Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DI SUSUN OLEH:
NIRWANA PUTRI

DOSEN
BIMBINGAN : MAHMUD MUKADAR S.PD.I

PRODI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS IQRA BURU
TAHUN AJARAN 2022 - 2023
Macam macam ijtihad dan contohnya
Macam macam ijtahid dan contohnya

Ijtihad
Secara arti kebahasaan, ijtihad adalah bersungguh-sungguh. Jika menganut arti yang
semacam ini, maka siapapun yang melakukan satu usaha dengan tujuan apapun disebut
ijtihad. Orang yang berusaha mencari pekerjaan untuk mengumpulkan uang juga disebut
dengan ijtihad. Orang yang mencari pinjaman uang pun bisa disebut tengah ijtihad.

Tetapi akan lain hal jika melihat arti ijtihad secara definisi. Ijtihad secara definisi makna
adalah mengerahkan pikiran dan kemampuan untuk menghasilkan hukum syariat dengan
cara tertentu.

Ijtihad sendiri adalah salah satu dasar yang dijadikan pengambilan hukum. Secara umum
pengambilan hukum suatu perkara langsung dari Quran. Jika di dalam Quran tidak ada, maka
pencarian dilakukan lewat hadits-hadits yang shohih dengan sanad yang jelas. Jika hukum
tersebut tetap tidak ditemukan, maka pilihannya adalah ijtihad.

Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Ada syarat-syarat tertentu yang harus
dimiliki seorang mujtahid atau orang yang berijtihad. Syarat-syarat tersebut adalah:

 Dia menguasai benar-benar bahasa Arab. Penguasaan ini bukan tentang apakah dia
bisa berbahasa Arab atau tidak, melainkan paham dengan ilmu gramatikal bahasa
arab, nahwu dan shorof, serta ilmu bahasa atau balaghoh. Alasannya, karena Quran
berbahasa Arab, demikian juga dengan hadits. Itu sebabnya, penguasaan bahasa Arab
ini menjadi syarat wajib bagi seorang mujtahid.
 Memahami Quran secara keseluruhan. Sebagai catatan, satu ayat dengan ayat yang
lain di dalam Quran saling melengkapi dan saling berhubungan. Itu sebabnya, satu
ayat tidak boleh dipahami hanya dalam kontek ayat itu sendiri, melainkan harus
membandingkan dengan ayat-ayat lain yang membahas tema sama. Tujuannya, untuk
mendapat gambaran hukum yang menyeluruh.
 Harus memahami benar-benar ayat umum, khusus, nasakh, mansyukh, serta asbabun
nuzul
 Menguasai hadits serta paham ilmu hadits. Ini berkaitan dengan adanya hadits shohih,
dloif, dan juga hadits-hadits palsu.
 Paham dengan hukum-hukum yang sudah menjadi ijmak atau kesepakatan para
sahabat Nabi. Alasannya, mereka lebih tahu syariat Islam karena belajar dan bertanya
langsung kepada Nabi. Dengan begitu, apa yang sudah menjadi kesepakatan para
sahabat, adalah sesuatu yang harus benar-benar diperhatikan.
 Paham dengan adat serta kebiasaan manusia. Sebab, sesuatu yang menjadi adat bisa
menjadi hukum jika tidak bertentangan dengan Quran-Hadits.

Membaca syarat-syarat di atas, terlihat berat bukan? Itulah mengapa ijtihad tidak bisa
dilakukan oleh sembarang orang.
Macam Ijtihad
Jenis atau macam ijtihad tidak hanya satu, melainkan ada beberapa. Berikut ini adalah
macam-macam ijtihad yang dilakukan untuk menemukan satu hukum untuk masalah tertentu:

 Ijma’ merupakan kesepakatan yang diambil oleh ulama dalam mengambil suatu hukum.
Tentu saja, pengambilan hukum tersebut sudah melalui proses panjang dan mengambil
referensi Quran-hadits. Ijma’ ini sering juga disebut dengan fatwa
 Qiyas. Qiyas adalah menyamakan. Artinya, satu masalah baru dikaitkan dan disamakan
dengan masalah lama yang memiliki kemiripan sebab serta efeknya. Hukum masalah lama itu
lantas dijadikan hukum untuk masalah baru tersebut.
 Istihsan. Ihtisan bisa juga disebut dengan mengambil yang baik. Artinya, ihtisan ini semacam
fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ahli fiqih yang cenderung menganggap hukum tertentu
lebih baik untuk masalah tertentu. Karena itu sifat hukum yang diambil dengan ihtisan ini
bersifat argumentatif.
 Maslahah Murshalah. Ijtihad ini adalah mengambil satu hukum dengan pertimbangan efek
negatif-positif suatu masalah. Prinsip dasarnya adalah bagaimana agar suatu masalah
memberi manfaat dan terhindar dari bahaya atau mudlorot.
 Sududz Dzariah. Ini adalah jenis ijtihad yang mengambil hukum lebih keras untuk berhati-
hati. Misalnya, hal yang dihukumi mubah dimakruhkan atau malah diharamkan. Dan
berkaitan untuk agar masyarakat berhati-hati.
 Istishab. Ijtihad ini adalah memutuskan satu hukum dengan menunggu ketetapan suatu
perkara. Hal ini seperti seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya ke perantauan tanpa
kabar. Tidak serta merta perempuan itu boleh menikah lagi jika belum ada kepastian apakah
suaminya sudah meninggal atau telah menceraikannya. Jika hal itu sudah dipastikan, barulah
perempuan itu boleh menikah lagi.
 ‘Urf. Ijtihad ini merupakan pengambilan hukum berdasar kebiasaan atau adat. Selama suatu
masalah tidak bertentangan dengan Quran-hadits, masalah tersebut tetap dibolehkan.

Dalil tentang bolehnya ijtihad ada di dalam Quran. Di dalam hadits pun juga ada.
Salah satu dalil terkait ijtihad di dalam Quran adalah ayat 105 Surat an Nisa’, dan ayat
69 Surat al ‘Ankabut. Bunyi dua ayat tersebut berturut-turut adalah:

ِ َ‫اس بِ َما َأ َراكَ هَّللا ُ َواَل تَ ُك ْن لِ ْلخَاِئنِينَ خ‬


]105/‫صي ًما [النساء‬ ِّ ‫َاب بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ق لِتَحْ ُك َم بَ ْينَ الن‬ َ ‫ك ْال ِكت‬
َ ‫َأ ْنزَ ْلنَا ِإلَ ْي‬ ‫ِإنَّا‬
َ‫م ُسبُلَنَا َوِإ َّن هَّللا َ لَ َم َع ْال ُمحْ ِسنِين‬bُْ‫َوالَّ ِذينَ َجاهَدُوا فِينَا لَنَ ْه ِديَنَّه‬

  [69/‫]العنكبوت‬

Ayat dalam Surat an Nisa’ tersebut mengabarkan bahwa kitab yang diturunkan Allah adalah
benar. Kitab itu juga yang digunakan untuk menjadi dasar memberi keadilan di antara
manusia. Sedang ayat pada Surat al ‘Ankabut di atas mengabarkan bahwa Allah akan
menunjukkan jalan orang-orang yang mau berijtihad.

Dasar Quran sudah, kini dasar haditsnya. Ini adalah dasar hadits yang memperbolehkan
ijtihad. Hadits diambil dari Shohih Muslim. Bunyi haditsnya adalah sebagai berikut:
‫يز بْنُ ُم َح َّم ٍد ع َْن يَ ِزي َد ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن ُأ َسا َمةَ ْب ِن ْالهَا ِد ع َْن‬
ِ ‫َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ يَحْ يَى التَّ ِمي ِم ُّى َأ ْخبَ َرنَا َع ْب ُد ْال َع ِز‬
‫اص َأنَّهُ َس ِم َع‬ ِ ‫اص ع َْن َع ْم ِرو ب ِْن ْال َع‬ ِ ‫س َموْ لَى َع ْم ِرو ب ِْن ْال َع‬ ٍ ‫ْر ْب ِن َس ِعي ٍد ع َْن َأبِى قَ ْي‬ ِ ‫ُم َح َّم ِد ب ِْن ِإ ْب َرا ِهي َم ع َْن بُس‬
ُ‫ َوِإ َذا َح َك َم فَاجْ تَهَ َد ث َّم‬.‫اب فَلَهُ َأجْ َرا ِن‬ َ ‫ص‬ ‫َأ‬ ُ ْ
َ ‫ال « ِإ َذا َح َك َم ال َحا ِك ُم فَاجْ تَهَ َد ث َّم‬ َ َ‫ ق‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫َرسُو َل هَّللا‬
‫َأ ْخطََأ فَلَهُ َأجْ ٌر‬

Maksud hadits tersebut adalah jika seseorang berijtihad dan hasil ijtihadnya benar, dia
mendapat dua pahala. Dua pahala yang dimaksud adalah pahala ijtihad dan pahala atas hasil
ijtihadnya. Dan jika hasil ijtihadnya keliru, maka dia mendapat satu pahala, yaitu pahala
ijtihad saja.

Fungsi Ijtihad
Sebagai tambahan, ijtihad mulai dilakukan ulama sejak Nabi meninggal. Ketika Nabi masih
hidup, ijtihad sama sekali tidak diperlukan. Alasannya, ketika ada satu masalah mengemuka,
para sahabat bisa langsung bertanya kepada Nabi dan Nabi pun menjawab.

Sekarang, persoalan demi persoalan terus berkembang. Banyak masalah yang tidak diketahui
hukumnya dalam Quran-Hadist. Di sinilah kemudian mengapa diperlukan ijtihad. Oleh sebab
itu, menjawab pertanyaan apa fungsi ijtihad, bisa dikatakan, ijtihad berfungsi untuk
menentukan hukum yang belum dijelaskan oleh Quran maupun hadits.

Contoh Ijtihad
udah cukup banyak contoh-contoh hukum yang dihasilkan dari proses ijtihad. Di antaranya
adalah jarak tempuh boleh melakukan sholat qoshor. Atau hukum kekinian seperti hukum
berjualan pulsa adalah juga bagian dari ijtihad.

Anda tentu paham benar dengan 4 madzhab yang menjadi rujukan umat islam beribadah.
Empat madzhab tersebut adalah madzhab Maliki, madzhab Hambali, madzhab Hanafi, dan
madzhab Syafi’i. Hukum-hukum terkait ibadah dan muamalah yang dirumuskan oleh
madzhab-madzhab tersebut juga bagian dari ijtihad. Dalam hal itu, diciptakan pula kaidah-
kaidah Fiqih sebagai alat bantu merumuskan hukum dalam masalah-masalah fiqih.

Mengutip pernyataan seorang ulama Fiqih, saat ini bisa disebut bukan zaman untuk
melakukan ijtihad. Sebab, pada dasarnya masalah-masalah yang sudah pernah diijtihadkan
dan dibahas dalam referensi kitab-kitab karangan ulama terdahulu, sudah mencakup
permasalahan-permasalahan sekarang. Itu artinya, tinggal apakah generasi sekarang mau
mengulik dan mempelajari hasil-hasil ijtihad mereka atau tidak.

Kalau pun kemudian, timbul masalah baru yang berkaitan dengan teknologi, mungkin di
situlah ijtihad kembali diperlukan. Masalah bayi tabung misalnya. Atau masalah cangkok
jantung dan lain-lain. Hukum-hukum masalah tersebut tentu tidak ditemukan di dalam Quran
maupun hadits. Dan untuk itu perlu dilakukan ijtihad untuk menentukan hukumnya.

Sebagai catatan akhir, menentukan hukum suatu masalah bukanlah perkara mudah. Itu
sebabnya, tidak semua orang bisa membuat hukum suatu masalah. Sedang bagi orang-orang
yang benar-benar tidak mengerti, memperhatikan fatwa ulama-ulama salaf adalah bagian
yang penting untuk dipikirkan

Syariah islam menurut ulama

Apa itu Syariah?

Kata syariat yang sering kita dengar dalam keseharian baik ketika membaca buku, mendengar
rekaman ceramah para ustadz, menyimak pengajian, kultum, ataupun khutbah adalah kata
berbahasa arab yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online (KBBI daring), syariat adalah hukum
agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah Swt.,
hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis.
Bentuk kata tidak bakunya: sarengat, sariat, sereat, syariah.

Sebagai sebuah khas agama, istilah syariat selalu identik dengan teologi Islam. Seperti
kalimat, Al-Quran adalah sumber pertama dari syariat Islam. Meskipun sebenarnya istilah ini
sudah ada sejak sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, namun di
lingkungan masyarakat Indonesia istilah syariat lebih populer identik dengan Islam.

Untuk mendapatkan definisi lebih jelas tentang makna syariat dalam Islam, maka kita perlu
merujuk kepada kamus literatur bahasa Arab.

Syariat berasal dari kata dasar sya-ra-‘a (ُ‫ ) َش َر َع – يَ ْشرع‬yang artinya memulai, mengawali,
memasuki, memahami. Atau diartikan juga dengan membuat peraturan, undang-undang,
syariat. Syar’un (‫ )شَرْ ع‬dan syir’atan (‫ ) ِشرْ عَة‬memiliki arti yang sama: ajaran, undang-undang,
hukum, piagam.

Ibnu Manzhur berkata: “Syari’at, syara’, dan musyarra’ah adalah tempat-tempat dimana air
mengalir turun ke dalamnya. Syir’ah dan syari’ah dalam percakapan bangsa Arab memiliki
pengertian syir’atul ma’, yaitu sumber air, tempat berkumpulnya air, yang didatangi manusia
lalu mereka meminum airnya dan mengambil airnya untuk minum…. Bangsa Arab tidak
menamakan tempat-tempat berkumpulnya air tersebut syari’at sampai air tersebut banyak,
terus mengalir tiada putusnya, jelas dan bening, dan airnya diambil tanpa perlu menggunakan
tali.” (Lisanul ‘Arab, 8/174)

Masih dalam tinjauan etimologi, syariat juga diartikan dengan mazhab atau ath-Thariqah al-
Mustaqimah: metode yang lurus. (Al-Mukhtar min Shihhatil Lughah, 265; Al-Madkhal li
Dirasati asy-Syari’ah, Abdul Karim Zaidan, 38)

KATA SYARIAT DALAM AL-QURAN


Ternyata, kata syariat juga terdapat dalam al-Quran. Dalam al-Quran, kata syariat baik
berbentuk kata kerja (verb), kata benda, ataupun kata sifat terdapat dalam beberapa ayat.

‫ك َعلَ ٰى َش ِري َع ٍة ِمنَ اَأْل ْم ِر فَاتَّبِ ْعهَا‬


َ ‫ثُ َّم َج َع ْلنَا‬

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama
itu)…” (QS. Al-Jatsiyah: 18)

‫لِ ُك ٍّل َج َع ْلنَا ِم ْن ُك ْم ِشرْ َعةً َو ِم ْنهَاجًا‬

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS. Al-
Maidah: 48)

‫ِإ ْذ تَْأتِي ِه ْم ِحيتَانُهُ ْم يَوْ َم َس ْبتِ ِه ْم ُش َّرعًا‬

“…ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-
ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari
yang bukan Sabtu…” (QS. Al-A’raf: 163)

َ ‫َش َر َع لَ ُك ْم ِمنَ الدِّي ِن َما َوص َّٰى بِ ِه نُوحًا َوالَّ ِذي َأوْ َح ْينَا ِإلَ ْي‬
‫ك‬

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu…” (QS. Asy-Syura: 13)

ُ ‫َأ ْم لَهُ ْم ُش َر َكا ُء َش َرعُوا لَهُ ْم ِمنَ الدِّي ِن َما لَ ْم يَْأ َذ ْن بِ ِه هَّللا‬

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk


mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syura: 21)

SYARIAT + ISLAM
Dalam khazanah ilmiah Islam, para Ulama mendefinisikan istilah syariat Islam dengan
kalimat yang cukup beragam. Imam Al-Qurthubi mendefinisikan syariat Islam sebagai agama
yang Allah syariatkan kepada hamba-hamba-Nya.” (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 19/154)

-Ibnu Taimiyah mendefinisikan syariat Islam sebagai menaati Allah, menaati Rasul-Nya, dan
para pemimpin dari kalangan kita (orang-orang beriman). Pada hakekatnya syariat adalah
menaati para rasul dan berada di bawah ketaatan kepada mereka. (Majmu’ Fatawa, Ibnu
Taimiyah, 19/309)

Imam Ibnu Atsir Al-Jazari menitikberatkan definisi Syara’ dan syariat kepada agama yang
Allah syariatkan atas hamba-hamba-Nya, yaitu agama yang Allah tetapkan bagi mereka dan
Allah wajibkan atas diri mereka. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 2/460)

Sementara Dr. Umar bin Sulaiman Al-Asyqar mengungkapkan definisi yang lebih rinci
bahwa syariat adalah hukum-hukum yang Allah tetapkan di dalam kitab-Nya atau datang
kepada kita melalui jalan rasul-Nya di dalam sunnah beliau, tidak ada bedanya apakah
hukum-hukum tersebut dalam bidang akidah, amal, ataupun akhlak.” (Al-Madkhal ila Asy-
Syari’ah wa Al-Fiqh Al-Islami, 14)

Pertama, Syariat dalam makna umum


Menurut Athiyah Fayyadh, dari segi makna umum, syariat adalah seluruh hukum-hukum
yang dibebankan Allah ‘azza wajalla kepada hamba-Nya yang telah dijelaskan kepada
mereka dalam wahyu-Nya dan oleh lisan rasul-Nya.

Definisi ini beliau simpulkan melalui hasil penelitian (Istiqra’) terhadap beberapa definisi
yang telah dijelaskan oleh para Ulama seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Manna’ Qathan,
dan Abdul Karim Zaidan.

Keluasan cakupan definisi syariat yang menjangkau seluruh aktivitas manusia (akidah, moral,
ibadah, pekerjaan, politik, hukum, kekuasaan, dan warisan atau pemberian) ini
mengindikasikan bahwa syariat itu adalah sempurna dan dengan sumber yang sudah jelas-
jelas valid; firman Allah ‘azza wajalla dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

-Oleh sebab itu, Syaikh Abdul Karim Zaidan menyebut syariat sebagai padanan dari kata al-
Millah dan kata ad-Diin. Hukum-hukum yang disyariatkan Allah ‘azza wajalla adalah
sebagai syariat dari segi sumber, deskripsi, dan kelurusannya, dan disebut ad-Diin dari segi
kepada siapa ketundukan dan peribadatan ditujukan, dan disebut al-Millah dari segi perintah
pelaksanaannya bagi manusia.

Kedua, Syariat dalam makna khusus


Sebagian ulama menggunakan istilah syariat secara lebih khusus yang hanya mencakup
makna sebagian saja dari hukum-hukum syar’i karena sebab dan kebutuhan tertentu.

Ada ulama yang menggunakan istilah syariat untuk dihadapkan dengan istilah akidah (al-
Aqidah) sehingga dalam konteks tersebut definisi syariat bergeser sedikit menjadi hukum-
hukum fisik (al-Ahkam al-‘Amaliyah) dan definisi akidah menjadi persoalan-persoalan
keyakinan (al-I’tiqad) dan iman (al-Iman).

Contoh penggunaan definisi ini adalah nama kitab yang ditulis oleh syaikh Syaltut, “Al-Islam
‘Aqidatan wa syari’atan”. Dalam buku tersebut, Syaikh Syaltut mendefinisikan syariat
sebagai aturan (nidzam) yang disyariatkan oleh Allah ‘azza wajalla sebagai sebuah aturan
untuk dirinya dalam merawat hubungan antara diri manusia dengan Rabbnya, hubungan
manusia dengan saudara sesama muslim, hubungan manusia dengan sesama manusia (non-
muslim), hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan kehidupan.
Selain itu, ada pula yang menggunakan istilah syariat untuk dihadapkan dengan istilah fikih
(Al-Fiqh) sehingga dalam konteks ini syariat didefinisikan dengan hukum-hukum yang
diturunkan oleh Allah ‘azza wajalla, sementara fikih bermakna hukum hasil ijtihad para
mujtahid. Definisi seperti ini digunakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah (Asy-Syar’u al-
Mu’awwalu).

Istilah syariat juga digunakan oleh sebagian ulama dalam definisi sebagai hukum-hukum
yang sumbernya adalah wahyu, ketika istilah syariat ini dihadapkan dengan istilah Qanun
dimana dalam konteks ini Qanun didefinisikan sebagai hukum-hukum yang dibuat oleh
manusia dan diterapkan untuk diri mereka pula.

Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (19/309) menjabarkan dengan kalimat yang
cukup menarik tentang hakikat syariat,

ِ ‫ع ِم ْن ُأصُولِ ِه َوفُر‬
‫ُوع ِه َوَأحْ َوالِ ِه‬ ِ ْ‫ور ِه بَلْ ُكلُّ َما يَصْ لُ ُح لَهُ فَهُ َو فِي ال َّشر‬
‫ُأ‬
ِ ‫ُج ع َْن ال َّش ِري َع ِة فِي َش ْي ٍء ِم ْن ُم‬ َ ‫ْس لِِإْل ْن َسا ِن َأ ْن يَ ْخر‬ َ ‫لَي‬
َ‫َوَأ ْع َمالِ ِه َو ِسيَا َستِ ِه َو ُم َعا َملَتِ ِه َو َغي ِْر َذلِك‬

“Manusia tidak lepas dari syariat dalam urusan apapun sepanjang kehidupannya, bahkan
setiap hal yang mengantarkannya kepada kebaikan semua ada dalam syariat. Mulai dari
perkara ushul, perkara furu’, persoalan kehidupan, pekerjaan, politik, muamalah, dan
lainnya.”

-Mahmud Syaltut dalam kitab Al-Islam Aqidah wa Syariah mengatakan, konsep syariah
sangat relevan dalam kehidupan manusia. Syariah mencakup seluruh permasalahan di bidang
akidah, muamalah, etika, dan hukum-hukum furu’.

Seiring berjalannya waktu, pengertian syariah pun mengalami perkembangan. Beberapa


istilah baru dimunculkan untuk mendefinisikan cabang ilmu syariah.
Misalnya, masalah akidah dikenal dengan nama ushuluddin dan masalah etika dibahas dalam
kajian akhlak. Karena itu, istilah syariah mengalami historical continuity (keberlanjutan
sejarah) yang pada akhirnya menjadi lebih sempit.
Syariah Islam identik dengan kata hukum yang dijelaskan dalam Alquran dan hadits. Syariah
menjadi prinsip tersendiri dalam mengatur beberapa kajian ilmu yang berkaitan dengan
kehidupan manusia.
Syariah menjadi solusi dari permasalahan bangsa yang cenderung berkiblat pada hukum
barat. Karakteristik syariah berbanding lurus dengan karakteristik hukum Islam yang dibawa
Rasulullah SAW.

"Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui"
Agama Islam juga bersifat kemanusiaan. Allah Swt memerintahkan hamba-Nya untuk saling
tolong menolong, menunaikan zakat, infak, dan sedekah.
Segala ketentuannya telah dijelaskan dalam dalil Alquran dan sunnah. Salah satunya firman
Allah Swt dalam Surat Al-Maidah ayat 2 berikut:

“Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu


dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan permusuhan

Anda mungkin juga menyukai