BERBAGAI PENGETAHUAN YANG TIDAK MEMILIKI KADAR ILMIAH DISEBUT SEBAGAI PSEUDOSAINS. APA YANG DIMAKSUD DENGAN PSEUDOSAINS? PSEUDOSAINS ADALAH METODOLOGI, KEYAKINAN, ATAU PRAKTIK TERTENTU YANG DIKLAIM SEBAGAI ILMIAH, ATAU YANG DIBUAT SEBEGITU RUPA SEHINGGA TAMPAK ILMIAH, TETAPI YANG TIDAK MEWARISI SUATU METODOLOGI ILMIAH TERTENTU YANG TEPAT, TIDAK DIDUKUNG OLEH BUKTI-BUKTI YANG MEMADAI, ATAU YANG PENGETAHUAN AKAN REALITAS TIDAK MEMILIKI STATUS ILMIAH. PROTOSAINS ADALAH SUATU BIDANG STUDI YANG TAMPAK SEJALAN DENGAN FASE AWAL METODE ILMIAH DENGAN PENGUMPULAN INFORMASI DAN FORMULASI HIPOTESIS, TETAPI MELIBATKAN SPEKULASI BAHWA BIDANG TERSEBUT BELUM DIBUKTIKAN SECARA EKSPERIMEN MAUPUN BELUM DIVERIFIKASI ATAU DITERIMA BERDASARKAN KONSENSUS ILMUWAN. PROTOSAINS DIBEDAKAN DENGAN BERBAGAI BENTUK SPEKULASI LAIN KARENA PEMBENTUKANNYA DIUPAYAKAN UNTUK TETAP SEJALAN DENGAN SEMUA BIDANG RISET ILMIAH YANG BERHUBUNGAN LAINNYA UNTUK DAPAT DIBUKTIKAN SESEGERA MUNGKIN. demarkasi sains dan non-sains dari sudut pandang sosiologi pengetahuan. Bagi Feyerabend, upaya menarik demarkasi antara sains dan non-sains bukan hanya mustahil tetapi juga tidak diharapkan. Dia berpendapat bahwa di antara berbagai isu yang menyebabkan penarikan demarkasi ini menjadi sesuatu yang sulit dilaksanakan adalah bahwa baik teori maupun metodologi ilmu mengalami perubahan atau berevolusi dalam derajat yang berbeda sebagai tanggapan ilmu terhadap munculnya data baru. Karena itu, standar spesifik tertentu yang bisa diaplikasikan dalam ranah keilmuan tertentu mungkin saja tidak bisa diterapkan dalam ranah keilmuan lainnya. Demarkasi / pembatasan antara sains dan pseudosains adalah terletak pada penyelidikan dan pembuktian. 4 karakter yang bisa dikemukakan mengenai pseudosains, yakni sebagai berikut : 1. Penggunaan klaim-klaim kosong (tak-berdasar), dibesarbesarkan, atau yang tak teruji. 2. Ketergantungan berlebihan pada penegasan (konfirmasi) daripada refutasi (refutation). 3. Kurang memiliki keterbukaan kepada pengujian oleh ilmuwan lain. 4. Kurang mengalami kemajuan atau perkembangan dalam perkembangan sebuah teori. Paul DeHart Hurd (1905–2001), mengatakan bahwa bagian dari mencapai keadaan melek ilmiah (scientific literacy) adalah kemampuan menceritakan atau membedakan sains dari yang non-sains. Bagi dia, astrologi, perdukunan (quackery), okultisme, dan penyembahan berhala bukanlah sains, meskipun mereka menawarkan pengetahuan mengenai realitas yang sepintas kelihatannya ilmiah. Paul Feyerabend (1924–1994), seorang filsuf ilmu yang mengatakan bahwa adalah hal yang tidak realistis dan sia- sia untuk mempertahankan pandangan bahwa ilmu pengetahuan berkembang atau bertumbuh menurut aturan-aturan tetap tertentu yang sifatnya universal. Dalam arti itu, Feyerabend sebetulnya menolak batas antara sains dan pseudosains. Karl Popper (1902–1994), seorang filsuf ilmu dari Wina menulis bahwa ilmu pengetahuan tidak luput dari kesalahan (bahkan sering keliru) dan bahwa pseudosains dapat berbenturan dengan kebenaran, tetapi yang kemudian membedakan mereka adalah metode induktif dari ilmu pengetahuan itu sendiri, yang berangkat dari observasi atau eksperimen, dan bahwa teori-teori yang dihasilkan bisa difalsifikasi. Dalam arti itu, bagi Popper, batas antara sains dan bukan sains sebetulnya mudah ditentukan, yakni sejauh mana mereka bisa difalsifikasi (dibuktikan sebagai salah). Ada 6 indikator yang sebenarnya mendeskripsikan aspek-aspek yang tidak termasuk ranah ilmu pengetahuan. Keenam indikator tersebut berturut-turut adalah sebagai berikut. Indikator 1: menggunakan klaim-klaim yang kabur, berlebihan, dan tidak bisa diuji. Indikator 2: ketergantungan yang berlebihan pada konfirmasi dibandingkan dengan ketergantungan pada pembuktian kesalahan (refutation). Indikator 3: kurang keterbukaan kepada pengujian oleh para ahli lain. Indikator 4: Tidak adanya kemajuan. Indikator 5: mempersonalisasi isu. Indikator 6: menggunakan bahasa yang menyesatkan. Adakah Batas Sains-Bukan Sains? Tidak mudah menentukan secara analitis demarkasi antara sains dan non- sains, bahkan setelah lebih dari satu abad para filsuf dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu mendiskusikannya. Tetap saja sulit mencapai kata sepakat mengenai hal ini. Meskipun demikian, ada semacam kesepakatan bersama bahwa konsep pseudosains terletak pada pemahaman bahwa metodologi ilmiah telah diaplikasikan secara keliru di mana teori yang sedang berlaku menjadi rujukannya. Meskipun demikian, banyak filsuf ilmu membela posisi yang mengatakan bahwa metode-metode ilmiah yang beraneka ragam dipertahankan dan dipakai sebagai metode yang sesuai berhadapan dengan berbagai bidang keilmuan yang berbeda dan beragam zaman sejarah manusia. Paul Feyerabend, misalnya, mempersoalkan apakah suatu demarkasi yang bermakna dapat ditarik antara pseudosains, sains “sungguhan”, dan apa yang dia sendiri istilahkan sebagai “protosains”, terutama ketika ada kultur yang signifikan dan distansi historis. ada juga yang dikategorikan sebagai protosains seperti praktik-praktik kultural, tradisional, atau kuno seperti akupuntur dan pengobatan tradicional Cina yang secara prinsip tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah modern, tetapi yang tidak bisa dikategorikan sebagai pseudosains karena para pendukungnya tidak mengklaim praktik-praktik tersebut sebagai ilmiah menurut standar ilmiah modern dari metodologi ilmiah. Larry Laudan mengusulkan bahwa pseudosains tidak memiliki makna ilmiah dan umumnya digunakan untuk mendeskripsikan emosi-emosi kita. Tulis Laudan, “Jika kita mau berdiri dan berpihak pada sisi nalar, maka kita harus mengeluarkan term-term seperti ‘pseudo-sains’ dan ‘tidak-ilmiah’ dari kosa kata kita. Kata-kata seperti ini tidak lebih dari frasa semu yang hanya menimbulkan kesan emotif pada kesadaran kita.” Bab 4 Mendefinisikan Ilmu Pengetahuan Pengertian sains Kata sains (ilmu pengetahuan) berasal dari kata Bahasa Latin scientia, yang artinya “pengetahuan” (knowledge), yakni bangunan atau susunan sistematis yang membentuk dan mengatur pengetahuan yang tersusun dalam penjelasan-penjelasan yang bisa diuji dan diprediksi mengenai alam semesta. Dalam pengertiannya yang lebih tradisional, “sains” juga merujuk kepada badan atau bangun pengetahuan itu sendiri, yakni jenis pengetahuan yang dapat dijelaskan secara rasional dan dapat diaplikasikan. Mereka yang mempraktikkan ilmu pengetahuan disebut ilmuwan. (abad ke-16), kata “sains” dan “filsafat alam” sering digunakan secara bergantian. Orang menggunakan kata sains untuk menyebut filsafat alam dan sebaliknya. Memasuki abad ke-17, filsafat alam (natural philosophy) yang sekarang disebut sebagai ilmu pengetahuan alam (natural science) diperlakukan sebagai cabang yang terpisah – atau memisahkan diri – dari cabang filsafat. Buku karya Isaac Newton berjudul Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1687), misalnya, diterjemahkan sebagai “Prinsip-prinsip Matematika dari Filsafat Alam”, dan ini menunjukkan kecenderungan penggunaan kata “filsafat alam (natural philosophy) sebagai “studi sistematis mengenai alam”. Di zaman modern, sains umumnya digunakan untuk merujuk kepada upaya mencari dan mendapatkan pengetahuan, jadi tidak semata-mata pengetahuan itu sendiri. Francis Bacon (1561–1626) adalah filsuf dan ilmuwan yang pertama kali menggagas dan memberi pemahaman mengenai sains dalam artinya yang lebih modern. Menurut Bacon, dalam kerja ilmiah, para ilmuwan memulainya dengan : 1) mengumpulkan data-data yang bisa diobservasi, jadi merupakan data konkret. Data-data ini harus