Anda di halaman 1dari 8

MENUTUP AURAT DENGAN JILBAB DAN KERUDUNG ADALAH WAJIB BAGI MUSLIMAH

Sebuah buku kecil diterbitkan oleh PSI-UII Yogyakarta mempersoalkan tentang wajib
tidaknya perempuan muslim mengenakan jilbab. Buku berjudul “Benarkah Islam
Mewajibkan Berjilbab?” tersebut ditulis oleh Ratna Batara Munti.
Dalam pemaparannya, penulis buku mencoba untuk meyakinkan pembaca bahwa jilbab
adalah hukum yang terkait dengan tradisi bangsa Arab di zaman Nabi. Selain itu, perbedaan
pendapat di kalangan para ulama dan perubahan zaman yang menuntut adanya kemudahan
dalam kehidupan perempuan, menjadi dasar bagi penulis untuk menggiring pembaca sampai
pada kesimpulan bahwa jilbab tidak wajib hukumnya.
Pemahaman seperti ini menjadi berbahaya ketika pembaca adalah orang-orang yang masih
awam dengan hukum Islam. Mereka tidak memahami dalil dan penggunaan dalil dalam
penetapan suatu hukum. Mereka semata-mata taqlid, mengikut. Bila mereka taqlid kepada
para ulama yang lurus, maka mereka juga lurus. Namun bila mereka menjatuhkan pilihan
taqlid kepada ulama-ulama suu’, yang sesat dan menyesatkan, maka mereka ikut tersesat.
Tulisan ini mencoba untuk membahas hukum-hukum Islam terkait dengan menutup aurat
dan dengan apa perempuan harus menutupnya, sebagai upaya pelurusan terhadap ide-ide
yang diaruskan para pengikut gender, tulisan Ratna Batara Munti adalah salah satunya.
Memposisikan Dalil sebagai Dasar Suatu Hukum
Allah menciptakan akal bagi manusia merupakan suatu bentuk hidayah. Dengan akal
tersebut manusia dapat berpikir dan membedakan baik dan buruk. Itulah sebabnya Allah
menjadikan akal sebagai obyek pembebanan (taklif) terhadap hukum syara’. Orang yang
akalnya tidak sempurna, dilepaskan dari taklif tersebut.
Namun dengan pemberian akal pada manusia tidak lantas Allah membebaskan manusia
untuk menetapkan hukum. Akal manusia adalah terbatas. Baik menurut satu orang belum
tentu baik bagi orang lain. Begitu pula maslahat bagi seseorang belum tentu maslahat bagi
yang lain. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT :

َّ ‫س ٰى أَن ت ُ ِحبُّوا شَيئًا َو ُه َو ش ٌَّر لَّ ُكم ۗ َو‬


ُ‫َّللا‬ َ ‫س ٰى أَن تَك َر ُهوا شَيئًا َو ُه َو خَي ٌر لَّ ُكم ۖ َو‬
َ ‫ع‬ َ ‫ع‬ َ ‫َو‬
َ‫يَعلَ ُم َوأَنتُم ََل تَعلَ ُمون‬
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah : 216)
Karena itulah, dalam masalah hukum syara’, akal berfungsi sebatas memahami dalil dan
melakukan penggalian dari dalil untuk menetapkan hukum. Artinya, semua hukum syara’
harus memiliki landasan dalil, bukan berlandaskan kepada akal atau apa yang ditetapkan
akal semata. Allah berfirman :

