BAB II
PEMBAHASAN
A. Verifikasi (Vienna Circle)
1. Latar Belakang
Lingkaran Wina (dalam bahasa Jerman: Wiener Kreis, atau Vienna Circle dalam bahasa
Inggris) adalah suatu kelompok yang terdiri dari sarjana-sarjana ilmu pasti dan alam di Wina,
ibukota Austria. Kelompok ini didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun 1924. Anggota-anggotanya
antara lain: Moritz Schlick (1882-1936), Hans Hahn (1880–1934), Otto Neu-Victor Kraft (1880–
1975).[1]
2. Pokok-pokok Pemikiran
Lingkaran Wina mencoba mengembangkan pandangan yang disebut sebagai neopositivisme atau
positivisme logis. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Comte tentang pengetahuan
yang bersifat positif (ilmu pengetahuan yang berlandaskan pada pendekatan logis dan
pasti/matematis). Lingkaran Wina mencoba untuk menyatukan keanekaragaman ilmu pengetahuan
dengan bahasa dan cara kerja ilmu-ilmu alam yang disebut sebagai unified
science atau einheitswissenschaft ’ilmu yang terpadu’. Ilmu yang terpadu dijabarkan dalam
pandangan neopositivisme bahwa:
a. sumber pengalaman hanya satu, yaitu pengalaman yang berasal dari data indrawi
b. adanya dalil logika dan matematika yang berguna untuk mengolah data indrawi
c. adanya demarkasi atau garis batas antara meaningfull ‘pernyataan bermakna’
dan meaningless ‘pernyataan yang tidak bermakna’
d. menolak metafisika
e. filsafat Ilmu Pengetahuan dipandang sebagai the logic of scince ‘logika ilmu’[3].
Kelompok Lingkaran Wina berpendapat hanya ada satu sumber pengalaman saja, yaitu
pengalaman inderawi. Selain pengalaman itu mereka mengakui adanya dalil-dalil logika dan
matematika yang tidak dihasilkan lewat pengalaman.
Dalam rangka mencari garis batas atau demarkasi antara pernyataan yang bermakna dan yang
tidak bermakna, hanya ada dua pertanyaan yang berarti. Pertama “how do you know”? (lebih dalam
yang dimaksud ialah “how do you verify?”), dan “what do you mean?” (maksudnya: berilah uraian
atau analisa logis dari pernyataan anda).
Sebagai akibat prinsip ini, semua ungkapan dalam bidang teologi dianggap tidak bermakna sama
sekali, misalnya tentang danya Allah, penciptaan, jiwa yang tak dapat mati, dan lain sebagainya.
Soal-soal filsafat juga hanya semu belaka karena menggunakan bahasa yang tidak bermakna, penuh
emosi dan perasaan. Etika pun mustahil menjadi ilmu mengenai norma. Oleh karena itu tugas bagi
filsafat ialah memeriksa susunan logis bahasa ilmiah, baik dalam perumusan penyelidikan ilmu
alam, maupun dalam bidang logika dan matematika. Mereka tidak membedakan bahasa yang harus
digunakan ilmu-ilmu kemanusiaan dari ilmu-ilmu alam. Satu-satunya bahasa serta cara kerja yang
berlaku dan yang harus digunakan ialah bahasa dan cara kerja ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu
pengetahuan dapat dijabarkan menjadi suatu ilmu terpadu.[4]
2. Pokok-pokok Pemikiran
a. Dasar Logis Cara Kerja Ilmu Empiris
Popper menentang pendaat Lingkaran Wina
mengenai meaningfull dan meaningless berdasarkan kriterium dapat tidaknya dibenarkan secara
empiris. Tetapi dia mengganti perbedaan itu dengan garis batas atau demarkasi antara ungkapan
ilmiah dan tidak ilmiah. Ungkapan yang tidak bersifat ilmiah mungkin sekali amat bernakna.
Ungkapan bersifat empiris atau tidak, tidak bisa ditentukan berdasarkan atas pembenaran yang
dianut positivism logis.
Popper mengemukakan prinsip falsifiabilitas. Artinya cirri khas pengetahuan ilmiah ialah bahwa
dapat dibuktikan salah. Untuk mencapai pandangan ini Popper menggunakan kebenaran logis yang
sangat sederhana. Ia mengatakan: “Dengan observasi terhadap angsa-angsa putih, betapapun besar
jumlahnya, orang tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi
sementara itu cukup satu kali observasi terhadap seekor angsa hitam unutk menyangkal pendapat
tadi”.
Menurut Popper, bahwa bukan dapat dapat dibenarkan melainkan dapat dibuktikan salah. Bila
suatu hipotesa dapat dibuktikan salah, maka hipotesa yang lain akan ditinggalkan. Suatu teori baru
akan dapat diterima bila sudah bisa mengalahkan teori sebelumnya. Pengujian kedua teori ini
melalui tes empiris, yakni tes untuk membuktikan teori mana yang lebih benar. Bila teori baru yang
benar, maka teori lama akan gagal (memfalsifikasi). Dengan demikian ilmu pengetahuan maju
dengan melewati proses eliminasi yang semakin keras terhadap kemungkianan kekeliruan dan
kesalahan. Epistemologi Popper sering sering dijuluki epistemoloigi pemecahan masalah. Kalau
teori baru itu sesuai dan berdaya guna, maka dapat menyingkirkan teori yang lama.[10]
b. Pengujian deduktif terhadap teori-teori
Dari sebuah ide baru yang diajukan, yang belum dibenarkan dengan cara apapun, kesimpulan-
kesimpulan ditarik dengan cara deduksi logis, kemudidan didandingkan satu sama laindan bersama
pernyataan-pernyataan lain yang terkait, sehingga ditemukan relasi-relasi logis apa yang ada di
antara pernyataan-pernyataan tersebut.
Ada empat jalur untuk menguji sebuah teori:
1) Perbandingan kesimpulan-kesimpulan di antara mereka
2) Menyelidiki bentuk logis teori itu, apakah berciri teori empiris atau ilmiah, atau bersifat tautologis.
3) Membandingkan dengan teori-teori lain
4) Pengujian teori melalui penerapan empiris kesimpulan-kesimpulan yang dapat diperoleh darinya.
Selanjutnya buat suatu putusan berkenaan dengan pernyataan-pernyataan yang diperoleh dengan
cara membandingkannya dengan hasil penerapan-penerapan dan eksperimen-eksperimaen praktis.
Jika putusan itu bersifat positif, untuk sementara waktu, telah lolos dari ujiannya. Suatu teori positif
hanya dapat mendukung teori itu sementara waktu, karena pututsan-putusan negatif berikutnya
selalu mungkin menjatuhkannya.[11]
c. Falsifikasi
Suatu teori difalsifikasi hanya jika telah menerima persyaratan-persyaratan dasar yang
menyangkalnya. Segelintir pernyataan-pernyataan dasar yang sesat, yang menyangkal sebuah teori,
tidak bisa mengalahkan sebuah teori yang sudah difalsifiaksi. Bisa dianggap sudah difalsifikasi
apabila sudah ditemukan hipotesis yang menyangkla teori itu. Dengan kata lain, kita hanya
menerima falsifikasi itu jika suatu hipotesis empiris berlevel rendah yang melukiskan akibat
tersebut diajukan. Hipotesis yang bisa difalsifikasi harus berada dalam suatu hubungan logis
tertentu dengan pernyataan yang mungkin. Kmudidan hipotesis itu harus menghadapi ujian-ujian
yang menghadapkannya dengan pernyataan-pernyataan dasar yang diterima.[12]
d. Pandangan Popper tentang “Dunia 3”
Popper memperluas lingkup persoalannya dengan pertanyaan: di manakah letak seluruh sistem
ilmu pengetahuan dengan segala hipotesa, hukum, dan teori yang pernah muncul dan yang dapat
dimengerti sebagai suatu keseluruhan yang masuk akal itu?
Pertanyaan dasar ini dijawab Popper dengan pertama-tama membedakan Dunia I (World I),
yaitu kenyataan fisis dunia, Dunia 2 (World II), yaitu segala kejadian dan kenyataan psikis dalam
diri manusia, dan dari Dunia 3 (World III), yaitu segala hipotesa, hukum, dan teori ciptaan manusia
dan hasil kerja sama antara Dunia 1 dan Dunia 2, serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik,
agama, dan lain sebagainya. Dunia 3 hanya ada selama dihayati, yaitu dalam karya dan penelitian
ilmiah, dalam studi yang sedang berlangsung, membaca buku, dan ilham yang ada dalam diri para
seniman. Sesudah penghayatan itu, semuanya langsung “mengendap” dalam bentuk alat-alat ilmiah,
buku, karya seni, kitab-kitab suci, dan lain sebagainya, yang semuanya merupakan bagian dari
Dunia 1.
Popper menganut indeterminisme, dan terhadap subjektivisme semata-mata, di mana seolah-
olah hukum-hukum alam dimiliki atau dikuasai manusia, Popper memilih pandangan yang
mengatakan bahwa manusia bergerak semakin mendekati kebenaran.[13]
3. Demarkasi
Popper merumuskan demarkaasi sebagai masalah bagaimana menemukan sebuah kriteria yang
bisa membedakan ilmu-ilmu empiris dari matematika, logika dan system-sistem metafisik. Logika
induktif mengakibatkan pengetahuan metafisika tidak bermakna sama sekali.
Popper hendak merumuskan sebuah kriteria demarkasi antara ilmu dan non ilmu (metafisika).
Kriteria demarkasi yang digunakan oleh Popper adalah kriteria falsifiabilitas (kemampuan dan
kemungkinan disalahkan atau disangkal). Setiap pernyataan ilmiah pada dasarnya mengandung
kemampuan disangkal, jadi ilmu pengetahuan empiris harus bisa diuji secara deduktif dan terbuka
kepada kemungkinan falsifikasi empiris.[14]
BAB III
KESIMPULAN
Lingkaran Wina adalah sekelompok sarjana-sarjana ilmu-ilmu pasti dan alam di Wina,
ibukota Austria. Pemikiran aliran Wina adalah neopositivisme atau kerap juga dinamakan
empirisme logis. Mereka berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengalaman saja, yaitu
pengalaman yang mengenal data-data indrawi. Filsafat tradisional harus ditolak, semua ungkapan
dalam bidang teologi dianggap tidak bermakna sama sekali. Soal-soal filsfat hanya semu belaka,
karena tidak didasarkan pada bahasa yang bermakna dan sahih, melainkan pada penggunaan bahasa
yang penuh emosi dan perasaan.
Sedangkan pemikiran dari Karl R. Popper tentang falsifikasi menentang beberapa pendapat
Lingkaran Wina. Popper menentang pembedaan antara ungkapan bermakna dan tidak bermakna,
tetapi mengganti pernyataan itu dengan menyebut garis batas atau demarkasi antara pernyataan
ilmiah dan tidak ilmiah. Popper mengemukakan prinsip falsibialitas, artinya ciri khas pengetahuan
ilmiah ialah bahwa dapat dibuktikan salah.
DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Irmayanti M. 2005. Realitas dan Objektovitas. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Hartoko, Dick. 2002. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Popper, Karl R. 2008. Logika Penemuan Ilmiah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Verhaak, C. 1995. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Paul Kalkoy. Karl R. Popper dan Falsifikasi. (online). http://leonardoansis.wordpress.com/goresan-
pena-sahabatku-yono/goresan-pena-sahabatku-paul-kalkoy/karl-r-popper-dan-falsifikasi/ diakses
pada 11 Mei 2012.