Anda di halaman 1dari 12

Agar dapat diuraikan proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah, perlu terlebih

dahulu diuraikan syarat-syarat ilmu pengetahuan ilmiah.


Menurut Karlina Supeli Laksono dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan (Epsitomologi)
pada Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 1998/1999, ilmu pengetahuan ilmiah harus
memenuhi tiga syarat, yaitu:
1) Sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai suatu
sistem.
2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka
untuk diteliti oleh orang lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
3) Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu mengandung kebenaran yang bersifat
universal, dengan kata lain dapat diterima oleh orang-orang lain/ahli-ahli lain. Tiga
syarat ilmu pengetahuan tersebut telah diuraikan secara lengkap pada sub bab di atas.

Pandangan ini sejalan dengan pandangan Parsudi Suparlan yang menyatakan bahwa
Metode Ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah.
Selanjutnya dinyatakan bahwa penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada
metode ilmiah. Sedangkan penelitian ilmiah harus dilakukan secara sistematik dan objektif
(Suparlan P., 1994). Penelitian ilmiah sebagai pelaksanaan metode ilmiah harus sestematik
dan objektif, sedang metode ilmiah merupakan suatu kerangka bagi terciptanya ilmu
pengetahuan ilmiah. Maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan juga mempersyaratkan
sistematik dan objektif.

Syarat-syarat ilmu
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab
sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu[4]. Sifat ilmiah
sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih
dahulu.
1. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang
sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat
bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji
objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek,
sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau
subjek penunjang penelitian.
2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan
terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara

tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani
Metodos yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang
digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek,
ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga
membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu
menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun
secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat
umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180. Karenanya
universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari
kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam
mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat
universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
1. Pengertian Ilmu
Apakah ilmu itu? Moh. Nazir, Ph.D (1983:9) mengemukakan bahwa ilmu tidak lain
dari suatu pengetahuan, baik natura atau pun sosial, yang sudah terorganisir serta
tersusun secara sistematik menurut kaidah umum. Sedangkan Ahmad Tafsir
(1992:15) memberikan batasan ilmu sebagai pengetahuan logis dan mempunyai
bukti empiris. Sementara itu, Sikun Pribadi (1972:1-2) merumuskan pengertian ilmu
secara lebih rinci (ia menyebutnya ilmu pengetahuan), bahwa :
Obyek ilmu pengetahuan ialah dunia fenomenal, dan metode pendekatannya
berdasarkan pengalaman (experience) dengan menggunakan berbagai cara seperti
observasi, eksperimen, survey, studi kasus, dan sebagainya. Pengalamanpengalaman itu diolah oleh fikiran atas dasar hukum logika yang tertib. Data yang
dikumpulkan diolah dengan cara analitis, induktif, kemudian ditentukan relasi
antara data-data, diantaranya relasi kausalitas. Konsepsi-konsepsi dan relasi-relasi
disusun menurut suatu sistem tertentu yang merupakan suatu keseluruhan yang
terintegratif. Keseluruhan integratif itu kita sebut ilmu pengetahuan.

Di lain pihak, Lorens Bagus (1996:307-308) mengemukakan bahwa ilmu


menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek (atau alam obyek) yang
sama dan saling keterkaitan secara logis.

Dari beberapa pengertian ilmu di atas dapat diperoleh gambaran bahwa pada
prinsipnya ilmu merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan
mensistematisasikan pengetahuan atau fakta yang berasal dari pengalaman dan

pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, dan dilanjutkan dengan pemikiran secara


cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode yang biasa dilakukan
dalam penelitian ilmiah (observasi, eksperimen, survai, studi kasus dan lain-lain)

2. Karakteristik Ilmu
Di samping memiliki syarat-syarat tertentu, ilmu memiliki pula karakteristik atau
sifat yang menjadi ciri hakiki ilmu. Randall dan Buchler mengemukakan beberapa
ciri umum ilmu, yaitu : (1) hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik
bersama, (2) Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan, dan
(3) obyektif tidak bergantung pada pemahaman secara pribadi. Pendapat senada
diajukan oleh Ralph Ross dan Enerst Van den Haag bahwa ilmu memiliki sifat-sifat
rasional, empiris, umum, dan akumulatif (Uyoh Sadulloh,1994:44).