َّ ‫سو ِل ِإن ُكنتُم تُؤ ِمنُونَ ِب‬


ۗ ‫اَّللِ َوال َيو ِم اْل ِخ ِر‬ ُ ‫الر‬ ِ َّ ‫فَإِن تَنَازَ عتُم فِي شَيءٍ فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬
َّ ‫َّللا َو‬
‫يل‬ َ ‫ٰذَ ِل َك خَي ٌر َوأَح‬
ً ‫س ُن تَأ ِو‬
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An
Nisaa:59).
Begitu pula Rasulullah saw bersabda ketika mengutus Abu Musa ke Yaman :
“Putuskanlah dengan Kitabullah, jika engkau tidak mendapatkannya di dalam kitabullah
maka putuskanlah dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak mendapatkannya di dalam
sunnah Rasul-Nya, maka berijtihadlah dengan pendapatmu.”
Yang dimaksud ijtihad adalah melakukan segala upaya untuk mengeluarkan suatu hukum
yang digali dari dalil-dalil syar’i, yakni Kitabullah dan Hadist Rasul (Ash-Shiddieqy, 1980).
Dari sini jelas bahwa yang dimaksud dalil dalam Islam merupakan sumber hukum. Dalil
tersebut bisa berupa Al Qur’an, hadist, dan ijma’ dari para shahabat. Sedangkan qiyas
(menganalogkan hukum suatu perbuatan yang belum memiliki ketetapan hukum dengan
perbuatan lain yang sudah memiliki hukum karena ada kesamaan illat) menjadi sumber
hukum apabila illat yang digunakan untuk menganalogkan hukum berasal dari 3 sumber
hukum sebelumnya.
Terkait dengan hadist, ada hadist yang bersifat mutawatir, yaitu diriwayatkan oleh perawi
yang jumlahnya banyak di setiap generasi, dan ada hadist ahad yang jumlah perawi di setiap
generasinya tidak mencapai persyaratan mutawatir.
Hadist mutawatir dapat digunakan sebagai rujukan dalil bagi masalah aqidah, karena bersifat
qath’iy (pasti, tidak ada keraguan lagi). Ini karena aqidah adalah masalah yang sangat
mendasar, menjadi pembeda bagi iman dan kafir.
Sedangkan dalam masalah hukum, hadist ahad disepakati para ulama menjadi hujah selama
hadist tersebut shahih dan hasan. Imam Hasan As-Shaibani (w. 189 H) dalam bukunya
menyatakan secara jelas: “ Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi
sebagai dalil amal perbuatan” Begitu juga Imam At-Thobari (w. 310 H) menyatakan: “Hadis
Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi dalil dalam masalah amal
perbuatan ”. Begitu pula pendapat para ulama yang masyhur lainnya.
Dengan demikian, penetapan hukum berdasarkan maslahat dari pandangan manusia, atau
berdasarkan nilai-nilai tertentu yang ditetapkan manusia seperti al adalah (keadilan), al
insaniyyah (kemanusiaan) atau musawwa (persamaan), tidaklah dapat dibenarkan. Ini
karena keadilan menurut manusia adalah relatif, begitu pula kemanusiaan dan persamaan.
Pada dasarnya, Allah sebagai pencipta manusia tahu secara pasti mana yang akan membawa
maslahat bagi manusia. Karena itu ketika Dia menetapkan suatu hukum, pasti ada maslahat
yang Dia sertakan. Sebagai mukmin, kita harus memiliki keyakinan bahwa maslahat akan
selalu terwujud dalam setiap hukum syara’. Namun maslahat tersebut kadang dapat
terjangkau oleh akal manusia, kadang tidak karena terbatasnya akal. Menyerahkan
penetapan maslahat ke tangan manusia, dapat melahirkan perbedaan-perbedaan dalam
hukum karena pandangan tentang maslahat satu orang berbeda dengan orang lain.
Dengan kerangka pandang terhadap hukum syara’ seperti inilah, bahwa ia akan membawa
maslahat tatkala diterapkan sehingga selayaknyalah kita taat terhadap apapun ketentuan
Allah, kita akan membahas tentang hukum menutup aurat dan mengenakan jilbab.
Hukum Menutup Aurat dan Batasannya
Imam al-Raziy, dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah hal 461, menyatakan, “‘al-aurat: sau`atu
al-insaan wa kullu maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang
menyebabkan malu.”
Dalam Syarah Sunan Ibnu Majah juz 1/276, disebutkan, bahwa aurat adalah kullu maa
yastahyii minhu wa yasuu`u shahibahu in yura minhu (setiap yang menyebabkan malu, dan
membawa aib bagi pemiliknya jika terlihat)”.
Imam Syarbiniy dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, berkata,” Secara literal, aurat bermakna al-
nuqshaan (kekurangan) wa al-syai`u al-mustaqbihu (sesuatu yang menyebabkan celaan).
Disebut seperti itu, karena ia akan menyebabkan celaan jika terlihat.“
Pembahasan aurat wanita dibagi menjadi tiga keadaan, yaitu:
1. Di hadapan suami mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian tubuhnya
(berdasarkan hadits riwayat Bahz bin Hakim).
2. Di hadapan muhrimnya, yaitu orang-orang yang disebut dalam QS. An-Nûr [24]: 31 yang
artinya :
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung.”
Berdasarkan ayat ini perempuan boleh menampilkan bagian tertentu dari anggota tubuhnya
yang biasa disebut mahaluzzinah yaitu anggota badan yang biasanya dijadikan tempat
perhiasan, seperti: kepala seluruhnya, tempat kalung (leher), tempat gelang tangan
(pergelangan tangan) sampai pangkal lengan dan tempat gelang kaki (pergelangan kaki)
sampai lutut. Mahaluzzinah ini biasa tampak ketika wanita memakai baju dalam rumah
(mihnah). Selain itu anggota tubuh lain boleh tampak apabila ada hajat seperti payudara
saat menyusui, kecuali aurat yang ada di antara pusar dan lutut.
Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT:
“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan
janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada…” (QS. An-Nûr [24]: 31).
Kata az-zinah secara bahasa berarti perhiasan, tetapi makna zinah di sini adalah anggota
badan yang merupakan tempat perhiasan (mahaluzzinah), karena illa mâ zhahara
minha yang dimaksud adalah yang biasa nampak pada saat itu (saat ayat ini turun) yaitu
muka dan telapak tangan, jadi menyangkut anggota badan.
3. Adapun di hadapan laki-laki selain suami dan muhrimnya maka aurat wanita adalah
seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Dasar dari penentuan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan,
yaitu:
َ ‫َو ََل يُبدِينَ ِزينَتَ ُه َّن ِإ ََّل َما‬
‫ظ َه َر ِمن َها‬
“….dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya.” (QS. An-Nûr [24]: 31).
Kata zinah (perhiasan) adalah makna kiasan dari tempat perhiasannya. Dengan demikian
ayat ini melarang perempuan untuk menampakkan tempat-tempat yang ia biasa
menempatkan perhiasan, seperti leher, telinga, pergelangan tangan dan pergelangan kaki.
Namun larangan ini kemudian dibatasi dengan kelanjutan ayat illa maa zhahara minha ,
yang biasa nampak darinya. Untuk bisa memahami maksud illa maa zhahara minha, kita
harus menafsirkan berdasar nash-nash yang dapat menjelaskan maksudnya. Nash yang
paling tepat untuk menerangkan maksud ayat ini adalah hadist-hadist yang memberikan
keterangan yang berkaitan batas yang boleh dinampakkan perempuan.
Diantaranya adalah sabda Rasul Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:
“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang telah haid tidak layak baginya terlihat dari
tubuhnya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk pada wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu
Dawud, No. 3580].
Dengan memahami nash-nash yang ada, para ahli tafsir memberikan penjelasan tentang
ayat ini, dan menjelaskan tentang batas-batas aurat yang merupakan kandungan ayat. Ibnu
Abbas menyatakan yang dimaksud dengan illa mâ zhahara minha adalah muka dan tangan.
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan “Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini
adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak adalah muka dan
telapak tangan.” (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 18, hal. 94).
Memang ada penafsiran yang berbeda di kalangan ulama terkait makna illa mâ zhahara
minha. Abu Hanifah berpendapat bahwa kaki perempuan bukanlah aurat karena akan
menyulitkan bila harus ditutup khususnya bagi wanita-wanita miskin di pedesaan yang
ketika itu sering kali berjalan tanpa alas kaki untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pakar
hukum Abu Yusuf juga berpendapat kedua tangan wanita bukan aurat karena mewajibkan
untuk menutupnya akan menyulitkan wanita. Namun harus dipahami, yang dimaksud kaki
oleh Imam Abu Hanifah adalah kaki bagian bawah saja, tidak termasuk lutut dan paha.
Begitu pula tangan menurut Abu Yusuf adalah telapak tangan sampai pergelangan, tidak
termasuk siku dan lengan.
Sekalipun ada perbedaan tentang maa zhahara minha, tetapi seluruh ulama sepakat bahwa
perempuan wajib menutup auratnya. Mereka tidak berbeda pendapat bahwa rambut,
leher, dada, semua adalah aurat yang wajib ditutup. Maka jika ada pendapat bahwa
masalah menutup aurat perempuan adalah masalah khilafiyah yang dikembalikan pada
kebiasaan dan kebutuhan di masing-masing tempat, kemudian akhirnya membolehkan
perempuan untuk menampakkan rambut, leher, paha dan lengan; jelas pendapat tersebut
tertolak.
Adapun pendapat sebagian ulama yang menentukan batas aurat perempuan ketika shalat,
mendasarkan kepada hadist sebagai berikut :
“Tidak diterima shalat seorang perempuan yang sudah haid (baligh) kecuali bila dilakukan
dengan mengenakan kerudung.” (Hr Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi).
Hadist ini terkait dengan hadist tentang tempat terbaik bagi perempuan untuk shalat adalah
rumahnya. Rasulullah saw bersabda:
“Sebaik-baik tempat shalat bagi perempuan adalah di dalam rumahnya.” (HR Ahmad dan
Baihaqi).
Karena umumnya perempuan shalat di rumah, dan di rumah perempuan tidak wajib
mengenakan kerudung, maka hadist HR Abu Daud di atas menjelaskan wajibnya perempuan
mengenakan kerudung ketika shalat. Di luar shalat, bila perempuan berada di luar rumah
atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahram, ia terikat dengan kewajiban
menutup aurat sebagaimana dinyatakan dalam QS An Nuur :31.
Dalam menutup aurat, syara’ mensyaratkan pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit.
Menutupi kulit artinya warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka dianggap
tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga
nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat,
maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.
Mengenai dalil bahwasanya syara’ telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui
warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwasanya Asma’ binti
Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi Saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu
Rasulullah Saw berpaling seraya bersabda:
“Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh
baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.” [HR. Abu Daud].
Jadi Rasulullah Saw menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap
menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi Saw berpaling seraya memerintahkannya
menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.
Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai
oleh Nabi Saw tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi Saw kepada Usamah.
Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya,
maka Rasulullah Saw bersabda kepadanya:
“Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya
aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.” [HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan
sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya’ dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, juz I, hal.
441] (Al-Albani, 2001 : 135).
Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah Saw mengetahui
bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan melapisinya
dengan kain lain agar tidak kelihatan warna kulitnya.
Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk diwajibkannya perempuan untuk
menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sehingga tidak tergambar apa yang ada
di baliknya.
Jilbab dan Kerudung
Seorang perempuan apabila telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti
lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan
umum, atau di sekolah, pasar, kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa? Sebab untuk
kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’.
Pakaian perempuan dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang
disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua
pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus,
supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.
Dua jenis pakaian ini seringkali disamakan. Banyak orang yang tidak memahami perbedaan
antara keduanya, padahal untuk dapat dikatakan berpakaian sesuai dengan tuntunan syara’
kedua jenis pakaian ini harus dipakai.
Islam telah menetapkan kewajiban terhadap muslimah untuk mengenakan khimar/
kerudung, berdasarkan firman Allah SWT :
‫علَ ٰى ُجيُو ِب ِه َّن‬
َ ‫َوليَض ِربنَ ِب ُخ ُم ِر ِه َّن‬
“….dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimar) mereka hingga (menutupi)
dada mereka…” (QS. An-Nuur : 31)

