Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

FIQIH IBADAH

Disusun oleh :
Rezki An-Najmi Fathan
J3A020022

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN AJARAN 2021
FIQIH IBADAH
A. Pengertian Fiqih Ibadah

Secara bahasa kata fiqih dapat diartikan al-Ilm, artinya ilmu, dan al-fahm, artinya
pemahaman. Jadi fiqih dapat diartikan ilmu yang mendalam.
Secara istilah fiqih adalah ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syar’i yang
berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Sedangkan mukalaf adalah orang yang layak dibebani dengan kewajiban. Seorang
dianggap mukalaf setidaknya ada dua ukuran; pertama, aqil, maksudnya berakal. Cirinya adalah
seseorang sudah dapat membedakan antara baik dan buruk, dan antara benar dan salah. Kedua,
baligh, maksudnya sudah sampai pada ukuran-ukuran biologis. Untuk laki-laki sudah pernah
ikhtilam (mimpi basah), sedangkan perempuan sudah haid.
Makna fiqih di era awal masa kenabian tidak dikenal seperti dimasa saat ini yang dikenal
sebagai ilmu. Ilmu fiqih adalah ilmu hukum syariat ibadah amaliyah (perbuatan nyata) yang
diamblil dari dalil-dalik tafshili. Sehingga bisa diketahui hukumnya.
Fiqih digali dan diijtihadkan oleh para ulama mengenai hal-hal yang manusia lakukan (al
amaliyah al mulktasab) dari dalil-dalil yang terperinci. Adapun maksud dari makna amaliyah
dalam pengertian fiqih yaitu hukum-hukum yang bersifat praktis seperti sholat, jual beli, puasa,
ekonomi, keluarga. Selain itu Hukum fiqih memiliki sifat berubah-ubah yaitu menyesuaikan
dengan tempat, zaman, atau personal dengan masing-masing orangnya atau dapat disebut sebagai
Fiqih Mutaghairat. Orang yang disebut sebagai ulama fiqih yaitu orang yang diakui
keulamaannya atas kesaksian dari banyak ulama akan kepakaran dan kelayakannya untuk
rujukan dalam ilmu fiqih.
Sementara itu ibadah secara bahasa ada tiga makna; (1) ta’at (‫( ;)الطاعة‬2) tunduk (‫;)الخضوع‬
(3) hina (‫ ;)الذ ّل‬dan (‫ )التنسّك‬pengabdian. Jadi ibadah itu merupakan bentuk ketaatan, ketundukan,
dan pengabdian kepada Allah.

Adapun pendapat lain mengenai ibadah adalah:

‫التقرب ألى هللا بامتثال أوامره واجتنا ب نواهيه والعمل بما أذن به الشا رع وهي عامة وخاصة‬

Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Juga yang dikatakan ibadah adalah beramal dengan yang
diizinkan oleh Syari’ Allah Swt.; karena itu ibadah itu mengandung arti umum dan arti khusus.
Ibadah dalam arti umum adalah segala perbuatan orang Islam yang halal yang dilaksanakan
dengan niat ibadah. Sedangkan ibadah dalam arti yang khusus adalah perbuatan ibadah yang
dilaksanakan dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw. Ibadah dalam arti yang
khusus ini meliputi bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, kurban, aqiqah, nadzar dan kifarat.
Sebagaimana dalil mengenai ibdah yang terdapat di Al Qur'an berikut adalah
:
٤٣ – َ‫َو اَقِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا ال َّز ٰكوةَ َوارْ َكعُوْ ا َم َع الرَّا ِك ِع ْين‬

Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.(Al
Baqarah:43)

١٨٣ - َ‫ب َعلَى الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُوْ ۙن‬


َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ َ ِ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. .(Al Baqarah:183)

١٠٣ - ‫ك َس َك ٌن لَّهُ ۗ ْم َوهّٰللا ُ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬


َ َ‫ص ٰلوت‬
َ ‫صلِّ َعلَ ْي ِه ۗ ْم اِ َّن‬ َ ‫ُخ ْذ ِم ْن اَ ْم َوالِ ِه ْم‬
َ ‫ص َدقَةً تُطَهِّ ُرهُ ْم َوتُ َز ِّك ْي ِه ْم بِهَا َو‬

Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah
Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (At Taubah : 103)