Sementara, dari apa yang dikemukakan oleh Lorens Bagus (1996:307-308) tentang
pengertian ilmu dapat didentifikasi bahwa salah satu sifat ilmu adalah koheren
yakni tidak kontradiksi dengan kenyataan. Sedangkan berkenaan dengan metode
pengembangan ilmu, ilmu memiliki ciri-ciri dan sifat-sifat yang reliable, valid, dan
akurat. Artinya, usaha untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu dilakukan
melalui pengukuran dengan menggunakan alat ukur yang memiliki keterandalan
dan keabsahan yang tinggi, serta penarikan kesimpulan yang memiliki akurasi
dengan tingkat siginifikansi yang tinggi pula. Bahkan dapat memberikan daya
prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal

Sementara itu, Ismaun (2001) mengetengahkan sifat atau ciri-ciri ilmu sebagai
berikut : (1) obyektif; ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan
tidak berdasarkan pada emosional subyektif, (2) koheren; pernyataan/susunan ilmu
tidak kontradiksi dengan kenyataan; (3) reliable; produk dan cara-cara memperoleh
ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keterandalan (reabilitas) tinggi, (4)
valid; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan
tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi, baik secara internal maupun eksternal, (5)
memiliki generalisasi; suatu kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku umum, (6)
akurat; penarikan kesimpulan memiliki keakuratan (akurasi) yang tinggi, dan (7)
dapat melakukan prediksi; ilmu dapat memberikan daya prediksi atas
kemungkinan-kemungkinan suatu hal.

3. Syarat-Syarat Ilmu :
Suatu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu apabila dapat memenuhi
persyaratan-persyaratan, sebagai berikut
1. ilmu mensyaratkan adanya obyek yang diteliti, baik yang berhubungan
dengan alam (kosmologi) maupun tentang manusia (Biopsikososial). Ilmu
mensyaratkan adanya obyek yang diteliti. Lorens Bagus (1996) menjelaskan
bahwa dalam teori skolastik terdapat pembedaan antara obyek material dan
obyek formal. Obyek formal merupakan obyek konkret yang disimak ilmu.
Sedang obyek formal merupakan aspek khusus atau sudut pandang terhadap
ilmu. Yang mencirikan setiap ilmu adalah obyek formalnya. Sementara obyek
material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu lain.
2. ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu, yang di dalamnya berisi
pendekatan dan teknik tertentu. Metode ini dikenal dengan istilah metode
ilmiah. Dalam hal ini, Moh. Nazir, (1983:43) mengungkapkan bahwa metode
ilmiah boleh dikatakan merupakan suatu pengejaran terhadap kebenaran
yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu
adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka
metode ilimiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta
dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Almack (1939)
mengatakan bahwa metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip
logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran.
Sedangkan Ostle (1975) berpendapat bahwa metode ilmiah adalah
pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesutu interrelasi.
Selanjutnya pada bagian lain Moh. Nazir mengemukakan beberapa kriteria
metode ilmiah dalam perspektif penelitian kuantitatif, diantaranya: (a)
berdasarkan fakta, (b) bebas dari prasangka, (c) menggunakan prinsip-prinsip
analisa, (d) menggunakan hipotesa, (e) menggunakan ukuran obyektif dan
menggunakan teknik kuantifikasi. Belakangan ini berkembang pula metode
ilmiah dengan pendekatan kualitatif. Nasution (1996:9-12) mengemukakan
ciri-ciri metode ilimiah dalam penelitian kualitatif, diantaranya : (a) sumber
data ialah situasi yang wajar atau natural setting, (b) peneliti sebagai
instrumen penelitian, (c) sangat deskriptif, (d) mementingkan proses maupun
produk, (e) mencari makna, (f) mengutamakan data langsung, (g) triangulasi,
(h) menonjolkan rincian kontekstual, (h) subyek yang diteliti dipandang
berkedudukan sama dengan peneliti, (i) mengutama- kan perspektif emic, (j)
verifikasi, (k) sampling yang purposif, (l) menggunakan audit trail,

