Belajar Hoax Dari Prof Alan Sokal
Belajar Hoax Dari Prof Alan Sokal
Saracen yang disebut pihak kepolisian sebagai sindikat penyebar ujaran kebencian
berhasil memantik perdebatan tentang hoax. Jika sebelumnya hoax diamini dengan
bulat sebagai hal buruk bahkan busuk, kini muncul usaha mendiskusikan peran lain
hoax di era banjir bandang informasi seperti sekarang.
Salah satu nama yang dapat dirujuk untuk membicarakan sisi lain hoax adalah Alan
Sokal. Namanya bahkan diabadikan dalam sebuah term yang cukup terkenal: hoax
Sokal. Apa dan bagaimana sebenarnya hoax ala Alan Sokal tersebut?
Pada edisi ke-46/47 Spring-Summer 1996, Social Text, jurnal ternama di Amerika
Serikat, mempublikasikan paper berjudul Transgressing the Boundaries: Towards a
Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity. Paper sepanjang 39 halaman itu
ditulis Alan Sokal, seorang profesor fisika di New York University dan profesor
matematika di University College London.
Dari segi judul, paper itu terlihat ambisius. Dua kata yang menjadi kata kunci penting
dalam dua tradisi keilmuan, yakni "hermeneutika" dalam kajian budaya dan
"gravitasi kuantum" dalam sains, berpadu dalam satu rangkaian kalimat yang
diawali kata yang juga wah: "transgressing".
Isi paper tersebut pun tidak kalah seru. Sokal banyak menyitir pemikir posmodern
cum pos-strukturalis seperti Jacques Derrida, Jean-Francois Lyotard, Luce Irigaray,
Gilles Deleuze, Felix Guattari, dan Jacques Lacan. Dengan lincah Sokal
memadukan kutipan-kutipan pemikir tersebut dengan temuan-temuan terbaru para
fisikawan seperti Heisenberg, Einstein dan Niels Bohr.
Isi paper tersebut pun tidak kalah seru. Sokal banyak menyitir pemikir posmodern
cum pos-strukturalis seperti Jacques Derrida, Jean-Francois Lyotard, Luce Irigaray,
Gilles Deleuze, Felix Guattari, dan Jacques Lacan. Dengan lincah Sokal
memadukan kutipan-kutipan pemikir tersebut dengan temuan-temuan terbaru para
fisikawan seperti Heisenberg, Einstein dan Niels Bohr.
“Konstanta Einstein bukan suatu konstanta, bukan sebuah pusat. Hal tersebut
sesungguhnya adalah konsep variabilitas, dan pada akhirnya, konsep permainan.
Dengan kata lain, hal tersebut bukan konsep tentang sesuatu – dari suatu pusat dari
mana seorang pengamat menguasai medannya – tetapi sesungguhnya konsep
permainan,” kata Derrida dan dikutip Sokal dalam papernya.
Selain itu, Sokal juga mengatakan spekulasi psikoanalisis yang diungkapkan Lacan
telah dikonfirmasi oleh temuan terbaru dalam Teori Medan Kuantum. Dia juga
mengungkapkan aksioma kesamaan dalam Teori Himpunan Zermelo–Fraenkel di
matematika sama dengan konsep homonim dalam gerakan politik feminis. Sokal
mengungkapkan Teori Himpunan tersebut berakar pada tradisi liberal abad ke-19.
Tanpa disangka, beberapa minggu kemudian, tepatnya pada 15 April 1996, dalam
esai berjudul Physicist Experiments with Cultural Studies yang terbit di jurnal Lingua
Franca, Alan Sokal membeberkan bahwa papernya yang tayang di Social Text
hanyalah parodi untuk mengejek para pemikir posmodern. Dengan kata lain, paper
itu adalah hoax.
Menurut Sokal, paper tersebut sengaja dia tulis secara asal-asalan untuk menguji
standar intelektual akademisi humaniora Amerika Serikat. Rumusan masalah yang
diajukannya cukup sederhana. Sokal merumuskannya begini: “Akankah jurnal
kajian budaya ternama di Amerika mempublikasikan sebuah artikel yang penuh
omong kosong jika (1) terkesan bagus dan (2) sejalan dengan pra-konsepsi ideologi
para editor jurnal?”.
Pertanyaan Sokal pun terjawab. Paper hoaxnya itu diterima dan dipublikasikan oleh
Social Text – yang didirikan oleh tiga akademisi, yakni John Brenkman, Stanley
Aronowitz, dan Fredric Jameson (seorang pemikir posmodern yang banyak dikutip
dalam studi kajian budaya).
Dalam esai sepanjang enam halaman di Lingua Franca itu, Sokal mengungkap hoax
yang tersembunyi dalam papernya. Terkait "psikoanalisis Lacan yang sudah
dikonfirmasi Teori Medan Kuantum", misalnya, Sokal tidak mencantumkan argumen
yang memperkuat pernyataannya tersebut. Ia hanya mengatakan hal itu, dan
pernyataan itu lolos begitu saja dari para penyunting dan pembaca ahli jurnal Social
Text.
Setelah Sokal menguak hoax yang dibuatnya, pihak Social Text tidak diam begitu
saja. Melalui sebuah esai yang terbit di jurnal Lingua Franca edisi Juli/Agustus 1996,
dua editor Social Text, Bruce Robbins dan Andrew Ross, menyampaikan
permintaan maaf dan menjelaskan kronologi diterimanya paper Sokal.
“Jelas, sekarang kami menyesal telah menerbitkan artikel Sokal, dan meminta maaf
kepada pembaca kami, dan kepada mereka yang berada dalam kajian sains atau
komunitas kajian budaya yang mungkin merasa pekerjaan mereka telah
diremehkan dari perkara ini,” demikian tulis keduanya dalam esai tersebut.
Namun Sokal bersikeras menolak permintaan editor tersebut. Karena itu para editor
menyebut Sokal sebagai "penulis yang sulit dan tidak kooperatif", label yang jamak
dikatakan oleh editor untuk menyebut penulis ngeyelan.
“Kami menilai artikelnya terlalu banyak masalah untuk dipublikasikan, namun belum
kami tolak, karena mungkin cukup menarik pembaca, jika dipublikasikan bersama
artikel terkait lainnya,” tegas para editor.
Meski editor Social Text telah memberikan klarifikasi, perkara "hoax Sokal" tidak
berhenti sampai di situ. Sekitar sebulan setelah klarifikasi tersebut, Sokal
melancarkan serangan balik dengan menulis sebuah paper berjudul Transgressing
the Boundaries: An Afterword. Paper ini diterbitkan oleh jurnal Dissent edisi Musim
Gugur (sekitar September) 1996. Dengan bentuk yang sedikit berbeda, paper
tersebut juga terbit di jurnal Philosophy and Literature pada Oktober 1996.
Pada 2008, guna merangkum pemikirannya terkait filsafat, sains dan kajian budaya,
Sokal menulis buku berjudul Beyond the Hoax: Science, Philosophy and Culture.
Dalam buku tersebut Sokal juga merinci satu per satu hoax yang dia buat dalam
paper Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of
Quantum Gravity.
Eksperimen yang dilakukan Sokal tidak bisa disejajarkan begitu saja dengan berita-
berita palsu yang secara sadar dan sengaja diproduksi untuk menyesatkan dan
menggiring opini publik -- siapa pun yang membuat. Sokal melakukannya untuk
mengukur batas-batas epistemologi, lebih tepatnya: menguji standar ilmiah dalam
dunia akademik.
Jika hoax Sokal disodorkan untuk menguji para akademisi, berita-berita palsu bisa
saja didudukkan sebagai batu ujian untuk mengukur kemampuan berpikir kritis para
pembaca. Namun berita-berita palsu yang memang diniatkan untuk menyesatkan
publik, entah dibuat oleh masyarakat sipil maupun oleh negara, amatlah berbahaya
karena dampaknya yang bisa sangat luas -- dan tidak berhenti hanya di lingkaran
tertentu seperti komunitas akademik dalam kasus Sokal.
Hoax tidak bisa dihentikan dengan hoax yang lain. Jika Sokal menantang para
akademisi, berita-berita palsu yang menyebar dengan massif sekarang sangat
menantang para ilmuwan teknologi. Tantangan inilah yang sekarang disodorkan
kepada platform-platform raksasa, seperti Facebook dan Google. Dua korporasi
informasi itu ditantang untuk ikut bertanggung jawab terhadap masifnya peredaran
berita palsu, hoax, informasi-informasi menyesatkan lainnya -- yang memicu
kemunculan istilah "post-truth" tahun lalu.