ُ ‫ي َواَل تَحْ لِقُوْ ا ُرءُوْ َس ُك ْم َح ٰتّى يَ ْبلُ َغ ْالهَ ْد‬ ‫هّٰلِل‬


‫ْض‡ا‬ ً ‫ي َم ِحلَّهٗ ۗ فَ َم ْن َك‡‡انَ ِم ْن ُك ْم َّم ِري‬ ِ ۚ ‫صرْ تُ ْم فَ َما ا ْستَ ْي َس َر ِمنَ ْالهَ ْد‬ ِ ْ‫َواَتِ ُّموا ْال َح َّج َو ْال ُع ْم َرةَ ِ ۗ فَا ِ ْن اُح‬
‫ي فَ َم ْن لَّ ْم يَ ِج‡‡ ْد‬ ِ ۚ ‫ك ۚ فَا ِ َذٓا اَ ِم ْنتُ ْم ۗ فَ َم ْن تَ َمتَّ َع بِ ْال ُع ْم َر ِة اِلَى ْال َح ِّج فَ َما ا ْستَ ْي َس َر ِمنَ ْالهَ ْد‬
ٍ ‫ص َدقَ ٍة اَوْ نُ ُس‬َ ْ‫صيَ ٍام اَو‬ ِ ‫اَوْ بِ ٖ ٓه اَ ًذى ِّم ْن َّرْأ ِس ٖه فَفِ ْديَةٌ ِّم ْن‬
‫هّٰللا‬
ْٓ ‡‫ض ِرى ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام ۗ َواتَّقُ‡‡وا َ َوا ْعلَ ُم‬ َ ِ‫ك َع َش َرةٌ َكا ِملَةٌ ٰۗذل‬ َ ‫صيَا ُم ثَ ٰلثَ ِة اَي ٍَّام فِى ْال َح ِّج َو َس ْب َع ٍة اِ َذا َر َج ْعتُ ْم ۗ تِ ْل‬
‫‡وا‬ ِ ‫ك لِ َم ْن لَّ ْم يَ ُك ْن اَ ْهلُهٗ َحا‬ ِ َ‫ف‬
‫هّٰللا‬
١٩٦ - ࣖ ‫ب‬ ِ ‫اَ َّن َ َش ِد ْي ُد ْال ِعقَا‬

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu terkepung (oleh
musuh), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu,
sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau
ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa,
bersedekah atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barangsiapa
mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Tetapi
jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan
tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari). Demikian itu, bagi orang yang
keluarganya tidak ada (tinggal) di sekitar Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya. .(Al Baqarah:183)

Dari dua pengertian tersebut jika digabungkan, maka Fiqih Ibadah adalah ilmu yang
menerangkan tentang dasar-dasar hukum-hukum syar’i khususnya dalam ibadah khas seperti
meliputi bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, kurban, aqiqah dan sebagainya yang kesemuanya itu
ditujukan sebagai rasa bentuk ketundukan dan harapan untuk mecapai ridla Allah. Landasan dari
fiqih ibadah bukan hanya dari Al Quran saja akan tetapi sunnah serta hadist Nabi Muhammad
berikut beberapa hadist terkait yang menjadi rujukan dalam fiqih ibadah :

