Anda di halaman 1dari 10

Hukum Taklifi

Pengertian Hukum Taklifi


Secara garis besar para ulama ushul fiqh membagi hukum syara pada dua macam, yaitu
Hukum Taklifi dan Hukum Wadhi. Hukum Taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah,
ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf,
baik perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau
dalam bentuk member kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat .
Hukum Taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan . Hal senada juga
diungkapkan oleh Chaerul Uman dkk, bahwa hukum Taklifi adalah khitab/ firman Allah
yang berhubungan dengan segala perbuatan para mukallaf, baik atas dasar iqtidha atau
atas dasar takhyir .
Untuk memperjelas pembahasan, kami akan menyajikan definisi hukum wadhi secara
sekilas. Hal ini perlu disampaikan karena antara hukum Taklifi dan Hukum Wadhi
mempunyai hubungan yang sangat erat. Hukum Wadhi adalah hukum ketentuan-ketentuan
yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani (sesuatu yang menjadi penghalang
kecakapan untuk melakukan hukum Taklifi) .
Jadi, jika hukum Taklifi adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah, larangan atau
pilihan antara perintah dan larangan. Sedangkan hukum Wadhi adalah hukum yang
menjelaskan hukum taklifi. Maksudnya, jika hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat
wajib dilaksanakan umat islam, hukum Wadhi menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya
matahari pada waktu sore hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan
shalat maghrib.
Lebih lanjut, bisa dijelaskan bahwa hukum Taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada
dalam batas kemampuan seorang mukallaf, sedangkan hukum wadhi sebagaian ada yang
di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia
Pembagian Hukum Taklifi Dan Macam-Macam Dari Masing-Masing Pembagiannya.
Memang di kalangan para penulis ushul fiqh terjadi perbedan penggunaan istilah dalam
menjelaskan spesifikasi hukum taklifi. Seperti rachmat Syafei menggunakan istilah
bentuk-bentuk hukum Taklifi, Chaerul Uman dkk menggunakan pembagian/ macammacam hukum taklifi. Sedangkan Satria Efendi lebih menggunakan kata Pembagian untuk
menunjuk spesifikasi hukum Taklifi . Akan tetapi apapun istilah yang digunakan oleh para
penulis tersebut yang jelas bahwa hukum Taklifi memiliki spesifikasi-spesifikasi yang
disebut dengan pembagian. Masing-masing pembagian tersebut memiliki jenis-jenis sesuai
dengan klasifikasi masing-masing.
Sehingga bisa dijelaskan bahwa pembagian hukum Taklifi ada lima, yang juga disebut
dengan maqashid As-Sariah al-Khamsah yaitu:

1. Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadits dalam bentuk perintah yang
mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang
mengharuskan untuk shalat. Atau dengan perkataan lain, Ijab adalah sesuatu yang
berahala jika dilaksanakan dan berdosa jika ditinggalkan.
2. Nadb (Sunnah), yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak
bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang
untuk meninggalkannya. Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untik waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. (Al-Baqarah: 282).
3. Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadits yang melarang secara pasti untuk tidak
melakukan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, Tahrim adalah antonim dari
wajib. Dikerjakan mendapat siksa/ berdosa sedangkan ditinggalkan mendapat
pahala.
4. Karahah, yaitu ayat atau hadits yang menganjurkan untuk meningalkan suatu
perbuatan. Atau dengan kata lain, Karahah adalah antonim dari Nadb.
5. Ibahah, yaitu ayat atau hadits yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan
atau meninggalkan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, dikerjakan tidak
mendapat apa-apa sedangkan ditinggalkan juga tidak mendapat apa-apa --disisi
Allah

Selanjutnya, dari masing-masing pembagian hukum Taklifi tersebut memiliki pembagian