bebas dari berbagai prasangka, tidak memiliki preferensi apa pun sebelum terjadinya penyelidikan ilmiah, bahkan juga harus bebas dari berbagai prasangka filosofis dan agama. (2) Ilmuwan kemudian mengolah data-data yang telah terkumpul tersebut secara ilmiah dalam arti bebas dari berbagai prasangka. (3) data-data tersebut diolah secara induktif untuk mendapatkan generalisasi dan prinsip- prinsip penjelas yang dapat digunakan untuk menjelaskan data-data konkret yang diamati dan dikumpulkan tersebut. Kedudukan data empiris, objektivitas dan rasionalitas sains dalam kerja ilmu pengetahuan data empiris, ilmu pengetahuan di abad 21 ini tidak lagi memahaminya secara sangat positivistik, bahwa realitas harus bisa diamati dan dikuantifikasi. Pemikiran empirisme ditolak karena memutlakkan hal-hal yang empirik sebagai satu-satunya kenyataan yang bisa diselidiki sains. Berhadapan dengan data-data empiris, misalnya, sering sains memberi penjelasan yang tuntas dan cepat, tetapi tidak jarang juga sains tampak gagap berhadapan dengannya. Dalam hubungan dengan pengembangan sebuah teori ilmiah, yakni apa yang mereka sebut sebagai “teori-teori besar” (maxi-theories) dan teoriteori kecil (mini-theories). Dengan “teori besar”, para ilmuwan maksudkan sebagai program atau tradisi riset. Di sini, teori yang dikembangkan bersifat masih sangat luas, yang di dalamnya para ilmuwan menjalankan praktik ilmu pengetahuan sehari-hari. Ketika sebuah riset mulai dijalankan, para ilmuwan tidak lagi mengoperasikan “teori besar”, tetapi “teori kecil” yang lebih spesifik persis ketika mereka menghadapi fenomena-fenomena yang sifatnya sangat khas. Dalam arti itu, fakta atau fenomena alam tidak bisa dipertahankan sebagai yang bersifat homogen. objektivitas. Tampaknya tidak ada jaminan bahwa objektivitas selalu bisa dicapai oleh para ilmuwan. Konsekuensinya, observasi terhadap fenomena alam tidak lagi bersifat netral sebagaimana yang dibayangkan sebelumnya. Ketika membicarakan pemahaman Thomas Kuhn mengenai ilmu pengetahuan di bab lain buku ini, tema ini masih akan didiskusikan secara mendalam. Sehubungan dengan masalah objektivitas, cukup dikatakan di sini bahwa putusan dan generalisasi atas berbagai fenomena alam pascaaplikasi sebuah teori tidak bisa lagi dilepaskan dari latar belakang keyakinan sang ilmuwan, termasuk juga komitmen dan tanggung jawab yang dimiliki oleh ilmuwan tersebut. rasionalitas ilmu pengetahuan? Para ilmuwan di abad 17, misalnya, berpendapat bahwa rasionalitas ilmu pengetahuan ditandai oleh prosedur keilmuan yang ketat dan kaku, dan bahwa asal mentaati saja rasionalitas keilmuan semacam itu, para ilmuwan niscaya akan mencapai tujuan yang mereka citacitakan. Dan bahwa rasionalitas ilmiah bersifat lintas waktu. Dimensidimensi lain seperti perasaan, latar belakang dan nilai yang dihayati sang ilmuwan, sistem keyakinan, pandangan dunia, dan semacamnya adalah hal-hal yang tidak bisa dimasukkan ke dalam sains, karena hanya akan merendahkan rasionalitas sains itu sendiri. Dewasa ini, para ilmuwan tetap berpegang teguh pada keyakinan bahwa sains memang rasional, tetapi rasionalitasnya tidak lagi bersifat kaku. Rasionalitas sains masih nyata dalam bagaimana sains dikembangkan untuk memahami dan menjelaskan berbagai fenomena alam. Meskipun demikian, pilihan teori atau cara menjelaskan fakta dapat berbeda dari satu ilmuwan ke ilmuwan lainnya, bahkan mereka berasal dari komunitas ilmiah yang sama. Lagi-lagi perbedaan semacam ini hanya bisa dipahami jika kita berpihak pada rasionalitas sains yang tidak bersifat kaku dan rigid sebagaimana yang berkembang dalam abad 21 ini. Aspek-aspek dan Pengandaian Ilmu Pengetahuan 1. sains adalah sebuah disiplin. Sebagai sebuah disiplin, sains bersifat sistematis dan komprehensif karena memiliki dan mengoperasikan metodologi tertentu, menjawab pertanyaan tertentu yang diajukan secara tepat berhadapan dengan berbagai gejala alam, terus mengembangkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, menerima jawaban-jawaban tersebut sebagai penjelas, dan selalu terbuka untuk terus memperbaikinya. Meskipun demikian, harus dikatakan bahwa tidak semua disiplin ilmiah dapat disebut sebagai sains. 