Anda di halaman 1dari 20

A.

Pengertian Metodologi

Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metodologi bisa diartikan ilmu
yang membicarakan tentang metode-metode. Kata metode berasal dari bahasa yunani
methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesdah) dan
kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri lalu berarti:
penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara
bertindak menurut sistem aturan tertentu.1

Pengertian metode berbeda dengan metodologi. Metode adalah suatu jalan,


petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis, sehingga memiliki sifat yang praktis.
Metode, menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu,
yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.Adapun metodologi disebut juga
science of methodos, yaitu ilmu yang membicarakan cara, jalan atau petunjuk praktis
dalam penelitian, sehingga metodologi penelitian membahas konsep teoritis berbagai
metode. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang
terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati termasuk dalam apa
yang dinamakan epistimologi. Epistimologi merupakan pembahasan mengenai
bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: Apakah sumber-sumber pengetahuan?
Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia
dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan
yang mungkin untuk ditangkap manusia?2

Dapat pula dikatakan bahwa metodologi ilmiah adalah membahas tentang


dasar-dasar filsafat ilmu dari metode penelitian, karena metodologi belum memiliki
langkah-langkah praktis, adapun derevasinya adalah pada metode penelitian. Bagi
ilmu-ilmu seperti sosiologi, antropologi, politik, komunikasi, ekonomi, hukum, serta

1Anton Bakker, 1994, hlm 10.


2
William S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, Realism of Philosophy (Cambridge, Mass:
Schenkman 1965), hlm. 3.
ilmu-ilmu kealaman, metodologi adalah merupakan dasar-dasar filsafat ilmu dari
suatu metode, atau dasar dari langkah praktis penelitian.

Jika dibandingkan antara metode dan metodologi, maka metodologi lebih


bersifat umum dan metode lebih bersifat khusus. Dengan kata lain dapat dipahami
bahwa metodologi bersangkutan dengan jenis, sifat dan bentuk umum mengenai
cara-cara, aturan dan patokan prosedur jalannya penyelidikan, yang mengambarkan
bagaimana ilmu pengetahuan harus bekerja. Adapun metode adalah cara kerja dan
langkah-langkah khusus penyelidikan secara sistematik menuut metodoogi itu, agar
tercapai suatu tujuan, yaitu kebenaran ilmiah.

B. Unsur-Unsur Metodologi

Unsur-unsur metodologi sebagaimana telah dirumuskan oleh Anton Bakker dan


Achmad Charris Zubair dalam buku Metodologi Penelitian Filsafat (1994)3, antara
lain dijelaskan sebagai berikut.

1. Interpretasi (menafsirkan)

Dalam pelaksanaan segala macam penelitian seorang peneliti akan


berhadapan dengan kenyataan. Dalam kenyataan itu dapat dibedakan beberapa
aspek. Bisa berbentuk fakta, yaitu suatu perbuatan atau kejadian-kejadian. Bisa
berbentuk data, yaitu pemberian, dalam wujud hal atau peristiwa yang disajikan; atau
pula dalam wujud sesuatu yang tercatat tentang hal, peristiwa, atau kenyataan lain
yang mengandung pengetahuan untuk dijadikan dasar keterangan selanjutnya.
Mungkin juga kenyataan berbentuk gejala, yaitu sesuatu yang tampak sebagai tanda
adanya peristiwa atau kejadian. Ketiga aspek tersebut akan mendapat titik berat yang
berbeda menurut masing-masing disiplin ilmu.

Interpretasi artinya menafsirkan, membuat tafsiran, tetapi yang tidak bersifat


subjektif (menurut selera orang menafsirkan) melainkan harus bertumpu pada

3
Ibid, hlm. 91.
evidensi objektif untuk mencapai kebenaran yang autentik. Dengan interprestasi ini
diharapkan manusia dapat memperoleh pengertian, pemahaman, atau Verstehen 4.
Pada dasarnya interprestasi berarti tercapainya pemahaman yang benar mengeni
ekspresi manusiawi yang dipelajari. Menurut Ricoeur fakta atau produk itu dibaca
sebagai suatu naskah. Pemahaman seperti itu terjadi, jikalau misalnya ada
pemahaman mengenai:

a. Bahasa bukan sekedar sebagai bunyi-bunyian, tetapi sebagai komunikasi;


kursi tidak semata-mata sebagai objek yang terbuat dari kayu, melainkan
sebagai kedudukan social;
b. Tarian tidak hanya sebagai gerak yang bersifat biotik, tetapi sebagai
bagian dalam upacara ritual;
c. Kurban tidak hanya sebagai pembakaran benda, atau penyembelihan
binatang, tetapi sebagai tanda penyerahan.

Unsur interpretasi ini merupakan landasan bagi metode hermeneutika. Dalam


interpretasi itu memuat hubungan-hubungan atau lingkaran-lingkaran yang beraneka
ragam, yang merupakan satuan unsur-unsur metodis. Unsur-unsur itu menunjukkan
dan menjamin, bahwa interpretasi bukan semata-mata merupakan kegiatan
manasuka, menurut selera orang yang mengadakan interpretasi, melainkan bertumpu
pada evidensi objektif , dan mencapai kebenaran otentik.

2. Deduksi dan Induksi

Dikatakan oleh Beerling, bahwa setiap ilmu terdapat penggunaan metode


induksi dan deduksi, menurut pengertian siklus empiris. Siklus empiris meliputi
bebrapa tahapan, yakni observasi, induksi, deduksi, kajian (eksperimentasi) dan
evaluasi. Tahapan itu pada dasarnya tidak berlaku secara berturut-turut melainkan

4
Istilah Verstehen diajukan oleh Wilhelm Dilthey sebagai metode yang digunakan untuk
mendekati produk-produk budaya, yakni menemukan dan memahami makna di dalamnya
yang dapat dilakukan dengan menempatkannya dalam konteks.
terjadi sekaligus. Akan tetapi, siklus ini diberi bentuk tersendiri dalam penelitian
filsafat, berhubungan dengan sifat-sifat objek formal yang istimewa, yaitu manusia.

a. Metode Deduktif
Aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai
dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui
akal saja yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak,
yaitu syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Sedangkan pengalaman
hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran pengetahuan yang telah
diperoleh melalui akal. Akal tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan yang benar, karena akal dapat menurunkan kebenaran itu dari dirinya
sendiri, dengan menerapkan metode deduktif.

Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah


dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap
dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan
pengetahuan yang telah ada. Dengan demikian maka ilmu merupakan tubuh
pengetahuan yang tersusun dan terorganisasikan dengan baik sebab penemuan yang
tidak teratur dapat diibaratkan sebagai “rumah atau batu-bata yang bercerai-berai”5
Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang
rasional kepada obyek yang berada dalam focus penelahaan.

Penjelasan yang bersifat rasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi


tidak memberikan kesimpulan yang bersifat final. Sebab sesuai dengan hakikat
rasionalisme yang bersifat pluralistic, maka dimungkinkan disusunnya berbagai
penjelasan terhadap suatu obyek pemikiran tertentu. Meskipun argumentasi secara
rasional didasarkan kepada premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya
namun dimungkinkan pula pilihan yang berbeda dari sejumlah premis ilmiah yang

5
Morris Kline, “The Meaning of Mathematics”, Adventures of The Mind (New York: Vintage,
1961).
tersedia yang dipergunakan dalam penyusunan argumentasi. Oleh sebab itu maka
dipergunakan pula berpikir induktif yang berdasarkan kriteria kebenaran
korespondensi.

b. Metode Induktif

Pemikiran empiris yang dikemukakan oleh Bacon menyatakan bahwa


manusia melalui pengalamannya dapat mengetahui benda-benda dan hukumhukum
relasi antar benda-benda. Sedangkan Hume mengemukakan sumber ilmu
pengetahuan adalah pengalaman, dengan pengamatan manusia memperoleh kesan-
kesan (impression) dan pengertian-pengertian (ideas). Pemikiran induktif
mempunyai proposisi a posteriori, sintetik yang berarti tidak dapat diuji
kebenarannya hanya dengan analitis pernyataan tapi harus diuji secara empiris. Teori
empirikal berdasarkan atas eksperimentasi. Eksperimen ilmiah telah menunjukkan
bahwa indera adalah yang memberikan persepsipersepsi yang menghasilkan
konsepsi-konsepsi manusia. Berpikir secara induktif dianggap lebih luwes
dibandingkan dengan deduktif karena menggunakan data-data empirik yang tidak
dipatok oleh pola apapun, dan berdasar data-data empiriklah kemudian disusun suatu
model yang menggambarkan hubungan sebab-akibat. Kaum empiris
mengembangkan pengamatannya dari pengalaman itu menjadi pengetahuan yang
cakupannya lebih luas dan umum. Namun demikian induktif ini juga mempunyai
kelemahan yang fundamental yaitu orang harus menunnggu terkumpulnya sejumlah
fakta untuk menentukan suatu pola yang tampak pada seseorang dari alam
empiris,dan apabila terjadi kesalahan dalam melakukan perumusan akan merugikan
berbagai pihak.

Namun juga harus diperhatikan bahwa eksperimen manusia, secara umum


tidak dapat membuka jalan untuk mendapatkan kesimpulan-kesimpulan dan realitas-
realitas tanpa pengetahuan-pengetahuan sebelumnya. Sehingga penggabungan antara
metode deduktif dengan induktiflah yang paling tepat, dalam rangka mencari
kebenaran ilmiah. Metode ilmiah mencoba menggabungkan berpikir deduktif dengan
berpikir induktif dalam membangun pengetahuannya. Argumentasi rasional meski
didasarkan pada premis ilmiah yang teruji kebenarannya mungkin saja terjadi
kesalahan dalam penyusunan argumentasi, sehingga untuk menghindari kesalahan
tersebut perlu dipergunakan metode induktif yang didasarkan pada kebenaran
korespondensi.

Secara umum dapat dikatakan bahwa pandangan-pandangan Bacon bersifat


praktis, konkret, dan utilitaris. Untuk mengenal sifat-sifat segala sesuatu, dibutuhkan
penelitian-penelitian yang empiris. Pengalamanlah yang menjadi dasar pengetahuan.
Pengetahuan itu sangat penting dan sangat diperlukan oleh manusia karena hanya
dengan pengetahuanlah manusia sanggup menaklukka alam kodrat.

Menurut Bacon, logika silogistis tradisional tidak sanggup menghasilkan


penemuan-penemuan empiris. Ia mengatakan bahwa logika silogistis tradisional
hanya dapat membantu mewujudka konsekuensi deduktif dari apa yang sebenarnya
telah diketahui. Agar pengetahuan itu berkembang dan memperoleh pengetahuan
baru, metode deduktif harus ditinggalkan dan diganti dengan metode induktif.

Metode induktif adalah penarikan kesimpulan dari hal-hal khusus ke halhal


yang umum. Bacon memang bukan penemu metode induktif, namun ia berupaya
memperbaiki dan menyempurnakan metode itu melalui pengkombinasian metode
induktif tradisional dengan eksperimentasi yang cermat.

3. Koherensi Intern

Yaitu usaha untuk memahami secara benar guna memperoleh hakikat dengan
menunjukkan semua unsur structural dilihat dalam suatu struktur yang konsisten,
sehingga benar-benar merupakan internal structure atau internal relations . walaupun
mungkin terdapat semacam oposisi di antaranya, tetapi unsur-unsur itu tidak boleh
bertentangan satu sama lain. Dengan demikian akan terjadi suatu lingkaran
pemahaman antara hakikat menurut keseluruhannya dari suatu pihak dan unsur-
unsurnya dipihak lain.
Koherensi merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta,
dan ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang
dihubungkannya. Ada beberapa penanda koherensi yang digunakan dalam penelitian
ini, diantaranya penambahan (aditif), rentetan (seri), keseluruhan ke sebagian, kelas
ke anggota, penekanan, perbandingan (komparasi), pertentangan (kontras), hasil
(simpulan), contoh (misal), kesejajaran (paralel), tempat (lokasi), dan waktu (kala).
4. Holistika

Holistika merupakan corak khas dan suatu ‘kelebihan’ dalam konsepsi


filosofis, sebab justru filsafat berupaya mencapai kebenaran yang utuh. Dalam
penelitian filsafat ini subjek yang menjadi objek studi tidak hanya dilihat secara
atomistis, yaitu secara terisolasi dari lingkungannya, melainkan ditinjau dalam
interaksi dengan seluruh kenyataannya.6

Tinjauan secara lebih dalam untuk mencapai suatu kebenaran secara utuh.
Objek dilihat interaksi dengan seluruh kenyataannya. Identitas objek akan terlihat
bila ada korelasi dan komunikasi dengan lingkungnnya. Objek (manusia) hanya
dapat dipahami dengan mengamati seluruh kenyataan dalam hubungannya dengan
manusia, dan manusia sendiri dalam hubungannya dengan segalanya yang mencakup
hubungan aksi-reaksi sesuai dengan tema zamannya.

Maka terjadi lagi suatu lingkaran hermeunitis, yaitu antara objek penelitian
dan cakrawalanya. Penelitian filsafat harus mengupayakan menangkap interaksi
antara keunikan dan otonomi objeknya dan konteks universal lingkungan hidup dan
sejarah yang luas. Manusia dalam hakikatnya tidak bisa dipisahkan atau diisolasikan
dari yang lain. Kalau mereka dilawankan, maka perlawanan itupun berarti:
hubungan.

6
Ricoeur, A Whole, 1982, hlm. 14.
Pandangan menyeluruh ini juga dapat disebut totalitas; semua dipandang
dalam kesinambungannya dalam suatu totalitas. Whitehead mempergunakan kata
pikiran organis. Husserl bicara mengenai Aussenhorizont: fenomena harus dilihat
dalam cakrawalanya. Hakikat atau eidos, menurut Husserl, tidak hanya meliputi inti
dan sifat-sifat pokok, melainkan juga semua relasi-relasi transcendental dengan yang
lain. Descartes bicara tentang discours; tidak ada kebenaran terisolasi, melainkan
setiap pemahaman dihubungkan dalam suatu pembicaraan menyeluruh.

5. Kesinambungan Historis

Jika ditinjau menurut perkembangannya, manusia itu adalah makhluk


historis. Manusia disebut demikian karena ia berkembang dalam pengalaman dan
pikiran, bersama dengan lingkungan zamannya. Masing-masing orang bergerumul
dalam relasi dengan dunianya untuk membentuk nasib sekaligus nasibnya dibentuk
oleh mereka. Dalam perkembangan pribadi itu harus dapat dipahami melalui suatu
proses kesinambungan. Rangkaian kegiatan dan peristiwa dalam kehidupan setiap
orang merupakan mata rantai yang tidak terputus. Yang baru masih berlandaskan
yang dahulu, tetapi yang lama juga mendapatkan arti dan relevansi baru dalam
perkembangaan yang lebih kemudian.

Justru dalam hubungan mata rantai itulah harkat manusia yang unik dapat
diselami. Misalnya dalam kesinambungan itu peneliti berusaha memahami Friedrich
Nietzsche, yang begitu menantang agama dan Tuhan, dan yang dengan tubuh lemah
dan sakit-sakitan mampu melawan nasib dengan pikiran-pikiran penuh keberanian.
Atau dalam rantai itu dicoba dipahami, mengapa Jean-Paul Sartre melihat hidup
manusia sebagai suatu konflik yang tak putus-putus, dengan berusaha membuat
orang lain menjadi objeknya, atau sebaliknya diobjekkan sendiri.7

7
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, hlm. 92.
6. Idealisasi

Idealisasi merupakan proses untuk membuat ideal, artinya upaya dalam


penelitian untuk memperoleh hasil yang ideal atau sempurna.

7. Komparasi

Adalah usaha untuk memperbandingkan sifat hakikat dalam objek penelitian


sehingga dapat menjadi lebih jelas dan lebih tajam. Justru perbandingan itu dapat
menentukan secara tegas kesamaan dan perbedaan sesuatu sehingga hakikat objek
dapat dipahami dengan semakin murni. Komparasi dapat diadakan dengan objek lain
yang sangat dekat dan serupa dengan objek utama. Dengan perbandingan itu,
meminimalkan perbedaan yan masih ada, banyak ditemukan kategori dan sifat yang
berlaku bagi jenis yang bersangkutan. Komparasi juga dapat diadakan dengan objek
lain yang sangat berbeda dan jauh dari objek utama. Dalam perbandingan itu
dimaksimalkan perbedaan-perbedaan yang berlaku untuk dua objek, namun skaligus
dapat ditemukan beberapa persamaan ang mungkin sangat strategies.

8. Heuristika

Heuristik berasal dari kata Yunani, heuriskein, artinya menemukan.


Heuristik, maksudnya adalah tahap untuk mencari, menemukan, dan mengumpulkan
sumber-sumber berbagai data agar dapat mengetahui segala bentuk peristiwa atau
kejadian sejarah masa lampau yang relevan dengan topik/judul penelitian.

Untuk melacak sumber tersebut, sejarawan harus dapat mencari di berbagai


dokumen baik melalui metode kepustakaan atau arsip nasional. Sejarawan dapat juga
mengunjungi situs sejarah atau melakukan wawancara untuk melengkapi data
sehingga diperoleh data yang baik dan lengkap, serta dapat menunjang terwujudnya
sejarah yang mendekati kebenaran. Masa lampau yang begitu banyak periode dan
banyak bagian-bagiannya (seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya) memiliki
sumber data yang juga beraneka ragam sehingga perlu adanya klasifikasi data dari
banyaknya sumber tersebut.

Dokumen-dokumen yang berhasil dihimpun merupakan data yang sangat


berharga Dokumen dapat menjadi dasar untuk menelusuri peristiwa-peristiwa sejarah
yang telah terjadi pada masa lampau. Menurut sifatnya ada dua, yaitu sumber primer
dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber yang dibuat pada saat peristiwa
terjadi, seperti dokumen laporan kolonial. Sumber primer dibuat oleh tangan
pertama, sementara sumber sekunder merupakan sumber yang menggunakan sumber
primer sebagai sumber utamanya. Jadi, dibuat oleh tangan atau pihak kedua.
Contohnya, buku, skripsi, dan tesis.

9. Analogi

Berbicara mengenai analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan.
Dua hal yang berlainan tersebut dibandingkan. Jika dalam perbandingan itu hanya
diperhatikan persamaannya saja tanpa melihat perbedaannya, maka timbullah
analogi, yakni persamaan di antara dua hal yang berbeda.

Analogi merupakan salah satu teknik dalam proses penalaran induktif.


Sehinggga analogi kadang-kadang disebut juga sebagai analogi induktif, yaitu proses
penalaran dari satu fenomena lain yang sejenis kemudian disimpulkan bahwa apa
yang berjadi pada fenomena yang pertama akan terjadi juga pada fenomena yang
lain.8 Persamaan hanya terdapat pada anggapan orang saja. Ini dalam kesusastraan
disebut sebagai metafora. Oleh karena orang yakin bahwa sebetulnya memang hanya
anggapan saja, kerap kali dipakai kata seakan-akan atau seolah-olah. Yang demikian
ini bukanlah analogi sebenarnya, hanya seolaholah. Bisa dikatakan analogi jika
pengertian itu menunjuk perbandingan dalam realitas.9

8
Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 57.
9
R. Poedjawijatna, Logika Filsafat Berfikir, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 40.
10. Deskripsi

Seluruh hasil penelitian harus dapat dideskripsikan. Data yang dieksplisitkan


memungkinkan dapat dipahami secara mantap.

C. Metodologi Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan diambil dari kata science, yang berasal dari bahasa latin
scienta dari bentuk kata scire yang berarti mempelajari atau mengetahui. Ilmu adalah
rangkaian aktivitas manusia rasional dan konegtif dengan metode berupa aneka dan
prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang
sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk
tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan,
ataupun melakukan penerapan.

The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas
penelaahanyang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman
secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan seluruh
pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang dimengerti
manusia.10

Ilmu pengetahuan selalu dicirikan sebagai suatu metode. Sebagai suatu metode,
ilmu pengetahuan haruslah memiliki serangklaian proses cara kerja dan langkah-
langkah tertentu yang mewujudkan model penyelidikan ilmiah tertentu dan tetap.
Rangkaian cara kerja tersebut dalam prosedur keilmiahan disebut sebagai metode
ilmiah (scientific method) atau metodologi keilmuawan. Selain sebagai sebuah
proses kerja, metode harus menjadi semacam pola berfikir atau penunjuk jalan bagi
seorang ilmuwan.

Seorang ilmuwan akan bekerja dengan hasil yang memuaskan dalam


penelitiannya apabila telah menentukan dengan tepat metode apa yang akan

10
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, 2007, hlm. 55.
digunakannya. Sebagai contoh, seseorang sedang meneliti suatu ritual yang
dilakukan oleh masyarakat Tengger, maka ia harus menguasai metode dan teknik
wawancara secara mendalam (depth interview) agar mendapatkan data lengkap
terkait penelitiannya. Metode yang dilakukannya itu merupakan salah satu bagian
dari metode yang sifatnya kualitatif.

Dengan demikian, kegiatan ilmiah tidak hanya ditandai dengan aktivitas dan
kreativitas seorang ilmuwan tapi juga ditandai dengan ciri metode ilmiah atau
metodologi ilmu. Metodologi ilmu sangatlah penting dalam proses kegiatan ilmiah.
Tanpa metodologi ilmu proses kerja ilmu tidak dapat bekerja dengan baik.

Dalam arti luas metodologi dipahami sebagai suatu analisis dan penyusunan
asas-asas, cara, atau proses yang mengatur penelitian ilmiah pada umumnya serta
pelaksanaannya dalam ilmu pengetahuan. Dalam kegiatan tersebut terdapat
hubungan yang sangat erat antara subjek dan (peneliti) dan objek yang ditelitinya.

Metodologi ilmu memberikan pemahaman filosofis tentang hakikat suatu ilmu


(masalah kebenaran, objektivitas dan struktur ilmu), sedangkan metode penelitian
mengajak seorang peneliti paham dengan teknik penelitian (menggunakan instrumen
tertentu, misalnya wawancara, kuesioner, eksperimen dan sebagainya) dan langkah-
langkah kerja (mampu melakukan dengan baik dan cermat hal-hal yang berkaitan
dengan observasi, data hipotesis, teori dan sebagainya serta sanggup membuat suatu
rancangan penelitian untuk kegiatan penelitiannya).

Penyebutan metodologi ilmu atau metodologi ilmu pengetahuan lebih


diarahkan pada context of justification yang sangat erat kaitannya dengan filsafat
ilmu pengetahuan. Mengapa? Karena pembahasan kegiatan ilmu berkaitan dengan
konsep berfikir atau pola berfikir tentang asas-asas atau paradigma yang memayungi
suatu proses kegiatan ilmiah atau struktur suatu pengetahuan yang sedang ditelitinya.

Beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam metodologi ilmu adalah:


1. Unsur umum yang dimiliki si subjek.
2. Unsur metode penelitian atau teknik penelitian yang telah dimiliki oleh
seorang ilmuwan.
3. Kemampuan seorang peneliti atau si subjek dalm melihat suatu situasi
ilmiah dengan benar.

Adapun unsur metode penelitian atau teknik penelitian yang telah


dimiliki oleh seorang ilmuwan berupa kemampuan untuk:

1. Melakukan identifikasi dan menentukan problem atau hipotesis.


2. Merumuskan suatu konsep.
3. Mampu melakukan klasifikasi.
4. Mampu melakukan komparatif dan dapat memberikan pembuktian secara
verifikasi ataupun falsifikasi.

D. Susunan Ilmu Pengetahuan

Dalam buku What is Science karya Archei J. Bahm di dalam bukunya


Muhammad Muslih bahwa secara umum membicarakan enam komponen dari
rancang bangun ilmu pengetahuan, artinya dengan enam komponen itu, sesuatu itu
bisa disebut ilmu pengetahuan, yaitu:11

1. Adanya masalah (problem)

Dalam persoalan ini, Archei J. Bahm menjelaskan bahwa tidak semua


masalah menunjukkan ciri keilmiahan. Suatu masalah disebut masalah ilmiah jika
memenuhi ‘persyaratan’, yaitu bahwa masalah itu merupakan masalah yang dihadapi
dengan sikap dan metode ilmiah; Masalah yang terus mencari solusi; Masalah yang
saling berhubungan dengan masalah dan solusi ilmiah lain secara sistematis (dan
lebih memadai dalam memberikan pemahaman yang lebih besar). Untuk itu ia
menawarkan, masalah yang dapat dikomunikasikan dan capable, yang disuguhkan

11
Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006, hlm. 142.
dengan sikap dan metode ilmiah sebagai ilmu pengetahuan awal, sudah pantas
dikatakan “masalah ilmiah” (scientific problem).

2. Adanya sikap ilmiah

Sikap ilmiah, menurut Bahm paling tidak, meliputi enam karakteristik pokok,
yaitu: keingintahuan, spekulasi, kemauan untuk objektif, kemauan utnuk
menangguhkan penilaian, dan kesementaraan.

Pertama, Keingintahuan;Yang dimaksud di sini adalah keingintahuan ilmiah,


yang bertujuan untuk memahami. Ia berkembang dan berjalan terus sebagai
perhatian bagi penyelidikan, penelitian, pengujian, eksplorasi, petualangan dan
eksperimentasi.

Kedua, Spekulatif yang penuh arti; Yaitu diawali dengan keingintahuan untuk
mencoba memecahkan semua masalah yang ditandai dengan beberapa usaha,
termasuk usaha untuk menemukan solusi, misalnya dengan mengusulkan satu
hipotesa atau lebih. Artinya, spekulasi adalah sesuatu hal yang disengaja dan berguna
untuk mengembangkan dan mencoba membuat berbagai hipotesa. Dengan demikian,
spekulasi merupakan karakteristik yang esensial dalam sikap ilmiah.

Ketiga, Kemauan untuk objektif di sini Archei J. Bahm menjelaskan bahwa


‘objektifitas’ adalah salah satu jenis sikap subjektif. Dalam arti bahwa objektifitas
bergantung kepada eksistensinya, tidak hanya eksistensi sebuah subyek, tetapi juga
atas kemauan subyek untuk memperoleh dan mengikuti sikap objektif, dalam arti
sifat untuk memahami sifat dasar objek itu sendiri, sejauh objek tersebut bisa
dipahami dengan cara ini.

Keempat, Keterbukaan. Maksud sikap ini menyangkut kemauan untuk


bersikap terbuka. Ini termasuk kemauan untuk mempertimbangkan semua saran yang
relevan dengan hipotesis, metodologi, dan bukti yang berhubungan dengan masalah
di mana seseorang bekerja. Sikap ini harus dibarengi dengan sikap toleran, dan
bahkan menerima ide-ide baru, termasuk, tidak saja ide yang berbeda dengan ide-
idenya, tetapi juga yang kontradiksi atu yang berseberangan dengan kesimpulan-
kesimpulannya.

Kelima, Kemauan, untuk menangguhkan penilain atau menunda keputusan.


Bila penyelidikan tentang suatu objek atau masalah tidak menghasilkan pemahaman
atau solusi yang diinginkan, maka seseorang tidak boleh menuntut jawaban yang
lebih dari apa yang ia peroleh. Sikap ilmiah menyangkut kemauan untuk
menangguhkan penilaian sampai bisa diperolehnya semua bukti yang diperlukan.

Keenam, Kesementaraan. Sikap kesementaraan akan selalu meragukan


validitas suatu hipotesa termasuk pengerjaannya, bahkan meragukan segala usaha
ilmiah termasuk bidang keahlian seseorang. Meskipun pengalaman perorangan dan
kelompok cenderung membenarkan keyakinan yang lebih kuat dan memandangnya
sebagai kesimpulan.

3. Menggunakan metode ilmiah

Sifat dasar metode ilmiah ini, menurut Archei J. Bahm harus dipandang
sebagai hipotesa untuk pengujian lebih lanjut. “Esensi ilmu pengetahuan adalah
metodenya”, sedang sisi yang lain, “Berkenaan dengan sifat dasar metode ilmiah.
Archei J. Bahm berpendapat bahwa metode ilmiah itu adalah satu sekaligus banyak;
dikatakan satu karena metode ilmiah, dalam penerapannya tidak ada persoalan,
sedang dikatakan banyak, karena pada kenyataannya terdapat banyak jalan, yaitu:

a. masing-masing ilmu mempunyai metodenya sendiri-sendiri, yang paling


cocok dengan jenis masalahnya sendiri.
b. Setiap masalah particular memerlukan metode uniknya sendiri.
c. Secara historis, para ilmuwan dalam bidang yang sama dalam waktu yang
berbeda, memakai metode yang sama sekali berbeda, lantaran berbeda
dalam perkembangan teoritis dan temuan teknologis.
d. Perkembangan yang cepat dalam banyak ilmu pengetahuan dan teknologi
yang semakin lama semakin saling bergantung dewasa ini, memerlukan
perkembangan berbagai metodologi baru yang cepat, berkenaan dengan
jenis masalah yang lebih ruwet dan dinamis.
e. Siapa saja yang concern pada metode ilmiah harus mengakui bahwa
metode ini mempunyai tahapan-tahapan yang membutuhkan metode yang
berbeda pada setiap tahapannya.

Secara lebih khusus, metode ilmiah meliputi lima langkah, yaitu 1)


Menyadari akan masalah; 2) Menguji masalah 3) Mengusulkan solusi 4) Menguji
usulan atau proposal; dan 5) Memecahkan masalah.

4. Adanya aktifitas

Ilmu pengetahuan adalah apa yang dikerjakan oleh para ilmuwan, yang
kemudian bisaa disebut dengan “riset ilmiah”. Riset demikian mempunyai dua aspek:
iindividu dan social.

Aspek Individu; Ilmu pengetahuan adalah suatu aktifitas yang dilaku-kan


oleh orang-orang khusus. Aspek Sosial; Aktivitas ilmiah mencakup lebih banyak dari
apa yang dikerjakan oleh para ilmuwan khusus.

5. Adanya kesimpulan

Ilmu pengetahuan adalah pengetuan yang dihasilkan. Makanya ilmu


pengetahuan sering dipahami sebagai kumpulan pengetahuan. Ide-ide adalah ilmu
pengetahuan itu sendiri. kesimpulan pemahaman yang dicapai sebagai hasil
pemecahan masalah—adalah tujuan ilmu pengetahuan. Kesimpulan adalah akhir atau
tujuan yang membenarkan sikap, metode, dan aktifitasnya sebagai caracara.
Kesimpulan adalah ilmu yang diselesaikan, bukan ilmu sebagai prospek atau dalam
proses.
6. Adanya pengaruh

Ilmu pengetahuan adalah apa yang digarap oleh ilmu pengetahuan. Bagian
apa yang digarap oleh ilmu pengetahuan tersebut, kemudian menimbulkan pengaruh
beraneka ragam, yang dapat dihubungkan pada dua hal, yaitu; a). Pengaruh ilmu
pengetahuan terhadap teknologi dan industri, yang disebut ilmu terapan. b). pengaruh
ilmu terhadap atau dalam masyarakat dan peradaban.

E. Langkah Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Nazir (1988) dalam buku Metode Penelitian, menyimpulkan bahwa penelitian


dengan menggunakan metode ilmiah, sekurang-kurangnya dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:

1. Merumuskan serta mendefinisikan masalah

Langkah pertama dalam meneliti adalah menetapkan masalah yang akan


dipecahkan. Untuk menghilangkan keragu-raguan, masalah tersebut didefinisikan
serta jelas. Sampai ke mana luas masalah yang akan dipecahkan.

2. Mengadakan studi kepustakaan

Langkah kedua adalah mencari data yang tersedia yang pernah ditulis peneliti
sebelumnya yang ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan. mencari
bahan di perpustakaan merupakan hal yang tak dapat dihindari oleh seorang peneliti.

3. Memformulasikan hipotesa

Merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang


diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang
dikembangkan.

4. Menentukan model untuk menguji hipotesa


Setelah hipotesa-hipotesa ditetapkan, langkah selanjutnya adalah
merumuskan cara-cara untuk menguji hipotesa tersebut. Pada ilmu-ilmu sosial yang
telah lebih berkembang, seperti ilmu ekonomi misalnya, pengujian hipotesa
didasarkan pada kerangka analisa (analytical framework) yang telah ditetapkan.
Model matematis dapat juga dibuat untuk mengrefleksikan hubungan antarfenomena
yang secara implisit terdapat dalam hipotesa, untuk diuji dengan teknik statistik yang
tersedia.

Pengujian hipotesa menghendaki data yang dikumpulkan untuk keperluan


tersebut. Data tersebut bisa saja data primer ataupun data sekunder yang akan
dikumpulkan oleh peneliti.

5. Mengumpulkan data

Peneliti memerlukan data untuk menguji hipotesa. Data tersebut yang


merupakan fakta yang digunakan untuk menguji hipotesis perlu dikumpulkan.

Teknik pengumpulan data akan menjadi berbeda tergantung dari masalah


yang dipilih serta metode yang digunakan. Misalnya, penelitian yang menggunakan
metode percobaan, maka data diperoleh dari plot-plot percobaan yang dibuat sendiri
oleh peneliti. Penelitian yang menggunakan metode sejarah ataupun survei normatif,
data diperoleh dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan kepada responden, baik
secara langsung ataupun dengan menggunakan questionair.

6. Menyusun, menganalisa, dan memberikan interpretasi

Setelah data terkumpul, peneliti menyusun data untuk mengadakan analisa.


Sebelum analisa dilakukan, data tersebut disusun lebih dahulu untuk mempermudah
analisa. Penyusunan data dapat dalam bentuk tabel ataupun membuat coding untuk
analisa dengan komputer. Sesudah data dianalisa, maka perlu diberikan tafsiran atau
interpretasi terhadap data tersebut.
7. Membuat generalisasi dan kesimpulan

Setelah tafsiran diberikan, maka peneliti membuat generalisasi dari


penemuan-penemuan, dan selanjutnya memberikan beberapa kesimpulan.
Kesimpulan dan generalisasi ini harus berkaitan dengan hipotesa. Apakah hipotesa
benar untuk diterima, ataukah hipotesa tersebut ditolak. Apakah hubungan-hubungan
antarfenomena yang diperoleh akan berlaku secara umum ataukah hanya berlaku
pada kondisi khususnya saja.

8. Membuat laporan ilmiah

Langkah akhir dari suatu penelitian ilmiah adalah membuat laporan ilmiah
tentang hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut. Penulisan secara ilmiah
mempunyai teknik tersendiri pula.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali:Dimensi Ontologi dan


Aksiologi. Pustaka Setia: Bandung.
Dani,Vardiansyah. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks:
Jakarta.
Dep.Dik.Bud. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka,
Jakarta.
Mustafa, H.A. 1997. Filsafat Islam, Pustaka Setia: Bandung.
Mustansyir, Rizal. 2006. Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
http://id.shvoong.com/socialsciences/education/2070
Suriasumantri, Jujun. 1998. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer,
Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
Surajiyo. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT Bumi Aksara: Jakarta. 2005

Anda mungkin juga menyukai