lagi. Pembagian-pembagian tersebut akan kami jelaskan secara rinci sebagai berikut:
A. Ijab
Sebagaimana yang telah kami singgung di muka, bahwa masing-masing pembagian hukum
Taklifi memiliki pembagian lagi. Termasuk juga Ijab. Para ulama Ushul Fiqh
mengemukakan bahwa hokum wajib itu bias dibagi dari berbagai segi, yaitu dilihat dari
segi waktunya, wajib dibagi menjadi dua, yaitu:
Wajib Muthlaq, yaitu sesuatu yang dituntut syari untuk dilaksanakan oleh mukallaf
tanpa ditentukan waktunya. Mislanya, kewajiban membayar kafarat sebagai
hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya.
Wajib Muwaqqat, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada
waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Shalat wajib
dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Demikian halnya puasa Ramadhan,
sehingga apabila belum masuk waktunya, kewajiban itu belum ada.
Kemudian wajib Muwaqqat dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu :
Wajib Muwassa (kewajiban yang mempunyai batas waktu lapang), yaitu waktu
yang tersedia untuk melaksanakan perbuatan yang diwajibkan itu lebih luas dari
pada waktu mengerjakan kewajiban itu. Umpamanya, waktu shalat Dzuhur lebih
luas dari pada waktu mengerjakan shalat Dzuhur.
Wajib Mudhayyaq (kewajiban yang memunyai batas waktu sempit), yaitu
kewajiban yang waktunya secara khusus diperuntukkan bagi suatu amalan, dan
waktunya itu tidak bisa digunakan untuk kewajiban lain yang sejenis. Maksudnya,

waktu yang tersedia persis sama dengan waktu mengerjakan kewajiban itu, seperti
puasa bulan Ramadhan.
Wajib Dzu Asy-Syibhaini, yaitu kewajiban yang mempunyai waktu yang lapang,
tetapi tidak bisa digunakan untuk melakukan amalan sejenis secara berulang-ulang.
Misalnya, waktu haji itu cukup lapang dan seseorang bisa melaksankan beberapa
amalan haji pada waktu itu berkali-kali, tetapi yang diperhitungkan syara hanya
satu saja. Akan tetapi ulama syafiiyyah berpendapat bahwa untuk ibadah haji,
termasuk dalam wajib muthlaq, karena seseorang boleh melaksanakannya
kapanpun ia mau selama hidupnya. Juga dalam pembahasan wajib Muwaqqat,
ulama syafiiyyah mengemukakan tentang persoalan Ada, Iadah dan Qadha .

da A menurut Ibnu Hajib adalah melaksanakan suatu amalan untuk pertama kalinya pada
waktu yang diitentukan syara. Iadah adalah suautu amalan yang diekrjakan untuk kedua
kalinya untuk waktu yang telah ditentukan, karena amalan yang dikerjakan pertama kali
tidak sah atau mengandung uzur. Qadha, adalah suatu amalan yang dikerjakan dluar
waktu yang telah ditentukan dan sifatnya sebagai pengganti. Seperti puasa ramadhan tidak
bisa dikerjakan oleh wanita yang haid pada bulan ramadha itu, tetapi harus menggantinya
pada waktu lainnya.
Chaerul Uman, dkk menjelaskan pembagian wajib dari segi waktunya menjadi dua, yaitu:
wajib alal faur dan wajib alat tarakhi. Wajib Alal Faur adalah apabila telah tercapai semua
syarat, wajib segera dilaksanakan tanpa menunda. Seperti, melaksanakan zakat wajib
segera dikueluarkan apabila haul dan nisab sudah terpenuhi. Sedangkan wajib Alat
Tarakhi adalah pelaksanaan kewajiabn itu masih dapat ditunda selama syarat wajibnya
tidak akan hilang dari diri orang yang diwajibkan untuk melakukan perbuatan itu. Seperti
haji.
Wajib dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum, dibagi menjadi dua, yaitu :
Wajib Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah
baligh berakal (mukallaf), tanpa kecuali. Misalnya, shalat fardhu lima waktu.
Kaitannya dengan wajib Ain, muncul suatu pertanyaan di waktu tidak mampu
melaksanakan sendiri atau telah meninggal dunia, apakah bisa gugur kewajiban itu
dengan dilaksanakan orang lain?. Ulama ushul fiqh membagi hal itu menjadi tiga
kategori.
Pertama, yang berhubungan dengan harta, seperti kewajiban membayar zakat atau
kewajiban mengembalikan titipan orang lain kepada pemiliknya. Kewajiban seperti
ini disepakati pelaksanaanya bisa digantikan orang lain; Kedua, kewajiban dalam
bentuk ibadah Mahdhah, seperti Shalat dan Puasa. Kewajiban seperti ini, disepakati
tidak bisa digantikan oleh orang lain.; dan Ketiga, kewajiban yang mempnyai dua
dimensi, yaitu dimensi ibadah fisik dan dimensi harta. Dalam hal ini ulama
berbeda pendapat. Ada yang berpendapat tidak sah digantikan orang lain, dan yang
lainnya yaitu mayoritas ulama berpendapat Haji sah digantikan orang lain .
Wajib kifayah yaitu perbuatan yang dapat dilaksanakan secara kolektif.
Ditinjau dari segi kuantitasnya
Wajib Muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukkan batas kadarnya (jumlahnya).
Wajib qhairu muhaddad yaitu kewajiban yang tidak ditentukkan batas kadarnya.
Ditinjau dari segi kandungan perintah