2. sains mempelajari hal-hal material dan realitas yang benar- benar terjadi. Dalam arti itu, sains harus bersifat objektif. Penegasan semacam ini dimaksud untuk membedakan sains dari cabang atau disiplin keilmuan lain seperti filsafat yang memang juga mempelajari hal-hal yang bersifat teoretis, tetapi dengan perhatian yang khusus pada fenomena-fenomena non-material (abstraksi atas materi). Demikian pula disiplin lainnya seperti teologi atau sastra yang memang berbeda dengan ilmu pengetahuan. Aspek materialitas sains ini juga nyata dalam bagaimana sains menjelaskan fenomena. Penjelasan-penjelasan sains seharusnya bersifat “natural” dalam arti memiliki relasi yang ketat dengan data-data empiris. 3. Rationalitas adalah Dimensi ini dikedepankan untuk membedakan sains dari disiplin lainnya yang juga bersifat rasional, misalnya matematika, tetapi pada dirinya tidak bisa disebut sebagai sains. Cabang- Cabang Ilmu Pengetahuan : ilmu pengetahuan sosial yang khusus mempelajari perilaku manusia dan masyarakat, dan ilmu pengetahuan alam yang khusus mempelajari fenomena atau gejala alam (termasuk di dalamnya adalah kehidupan makhluk-makhluk hidup). Baik ilmu pengetahuan sosial maupun ilmu alam sama-sama disebut sebagai ilmu-ilmu empirik, artinya pengetahuan yang dihasilkan oleh kedua jenis ilmu ini harus didasarkan pada fenomena-fenomena yang dapat diobservasi, harus dapat diuji untuk memastikan validitasnya oleh ilmuwan lainnya. Selain ilmu-ilmu empiris itu (ilmu sosial dan ilmu alam), masih terdapat pula ilmu-ilmu lain seperti matematika dan logika yang menggunakan a priori (bukan data-data faktual) dalam pengembangan keilmuannya. Jika ilmu sosial dan ilmu alam disebut sebagai ilmu-ilmu fundamental, maka ilmu-ilmu formal seperti matematika dan logika disebut sebagai ilmu formal (formal science). Di luar kedua kategori ilmu tersebut (ilmu fundamental dan ilmu formal), terdapat ilmu terapan (applied science) seperti teknik dan kedokteran yang pengembangan keilmuannya memang diarahkan langsung kepada penerapannya dalam masyarakat. Alasan Mempelajari Ilmu Pengetahuan Ada dua perspektif tentang alasan mengapa mempelajari ilmu pengetahuan, yakni perspektif individu (pribadi) dan perspektif masyarakat. Itu berarti, pada level individu, orang memiliki alasan sendiri dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, yang bisa jadi sejalan atau sama dengan kepentingan masyarakat. Tetapi tidak jarang juga keduanya berbeda satu sama lain. Pada tataran individu, ada berbagai alasan mengapa seorang mau mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam banyak hal, para ilmuwan mengumpulkan berbagai informasi dengan maksud untuk menguji gagasan-gagasan yang baru, untuk melihat apakah gagasan tersebut terujikan atau tidak. Dengan cara inilah para ilmuwan kemudian dikenal sebagai orang-orang yang menemukan hal-hal baru yang kemudian mengubah cara berpikir yang sudah ada di masyarakat. Banyak ilmuwan menemukan kesenangan dan kebahagiaan terbesar mereka dalam menemukan dan menjelaskan berbagai gejala alam, apalagi penemuan itu tidak pernah ada sebelumnya. Pada tataran masyarakat, kita pun bertanya, mengapa negara atau masyarakat mengalokasikan dana yang begitu besar untuk pengembangan ilmu pengetahuan? Salah satu alasan kuat yang bisa kita temukan adalah bahwa semuanya ini dilakukan untuk memajukan dan menyejahterakan hidup masyarakat.