Anda di halaman 1dari 5

BELAJAR HOAX DARI PROF ALAN SOKAL

Alan Sokal. FOTO/Jaime Villanueva


Oleh: Husein Abdulsalam - 4 September 2017
https://tirto.id/belajar-hoax-dari-prof-alan-sokal-cvRZ

“Bahkan komunitas ilmiah yang digawangi akademisi masyhur pun


tidak kebal dari hoax”

Saracen yang disebut pihak kepolisian sebagai sindikat penyebar ujaran kebencian
berhasil memantik perdebatan tentang hoax. Jika sebelumnya hoax diamini dengan
bulat sebagai hal buruk bahkan busuk, kini muncul usaha mendiskusikan peran lain
hoax di era banjir bandang informasi seperti sekarang.

Salah satu nama yang dapat dirujuk untuk membicarakan sisi lain hoax adalah Alan
Sokal. Namanya bahkan diabadikan dalam sebuah term yang cukup terkenal: hoax
Sokal. Apa dan bagaimana sebenarnya hoax ala Alan Sokal tersebut?

HOAX DALAM JURNAL AKADEMIK

Pada edisi ke-46/47 Spring-Summer 1996, Social Text, jurnal ternama di Amerika
Serikat, mempublikasikan paper berjudul Transgressing the Boundaries: Towards a
Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity. Paper sepanjang 39 halaman itu
ditulis Alan Sokal, seorang profesor fisika di New York University dan profesor
matematika di University College London.

Dari segi judul, paper itu terlihat ambisius. Dua kata yang menjadi kata kunci penting
dalam dua tradisi keilmuan, yakni "hermeneutika" dalam kajian budaya dan
"gravitasi kuantum" dalam sains, berpadu dalam satu rangkaian kalimat yang
diawali kata yang juga wah: "transgressing".

Isi paper tersebut pun tidak kalah seru. Sokal banyak menyitir pemikir posmodern
cum pos-strukturalis seperti Jacques Derrida, Jean-Francois Lyotard, Luce Irigaray,
Gilles Deleuze, Felix Guattari, dan Jacques Lacan. Dengan lincah Sokal
memadukan kutipan-kutipan pemikir tersebut dengan temuan-temuan terbaru para
fisikawan seperti Heisenberg, Einstein dan Niels Bohr.

Isi paper tersebut pun tidak kalah seru. Sokal banyak menyitir pemikir posmodern
cum pos-strukturalis seperti Jacques Derrida, Jean-Francois Lyotard, Luce Irigaray,
Gilles Deleuze, Felix Guattari, dan Jacques Lacan. Dengan lincah Sokal
memadukan kutipan-kutipan pemikir tersebut dengan temuan-temuan terbaru para
fisikawan seperti Heisenberg, Einstein dan Niels Bohr.
“Konstanta Einstein bukan suatu konstanta, bukan sebuah pusat. Hal tersebut
sesungguhnya adalah konsep variabilitas, dan pada akhirnya, konsep permainan.
Dengan kata lain, hal tersebut bukan konsep tentang sesuatu – dari suatu pusat dari
mana seorang pengamat menguasai medannya – tetapi sesungguhnya konsep
permainan,” kata Derrida dan dikutip Sokal dalam papernya.

Bagi Sokal, pernyataan Derrida, yang merupakan jawaban terhadap Jean


Hyppoliten yang mempertanyakan teorinya mengenai struktur dan tanda dalam
diskursus sains, menghunjam langsung ke jantung relativitas umum klasik.

“Dalam istilah matematika, observasi Derrida itu berkaitan dengan persamaan


medan Einstein Gμv=8πGTμv dalam diffeomorfisme ruang-waktu non-linear,” ujar
Sokal.