Wajib muayyan yaitu suatu kewajiban yang objeknya adalah tertentu tanpa ada
pilihan lain. Seperti membayar zakat.
Wajib mukhayyar yaitu kewajiban yang objeknya dapat dipilih dari alternative yang
ada. Seperti, membayar kafarat, boleh dengan member makan sepuluh orang
miskin, atau memberi pakaian, atau memerdekakan budak.

B. Nadb (Sunnah)/ mandub, macam-macamnya yaitu:


Sunnah dapat dibagi menjadi beberapa macam:
Sunnah Muakkadah yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu dikerjakan oleh Rasul.
Seperti, shalat sunnah qobliyah dan badiyah yang mengiringi shalat fardhu lima
waktu.
Sunnah Ghairu Muakkadah yaitu segala perbuatan tidak wajib kadang-kadang
dikerjakan oleh rasul, kadang-kadang saja ditinggalkan. Seperti, puasa setiap hari
senin dan kamis.
Sunnah al-Zawaid yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasul sebagai manusia.
Seperti, cara makan, cara tidur, dan cara berpakaian rasul .
C. Tahrim (haram), menurut para ulama Ushul Fiqh antara lain Abdul Karim Zaidan,
membagi haram kepada beberapa macam, yaitu:
Haram Li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya
mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak
dapat terpisah dari zatnya. Misalnya, larangan meminum khamr.
Haram Lighairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya karena
secara esensial tidak mengandung kemudharaatan, namun dalam kondisi tertentu
sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang membawa pada
sesuatu yang dilarang secara esensial. Seperti, larangan berjual beli/ transaksi bisnis
waktu adzan shalat jumat.
D. Karahah (Makruh), macam-macamnya yaitu:
Makruh Tanzih ialah perbuatan yang terlarang bila ditinggalkan akan diberi pahala
tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa. Seperti memakan
daging kuda dan meminum susunya dikala sangat butuh diwaktu peperangan.
Makruh Tahrim ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar hukukmnya tidak
pasti. Seperti, larangan mengkhitbah wanita yang sedang dalam khitbahan orang
lain .
E. Ibahah (kebolehan)/ Mubah. Pembagian mubah menurut Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam
kitabnya al-Muwafaqat membagi Mubah kepada tiga macam, yaitu:
Mubah yang berfungsi mengantarkan seseorang pada sesuatu hal yang wajib
dilakukan. Misalnya, makan dan minum merupakan suatu hal yang mubah, namun
berfungsi mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajibankewajiban yang telah dibebankan kepadanya. Seperti, shalat. Demikian Abu Ishaq
Asy-Syatibi dalam menjelaskan, hanya dianggap mubah dalam hal memilih
makanan halal mana yang akan dimakan. Akan tetapi seseorang tidak diberi
kebebasan untuk memilih antara makan atau tidak, karena meninggalkan makan
samasekali dalam hal ini akan membahayakan dirinya.

Sesuatu baru dianggap Mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-kali, tetapi


haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Seperti, bermain atau mendengarkan
nyanyian hukumnya adalah mubah bila dilakukan sekali-kali, tetapi haram
hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain atau mendengarkan
nyanyian.
Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang
mubah pula. Mislanya, membeli perabot rumah tangga hanya untuk kepentingan
kesenangan (tersier) .

Pada dasarnya, pembagian mubah didasarkan atas pertimbangan sejauhmana


keterkaitannya dengan kemudharatan atau kemanfaatannya. Sehingga dua pertimbangan
tersebut menyebabkan implikasi hukum mubah pada hukum lain.
Demikian macam-macam hukum Taklifi serta pembagiannya menurut mayoritas Fuqahah.
Namun demikian, sebagai bandingan saja, kami sampaikan bentuk-bentuk hukum taklifi
menurut ulama Hanafiyah sebagai berikut:
1. Iftiradh.
2. Ijab.
3. Ibahah.
4. Karahah Tanziyyah.
5. Karahah Tahrimiyyah.
6. Tahrim.
Kedudukan Dan Fungi Hukum Taklifi
a. Kedudukan Hukum Taklifi
Kedudukan hukum taklifi (dalam hukum Islam) merupakan ketetapan-ketetapan dari Allah
itu sendiri.
b. Fungsi Hukum Taklifi
Fungsi hukum taklifi adalah sebagai rambu-rambu bagi umat Islam mengenai berbagai
perbuatan yang boleh dan dilarang, perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan tetapi jika
dilakukan tidak berdosa, dan lain-lain.

Keadaan Masyarakat Arab Sebelum datangnya masyarakat Islam


A.

Masyarakat Arab Sebelum Islam Datang


Bangsa Arab pada umumnya berwatak berani, keras, dan bebas. Mereka telah

lama mengenal agama. Nenek moyang mereka pada mulanya memeluk agama Nabi
Ibrahim. Akan tetapi, akhirnya ajaran itu pudar. Untuk menampilkan keberadaan Tuhan
mereka membuat patung berhala dari batu, yang menurut perasaan mereka patung itu dapat
dijadikan sarana untuk berhubungan dengan Tuhan. Kebudayaan mereka yang paling
menonjol adalahbidang sastra bahasa Arab, khususnya syair Arab. Perekonomian
penduduk negeri Mekah umumnya baik karena mereka menguasai jalur darat di seluruh
Jazirah Arab.
B.

Keberagaman Masyarakat Arab sebelum Islam Datang


Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut berbagai macam agama, adat

istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup. Ketika agama Islam datang, agama baru ini
pun membawa pembaruan di bidang akhlak, hukum, dan peraturan-peraturan tentang
hidup. Dengan demikian, bertemulah agama Islam dengan agama-agama jahiliah atau
peraturan-peraturan Islam dengan peraturan-peraturan bangsa Arab sebelum Islam.
Kemudian, kedua paham dan kepercayaan itu saling berbenturan dan bertarung dalam
waktu yang lama.
Faktor alam merupakan satu hal yang dapat mempengaruhi kehidupan beragama
pada suatu bangsa. Hal itu dapat dibuktikan oleh penyelidik-penyelidik ilmiah yang
menunjukkan bahwa Jazirah Arab dahulunya subur dan rnakmur. Karena faktor alam itu
pula boleh jadi rasa keagamaan telah timbul pada bangsa Arab semenjak lama. Semangat
keagamaan yang amat kuat pada bangsa Arab itulah yang menjadi dorongan mereka untuk
melawan dan memerangi agama Islam di saat Islam datang. Mereka memerangi agama
Islam karena mereka amat kuat berpegang dengan agama mereka yang lama yaitu
kepercayaan yang telah mendarah daging pada jiwa mereka. Andaikata mereka acuh tak
acuh dengan agama, tentu mereka membiarkan agama Islam berkembang, tetapi
kenyataannya tidak demikian. Agama Islam mereka perangi mati-matian sampai mereka
kalah.
Sampai saat ini pun bangsa Arab, baik dia seorang ulama atau tidak, terhadap
agamanya mereka sangat bersemangat. Agama itu disiarkan serta dibela dengan sekuat
tenaganya. Semangat beragama mereka umumnya bersifat kulitnya saja. Adapun ibadah
dan praktik-praktik keagamaan jeering ditinggalkan oleh Arab Badui. Watak mereka yang
amat mencintai hidup bebas dari keterikatan menjadi sebab mereka Kingin bebas dari
aturan agama. Mereka sudah lama merasa bosan dan kesal terhadap agamanya karena

dianggap sebagai pengikat kemerdekaannya sehingga selalu menyelewengkan agama


mereka sendiri. Ada di antara mereka yang menyembah pohon-pohon kayu. Ada yang
menyembah bintang-bintang, batu-batuan, binatang-binatang, bahkan menyembah rajaraja. Cara ini mereka lakukan karena mereka merasa sukar mempercayai Tuhan yang
abstrak, sehingga akhirnya mereka menjadikan sesuatu benda yang dianggapnya sebagai
Tuhan bayangan.
Mengenai kepercayaan keaga-maan, bangsa Arab merupakan salah satu dari
bangsa-bangsa yang telah mendapat petunjuk. Mereka dahulu telah mengikuti agama Nabi
Ibrahim. Karena terputus dengan nabi sebagai juru penerang, meraka lantas kembali lagi
menyembah berhala. Berhala-berhala mereka terbuat dari batu dan ditegakkan di Kakbah.
Dengan demikian agama Nabi Ibrahim bercampur aduk dengan kepercayaan keberhalaan.
Kemudian keyakinan terhadap Nabi Ibrahim itu telah benar-benar kalah dengan
kepercayaan keberhalaan.
Ibnu Kalbi menyatakan bahwa yang menye-babkan bangsa Arab menyembah batu
atau berhala adalah karena siapa saja yang meninggalkan kota Mekah selalu membawa
sebuah batu. Diambilnya dari batu-batu yang ada di tanah haram Kakbah. Jika telah
berbuat demikian, mereka telah merasa dirinya terhormat dan cinta terhadap kota Mekah.
Selanjutnya, di mana-mana mereka berhenti atau menetap, diletakkannya batu itu, dan
mereka tawaf (mengelilingi) batu itu, seolah-olah mereka telah mengelilingi Kakbah.
Sesungguhnya mereka masih tetap memuliakan Kakbah dan kota Mekah, serta masih
mengerjakan haji dan umrah, tetapi mereka tetap saja menyembah apa yang mereka sukai.
Berhala-berhala yang ada di negeri mereka dahulunya adalah batu yang dibawa dari
Kakbah ; (Mekah), yang kemudian mereka muliakan. Mereka juga mendirikan rumahrumah untuk smenempatkan batu berhalanya, sementara itu Kakbah masih tetap
mempunyai kedudukan lyang tinggi dan mulia. Di antara berhala-berhala itu ada yang
mereka pindahkan ke Kakbah, fyang akhirnya Kakbah dipenuhi dengan berhala-berhala.
Mereka tidak lupa akan kedudukan I Kakbah yang mulia sehingga mereka tidak mau
meletakkan batu-batu berhala itu di tempat yang lain, kecuali dekat dengan Kakbah.
Mereka juga tidak mau naik haji, kecuali hanya ke Mekah.
Nama-nama berhala yang mereka sembah antara lain Hubal yakni berhala yang
terbuat dari batu akik berwarna merah dan berbentuk manusia. Hubal, dewa mereka yang
terbesar I diletakkan di Kakbah, kemudian Al Lata, berhala yang paling tua, berhala Al
Uzza, serta Manah. Mereka mengakui berhala tersebut sebagai Tuhan mereka dan
memujanya karena dianggapnya hebat. Mereka menyembah berhala-berhala itu sebagai
perantara kepada Tuhan. Jadi pad hakikatnya, bukanlah berhala-berhala itu yang mereka
sembah, tetapi sesuatu yang hebat di balik berhala-berhala itu. Untuk mendekatkan diri
kepada dewa atau Tuhan-Tuhan itu, merek rela berkorban dengan menyajikan binatang

ternak. Bahkan pernah pada suatu ketika mereka mempersembahkan manusia sebagai
korban kepada dewa-dewa dan Tuhan mereka. Kepadal berhala-berhala itu, mereka
mengadukan nasibnya, persoalan, atau problem hidupnya serta] meminta pendapat atau
memohon restunya jika akan mengerjakan sesuatu yang penting.
C.

Kebudayaan Masyarakat Mekah sebelum Islam Datang


Negeri Yaman adalah tempat tumbuh kebudayaan yang amat penting yang pernah

berkembang di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Bangsa Arab termasuk bangsa yang
memilikij rasa seni yang tinggi. Salah satu buktinya ialah bahwa seni bahasa Arab (syair)
merupakan suatul seni yang paling indah yang amat dihargai dan dimuliakan oleh bangsa
tersebut. Mereka amat gemar berkumpul mengelilingi penyair-penyair untuk
mendengarkan syair-syairnya. Ada bebe-rapa pasar tempat penyair-penyair berkumpul
yaitu pasar Ukaz, Majinnah, dan Zul Majaz. Di; pasar-pasar itulah penyair-penyair
memperdengarkan syairnya yang sudah disiapkan untuk itu.
Seorang penyair mempunyai kedudukan yang amat tinggi dalam masyarakat Arab.
Bila pada suatu suku/kabilah muncul seorang penyair, maka berdatanganlah utusan dari
kabilahJ kabilah lain untuk mengucapkan selamat kepada kabilah itu. Untuk itu, kabilah
tersebul mengadakan perhelatan-perhelatan dan jamuan besar-besaran dengan
menyembelih binatar ternak. Untuk upacara ini, wanita-wanita cantik dari kabilah tersebut
keluar untuk menari, menyanyi, dan bermain menghibur para tamu. Upacara yang
diadakan adalah untuk menghormati sang penyair. Dengan demikian penyair dianggap
mampu menegakkan martabat suku atau kabilahnya. Salah satu dari pengaruh syair pada
bangsa Arab ialah bahwa syair itu dapat meninggikan derajat orang yang tadinya hina, atau
sebaliknya, dapat menghinakan orang yang tadinya mulia. Bilamana penyair memuji orang
yang tadinya hina, maka dengan mendadak orang hina itu menjadi mulia, demikian pula
sebaliknya. Jika penyair mencelal seseorang yang tadinya mulia, orang tersebut mendadak
menjadi orang yang hina. Sebagai contoh, ada seorang yang bernama Abdul Uzza ibnu
Amir. Dia adalah seorang yang mulanya hidupnya melarat. Putri-putrinya banyak, akan
tetapi tidak ada pemuda-pemuda yang mau memperistrikan mereka. Kemudian dipuji-puji
oleh Al Asya seorang penyair ulung. Syair yangl berisi pujian itu tersiar ke mana-mana.
Dengari demikian, menjadi masyhurlah Abdul Uzza itu, dan akhirnya kehidupannya
menjadi baik, dan berebutlah pemuda-pemuda meminang putri-putrinya.
Mereka mengadakan perlombaan bersyair dan syair-syair yang terbagus biasanya
mereka gantungkan di dinding Kakbah tidak jauh dari patung-patung pujaan mereka agar
dinikmati banyak orang, Jika syairnya itu telah digantungkan di dinding Kakbah, sudah
pasti suku/kabilah tersebut naik pula martabat dan kemuliaannya. Dengan demikian, potret

seluruh kebudayaan bangsa Arab telah tertuang dan tergambar di dalam karya syair-syair
mereka.
D.

Kondisi bangsa Arab sebelum Islam dalam Aspek: Sosial Budaya, Agama, dan

Ekonomi
a)

Aspek Sosial-Budaya bangsa Arab Pra- Islam


Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah

Yaman yang terkenal subur. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani
hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal
menetap di suatu tempat. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu.
Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun [Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran
luas yang meliputi negeri-negeri Arab] dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah.
Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan
atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi,
kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.
Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Ciriciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila
sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar
kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan
yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu.
Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Kabah
lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting
kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat
tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka
tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara
kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat
untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak
mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas.
b)

Agama bangsa Arab Pra-Islam


Paganisme, Yahudi, dan Kristen adalah agama orang Arab pra-Islam. Pagan adalah

agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar
Kabah. Agama pagan sudah ada sejak masa sebelum Ibrahim. Setidaknya ada empat
sebutan bagi berhala-hala itu: anam, wathan, nuub, dan ubal. Orang-orang dari semua
penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara

ibadahnya sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan


tahun.
Yahudi dan Kristen dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman.
Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah
Arab, kecuali di Yaman..
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas
adalah anfyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang
tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhalam, juga tidak menganut
agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan
bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah anfyah.
c)

Ekonomi bangsa Arab Pra-Islam


Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah

Yaman yang terkenal subur dan bahwa ia terletak di daerah strategis sebagai lalu lintas
perdagangan. Ia terletak di tengah-tengah dunia dan jalur-jalur perdagangan dunia,
terutama jalur-jalur yang menghubungkan Timur Jauh dan India dengan Timur Tengah
melalui jalur darat yaitu dengan jalur melalui Asia Tengah ke Iran, Irak lalu ke laut tengah,
sedangkan melalui jalur laut yaitu dengan jalur Melayu dan sekitar India ke teluk Arab atau
sekitar Jazirah ke laut merah atau Yaman yang berakhir di Syam atau Mesir. Oleh karena
itu, perdagangan merupakan andalan bagi kehidupan perekonomian bagi mayoritas negaranegara di daerah-daerah ini.
Perekonomian orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada perdagangan
daripada peternakan apalagi pertanian. Mereka dikenal sebagai pengembara dan pedagang
tangguh. Mereka juga sudah mengetahui jalan-jalan yang bisa dilalui untuk bepergian jauh
ke negeri-negeri tetangga.

Anda mungkin juga menyukai