Anda di halaman 1dari 7

A.

Pengertian Hukum Syara'

Hukum syara' adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah


tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat
untuk semua umat yang beragama Islam.

Pengertian Hukum bisa ditinjau dari tiga aspek, yaitu:

1. Hukum menurut bahasa yang berarti: mencegah dan memutuskan.


2. Hukum menurut istilah Ushuliyun, yaitu: Firman Allah swt (nash) yang
berhubungan dengan perbuatan manusia baik yang bersifat tuntutan, pilihan
3. Hukum menurut Fuqaha, yaitu: efek dari penerapan firman Allah (nash) yang
menghasilkan mubah, wajib, sunat, haram dan makruh.

B. Pembagian Hukum Syara’.

Hukum syara terbagi dua macam:

a. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau


memberi pilihan terhadap seorang mukalaf,
b. Hukum wadhi’ berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum
taklifi, misalnya hukum taklifi menjelaskan bahwa salat wajib dilaksanakan
umat islam, dan hukum wadhi menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir
di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seorang menunaikan shalat
zuhur.

1. Hukum Taklifi

Sebagaimana pengertiannya hukum taklifi adalah hukum yang menelaskan


tentang perintah, larangan, dan pilihan untuk menjalankan sesuatu atau untuk
menjalankannya.contoh hukum yang menunjukkan perintah adalah mendirikan
sholat, membayar zakat dan menunaikan haji ke baitullah. Bentuk-bentuk hukum
taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu
Wajib, Mandub, Haram. Makruh, Mubah.

a. Wajib

Wajib adalah suatu ketentuan yang diperintahkan untuk dilaksanakan dan bagi
yang meninggalkannya mendapat dosa dan yang menjalankannya berpahala.

Pembagian wajib

Wajib terbagi menjadi beberapa bagian, dan setiap bagian dapat ditinjau dari
segi tertentu, misalnya dari segi waktu, segi Dzatiayah Hukum, yang diperintahkan:
segi umum dan khususnya perintah, dan sgi kadar/ukuran perintah, dan lain-lain.

Wajib dari segi waktu pelaksanaannya.

1) Wajib Muthlaq. Kewajiban yang tidak di batasi dengan waktu , contoh:


membayar puasa qada.
2) Wajib muaaqad, yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya di batasi
dengan waktu tertentu. Contoh: puasa ramadha, solat 5 waktu,dsb

Wajib dari segi tertentunya tuntutan.

1) Wajib Mu’ayyan
Wajib Mu’ayyan adalah suatu kewajiban yang hanya mempunyai satu
tuntutan. Kewajiban dimana yang menjadi obyeknya adalah tertentu tanpa ada
pilihan lain. Misalya, kewajiban shalat lima waktu, puasa ramadhan dan zakat.
Termasuk juga seperti membayar hutang dan memenuhi akad. Dan terbebas
mukallaf dari kewajiban tersebut dengan melaksanakan perbuatan yang tertentu ini
saja.

2) Wajib Mukhayyar.
Kewajiban dimana yang menjadi objecknya boleh dipilih antara beberapa
alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sumpah yang boleh dipilih antara
memberi makan 10 orang fakir miskin, memberikan pakaian atau memerdekakan
budak.

Kewajiban dari segi pelaksanaannya

1) Wajib ‘ain yaitu: Kewajiban yang berhubungan dengan pribadi perorangan.


Yaitu kewajiban yang harus di jalankan oleh orang mukallaf, sehingga ia
meninggal, berdosalah ia dan berhak di siksa. Sebagai contoh sholat, zakat,
memeuhi akad (memenuhi janji).
2) Wajib kifai,yaitu: Kewajiban yang berhubungan dengan orang banyak.
Yaitu suatu kewajiban yang hanya menuntut terwujudnya suatu pekerjaan
dari sekelompok masyarakat, maka bebaslah yang lain dari kewajibanitu,
tanpa menanggung dosa.
b. Mandub

Mandub adalah Perbuatan yang dilakukan oleh Mukallaf berpahala dan jika
ditinggalkan tidak mendapat siksa.

Pembagian sunnat.

1) Sunnat Muakkad
Sunat mukkad yaituSunah yang dijalankan Rasulullah SAW secara
kontinyu,enjelaskan bahwa hal tersebut bukan fardhu yang harus dilakkan.
Contonya, seperti sholat witir dua rekaat sebelum sholat shubuh.

2) Sunnat Ghairu muakkad


Sunnah Ghairu muakkad yaitu sunah yang tidak di kerjakan oleh Rasulullah
SAW secara kontinyu. Seperti sholat empat rakaat sebelum dhuhur, empat
rakaat sebelum asahr,empat rakaat sebelum isya’, dan bershadaqah yang tidak
fardhu.

3) Sunnat Zaidah.
Yaitu sunnah yang tingkatannya di bawah dua tingkatan di atas. Sunah ini
mengikuti adat kebiasaan Rasulullah SAWyang tidak ada hubungannya dengan
tugas tabligh (penyampaian ajaran) dari Allah atau penyampaian hukum Syara’.
Seperti cara makan, berpakaian Rasulullah SAW

c. Haram

Haram ialah larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik
ditetapkan melalui dalil qath’i dan dalil zhanni.

Pembagian Haram.

1) Haram Lizatihi
Yaitu perbuatan yang di haramkan oleh Allah, karena bahaya tersebut dalam
perbuatan itu sendiri. Seperti makan bangkai, minum khamr, berzia, mencuri.

2) Haram li ‘aridhihi.
Yaitu perbuatan yang di larang oleh syara’, di mana adanya larangan tersebut
bukan terletak pada perbuatan itu sediri, tetapi perbuatan tersebut dapat
menimbulkan haram li dzati. Seperti melihat aurat perempuan dapat menimbulkan
zina, sedang zina diharamkan karena dzatiyahnya sendiri.

d. Makruh

Makruh adalah suatu larangan syara’ terhadap suatu perbuatan, tetapi larangan
tersebut tidak bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan atas
haramnya perbuatan tersebut.

Pembagian Makruh.

1) Makruh Tahrim
Yaitu larangan yang pasti yang di dasarkan pada dalil zhanniyan masih
mengandung keraguan.

2) Makruh Tanjih

Definisinya sama dengan definisi yang dirumuskan oleh umhur fuqaha’.


Makruh tanzih ini merupakan lawan (kebaikan) dari hukum mandub.
e. Mubah

Mubah ialah suatu hukum, dimana Allah SWT memberika kebebasan kepada
orang Mukallaf untuk memilih untuk mengerjakan suatu perbuatan atau
meninggalkannya.

“ Mubah ialah suatu perbuatan yang apabila di kerjakan atau di tinggalkan


sama-sama tidak memperoleh tiga pujian”.

Hukum mubah di tetapkan karena ada salah satu dari tiga hal, yaitu:

1) Tiada berdosa bagi orang yang mengerjakan perbuatan yang semula di


haramkan,
2) Dengan ada qarinah (tanda-tanda) atas dierbolehkannya perbuatan tersebut.
3) Tiada dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan
Ada nash yang menunjukkan atas halanya perbuatan tesebut.

2. Hukum Wadh’i.

Berdasarkan pengertian hukum wadh’i yang telah dijelaskan diatas maka


hukum wadh’i itu pada dasarnya adalah sebab, syarat dan mani’.

a. Sebab.

Sebab menurut bahasa: sesuatu yang bisa menyampaikan kepada sesuatu yang
lain. Dan menurut istilah adalah: sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda
adanya hukum dimana adanya sebab adanya hukum dan tidak adanya sebab tidak
adanya hukum.

Pembagian Sebab.

1) Sebab yang merupakan bukan perbuatan mukallaf dan berada diluar


kemampuan manusia. Namun demikian, sebab itu mempunyai hubungan
dengan hukum taklifi karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan
bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh mukallaf.
Misalnya, masuknya bulan Ramadhan menjadi sebab untuk berpuasa
ramadhan.
2) Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan berada dalam batas
kemampuan mukallaf. Misalnya, safar merupakan sebab bolehnya berbuka
puasa.

Jumhur Ushuli tidak membedakan antara sebab yang bisa ditelusuri oleh akal
(logis) dan sebab yang tidak bias ditelusuri oleh akal. Sedangkan sebagian ulama
ushul yang lain membedakannya dan menyatakan bahwasanya sebab adalah sesuatu
yang tidak bisa ditelusuri oleh akal, seperti tergelincirnya matahari sebab wajibnya
shalat dhuhur. Sedangkan yang bisa ditelusuri oleh akal disebut dengan ‘illat,
seperti mabuk sebab tidak bolehnya shalat.

b. Syarat.

Syarat menurut bahasa adalah tanda-tanda yang mesti ada, sedangkan menurut
istilah syarat adalah sesuatu yang membuat tidak adanya hukum tanpa adanya
syarat dan tidak semestinya hukum itu ada ataupun tidak dengan adanya syaratdan
syarat ini berada diluar dari hakikat perbuatan yang tergantung kepadanya.

Perbedaan antara syarat dan rukun. Syarat dan rukun sama-sama menjadi penentu
terpenuhinya suatu perbuatan dengan sempurna. Namun keduanya berbeda dari
segi:

1) Rukun merupakan bagian dan hakikat perbuatan sedangkan syarat berada


di luar perbuatan tersebut.Misalnya, ruku’ adalah rukun shalat dan
merupakan bagian dari dari shalat. Sedangkan wudhu syarat bagi shalat dan
bukan merupakan bagian dari shalat.
2) Syarat harus ada dari awal hingga akhir perbuatan dan rukun berpindah
pindah dari satu ke yang lainnya.
Pembagian syarat.

1) Syarat dari segi hubungan dengan hukum.


2) Syarat yang merealisasikan hukum taklifi, misalnya, terpenuhinya haul
merupakan syarat wajibnya zakat.
3) Syarat yang merealisasikan hukum wadh’i. misalnya, muhsan merupakan
syarat dirajamnya orang yang berzina.

Syarat dari segi sumbernya.

1) Syarat Syar’i yaitu syarat yang datang sendiri dari syari’at, seperti, dewasa
merupakan syarat wajib untuk menyerahkan harta kepada anak yatim dan
ini telah diatur oleh syari’at dalam surat an-nisa’ ayat 6.
2) Syarat Ja’li yaitu syarat yang datang dari kemauan mukallaf sendiri, seperti,
syarat yang dibuat oleh pihak tertentu dalam akad tertentu.

c. Mani’.
Mani’ menurut bahasa adalah penghalang dari sesuatu. Dan menurut istilah
mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syari’at sebagai penghalang bagi adanya
hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.

Pembagian Mani’

1) Mani’ terhadap hukum. Yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh syari’at yang
menjadi penghalang bagi hukum. Seperti, haid bagi wanita yang menjadi
mani’ untuk melaksanakan shalat.
2) Mani’ terhadap sebab. Yaitu suatu penghalang yang ditetapkan oleh
syari’at yang menjadi penghalang berfungsinya sebab. Seperti, berhutang
menjadi penghalang wajibnya zakat pada harta yang dimiliki.

Anda mungkin juga menyukai