Selain itu, Sokal juga mengatakan spekulasi psikoanalisis yang diungkapkan Lacan
telah dikonfirmasi oleh temuan terbaru dalam Teori Medan Kuantum. Dia juga
mengungkapkan aksioma kesamaan dalam Teori Himpunan Zermelo–Fraenkel di
matematika sama dengan konsep homonim dalam gerakan politik feminis. Sokal
mengungkapkan Teori Himpunan tersebut berakar pada tradisi liberal abad ke-19.

Dalam sub-bab Transgressing the Boundaries: Towards a Liberatory Science, Sokal


secara tersurat juga menegaskan keberpihakannya pada sains pembebasan. Dia
mengajukan lima kriteria sains yang dapat digolongkan sebagai sains posmodern
pembebasan. Salah satunya, sains posmodern mestinya menolak otoritarianisme
dan elitisme yang melekat dalam sains tradisional, serta memberikan basis empiris
untuk pendekatan demokratis terhadap karya ilmiah.

“Isi dan metodologi sains posmodern dengan demikian memberi dukungan


intelektual yang kuat untuk proyek politik progresif, yang dipahami secara luas:
pelanggaran batas, penghancuran hambatan, demokratisasi radikal terhadap
semua aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya,” ujar Sokal.

PAPER HOAX SEBAGAI PEMANTIK PERDEBATAN

Tanpa disangka, beberapa minggu kemudian, tepatnya pada 15 April 1996, dalam
esai berjudul Physicist Experiments with Cultural Studies yang terbit di jurnal Lingua
Franca, Alan Sokal membeberkan bahwa papernya yang tayang di Social Text
hanyalah parodi untuk mengejek para pemikir posmodern. Dengan kata lain, paper
itu adalah hoax.

Menurut Sokal, paper tersebut sengaja dia tulis secara asal-asalan untuk menguji
standar intelektual akademisi humaniora Amerika Serikat. Rumusan masalah yang
diajukannya cukup sederhana. Sokal merumuskannya begini: “Akankah jurnal
kajian budaya ternama di Amerika mempublikasikan sebuah artikel yang penuh
omong kosong jika (1) terkesan bagus dan (2) sejalan dengan pra-konsepsi ideologi
para editor jurnal?”.

Pertanyaan Sokal pun terjawab. Paper hoaxnya itu diterima dan dipublikasikan oleh
Social Text – yang didirikan oleh tiga akademisi, yakni John Brenkman, Stanley
Aronowitz, dan Fredric Jameson (seorang pemikir posmodern yang banyak dikutip
dalam studi kajian budaya).

Menurut Sokal, hasil eksperimennya berhasil menerangkan bahwa ternyata


beberapa sektor akademik Amerika Serikat telah lembam secara intelektual. Hal
tersebut terjadi karena, menurut Sokal, editor Social Text menyukai artikelnya hanya
karena ia memiliki kesimpulan yang sesuai dengan ideologi para editor, yakni
konten dan metodologi sains posmodern menyediakan dukungan intelektual yang
kuat untuk proyek politik progresif.

“Mereka terkesan tidak perlu untuk menganalisis kualitas pembuktian, keterkaitan


argumen, dan bahkan relevansi argumen untuk suatu simpulan tertentu,” lanjut
Sokal, “Mengapa saya melakukannya? Meskipun saya pakai metode satire, tetapi
motivasi saya benar-benar serius. Saya mengkhawatirkan penyebaran, bukan
hanya omong kosong dan pemikiran yang ceroboh, tapi juga jenis pemikiran omong
kosong dan ceroboh yang menyangkal adanya realitas obyektif,” sebut Sokal dalam
esainya di Lingua Franca itu.

Dalam esai sepanjang enam halaman di Lingua Franca itu, Sokal mengungkap hoax
yang tersembunyi dalam papernya. Terkait "psikoanalisis Lacan yang sudah
dikonfirmasi Teori Medan Kuantum", misalnya, Sokal tidak mencantumkan argumen
yang memperkuat pernyataannya tersebut. Ia hanya mengatakan hal itu, dan
pernyataan itu lolos begitu saja dari para penyunting dan pembaca ahli jurnal Social
Text.

