahan
empirisme ini karena keterbatasan indra manusia sehingga muncullah aliran
rasionalisme.

2.4 Kritikisme

Aliran ini dipelopori oleh Immanuel Kant berpendapat bahwa


pengetahuan manusia itu berawal dari luar maupun dari dalam jiwa manusia itu
sendiri (rasio). Kritisisme merupakan gabungan dari dua pandangan, yaitu
rasionalisme dan empirisme. Empirisme menghasilkan keputusan yang sifatnya
sintetis dan tidak mutlak, sedangkan rasionalisme memberikan keputusan yang
bersifat analitis. Berpikir merupakan proses penyusunan keputusan yang terdiri
dari subjek dan predikat.

Kehadiran aliran rasionalisme dan empirisme sangat bertolah belakang


dari tujuan semula. Untuk menentukan kebenaran, Rasionalisme mengandalkan
akal sedangkan Empirisme mengandalkan pengalaman. Pada satu sisi landasan
aliran rasionalisme yang bertolak dari rasio dan di lain sisi empirisme yang lebih
mendasarkan pada pengalaman seolah sudah sempurna, padahal kedua
tawaran tersebut bukan jawaban yang tepat. Tokoh yang paling menolak kedua
pandangan di atas adalah Immanuel Kant (1724-1804 M).

Kant berusaha menawarkan perspektif baru dan berusaha mengadakan


penyelesaian terhadap pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan
kritisisme. Untuk itulah ia menulis tiga bukunya berjudul: Kritik der Reinen
8

Vernunft (kritik rasio murni), Kritik der Urteilskraft, dan lainnya. Bagi Kant, dalam
pengenalan indrawi selalu sudah ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu.
Kedua-duanya berakar dalam struktur subjek sendiri. Memang ada suatu realitas
terlepas dari subjek yang mengindra, tetapi realitas tidak pernah dikenalinya. Kita
hanya mengenal gejala-gejala yang merupakan sintesis antara yang diluar
(aposteriori) dan ruang waktu (a priori).

Sebagai contoh, pernyataan 'anak itu cantik' merupakan pernyataan


sintetis yang diperoleh secara aposteriori karena hubungan antara keduanya
dilaksanakan berdasarkan pengalaman indrawi.

2.5 Idealisme

Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia


fisik hanya dapat dipahami kaitannya dengan jiwa dan ruh. Istilah idealisme
diambil dari kata idea, yakni seseuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme
mempunyai argumen epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme
yang mengajarkan bahwa materi bergantung kepada spirit tidak disebut idealis
karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh
idealisme. Paham ini beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang
sebenarnya. Manusia ada karena ada unsur yang tidak terlihat yang
mengandung sikap dan tindakan manusia. Manusia lebih dipandang sebagai
makhluk kejiwaan/kerohanian. Untuk menjadi manusia maka peralatan yang
digunakannya bukan semata-mata peralatan jasmaniah yang mencakup hanya
peralatan panca indera, tetapi juga peralatan rohaniah yang mencakup akal dan
budi. Justru akal dan budilah yang menentukan kualitas manusia.

Idealisme juga didefinisikan sebagai suatu ajaran, faham atau aliran yang
menganggap bahwa realitas ini terdiri atas ruh-ruh (sukma) atau jiwa, ide-ide dan
pikiran atau yang sejenis dengan itu. Aliran ini merupakan aliran yang sangat
penting dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia. Mula-mula dalam
filsafat barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato, yang
menyatakan bahwa alam idea itu merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun
alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam
idea itu. Aristoteles memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang
menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada
9

dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya


dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang sama
sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang
disepakati oleh semua alat pikir adalah dasar idelaisme ini.

Pada zaman Aufklarung para filsuf yang mengakui aliran serbadua,


seperti Descartes dan Spinoza, yang mengenal dua pokok yang bersifat
keruhanian dan kebendaan maupun keduanya, mengakui bahwa unsur
keruhanian lebih penting daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama
sekaligus dapat digolongkan kepada penganut idealisme yang paling setia
sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang
mendalam. Puncak zaman idealisme pada masa abad ke-18 dan 19, yaitu saat
Jerman sedang memiliki pengaruh besar di Eropa.

2.6 Positivisme

Positivisme berasal dari kata positif. Kata positif di sini sama artinya
dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Timbulnya filsafat
positivisme adalah sebagai reaksi tehadap spekulasi theologis dan metafisis
filsafat hegel. Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki
minatkuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama
dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu
pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan faktayang
jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori pahamrealisme,
materialisme naturalisme filsafat dan empirisme. Aliran positivisme ini memberi
tekanan kepada fakta, kepada bukti- bukti yang konkrit kepada sesuatu yang
diverifikasi. Tokoh-tokoh utama aliran positivisme ini adalah Auguste Comte
(1798-1857), john Stuart Mill (1806-1903).

