Anda di halaman 1dari 6

Kebenaran Ilmu Pengetahuan Melalui Filsafat

Maimunah
Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Jakarta

Ilmu pengetahuan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat modern saat ini. Perencanaan, pengaturan, penataran, dan penyelenggaraan kehidupan
didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan diperlukan untuk menemukan kebenaran
secara rasional (kritis, logis, dan sistematis), obyektif, mendalam, dan menyeluruh. Oleh karena
itu, Filsafat Ilmu Pengetahuan hadir untuk membahas berbagai macam yang berkenaan dengan
ilmu pengetahuan. Filsafat Ilmu Pengetahuan berusaha memperoleh pemahaman tentang ilmu
pengetahuan secara jelas, benar dan lengkap, serta mendasar untuk dapat menemukan kerangka
pokok serta unsur-unsur hakiki yang kiranya menjadi ciri khas dari ilmu pengetahuan yang
sebenarnya. Sehingga kita dapat menentukan identitas ilmu pengetahuan dengan benar, dapat
menentukan mana yang termasuk ilmu pengetahuan, dan mana yang tidak termasuk dalam lingkup
ilmu pengetahuan. Filsafat dengan pertanyaan-pertanyaannya yang rasional (kritis, logis,
sistematis), objektif, menyeluruh dan radikal berusaha membongkar pandangan-pandangan yang
dikemukakan begitu saja tanpa adanya penjelasan rasional, serta membongkar kebiasaan-
kebiasaan yang tidak memiliki orientasi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Filsafat membimbing manusia untuk berpikir secara komprehensif, radikal, dan rasional
yang membimbing manusia untuk terus bertanya dan berusaha mencari jawabannya (RaparL
1996). Filsafat Ilmu Pengetahuan tidak membahas ilmu pengetahuan atas perkiraan-perkiraan
yang ada pada subyek, melainkan langsung mengarah pada ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai
objeknya. Filsafat ilmu juga tidak membatasi pembahasannya dari satu segi saja namun secara
meluruh. Berdasarkan hal tersebut, ada tiga landasan yang digunakan untuk membahas secara
filosofis ilmu pengetahuan yaitu: landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landasan
aksiologis. Ketiga landasan ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang benar dan
menyeluruh tentang ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan dapat ditemukan melalui Filsafat ilmu pengetahuan dengan tiga landasan
utama yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu pengetahuan. Tiga penyangga tersebut
yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Pertama, Ontologi adalah teori tentang ada dan
realitas. Ontologi merupakan ilmu hakikat bagian dari metafisika yang mengadakan penyelidikan
terhadap sifat dan realitasnya. Ontologi juga mempelajari hakikat dan digunakan sebagai dasar
untuk memperoleh pengetahuan atau dengan kata lain menjawab tentang pertanyaan apakah
hakikat ilmu itu (Okasha: 2016).
Kedua, Epistemologi yang berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu
episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. jadi, Epistemologi adalah teori
tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Epistemologi dalam filsafat ilmu mempelajari
tentang sifat pengetahuan, termasuk sumber, sifat, batasan dan validitas pengetahuan. epistemologi
mencoba menjawab pertanyaan bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh, diperiksa dan digunakan.
mudahnya, epistemologi adalah cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Epistemologi juga
dapat didefinisikan sebagai cabang dari filsafat ilmu yang membahas tentang apa yang kita ketahui
dan bagaimana cara mengetahuinya. Sehingga epistemologi di sini mengkaji dan mencoba
menemukan ciri-ciri umum dan hakikat dari pengetahuan manusia, bagaimana pengetahuan itu
diperoleh dan diuji kebenarannya. Pokok bahasan epistemologi meliputi hakikat dan sumber
pengetahuan, metode memperoleh pengetahuan, dan kriteria kesahihan pengetahuan (Mufid:
2013) Ketiga, melalui aksiologi, kita mendapatkan ilmu pengetahuan melalui nilai-nilai atau
norma-norma ilmu pengetahuan tersebut dan aksiologi juga membahas tentang tujuan, manfaat,
dan penggunaan ilmu pengetahuan.
Pada landasan epistemologi, pengetahuan dapat diperoleh secara empiris yaitu berdasarkan
pengalaman dan pengamatan duniawi untuk mendapatkan pengetahuan diperlukan metode ilmiah.
Pengetahuan dapat disebut ilmu pengetahuan, jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat
tersebut tercantum dalam metode Ilmiah. Metode ilmiah sendiri merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu (Syampadzi : 2017). Metode ilmiah inilah yang
mengatur bagaimana cara pikiran bekerja. singkatnya metode ilmiah mengatur bagaimana
menggunakan penalaran pada sarana tertentu. ada beberapa alat yang digunakan sebagai sarana
dalam berfikir ilmiah yaitu Matematika, statistika dan bahasa. dari 3 sarana tersebut dapat
dikerucutkan menjadi metode kuantitatif (matematika dan statistika) dan kualitatif (Bahasa). Dua
metode ini bisa saling melengkapi satu sama lain. contoh, ketika Kualitatif mengatakan bahwa
pohon itu tinggi, maka kuantitatif bisa menjelaskan bahwa tingginya 25 Meter. Dua metode
tersebut (kuantitatif dan kualitatif), didapatkan 2 aliran utama dalam epistemologi yaitu
Positivisme sebagai bagian dari paradigma kuantitatif dan fenomenologi sebagai bagian dari
paradigma kualitatif. kedua aliran ini merupakan metode untuk memperoleh pengetahuan.
Positivisme pertama-tama digunakan oleh Saint Simon dan baru kemudian disebarkan oleh
Auguste Comte (1798-1857) dalam bukunya Cours de Philosophie Positivie (1830). Inti
pemikirannya adalah menolak segala pemikiran kefilsafatan yang spekulatif dan
teologis. Pemikiran Comte kemudian disebut dengan aliran filsafat positivisme yang menekankan
aspek faktual pengetahuan. Aliran positivisme yang berkembang pada abad 19 ini juga diartikan
dengan aliran filsafat yang meyakini bahwa ilmu-ilmu alam adalah satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar, sehingga studi filosofis atau metafisik akan ditolak dalam aliran ini.
Pemikiran August Comte sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dengan
isu utama yang dibawa oleh kaum positivisme ialah tentang metodologi.
Metodologi merupakan isu utama yang dibawa positivisme yang menitikberatkan
pada objek positif (faktual). Menurut Comte cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan
berdasarkan positivisme dapat dilakukan melalui observasi dan eksperimen (Nugroho:
2016). Pada positivisme, eksperimen dianggap sebagai metode penelitian yang paling ideal karena
dapat memberikan hasil yang lebih akurat dan terpercaya. Eksperimen juga dapat mengontrol
variabel-variabel yang tidak relevan sehingga peneliti lebih yakin terhadap hasil penelitiannya.
Akan tetapi, eksperimen dalam positivisme juga memiliki keterbatasan karena sulit dilakukan
terutama fenomena sosial yang kompleks dan menimbulkan efek Hawthorne (perubahan subjek
penelitian karena sadar menjadi objek).
Saat peneliti melakukan penelitian eksperimen, maka penalaran deduktif dibutuhkan.
Penalaran deduktif digunakan untuk menarik kesimpulan tentang fenomena sosial berdasarkan
teori atau hipotesis yang ada dengan menggunakan premis umum untuk menarik kesimpulan
khusus. Dalam eksperimen, penalaran deduktif digunakan untuk menguji hipotesis tentang
hubungan antara dua atau lebih variabel. Sedangkan dalam non eksperimen, penalaran deduktif
digunakan untuk menguji teori atau hipotesis tentang fenomena sosial yang tidak dapat
dimanipulasi. Penalaran deduktif dalam positivisme adalah proses berpikir yang menggunakan
premis-premis yang benar untuk menghasilkan kesimpulan yang benar. Dalam konteks verifikasi
pengujian hipotesis, penalaran deduktif digunakan untuk menarik kesimpulan tentang hubungan
antara dua atau lebih variabel berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskan.
Jika data mendukung hipotesis, maka hipotesis tersebut dapat diterima. Namun, jika data
tidak mendukung hipotesis, maka hipotesis tersebut harus ditolak. Dengan demikian, penalaran
deduktif dapat memverifikasi pengujian hipotesis diterima atau ditolak. Hal tersebut merupakan
verifikasi hipotesis yaitu pengujian kebenaran hipotesis dengan mengumpulkan data dan
menganalisisnya. Adapun dalam konteks kebenaran, penalaran deduktif dapat menghasilkan
kesimpulan yang benar jika premis-premisnya benar. Namun, perlu diingat bahwa kebenaran
dalam ilmu pengetahuan bersifat relatif. Konteks kebenaran juga dapat dimaknai sebagai kerangka
kerja untuk menentukan apakah hipotesis benar atau salah, dengan menggunakan beberapa
konteks kebenaran seperti teori kebenaran korespondensi, kebenaran pragmatis, dan kebenaran
koheren. Akan tetapi, teori kebenaran yang digunakan pada penelitian kuantitatif adalah teori
kebenaran koherensi yang mengatakan bahwa kebenaran adalah suatu proses atau keadaan yang
menunjukan keadaan yang runtut, masuk akal, dan saling berhubungan (Budisurtina: 2016).
Menurut tokoh filsuf Immanuel Kant, teori kebenaran koherensi dapat digunakan untuk menguji
kebenaran yang tidak mungkin teruji melalui ujian korespondensi, teori ini juga dapat menguji
pernyataan yang bersifat konseptual, dan normatif.
Dalam memperoleh ilmu pengetahuan, secara epistemologi pengetahuan dapat
menggunakan pendekatan kualitatif. Sugiyono (2016) menyatakan metode kualitatif dinamakan
metode baru karena popularitasnya belum lama. Metode kualitatif seringkali disebut metode
penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi alamiah (natural setting);
disebut juga sebagai metode etnografi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan
untuk penelitian bidang antropologi budaya; disebut sebagai metode kualitatif karena data yang
terkumpul dan analisisnya lebuh bersifat kualitatif.
Salah satu pendekatan penelitian kualitatif yang berfokus pada pengalaman subjektif
individu adalah fenomenologi. Melalui fenomenologi kita mendapatkan pengetahuan yang
mendalam. Fenomenologi adalah tanggapan yang sempurna terhadap positivisme, dengan
paradigma berpikir dan pendekatan yang berbeda dalam mengkonsepsikan realitas. Fenomenologi
menyediakan (provide) metode bagi para ilmuwan untuk melihat, mengkonsepsikan, serta
menjelaskan dunia, baik manusia sebagai subyek, dan fenomena alam dan sosial sebagai objek
secara lebih mendalam. (Sanusi: 2018), Fenomenologi juga didasarkan pada gagasan bahwa
pengalaman manusia bersifat unik dan tidak dapat dipenuhi sepenuhnya dengan menggunakan
metode kuantitatif.
Melalui fenomenologi, terdapat beberapa metode penelitian yang dapat digunakan untuk
menganalisis objek penelitian meliputi: 1) analisis isi, yaitu metode untuk menganalisis teks,
gambar, atau video untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya; 2) Introspektif, untuk
memahami pengalaman individu melalui refleksi diri; 3) Retrospektif, untuk memahami
pengalaman individu dengan melihat ke belakang; 4) Teori dasar, untuk mengembangkan teori
baru berdasarkan data kualitatif; 5) Studi kasus, untuk mempelajari fenomena sosial secara
mendalam pada satu unit atau kasus tertentu; 6) Etnografi, untuk mempelajari budaya suatu
kelompok. Metode-metode tersebut dilakukan karena dalam penelitian kualitatif objeknya adalah
human instrument, yaitu peneliti itu sendiri. Untuk dapat menjadi instrumen, maka peneliti harus
memiliki bekal teori dan wawasan yang luas sehingga mampu bertanya, menganalisis, memotret,
dan mengontruksi situasi sosial yang diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna. untuk mendapatkan
pemahaman yang luas dan mendalam terhadap situasi sosial yang diteliti, maka analisis data
dilakukan bersifat induktif berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan dan kemudian
dikonstruksikan menjadi hipotesis atau teori. (Sugiyono: 2016)
Hipotesis yang dirumuskan berdasarkan metode analisis data induktif yang telah dijelaskan
di atas dapat memiliki validitas yang tinggi jika hipotesis tersebut ditemukan dalam konteks yang
tepat. Pada fenomenologi, teori kebenaran korespondensi dapat digunakan untuk menilai
kebenaran hipotesis tersebut. Teori korespondensi adalah teori yang menyatakan bahwa
pernyataan benar jika pernyataan tersebut sesuai dengan kenyataan. Suatu pernyataan dianggap
benar, jika materi pengetahuan yang terkandung dalam kenyataan tersebut berhubungan atau
mempunyai korespondensi dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Selain menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, untuk memperoleh ilmu
pengetahuan peneliti dapat menggunakan metode campuran yang menggabungkan metode
kuantitatif dan kualitatif. Metode campuran ini bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari
kedua metode tersebut dan mengatasi keterbatasan masing-masing.
Pada metode penelitian campuran, terdapat dua metode yaitu apriori dan posteriori. Apriori berarti
“sebelum pengalaman” yang artinya sebuah pengetahuan tidak bergantung pada pengalaman
sebelumnya. Seperti ilmu matematika dan deduksi dari akal murni. Sedangkan posteriori berarti
“setelah pengalaman” artinya pengetahuan diperoleh melalui pengalaman. Seperti pengetahuan
tentang hukum alam dan sejarah. Pada metode campuran, apriori dan posteriori adalah urutan
pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif. Pada metode apriori, data kuantitatif dikumpulkan
terlebih dahulu, kemudian daya kualitatif dikumpulkan. Akan tetapi, pada metode campuran
posteriori, data kualitatif dikumpulkan terlebih dahulu, kemudian data kuantitatif.

Daftar Pustaka
Budisutrisna B. Komparasi Teori Kebenaran Mo Tzu Dan Pancasila: Relevansi Bagi
Pengembangan Ilmu Pengetahuan Di Indonesia. J Filsafat. 2016;26(1):1.
Kertayasa, Nyoman. (2011). Logika, Riset, Dan Kebenaran. Diterbitkan Pada Widyatech Jurnal
Sains Dan Teknologi Vol. 10 No. 3 April 2011
Nadilah, Siti. Dalam Pencarian Kebenaran Menggunakan Teori Koherensi. Dipublikasikan
Di Https://Mitrapalupi.Com/Dalam-Pencarian-Kebenaran-Menggunakan-Teori-Koherensi/
Nugroho, Irham. (2016). Positivisme Auguste Comte:Analisa Epistemologis Dan Nilai Etisnya
Terhadap Sains. Diterbitkan Pada Jurnal Cakrawala, Vol. Xi, No. 2, Desember 2016.
Siregar S. Pengertian Kebenaran. J Akunt Multiparadigma. 2016;7(1):81– 90.
Sugiyono. 2017. Metode Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta.
Suwardi Dan Ahmad Riyadh Maulidi. (2022). Diterbitkan Pada Jurnal Yaqzhan, Vol. 8, 01 Juni
2022.
Wahan, Paulus. (2016). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Diamond.

Anda mungkin juga menyukai