Anda di halaman 1dari 8

ARTIKEL

PERKEMBANGAN USHUL FIQH DAN FIKIH

OLEH : WINDI ASTINI


NIM : 160701008
DOSEN PENGAMPU : Dr. ISMAIL ANSHARI M.A
PRODI : ARSITEKTUR
STUDY : USHUL FIQH
SUMBER : Buku Ushul Fiqh oleh prof. Dr. H. satria Efendi, M.a
Jurnal dari www.academia.com

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
PROGRAM STUDY ARSITEKTUR
TAHUN 2017
1. Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
1) Masa sahabat
Meskipun pada kenyataannya fiqih lebih dahulu di bukukan dari pada ushul fiqh,
namun menurut Muhammad Abu Zahra, Ushul fiqh dalam praktinya telah muncul berbaregan
dengan fikih. Alasannya, karena secara metodologis, fikih tidak akan terwujud tanpa ada
metode istinbat, dan metode istinbat itulah sebagai inti dari ushul Fiqh. Fikih telah muncul
pada jaman sahabt. Dalam melakukan ijtihad, kata Muhammad Abu Zahra, secara praktis
meskipun belum di rumuskan dalam satu disiplin ilmu. Kemampuan mereka dalam hal ini di
samping dari Rasulullah SAW. Juga kemampuan bahasa arab mereka yang masih tinggi dan
jernih.mereka kususnya yang kemudian terkenal banyak melakukan ijtihad di bidang hukum
islam, mengikuti langsung praktik-praktik tasyri’ (pembentukan hukum) dari Rasulullah SAW.
Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Rasulullah SAW dan selalu menyertainya dan
menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa hukum yang di pecahkan oleh rasulullah, sehingga
mereka tahu betul bagaimana cara memahami ayat dan dapat menangkap tujuan pembentukan
hukumnya. Di samping itu mereka adalah generasi yang bersih dan kuat kemampuan bahasa
arabnya sebagai bahasa Al-Qur’an. Oleh karena itu seperti disimpulkan Khudari Bik, ahli ushul
Fiqh berkebangsaan Mesir, begitu Rasulullah wafat mereka sudah siap untuk menghadapi
perkembangan sosial yang menghendaki pemecahan dengan melakukan ijtihad meskipun
kaidah-kaidah Ushul Fiqh belum dirumuskan secara tertulis. Dalam melakukan ijtihad, seperti
di simpulkan Abd al-Wahhab Abu Sulaiman, guru besar ushul Fiqh universitas Ummul Qura
Mekkah, mula-mula mereka pelajari teks Al-Qur’an dan keudian sunnah Rasulullah, jika
hukumnya tidak di temukn dalam dua sumber tersebut, mereka melakukan ijtihad, baik
perorangan atau dengan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah. Hasil kesepakatan
mereka dikenal dengan ijma’ sahabat. Di samping berijtihad dengan metode qiyas, mereka
berijtihad dengan metode istishlah yang di dasarkan atas maslahah mursalah, yaitu
kemaslahatan yang tidak ada dalil secara kusus yang mendukung dan tidak pula ada yang
menolak, namun mendukung pemeliharaan tujuan syariat. Misalnya engumpulkan Al-Qur’an
dalam satu mushaf.
Dengan demikian menurut abd al-wahab abu sulaiman, para sahabat telah
mempraktikkan ijma’, qiyas, dan istilah (maslahah-maslahah) bilamana hukum satu masalah
tidak di temukan secara tertulis dalam Al-Quran an Sunnah. Praktik ijtihad para sahabat dengan
memakai metode-metode tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang baru
mulai berkembang waktu itu. Menurut muhammad abu zahrah, Ushul Fiqh yang di rumuskan
kemudin berakar dan diramu dari praktik-praktik ijtihad para sahabat.
2) Masa tabi’in
Pada masa tabiin metode istinbat menjadi semakin jelas disebabkan tambah luasnya
daerah islam sehingga banyak permasalahan baru yang muncul. Banyak para tabi’in hasil
didikan para sahabat yang mengkhususkan diri untuk berfatwa dan berijtihad antara lain Sa’id
ibn al-Musayyab (15H-94H) di Madinah, dan Alqamah ibn Qys.
Serta Ibrahim Al-Nakha’i di irak. Dalam berfatwa mereka merujuk pada Al-Qur’an,
sunnah Rasulullah, fatwa sahabat, ijma’,qiyas dan maslahah mursalah. Pada masa ini kata Abd
al-Wahab Abu sulaiman, terjadi perbedaan pendapat yang tajam tentang apakah fatwa sahabat
dapat dijadikan hujjah (dalil hukum), dan perbedaan pendapat tentnag ujma’ ahl al-Madinah
(kesepakatan penduduk Madinah) apakah dapat di pegang sebgai ijma’.
3) Masa imam-imam Mujathid sebelum Imam Syafi’i
Metode ijtihad menjadi lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in, yaitu periode para
imam mujtahid sebelum imam Muhammad bin Idris al-syafi’i, pendiri mazzhab syafi’i. Dari
ungkapan-ungkapan merekadapat diketahui metedoe istinbat mereka. Imam abu Hnifah an-
Nu’man pendiri mazhab Hnafi umpanya, seperti dikemukakan Muhammad Abu Zahrah,
menjelaskan dasar-dasar istinbatnya yaitu berpegang kepada kitabullah, jika tidak di temukan
di dalamnnya ia berpegang kepada sunnah Rasulullah, jika tidak di dapati di dalamnya ia
berpegang kepada pendapat yang disepakati para sahabat.jika mereka berbeda pendapat, ia
akan memilih salah satu dari pendapat-pendapat itu dan ia tidak akan mengeluarkan fatwa
yangmenyalahi pendapat sahabat. Dia tidak berpegang kepada tabi’in karena ia juga sejajar
dengan tabi’in. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah banyak melakukan qiyas dan istihan.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa sampai masa Imam Malik Ushul Fiqh belum
dilakukan secara lebih lengkap dan sistematis.
Abu Hanifah sendiridan begitu pula Imam Malik tidak meninggalkan buku Ushul Fiqh.
Metode istinbat Imam Abu Hanifah kemudian disimpulkan oleh pengikutnya dari fatwa-
fatwanya dan metode istinbat Imam Malik disimpulkan dari karya-karya fikihnya.
4) pembukuan Ushul Fiqh
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga Imam Muhammad bin Idris al-
Syafi’i (150-204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi dan membbukukan Usul
Fiqh ini, seperti disimpulan Abd al-Wahhab Abu Sulaiman, sejalan perkembangan ilmu
pengetahuan keislaman di masa itu. Perkembangan pesat ilmu-ilmu keislaman di mulai dai
masa Harun Al-Rasyid (145 H- 193 H), khalifah kelima Dinasti Abbasyiah yang memerintah
selama 23 tahun (170H – 193 H) dan dilanjutkan dalam perkembangan yang lebih pesat lagi
pada masa putranya bernama Al-Ma’mun (170H-218H) khalifah ketujuh yang memerintah
selama 20 tahun (198H-218H).
Pada masa ini di kenal dengan masa keemasan Islam. Dengan didirikannya baitul
hikmahyaitu sebuah perpustakaan terbesar dimasanya, kota Baghdad menjadi menara ilmu
yang didatangi dari berbagai perpustakaan juga berfungsi sebagai balai penerjemah buku-buku
yang berasal dari Yunani ke dalam bahasa Arab. Perkembangan pesat ilmu-ilmu keislaman ini,
secara disiplin ilmu menghendaki adanya pemisahan antara satu bidang ilmu dengan bidang
yang lain.
Dalam suasana pesatnya perkembangan ilmu-ilmu ke islaman tersebut, Ushul Fiqh
muncul menjadi satu disiplin ilmu. Ushul Fiqh dirumuskannya disamping untuk mewujudkan
metode istinbat yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum islam juga dengan itu ia
membangun mazhab fikihnya serta ia ukur kebenaran hasil ijtihad di masa sebelumnyam. Maka
oleh imam syafi’i disusunlah sebuah buku yang diberi judul Al-Kitab dan di kenal dengan
sebutan Risalah.
5) Ushul Fiqh Pasca Syafi’i
Setelah Al-risalah pada masa imam syafi’i, banyak bermunculan karya-karya ilmiah
dalam bidang ini. Antara lain, buku khabar al-wahid karya ‘Isa ibnu Aban Ibn shadaqah dari
kalangan Hanafiyah, buku Al-Nasikh wa al-mansukh oleh ahmad bin Hnbak pendiri mazhab
Hanbali, dan buku Ibtal al-Qiyas oleh daud Al-Zahiri.
Selanjutnya pertengahan abad ke-4 menurut Abd al-Wahab Khalaf, ahli ushul Fiqh
berkebangsaan Mesir dalam bukunya Khulasat Tarikh al-Tasyri al-islami, di tandai dengan
kemunduran dalam kegiatan ijtihad di bidang fikih, dalam pengertian tidak lagi ada orang yang
mengkhususkan diri untuk memebentuk mazhab baru, namun seperti dicatat Abd al-wahhab
Abu Sulaiman, pada saat yang sama kegiatan ijtihad di bidang Ushul Fiqh berkembang pesat
karena ternyata Ushul Fiqh tidak kehilangan fungsinya. Ushul Fiqh berperan sebagai alat
pengukur kebenaran pendapat-pendapat yang telah terbentuk sebelumnya, dan dijadikan alat
untuk berdebat dalam diskusi-diskusi ilmiah. Pertemuan-pertemuan ilmiah sering diadakan
dalam rangka mengkaji hasil-hasil ijtihad dari mazhab yang mereka anut. Hal itu menghendaki
kedalamana pengetahuan tentang Ushul Fiqh.
Menurut Abd al-Wahab Abu Sulaiman, dengan lebih pesatnya kajian-kajian ilmiah di
kalangan para pengikut mazhab, perkembangan Ushul Fiqh menjadi lebih pesat dan mencapai
kematangannya di abad ke-5 dan ke-6 hijriyah.
6) Aliran-Aliran Ushul Fiqh
Seperti di kemukakan di atas, dengan maraknya kajian-kajian ilmiah di bidang fikih di
kalangan ulama, Ushul Fiqh menjadi lebih berkembang. Sejalan dengan itu, bibit-bibit
perbedaan kecenderungan dalam merumuskan kaidah dalam memahami Al-Qur’an dan
Sunnah yang memang sudah ada jauh dari masa sebelumnya, pada masa ini lebih jelas tampak
ke permukaan, kubu ulama Hijaz dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah, yang kemudian juga
di anut oleh kalangan Hanabilah, sering berada pada satu pihak, berlainan bahkan kadang-
kadang berhadap-hadapan dengan kubu ulama Irak dari Kalangan Hnafiyah. Adanya perbedaan
di antara dua kubu tersebut, bukan saja dari segi prinsip dan bentuk kaidah yang digunakan,
tetapi juga dalam sistematika penulisan dan pengungkapan Ushul Fiqh. Pada masa ini dua
aliran dalam penulisan Ushul Fiqh semakin jelas perbedaannya, yang dikenal dengan aliran
jumhur(mayoritas) ulama Ushul Fiqh, dan aliran Hanafiyah. Aliran Juhmur terdiri dari
kalangan Malikiyah syafi’iyah dan kalangan Hanabilah. Aliran ini juga di kenal sebagai aliran
mutakallimin karena tokoh-tokoh ulama ahli ilmu kalam. Oleh karena itu para tokoh aliran ini
mayoritasnya ulama-ulama dari kalanan Syafi’iyah. Sedangkan aliran Hanafiyah dikenal
sebagai aliran fuqaha.
Adanya beberapa aliran dalam penulisan Ushul Fiqh, tidak dapat di artikan bahwa aliran
jumhur yang berada pada salah satu pihak, merupakan aliran yang kompak menyepakati segala
segi Ushul Fiqhnya. Sebab, pada kenyataannya di antara kalangan Jumhur secara esensial
terdapat berbagai perbedaan yang mendasar, yang mengakibatkan adanya pula perbedaan
pendapat di antara mereka dalam bidang fiqh. Oleh karena itu ketika para ulama Ushul Fiqh
menguraikan dua aliran tersebut dalam konteks ini, lebih berat tekanannya pada adanya
perbedaan dalam metode penulisan dan pengungkapa Ushul Fiqh. Meskipun demikian, antara
dua kubu ulama tersebut, yaitu kalangan jumhur dan Hanafiyah, secara garis besarnya, bisa
menggambarkan adanya dua kubu ulama fiqh dalam perkembangan fiqh dalam sejarah. Sebab
kubu kalangan jumhur sering berada satu pihak, sedangkan Hanafiyah berada di pihak lain.
Artinya aliran malikiyah, syafi’iyah, dan hanbaliah mempunyai banyak kesamaan apabila
dibandingkan dengan kalangan Hanafiyah.
Dua aliran ini meskipun telah muncul pada periode sebelumnya, tetapi pada periode ini
menjadi lebih jelas perbedaannya. Oleh karena itu, buku-buku Ushul Fiqh yang di susun pada
periode ini di anggap sebagai buku-buku standar bagi perkembangan Ushul Fiqh masing-
masing aliran itu pada masa berikutnya.
a. Aliran Jumhur ulama Ushul Fiqh
Airan ini juga dikenal dengan aliran syafi’iyah atau aliran mutakallimin. Aliran ini di
kenal denganaliran Jumhur ulama karena merupakan aliran yang di anut oleh mayoritas ulama
dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah terutama dalam penuisan Ushul Fiqh.
Disebut aliran Syafi’iyah karena orang paling pertama mewujudkan cara penulisan Ushul
seperti ini adalah imam syafi’i. Dan dikenal sebagai aliran Mutakallimin karena para pakar di
bidang ini setelah imam syafi’i adalah dari kalangan Mutakallimin.
Cara penulisan Ushul Fiqh airan ini telah dirintis oleh imam Syafi’i, kemudian
dikembangkan oleh para murid danpara pengikutnya sehingga disebut sebagai aliran
syafi’iyah. Dalam perkembangan metode penyusunan Ushul Fiqh aliran ini diikuti oleh
kalangan Malikiyah dan Hanabilah. Oleh karena itu, metode ini juga dikenal dengan metode
Jumhur Ulama Ushul Fiqh.
Beberapa ciri dari aliran ini adalah bahwa pembahasan Ushul Fiqh disajikan secara
rasional, filosofis, teoretis, tanpa disertai contih, dan murni tanpa mengacu kepada mazhab
fikih tertentu yang sudah ada. Kaidah-kaidah Ushul Fiqh mereka rumuskan tanpa peduli apakah
mendukung mazhab fikih yang mereka anut atau justru berbeda.
b. Aliran Fuqaha atau aliran Hanafiyah
Aliran fuqaha, adalah aliran yang dikembangkan oleh kalngan ulama Hanafiyah.
Disebut aliran Fuqaha karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh
fikih. Dalam merumuskan kaidah Ushul Fiqh merepa berpedoman kepada pendapat-pendapat
fikih Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-
contoh.
c. Aliran yang menggabungkan antara dua aliran di atas
Dalam perkembangan selanjutnya, seperti disebutkan oleh Muhammad Abu Zahrah,
muncul aliran ketiga yang dalam penulisan Ushul Fiqh menggabungkan antara dua aliran
tersebut. Misalnya buku Badi’ al-Nizam karya Ahmad bin ‘Ali al-Sa’ati.

2. Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih


Para ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqih kepada beberapa periode yaitu :
1) Periode pertumbuhan
Periode ini berlangsung selama 20 tahun beberapa bulan yang dibagi kepada 2 masa :
Pertama, ketika nabi masih ada di mekkah melakukan dakwah perorangan secara
sembunyi-sembunyi dengan memberi penekanan kepada aspek tauhid. Kemudian diikuti
dengan dakwah terbuka. Masa itu berlangsung kurang lebih 13 tahun dan sedikit ayat ayat
hukum yang di turunkan.
Kedua, sejak nabi hijrah ke Madinah (16 juli 622m). pada masa ini terbentuklah Negara
islam yang dengan sendirinya memerlukan seperangkat aturan hukum untuk mengatur system
masyarakat islam madinah. Sejak masa ini berangsur angsur ayat yang berisi hukum turun, baik
karena suatu peristiwa kemasyarakatan ataupun adanya pertanyaan pertanyaan yang diajukan
oleh masyarakat, atau wahyu yang di turunkan tanpa sebab. Pada masa ini fiqih lebih bersifat
praktis dan realis, artinya kaum muslimin mencari hukum dari peristiwa yang betul betul
terjadi.
Sumber hukum pada periode ini adalah Al Quran dan Hadist.
2) Periode sahabat
Periode ini bermula dari tahun 11 H (sejak nabi wafat) sampai abad pertama hijriyah (
kurang lebih 101 H )
Pada periode ini kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syariat yang sempurna
berupa Al Quran dan Hadist rasul. Tetapi tidak semua orang memahami materi atau kaidah
hukum yang terdapat pada kedua sumber tersebut.
Karena :
1. Karena tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama maupun karena masa atau
pergaulan mereka yang tidak begitu dekat dengan nabi.
2. Karena belum tersebar luasnya materi atau teori teori hukum di kalangan kaum muslimin
akibat perluasan daerah.
3. Banyaknya peristiwa baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw yang
ketentuan hukum nya tidak di temukan dalam nash syariat.
Oleh sebab inilah sumber hukum pada masa sahabat ini bertambah dengan ijtihad
sahabat untuk menentukan hukum suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam
Al Quran dan Hadist.
Dalam melakukan ijtihad terdapat perbedaan perbedaan pendapat di kalangan sahabat
karena :
1. Kebanyakan ayat Al Quran dan Hadist bersifat zhanny dari sudut pengertiannya.
2. Belum termodofikasinya hadis nabi yang dapat dipedomani secara utuh dan menyeluruh.
3. Lingkungan dan kondisi daerah yang dialami, persoalan yang di alami dan di hadapi sahabat
itu berbeda beda.

3. Periode Kesempurnaan
Perode ini d sebut juga sebagai periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. Pada
masa ini fiqih islam mengalami kemajuan yang pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum
islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadist-hadist nabi, fatwa para sahabat
dan tabi’in, tafsir Al Quran, kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul
fiqih
Di antara faktor yang menyebabkan pesatnya gerakan ijtihad pada masa ini adalah
karena meluasnya daerah kekuasaaan islam, mulai dari perbatasan Tiongkok di sebelah timur
sampai ke Andalusia(spanyol) sebelah barat.
Kondisi ini yang menyebabkan lahirnya pemikir-pemikir besar dengan berbagai karya
besarnya, seperti Imam Abu Hanifiah dengan salah seorang muridnya yang terkenal Abu
Yusuf(Penyusun kitab ilmu ushul fiqh yang pertama), Imam Malik dengan kitab al-Muwatha’,
Imam Syafi’i dengan kitabnya al-Umm atau al-Risalat, Imam Ahmad dengan kitabnya Musnad,
dan beberapa nama lainnya beserta karya tulis dan murid-muridnya masing-masing.
Diantara faktor lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh
khususnya atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut:
1. Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh khususnya.
2. Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah diantara
para ulama.
3. Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an (pada masa
khalifah rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz), Tafsir dan
Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang dirintis Ibnu Abbas (wafat 68H) dan
muridnya Mujahid(wafat 104H) dan kitab-kitab lainnya.
4) Periode Kemunduran
Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah akibat berbagai konflik politik dan
berbagai faktor sosiologis lainnya dalam keadaan lemah. Banyak daerah melepaskan diri dari
kekuasaanya. Pada umumnya ulama pada masa itu sudah lemah kemauannya untuk mencapai
tingkat mujtahid mutlak sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada periode
kejayaan. Periode Negara yang berada dalam konflik, tegang dan lain sebagainya itu ternyata
sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengakji ajaran Islam langsung dari
sumber aslinya Al-Qur’an dan hadist. Mereka puas hanya dengan mengikuti pendapat-
pendapat yang telah ada, dan meningkatkan diri kepada pendapat tersebut ke dalam mazhab-
mahzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah kemudian mengantarakan umat islam terperangkap
kedalam pkikiran yang jumud dan statis.
Semenjak pertengahan abad VI sampai akhir periode ini, umat islam benar-benar berada
dalam suasana taklid,statis,dan jumud. Meraka meninggalkan ijtihad dalam segala tingkatnya.
Sehingga perkembangan ilmu fiqih terhenti, statis dan semakin lama semakin tertinggal jauh
dari arus perkrmbanga jaman. Masa inilah disebut sebagai masa kemunduran, di mana duania
islam bagaikan tenggelam ditelan kemajuan dunia lainnya(terutama barat) yang semakin hari
semakin cemerlang dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Beberapa faktor yang mendorong lahirnya sikap taklid dan kemuduran adalah :
a. Efek samping dari pembukuan fiqih pada masa sebelumnya
Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang di tulis oleh ulama-ulama sebelumya, baik itu
persoalan yang benar-benar telah terjadi atau yang diprediksikan akan terjadi memudahkan
umat islam pada masa ini untuk merujuk semua persoalan hukumnya kepada kitab-kitab yang
ada itu. Ketergantungan seperti ini mematikan kreativitas, menumbuhkan sifat malas dan hanya
mencari yang mudah-mudah.
b. Fanatisme mahab yang sempit
Setiap golongan pada masa ini sibuk mencari dalil untuk menguatkan mazhabnya saja,
berupaya menangkis setiap serangan yang datang dari pihak lain dan berupaya membahas
serangan tersebut dengan kelemahan tersendiri. Akibatnya , mereka tenggelam dalam suasana
chauvinisme yang tinggi, jauh dari sikap rasionalits ilmiah dn berpaling dari sumber hukum
islam yang sebenarnya yaitu Al Quran dan Hiadist.
c. Pengangkatan hakim-hakim muqallid
Pada masa ini para penguasa mengangkat para hakim dari orang-orang yang bertaklid,
bukan para ulama mujtahid seperti yang diangkat oleh penguasa-penguasa terdahulu. Sehingga
kehidupan taklid pada masa ini semakin subur.
5) Periode Kebangkitan kembali
Pada periode ini umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka sudah
berlangsung semakin lama itu. Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali
muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789 M. Kejatuhan mesir ini
menginsafkan umat Islam betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia Barat telah timbul
peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para raja dan
pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana meningkatakan mutu dan kekuatan umat
islam kembali. Dari sinilah kemudian muncul gagasan dan gerakan pembaharuan dalam islam,
baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer, sosial, dan gerakan intelektual lainnya.
Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqih.
Banyak di antara pembaharuan itu juga adalah ulama-ulama yang berperan dalam
perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat islam meninggalkan taklid dan
kembali kepada Al-Qur’an dan hadist-mengikuti jejak para ulamadi masa sahabat dan tabi’in
terdahulu. Mereka inilah disebut golongan salaf seperti Muhammad Abdul Wahab di Saudi
Arabia, Muhammad Al-Sanusi di Libya dan Maroko, Jamal Al-Din Al-Afghani, Muhammad
Abduh, Muhammad asyid Rida, dimesir, dan lain sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai