Sebuah buku kecil diterbitkan oleh PSI-UII Yogyakarta mempersoalkan tentang wajib
tidaknya perempuan muslim mengenakan jilbab. Buku berjudul “Benarkah Islam
Mewajibkan Berjilbab?” tersebut ditulis oleh Ratna Batara Munti.
Dalam pemaparannya, penulis buku mencoba untuk meyakinkan pembaca bahwa jilbab
adalah hukum yang terkait dengan tradisi bangsa Arab di zaman Nabi. Selain itu, perbedaan
pendapat di kalangan para ulama dan perubahan zaman yang menuntut adanya kemudahan
dalam kehidupan perempuan, menjadi dasar bagi penulis untuk menggiring pembaca sampai
pada kesimpulan bahwa jilbab tidak wajib hukumnya.
Pemahaman seperti ini menjadi berbahaya ketika pembaca adalah orang-orang yang masih
awam dengan hukum Islam. Mereka tidak memahami dalil dan penggunaan dalil dalam
penetapan suatu hukum. Mereka semata-mata taqlid, mengikut. Bila mereka taqlid kepada
para ulama yang lurus, maka mereka juga lurus. Namun bila mereka menjatuhkan pilihan
taqlid kepada ulama-ulama suu’, yang sesat dan menyesatkan, maka mereka ikut tersesat.
Tulisan ini mencoba untuk membahas hukum-hukum Islam terkait dengan menutup aurat
dan dengan apa perempuan harus menutupnya, sebagai upaya pelurusan terhadap ide-ide
yang diaruskan para pengikut gender, tulisan Ratna Batara Munti adalah salah satunya.
Memposisikan Dalil sebagai Dasar Suatu Hukum
Allah menciptakan akal bagi manusia merupakan suatu bentuk hidayah. Dengan akal
tersebut manusia dapat berpikir dan membedakan baik dan buruk. Itulah sebabnya Allah
menjadikan akal sebagai obyek pembebanan (taklif) terhadap hukum syara’. Orang yang
akalnya tidak sempurna, dilepaskan dari taklif tersebut.
Namun dengan pemberian akal pada manusia tidak lantas Allah membebaskan manusia
untuk menetapkan hukum. Akal manusia adalah terbatas. Baik menurut satu orang belum
tentu baik bagi orang lain. Begitu pula maslahat bagi seseorang belum tentu maslahat bagi
yang lain. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT :
Lafadz “khumur” dalam ayat ini adalah bentuk jamak dari “khimar” yang bermakna
kerudung, yaitu kain yang digunakan untuk menutupi kepala hingga “juyub”. Sedangkan
yang dimaksud dengan “juyub” adalah bentuk jamak dari “jaybun”, yang berarti batas
bukaan baju atau kerah baju. Sehingga “khimar” yang disyari’atkan oleh Islam adalah dengan
menggunakannya sampai ke “juyub”. Artinya, kerudung itu harus dikenakan hingga
menutupi kepala, leher dan “juyub”, yaitu bukaan baju di dada.
Sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa sebelum turun ayat tentang kerudung ini,
perempuan Arab telah memakai kerudung namun diikatkan ke belakang sehingga bagian
leher dan dada terbuka. Pendapat ini kemudian diambil sebagai justifikasi oleh kelompok
tertentu, termasuk Ratna Batara Munti untuk menyatakan bahwa kerudung adalah pakaian
tradisional arab, sehingga ayat ini turun hanya ditujukan kepada orang Arab.
Pendapat seperti ini lemah sekali dalam penggalian dalil. Sekalipun misalnya memang benar
bahwa kerudung adalah budaya perempuan Arab, tetapi dengan adanya perintah Allah
kepada wanita mukminah, maka perintah tersebut berlaku juga untuk perempuan mukmin
selain Arab. Hal ini karena Rasulullah saw diutus kepada seluruh manusia, bukan hanya
bangsa Arab (HR Bukhari Muslim). Berbeda halnya dengan sorban atau gamis bagi laki-laki
yang juga adalah pakaian adat di Arab. Karena tidak ada nash yang memerintahkan laki-laki
untuk mengenakan pakaian seperti ini maka ia tetap menjadi pakaian adat Arab dan tidak
wajib bagi muslim non Arab untuk mengenakannya.
Terlebih lagi ada kaidah ushul fiqh “al ibratu biumuumil lafzhi, laa bikhususi sabab” , hukum
diambil dari umumnya lafazh, bukan khususnya sebab. Karena lafazh ayat adalah umum
bagi mukminah, maka hukumnya berlaku umum bagi seluruh mukminah, Arab ataupun non
Arab.
Bila kita cermati nash-nash yang ada, justru nampak bahwa ternyata kerudung bukanlah
tradisi umum perempuan Arab. Perhatikan hadist-hadist berikut yang menceritakan
bagaimana para muslimah bersegera menutup kepalanya, artinya sebelumnya mereka tidak
sempurna menutup kepalanya. Dari Aisyah ra, ia berkata : “ Semoga Allah merahmati kaum
wanita yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya : “Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dadanya” (TQS An Nuur :31), maka kaum
wanita itu merobek kain sarung mereka dan menutup kepala mereka dengannya.” (HR
Bukhari).
Dari Shafiyah binti Syaibah ra bahwa Aisyah ra menuturkan wanita Anshar, kemudian beliau
memuji mereka, dan berkata tentang mereka dengan baik. Beliau berkata :”Ketika
diturunkan surat An Nuur : 31, maka mereka mengambil kain-kain tirai mereka kemudian
merobeknya dan menjadikannya kerudung.”.
Penjelasan tersebut adalah yang berkaitan dengan pakaian bagian atas yakni kerudung.
Adapun bagian bawah maka perempuan diwajibkan mengenakan jilbab saat akan keluar
rumah. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT :
علَي ِه َّن ِمن َج َلبِيبِ ِه َّن ۗ ٰذَ ِل َك
َ َاء ال ُمؤ ِمنِينَ يُدنِين
ِ سَ ِاج َك َوبَنَاتِ َك َون ُّ يَا أَيُّ َها النَّ ِب
ِ ي قُل ِأِلَز َو
ً ُغف
ورا َّر ِحي ًما َّ َأَدن َٰى أَن يُع َرفنَ فَ َل يُؤذَينَ ۗ َو َكان
َ َُّللا
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang
mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab : 59)
Apakah pengertian jilbab? Kata “jalaabiibihinna” dalam ayat tersebut adalah bentuk jamak
dari “jilbaabun”. “Jilbaabun”, dalam kamus Al-Muhith adalah “milhaafah wa mulaa’ah”, yaitu
baju yang serupa dengan mantel (menjulur), sedangkan dalam tafsir Ibnu Abbas, “jilbaabun”
adalah kain penutup, atau baju luar seperti mantel (Tafsir Ibnu Abbas, hal 426). Jilbab juga
berarti “baju panjang (mulaa’ah) yang meliputi seluruh tubuh wanita” (Tafsir Jalalain hal
248). Sedangkan dalam Shofwatut Tafaasir, Imam ash-Shobuni, Jilbab diartikan sebagai baju
yang luas (wasi’) yang menutupi tempat perhiasan wanita (auratnya).
Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman
128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang
menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar
yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “Al Mula`ah
tasytamilu biha al mar’ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh
wanita).
Berdasarkan pendefinisian ini, jelaslah bahwa makna jilbab adalah pakaian luar yang luas
yang wajib digunakan oleh muslimah diluar pakaian rumahnya (mihnah), yang berbentuk
seperti mantel (milhaafah atau mulaa’ah). Pengertian ini diperkuat oleh hadits yang datang
dari Ummu ‘Athiyah ra, ia berkata:
“Rasulullah Saw memerintahkan kami untuk keluar pada Idul Fitri maupun Idul Adha, baik
para gadis, wanita yang sedang haidl, dan yang lainnya. Adapun wanita yang sedang haidl,
maka diperintahkan untuk meninggalkan shalat dan menyaksikan dakwah dan syiar kaum
muslimin. Lalu aku bertanya : “Ya Rasulullah, bagaimana jika diantara kami ada yang tidak
memiliki jilbab?” Rasulullah kemudian menjawab : “Hendaklah saudaranya meminjamkan
jilbabnya” (HR. Muslim).
Ini berarti perempuan yang tidak memiliki jilbab hanya memiliki baju yang ia kenakan untuk
di dalam rumah. Rasulullah tidak memberikan keringanan bagi perempuan yang tidak
mempunyai jilbab untuk keluar rumah tanpa jilbab. Beliau memerintahkan agar saudara
muslimahnya meminjamkan jilbab.
Yang memperkuat juga makna jilbab sebagai pakaian luar adalah firman Allah SWT :