Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FILSAFAT ILMU

TENTANG

EPISTEMOLOGI ILMU BAGIAN 1


Dipresentasikan Untuk Memenuhi Persyaratan Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Semester II Sejarah Peradaban Islam

DISUSUN OLEH

TEGAR TRIWIBOWO DAMANIK (0602222025)

SYAHNA WULAN ANDINA (0602222016)

DOSEN PENGAMPU

Dr. Hendripal Panjaitan, MA

FAKULTAS ILMU SOSIAL

SEJARAH PERADABAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATRA UTARA

STAMBUK 2022

0
A.Pendahuluan

Manusia tidak hanya memerlukan kebutuhan pokok saja, akan tetapimanusia juga
memerlukan informasi untuk mengetahui keadaan di lingkungansekitar mereka. Dalam upaya
untuk memperoleh informasi, manusia seringkali melakukan komunikasi ataupun cara-cara
lain yang bisa digunakan. Salah satuinformasi yang didapat dari komunikasi adalah
pengetahuan. Pengetahuansangat diperlukan bagi kehidupan manusia karena dapat
memberikan manfaatyang sangat besar bagi kehidupan. Dalam mencari pengetahuan, tak
jarangmanusia harus mempelajari Epistemologi.Epistimologi merupakan cabang dari
filsafat yang membicarakan mengenaisumber-sumber, karakteristik, sifat dan kebenaran
pengetahuan. Epistimologiseringkali disebut dengan teori pengetahuan atau filsafat
pengetahuan, karenayang dibicarakan dalam epistimologi ini berkenaan dengan hal-hal yang
yangada sangkut pautnya dengan masalah pengetahuan.

Misalnya,Apakah pengetahuan itu? Dari mana Asalnya? Apakah sumbersumber pengetah


uan? Bagaimana manusia mendapatkan pengetahuan? Dari mana pengetahuan yang benar?
Apa yang menjadi karakteristik pengetahuan? Apakah pengetahuan itutergolong benar atau
keliru, dan sebagainya. Beberapa pertanyaan innilah yangkemuadian disebut dengan
persoalan epistimologi.

Epistemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji karena disinilah dasar-dasar
pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi bahan pijakan .Konsep-
konsep ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang
ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya.Dari
epistemologi, juga filsafat dalam hal ini filsafat modern – terpecah berbagai aliran yang cukup
banyak, seperti rasionalisme, pragmatisme, positivisme, maupun eksistensialisme dan lain-lain.
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa
Yunani, yaitu episteme dan logos.

“Episteme” artinya pengetahuan, sedangkan “logos” lazim dipakai untuk menunjukkan adanya
pengetahuan sistematik. Senada dengan pendapat di atas Simon Blackburn dalam Kamu filsafat
menjelaskan bahwa Epistemologi, (dari bahasa Yunaniepisteme (pengetahuan) dan logos
(kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis
pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam
bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimanakarakteristiknya, macamnya, serta
hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan

1
B.Pembahasan

1. Sumber Ilmu Perspektif Barat dan Islam

A. Sumber Pengetahuan dari Prespektif Barat

Sumber pengetahuan adalah apa yang menjadi titik-tolak atau apa yang merupakan
objek pengetahuan itu sendiri. Sumber itu dapat bersifat atau berasal dari "dunia eksternal"
atau juga terkait dan berasal dari "dunia internal" atau kemampuan subjek.

