Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ULUMUL QUR’AN

NASHIK-MANSUKH, MU’JIZAT, TAFSIR, TAKWIL DAN


TERJEMAHANYA

Dosen Pengampu: DRS. H. Parlagutan Dalimunthe M.M

Disusun Oleh:

1. Muhammad Ihsan Fauzi (2301040023)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

SEMESTER I

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM DAAR AL ULUUM

ASAHAN-KISARAN

2023/2024
BAB I

NASHIK - MANSUKH

A. Pengertian Nashik-Mansukh
Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an mengemukakan arti
kata nasakh dalam beberapa makna, diantaranya adalah menghilangkan,
memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain, mengganti atau
menukar, membatalkan atau mengubah, dan pengalihan. Nasakh dalam istilah
para ahli ilmu ushul fiqh adalah membatalkan hukum syar’i dengan dalil yang
datang kemudian, yang menunjukkan pembatalan, secara tersurat atau tersirat,
baik pembatalan secara keseluruhan ataupun pembatalan sebagian, menurut
keperluan yang ada. Atau Melahirkan dalil yang dating kemudian yang secara
implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu Hal yang demikian luas
dipersempit oleh ulama’ yang datang kemudian (mutaakhkhirin).
Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang
kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya
masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang
berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.1
Pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang
dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil. Sedangkan menurut
istilah para ulama’, mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’
yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan
hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian. Tegasnya, dalam mansukh
itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan
diganti dengan yang baru, karena adanya situasi dan kondisi yang menghendaki
perubahan dan penggantian hukum.

1
Jalal Al-Din Al-Uyuthi, (1979), Al-Itqan Fi’Ulumul Al-Qur’an, (Beirut:
Dar Al-Fikr)

1
B. Rukun dan Syarat Nashik-Mansukh
Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, perlu
diketahui syarat-syarat nasakh. Syarat-syarat nasakh yang dimaksud adalah
sebagai berikut:

1. Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum


yang dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak
terikat atau tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat
dengan waktu maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu
tersebut. Karena itu, maka yang demikian itu tidak dapat dinamakan
dengan nasakh. Di samping itu, mansukh (ayat yang dihapus) tidak
bersifat “ajeg” secara nashshi, dan ayat yang mansukh itu lebih dahulu
diturunkan dari pada ayat yang nasikh (menghapus).
2. Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan
syarat, datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri
yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan
sesuatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ijma’
(konsensus) ataupun qiyas (analogi).
3. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang
ketentuan hukum yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan kadang-
kadang pula berupa sunnah.
4. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-
orang yang sudahaqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi
sasaran hukum yang menghapus dan atau yang dihapus itu adalah
tertuju kepada mereka.

C. Perbedaan Nashik-Mansukh dan Bada‘


Yang membatalkan disebut nasikh, dengan demikian habisnya masa
berlaku suatu hukum pada seseorang seperti meninggal, hilang kecakapan
bertindak hukum atau hilangnya ilat hukum, tidak dinamakan nasakh.
Yang dibatalkan itu adalah hukum syara' dan disebut dengan mansukh

2
bada’ merupakan proses peniadaan hukum dengan tanpa adanya faktor
kesengajaan, atau dengan kata lain, sang subjek belum mengetahui akan
adanya penghapusan hukum tersebut.

D. Bentuk dan Macam-macam Nashik-Mansukh Dalam Al-Qur’an


1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh: Dinasakhnya hukum tentang ‘iddah dengan haul (setahun) menjadi
empat bulan sepuluh hari.

‫اعا إِ ََل ا ْْلَْوِل َغ ْ َي‬ ِ ِ ِ ِ ِ


ً َ‫اجا َوصيَّةً ِل َْزَواج ِه ْم َمت‬ َ ‫َوالَّذ‬
ً ‫ين يُتَ َوفَّ ْو َن مْن ُك ْم َويَ َذ ُرو َن أ َْزَو‬
ٍ ‫إِخر ٍاج فَِإ ْن خرجن فَََل جنَاح علَي ُكم ِِف ما فَعلْن ِِف أَنْ ُف ِس ِه َّن ِمن معر‬
‫وف‬ُْ َ ْ َ َ َ ْ َْ َ ُ َ ْ ََ َْ
٢٤٠ : ‫اَّللُ َع ِز ٌيز َح ِك ٌيم ]البقرة‬
َّ ‫َو‬
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa
bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 240)
2. Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah
Hadith mutawatir dan ahad dinasakh oleh hadits mutawatir, dan hadits ahad
dinasakh oleh hadith ahad.