Aliran ini mulanya pertama kali digunakan oleh Saint Simon (1825). Aliran
ini berakar dari empirisme. Prinsip filosofisnya dikembangkan pertama kali oleh
Francis Bscon (1600) seorang empirist dari Inggris. Aliran ini menyatakan bahwa
ilmu adalah satu – satunya pengetahuan yang memiliki validitas dan fakta yang
menjadi objek pengetahuannya. Sehingga positivisme menolak keberadaan
segala kekuatan atau subjek di belakang fakta, menolak penggunaan segala
metode di luar yang digunakan untuk menelaaah fakta.
10

Positivisme berpendapat bahwa filsafat hendaknya semata – mata


berdasar pada peristiwa – peristiwa positif yang dialami oleh manusia.

2.7 Materialisme

Materialisme berasal dari kata “Materi” dan “Isme”. Materi dapat dipahami
sebagai bahan; benda; segala sesuatu yang tampak. Materialisme adalah
pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan
manusia di alam kebendaan semata - mata, dengan mengesampingkan segala
sesuatu yang mengatasi alam indra. Sementara itu, manusia yang hidupnya
berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis/materialistis. Orang - orang
ini adalah para pengusung paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang
mementingkan kebendaan semata. Selain itu, matrealisme juga disebut sebuah
aliran filsafat yang memiliki pendirian bahwa hakikat itu bersifat materi.

2.8 Pragmatisme dan Filsafat Hidup

Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani ”pragma” yang artinya


perbuatan atau tindakan. ”Isme” di sini sama artinya dengan isme-isme yang
lainnya, yaitu aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian, pragmatisme
berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria
kebenarannya adalah ”faedah” atau ”manfaat”. Suatu teori atau hipotesis
dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil.

Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works (apabila teori dapat
diaplikasikan). Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan
suatu usaha- usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat
dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan
dengan usaha tersebut, pragmatisme akhrinya berkembang menjadi suatu
metode untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada
henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan
filsafat sejak zaman Yunani Kuno (Guy W. Stroh: 1968).

Pragmatisme telah membawa perubahan yang besar terhadap budaya


Amerika dari lewat abad ke-19 hingga kini. Falsafah ini telah dipengaruhi oleh
11

teori Charles Darwin dengan teori evolusinya dan Albert Einstein dengan teori
relativitasnya. Falsafah ini cenderung kepada falsafah epistemologi dan aksiologi
dan sedikit perhatian terhadap metafisik. Falsafah ini merupakan falsafah di
antara idea tradisional mengenai realitas dan model mengenai nihilisme dan
irasionalisme. Ide tradisional telah mengatakan bumi ini tetap dan manusia
mengetahui hakiki mengenai bumi dan perkara-perkara nilai murni, sementara
nihilisme dan irasionalisme adalah menolak semua dugaan dan ketentuan.
Dalam usahanya untuk memecahkan masalah-masalah metafisik yang selalu
menjadi pergunjingan berbagai filosofi itulah pragmatisme menemukan suatu
metoda yang spesifik, yaitu dengan mencari konsekuensi praktis dari setiap
konsep atau gagasan dan pendirian yang dianut masing-masing pihak. Dalam
perkembangannya lebih lanjut, metode tersebut diterapkan dalam setiap bidang
kehidupan manusia. Karena pragmatisme adalah suatu filsafat tentang
kehidupan manusia maka setiap bidang kehidupan manusia menjadi bidang
penerapan dan filsafat yang satu ini. Karena metode yang dipakai sangat populer
untuk dipakai dalam mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu, dan
menjadi populer. Filsafat yang berkembang di Amerika pada abad ke-19 ini
sekaligus menjadi filsafat khas Amerika dengan tokoh- tokohnya seperti Charles
Sander Peirce, William James, dan John Dewey menjadi sebuah aliran pemikiran
yang sangat mempengaruhi segala bidang kehidupan Amerika.