(m)partisipatipatif tanpa mengganggu, (n) mengadakan analisis sejak awal


penelitian, (o) disain penelitian tampil dalam proses penelitian.
3. Pokok permasalahan(subject matter atau focus of interest). ilmu
mensyaratkan adanya pokok permasalahan yang akan dikaji. Mengenai focus
of interest ini Husein Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat Islam di Yayasan Pendidikan
Islam Al-Jawad menjelaskan bahwa ketika masalah-masalah itu diangkat dan
dibedah dengan pisau ilmu maka masalah masalah yang sederhana tidak
menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang
mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi
sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa
ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan
dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam
cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul
perbedaan ideologi (Husein Al-Kaff, Filsafat Ilmu,)
Kata Kunci :

pengertian karakteristik,kriteria ilmu pengetahuan,ilmu bersifat akumulatif,makala logika dan


karakter,makna ilmu dalam kehidupan sesuai kriteria ilmu,pengertian kratristik,persyaratan
pengetahuan pendidikan,sifat dan karakter 7 2 1994,sifat ilmu pengetahuan objektif,syarat dan
ciri ilmu pengetahuan

Read more:

Pengertian Ilmu Pengetahuan dan Syarat Ilmu


Filed under: ilmu pengetahuan Tinggalkan komentar
30 November 2010
Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan
meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia . Segi-segi
ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan
membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.

Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi

merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan


teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji den gan seperangkat metode yang
diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia
berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah
produk dari epistemologi.
Contoh: Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang
bahani (materiil saja) atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika
membatasi lingkup pandangannya ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang kongkrit.
Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jauhnya
matahari dari bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi sesuai untuk menjadi
perawat.
Kata ilmu dalam bahasa Arab ilm yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam
kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan
ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan lain sebagainya.
Syarat-syarat ilmu
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang
mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut
sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu
alam yang telah ada lebih dahulu.
1. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang
sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat
bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji
objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan
karenanya disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau
subjek penunjang penelitian.
2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan
terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah

harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari
kata Yunani Metodos yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode
tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek,
ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga
membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu
menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun
secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat
umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180. Karenanya
universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari
kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam
mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat
universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
5. Sejarah sebagai ilmu
6. Sejarah dikatakan sebagai ilmu karena merupakan pengetahuan masa lampau yang
disusun secara sistematis dengan metode kajian secara ilmiah untuk mendapatkan
kebenaran mengenai peristiwa masa lampau.
7.
8. Menurut C.E. Berry, sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan, tidak kurang dan tidak lebih.
Adapun menurut York Powell, sejarah bukanlah hanya sekadar suatu cerita indah,
instruktif, dan mengasyikkan, tetapi merupakan cabang ilmu pengetahuan. Oleh karena
itu, sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan harus dibuktikan secara keilmuan dengan
menggunakan metode-metode dan berbagai standar ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Kebenaran itu dapat dibuktikan dari dokumen yang telah diuji
sehingga dapat dipercaya sebagai suatu fakta sejarah. Sejarah dianggap sebagai ilmu
sebab sejarah memiliki syarat-syarat ilmu, antara lain ada masalah yang menjadi objek,
ada metode, tersusun secara sistematis, menggunakan pemikiran yang rasional, dan
kebenaran bersifat objektif.
9.
10. Jika melihat hal tersebut, sejarah sebagai ilmu dapat memenuhinya, dikarenakan:
11. a. objek kajian sejarah ialah kejadian-kejadian di masa lalu yang merupakan sebab
akibat;
12. b. adanya metode sejarah yang menghubungkan bukti-bukti sejarah;
13. c. kisah sejarah tersusun secara sistematis dan kronologis;
14. d. kebenaran fakta diperoleh dari penelitian sumber yang disusun secara rasional dan
kritik (penilaian) yang sistematis;
15. e. fakta bersifat subjektif karena tiap orang melihat masa lampau dengan cara yang
berbeda. Kebenaran hanya "milik" peristiwa ini sendiri. Namun kebenaran fauna adalah
juga objektif, maksudnya kebenaran harus diakui oleh intersubjektivitas atau diakui oleh
banyak sejarawan dan masyarakat luas.
16.
17.

18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29. 1. Sejarah sebagai peristiwa
Sejarah sebagai peristiwa berarti suatu kejadian dimasa lampau yang sudah terjadi dan
sekali jadi, serta tidak bisa diulang. Peristiwa adalah kenyataan yang bersifat absolut dan
objektif. Karena kejadian itu benar-benar ada dan terjadi, maka peristiwa itu dianggap
sebagai kenyataan sejarah.
Semua yang terjadi pada masa lalu merupakan peristiwa atau kenyataan sejarah.
Kenyataan sejarah itu pada dasarnya objektif, artinya suatu kenyataan peristiwa yang
memang benar-benar terjadi. Peristiwa itu dapat kita ketahui melalui bukti-bukti yang
dapat menjadi saksi terhadap peristiwa itu.
Dalam sejarah, peristiwa itu terjadi diantaranya karena adanya hubungan sebab akibat,
baik yang bersifat internal maupun eksternal. Internal disebabkan fakor yang ada dalam
peristiwa itu sendiri, misalnya lahirnya pergerakan nasional di Indonesia pada awal abad
ke-20 disebabkan oleh lahirnya kaum terpelajar sebagai dampak dari politik pendidikan
yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda melalui politik etis. Sedangkan secara
eksternalnya pergerakan itu lahir disebabkan oleh kemenangan Jepang terhadap Rusia
1904 1905.
Peristiwa sejarah merupakan suatu perubahan kehidupan. Sejarah pada hakekatnya adalah
sebuah perubahan. Sejarah mempelajari aktifitas manusia dalam konteks waktu. Dengan
melihat aspek waktu akan terlihat perubahan dalam kehidupan manusia. Perubahan
kehidupan tersebut berupa aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Peristiwa sejarah terjadi dalam ruang yang beragam. Mulai dari yang lebih kecil sampai
yang lebih luas. Dalam ruang yang kecil peristiwa sejarah dapat terjadi pada sebuah
keluarga. Banyak hal yang bisa kita lihat tentang kehidupan keluarga. Peristiwa-peristiwa
penting dalam keluarga biasanya ditampilkan oleh tokoh biografi seseorang. Tokoh yang
ditulis akan menceritakan peristiwa apa saja yang terjadi pada keluarga dan dirinya.
Mulai dari peristiwa kelahiran, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, peristiwa pernikahan
dan peristiwa lainnya.
30.
31.
32.
33.

34.
35.
36.
37.
38. 2. Sejarah sebagai kisah
Sejarah sebagai kisah adalah hasil rekonstruksi dari suatu peristiwa oleh para sejarawan.
Untuk mewujudkan sejarah sebagai kisah diperlukan fakta-fakta yang diperoleh dari
sumber sejarah. Wujud sejarah sebagai kisah berupa tulisan atau buku-buku sejarah yang
dapat kita baca. Sejarah sebagai kisah dapat diulang-ulang, ditulis oleh siapa saja dan
kapan saja. Dalam bentuk kisah sejarah inilah peristiwa masa lalu dihadirkan sebagai data
sejarah. Sejarah sebagai kisah memiliki sifat subjektif.
Sejarah sebagai kisah berupa narasi yang disusun dari memori, kesan, atau tafsiran
manusia terhadap kejadian yang terjadi atau berlangsung pada masa lampau. Artinya,
sejarah bersifat serba subjek. Hal ini berbeda dengan sejarah sebagai peristiwa yang
bersifat objektif. Sejarah sebagai kisah dapat menjadi subjektif karena sejarah sebagai
kisah adalah sejarah sebagaimana dituturkan, diceritakan oleh seseorang. Satu peristiwa
yang sama jika dituturkan oleh dua orang atau lebih akan menghasilkan suatu penuturan
cerita yang berbeda. Karena setiap orang akan memberikan tafsiran yang berbeda tentang
peristiwa tersebut.
Sejarah sebagai kisah bersifat subjektif karena dipengaruhi oleh interpretasi yang
dilakukan oleh penulis. Subjektivitas tersebut terjadi lebih banyak disebabkan oleh
faktor-faktor kepribadian dari sipenulis atau penutur sejarah. Faktor-faktor tersebut
adalah :
1. Kepentingan dan nilai-nilai;
penulis sejarah memiliki kepentingan dalam menulis atau menuturkan sejarah.
Kepentingan itu bisa bersifat pribadi atau kelompok. Kepentingan pribadi akan banyak
ditonjolkan dalam sebuah biografi. Seorang tokoh secara pribadi ingin menunjukan
bahwa pribadinya mempunyai peran dalam sebuah peristiwa penting. Sedangkan
kepentingan kelompok bergantung kepada jenis kelompoknya. Nilai-nilai yang dimiliki
seorang penulis pun akan mempengaruhi penulisan atau penuturan sejarah. Nilai-nilai itu
berupa keyakinan yang bersumber dari agama atau moral etika, nasionalisme, dan lainlain.
2. Kelompok sosialnya;
Kelompok sosial maksudnya dilingkungan dimana ia bergaul dan berhubungan dengan
orang-orang yang pekerjaannya atau statusnya sama. Penulisan sejarah biasanya
dilakukan oleh ahli sejarah dan juga oleh penulis yang bukan sejarawan seperti wartawan,
kolumnis, guru, dan lain-lain. Perbedaan latar belakang kelompok sosial akan
memberikan perbedaan dalam penulisan sejarah.
3. Perbendaharaan pengetahuan;
Seberapa jauh pengetahuan yang dimiliki penulis atau penutur sejarah akan

mempengaruhi kisah sejarah. Pengetahuan yang dimaksud baik pengetahuan fakta


maupun pengetahuan dari ilmu pengetahuan. Bagi penulis atau penutur yang memiliki
wawasan yang luas akan mengkisahkan suatu peristiwa dengan jelas dan lengkap.
Seorang saksi yang langsung menyaksikan atau terlibat dalam suatu peristiwa akan
memiliki pengetahuan fakta yang lebih banyak dibanding dengan orang yang tidak
terlibat secara langsung, walaupun orang tersebut mengetahuinya. Pengetahuan yang
dimiliki oleh penulis sejarah akan mempengaruhi terhadap hasil tulisannya. Seorang
penulis yang memiliki sumber-sumber atau fakta sejarah yang banyak, maka ia akan
menampilkan suatu kisah sejarah yang lebih mendalam.
4. Kemampuan berbahasa;
Fakta yang ditemukan oleh penulis sejarah akan dikemukakan dalam bentuk bahasa.
Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi. Walaupun seseorang memiliki sumber dan
data yang lengkap, tetapi jika gaya bahasanya sulit dimengerti oleh pembacanya, maka
cerita sejarah itu akan terasa kering, tidak menarik.
5. Kemampuan berbahasa dalam menulis sejarah dapat berupa kemampuan berimajinasi,
yaitu bagaimana seorang penulis merekonstruksi fakta atau bukti-bukti sejarah yang
kemudian disusun dalam bentuk cerita sejarah yang dapat dibaca orang lain. Penulis
sejarah harus mampu menghidupkan masa lalu. Masa lalu akan menjadi hidup jika
seorang penulis mampu mengisahkan dengan gaya bahasa yang baik.
39. Contoh proklamasi 17 agustus ,perlawanan yg terjadi di Indonesia (diponegoro18251830)
40. Perlawanan aceh (1871-1904),perlawananbali (1846-1905)
41. Contoh sejarah sebagai kisah adalah kisah mengenai Sultan
42. Iskandar Muda dalam Hikayat Aceh. Dalam hikayat ini
43. diceritakan cukup detail mengenai masa kecil Iskandar Muda
44. hingga ia memerintah Kerajaan Aceh dengan cukup bijaksana.
45. Di sini kita melihat sosok positif dari sultan tersebut karena yang
46. menulis hikayat pun adalah orang dalam Aceh. Dengan demikian
47. sejarah sebagai kisah subjektif sifatnya. Contoh lain adalah kitabkitab
48. yang ditulis oleh para pujangga istana di Jawa seperti Negarakretagama, Pararaton,
49. Kidung Sundayana, Carita Parahyangan, dan lain-lain.

50.

contoh sejarah sebagai kisah perjuangan sutan

syahrir
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64. 4. Sejarah sebagai Seni
Sejarah dikatakan sebagai seni sebab dalam rangka penulisan sejarah, seorang penulis
memerlukan intuisi, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa.
Sejarawan memerlukan intuisi atau ilham, yaitu pemahaman langsung dan insting selama
masa penelitian berlangsung. Seringkali dalam rangka memilih suatu penjelasan
sejarawan juga memerlukan intuisi. Dalam hal ini cara kerja sejarawan sama dengan cara
kerja seorang seniman. Walaupun demikian dalam menuliskan hasil karyanya sejarawan
harus tetap berpijak kepada bukti dan data yang ada.
Seorang sejarawan harus dapat berimajinasi membayangkan apa yang sebenarnya terjadi
pada masa lampau. Misalnya dalam menuliskan cerita tentang perang Padri, ia harus
dapat membayangkan bagaimana keadaan alam daerah Minangkabau, kehidupan
masyarakatnya, adat istiadatnya sehingga dapat memahami mengapa didaerah tersebut
kemudian timbul perang saudara.

Dalam menulis sejarah, sejarawan dituntut untuk membawa si pembaca seolah-olah hadir
dan menyaksikan sendiri peristiwa sejarah. Dalam hal ini sejarawan haruslah mempunyai
emosi yang tinggi untuk menyatukan perasaan dengan objeknya. Sifat ini sangat penting
untuk mewariskan nilai-nilai perjuangan.
Penggunaan gaya bahasa juga diperlukan dalam penulisan sejarah. Gaya bahasa yang
baik, bukan berarti yang berbunga-bunga. Terkadang bahasa yang lugas lebih menarik.
Dalam tulisan sejarah, deskripsi itu seperti melukis naturalistis. Hal yang diperlukan
adalah kemampuan untuk menuliskan detil.
Seni satra dapat menyumbangkan karakteristik pada tulisan sejarah. Sejarawan harus bisa
menggambarkan watak manusia dalam descripsinya. Plot atau alur cerita diperlukan juga
dalam sejarah. Kisah yang berangkai, dari pendahuluan, inti cerita dan penutup akan
memberi nyawa pada kisah sejarah.
Tokoh penganjur sejarah sebagai seni adalah George Macauly Travelyan. Dikatakannyta
bahwa menulis sebuah kisah peristiwa sejarah tidak mudah karena memerlukan imajinasi
dan seni. Menulis sejarah merupakan seni, filsafat, polemik, dan dapat sebagai
propaganda. Dalam penulisan kisah sejarah, perlu menggunakan bahasa yang indah,
komunikatif, menarik, dan isinya mudah dimengerti. Oleh karena itu, diperlukan seni
dalam penulisannya. Seorang penulis sejarah harus bersedia menjadi ahli seni yang
menghidupkan kembali kisah kehidupan masa lampau untuk masa sekarang dan masa
yang akan datang. Dengan demikian, selain unsur ilmiah yang terdapat dalam sejarah,
juga terdapat unsur seni.

Anda mungkin juga menyukai