‫ص‡لَّى هَّللا ُ َعلَيْ‡ ِه‬


َ ِ ‫ْت َر ُس‡و َل هَّللا‬ ُ ‫از ٍم ع َْن َأبِي هُ َريْ‡ َرةَ قَ‡ا َل َس‡ ِمع‬ ِ ‡‫ْس ْب ِن َأبِي َح‬ ِ ‫ص ع َْن بَيَا ِن ب ِْن بِ ْش ٍر ع َْن قَي‬ ِ ‫َح َّدثَنَا هَنَّا ٌد َح َّدثَنَا َأبُو اَأْلحْ َو‬
‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ُ‫اس َخ ْي ٌر لَهُ ِم ْن ْن يَ ْس‡ َل َر ُجاًل ْعطَ‡‡اهُ وْ َمنَ َع‡ ه‬ ِ َّ‫ق ِم ْنهُ فَيَ ْستَ ْغنِ َي بِ ِه ع َْن الن‬ َ َ‫ب َعلَى ظَه ِْر ِه فَيَت‬
َ ‫ص َّد‬ َ ‫َو َسلَّ َم يَقُو ُل َأَل ْن يَ ْغ ُد َو َأ َح ُد ُك ْم فَيَحْ ت َِط‬
‫‡ر ْب ِن‬ ُّ ‫ض ُل ِم ْن ْاليَ ِد ال ُّس ْفلَى َوا ْب‡ َدْأ بِ َم ْن تَ ُع‡‡و ُل قَ‡ا َل َوفِي ْالبَ‡‡اب ع َْن َح ِك ِيم ْب ِن ِح‡ َز ٍام َوَأبِي َس‡ ِعي ٍد ْال ُخ‡ ْد ِريِّ َو‬
ِ ‡‫الزبَ ْي‬ َ ‫َذلِكَ فَِإ َّن ْاليَ َد ْالع ُْليَا َأ ْف‬
‫س َو ُحب ِْش ِّي ْب ِن‬ٍ َ‫ث الصُّ دَاِئ ِّي َوَأن‬ ِ ‫س َوثَوْ بَانَ َو ِزيَا ِد ب ِْن ْال َح‬
ِ ‫ار‬ ٍ ‫ي َو َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َم ْسعُو ٍد َو َم ْسعُو ِد ْب ِن َع ْم ٍرو َوا ْب ِن َعبَّا‬ ِّ ‫َّام َو َع ِطيَّةَ ال َّس ْع ِد‬ِ ‫ْال َعو‬
‫ث‬ ِ ‫َ‡ريبٌ ي ُْس‡تَ ْغ َربُ ِم ْن َح‡ ِدي‬ ِ ‫ص‡ ِحي ٌح غ‬ َ ‫يث َح َس ٌن‬ ٌ ‫يث َأبِي هُ َر ْي َرةَ َح ِد‬ُ ‫ال َأبُو ِعي َسى َح ِد‬ َ َ‫ق َو َس ُم َرةَ َواب ِْن ُع َم َر ق‬ ِ ‫صةَ ْب ِن ُم‬
ٍ ‫خَار‬ َ ‫ُجنَا َدةَ َوقَبِي‬
ٍ ‫بَيَا ٍن ع َْن قَ ْي‬
‫س‬

Telah menceritakan kepada kami Hannad telah menceritakan kepada kami Abu Al Ahwash dari
Bayan bin Bisyr dari Qais bin Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, saya mendengar
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda: " Sungguh jika seseorang diantara kalian
berangkat pagi hari untuk mencari kayu bakar dan dipikul diatas punggungnya, yang dengannya
dia bisa bersedekah dan mencukupi kebutuhannya dari manusia, hal itu lebih baik daripada
meminta-minta kepada orang lain sama saja apakah dia memberi kepadanya atau tidak, karena
sesungguhnya tangan yang diatas lebih baik dari pada tangan yang dibawah dan mulailah
memberi dari orang yang menjadi tanggunganmu". (perawi) berkata, dalam bab ini (ada juga
riwayat -pent) dari Hakim bin Hizam, Abu Sa'id, Zubair bin Awwam, 'Athiyyah Assa'di, Abdullah
bin Mas'ud, Mas'ud bin Amru, Ibnu Abbas, Tsauban, Ziyad bin Harits Ash Shuda'i, Anas, Hubsyi
bin Junadah, Qabishah bin Mukhariq, Samrah dan Ibnu Umar. Abu 'Isa berkata, Hadits Abu
Hurairah merupakan hadits hasan shahih gharib yang digharibkan dari hadits Bayan bin Qais.

َ ‫ق قَا َل َح َّما ٌد َوَأظُ ُّن َأي‬


‫ُّوب قَ‡ ْد َس‡ ِم َعهُ ِم ْن‬ ٍ ‫ُّوب َو ِه َش ٍام ع َْن ُم َح َّم ٍد ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َشقِي‬ َ ‫يع ال َّز ْه َرانِ ُّي َح َّدثَنَا َح َّما ٌد ع َْن َأي‬
ِ ِ‫و َح َّدثَنِي َأبُو ال َّرب‬
‫ص‡ا َم قَ‡ ْد‬َ ‫ت َكانَ يَصُو ُم َحتَّى نَقُو َل قَ ْد‬ ْ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَال‬ َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهَا ع َْن‬
َ ‫صوْ ِم النَّبِ ِّي‬ ِ ‫ت عَاِئ َشةَ َر‬ ُ ‫ق قَا َل َسَأ ْل‬ٍ ‫َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َشقِي‬
ُ‫ض‡انَ و َح‡ َّدثَنَا قُتَ ْيبَ‡ة‬ َ ‫صا َم َش ْهرًا َكا ِماًل ُم ْن ُذ قَ ِد َم ْال َم ِدينَ‡ةَ‡ ِإاَّل َأ ْن يَ ُك‡‡ونَ َر َم‬ َ ُ‫ت َو َما َرَأ ْيتُه‬
ْ َ‫ول قَ ْد َأ ْفطَ َر قَ ْد َأ ْفطَ َر قَال‬َ ُ‫صا َم َويُ ْف ِط ُر َحتَّى نَق‬ َ
ْ ْ
‫ض َي ُ َع ْنهَا بِ ِمثلِ ِه َولَ ْم يَذ ُكرْ فِي اِإْل ْسنَا ِد ِه َشا ًما َواَل ُم َح َّمدًا‬‫هَّللا‬ ِ ‫ت عَاِئ َشةَ َر‬ ْ ‫َأ‬
ُ ‫ق قَا َل َس ل‬ ‫هَّللا‬
ٍ ‫ُّوب ع َْن َع ْب ِد ِ ْب ِن َشقِي‬ ‫َأ‬
َ ‫َح َّدثَنَا َح َّما ٌد ع َْن ي‬

Dan telah menceritakan kepadaku Abu Rabi' Az Zahrani telah menceritakan kepada kami
Hammad dari Ayyub dan Hisyam dari Muhammad dari Abdullah bin Syaqiq - Hammad berkata-
saya menduga bahwa Ayyub telah mendengarnya dari Abdullah bin Syaqiq, ia berkata; Saya
pernah bertanya kepada Aisyah radliallahu 'anha, mengenai puasa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam. Maka Aisyah menjawab, "Beliau berpuasa beberapa hari hingga kami mengira
bahwa beliau akan puasa terus. Dan beliau berbuka beberapa hari hingga kami mengira beliau
akan berbuka terus. Sejak beliau tiba di Madinah, aku tidak pernah melihat beliau puasa
sebulan sembuh, kecuali Ramadlan." Dan Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah
menceritakan kepada kami Hammad dari Ayyub dari Abdullah bin Syaqiq ia berkata; Saya
pernah bertanya kepada Aisyah radliallahu 'anha, yakni dengan hadits semisalnya. Sedangkan
di dalam isnadnya ia tidak menyebutkan; Hisyam dan tidak pula Muhammad.

B. Kaidah Fiqih

Kaidah fiqih merupakan kaidah yang berasal dari simpulan dalil Al-Quran dan sunnah
terkait hukum – hukum fiqih. Ada banyak sekali kaidah fiqh yang dihasilkan oleh para ulama.
Akan tetapi, ada 5 kaidah umum yang utama. Lima kaidah ini sering disebut sebagai al-qawaid
al-fiqhiyah al-kubra. Sedangkan Kaidah fiqih menurut Tajuddin As Subkiy, bahwa Qawa’id
Fiqhiyyah adalah kaidah kulli (umum), dimana masalah-masalah juz’iyyah (bagian/parsial) yang
begitu banyak masuk ke dalamnya, yang daripadanya diketahui hukum-hukum juz’iyyah (Al
Asybah wan Nazhair 1/11 karya Tajuddin Abdul Wahhab As Subkiy).

Berikut adalah kelima kaidah fiqih tersebut yaitu:

ِ ‫)اَُأْل ُموْ ُر بِ َمقَا‬


1. Perkara Tergantung Tujuannya ( ‫ص ِدهَا‬
Kaidah fiqh ini berasal dari hadits Nabi yaitu:

ِ ‫ِإنَّ َما اَأل ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬


‫ َوِإنَّ َما لِ ُك ِّل ا ْم ِرٍئ َما نَ َوى‬،‫ت‬
“Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya.”

Kaidah ini menegaskan bahwa setiap amalan yang dilakukan seseorang akan sangat
tergantung dari niatnya. Apakah amalan itu akan diterima oleh Allah atau tidak tergantung pada
keikhlasan niat orang yang beramal. Kaidah ini juga berarti bahwa setiap amalan mubah bisa
menjadi ibadah jika dilakukan dengan niat ibadah. Misalnya kegiatan duduk diam di masjid bisa
jadi ibadah jika diniatkan untuk itikaf.

Selanjutnya, kaidah ini juga bisa dilakukan untuk membedakan antara perbuatan biasa
atau adat dengan ibadah dilihat dari niatnya. Terakhir, suatu ibadah juga bisa dibedakan dengan
ibadah lain dengan melihat pada niat yang digunakan. Misalnya untuk membedakan shalat dzuhr,
ashar, dan isya. Atau untuk membedakan ibadah puasa daud, senin – kamis, ayaumul bidh, dan
lain – lain.

ِّ ‫)اَ ْليَقِيْنُ الَ يُ َزا ُل بِال َّش‬


2. Keyakinan Tidak Bisa Dihilangkan dengan Keraguan (‫ك‬
Kaidah kedua ini berasal dari hadits tentang orang yang ragu – ragu apakah dia telah
buang angin atau tidak dalam sholatnya. Kemudian, Selain itu, ada pula hadits dari salah satu
sahabat, yaitu Abu Sa’id al-Khufri, dimana Rasulullah SAW bersabda:
َ‫ك َو ْليَ ْب ِن َعلَى َما ا ْستَ ْيقَن‬ ْ
ِ ‫صلَّى ثَالَثًا َأ ْم َأرْ بَعًا فَ ْليَط َر‬
َّ ‫ح ال َّش‬ َ ‫ك َأ َح ُد ُك ْم فِى‬
َ ‫صالَتِ ِه فَلَ ْم يَ ْد ِر َك ْم‬ َّ ‫ِإ َذا َش‬
“Jika salah seorang kalian ragu-ragu dalam sholatnya dan dia tidak tahu apakah dia sudah
sholat tiga atau empat rakaat, maka hendaklah dia buang keraguannya dan menetapkan hatinya
atas apa yang ia yakini.”
Yakin artinya maa kaana tsaabitan bin nazhar wad dalil, yakni sesuatu yang pasti, dengan
dasar pemeriksaan atau dengan dasar dalil (bukti). Sedangkan syak (ragu-ragu) artinya adalah
keadaan yang tidak pasti, berada di tengah-tengah antara betul atau tidak tanpa bisa dikalahkan
salah satunya.
Maksud kaidah kedua adalah bahwa sesuatu yang telah meyakinkan tidak dapat
digoyahkan oleh sesuatu yang masih meragukan, kecuali yang meragukan itu naik menjadi
yakin. Contoh penerapan kaedah kedua adalah seorang yang telah berwudhu, kemudian datang
keraguan apakah ia telah berhadats, maka dalam hal ini ditetapkan yang telah diyakini, yakni
masih ada wudhu dan belum berhadats.

3. Kesempitan Mendatangkan Kemudahan (‫)اَ ْل َم َشقَّةُ تَجْ لِبُ التَّ ْي ِسي َْر‬
Kaidah ketiga ini berasal dari firman Allah sebagai dalil, yaitu:
‫ي ُِري ُد هَّللا ُ بِ ُك ْم ْاليُ ْس َر َواَل ي ُِري ُد بِ ُك ْم ْال ُع ْس َر‬
“Allah menginginkan kemudahan buat kalian dan tidak menginginkan kesulitan buat kalian.”
(Qs. Al Baqarah: 185)

Maksudnya, apabila terdapat kesulitan dalam suatu hal, maka akan ada kemudahan atas
sesuatu yang sebelumnya baku. Dengan kaidah ini, maka hadirlah berbagai macam rukhshah
atau keringanan dalam beribadah apabila seorang muslim mengalami kesulitan.
Misalnya saja keringanan shalat qashar dan tidak berpuasa pada orang yang berada dalam
kondisi safar atau sedang melakukan perjalanan. Atau keringanan kepada orang yang sedang
sakit untuk melakukan shalat dalam posisi duduk atau berbaring. Melakukan tayammum bagi
orang yang sakit meskipun terdapat air. Dan lain sebagainya.
َّ ‫)اَل‬
4. Kemudharatan Hendaknya Dihilangkan (‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬
Kaidah ketiga ini hadir dari observasi ulama terhadap hadits Rasulullah yang mengatakan:

ِ ‫ض َر َر َواَل‬
‫ض َرا َر‬ َ ‫اَل‬
“Janganlah memberikan madharat kepada orang lain dan juga diri kalian sendiri.”
Dengan adanya dalil ini maka seseorang diperbolehkan melakukan sesuatu yang
sebelumnya dilarang untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Misalnya, orang yang
sedang berada dalam kelaparan yang sangat lapar diizinkan makan makanan yang haram untuk
menghilangkan rasa laparnya. Dengan syarat, tidak ada makanan lain selain makanan haram
tersebut dan jika tidak dimakan, maka ia akan mati.
Kondisi lainnya adalah ketika seorang muslim dipaksa untuk mengucapkan kalimat
kekafiran dengan ancaman yang nyata. Maka muslim tersebut boleh mengucapkan kalimat
tersebut dan tetap islam selama di dalam hatinya dia tetap yakin pada ajaran Islam dan
keimanannya tidak berubah.

5. Adat atau Kebiasaan Bisa Menjadi Landasan Hukum (ٌ‫)اَ ْل َعا َدةُ ُم َح َّك َمة‬
Kaidah fiqh ini berasal dari hadits Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan:
‫َما َرآهُ ْال ُم ْسلِ ُمونَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َح َس ٌن‬
“Apa yang kaum muslimin menganggapnya baik maka ia di sisi Allah juga baik.”

Islam sangat menghargai budaya atau adat yang dianggap baik. Berdasarkan definisi di
atas, adat merupakan perkara yang berulang-ulang dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat
pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal dan tabiat yang masih sehat. Adat menjadi hujjah
adalah ketika bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu, tidak termasuk
adat sama sekali hal-hal yang membawa kepada kerusakan, kemaksiatan, dan tidak ada
faedahnya sama sekali, seperti muamalah secara riba, berjudi, menyabung ayam, dan sebagainya
meskipun perbuatan-perbuatan itu menjadi kebiasaan dan bahkan mungkin sudah tidak dirasakan
lagi keburukannya.
Dalam hubungannya dengan kaidah di atas, para Ahli Fiqih menyatakan,

ِ ْ‫ضابِطَ لَهُ فِ ْي ِه َوالَ فِي اللُّ َغ ِة يُرْ َج ُع فِ ْي ِه ِإلَى ْالعُر‬


‫ف‬ ْ ‫ع ُم‬
َ َ‫طلَقًا َوال‬ ُ ْ‫ُكلُّ َما َو َر َد بِ ِه ال َّشر‬
“Semua yang datang dari syara secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama
maupun bahasa, maka dikembalikan kepada uruf (adat yang berlaku).”

Contohnya ukuran nafkah kepada istri dan bentuk ihsan kepada kedua orang tua, serta
bentuk silaturrahim. Contoh penerapan kaedah di atas adalah tentang usia haidh dan baligh, batas
minimal darah haidh dan nifas, lamanya jeda yang bertentangan dengan muwalah (berurutan)
dalam wudhu, banyaknya gerakan menurut adat yang dianggap membatalkan shalat, dsb.

Itulah 5 landasan umum atau kaidah fiqh yang ada dalam agama Islam. Masing – masing
kaidah ini bisa digunakan sesuai dengan waktu dan kondisi yang sesuai. Dengan memahami
kaidah fiqh, akan ada banyak manfaat yang bisa didapat. Salah satunya adalah menjadi lebih
mudah untuk menentukan hukum atau kebolehan suatu perkara.
C. Maqashid Syariah (Tujuan Bersyariah)
Islam merupakan agama yang menyeluruh. Sejalan dengan hal ini, ada banyak aturan dan
hukum yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya. Aturan dan hukum tersebut ada sebagai
pedoman agar seorang muslim tidak salah jalan. Kemudian, hukum dan aturan ini disampaikan
melalui Al Quran dan hadits lewat perantara Rasulullah.
Karena itulah, Al Quran dan hadits juga disebut sebagai sumber dan dasar agama Islam.
Dari kedua sumber tersebut, para ulama pun mengembangkan hukum Islam dan mencari
jawaban atas permasalahan masyarakat Islam. Khususnya yang berkaitan dengan bidang
muamalah. Untuk memudahkan para ulama, maka lahirlah konsep yang disebut sebagai
Maqashid Syariah.
Defini maqasid syariah dikemukakan oleh seorang ulama bernama Asy-Syatibi. Konsep
tersebut diambil dari salah satu kaidah yang mengatakan, “Sesungguhnya syariah bertujuan
untuk mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat”.
Secara bahasa, kata maqashid sendiri berasal dari kata maqshad yang berarti tujuan atau
target. Berangkat dari arti tersebut, beberapa ulama memiliki pengertian atau definisi mengenai
maqashid syariah yang berbeda. Al-Fasi misalnya, menurutnya, maqashid syariah merupakan
tujuan atau rahasia Allah yang ada dalam setiap hukum syariat.
Sedangkan ar-Risuni berpendapat bahwa maqashid syariah adalah tujuan yang ingin
dicapai oleh syariat agar kemashlahatan manusia bisa terwujud. Secara umum, maqashid syariah
memiliki tujuan untuk kebaikan atau kemashlahatan umat manusia. Tujuan ini sejalan dengan
tujuan dari hukum Allah yaitu kebaikan.
Kemashlahatan yang dimaksud dalam hal ini mencakup segala hal dalam kehidupan
manusia. Termasuk di dalamnya rezeki manusia, kebutuhan dasar hidup, dan juga kebutuhan lain
yang diperlukan manusia. Di dalamnya juga mencakup kualitas emosional, intelektual, dan juga
pemahaman atau pengertian yang mutlak.
Menurut imam asy-Syatibi, ada lima bentuk maqashid syariah. Lima bentuk ini disebut
juga sebagai lima prinsip umum atau kulliyat al-khamsah. Masing-masing bentuk ini memiliki
dua pembagian, yaitu dari segi wujud atau penjagaan dan dari segi ‘adam atau pencegahan. Lima
bentuk maqashid syariah ini adalah sebagai berikut:

1. Maqashid syariah untuk melindungi agama (‫)حفظ الدين‬


Bentuk maqashid syariah untuk melindungi agama merupakan hak memeluk dan
meyakini seseorang boleh dan berhak memeluk agama yang diyakini secara bebas dan tanpa
gangguan.

Contoh penjagaannya adalah dengan melaksanakan shalat dan zakat. Sedangkan dari segi
pencegahan dilakukan dengan jihad atau hukuman bagi orang-orang yang murtad.

2. Maqashid syariah untuk melindungi jiwa (‫)حفظ النفس‬


Bentuk maqashid syariah untuk melindungi jiwa merupakan landasan dan alasan yang
menyatakan bahwa seorang manusia tidak boleh disakiti, dilukai, apalagi dibunuh.

Contoh penerapannya adalah dengan makan dan minum. Sedangkan dari segi pencegahan
dilakukan dengan cara qisas dan diyat.

3. Maqashid syariah untuk melindungi pikiran (‫)حفظ العقل‬


Bentuk maqashid syariah untuk melindungi pikiran atau akal. Berangkat dari hal ini,
maka segala hal yang menyebabkan hilangnya akal menjadi tidak boleh. Termasuk di dalamnya
mengonsumsi narkoba atau minuman keras. Termasuk dalam hal ini juga adalah kebebasan
berpendapat secara aman bagi setiap orang.

Contoh penerapannya dalam bentuk penjagaan dilakukan dengan makan dan mencari
makan. Sedangkan dalam bentuk pencegahan dilakukan dengan menegakkan hukum bagi
pengonsumsi narkoba.

4. Maqashid syariah untuk melindungi harta (‫)حفظ المال‬


Maqashid syariah untuk melindungi harta menjamin bahwa setiap orang berhak memiliki
kekayaan harta benda dan merebutnya dari orang lain merupakan hal yang dilarang. Baik dalam
bentuk pencurian, korupsi, dan lain sebagainya.

Contoh penerapan hal ini dilakukan dengan cara melaksanakan jual beli dan mencari
rizki. Sedangkan bentuk pencegahan dilakukan dengan hukum potong tangan bagi pencuri dan
menghindari riba.

5. Maqashid syariah untuk melindungi keturunan (‫)حفظ النسل‬


Maqashid syariah untuk melindungi keturunan membuat maka zina menjadi terlarang
karena dapat memberikan dampak negatif. Baik secara biologis, psikologis, ekonomi, sosial,
nasab, hukum waris, dan lain sebagainya.

Karena itu, penjagaannya dilakukan dalam bentuk pernikahan, sedangkan bentuk


pencegahan dilakukan dengan menegakkan hukum bagi orang yang berzina dan yang menuduh
orang lain berzina tanpa adanya bukti.

Refrensi ’: Al Asybah wan Nazhair (Jalaluddin As Suyuthi), Al Asybah wan Nazhair


(Tajuddin As Subkiy), Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih (Drs. Abdul Mujib), Idhahul Qawa’id Al
Fiqhiyyah (Abdullah bin Sa’id Al Lahji), https://quran.kemenag.go.id/,
http://www.alukah.net/sharia/0/87835/

Anda mungkin juga menyukai