“Bahkan pembaca yang berlatarbelakang non-sains pun mungkin bertanya-tanya


apa urusannya Teori Medan Kuantum dengan Psikonalisis?” ejek Sokal.

Sedangkan terkait pernyataannya tentang aksioma kesamaan dalam Teori


Himpunan di Matematika dengan konsep homonim dalam politik feminis, sekaligus
merefleksikan tradisi liberal abad ke-19, Sokal juga bermain-main dengan akurasi.
Padahal Ernst Zermelo dan Abraham Fraenkel mengembangkan Teori
Himpunannya pada abad ke-20, bukan abad-19. Teori tersebut dikembangkan
Zermelo dan Frankel guna mengatasi paradoks yang terdapat dalam teori himpunan
sebelumnya – paradoks ini dikenal dengan nama Paradoks Russel.

“Para pembaca non-matematika pun akan mencurigai [pernyataan] bahwa aksioma


ini merefleksikan teori himpunan [yang] berakar pada tradisi liberal abad ke-19,” ujar
Sokal.

PEMBELAAN SOCIAL TEXT

Setelah Sokal menguak hoax yang dibuatnya, pihak Social Text tidak diam begitu
saja. Melalui sebuah esai yang terbit di jurnal Lingua Franca edisi Juli/Agustus 1996,
dua editor Social Text, Bruce Robbins dan Andrew Ross, menyampaikan
permintaan maaf dan menjelaskan kronologi diterimanya paper Sokal.

“Jelas, sekarang kami menyesal telah menerbitkan artikel Sokal, dan meminta maaf
kepada pembaca kami, dan kepada mereka yang berada dalam kajian sains atau
komunitas kajian budaya yang mungkin merasa pekerjaan mereka telah
diremehkan dari perkara ini,” demikian tulis keduanya dalam esai tersebut.

Dalam klarifikasinya, Social Text menyatakan bahwa sebelum paper “Transgessing”


karya Sokal dipublikasikan, para editor telah meminta Sokal merevisi papernya
tersebut. Mereka meminta Sokal membuang spekulasi filosofis serta
menghilangkan catatan kaki yang memenuhi sebagian besar papernya.

Namun Sokal bersikeras menolak permintaan editor tersebut. Karena itu para editor
menyebut Sokal sebagai "penulis yang sulit dan tidak kooperatif", label yang jamak
dikatakan oleh editor untuk menyebut penulis ngeyelan.
“Kami menilai artikelnya terlalu banyak masalah untuk dipublikasikan, namun belum
kami tolak, karena mungkin cukup menarik pembaca, jika dipublikasikan bersama
artikel terkait lainnya,” tegas para editor.

Meski editor Social Text telah memberikan klarifikasi, perkara "hoax Sokal" tidak
berhenti sampai di situ. Sekitar sebulan setelah klarifikasi tersebut, Sokal
melancarkan serangan balik dengan menulis sebuah paper berjudul Transgressing
the Boundaries: An Afterword. Paper ini diterbitkan oleh jurnal Dissent edisi Musim
Gugur (sekitar September) 1996. Dengan bentuk yang sedikit berbeda, paper
tersebut juga terbit di jurnal Philosophy and Literature pada Oktober 1996.

Paper Transgressing the Boundaries: An Afterword mulanya ia kirimkan kepada


Social Text. Tujuannya untuk menjawab klarifikasi yang ditulis dua editor jurnal
tersebut. Namun, Social Text menampik menerbitkannya dengan alasan tidak
sesuai standar mereka.

Dalam paper An Afterword itu, lagi-lagi Sokal menjelaskan motivasinya menulis


paper hoax di Social Text. Sokal juga menggunakan papernya untuk mengkritik para
akademisi yang kerap mencampuradukkan penelitian dan pra-konsepi atau asumsi
ideologis yang kadung dipercaya/dianut masing-masing.

Pada 2008, guna merangkum pemikirannya terkait filsafat, sains dan kajian budaya,
Sokal menulis buku berjudul Beyond the Hoax: Science, Philosophy and Culture.
Dalam buku tersebut Sokal juga merinci satu per satu hoax yang dia buat dalam
paper Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of
Quantum Gravity.

UJIAN DARI HOAX

Pada bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya, Sokal dan hoaxnya selalu


dibicarakan dan dikenang. Yang dilakukan Sokal hingga hari ini kerap dirujuk
sebagai bukti betapa komunitas akademik pun tidak kedap dari informasi yang tidak
ter/diuji. Jika sebuah jurnal yang digawangi para pakar pun dengan mudah dibobol,
apalagi masyarakat awam yang tidak terbiasa menelaah, menguji atau
memverifikasi sebuah informasi?

Eksperimen yang dilakukan Sokal tidak bisa disejajarkan begitu saja dengan berita-
berita palsu yang secara sadar dan sengaja diproduksi untuk menyesatkan dan
menggiring opini publik -- siapa pun yang membuat. Sokal melakukannya untuk
mengukur batas-batas epistemologi, lebih tepatnya: menguji standar ilmiah dalam
dunia akademik.

Jika hoax Sokal disodorkan untuk menguji para akademisi, berita-berita palsu bisa
saja didudukkan sebagai batu ujian untuk mengukur kemampuan berpikir kritis para
pembaca. Namun berita-berita palsu yang memang diniatkan untuk menyesatkan
publik, entah dibuat oleh masyarakat sipil maupun oleh negara, amatlah berbahaya
karena dampaknya yang bisa sangat luas -- dan tidak berhenti hanya di lingkaran
tertentu seperti komunitas akademik dalam kasus Sokal.

Hoax tidak bisa dihentikan dengan hoax yang lain. Jika Sokal menantang para
akademisi, berita-berita palsu yang menyebar dengan massif sekarang sangat
menantang para ilmuwan teknologi. Tantangan inilah yang sekarang disodorkan
kepada platform-platform raksasa, seperti Facebook dan Google. Dua korporasi
informasi itu ditantang untuk ikut bertanggung jawab terhadap masifnya peredaran
berita palsu, hoax, informasi-informasi menyesatkan lainnya -- yang memicu
kemunculan istilah "post-truth" tahun lalu.

Kendati membantah tuduhan membiarkan hoax beredar melalui platformnya,


terutama terkait Pilpres Amerika, Facebook akhirnya memutuskan untuk berusaha
mengatasi peredaran hoax itu. Perusahaan yang dikomandani Mark Zuckerberg
mulai merancang sistem yang bisa menghentikan peredaran hoax, berita palsu dan
informasi menyesatkan. Untuk melakukannya, Facebook bekerja sama dengan
beberapa organisasi pemeriksa informasi, seperti ABC News, AP, FactCheck.org,
Politifact dan Snopes. Baca juga artikel terkait HOAX atau tulisan menarik lainnya
Husein Abdulsalam (tirto.id - Politik) Reporter: Husein Abdulsalam Penulis: Husein
Abdulsalam Editor: Zen RS Subscribe Now Alan Sokal, seorang professor fisika di
New York University, pernah mempublikasikan paper yang berisi hoax. #Hoax
Populer Alfamart Vs Indomaret: Siapa Lebih Pesat? 1 Yang Terjadi dalam Rentetan
Kericuhan Saat Kampanye Capres di Yogya 2 Saat Peneliti Pertanyakan Survei
PPPP yang Menangkan Prabowo-Sandi 3 Perang Urat Saraf Jokowi-Prabowo di
Balik Jumlah Massa Kampanye 4 Aturan Uji Kompetensi Dokter: Menggantung
Nasib Mahasiswa FK

Obtained on 8th, April 2019

Anda mungkin juga menyukai