Lafadz “khumur” dalam ayat ini adalah bentuk jamak dari “khimar” yang bermakna
kerudung, yaitu kain yang digunakan untuk menutupi kepala hingga “juyub”. Sedangkan
yang dimaksud dengan “juyub” adalah bentuk jamak dari “jaybun”, yang berarti batas
bukaan baju atau kerah baju. Sehingga “khimar” yang disyari’atkan oleh Islam adalah dengan
menggunakannya sampai ke “juyub”. Artinya, kerudung itu harus dikenakan hingga
menutupi kepala, leher dan “juyub”, yaitu bukaan baju di dada.
Sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa sebelum turun ayat tentang kerudung ini,
perempuan Arab telah memakai kerudung namun diikatkan ke belakang sehingga bagian
leher dan dada terbuka. Pendapat ini kemudian diambil sebagai justifikasi oleh kelompok
tertentu, termasuk Ratna Batara Munti untuk menyatakan bahwa kerudung adalah pakaian
tradisional arab, sehingga ayat ini turun hanya ditujukan kepada orang Arab.
Pendapat seperti ini lemah sekali dalam penggalian dalil. Sekalipun misalnya memang benar
bahwa kerudung adalah budaya perempuan Arab, tetapi dengan adanya perintah Allah
kepada wanita mukminah, maka perintah tersebut berlaku juga untuk perempuan mukmin
selain Arab. Hal ini karena Rasulullah saw diutus kepada seluruh manusia, bukan hanya
bangsa Arab (HR Bukhari Muslim). Berbeda halnya dengan sorban atau gamis bagi laki-laki
yang juga adalah pakaian adat di Arab. Karena tidak ada nash yang memerintahkan laki-laki
untuk mengenakan pakaian seperti ini maka ia tetap menjadi pakaian adat Arab dan tidak
wajib bagi muslim non Arab untuk mengenakannya.
Terlebih lagi ada kaidah ushul fiqh “al ibratu biumuumil lafzhi, laa bikhususi sabab” , hukum
diambil dari umumnya lafazh, bukan khususnya sebab. Karena lafazh ayat adalah umum
bagi mukminah, maka hukumnya berlaku umum bagi seluruh mukminah, Arab ataupun non
Arab.
Bila kita cermati nash-nash yang ada, justru nampak bahwa ternyata kerudung bukanlah
tradisi umum perempuan Arab. Perhatikan hadist-hadist berikut yang menceritakan
bagaimana para muslimah bersegera menutup kepalanya, artinya sebelumnya mereka tidak
sempurna menutup kepalanya. Dari Aisyah ra, ia berkata : “ Semoga Allah merahmati kaum
wanita yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya : “Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dadanya” (TQS An Nuur :31), maka kaum
wanita itu merobek kain sarung mereka dan menutup kepala mereka dengannya.” (HR
Bukhari).
Dari Shafiyah binti Syaibah ra bahwa Aisyah ra menuturkan wanita Anshar, kemudian beliau
memuji mereka, dan berkata tentang mereka dengan baik. Beliau berkata :”Ketika
diturunkan surat An Nuur : 31, maka mereka mengambil kain-kain tirai mereka kemudian
merobeknya dan menjadikannya kerudung.”.
Penjelasan tersebut adalah yang berkaitan dengan pakaian bagian atas yakni kerudung.
Adapun bagian bawah maka perempuan diwajibkan mengenakan jilbab saat akan keluar
rumah. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT :
‫علَي ِه َّن ِمن َج َلبِيبِ ِه َّن ۗ ٰذَ ِل َك‬
َ َ‫اء ال ُمؤ ِمنِينَ يُدنِين‬
ِ ‫س‬َ ِ‫اج َك َوبَنَاتِ َك َون‬ ُّ ‫يَا أَيُّ َها النَّ ِب‬
ِ ‫ي قُل ِأِلَز َو‬
ً ُ‫غف‬
‫ورا َّر ِحي ًما‬ َّ َ‫أَدن َٰى أَن يُع َرفنَ فَ َل يُؤذَينَ ۗ َو َكان‬
َ ُ‫َّللا‬
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang
mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab : 59)

Apakah pengertian jilbab? Kata “jalaabiibihinna” dalam ayat tersebut adalah bentuk jamak
dari “jilbaabun”. “Jilbaabun”, dalam kamus Al-Muhith adalah “milhaafah wa mulaa’ah”, yaitu
baju yang serupa dengan mantel (menjulur), sedangkan dalam tafsir Ibnu Abbas, “jilbaabun”
adalah kain penutup, atau baju luar seperti mantel (Tafsir Ibnu Abbas, hal 426). Jilbab juga
berarti “baju panjang (mulaa’ah) yang meliputi seluruh tubuh wanita” (Tafsir Jalalain hal
248). Sedangkan dalam Shofwatut Tafaasir, Imam ash-Shobuni, Jilbab diartikan sebagai baju
yang luas (wasi’) yang menutupi tempat perhiasan wanita (auratnya).
Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman
128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang
menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar
yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “Al Mula`ah
tasytamilu biha al mar’ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh
wanita).
Berdasarkan pendefinisian ini, jelaslah bahwa makna jilbab adalah pakaian luar yang luas
yang wajib digunakan oleh muslimah diluar pakaian rumahnya (mihnah), yang berbentuk
seperti mantel (milhaafah atau mulaa’ah). Pengertian ini diperkuat oleh hadits yang datang
dari Ummu ‘Athiyah ra, ia berkata:
“Rasulullah Saw memerintahkan kami untuk keluar pada Idul Fitri maupun Idul Adha, baik
para gadis, wanita yang sedang haidl, dan yang lainnya. Adapun wanita yang sedang haidl,
maka diperintahkan untuk meninggalkan shalat dan menyaksikan dakwah dan syiar kaum
muslimin. Lalu aku bertanya : “Ya Rasulullah, bagaimana jika diantara kami ada yang tidak
memiliki jilbab?” Rasulullah kemudian menjawab : “Hendaklah saudaranya meminjamkan
jilbabnya” (HR. Muslim).
Ini berarti perempuan yang tidak memiliki jilbab hanya memiliki baju yang ia kenakan untuk
di dalam rumah. Rasulullah tidak memberikan keringanan bagi perempuan yang tidak
mempunyai jilbab untuk keluar rumah tanpa jilbab. Beliau memerintahkan agar saudara
muslimahnya meminjamkan jilbab.
Yang memperkuat juga makna jilbab sebagai pakaian luar adalah firman Allah SWT :

َ ‫علَي ِه َّن ُجنَا ٌح أَن َي‬


‫ضعنَ ثِ َيا َب ُه َّن غَي َر‬ َ ‫س‬ َّ ‫اء‬
َ ‫اللتِي ََل َير ُجونَ نِ َكا ًحا فَلَي‬ ِ ‫س‬َ ‫َوالقَ َوا ِعد ُ ِمنَ النِأ‬
ٍ ‫ُمتَبَ ِ أر َجا‬
‫ت بِ ِزينَ ٍة‬
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti dari haidl (menopause) yang tiada
ingin menikah lagi, maka tiada dosa atas mereka meninggalkan tsiyaab (pakaian luar)
mereka, dengan tanpa bermaksud menampakkan perhiasannya” (TQS. An-Nuur : 60)
Lafadz “tsiyaab” yang boleh ditanggalkan oleh muslimah yang tua dalam ayat tersebut
adalah pakaian luar (Tafsir Al-Azhar XVIII/hal 228). Hal senada juga dikemukakan didalam
tafsir Jalalain, bahwa tsiyaab maknanya adalah pakaian luar (Tafsir Jalalain hal 209).
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa jilbab adalah pakaian luar yang dikenakan diatas pakaian
sehari-hari. Wanita muslimah yang sudah tua, menurut syara, boleh meninggalkan pakaian
luarnya (tsiyab/jilbabnya) dengan tetap menutup auratnya kecuali muka dan telapak
tangannya.
Apabila seorang muslimah telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar)
dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum,
yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini
maka dia tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut
kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya
dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Adapun terkait dengan lanjutan ayat Al Ahzab :59 yaitu :

َ‫ٰذَ ِل َك أَدن َٰى أَن يُع َرفنَ فَ َل يُؤذَين‬


“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di
ganggu.”
Sebagian orang menjadikan adanya kalimat ini sebagai illat untuk menghilangkan hukum
wajibnya jilbab. Mereka berpendapat, saat ini perempuan aman tidak ada yang
mengganggu. Karena illat jilbab yakni “agar tidak diganggu” sudah tidak ada lagi maka
kewajiban jilbab juga menjadi tidak ada lagi.
Padahal, bila kita mencermati ayat ini, kemudian memahami syarat-syarat illat seperti yang
telah ditetapkan oleh para ulama ushul fiqh, sama sekali tidak kita dapati adanya illat dalam
ayat ini. “Agar tidak diganggu” di sini bukan illat, melainkan hikmah.
Ada perbedaan besar antara hikmah dengan ‘illat. Illat merupakan pemicu disyariatkannya
suatu hukum, sedang hikmah adalah perkara yang menjelaskan hasil dan tujuan dari hukum.
‘Illat itu ada sebelum adanya hukum, sedang hikmah adalah hasil yang diperoleh dari
pelaksanaan hukum.
Setiap Allah menurunkan sebuah hukum syara’, Allah pasti menyertakan maslahat dan
hikmah di dalamnya. Tidaklah Allah menurunkan hukum untuk memudharatkan atau
menyusahkan manusia. Bila ada yang merasa susah dengan hukum yang diturunkan Allah,
maka ia perlu mengevaluasi kadar keimanannya.
Dan sungguh bila kita mau merenung dengan hati jujur, pensyari’atan jilbab membawa
banyak sekali hikmah. Tidak hanya menjaga kehormatan perempuan, tetapi juga membantu
laki-laki untuk menahan pandangan. Dengan demikian bila aturan jilbab diterapkan beserta
seluruh hukum-hukum pergaulan lainnya, dijamin pertemuan laki-laki dan perempuan di
masyarakat akan menjadi pertemuan yang produktif dalam ta’awun (kerjasama)
membangun masyarakat. (Arini R)

Anda mungkin juga menyukai