ُ ‫فَ ُزْوُرْوَها أَلَ الْ ُقبُ ْوِر ِزََي َرةِ َع ْن ََنَْي تُ ُك ْم ُكْن‬
‫ت‬
“Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka sekarang
berziarahlah”
3. Nasakh as-Sunnah Oleh al-Qur’an
Menghadap Baitul Maqdis telah dinasakh al-Qur’an:

3
ِ َ ‫السم ِاء فَلَنُولِي ن‬
َ ‫اها فَ َوِل َو ْج َه‬
‫ك‬ َ‫ض‬ َ ‫َّك قْب لَةً تَ ْر‬ ََ َ ‫ب َو ْج ِه‬
َ َّ ‫ك ِِف‬ َ ُّ‫قَ ْد نََرى تَ َقل‬
ِ ِ ُ ‫َشطَْر الْ َم ْس ِج ِد ا ْْلََرِام َو َحْي‬
َ ‫وه ُك ْم َشطَْرهُ َوإ َّن الَّذ‬
‫ين أُوتُوا‬ َ ‫ث َما ُكْن تُ ْم فَ َولُّوا ُو ُج‬
‫اَّللُ بِغَافِ ٍل َع َّما يَ ْع َملُو َن [البقرة‬
َّ ‫اب لَيَ ْعلَ ُمو َن أَنَّهُ ا ْْلَ ُّق ِم ْن َرّبِِ ْم َوَما‬ ِ
َ َ‫الْكت‬
:١٤٤[
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu
berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan Injil) memang
mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 144)
4. Naskh (penghapusan) bacaan dan hukumnya, seperti yang telah
diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah; “semula diturunkan bahwa sepuluh
kali susuan yang jelas, dapat menyebabkan haram (untuk dikawini),
kemudian dihapus dengan lima kali susuan yang jelas”. Tilawah (bacaan)
ayat tersebut sudah tidak ada dalam mushaf Usman, demikian pula hukum
yang terkandung di dalamnya.
5. Naskh (penghapusan) hukumnya saja, sedang tilawah (bacaan)nya tetap.
Contoh naskh semacam ini adalah kewajiban isteri tetap di rumah suami
dengan memperoleh nafkah selama satu tahun penuh di-naskh-kan oleh ayat
yang menentukan iddah mati empat bulan sepuluh hari

4
6. Naskh (penghapusan) bacaannya saja, sedang hukumnya tetap, seperti ayat
ar-rajm.2

2
Muhammad Quraish Shihab, (1996), Sejarah & Ulumul Al-Qur’an,
(Jakarta: Pustaka Firdaus)

5
BAB II

MU’JIZAT

A. Pengertian Mu’jizat
Pengertian Mukjizat secara lughawi/bahasa, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), mukjizat artinya kejadian atau peristiwa ajaib yang
sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Pengertian ini senada dengan
pengertian mukjizat jika ditinjau dari bahasa asalnya, yakni bahasa Arab
Mukjizat (Mu'jizah) adalah perkara di luar kebiasaan yang dilakukan oleh
Allah melalui para nabi dan rasul- Nya untuk membuktikan kebenaran
kenabian dan keabsahan risalahnya.
Secara Etimologi kata mukjizat berasal dari kata bahasa Arab yang
berarti melemahkan, dari kata ‘ajaza (lemah) yu’jizu i’jazan yang artinya
melemahkan, memperlemah, atau menetapkan kelemahan, atau kata ‘ajaza
yu’jizu i’jazan yang artinya melemahkan atau menjadikan tidak mampu.
Dalam aqidah Islam mukjizat dimaknakan sebagai suatu peristiwa
yang terjadi di luar kebiasaan yang digunakan untuk mendukung kebenaran
kenabian seorang nabi dan/atau kerasulan seorang rasul, sekaligus melemah
kanlawan-lawan/musuh-musuh yang meragukan kebenarannya. Pengertian ini
terkait dengan kehadiran seorang nabi atau rasul. Rasul di dalam
menyampaikan ajarannya seringkali mendapatkan pertentangan dari
masyarakatnya. Misalnya, ajarannya dianggap obrolan bohong (dusta), bahkan
seringkali dianggap sebagai tipu daya (sihir).
Oleh karenanya, untukmembuktikan kebenaran kenabian dan
kerasulan tersebut sekaligus untuk melemahkan tuduhan para penentangnya
maka para nabi dan rasul diberi kelebihan berupa peristiwa besar yang luar
biasa yang disebut dengan mukjizat.

B. Macam-macam Mu’jizat
1. Mukjizat Syahsiyah

6
Mukjizat syahsiyah adalah mukjizat yang keluar dan berasal dari tubuh seorang
Nabi serta Rasul. Sepertinya halnya peristiwa air yang keluar dari celah-celah
jari Rasulullah SAW, cahaya bulan hingga memancar dari tangan Nabi Musa
AS serta adanya penyembuhan penyakit buta dan juga kista oleh Nabi Isa as.
2. Mukjizat Aqliyyah
Mukjizat Aqliyyah merupakan mukjizat rasional atau masuk akal. Karena
hanya ada satu mukjizat, yaitu kitab suci Al-Quran.
3. Mukjizat Kauniyah
Mukjizat Kauniyah adalah mukjizat yang memiliki kaitan dengan peristiwa
alam, seperti misalnya peristiwa bulan yang dibelah menjadi 2 oleh Nabi
Muhammad dan peristiwa dibelahnya Laut Merah oleh Nabi Musa as dengan
tongkat.
4. Mukjizat Salbiah
Mukjizat salbiah adalah yang membuat sesuatu tidak berdaya. Seperti peristiwa
nabi Ibrahim AS yang dibakar oleh Raja Namrud akan tetapi api tak mampu
membakar tubuhnya.3

C. Segi Kemu’jizatan Al-Qur’an


Ternyata aspek kemukjizatan Al-Qur'an sangat menarik perhatian
ulama Al-Qur'an, dan mereka menilai dari sudut pandang kecenderungan
mereka. Karena itu, di antara mereka terdapat perbedaan pandangan
mengenai kemukjizatan Al-Qur'an. Di sini Qaththan kembali menyebutkan
beberapa segi kemukjizatan Al-Qur'an, baik yang diterima maupun yang
ditolaknya.
Pertama, kalangan Syi'ah menyatakan, kemukjizatanAlQur'an terletak
pada metode yang digunakan, yaitu metode shirfah (pemalingan). Menurut al-
Nizham, dari Syi'ah, shirfah ialah Allah memalingkan orang-orang Arabu ntuk

3
Manna Khalil Al-Qaththan, (1994) Studi Ilmu-ilmu. Al-Qur’an. Terj.
Mudzakir AS, Cet, 2 (Jakarta:Litera Antar Nusa)

7
menantang Al-Qur'an, padahal sebenarnya mereka mampu menghadapi
tantangan tersebut. Pemalingan inilah yang luar biasa. Adapun menurut tokoh
Syi'ah lainnya, al-Murtadha, mengatakan bahwa shirfah ialah Allah SWT
mencabut ilmu-ilmu mereka yang diperlukan untuk menghadapi Al-Qur'an.
Pendapat tentang shirfah ini ditolak oleh Al-Qur'an sendiri, maka dengan
sendirinya pendapat mengenai shirfah ini batil. Allah SWT berfirman dalam
surah al-Isr’a [17]: 88.
Katakanlah, "sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa dengan Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain.”
Ayat ini menunjukkan kelemahan mereka, meskipun memiliki
kemampuan, sekiranya kemampuan mereka sudah dicabut, maka apalah
artinya tantangan untuk mengumpulkan manusia dan jin yang telah hilang
kemampuannya.
Kedua, kelompok lain berpendapat, mukjizat Al-Qur’'an terletak pada
segi balaghah yang tinggi. Tentunya, pendapat ini oleh para ahli sastrayang
gemar pada gaya bahasa yang bernilai tinggi dan mengagumkan.
Ketiga, kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada kandungan Badi’ yang
unik.
Keempat, kelompok lain mengatakan bahwa kemukjizatan AJ-Qur'an
terletak pada pengungkapannya akan kabar-kabar yang gaib yang hanya
diketahui melalui wahyu, dan hal-hal mengenai penciptaan makhluk yang tidak
mungkin diterangkan oleh seorang yang ummi dan tidak berhubungan dengan
ahl kitab. Namun argumen tendapat ini sangat lemah, dan ditolak. Sebab
kelompok ini hanya menganggap ayat-ayat yang menceritakan hal-hal gaib dan
penciptaan makhluk saja yang dianggap sebagai mukjizat. Padahal, seluruh
ayat AlQur'an adalah mukjizat, baik yang mengandung kabar-kabar gaib
maupun yang tidak memuat kabar gaib. Allah SWT telah menjadikan setiap
surah sebagai mukjizat tersendiri.

8
Kelima, sebagian ulama mengatakan Al-Qur'an sebagai mukjizat
karena di dalamnya terkandung aneka macam ilmu dan hikmah yang sangat
mendalam. Masih banyak lagi ulama yang mengatakan kemukjizatan Al-
Qur'an dari aspek ilmiah.

9
BAB III
TAFSIR, TAKWIL DAN TERJEMAHANYA

A. Pengertian Tafsir, Takwil Dan Terjemahanya


Secara bahasa, kata tafsir mengikuti pola taf'il, berasal dari kata al-
fasr (f, s, r) yang berarti "menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau
menerangkan makna yang abstrak." Kata al-tafsir dan al-fasr mempunyai
arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisan al-'Arab
dinyatakan bahwa kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup,
sedangkan kata al-tafsir berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang
musykil (pelik).
Derivasi kata ta'wil berasal dari kata "awwal" yang berarti al-marja',
yang berarti "tempat kembali." Awwala-yu'awwilu-ta'wilan. Ta'wil ada dua
macam. Pertama, ta‘wil kalam dalam pengertian bahwa si pembicara
mengembalikan perkataannya dengan merujuk pada asalnya. Pengertian
kalam ini ialah mengembalikan kepada makna hakikinya yang merupakan
esensi sebenarnya dari yang dimaksud si pembicara. Kalam terdiri atas dua
kemungkinan insya dan ikhtibar, salah satu yang termasuk ke dalam insya
ialah amr (kalimat perintah). Ta'wil al-amrialah esensi perbuatan yang
diperintahkan, misalnya Hadis yang diriwayatkan dari A'isyah r.a ., ia
berkata "Rasulullah membaca dalam rukuk dan sujudnya."
Tarjamah atau dalam tradisi pengucapan Indonesia menjadi
terjemah. Dalam buku Manahil al-Irfan, karya al Zarqani dijelaskan bahwa
menurut tinjauan bahasa, kata terjemah mengandung empat pengertian.
Pertama, menyampaikan pembicaraan, kalam kepada orang yang belum
mengetahuinya. Kedua, menafsirkan pembicaraan, kalam dengan
menggunakan bahasa aslinya, dengan pengertian terjemah semacam ini,
maka gelar Ibn 'Abbas sebagai turjuman Al-Qur'an dapat dipahami.
Demikian pula yang dimaksudkan al-Zamakhsyari dalam kitabnya Asas al-
Balaghah yang menyatakan, "setiap kalimat yang diterjemahkan adalah juga
ditafsirkannya." Ketiga, menafsirkan pembicaraan, kalam dengan bahasa

10
lain yang bukan bahasa aslinya. Dalam Lisan al-'Ar?b dan kamus, dikatakan
bahwa turjuman ialah mufasir kalam. Jadi, menerjemahkan suatu kalimat
berarti menafsirkannya dengan bahasa lain, demikian menurut al-Jauhari. 4

B. Klasifikasi Tafsir Bil Ma’tsur dan Bi al- Ra‘yi


Tafsir bi al-ma'tsur kerap disebut tafsir bi al-riwayah atau bi al-nagli.
Metode penafsiran ini merujuk kepada penafsiran Al-Qur'an dengan dasar
periwayatan, riwayat dari Al-Qur'an, Sunnah, dan perkataan sahabat. Jadi,
tafsir bi al-ma'tsur adalah penafsiran Al-Qur'an dengan Al-Qur'an,
penafsiran Al-Qur'an dengan Hadis, dan penafsiran Al-Qur'an melalui
penuturan para sahabat. Metode tafsir yang dipakai dalam penafsiran bi al-
ma'tsur adalah yang memiliki kekuatan yang paling tinggi dibandingkan
dengan metode tafsir lain. Penafsiran metode inilah yang seharusnya
dijadikan sumber utama.
Tafsir bi al-ra’yi atau tafsir bi al-ma' qul. Sesuai dengan nama yang
disandang, tafsir ini tidak menyandarkan pada periwayatan, melainkan pada
kekuatan rasional (ijtihad). Dengan demikian, sandaran mereka adalah
kemampuan bahasa, aspek peradaban Arab, pemahaman dan penggunaan
gaya sains bahasa dan yang ilmu dipakai pengetahuan untuk berkomunikasi
lain yang menopang dalam penafsiran suatu ayat. Di samping itu, ilmu ilmu
tentang grammar, retorika, etimologiaan ushul figh juga menjadi
pertimbangan bagi ulama tafsir dengan metode tafsir bi al-ra'yi. Yang
dimaksud dengan tafsir bi al-ra'yi ialah penafsiran dengan menggunakan
ijtihad yang berdasarkan atas prinsip-prinsip logika yang benar, sistem
berpikir yang sah, dan syarat yang ketat. Jadi, bukan berdasarkan atas hawa
nafsu dan pendapat akal semata. Al-Qurthubi mengatakan, "siapa saja yang
memahami Al-Qur'an berdasarkan atas dugaan dan apa yang terlintas di
dalam batinnya, tanpa berpegang pada prinsip-prinsip yang disetujui,

4
T.M Hasbie Ash-Shiddiqie, (1992), Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-
Qur’an/Tafsir, Cet. 14, (Jakarta:Bulan Bintang)

11
maka ia salah dan tercela. Mereka termasuk kelompok yang telah diwanti-
wanti oleh Hadis Nabi:"

12
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah membatalkan
hukum syar’i dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan
pembatalan, secara tersurat atau tersirat, baik pembatalan secara
keseluruhan ataupun pembatalan sebagian, menurut keperluan yang
ada.
2. Pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang
dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil. Sedangkan
menurut istilah para ulama’, mansukh ialah hukum syara’ yang diambil
dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan
dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
3. Pengertian Mukjizat secara lughawi/bahasa, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), mukjizat artinya kejadian atau peristiwa
ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia.
4. Derivasi kata ta'wil berasal dari kata "awwal" yang berarti al-marja',
yang berarti "tempat kembali." Awwala-yu'awwilu-ta'wilan. Ta'wil ada
dua macam.
5. Secara bahasa, kata tafsir mengikuti pola taf'il, berasal dari kata al-fasr
(f, s, r) yang berarti "menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau
menerangkan makna yang abstrak." Kata al-tafsir dan al-fasr
mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam
Lisan al-'Arab dinyatakan bahwa kata al-fasr berarti menyingkap
sesuatu yang tertutup, sedangkan kata al-tafsir berarti menyingkapkan
maksud sesuatu lafaz yang musykil (pelik).
6. Tarjamah atau dalam tradisi pengucapan Indonesia menjadi terjemah.
Dalam buku Manahil al-Irfan, karya al Zarqani dijelaskan bahwa
menurut tinjauan bahasa, kata terjemah mengandung empat pengertian.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddiqie, T.M Hasbie, (1992), Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-


Qur’an/Tafsir, Cet. 14, (Jakarta:Bulan Bintang)
Al-Uyuthi, Jalal Al-Din,(1979), Al-Itqan Fi’Ulumul Al-Qur’an, (Beirut:
Dar Al-Fikr)
Al-Qaththan, Manna Khalil, (1994) Studi Ilmu-ilmu. Al-Qur’an. Terj.
Mudzakir AS, Cet, 2 (Jakarta:Litera Antar Nusa)

Shihab, Muhammad Quraish, (1996), Sejarah & Ulumul Al-Qur’an,


(Jakarta: Pustaka Firdaus)

14

Anda mungkin juga menyukai