Namun, filsafat ini akhirnya menjadi leibh terkenal sebagai metode dalam
mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu atau yang menyangkut
kebijaksanaan tertentu. Lebih dari itu, karena filsafat ini merupakan filsafat yang
khas Amerika, ia dikenal sebagaimana suatu model pengambilan keputusan,
model berindak, dan model praktis Amerika. Bagi kaum pragmatis, untuk
mengambil tindakan tertentu, ada dua hal penting. Pertama, ide atau keyakinan
yang mendasari keputusan yang harus diambil untuk melakukan tindakan
tertentu. Kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket tunggal dan metode bertindak
yang pragmatis. Pertama-tama manusia memiliki ide atau keyakinan itu yang
ingin direalisasikan. Untuk merealisasikan ide atau keyakinan itu, manusia
mengambil keputusan yang berisi: akan dilakukan tindakan tertentu sebagai
realisasi ide atau keyakinan tadi.
12

Dalam hal ini, sebagaimana diketahui oleh Peirce, tindakan tersebut tidak
dapat diambil lepas dari tujuan tertentu. Dan tujuan itu tidak lain adalah hasil
yang akan diperoleh dari tindakan itu sendiri, atau konsekuensi praktis dari
adanya tindakan itu. Apa yang dikatakan oleh Peirce tersebut merupakan prinsip
pragmatis dalam arti yang sebenarnya. Dalam hal ini; pragmatisme tidak lain
adalah suatu metode untuk menentukan konsekuensi praktis dari suatu ide atau
tindakan. Karena itulah, pragmatisme diartikan sebagai suatu filsafat tentang
tindakan. Itu berarti bahwa pragmatisme bukan merupakan suatu sistem filosofis
yang siap pakai yang sekaligus memberikan jawaban terakhir atas masalah-
masalah filosofis. Pragmatisme hanya berusaha menentukan konsekuensi
praktis dari masalah-masalah itu, bukan memberikan jawaban final atas
masalah-masalah itu.

Aliran pragmatis ini beranggapan bahwa segala kebenaran ialah apa


yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan memperhatikan
kegunaannya secara praktis. Tokoh aliran ini adalah William James. Ia termasuk
tokoh sangat berpengaruh dari Amerika Serikat.

2.9 Fenomenologi

Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau


faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber
pengetahuan dan kebenaran. Seorang fenomenalisme suka melihat gejala. Dia
berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari
korelasi dan fungsi, serta membuat hukum- hukum dan teori. Fenomenalisme
bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa
meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu
metode pemikiran ”a way of looking at things”. Gejala adalah aktivitas, misalnya
gejala gedung putih adalah gejala akomodasi, konvergensi, dan fiksasi dari mata
orang yang melihat gedung itu, ditambah aktivitas lain yang perlu supaya gejala
itu muncul. Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano bahwa
subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal yang
melihat. Inti dari fenomenalisme adalah tesis dari “intensionalisme” yaitu hal yang
disebut konstitusi.

Menurut intensionalisme (Brentano), manusia menampakkan dirinya sebagai


hal yang transenden, sintesis dari objek dan subjek. Manusia sebagai entre
13

aumonde (mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu. Manusia
mengkonstitusi alamnya. Untuk melihat sesuatu hal, saya harus
mengkonversikan mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang
mau dilihat. Anak yang baru lahir belum bisa melakukan sesuatu hal, sehingga
benda dibawa ke mulutnya.

Fenomenologi merupakan aliran. Tokoh terpentingnya adalah: Edmund


Husserl (1859-1938 M). Ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui
argumen- agumen, konsep-konsep, atau teori umum. ”Zuruck zu den sachen
selbst” – kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan
yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek
memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri
kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita ”mengambil jarak” dari objek itu,
melepaskan objek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-
gejala itu kita cermati, maka objek itu ”berbicara” sendiri mengenai hakikatnya,
dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita. Fenomenologi banyak
diterapkan dalam epistemologi, psikologi, antropologi, dan studi- studi
keagamaan (misalnya kajian atas kitab suci).

Tokoh-tokohnya adalah Edmund Husserl (1959-1938 M), Max Scheller


(1874- 1928 M), Hartman (1882-1950 M), Martin Heidegger (1889-1976 M),
Maurice Merleau Ponty (1908-1961 M), Jean Paul Sartre (1905-1980 M), dan
Soren Kierkegaard (1813- 1855 M).

2.10 Eksistensialisme

Eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata
exist itu sendiri berasal dari bahasa ex: keluar, dan sister: berdiri. Jadi, eksistensi
berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Filsafat eksistensi tidak sama persis
dengan filsafat eksistensialisme. Filsafat eksistensialisme lebih sulit ketimbang
eksistensi.

Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia


membuat benda, tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari
segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi.
Pohon mangga menjadi pohon mangga. Harimau menjadi harimau. Manusia
menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu
berada. Kita dapat membayangkan kursi, pohon mangga, harimau, atau
14

manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil,
sungguh hadir. Disinilah peran eksistensia.

Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu


berada, eksis. Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga
dapat tertanam, tumbuh, berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai hutan.
Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok bersama
manusia lain. Selama masih bereksestensia, segala yang ada menjadi tidak ada,
tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu
mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia mati. Demikiankah penting peranan
eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan.
Tanpanya, segala sesuatu tidak nyata ada, apalagi hidup dan berperan.

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para


pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada.
Karena memang sudah ada dan tak ada persoalan. Kursi adalah kursi. Pohon
mangga adalah pohon mangga. Harimau adalah harimau. Manusia adalah
manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada
dan untuk apa berada. Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan
pemikiran tentang eksistensia. Dengan mencari cara berada dan eksis yang
sesuai pun akan ikut terpengaruhi.

Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada bukan


hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optimal. Untuk manusia, ini berarti
bahwa dia tidak sekedar berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan
kemungkinan yang dapat dicapai. Dalam kerangka pemikiran itu, menurut kaum
eksistensialis, hidup ini dibuka. Nilai hidup yang paling tinggi adalah
kemerdekaan. Dengan kemerdekaan itulah keterbukaan hidup dapat ditanggapi
secara baik. Segala sesuatu yang menghambat, mengurangi, atau meniadakan
kemerdekaan harus dilawan. Tata tertib, peraturan, hukum harus disesuaikan
atau, bila perlu, dihapus dan ditiadakan. Karena adanya tata tertib, peraturan,
hukum dengan sendirinya sudah tak sesuai dengan hidup yang terbuka dan
hakikat kemerdekaan. Semua itu membuat orang terlalu melihat ke belakang dan
mengaburkan masa depan, sekaligus membuat praktik kemerdekaan menjadi
tidak leluasa lagi. Dalam hal etika, karena hidup ini terbuka, kaum eksistensialis
memegang kemerdekaan sebagai norma. Bagi mereka, manusia mampu
15

menjadi seoptimal mungkin. Untuk menyelesaikan proyek hidup itu,


kemerdekaan mutlak diperlukan .

Berdasarkan dan atas norma kemerdekaan, mereka berbuat apa saja


yang dianggap mendukung penyelesaian proyek hidup. Sementara itu, segala
tata tertib, peraturan, hukum tidak menjadi bahan pertimbangan. Karena adanya
saja sudah mengurangi kemerdekaan dan isinya menghalangi pencapaian cita-
cita proyek hidup. Sebagai ganti tata-tertib, peraturan, dan hukum, mereka
berpegang pada tanggung jawab pribadi. Mereka tak mempedulikan segala
peraturan dan hukum, dan tidak mengambil pusing akan sanksi- sanksinya. Yang
mereka pegang adalah tanggung jawab pribadi dan siap menanggung segala
konsekuensi yang datang dari masyarakat, negara, atau lembaga agama. Satu-
satunya hal yang diperhatikan adalah situasi.

Dalam menghadapi perkara untuk menyelesaikan proyek hidup dalam


situasi tertentu, pertanyaan pokok mereka adalah apa yang paling baik menurut
pertimbangan dan tanggung jawab pribadi seharusnya dilakukan dalam situasi
itu. Yang baik adalah menurut pertimbangan norma mereka, bukan berdasarkan
perkaranya dan norma masyarakat, negara, atau agama. Segi positif yang
sekaligus merupakan kekuatan dan daya tarik etika eksistensialis adalah
pandangan tentang hidup, sikap dalam hidup, penghargaan atas peran situasi,
penglihatannya tentang masa depan. Berbeda dengan orang lain yang berpikiran
bahwa hidup ini sudah selesai, yang harus diterima seperti adanya dan tak perlu
diubah, etika eksistensialis berpendapat bahwa hidup ini belum selesai, tidak
harus diterima sebagai adanya dan dapat diubah, bahkan harus diubah. Ini
berlaku untuk hidup manusia sebagai pribadi, masyarakat, bangsa dan dunia
seanteronya.

Namun, bagi kaum eksistensialis yang memahami hidup belum selesai,


setiap situasi membawa akibat untuk kemajuan kehidupan. Oleh karena itu,
setiap situasi perlu dikendalikan, dimanfaatkan, diarahkan sehingga menjadi
keuntungan bagi kemajuan hidup. Akhirnya, bagi orang yang menerima hidup
sudah sampai titik dan puncak kesempurnaannya, masa depan tidak amat
berperan karena masa depan pun keadaannya akan sama saja dengan masa
yang ada sekarang. Namun, bagi kaum eksistensialis yang belum puas dengan
hidup yang ada dan yang merasa perlu untuk mengubahnya, masa depan
merupakan faktor yang penting. Karena hanya dengan adanya masa depan
16

itulah perbaikan hidup dimungkinkan dan pada masa depan pula hidup baik itu
terwujud. Dengan demikian, gaya hidup kaum eksistensialis menjadi serius,
dinamis, penuh usaha, dan optimis menuju ke masa depan.

Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Immanuel Kant, Jean Paul Sartre, S.


Kierkegaard (1813-1855 M), Friedrich Nietzsche (1844-1900 M), Karl Jaspers
(1883-1969 M), Martin Heidegger (1889-1976 M), Gabriel Marcel (1889-1973 M),
Ren LeSenne dan M. Merleau Ponty (1908-1961 M).

2.11 Teori Emanasi (Al- Farabi)

Emanasi merupakan pemikiran besar Al-Farabi yang berkaitan dengan


aspek ontologis (realitas wujud). Ia adalah filsuf Islam pertama yang
memperkenalkan konsep emanasi ke dalam ajaran filsafat Islam (Khudori, 2016).

Emanasi sendiri adalah sebuah pandangan bahwa alam semesta ini lahir
berkat pancaran dari Yang Esa. Pemikiran ini awalnya dari Plotinus, pendiri
mazhab Platonisme. Plotinus berargumen bahwa terdapat “trinitas suci” dalam
kajian metafisikanya: Yang Esa, Ruh (nous), dan jiwa (Russell, 2021). Yang Esa
adalah sumber segala sesuatu yang memunculkan pancaran bagi ruh sehingga
silau yang merupakan timbal-balik membuat Yang Esa mampu melihat dirinya
sendiri. Pemahaman ini seperti analog Plato yang populer dalam “Republik”
tentang matahari yang memancarkan dirinya melalui cahaya.

Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam
makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan). Teori
emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut al-Farabi,
Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda.

Ia berpindirian, bahwa seluruh yang ada (maujud) tidak terlepas dari


keadaan wajibul wujud atau mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir karena
ada sebab, sedangkan yang wajibul wujud adalah ada dengan tidak bersebab, ia
memiliki Zat yang Agung dan sempurna, ia memiliki kesanggupan mencipta
dalam keseluruhan sejak azali.

Dengan filsafat ini, al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang


banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Mahasatu, tidak berubah, jauh
dari materi, jauh dari arti banyak, Mahasempurna dan tidak berhajat pada
apapun. Ajaran itu dipinjam dari Plotinus yang menyebutnya “pro-odos” dan
17

“prohiemi”: maju keluar. Al-farabi memakai kata fayd: meluap, meletus dan sudur:
memantulkan atau melimpahkan.

Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran Neo Platonisme yang


menggunakan kata-kata simbolis (kiasan), sehingga tidak bisa didapatkan
hakikatnya yang sebenarnya. Akan tetapi, al-Farabi telah menguraikannya
secara ilmiah, di mana ia mengatakan bahwa segala sesuatu keluar dari Tuhan,
karena Tuhan mengetahui Zat-Nya dan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar
susunan wujud yang sebaik-baiknya. Tuhan cukup dengan mengetahui Zat-Nya
yang menjadi sebab adanya alam, agar alam ini terwujud. Dengan demikian,
maka keluarnya alam (makhluk) dari Tuhan terjadi tanpa gerak dan alat, karena
emanasi adalah pekerjaan akals emata-mata. Akan tetapi, wujud alam (makhluk)
tersebut tidak memberi kesempurnaan bagi Tuhan, karena Tuhan tidak
membutuhkannya. Alam tersebut bukan merupakan tujuan bagi Tuhan dan
wujud-Nya pun bukanlah karena yang lainnya.

Al-Farabi menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya


yang banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Esa (Allah) jauh dari arti
materi dan Mahasempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta
alam, melainkan penggerak Pertama (Prime Cause), seperti yang dikemukakan
Aristoteles. Sementara dalam doktrin ortodoks Islam (al-Mutakallimin), Allah
adalah Pencipta (Shani’, Agent) yang menciptakan dari tiada menjadi ada (creito
ex nihilo). Untuk mengislamkan doktrin ini, al-Farabi – juga filosof Muslim lainnya
– mencari bantuan pada doktrin Neo Platonis monistik tentang emanasi. Dengan
demikian, Tuhan Penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah Pencipta, yang
menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dengan arti,
Allah menciptakan alam sejak azali, materi alam berasal dari
yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu.
Sebab itu menurut filosof Muslim, kun Allah yang termaktub dalam Alquran
ditujukan kepada syai’ (sesuatu) bukan pada la syai’ (nihil).

Allah Mahasempurna, ia tidak tidak memikirkan dan berhubungan dengan


alam, karena terlalu rendah bagi-Nya untuk memikirkan dan berhubungan
dengan alam yang tidak sempurna. Allah cukup memikirkan zat-Nya, maka
terciptalah energi yang maha dahsyat serta pancaran dan dari energi inilah
terjadi Akal Pertama(juga memadat dalam bentuk materi).
18

Proses emanasi al-Farabi yang sangat rumit ini dapat dilukiskan sebagai
berikut :

Wujud pertama dari Tuhan disebut Akal Pertama, yang mengandung 2


segi: pertama, segi hakikatnya sendiri yaitu wujud yang mumkin, dan kedua, segi
lain, yaitu wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan, sebagai
Zat yang menjadikan.

1. Dari pemikiran Akal Pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang


wajib (nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya,
maka keluarlah Akal Kedua. Dari pemikiran Akal Pertama, dalam
kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya,
maka timbullah langit pertama atau benda langit terjauh dengan jiwanya
sama sekali.
2. Dari Akal Kedua, timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-
bintang tetap beserta jiwanya, dengan cara yang sama seperti yang
terjadi pada Akal Pertama.
3. Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Saturnus (Zuhal),
juga beserta jiwanya.
4. Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara)
beserta jiwanya.
5. Dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Mariiah)
beserta jiwanya.
6. Dari Akal Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (as-Syams)
beserta jiwanya.
7. Dari Akal Ketujuh keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus (az-
Zuharah) juga beserta jiwanya.
8. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet Mercurius
(‘Utarid) beserta jiwanya pula.
9. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar).
10. Akal Kesepuluh, karena daya akal ini sudah lemah, maka ia tidak dapat
lagi menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh
dan materi pertama yang menjadi dasar keempat unsur pokok: air, udara,
api dan tanah. Akal Kesepuluh ini disebut Akal Fa’al (akal aktif)
atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang
mengurusi kehidupan bumi.
19

Akal-akal dan planet-planet itu terpancar secara berurutan dalam waktu


yang sama. Hal ini dapat terjadi karena dalam Allah berpikir tentang diri-Nya,
seperti yang disebutkan, menghasilkan daya atau energi.

Kalau pada Allah hanya terdapat satu objek pemikiran, yakni zat-Nya,
sedangkan pada akal-akal terdapat 2 objek pemikiran: Allah dan akal-akal.

Demikianlah, maka jumlah akal ada 10, 9 di antaranya untuk mengurus


benda-benda langit yang sembilan, dan akal kesepuluh, yaitu akal bulan,
mengawasi dan mengurusi kehidupan di bumi. Akal-akal tersebut tidak berbeda,
tetapi merupakan pikiran selamanya.

Emanasi al-Farabi ini jelas cangkokan doktrin Plotinus yang


dikombinasikan dengan sistem kosmologi Ptalomeus sehingga menimbulkan
kesan bahwa al-Farabi hanya mengalihbahasakan dari bahasa sebelumnya ke
dalam bahasa Arab.

2.12 Kritik Iqbal Terhadap Argumen-argumen Klasik Tentang Adanya

Tuhan

Tuhan bagi Iqbal tidak mampu didekati melalui pengalaman rasional


ataupun empiris. Akal hanya mampu sebatas mengetahui Tuhan, akan tetapi
pengetahuan tersebut tidak mampu membawa manusia pada kepercayaan akan
keberadaan Tuhan. Tuhan hanya mampu didekati dan dipahami melalui
keyakinan, suatu keyakinan yang rasional. Pengetahuan tentang keberadaan
Tuhan yang hanya didasarkan pada rasio atau indrawi semata tidaklah
sepenuhnya memuaskan.

Pada hakikatnya akal dan indra memiliki keterbatasan dan kesanggupan


untuk menang- kap realitas keberadaan Tuhan. Kesimpulan yang didapat
berdasarkan rasio dan indra hanya sebatas spekulasi-spekulasi dan angan-
angan belaka, tidak membawa kepada kepastian dan keyakinan. Hal tersebut
hanya akan membawa manusia pada keraguan semata, di mana hanya akan
membawa manusia pada keinginan untuk menemukan sesuatu yang lebih dan
lebih lagi dari apa yang telah dibuktikan, sehingga apabila mereka ingin
mengetahui keberadaan Tuhan, maka akal mereka tidak akan sampai pada
pembuktian dan kesimpulan akhir mengenai Tuhan. Kepastian akan keberadaan
Tuhan muncul bukan dari pikiran ataupun indra, melainkan dari kehidupan,
20

bahwa hubungan erat dengan Tuhan hanya mampu dicapai melalui hubungan
harmonis, atau cinta. Dan cinta hanya muncul dari intuisi bukan dari akal ataupun
indra.

Pembuktikan keberadaaan Tuhan Iqbal lebih menekankan kepada


melihat ke dalam diri kita sendiri dan bukan melalui segala sesuatu yang berasal
dari luar diri. Menurutnya, Tuhan menjelmakan sifat-sifatNya bukan di alam ini
tetapi pada pribadi-pribadi. Sehingga, jika manusia ingin mendekati Tuhan berarti
ia harus terlebih dahulu menumbuhkan sifat- sifatNya dalam diri.

1. Pengalaman religius bersifat langsung. Kelangsungan pengalaman


mistis/religius adalah kita akan secara langsung mengenal Keberadaan
Tuhan seperti di saat kita mengenal obyek-obyek lain yang kita kenali
dengan indra ataupun dengan akal. Tuhan dalam hal ini bukanlah suatu
kesatuan matematis yang dapat dihitung dan juga tak dapat digambarkan
di dalam akal, tetapi diamati dan diresapi secara mendalam di dalam hati
sehingga apa yang tersembunyi dalam kemutlakanNya tersingkap dan
pada akhirnya akan tampak jelas.

2. Keseluruhan dari pengalaman religius tidak dapat dianalisis. Dalam hal


ini, keadaan mistik manusia, betapapun hebat pengalaman yang ia
dapatkan, hal tersebut tidak dapat dianalisis. Hanya yang mengalaminya
saja yang mampu untuk memahami dan menangkap Realitas Kebenaran
tersebut. Keadaan mistik tersebut mampu membawa manusia menyatu
dengan Hakikat secara keseluruhan. Sehingga keduanya menjadi satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan bahkan tidak mampu untuk
dianalisis serta tidak ada lagi perbedaan antara subyek dan obyek.13

3. Bagi seorang mistikus, pengalaman religius membawa diri manusia akrab


dengan suatu Diri Yang Unik yang mampu meliputi dan menguasai
personalitas diri sendiri dari subyek pengalaman. Manusia dianggap telah
mengetahui keberadaan Tuhan apabila mereka yakin akan realitas diri
sendiri, karena pengalaman intuisi tidaklah mampu dibuktikan baik secara
pragmatis ataupun rasionalis. Al-Qur‟ān memberikan penjelasan
mengenai hal tersebut yang artinya:
21

Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka


(jawablah)bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintahKu) dan hendaklah mereka
beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

4. Pengalaman religius tidak dapat dikomunikasikan. Keadaan-keadaan


mistik yang dialami lebih bersifat intuitif daripada rasional. Mistikus hanya
mampu untuk menceritakan pengalaman tersebut dalam bentuk
ketentuan-ketentuan, akan tetapi mereka tidak mampu menjelaskan
esensi dari pengalaman religius tersebut. Hal ini dikarenakan karena pada
hakikatnya, substansi dari intuisi yang tidak dapat dipahami, tidak akan
mampu dijamah oleh akal yang berpikir. Akan tetapi, ia memiliki suatu
unsur pengenal, di mana unsur pengenal tersebut menjelmakan diri
menjadi ekspresi/bentuk pikiran. Namun di antara keduanya memiliki
kesamaan dalam segi non-temporal dan temporal dari pengalaman batin
manusia.

Demikianlah kita akan melihat bahwasanya itu berasal dari sebuah


perasaan. Di mana, di dalam sejarah keberagamaan, perasaan itu tidak hanya
diam pada satu perasaan saja, tetapi selalu bergerak mengikuti yang metafisika.
Hubungan antara intuisi dan akal itu mampu memberikan penerangan dan solusi
pada pertikaian dalam agama tentang metafisika. Intuisi mencari jalan untuk
menentukan nasibnya dalam bentuk pikiran, yang hanya cenderung
mengembangkan dirinya sendiri. Bukan sebuah metafor saja jika dikatakan
bahwa pikiran dan kata-kata itu adalah keduanya serentak terbit dari rahim
perasaan.

Relasi antara kaum mistik dengan keabadian yang memberikan kesan


bahwa waktu berturut-turut tidaklah benar adanya. Pengalaman religius itu tidak
berlangsung berturut-turut, akan tetapi lambat laun akan lenyap walaupun ia
meninggalkan pengaruh terhadap jiwa manusia mistikus ataupun nabi akan
kembali ke taraf biasa setelah ia mengalami kejadian mistik itu, akan tetapi ia
mendapatkan hikmah dan pengetahuan yang tak kunjung habis baginya. Oleh
karena itu meskipun pengalaman mistik itu sama benarnya dengan pengalaman
manusia di bidang lain, akan tetapi hal ini tidak dapat diabaikan, karena ia tidak
22

dapat diulangi kembali jejaknya oleh indra ataupun akal. Pengalaman mistik
memiliki nilai keilahian yang dapat diterima secara rasional.

Pengalaman religius merupakan jalan murni yang diciptakan oleh


manusia untuk menemukan hakikat dari Kebenaran yang bersifat metafisik dan
tidak terjangkau oleh akal. Iqbal berpendapat:

Pengalaman religius itu bukanlah pengetahuan alam ataupun kimia


yang hendak mencari suatu penjelasan mengenai sebab akibat
terjadi alam semesta akan tetapi pengalaman religius ini hendak
menafsirkan kebenaran dan mencapai arti yang sebenar-benarnya
mengenai keberadaan Tuhan.
23

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan dengan penjelasan yang telah diuraikan pada bab


sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :

Ajaran filsafat pada dasarnya adalah hasil pemikiran seseorang atau


beberapa orang ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Perbedaan-
perbedaan cara dalam meng-approach suatu masalah akan melahirkan
kesimpulan-kesimpulan yang berbeda-beda tentang masalah yang sama.
Perbedaan-perbedaan itu dapat juga disebabkan latar belakang pribadi para ahli
tersebut, di samping pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu
tempat. Kenyataan-kenyataan itu melatar belakangi perbedaan-perbedaan tiap-
tiap pokok suatu ajaran filsafat. Dan oleh penelitian para ahli kemudian, ajaran
filsafat tersebut disusun dalam satu sistematika dengan kategori tertentu.
Klasifikasi inilah yang melahirkan apa yang kita kenal sebagai suatu aliran
(sistem) suatu ajaran filsafat. Suatu ajaran filsafat dapat pula sebagai produk
suatu zaman, produk suatu cultural and social matrix. Dengan demikian suatu
ajaran filsafat dapat merupakan reaksi dan aksi atas sesuatu realita di dalam
kehidupan manusia. Filsafat dapat berbentuk cita-cita, idealisme yang secara
radikal berhasrat meninggalkan suatu pola kehidupan tertentu.

1. Aliran rasionalisme memandang bahwa akal pikiran atau rasio adalah


sebagai daasar pengetahuan manusia.
2. Aliran emparisme memandang bahwa pengetahuan ini bukanlah ada
pada kita, akan tetapi ada diluar diri kita, dan datang kepada kita melalui
3. Aliran Materialisme menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada,
tanpa menjadi subyek..
4. Aliran kritisisme menolak rasionalisme dan empirisme bahwa rasio tidak
mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan,
demikian pula pengalaman, tidak dapat dijadikan melului tolak ukur,
karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata, tapi “tidak-real”,
yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran.
24

5. Aliran positivisme memandang bahwa pengetahuan ini lebih memberi


tekanan pada fakta, kepada bukti- bukti yang konkrit ke sesuatu yang
diverifikasi.
6. Aliran Eksistensialisme adalah filsafat pemberontakan, terpusat pada
individu melawan ide Pencerahan Eropa dengan tekanannya pada sistem
dan rasionalitas artinya manusia melawan individual melawan dunia,
masyarakat, lembaga, dan cara berpikir.
25

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M., Maguwoharjo, & Sulaiman. (2009). Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Ar-
Ruzz Media.

Anis, C., &, Imam, G. (2009). Filsafat Ilmu. Semarang: Purbayu Budi Santosa.

Bagus, L. (2002). Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Fadil, S.J. (2008). Pasng Surut Filsafat Dalam Lintas Sejarah. Malang: UIN-
Malang Press.

Hamka. (2015). Filsafat Hidup. Jakarta: Republik.

Hamka. (2015). Filsafat Modern. Jakarta: Republik.

Jerome, R. R. (2004). Filsafat Ilmu, Yokyakarta, Pustaka Belajar.

Rudi, Sugeng, & Muzki. (2014). Madilog Tanmalaka. Yogyakarta: Narasi.

Soejono, S. (2015). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Susanto, &, Edi. (2017). Filsafat Kontemporer. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai