Anda di halaman 1dari 7

A.

6 Syarat Ilmu:
1. Hasil kerja para ilmuan yang memiliki 6 komponen yang saling terkait
a. Masalah
1) Syarat masalah ilmiah:
a) Bisa dikomunikasikan oleh banyak orang
masyarakat umum (relevan bagi kebutuhan
masyarakat umum).
b) Untuk menyelesaikannya dibutuhkan sikap ilmiah
dan metode ilmiah.
b. Sikap Ilmiah; objektif, kritis, rasa ingin tahu.
1) Syarat sikap ilmiah:
a) Rasa ingin tahu
b) Spekulatifness (mau mencoba)
c) Objektif; berdasarkan data/kenyataan/kebenaran
d) Mau menunda kesimpulan
e) Tentatif/sementara; kebenaran berkembang dan
tidak statis.
c. Metode untuk menjawab masalah
 Metode ilmiah adalah cara menyelesaikan masalah
ilmiah yang mana dalam tiap bidang ilmu memiliki
perbedaan masing-masing.
 Misalnya, jika di ilmu kedokteran maka metode yang
digunakan adalah empirisisme.
 Dalam ilmu matematika menggunakan metode
penghafalan.
 Tahapan umum bermetode ilmiah: kesadaran akan
masalah, menguji masalah melalui observasi, hipotesa
(dugaan ilmuan), uji hipotesis,
d. Aktivitas Ilmiah; dalam hal ilmu politik, aktivitas ilmiahnya
adalah membaca, menulis, mengamati, meneliti.
 Aktivitas individual: aktivitas ilmuan secara individual.
 Aktivitas sosial: melalui lembaga keilmuan.
e. Kesimpulan ilmiah
 Kesimpulan adalah jawaban atas masalah yang dikaji
oleh ilmuan.
f. Kontribusi/dampak/efek
 Dampak teoritis: dampak pengembangan ilmu
pengetahuan di masa depan.
 Dampak terapan: dampak praktis
BAB II
Catatan Struktur Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan

A. Sejarah
1. PK bukanlah paradigma baru, melainkan sudah dipraktikkan oleh filsuf-filsuf
Islam terdahulu, seperti Ibnu Sina, al-Kindi, dan al-Farabi. Mereka mempelajari
semua ilmu kemudian mengikatnya secara satu kesatuan dengan kesadaran tauhid.
2. Setelah runtuhnya peradaban Islam di baghdad pada abad ke-13, maka PK mengalami
kemunduran.
3. Karya-karya keilmuan muslim banyak dipelajari oleh Eropa Barat sebagai pijakan
riset selama 3 abad, sehingga muncullah peristiwa renaisans pada abad ke-15-16)
4. Sejak renaisans, paradigma keilmuan mengalami sekulerisasi sebagai perlawanan
terhadap hegemoni gereja Eropa.
5. Keilmuan barat mengalami pengembangan yang cukup pesat, tetapi setelah 500 tahun
berlalu, ilmu pengetahuan barat mulai digugat. Gugatan ini disebabkan oleh krisis
multidimensi yang membahayakan umat manusia. Ilmu humaniora, seperti filsafat,
cenderung mengadopsi worldview Barat sentris.
6. Fenomena krisis multidimensi ini mendorong berbagai pihak untuk kembali
menyatukan ilmu dan etika, sebagaiman yang dilakukan oleh para filsuf Islam di
masa lalu. Pemisahan antara ilmu dan etika cenderung menciptakan manusia yang
berkepribadian terbelah, yakni manusia yang terpisah antara jiwa dan fisiknya.
Padahal manusia terdiri dari jiwa dan fisik, sehingga jika keduanya dipisahkan, maka
hanya akan menjadikan manusia bukan manusia lagi.
7. Etika menurut agama Islam adalah berdasarkan wahyu. Wahyu diibaratkan sebagai
buku panduan pemiliki dari sebuah benda elektronik, sedangkan alam semesta adalah
benda elektronik tersebut. Ilmu pengetahuan barat cenderung langsung mempelajari
benda elektronik tanpa melihat buku panduan benda elektronik tersebut. Sementara,
ilmu pengetahuan Islam hanya membuka buku panduan benda elektronik. Akibatnya,
orang yang mempelajari benda elektronik akan lebih cepat menguasainya daripada
orang yang hanya mempelajari buku panduannya. Inilah yang terjadi sekarang
dimana ilmu pengetahuan barat sekuler lebih maju ketimbang ilmu pengetahuan
Islam yang teosentris. Oleh karena kita ingin memajukan ilmu pengetahuan Islam,
maka kita harus mempelajari keduanya, yakni ilmu pengetahuan dan wahyu.
8. Usaha memajukan ilmu pengetahuan Islam ini telah dilakukan oleh UIN Walisongo
lewat pengembangan suatu paradigma yang mengintegrasikan aspek keilmuan dan
aspek keagamaan. Paradigma ini dinamakan wahdat al-ulum. Paradigma ini
menegaskan bahwa semua ilmu pada dasarnya adalah satu kesatuan yang bersumber
dari Allah. Karenanya, semua ilmu mestinya dipelajari dengan tujuan mendekatkan
diri pada Allah.
9. Mempelajari semua ilmu membuat orang lebih kaya wawasan, dan karena itu para
filsuf muslim merupakan ilmuan ensiklopedis, yang menguasai banyak ilmu,
memandang semua ilmu sebagai satu kesatuan yang holistic.
10. Ada pula ilmuan modern barat yang memperjuangkan paradigma kesatuan ilmu,
yakni Otto Neurath yang kemudian dilanjutkan oleh Rudolph Carnap dan teman-
temannya dalam lingkaran Vina. Berbeda dengan paradigma kesatuan Ilmu yang
dikembangkan UIN, paradigma kesatuan ilmu Otto Neurath ini tak melibatkan
wahyu. Kesatuan Ilmu yang dimaksud oleh Otto Neurath adalah penyatuan
metodologi ilmu-ilmu kealaman dengan metodologi ilmu-ilmu humaniora.
Sedangkan, UIN Walisongo berparadigma kesatuan ilmu pengetahuan yang
menyatukan semua cabang ilmu berlandaskan wahyu sebagai pengikat.
B. Definisi
1. Kata paradigma pertama kali dipopulerkan oleh Thomas Kuhn. Menurutnya,
paradigma adalah seperangkat teori, metode, dan pegangan ilmiah yang disepakati
oleh para ilmuan sebagai pembeda dari komunitas ilmuan lain.
2. Kuhn berteori bahwa perkembangan sains tidaklah seperti pandangan-pandangan
tradisional yang beranggapan bahwa perkembangan sains bersifat evolusioner dan
gradual. Menurut Kuhn, perkembangan sains bersifat revolusioner, yakni sains
berkembang apabila paradigma lama tak mampu dalam menghadapi persoalan
sehingga menuntut adanya perubahan paradigma untuk menggantikan paradigma
lama yang bangkrut. Pergantian paradigma ini berlangsung secara dialektis, artinya
paradigma baru harus dapat mengalahkan paradigma lama lewat penelitian-penelitian
yang mumpuni.
3. Teori Kuhn tentang revolusi sains memiliki konteks sejarah. Tahap awal
perkembangan sains dimulai pada tahap pra-paradigma, yaitu sebuah era dimana
pengetahuan manusia belum memiliki paradigma ilmiah. Era ini disebut sebagai era
primitif. Namun, setelah manusia mengenal aktivitas ilmiah, barulah pada saat ini
dikatakan sebagai tahap paradigma. Proses sejarah paradigma muncul lewat
kompetisi antar komunitas ilmiah dengan teorinya masing-masing. Teori yang paling
baik adalah teori yang akan menang dalam kompetisi ini. Namun demikian, sejarah
membuktikan tidak ada teori yang sempurna. Teori pemenang akan tetap ada selagi
teori tersebut masih dapat menjawab persoalan ilmiah. Tahap kemampuan sebuah
teori dalam menjawab problem ilmiah ini disebut sebagai tahap normal science. Jika
suatu teori tak dapat menjawab problem ilmiah, maka hal disebut sebagai tahap
anomali. Tahap anomali ini jika tetap bertahan, maka niscacaya, seiring dengan
berkembangnya fakta ilmiah, tahap anomali pada fase tertentu akan menciptakan
sebuah krisis. Krisis adalah kondisi dimana tatanan normal sains lama tak dapat
diharapkan lagi untuk menjawab problem ilmiah. Dari krisis ini akan memicu usaha
bagi para ilmuan untuk melakukan penelititan yang kemudian menghasilkan
paradigma baru. Paradigma baru ini nanti akan diyakini sebagai yang menjawab
problem ilmiah yang tak mampu dijawab oleh paradigma lama. Namun demikian,
proses pembentukan paradigma baru akan dihadapkan pada kompetisi dengan
paradigma lama. Kompetisi tersebut mununtut adanya peperangan antara paradigma
baru dan paradigma lama lewat penelitian ilmiah masing-masing dalam menjawab
problem ilmiah. Bagi paradigma yang dapat memenangkan kompetisi tersebut, maka
paradigma itulah yang menang. Jika paradigma baru menang, maka hal ini akan
menciptkan sebuah tatanan normal sains baru, sekaligus membunuh paradigma lama
beserta tatanan normal sainsnya. Proses-proses tadi akan terus berulang. Dan inilah
yang menghasilkan perkembangan ilmiah. Transisi yang berturut-turut dari satu
paradigma ke paradigma lain lewat revolusi adalah pola perkembangan yang
lazim dari ilmu yang telah masak.
4. Jadi, proses perkembangan sains bukan evolusioner, melainkan revolusioner, yakni
melalui perubahan paradigma. Dan paradigma merupakan sebuah konsensus para
ilmuan. Dengan demikian, kebenaran sains itu relatif dan tergantung pada faktor
sosial, yaitu masyarakat ilmuan.
5. Dengan teorinya tentang revolusi sains, Kuhn mengkritik pandangan kaum neo-
positivisme, terutama Popper. Sebab Kuhn berteori bahwa sejarah sains membuktikan
bahwa sains tidak hanya bergantung pada rasio, logika, dan observasi, melainkan
ditentukan oleh faktor perubahan paradigma dan faktor konsensus sosial masyarakat
ilmuan. Karena itu, sains tak dapat semata-mata dianggap sebagai hasil observasi
positivistik atas data-data empirik atau hasil falsifikasi atas hipotesis-hipotesis tetapi
sains merupakan support dari sebuah paradigma. Artinya, sains juga merupakan hasil
dari konsensus sosial para ilmuan.
C. Prinsip
1. Integrasi, yaitu keyakinan bahwa bangunan semua ilmu pengetahuan sebagai satu
kesatuan yang saling berhubungan yang semunya bersumber dari ayat-ayat Allah
baik diperoleh melalui para nabi, eksplorasi akal, maupun eksplorasi alam.
2. Kolaborasi, yaitu keyakinan bahwa pemaduan nilai universal Islam dengan ilmu
pengetahuan modern sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan
peradaban manusia.
3. Dialektika, yaitu keniscayaan dialog antara ilmu-ilmu yang berakar pada wahyu,
ilmu pengetahuan modern, dan kearifan lokal.
4. Prosepektif, yaitu keyakinan bahwa paradigma kesatuan ilmu pengetahuan akan
menghasilkan ilmu-ilmu baru yang lebih humanis dan etis yang bermanfaat bagi
pembangunan martabat dan kualitas bangsa serta lingkungan.
5. Pluralistik, yaitu keyakinan bahwa adanya, pluralitas realitas, metode, dan
pendekatan dalam semua aktivitas keilmuan.
D. Pendekatan
Pendekatan yang diadopsi oleh paradigma kesatuan ilmu pengetahuan adalah teo-
antroposentris. Pendekatan teo-antroposentris menuntut para ilmuan untuk meyakini
bahwa proses ilmiah bersumber dan bertujuan kepada Allah tanpa melepaskan perannya
sebagai manusia.
E. Strategi
Untuk mengimplementasikan paradigma kesatuan ilmu, UIN Walisongo memiliki tiga
strategi, yaitu
1. Humanisasi Ilmu-ilmu Keislaman
Maksudnya adalah merekonstruksi ilmu keislaman agar semakin dapat
menyelesaikan problem-problem kehidupan. Strategi ini mencakup segala upaya
untuk memadukan nilai universal Islam dengan ilmu pengetahuan modern guna
peningkatan kualitas hidup dan peradaban manusia. Indonesia sendiri memiliki 2
ormas Islam besar yang paham tentang karakter masyarakat di Indonesia,
sehingga dapat dengan mudah untuk menjadikan ajaran Islam sebagai solusi
berbagai peroblem masyarakat.
a) Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menghumanisasi ilmu-ilmu
keislaman adalah sebagai berikut:
1) Menghumanisasi nama-nama prodi, fakultas, dan institusi pendidikan.
Sebagai contoh, Fakultas Tarbiyah yang melangit dan Fakultas
Keguruan yang membumi. Kedua fakultas tersebut berbeda tetapi jika
disatukan maka akan saling melengkapi. Karena itu, muncullah
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan.
2) Menghumanisasi mata kuliah dengan melakukan research.
3) Menghumanisasi mata kuliah melalui studi kasus.
4) Humanisasi itu selalu menguatkan Iman, Islam, dan ihsan.
Dengan demikian diharapkan pengembangan ilmu-ilmu keislaman menjadi lebih
kontekstual. Dalam artian sanggup menjawab segala tantangan zaman dan
menyelesaikan problem kehidupan manusia. Pengembangan demikian berbeda
dengan cara pengembangan yang tekstualis dan past oriented.
b) Spiritualisasi Ilmu-ilmu Modern
Strategi spiritualisasi adalah memberikan pijakan nilai-nilai aksiologis
ketuhanan (ilahiyah) dan etika terhadap ilmu-ilmu sekuler untuk
memastikan bahwa pada dasarnya semua ilmu berorientasi pada
peningkatan kualitas/keberlangsungan hidup manusia dan alam serta
bukan penistaan atau perusakan keduanya. Strategi spiritualisasi ilmu-
ilmu modern meliputi segala upaya membangun ilmu pengetahuan baru yang
didasarkan pada kesadaran kesatuan ilmu yang kesemuanya bersumber dari
ayat-ayat Allah (epistemologis) baik yang diperoleh melalui para nabi,
eksplorasi akal, maupun ekplorasi alam. Strategi ini dilakukan dengan tiga
cara, yaitu Ayatisasi, Fusi Filosofi, dan Fusi worldview pengkaji.
c) Revitalisasi Local Wisdom
Local Wisdom atau kearifan lokal diartikan suatu kekayaan budaya lokal yang
mengakomodasi kebijaksanaan. Bukan hanya sebuah tradisi, kearifan lokal
juga merupakan hasil kemampuan seseorang dengan akalnya dalam
menyikapi sebuah permasalahan masyarakat lokal. Dalam konteks
Indonesia, kearifan lokal tidak hanya berlaku pada beberapa daerah,
melainkan telah menjadi budaya nasional. Beberapa budaya nasional itu dia
antaranya seperti gotong-royong. Tetapi akhir-akhir ini budaya gotong
royong mulai terancam oleh perkembangan globalisasi dan modernisasi.
Globalisasi cenderung menciptakan gaya hidup individualis, pragmatis, dan
konsumtif. Maka diperlukan sebuah upaya penguatan kearifan lokal untuk
melawan ekses-ekses negatif yang dihasilkan oleh globalisasi. Beberapa
upaya di antaranya adalah implementasi kearifan lokal dalam kehidupan
sehari-hari dan implementasi ke dalam kebijakan negara. Dengan demikian,
revitalisasi local wisdom dalam strategi pengembangan paradigma
kesatuan ilmu pengetahuan ini merupakan penguatan kembali ajaran-
ajaran luhur bangsa. Strategi revitalisasi local wisdom terdiri dari semua
usaha untuk tetap setia pada ajaran luhur budaya local dan pengembangannya
guna penguatan karakter bangsa. Berikut beberapa lokas wisdom yang perlu
dihidupkan kembali untuk menjadi karakter setiap manusia Indonesia:
1) Ajaran Sunan Kalijaga tentang gotong royong.
2) Ajaran Sunan Kalijaga tentang momong putra wayah.
3) Ajaran Sunan Kalijaga tentang bibit bebet bobot.
4) Ajaran Sunan leluhut jawa tentang mulur mungkret.
5) Ajaran larangan Molimo.
Revitalisasi local wisdom dapat dilakukan dengan tiga cara: (a). Pengakuan
atas eksistensi local wisdom. (b). Pemanfaatan local wisdom dalam aktivitas
ilmiah. (c). Pengembangan dan pelestarian local wisdom dalam aktivitas

Anda mungkin juga menyukai