Dalam sejarah filsafat, Plato dan Aristoteles adalah dua filsuf yang memiliki
pandangan yang berbeda terkait sumber pengetahuan. Plato disebut juga sebagai seorang
rasionalisme klasik (sementara tokoh rasionalisme Modern adalah Descartes, Spinoza,
Leibniz). Tokoh rasionalisme² ini berpandangan bahwa sumber pengetahuan itu adalah rasio.
Dengan kata lain, rasionalisme menempatkan posisi rasio (akal) sebagai sumber terpercaya
dan utama bagi pengetahuan. Kaum rasionalis percaya bahwa proses pemikiran abstrak
(rasional) dapat mencapai pengetahuan dan kebenaran fundamental yang tidak dapat
disangkal tentang (a) apa yang "ada" (tentang realitas) dan strukturnya serta (b) tentang alam
semesta pada umumnya

Salah satu tokoh atau filsuf yang menggeluti epistemologi adalah Kant. Proyek filsafat
Kant salah satunya adalah berupaya untuk mencari batas-batas pengetahuan. Dari sini, maka
dapat dikatakan proyek filsafat Kant salah satunya adalah terfokus pada permasalahan
epistemologi. Epistemologi juga disebut sebagai "ilmu tentang batas-batas serta kemungkinan
pengetahuan". Ini mirip seperti pengertian epistemologi yang dikemukakan J. F. Ferrier.
Ferrier mengemukakan bahw epistimologi adalah cabang filsafat yang berusaha untuk
menjawab pertannyaan “apa yang dapat saya ketahui?".

Rasionalisme yang disebut di atas tidak sama dengan rasionalisme kritis (critical
rationalism) dari Karl Raimund Popper atau empirisme kritis dari Paul Feyerabend yang
muncul tahun 1960-an/70-an sebagai kecenderungan filsafat ilmu pengetahuan di Eropa dan
Amerika menjelang akhir abad ke-20. Menurut kaum rasionalis, realitas dan beberapa
kebenaran tentang realitas dapat dicapai tanpa tergantung pada pengamatan (pengalaman)
atau tanpa penggunaan metode empiris, Karena itu, pengetahuan seperti ini sering disebut
pengetahuan a priori (a priori knowledge, necessary knowledgea priorit a = dari, dan prior
yang mendahului, berarti tidak tergantung atau mendahului pengalaman.

2
Jadi pengetahuan a priori artinya pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui
pengalaman. Adapun cara kerja kaum rasionalisme adalah berdasarkan penalaran deduktif,
logis, dan matematis. Sementara itu, Aristoteles berpandangan berseberangan dengan
gurunya, Plato. Baginya, sumber pengetahuan adalah pengalaman. Aristoteles adalah tokoh
empiris klasik (sementara itu tokoh-tokoh empiris Modern seperti Francis Bacon, John
Locke, Berkeley, David Hume).

Tokoh empirisme ini menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus didasarkan atas
metode empiris- eksperimental, sehingga kebenarannya dapat dibuktikan. Empirisme dalam
ilmu pengetahuan ini dalam perkembangan berikutnya kelak berkembang menjadi aliran
positivisme, yang merumuskan pembedaan antara ilmu pengetahuan (science) dengan non-
ilmu melalui kriteria verifikasi.*

Immanuel Kant menyebut pengetahuan seperti itu dengan nama pengetahuan analitis".
Pengetahuan analitis yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui proses analisa.). Kebenaran
pengetahuan di sini ditentukan secara rasional (struktur logika konsistensi atau koherensi)
dan bukan melalui pengalaman (korespondensi). Kebenaran ditentukan oleh konsistensi atau
ketaatasasan dengan dalil-dalil, definisi atau aksioma yang sudah diterima oleh komunitas
ilmuwan.

"Di awal-awal masa Yunani sampai awal zaman Modern belum tampak ada tanda-
tanda pemisahan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam yang kita
kenal sekarang, misalnya, di masa lalu disebut filsafat alarm (philosophia naturalis) Ini
tampak misalnya dari Isaac Newton (1642-1727 M), ahli merematika, fisika dan mekanika
Inggris terkenal, merumuskan teori gaya berat (gravitasi) dan kaidah-kaidah mekanikanya
dalam bukunya yang berjudul Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (Asas-asas
matematik dari Filsafat Alam) (1687). Judul ini menunjukkan bahwa fisika masih dalam
lingkup filsafat alam. Ini menunjukkan menyatunya filsafat dengan matematika dan fisika
sampai era Newton.

Namun, tanda-tanda pemisahan filsafat dengan ilmu pengetahuan itu mulai tampak
setelah kemunculan Auguste Comte (1789-1857) dengan filsafat positivis (me)nya. Lewat
positivismenya, Comte menentukan batas ilmu pengetahuan dengan non-ilmu yakni atas
dasar fakta yang bisa dibuktikan secara empiris dan metodologis.

3
Adapun Auguste Comte sendiri mengemukakan filsafat positivisnya tidak terlepas
dari pengaruh penerapan metode empiris-eksperimental dalam ilmu alam. Comte kemudian
meletakkan fundasi sosiologi di atas metode empiris dan memisahkannya dari filsafat sosial
yang telah berkembang sejak Socrates, Plato dan Aristoteles, yang dia anggap terlalu
spekulatif, sehingga tidak memenuhi syarat keilmiahan (maksudnya tidak memenuhi kriteria
positivisme ilmiah). Bila Comte di bidang sosiologi, maka Wilhelm Wundt (1832-1930)
memisahkan psikologi dengan filsafat, seraya mengecam metode introspeksi Freudian yang
dianggapnya tidak ilmiah.

Dalam epistemologi Barat, dua pandangan ini, yakni rasionalisme dan empirisme,
merupakan dua aliran yang paling banyak diterima dan paling dominan di antara sumber
pengetahuan lainnya. Namun, di samping dua pandangan tersebut, ada juga beberapa
pandangan yang menyebutkan sumber pengetahuan di luar rasionalisme dan empirisme
tersebut. Bertrand Russell, misalnya, membedakan 2 macam pengetahuan.

Yaitu pertama adalah pengetahuan melalui pengalaman (knowledge by acquaintance)


di antaranya yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui (a) data indrawi (sense data), (b)
benda- benda memori (objects of memory). (c) keadaan internal (internal states) dan (d) diri
kita sendiri (ourselves). Adapun yang kedua adalah pengetahuan melalui deskripsi
(knowledge by description), yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui (a) orang lain dan (b)
benda-benda fisik, namun bukan hasil pengamatan akan tetapi konstruksi

B.Sumber Pengetahuan dari Prespektif Islam


Secara metodologis, ada dua perspektif untuk melihat keberadaan filsafat Islam.
Pertama, perspektif kesejarahan.Dengan perspektif ini, filsafat Islam dilihat sebagai mata
rantai dari filsafat-filsafat atau pemikiran-pemikiran yang ada sebelumnya. Bentuk ekstrem
dari perspektif sejarah ini adalah kesimpulan yang menyatakan bahwa filsafat Islam hanya
merupakan filsafat Yunani-Alexandria yang kemudian di kalangan filosof Islam dikemas
dengan “baju” Islam.

Kita sebenarnya tidak bisa menolak bahwa filsafat Islam tidak mungkin tumbuh tanpa
adanya proses transmisi ilmu-ilmu diluarnya. Kedua, perspektif yang melihat isi (content)
pemikiran dalam filsafat Islam itu sendiri. Dengan perspektif ini, di samping akar sejarahnya
tersebut, perkembangan filsafat Islam yang begitu mengesankan dalam sejarah intelektual
tidak hanya karena akar sejarahnya (historical root), melainkan juga karena peran sumber

4
normatif Islam, baik al-Qur`an dan hadîts, sehingga perkembangan itu diiringi dengan
kreativitas dan orisinalitas Islam.

Dalam konteks ini, setiap perkembangan ilmu Islam bisa dilacak kepada peran kedua
sumber itu, karena kaum muslimin, sebagaimana umat yang lain, adalah umat yang
mengikatkan diri secara kuat dengan kitab suci. Oleh karena itu, seperti cabang ilmu islam
lainnya,filsafat islam bersumber dari Al’quran dan hadist disamping sumber historisnya

Para filosof Islam sejak al-Kindi hingga al-'Allamah ath- Thabathabâ'î menarik
pemikiran-pemikirannya dari al-Qur'an dan hadits sebagai sumber sentralnya. Bahkan,
mereka mengkritik pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan kedua sumber tersebut.
Di samping bersikap rasional-netralis, mereka adalah penganut setia agama (fidest).

Oleh karena itu, idak heran jika beberapa filosof Islam sekaligus merupakan ahli
dalam hukum Islam (faqih, jusrist) seperti Ibn Rusyd yang menulis Bidayat al-Mujtahid
(tentang fiqh perbandingan) dan al- Ghazâlî yang menulis al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul
(tentang ushûl al-fiqh). Padahal Ibn Rusyd sendiri dengan alirannya, Averroism atau
Rusydiyyah, diidentikkan di Barat dengan gerakan pemikiran anti-keimanan.

Karena keterkaitan kuatnya dengan al-Qur'an dan hadits, Seyyed Hossein Nasr dan
Henry Corbin menyebut filsafat Islam dengan "filsafat profetik" atau "filsafat kenabian"
(prophetic philosophy), meskipun keterikatan sebagian filosof Islam dengan kedua sumber
tersebut masih diperdebatkan, seperti Muhammad ibn Zakariyyâ` ar-Râzî yang menolak
pengetahuan dari kenabian. Tapi, bahwa kedua sumber tersebut mengkristal kuat dalam
pemikiran-pemikiran filsafat Islam, apalagi filsafat Islam adalah sebah upaya
mengharmonisasikan kebenaran rasional spekulatif filsafat dengan kebenaran absolut wahyu,
atau upaya memberikan dasar penjelasan rasional bagi ajaran Islam.?

Salah satu fakta terpenting tentang keterkaitan filosof Islam dengan sumber tekstual
adalah pandangan tentang akal ('aql). Karena ketika seorang filosof beragama, dalam
pencarian kebenaran ia dihadapkan dengan dua sumber, yaitu sumber kebenaran absolut yang
diberikan oleh tuhan (revealed knowl- edge) berupa kitab suci dan kebenaran rasional sebagai
hasil kreasinya dalam berpikir (acquired knowledge, pengetahuan hasil pencarian manusia).
Dua kebenaran tersebut bertarung dalam kesadaran seorang filosof.

Dalam aktivitas berpikir rasional, apa yang disebut sebagai pemikiran spekulatif
mengambil dua macam bentuk. Pertama, pemikiran spekulatif murni, yaitu pemikiran bebas

5
rasional manusia yang mendalam tanpa dibatasi oleh batas kebenaran lain, seperti pemkiran
filsafat Yunani. Kedua, pemikiran spekulatif yang tidak murni seluruhnya bebas, yaitu
spekulasi yang tidak mengasumsikan pemikiran yang bebas, tapi masih mempertimbangkan
kebenaran kitab suci.

Dalam kaitannya dengan pandangan filosof Islam tentang akal, rasionalitas bukanlah
mengasumsikan kebebasan tak terbatas, seperti pemikiran spekulatif murni kalangan filosof
Yunani, melainkan sebuah pemkiran rasional yang mencari kesesuaian antara pemikiran
rasional manusia dengan kebenaran yang diberikan melalui kitab suci.

2.Pendekatan Dalam Penggalian dan Pengembangan Ilmu

Dalam Prespektif Islam

Al-Qur'an adalah sentral bagi perkembangan filsafat Islam. Yûsuf Mûsâ dalam al-
Qur'an wa al-Falsafah, bahkan, memandang al-Qur'an sebagai faktor utama, sesudah
persentuhan kaum muslimin dengan karya-karya Yunani, yang menyebabkan perkembangan
yang semarak dalam filsafat Is- lam. Kita bisa melihat peran al-Qur'an dalam perkembangan
filsafat Islam dalam beberapa segi.

Pertama, istilah lain filsafat Islam, yaitu al-hikmah, diambil dari al-Qur'an (Qs. al-
Baqarah/2: 269 dan Ali Imrân/3: 48) dan hadits, sebagaimana dikemukakan sebelumnya.
Penyebutan al- hikmah untuk filsafat Islam untuk menunjukkan bahwa di samping bahwa
kebenaran akal diakui perannya dalam Islam, juga bahwa penggunaan akal harus tetap
merupakan basis penguat kebenaran-kebenaran yang disampaikan oleh wahyu.

Ide bahwa filsafat dan agama tidak bertentangan, seperti dikemukakan oleh Ibn Rusyd
dalam Fashl al-Maqal fimâ Bayn al- Hikmah wa asy-Syari'ah min al-Ittishal, memperjelas
peran kitab suci dalam pencarian kebenaran melalui spekulasi akal. Kedua, al-Qur'an
mendorong manusia untuk menggunakan pemikiran akal dengan intensif dalam memahami
agama dengan ungkapan seperti afalâ ta'qilûn, afalâ tataddabarûn, dan afalâ yatadabbarûn.

Tidak diragukan lagi bahwa akal merupakan sarana penting untuk memahami Islam.
Bahkan, al-Qur'an dalam menyampaikan ajararan-ajarannya, di samping, menggunakan
metode khithâbî (retorik), yaitu menyampaikan pesan secara retorik tanpa disertai dengan
argumen rasional di dalamnya, juga menggunakan metode burhanî (demonstratif), yaitu
menggunakan alasan-alasan rasional yang dapat diterima oleh semua orang. Penggunaan
metode burhânî terutama berkaitan dengan ajakan al-Qur'an kepada manusia untuk bertauhid.

6
Berikut dikemukakan contoh-contoh "logika" al-Qur'an:

1. Ketika menjelaskan tauhid, Qs. al-Anbiyâ'/21: 22 menun- jukkan ketidaklogisan


pengandaian banyaknya tuhan dalam ayat berikut:

َ َ ْ َ ّ ‫اّلل َر‬
ِ َِّ ‫اّلل لََفس َد َت ۚ فَسْبحا َن‬
ِ ‫ب الْعر ِش ع َّما ي‬
﴾ٕٕ ﴿ ‫ص ُفو َن‬ َ ُ ُ َّ َِّ‫لَ ْو َكا َن فِي ِه َما ِآِلَةٌ إ‬
‫ّل‬
َ
Artinya: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah
keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ´Arsy
daripada apa yang mereka sifatkan. (Qs. al-Anbiyâ'/21: 22)

2. Ketika menjelaskan adanya kebangkitan, sebelum menyim- pulkan suatu kesimpulan


yang berisi keyakinan, al-Qur'an mengemukakan runut berpikir secara logis. Dengan
memperhatikan secara seksama, kita akan memperoleh gambaran "logika" al-Qur'an
seperti dalam surah Yasin ayat 77-81 sebagai berikut:

‫ب لَنَا َمثًَل َونَ ِس َي‬َ ‫ضَر‬ َ ‫﴾ َو‬٧٧ ﴿ ‫ي‬ ٌ ِ‫ص ٌيم ُمب‬ ِ ‫اْلنْسا ُن أ ََّّن خلَ ْقنَاه ِمن نُطْ َف ٍة فَِإ َذا ىو خ‬
َ َُ ْ ُ َ ِ
َ ْ ‫أ ََوَلْ يََر‬
‫﴾ قُ ْل ُُْييِ َيها الَّ ِذي أَنْ َشأ ََىا أ ََّوَل َمَّرةٍ َوُى َو بِ ُك ِّل‬٧٧ ﴿ ‫َخ ْل َقوُ قَ َال َم ْن ُُْييِي الْعِظَ َام َوِى َي َرِم ٌيم‬

﴿ ‫ض ِر َّن ًرا فَِإ َذا أَنْتُ ْم ِمْنوُ تُوقِ ُدو َن‬ ْ ‫َّج ِر ْاْل‬
َ ‫َخ‬
ِ ِ ِ
َ ‫﴾ الَّذي َج َع َل لَ ُك ْم م َن الش‬٧٧ ﴿ ‫َخ ْل ٍق َعل ٌيم‬
ْ ‫ض بَِق ِاد ٍر َعلَى أَ ْن ََيْلُ َق ِمثْ لَ ُه ْم ۚ بَلَى َوُى َو‬
‫اْلََّل ُق‬ ِ َّ ‫﴾ أَولَيس الَّ ِذي خلَق‬٧ٓ
َ ‫الس َم َاوات َو ْاْل َْر‬ َ َ َ َْ
﴾٧ٔ ﴿ ‫الْ َعلِ ُيم‬

Artinya: “Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya


dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! [77], “Dan ia
membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:
"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" [78],
“Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang
pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” [79], “yaitu Tuhan
yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan
(api) dari kayu itu". [80], “Dan tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu

7
berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah
Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui.” [81] (QS. Yaa Sin: 36 ayat 77-81)

Terbukti dari kutipan ayat-ayat di atas, Al-Qur'an tidak secara langsung


menyampaikan keyakinan akan kebangkitan manusia kecuali dinyatakan dengan
logika. Ayat 79, yang berbunyi “Allah mengetahui segala ciptaan-Nya” (wa huwa
bikulli khalqin 'alim), memberikan argumentasi rasional tentang kekuasaan Tuhan
menciptakan manusia pada permulaan peristiwa pertama. Pernyataan ini ditegaskan
dalam ayat berikutnya tentang kekuasaan Tuhan untuk membuat api panas dari kayu
hijau. Selain itu, pada ayat 81 disimpulkan bahwa “Allah Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui” (teks ayat tersebut secara cermat mengungkapkan hal tersebut dengan
ungkapan yang berbeda dari ungkapan sebelumnya, yaitu:

wa adalah al-khallåq al-'alim), Alquran mengemukakan kemahakuasaan Tuhan untuk


menciptakan langit dan bumi lebih besar dari manusia. Ketika ditegaskan secara logis
dari kemampuan Tuhan untuk menciptakan manusia dari ketiadaan, seperti dalam
Peristiwa Utama, atau penciptaan api panas dari kayu basah (hijau), hingga
kemampuan Tuhan untuk menciptakan langit dan bumi, Al-Qur'an mengatakan:

Bukankah lebih logis untuk menerima pernyataan bahwa Tuhan Yang Maha Esa
membangkitkan manusia yang telah menjadi tulang belulang yang pernah ada
sebelumnya? Oleh karena itu, lebih mudah - menurut standar logika manusia,
meskipun dalam kuasa Tuhan semuanya mudah, seperti yang dikatakan ayat
berikutnya (83) - untuk menciptakan atau menghidupkan kembali. "Logika" Al-Qur'an
disajikan sedemikian rupa sehingga orang menggunakan akalnya.

Logika" al-Qur'an tersebut dikemukakan agar manusia menggunakan akalnya.


“Logika" al-Qur'an seperti ini juga bisa ditemukan pada ayat-ayat lain, seperti Qs. al-
Hajj/22: 5-7 berikut:
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka
(ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu
dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah
ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan
berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang

8
diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun,
supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan
kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya,
hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-
tumbuhan yang indah. [5] Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah
yang haq dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan
sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,[6] dan sesungguhnya hari
kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah
membangkitkan semua orang di dalam kubur.[7]

Analogi" dengan model yang sama juga ditemukan pada Qs. Fushshilat/41: 39 berikut
ِ ِ ‫َّك تَرى ْاْلَرض خ‬ ِِ ‫وِمن‬
‫اىا‬ ْ ‫ت ۚ إِ َّن الَّذي أ‬
َ َ‫َحي‬ ْ ‫اش َعةً فَِإ َذا أَنْ َزلْنَا َعلَْي َها الْ َماءَ ْاىتَ َّز‬
ْ َ‫ت َوَرب‬ َ َ ْ َ َ ‫آَيتو أَن‬ َ ْ َ
﴾ٖ٧ ﴿ ‫لَ ُم ْحيِي الْ َم ْوتَى ۚ إِنَّوُ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ٌير‬
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda-Nya (Ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan
gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur.
Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang
mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. Fushshilat/41: 39)

Ketiga, al-Qur'an mengandung ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Menurut


Fakhr ad-Dîn ar-Râzî, hikmah keberadaan dua macam ayat tersebut, antara lain, untuk
mendorong perkembangan pemikiran dan aliran dalam Islam serta tidak ada taqlid,
karena setiap ajaran Islam harus dituntut pengetahuan yang disertai argumennya.
Fakhr ad-Dîn ar-Râzî mengatakan (terjemahnya):
"Kalau semua ayat al-Qur 75 dari 342arti hanya sejalan dengan satu aliran
pemikiran dan berarti statemennya yang mengandung satu pengertian itu
membatalkan adanya aran pemikiran lainnya. Hal semacam ini akan membuat
pemikir-pemikir dari berbagai aliran pemikiran menjauhkan diri dari al-Qur'an dan
dari teori yang ada di dalamnya. sesungguhnya, karena suatu hal, ayat mutasyabih
memaksa orang untuk memikirkan ayat tersebut dengan memerlukan bantuan
argumentasi rasional dan dengan cara demikian ia terlepas dari taqlid". "
Di samping alasan tersebut, menurut Fakhr ad-Dîn ar-Râzî, alasan terkuat
adalah karena al-Qur'an adalah kitab suci yang ditujukan kepada semua lapisan

9
manusia dengan berbagai level pemahaman yang berbeda. Pola pemikiran kalangan
awam adalah kemampuan memahami lahiriah teks.
Oleh karena itu, kepada mereka keimanan ditanamkan melalui ayat-ayat yang
muhkam. Sedangkan, kelompok ahli memiliki kemampuan untuk menafsirkan secara
simbolik atau metapor (majâzî) makna- makna terdalam di balik teks ayat-ayat yang
mutasyabih1

3.Metode Ilmu Pengetahuan

Secara lebih tegas The Liang Gie (menyatakan bahwa metode ilmiah adalah
”prosedur” yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara
teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah
ada

Adapun ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal dan pengalaman manusia diperoleh
dengan pendekatan ilmiah, yaitu melalui suatu rangkaian langkah berpikir yang disebut
berpikir ilmiah (scientific thinking). Biasanya langkah-langkah berpikir ilmiah itu ada 5
macam, yaitu:

1 Perumusan masalah 4 Analisis data

2 Perumusan hipotesa 5 Pengambilan kesimpulan.

3 Pengumpulan data

Metode Ilmiah

Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang memuat berbagai unsur atau
komponen yang saling berhubungan. Unsurunsur utama metode ilmiah adalah: pola
prosedural, tata langkah, teknik, dan instrumen (The Liang Gie, 2010: 116-117). Pola
prosedural antara lain terdiri dari: pengamatan, percobaan, pengukuran, survei, deduksi,
induksi, dan analisis.

Tata langkah mencakup: penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila perlu),


pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil. Teknik antara lain terdiri
dari: wawancara, angket, tes, dan perhitungan. Anekainstrumen yang dipakai dalam metode
ilmiah antara lain adalah: pedoman wawancara, kuesioner, timbangan, meteran, komputer

1
Wardani. Filsafat Islam Sebagai Filsafat Humanis-Profetik .Banjarmasin: Aswaja Pressindo,2014 hal 47-58

10
(The Liang Gie, 2010: 118). g Gie, 2010: 118).2
Unsur-unsur utama yang membentuk metode ilmiah tersebut (pola prosedural, tata
langkah, teknik, dan instrumen) merupakan komponen yang harus ada dalam setiap kegiatan
penelitian ilmiah. Tetapi berbeda halnya dengan sub-unsur (bagian-bagian dari unsur)- nya,
karena penggunaannya tergantung pada pendekatan, model atau bidang penelitian ilmiah
tertentu.

Metode Deduktif

Metode deduktif adalah suatu proses bepikir yang bertolak dari hal-hal yang abstrak
kepada yang konkrit, atau dari pernyataan yang bersifat umum ke pernyataan yang bersifat
khusus dengan menggunakan kaedah logika tertentu, yaitu logika deduktif.

Cara berpikir deduktif itu sudah dimulai oleh Aristoteles dan para pengikutnya, yaitu
melalui serangkaian pernyataan yang disebut silogisme. Silogisme terdiri atas 3 pernyataan,
yang disebut:

1. Premis mayor (dasar pikiran utama)

2. Premis minor (dasar pikiran kedua)

3. Kesimpulan

Metode Induktif.

Francis Bacon (1561-1626) menggunakan metode induktif dalam mengetahui


sesuatu. Ia yakin bahwa seorang peneliti dapat membuat kesimpulan umum berdasarkan fakta
yang dikumpulkan melalui pengamatan langsung.

Menurutnya untuk memperoleh kebenaran mengenai alam ini, peneliti harus


mengamati alam itu secara langsung, dan harus membebaskan pikiran dari berbagai bentuk
prasangka.

Untuk memperoleh pengetahuan menurutnya seseorang harus mengamati alam itu


sendiri, mengumpulkan fakta, dan merumuskan generalisasi dari fakta-fakta tersebut.

Sesuai dengan cara kerjanya maka pengetahuan ilmiah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

2
Darwis A.Soelaiman. Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam. ACEH:Bandar Publishing,2019
hlm 65-68

11
a. Obyektif, artinya bebas dari penilaian yang bersifat subyektif dan kebenarannya evidence
(didukung oleh buktibukti)

b. Rasional, artinya sesuai dengan logika atau aturan penalaran

c. Sistematis, artinya dilakukan dan disusun secara teratur, dan sesuai dengan teori-teori

d. Generalisasi, artinya pengetahuan itu dapat diterapkan pada fenomena lain bukan hanya
pada obyek tertentu.3

3
Saifullah, Idris & Fuad Ramly. Dimensi Filsafat Ilmu Dalam dirkursi Integrasi Ilmu.BANDA ACEH:
Darussalam Publishing,2016 hlm 31 & 129

12
C.Penutup

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini yaitu epistemologi dalam perspektif
Barat dan Islam memiliki perbedaan dalam epistemologi sumber ilmu. Perspektif Barat
cenderung mengandalkan pengamatan empiris dan penalaran rasional sebagai sumber utama
pengetahuan, sedangkan perspektif Islam menekankan pentingnya wahyu Ilahi sebagai
sumber ilmu yang paling fundamental. Meskipun demikian, keduanya mengakui pentingnya
pemikiran rasional dalam memahami pengetahuan, meskipun Islam menempatkan lebih
banyak penekanan pada interpretasi yang benar dan penerapan hikmah dalam kehidupan
sehari-hari.

Saran

Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami susun. Harapan kami dengan adanya
tulisan ini bisa menjadikan kita untuk lebih menyadari bahwa agama islam memiliki
khazanah keilmuan yang sangat dalam untuk mengembangkan potensi yang ada di alam ini
dan merupakan langkah awal untuk membuka cakrawala keilmuan kita, agar kita menjadi
seorang muslim yang bijak sekaligus intelek. Serta dengan harapan dapat bermanfaat dan bisa
difahami oleh para pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca,
khususnya dari dewan guru yang telah membimbing kami. Apabila ada kekurangan dalam
penyusunan karya tulis ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Idris, Saifullah,& Ramly, Fuad. Dimensi Filsafat Ilmu Dalam dirkursi Integrasi Ilmu.BANDA ACEH:
Darussalam Publishing,2016

Soelaiman, Darwis A. Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Barat dan Islam. ACEH:Bandar
Publishing,2019

Wardani. Filsafat Islam Sebagai Filsafat Humanis-Profetik .Banjarmasin: Aswaja Pressindo,2014

14

Anda mungkin juga menyukai