Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam mengkaji kitab-kitab ilmu-ilmu hadis akan di jumpai


ungkapan-ungkapan, seperti hadis, riwayat, sunnah, khabar dan atsar, serta
ada perbedaan-perbedaan pemahaman dalam hal ini seperti bid’ah dsb.
Dalam hal-hal seperti ini akan kami bahas sekilas mengenai apa itu hadis,
riwayat, sunnah, khabar, atsar, serta bid’ah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan Pengertian Hadis, riwayat, sunnah, khabar, atsar dan
bid’ah !
2. Menyebutkan Contoh-contoh Hadis Qudsi dan bid’ah!

C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH


1. MengetahuiPengertian Hadis, riwayat, sunnah, khabar, atsar dan bid’ah
!
2. Megetahui Contoh-contoh Hadis Qudsi dan bid’ah!

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HADIS, RIWAYAT, SUNNAH, KHABAR,


ATSAR DAN BID’AH

1. Pengertian Hadis

Kata hadis secara etimologi berarti “komunikasi, cerita, percakapan, baik


dalam konteks agama atau duniawi, atau dalam konteks sejarah atau peristiwa dan
kejadian aktual. Penggunaanya dalam bentuk kata sifat atau adjektiv, mengandung
arti al-jadid, yaitu: yang baharu, lawan dari al-qadim, yang lama. Dengan demikian,
pemakaian kata hadis disini se olah-olah dimaksudkan untuk membedakannya
dengan Al-qur’an yang bersifat qadim.1

Di dalam Al-Qur’an terdapat 23 kali penggunaan kata hadis dalam bentuk


mufrad atau tunggal, dan 5 kali dalam bentuk jamak. Keseluruhannya adalah dalam
pengertiannya secara etimologis di atas. Hal tersebut dapat di lihat dalam beberapa
contoh berikut:

1) Pengertiannya dalam konteks komunikasi religius, wahyu, atau Al-Qur’an

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik ( yaitu) Al-Qur’an ...(QS Al-
Zumar[39] : 23)

1
Drs.M.Solahudin Agus, M.Ag, Suyadi Agus . 2008 . Ulumul Hadis . Bandung : Pustaka Setia.

2
Maka serahkanlah Muhammad kepada-Ku (urusan) orang-orang yang
mendustakan Al-Qur’an ini ... (QS AL-Qalam [68]: 44)

2) Dalam konteks cerita duniawi atau cerita secara umum

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat kami,


maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang
lain (QS Al-An’am [6]: 68)

3) Dalam konteks sejarah atau kisah masa lalu

Dan apakah telah sampai kepadamu kisah musa? (QS Thaha [20]: 9)

4) Dalam konteks cerita atau percakapan aktual

Dan ingatlah ketika nabi SAW membicarakan suatu rahasia kepada )Hafash) salah
seorang dari istri-istri beliau (QS Al-Tahrim [66]: 3)

Dari ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa kata Hadis telah


dipergunakan di dalam Al-Qur’an dengan pengertian cerita, komunikasi, atau
pesan, baik dalam konteks religius atau duniawi, dan untuk masa lalu atau masa
kini.2

Kata hadis dalam pengertian yang di sebutkan di atas juga di jumpai pada
beberapa pernyataan rasul SAW seperti:

1. Dalam pengertian komunikasi religius


(semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar sesuatu
(Hadis) dari kami dan dihafalnya, serta selanjutnya disampaikannya
(kepada orang lain). Boleh jadi orang yang menyampaikan lebih hafal dari
yang mendengar. (HR Ibn Majah dan Tirmidzi)

2
Drs.M.Solahudin Agus, M.Ag, Suyadi Agus . 2008 . Ulumul Hadis . Bandung : Pustaka Setia.

3
Sesungguhnya hadis (pembicaraan) yang paling baik adalah Kitab Allah
(Al-Qur’an) ... (HR Bukhari)
2. Pembicaraan atau cerita duniawi dan yang bersifat umum
Siapa yang mencoba untuk mengintip (mendengar secara sembunyi)
pembicaraan sekelompok orang dan mereka tidak menginginkan hal
tersebut serta berusaha untuk menghindar darinya, maka besi panas akan
disumbatkan ke telinganya di hari kiamat. (HR Bukhari dan Tirmidzi)
3. Cerita masa lalu atau sejarah
...Dan sampaikanlah cerita tentnag Bani Israil.. (HR Tirmidzi)
4. Cerita aktual atau percakapan rahasia
Apabila seseorang menyampaikan suatu pembicaraan (yang bersifat
rahasia) kemudian dia pergi, maka perkataannya itu adalah amanah. (HR
Tirmidzi)

Beberapa contoh di atas bahwa kata hadis mengandung pengertian cerita


atau percakapan. Pada awal islam, cerita dan pembicaraan Rasul SAW (Hadis)
selalu mendominasidan mengatasi pembicaraan yang lainnya, oleh karenanya kata
hadis mulai di pergunakan secara kusus untuk menjelaskan perkataan atau sabda
rasul SAW.

Menurut Shubhi al-Shalih, kata hadis juga merupakan bentuk isim yang
tahdits, yang mengandung arti meberitahukan, mengabarkan. Berdasarkan
pengertian ini lah, selanjutnya setiap perkataan, perbuatan, atau penetapan (taqrir)
yang di sandaran kepada Nabi SAW di namai dengan Hadis . 3

Hadis secara terminologis, menurut Ibn Hajar, berarti:

Segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW

3
Drs.M.Solahudin Agus, M.Ag, Suyadi Agus . 2008 . Ulumul Hadis . Bandung : Pustaka Setia.

4
Definisi di atas masih umum sekali, karena belum di jelaskan batasan
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW tersebut. Definisi yang lebih
terperinci, adalah:

Segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan,


perbuatan,taqrir, atau sifat.

Imam Taqiyyudin ibn Taimiyyah mengemukakan definisi yang lebih sempit dengan
memberi batasan bahwa Hadis tersebut adalah:

Seluruh yang di riwayatkan oleh Rasul SAW sesudah kenabian beliau, yang terdiri
atas perkataan, perbuatan, dan ikrar beliau.

Dengan definisi di atas Ibn Taimiyyah memberikan batasan, bahwa yang di


nyatakan sebagai hadis adalah sesuatau yang di sandarkan kepada Rasul SAW
sesudah beliau di angkat menjadi Rasul, yang terdiri atas perkataan perbuatan, dan
taqrir. Dengan demikian, maka sesuatu yang di sandarkan kepada beliau sebelum
beliau di angkat menjadi rasul, bukanlah hadis.

Menurut ulama Ushul Fiqh, yang di maksud dengan hadis adalah apa yang
di sebut mereka dengan sunnah qawliyyah, yaitu:

Seluruh perkataan rasul yang pantas di jadikan dalil dalam penetapan hukum
syara’.

Hal tersebut adalah, karena sunnah, dalam pandangan mereka lebih umum
daripada Hadis. Pengertian mereka tentang sunnah adalah meliputi perkataan,
perbuatan dan taqrir (pengakuan atau persetujuan) Rasul SAW yang dapat dijadikan
dalil dalam merumuskan hukum syara’4

4
Drs.M.Solahudin Agus, M.Ag, Suyadi Agus . 2008 . Ulumul Hadis . Bandung : Pustaka
Setia.

5
2. Sunnah

Sunnah secara etimologis berarti

jalan yang lurus dan berkesinambungan, yang baik atau yang buruk.

Contoh dari pengertian sunnah di atas di antaranya adalah ayat Al-Qur’an


surat Al-Kahfi: 55

Dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika
petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon ampun kepada Tuhannya,
kecuali datang kepada mereka (seperti) jalan (kehidupan) umat-umat terdahulu,
atau datangnya azab atas mereka dengan nyata.\

Di dalam hadis juga terdapat kata sunnah dengan pengertiannya secara


etimologis di atas, seperti yang di riwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya
sebagai berikut

Bahwa Rasulullah SAW bersabda : barangsiapa yang merintis suatau jalan yang
baik, maka ia akan memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang
mengamalkannya sesudahnya;tidak mengurangi yang demikian itu akan pahala
mereka sedikitpun. Dan siapa yang merintis jalan yang buruk, ia akan menerima
dosanya sedikitpun.

Berdasarkan contoh-contoh di atas, terlihat bahwa pada dasarnya Sunnah


tidaklah sama pengertiannya dengan Hadis, karena sunnah sesuai dengan
pengertiannya secara bahasa adalah ditujukan terhadap pelaksanaan ajaran agama
yang di tempuh, atau praktik yang di laksanakan oleh Rasul SAW dalam perjalanan
hidupnya karena sunnah secara bahasa berarti al-thariqah yaitu jalan (jalan
kehidupan).5

Pengertian sunnah secra terminologis

5
Drs.M.Solahudin Agus, M.Ag, Suyadi Agus . 2008 . Ulumul Hadis . Bandung : Pustaka
Setia.

6
Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi sunnah secara
terminologis, sejalan dengan perbedaan keahlian dan bidang yang di tekuni masing-
masing. Para ahli Ushul Fiqh mengemukakan definisi yang berbeda di bandingkan
dengan definisi yang di berikan oleh para ahli Hadis dan Fuqaha’

a. Definisi ulama Hadis (Muhadditsin)

Menurut ulama Hadis, sunnah berarti

Sunnah adalah setiap apa yang di tinggalkan (diterima) dari Rasul SAW berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik atau akhlak, atau perikehidupan, baik
sebelum beliau di angkat menjadi rasul, seperti thannuts yang beliau lakukan di
Gua Hira atau sesudah kerasulan beliau.

Sunnah dalam pngertian Ulama Hadis di atas adalah sama (muradif) dengan
hadis para ulama hadis memberikan definisi yang begitu luas terhadap sunnah
karena mereka memandang rasul SAW sebagai panutan dan contoh teladan bagi
manusia dalam kehidupan ini, seperti yang di jelaskan Allah SWT di dalam Al-
Qur’an al-Karim, bahwa pada diri (kehidupan) Rasul SAW adlah uswatun Hasanah
bagi umat islam (QS Al-Ahzab:21.)

Dengan demikian, para Ulama Hadis mencatat seluruh yang berhubungan


dengan kehidupan Rasul SAW, baik yang mempunyai kaitan langsung
denganhukum syara’ ataupun tidak.6

b. Pengertian sunnah menurut Ulama Ushul Fiqh

Ulama Usul Fiqh memberikan definisi sunnah sebgai berikut:

Sunnah adalah seluruh yang datang dari Rasul SAW selain Al-Qur’an al-Karim,
baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrir, yang dapat dijadikan sebagai
dalil untuk menetapkan hukum syara’.

6
Drs.M.Solahudin Agus, M.Ag, Suyadi Agus . 2008 . Ulumul Hadis . Bandung : Pustaka
Setia.

7
Melaui definisi di atas terlihat bahwa para ulama Ushul Fiqh membatasi
pengertian sunnah pada sesuatu yang datang dari Rasul SAW selain Al-Qur’an yang
dapat dijadikan dalil dalam penetapan hukum syara’. Mereka berpendapat demikian
karena mereka memandang Rasul SAW sebagai syari’. Yaitu yang merumuskan
hukum dan yang menjelaskan kepada umat manusia tentang peraturan-peraturan
(hukum-hukum) dalam kehidupan ini, dan memberikan kaidah-kaidah hukum
untuk di pergunakan dan dipedomani kelak oleh para mujtahid dalam merumuskan
hukum setelah beliau tiada.7

c. Sunnah menurut ulama Fiqh (Fuqaha)

ulama Fiqh mendefinisikan sunnah sebagai berikut:

yaitu setiap yang datang dari rasul SAW yang bukan fardu dan tidak pula wajib.

Ulama Fiqh mengemukakan definisi seperti di atas karena sasaran


pembahasan mereka hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf
dengan, yang terdiri atas : wajib, haram, mandud (sunnah), kaharah, dan mubah.

Apabila para Fuqaha’ mengatakan sesuatu perbuatan itu adalah sunnah,


maka hal tersebut dituntut oleh syara’ untuk di laksanakan oleh oara mukalaf
dengan tuntutan yang tidak pasti atau tidak wajib.8

Dari definisi hadis dan sunnah di atas, selain definisi versi para Fuqaha,
secara umum kedua istilah tersebut adalah sama, yaitu bahwa keduanya adalah
sama-sama di sandarkan kepada dan bersumber dari Rasul SAW. Perbedaan hanya
terjadi pada tinjauan masing-masing dari segi fungsi keduanya. Ulama hadis
menekankan pada fungsi Rasul SAW sebgai teladan dalam kehiduoan ini,
sementara ulama Usul Fiqh memandang Rasul SAW sebagai teladan dalam

7
Drs.M.Solahudin Agus, M.Ag, Suyadi Agus . 2008 . Ulumul Hadis . Bandung : Pustaka
Setia.
8
Drs.M.Solahudin Agus, M.Ag, Suyadi Agus . 2008 . Ulumul Hadis . Bandung : Pustaka
Setia.

8
kehidupan ini, sementara ulama Ushul Fiqh memandang Rasul SAW sebagai syari’,
yaitu sumber dari hukum islam. Di kalangan mayoritas ulama hadis sendiri,
terutama mereka yang tergolong muta’akhkhirin, istilah sunnah sering di
sinonimkan dengan Hadis. Mereka sering mempertukarkan kedua istiah tersebut di
dalam pemakaiannya.

Istilah sunnah di kalangan Ulama Hadis dan Ulama Ushul Fiqh kadang-
kadang di pergunakan juga terhadap perbuatan para sahabat, baik perbuatan
tersebut dalam rangka mengamalkan isi atau kandungan Al-Qur’an dan Hadis Nabi
SAW ataupun bukan. Hal tersebut merupakan perbuatan sahabat dalam
mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu Mushaf. Argumen mereka dalam
penggunaan tersebut sebagaimana sabda rasul yang berbunyi:

..Hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa


al-Rasyidin..

3. Khabar

Khabar menurut bahasa yaitu berita, sedangkan menurut istilah terdapat tiga
pendapat yaitu:

a. Khabar adalah sinonim dari hadis, yaitu sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi
SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat.
b. Khabar berbeda dengan hadis. Hadis adalah sesuatu yang datang dari nabi
SAW, sedangkan khabar adalah berita dari selain Nabi SAW. Atas dasar
pendapat ini, maka seorang ahli hadis atau ahli sunnah disebut dengan muhadits,
sedangkan mereka yang berkecimpung dalam kegiatan sejarah dan sejenisnya
disebut dengan akhbari.
c. Khabar lebih umum daripada hadis. Hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi
SAW sedangkan Khabar adalah sesuatu yang datang dari selain nabi (orang
lain).

9
4. Atsar

Atsar secara etimologis berarti baqiyyat al-syay’ yaitu sisa atau peninggalan
sesuatu. Sedangkan pengertiannya secara terminologis terdapat 2 pendapat yaitu:

a. Atsar adalah sinonim dari Hadis, yaitu segala sesuatu yang berasal dari Nabi
SAW.
b. Pendapat kedua menyatakan, Atsar adalah berbeda dengan hadis. Atsar secara
istilah menurut pendapat kedua ini adalah:

Sesuatu yang di sandarkan kepada sahabat dan Tabi’in yang terdiri atas
perkataan atau perbuatan.9

5. Hadis Qudsi

Hadis qudsi secara bahasa berasal dari kata qadusa, yaqdusu,qudsan,


artinya suci atau bersih. Jadi, hadis qudsi secara bahasa adalah hadis yang suci

Secara terminologis, terdapat banyak definisi dengan redaksi yang berbeda-


beda. Akan tetapi, dari semua definisi tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa
hadis Qudsi adalah segala sesuatu yang di beritakan Allah SWT kepada Nabi
SAW., selain Al-Quran, yang redaksinya di susun oleh Nabi SAW. Untuk lebih
jelasnya, kami akan mengemukakan beberapa definisi tersebut,

Sesuatu yang di beritakan Allah SWT. Kepada Nabi-Nya dengan ilham atau
mimpi, kemudian Nabi SAW menyampaikan berita itu dengan ungkapan-ungkapan
sendiri.

9
Drs.M.Solahudin Agus, M.Ag, Suyadi Agus . 2008 . Ulumul Hadis . Bandung : Pustaka
Setia.

10
Segala hadis Rasulullah SAW. Yang berupa ucapan, yang di sandarkan
kepada Allah, Azza wa zalla 10

Sesuatu yang di berikan Allah SWT., terkadang melalui wahyu, ilham,atau


mimpi, dengan redaksinya yang diserahkan kepada Nabi SAW.11

Disebut Hadis karena redaksinya disusun oleh Nabi SAW dan disebut Qudsi
karena hadis ini suci dan bersih (Ath-Thaharah wa At-Tanzih) dan datangnya dari
zat yang maha suci. Hadis Qudsi ini juga sering disebut dengan Hadis illahiah atau
hadis Rbbaniah. Disebut illahi atau rabbani karena hadis ini datang dari Allah
Rabb’alamin.

6. Bid’ah

Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa
ada contoh.

Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :

1. Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-


penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-
penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah
(diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah
mubah.

2. Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang


ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang
mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini

10
Drs.M.Solahudin Agus, M.Ag, Suyadi Agus . 2008 . Ulumul Hadis . Bandung : Pustaka
Setia.

11
Drs.M.Solahudin Agus, M.Ag, Suyadi Agus . 2008 . Ulumul Hadis . Bandung : Pustaka
Setia.

11
yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak
diterima)”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : “Artinya : Barangsiapa
yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka
perbuatannya di tolak”.

MACAM-MACAM BID’AH
1. Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :
Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan,
seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta
semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus
keyakinan-keyakinan mereka.
2. Bid’ah fil ibadah : Bid’ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah
dengan apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah dalam ibadah
ini ada beberapa bagian yaitu :
a. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan
suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti
mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan,
atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang
tahun, kelahiran dan lain sebagainya.
b. Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan,
seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
c. Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah
yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang
disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara yang keras. Juga seperti
membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-
batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
d. Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari’atkan, tapi
tidak dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti menghususkan hari dan
malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk shiyam dan qiyamullail.

12
Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari’atkan, akan tetapi
pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.12
HUKUM BID’AH DALAM AD-DIEN
Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ٌ‫ضالَلَة‬ َ ‫عةٌ َو ُك َّل بِ ْد‬
َ ‫ع ٍة‬ ِ ‫ت األ ُ ُم‬
َ ‫ور فَإ ِ َّن ُك َّل ُمحْ دَث َ ٍة بِ ْد‬ ِ ‫َو ُمحْ دَثَا‬

“Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru,


karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah
adalah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫ث ِفى أ َ ْم ِرنَا َهذَا َما لَي‬


‫ْس ِم ْنهُ فَ ُه َو َرد‬ َ َ‫َم ْن أَحْ د‬

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada
asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no.
1718)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

‫علَ ْي ِه أ َ ْم ُرنَا فَ ُه َو َرد‬ َ ‫ع َمالً لَ ْي‬


َ ‫س‬ َ ‫َم ْن‬
َ ‫ع ِم َل‬

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam


Ad-Dien (Islam) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan tertolak.

http://www.nu.or.id/post/read/67714/inilah-kriteria-bidah-dhalalah-dan-bidah-
12

hasanah

13
Artinya bahwa bid’ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.13

Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada


diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi
kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan
dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan
minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti
bid’ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan
Jahmiyah dan Mu’tazilah. Ada juga bid’ah yang merupakan sarana menuju
kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo’a disisinya.
Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah
Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan
keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan
maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di
terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan
syahwat jima’ (bersetubuh).14

Catatan :
Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah
syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam : “Artinya : Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat”.
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk
bid’ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak
setiap bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yang baik !

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya “Syarh Arba’in”


mengenai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah adalah

13
https://www.harianmu.com/2016/07/contoh-perbuatan-bidah-dalam-

kehidupan.html

14
http://www.nu.or.id/post/read/67714/inilah-kriteria-bidah-dhalalah-dan-bidah-
hasanah

14
sesat”, merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun
yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang
senada dengan sabdanya : “Artinya : Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan
dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak”. Jadi setiap orang yang mengada-ada
sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya
dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri
darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan,
baik lahir maupun batin.

Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa
bid’ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu pada
shalat Tarawih : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, juga mereka berkata :
“Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)”, yang tidak diingkari oleh
ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu kitab, juga penulisan
hadits dan penyusunannya”.

Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-


masalah ini ada rujukannya dalam syari’at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan
Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, maksudnya adalah
bid’ah menurut bahasa dan bukan bid’ah menurut syariat. Apa saja yang ada
dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah” maksudnya
adalah bid’ah menurut arti bahasa bukan menurut syari’at, karena bid’ah menurut
syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya.

Dan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam


syariat karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan
Al-Qur’an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para
sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk
menjaga keutuhannya.

Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat


secara berjama’ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak
bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan

15
para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau
sampai sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan mereka satu jama’ah di
belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan
hal ini bukan merupakan bid’ah dalam Ad-Dien.

Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis
sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada
beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-
Qur’an. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah
kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur’an sudah sempurna dan telah disesuaikan
sebelum wafat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum
muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang ; semoga Allah Ta’ala
memberi balasan yang baik kepada mereka semua, karena mereka telah menjaga
kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak
kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak
bertanggung jawab.15

15
https://www.harianmu.com/2016/07/contoh-perbuatan-bidah-dalam-
kehidupan.html

16
B. CONTOH HADIS QUDSI DAN BID’AH

a. Contoh Hadist Qudsi

َ ‫علَ ْي ِه َو‬
: ‫س َل‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ قَال‬،ُ‫ع ْنه‬
َّ ‫سو ُل‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫ع ْن أ َ ِبي ُه َري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬ َ ّ‫َم‬

ُ ‫ بِيَدِي اللَّ ْي ُل َوالنَّ َه‬،‫ َوأَنَا الدَّ ْه ُر‬،‫ يَسُبُّ بَنِي بَنُو آدَ َم الدَّ ْه َر‬:ُ‫َّللا‬
” ‫ار‬ َّ ‫”قَا َل‬

(‫رواه البخاري )وكذلك مسلم‬

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a, beliau berkata, telah bersabda Rasulullah
SAW, “Allah Telah Berfirman,’Anak – anak adam (umat manusia) mengecam
waktu; dan aku adalah (Pemilik) Waktu; dalam kekuasaanku malam dan siang’
”Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan begitu juga Muslim.16

Dari abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasul Allah saw bersabda, suu Aslam, mudah-
mudahab Allah memberikan kedamaian. Suku Ghifar, mudah-mudahan Allah
memberikan pengampunan. Ketahuilah, sesungguhnya bukan saya yang

16
https://id.wikipedia.org/wiki/Hadits_Qudsi

17
mengatakannya melainkan Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia yang
berfirman. (HR MUSLIM)17

b. Contoh Bid’ah

Mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah
Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak
disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta
ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya. menambah rakaat kelima pada shalat
Dhuhur atau shalat Ashar.18

17
Al-Imam Abi Al-Hasan Nuruddin, Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qoriy . 1996 . Hadist
Qudsi yang sahih . Bandung : Gema Risalah Press Bandung
https://www.harianmu.com/2016/07/contoh-perbuatan-bidah-dalam-
18

kehidupan.html

18
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Kata hadis secara etimologi berarti “komunikasi, cerita, percakapan, baik


dalam konteks agama atau duniawi, atau dalam konteks sejarah atau peristiwa dan
kejadian aktual. Di dalam Al-Qur’an terdapat 23 kali penggunaan kata hadis dalam
bentuk mufrad atau tunggal, dan 5 kali dalam bentuk jamak. Sunnah tidaklah sama
pengertiannya dengan Hadis, karena sunnah sesuai dengan pengertiannya secara
bahasa adalah ditujukan terhadap pelaksanaan ajaran agama yang di tempuh, atau
praktik yang di laksanakan oleh Rasul SAW dalam perjalanan hidupnya karena
sunnah secara bahasa berarti al-thariqah yaitu jalan (jalan kehidupan). Khabar
menurut bahasa yaitu berita, sedangkan menurut istilah terdapat tiga pendapat yaitu:

a. Khabar adalah sinonim dari hadis, yaitu sesuatu yang di sandarkan kepada
Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat.
b. Khabar berbeda dengan hadis. Hadis adalah sesuatu yang datang dari nabi
SAW, sedangkan khabar adalah berita dari selain Nabi SAW

Khabar lebih umum daripada hadis. Atsar secara etimologis berarti


baqiyyat al-syay’ yaitu sisa atau peninggalan sesuatu. Atsar adalah sinonim dari
Hadis, yaitu segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW. Hadis qudsi secara bahasa
berasal dari kata qadusa, yaqdusu,qudsan, artinya suci atau bersih. Jadi, hadis qudsi
secara bahasa adalah hadis yang suci. Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’
yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh.

B. SARAN
1. Sebaiknya kita sebagai seorang muslim kita harus banyak mengetahui tentang
Hadis-Hadis maupun sunnah agar kita tidak menajadi muslim yang buta akan
ilmu agama maupun pengetahuan.
2. Untuk generasi penerus , lebih banyak belajar dan belajar agar ilmu yang di
dapatkan mampu di terapkan dan di amalkan.

19
3. Kepada pembaca , kami mengharap saran dan kritikan makalah ini , agar
makalah ini dapat di ublikasikan dengan baik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Drs.M.Solahudin Agus, M.Ag, Suyadi Agus . 2008 . Ulumul Hadis .


Bandung : Pustaka Setia.

Al-Imam Abi Al-Hasan Nuruddin, Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qoriy .


1996 . Hadist Qudsi yang sahih . Bandung : Gema Risalah Press Bandung

https://id.wikipedia.org/wiki/Hadits_Qudsi

http://www.nu.or.id/post/read/67714/inilah-kriteria-bidah-

dhalalah-dan-bidah-hasanah

https://www.harianmu.com/2016/07/contoh-perbuatan-bidah-

dalam-kehidupan.html

21

Anda mungkin juga menyukai