Anda di halaman 1dari 154

MAKANAN DAN HUKUM-HAKAM PERBURUAN DAN SEMBELIHAN

OLEH DR. SOLEH BIN FAUZAN BIN ABDULLAH AL-FAUZAN


PROFESOR DI UNIVERSITI ISLAM IMAM MUHAMMAD BIN SU’UD

MUKADIMAH
1.
2.
3.
4.

BAB PERTAMA :

PERBAHASAN PERTAMA :
- Keterangan tentang apa yang dimaksudkan dengan makanan
- Perbezaan antara metod jahiliyyah dan metod Islam dalam menentukan halal
dan haram sesuatu makanan
- Perbandingan secara umum di antara mazhab-mazhab Islam dalam menentukan
halal dan haram sesuatu makanan

PERBAHASAN KEDUA :
- Keterangan tentang pembahagian makanan kepada tumbuhan dan haiwan
- Pembahgian haiwan kepada haiwan darat dan haiwan laut, serta apa maksud
setiap satunya.

BAB KEDUA :

PERBAHASAN PERTAMA : keterangan tentang haiwan-haiwan darat yang diperselisihkan


pengharamannya, serta pendalilan dan pentarjihan.

PERSOALAN PERTAMA : Hukum memakan daging kuda.


PERSOALAN KEDUA : Hukum daging keldai jinak.
PERSOALAN KETIGA : Hukum binatang buas yang bergigi taring.
PERSOALAN KEEMPAT : Hukum burung yang mempunyai kuku tajam.
PERSOALAN KELIMA : Hukum binatang yang memakan bangkai dan Al-Jallalah.
PERSOALAN KEENAM : Hukum binatang yang makan benda yang menjijikkan.
PERSOALAN KETUJUH : Hukum memakan binatang yang diperintah untuk
membunuhnya, atau yang dilarang daripada membunuhnya.
PERSOALAN KELAPAN : Hukum memakan binatang yang lahir dari percampuran
antara binatang yang halal dimakan dengan binatang yang haram dimakan.

PERBAHASAN KEDUA : Tentang haiwan atau hidupan laut.

PERSOALAN PERTAMA : keterangan tentang haiwan-haiwan laut yang diperselisihkan


status halalnya, serta pendalilan dan pentarjihan.
PERSOALAN KEDUA : Hukum bangkai binatang-binatang laut, serta pendalilan dan
pentarjihan.
2

PERSOALAN KETIGA : Hukum binatang yang hidup di darat dan di laut.

BAB KETIGA :

PENDAHULUAN :

PERBAHASAN PERTAMA : Penyembelihan

PERSOALAN PERTAMA : Definisi penyembelihan dan penjelasan hikmah-hikmahnya.


PERSOALAN KEDUA : Syarat-syarat penyembelihan yang disepakati dan
diperselisihkan, serta pendalilan dan pentarjihan.
PERSOALAN KETIGA : Adab-adab umum dalam penyembelihan.
PERSOALAN KEEMPAT : Implikasi penyembelihan terhadap janin.
PERSOALAN KELIMA : Perbezaan pendapat tentang cara menyembelih binatang jinak
yang tidak dapat dikawal, serta pendalilan dan pentarjihan.
PERSOALAN KEENAM : Hukum sembelihan orang majusi, serta pendalilan.
PERSOALAN KETUJUH : Hukum sembelihan penyembah berhala, puak ad-dahri dan
orang yang murtad, serta pendalilan dan penjelasan hikmahnya.
PERSOALAN KELAPAN : Hukum daging yang diimport dari Negara orang bukan Islam
(Kafir), yang menganuti berbagai agama.

PERBAHASAN KEDUA : Perburuan

PERSOALAN PERTAMA : Definisi perburuan dan hukum berburu.


PERSOALAN KEDUA : Keterangan tentan syarat-syarat yang disepakati dan yang
diperselisihkan bagi menghalalkan binatang buruan yang mati akibat perburuan, serta
pendalilan dan pentarjihan.

BAB KEEMPAT :

PERBAHASAN PERTAMA : Bangkai.

PERSOALAN PERTAMA : Definisi bangkai dan penjelasan hikmah pengharamannya


serta sanggahan terhadap orang bukan Islam yang mengharuskannya.
PERSOALAN KEDUA : Bangkai yang dikecualikan dari pengharaman dan dibolehkan
memakannya, serta pendalilan.
PERSOALAN KETIGA : Hukum binatang yang disembelih setelah berlaku perkara yang
boleh menyebabkannya mati seperti tercekik dan dipukul . . . , serta pendalilan dan
pentarjihan.
PERSOALAN KEEMPAT : Hukum memakan binatang-binatang yang disembelih kerana
selain dari Allah.

PERBAHASAN KEDUA : Khinzir (Babi)

PERSOALAN PERTAMA : Definisi Khinzir (Babi)


PERSOALAN KEDUA : Hukum memakannya dan hikmahnya.
3

PERBAHASAN KETIGA : Darah

PERSOALAN PERTAMA : Hukum mengambil khasiat (makan) dengan darah dan


hikmahnya.
PERSOALAN KEDUA : Penjelasan apa yang dibolehkan tentang darah.

PERBAHASAN KEEMPAT : Hukum memakan makanan yang diharamkan ketika keadaan


terdesak.

PERSOALAN PERTAMA : Penjelasan bahawa Syariat Islam sesuai dengan semua


keadaan manusia, dimana syariat menetapkan hukum yang munasabah untuk setiap
keadaan.
PERSOALAN KEDUA : Batasan keadaan terdesak yang membolehkan makan benda
yang haram.
PERSOALAN KETIGA : Hukum memakan makanan yang diharamkan ketika darurat.
PERSOALAN KEEMPAT : Jumlah (Kadar) makanan yang diharakan yang boleh
dimakan oleh orang dalam keadaan terdesak.
PERSOALAN KELIMA :

PENUTUP :

&&&&&&&&&&&

MUKADIMAH

1. Allah swt menciptakan manusia dalam keadaan lemah, sebagaimana firmanNya :


    …
28. … kerana manusia itu dijadikan berkeadaan lemah.

Iaitu lemah pada postur tubuhnya, lemah pada pancainderanya dan lemah pada
pemikirannya. Kerananya, dia sangat membutuhkan urulan rahmat dari Allah untuk
memberinya kekuatan agar dia bias meraih apa yang dapat memenuhi kebutuhannya dan
yang dapat dia gunakan dalam melangsungkan hidupnya. Juga, agar Allah memberinya
pengetahuan tentang sarana, hukum-hukum Allah pada alam yang Allah tundukkan
untuknya, serta memberinya kemampuan untuk memberdayakannya, mengambil manfaat
dengan menguasainya, mengukuhkan dirinya serta meraih kebahagian hidup di dunia dan
akhirat.

Kerananya, Allah memberikan kepadanya sesuatu yang dapat menutupi


kelemahannya, sebagai hikmah, keadilan, rahmat dan keutamaan dariNya. Maka, Allah
menundukkan untuknya segala sesuatu yang ada di bumi ini agar dia bias menggunakan dan
memanfaatkannya dalam melaksanakan berbagai hal yang menjadi kebutuhannya dalam
kehidupan ini. Dia menurunkan rezeki yang sangat banyak kepadanya agar dikonsumsi
untuk menjaga kehidupannya, menyenangkan seleranya, dan sebagai penopang baginga
dalam meraih kehidupan yang menyenangkan.
4

Dengan makanan, tubuhnya tumbuh dan kekuatannya berkembang. Kemudian,


tubuhnya ini membutuhkan sesuatu untuk menutupi bahagian luarnya yang dapat
melindunginya dari hawa dingin dan panas. Bahkan bersamaan dengan itu, manusia juga
membutuhkan sesuatu yang dapat memperindah penampilannya. Maka Allah mengadakan
pakaian baginya untuk memenuhi semua maksud di atas. Dengan inilah Allah memberikan
nikmat kepada nenek moyang manusia, Adam, ketika Dia menempatkannya di dalam
syurgaNya, ketika Allah s.w.t berfirman :

             

118. "Sesungguhnya telah dikurniakan berbagai nikmat bagimu, Bahawa Engkau tidak
akan lapar Dalam syurga itu dan tidak akan bertelanjang.
119. "Dan Sesungguhnya Engkau juga tidak akan dahaga Dalam syurga itu, dan tidak
akan merasa panas matahari". (Thohaa)

Sebagaimana Dia telah memberikan nikmat kepada anak keturunannya dengan


memenuhi kebutuhan pakaian mereka yang mereka kenakan untuk menutup aurat mereka
dan memperindah penampilan mereka :

          …



26. Wahai anak-anak Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu
(bahan-bahan untuk) pakaian menutup aurat kamu, dan pakaian perhiasan; … (Al-A’Raaf)

Demikian, kita mengetahui bahawa Allah memerintahkan kita agar berpakaian,


makan dan minum tanpa berlebihan, ketika Allah s.w.t. berfirman :

          
            
      … 
31. Wahai anak-anak Adam! Pakailah pakaian kamu Yang indah berhias pada tiap-tiap
kali kamu ke tempat Ibadat (atau mengerjakan sembahyang), dan makanlah serta
minumlah, dan jangan pula kamu melampau; Sesungguhnya Allah tidak suka akan orang-
orang Yang melampaui batas.
32. Katakanlah (Wahai Muhammad): "Siapakah Yang (berani) mengharamkan perhiasan
Allah Yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambaNya, dan demikian juga benda-
benda Yang baik lagi halal dari rezeki Yang dikurniakanNya?" … (Al-A’Raaf)

Ini adalah garis yang harus ditempuh manusia dalam hal makanan, minuman, dan
pakaiannya, iaitu ukuran tengah-tengah antara sikap berlebihan dan sikap terlalu
membatasi, antara kikir dan mubazzir. Ukuran tengah-tengah dalam hal makan dan minum
ini seperti berulang disebutkan dalam Al-Quran Al-Karim, di lebih dari satu tempat, seperti
firman Allah s.w.t. :

          
  
5

29. Dan janganlah Engkau jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu, dan janganlah pula
Engkau menghulurkannya Dengan sehabis-habisnya, kerana akibatnya akan Tinggalah
Engkau Dengan keadaan Yang tercela serta kering keputusan. (Al-Israa’)

         
 
67. Dan juga mereka (yang diredhai Allah itu ialah) Yang apabila membelanjakan
hartanya, tiadalah melampaui batas dan tiada bakhil kedekut; dan (sebaliknya)
perbelanjaan mereka adalah betul sederhana di antara kedua-dua cara (boros dan bakhil)
itu. (Al-Furqan)

2. Di antara bentuk pemuliaan Allah kepada manusia adalah Dia menundukkan untuk
mereka semua ciptaan ini, lalu mengajari mereka bagaimana cara menggunakan dan
mengarahkannya untuk kemaslahatan dan kebutuhan mereka, sebagai bentuk taat dan
patuh pada perintah Penciptanya Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa, yang telah
berbicara kepada manusia denga firmanNya :

           
        
29. Dia lah (Allah) Yang menjadikan untuk kamu Segala Yang ada di bumi, kemudian ia
menuju Dengan kehendakNya ke arah (bahan-bahan) langit, lalu dijadikannya tujuh
langit Dengan sempurna; dan ia Maha mengetahui akan tiap-tiap sesuatu. (Al-Baqarah)

Allah menggambarkan kepada kita dalam ayat ini, “menjadikan untuk kamu Segala
Yang ada di bumi”, dengan kekuasaanNya yang sempurna dan nikmatNya yang
menyeluruh. Kemampuan siapakah yang lebih besar daripada kemampuan sang Pencipta?
Nikmat apakah yang lebih sempurna daripada nikmat Zat yang menjadikan segala sesuatu
yang ada di bumi ini tersedia dan disiapkan untuk kebutuhan kita?

Ada dua cara mengambil manfaat dari bumi : Cara pertama : Memanfaatkan yang
ada secara fizik dalam kehidupan fizik. Cara kedua : Menagmbil manfaat dengan
mencurahkan perhatian dan pengamatan untuk mengambil pelajaran dalam kehidupan
akal.

Kita memanfaatkan segala yang ada di bumi, di darat maupun laut, haiwan,
tumbuhan mahupun benda-benda mati, yang fizik mahupun non-fizik. Sedangkan apa yang
tidak terjangkau dengan tangan kita, maka kita memanfaatkannya dengan menjadikan dalil
atas kekuasaan Penciptanya. Maksud ungkapan tersebut mencakup, “Barang tambang yang
ada di dalam perut bumi.” Demikian pula yang ada di lautan berupa permata, marjan dan
daging (ikan) segar, serta yang ada di muka bumi berupa tumbuhan, tanaman, buah-buahan
dan haiwan-haiwan yang boleh dimakan.

Demikian pula Alllah berbicara kepada manusia, untuk mengingatkan akan


nikmatNya kepadanya dan untuk menunjukkan kemuliaan kepadanya, tidak kepada
makhluk yang lainnya, bahawa Dia menundukkan untuknya semua yang ada di langit dan di
bumi :
6

             
   
13. Dan ia memudahkan untuk (faedah dan kegunaan) kamu, Segala Yang ada di langit
dan Yang ada di bumi, (sebagai rahmat pemberian) daripadanya; Sesungguhnya
semuanya itu mengandungi tanda-tanda (yang membuktikan kemurahan dan
kekuasaanNya) bagi kaum Yang memikirkannya Dengan teliti. (Al-Jaatsiyah)

Maka seluruh kandunagn ayat ini berupa penundukkan semua yang ada di langit dan
di bumi untuk manusia, menunjukkan akan kepemimpinannya atas semua makhluk dan
besarnya tanggungjawab yang diemban dalam kehidupan ini. Kerananya, Allah menjadikan
dia sebagai khalifah di muka bumi ini :

      …  …


30. … "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi". (Al-Baqarah)

Maka manusia harus menyadari kedudukannya, menyadari tanggungjawabnya dan


melaksanakan apa yang dibebankan kepadanya sebagai imbalan nikmat yangAllah berikan
kepadanya.

3. Perbahasan tentang makna dua potong ayat tadi : () dan (), membawa kita kepada
perbincangan satu persoalan yang terdapat perbezaan pendapat ulama’ mengenainya iaitu :
Adakah hukum asal bagi sesuatu benda itu harus atau haram? ()

Bagi merungkai perbezaan pendapat ini, boleh dikatakan begini : Segala sesuatu itu
mempunyai tiga keadaan seperti berikut :

Keadaan Pertama : Benda-benda yang mengandungi kemudaratan semata-mata,


tiada manfaat langsung, seperti tumbuhan beracun yang boleh membawa maut;

Keadaan Kedua : Benda-benda yang mengandungi manfaat semata-mata, tiada


kemudaratan langsung; dan

Keadaan Ketiga : Benda-benda yang mengandungi manfaat dari satu sudut, dan
mengandungi kemudaratan dari sudut yang lain.

Apa-apa benda yang mengandungi kemudaratan semata-mata, atau


kemudaratannya lebih banyak dari manfaatnya atau menyamainya, hukumnya haram
berdasarkan sabda Rasulullah :

Dan firman Allah swt :

Dan firman Allah swt :

Apa-apa benda yang mengandungi manfaat semata atau, terdapat mudarat yang
ringan dan manfaatnya lebih banyak, inilah yang menjadi topik perbezaan pendapat di
kalangan ulama’. Terdapat tiga pendapat ulama’ iaitu :
7

Pendapat pertama : Benda-benda itu hukumnya harus, berdasarkan beberapa dalil


antaranya :

1. Firman Allah swt :

        … 


29. Dia lah (Allah) Yang menjadikan untuk kamu Segala Yang ada di bumi, (Al-Baqarah)

Allah mengabarkan bahawa Dia memberikan kepada para makhlukNya segala


sesuatu yang ada di bumi, sedangka Allah tidak memberi selain yang mubah, kerana tidak
ada pemberian kurnia denag sesuatu yang haram.

Arah pembicaraan ini ditujukan kepada seluruh manusia, kerana Allah membuka
firmanNya denag kata-kata :

    … 


21. Wahai sekalian manusia! Beribadatlah kepada Tuhan kamu … (Al-Baqarah). Sisi
pendalilannya adalah Allah mengabarkan bahawa menciptakan segala sesuatu yang ada di
bumi adalah untuk manusia, dan membubuhkan kepada mereka dengan kata sandang
‘lam’, dan ini menunjukkan pengkhususan mudhaf (yang dibubuhkan secara posesif) untuk
mudhafun ilaih (objek posesif) selain juga menunjukkan keberkahan dari sisi yang pantas
untuknya.

Makna dari artikel ‘lam’ ini bersifat umum pada seluruh penggunannya, seperti
dalam ungkapan mereka : al-malu li Zain (harta itu milik Zaid), as-saraj li ad-dabbah (pelana
itu untuk haiwan) dan demikian seterusnya. Kalau begitu, ini menunjukkan bahawa manusia
hendaknya memiliki dan memberdayakan semua yang ada di bumi sebagai kurnia dan
nikmat dari Allah. Sementara Allah mengecualikan dari di antara itu semua beberapa hal –
iaitu yang khabits- kerana di dalamnya terdapat unsure-unsur yang merusak kehidupan
dunia dan akhirat mereka, sehingga yang selain itu tetap pada hukum boleh berdasarkan
konsekuensi hukum pada ayat tersebut.

2. Firman Allah swt :

             
      … 
119. Dan tidak ada sebab bagi kamu, (yang menjadikan) kamu tidak mahu makan dari
(sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
padahal Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa Yang diharamkanNya
atas kamu, kecuali apa Yang kamu terpaksa memakannya? … (Al-An’aam)

Pengambilan dalil ayat ini dari dua sisi :

Pertama : Allah mencela dan menegur mereka dengan keras kerana tidak mahu
memakan haiwan yang disembelih dengan menyebut nama Allah. Seandainya hukum asal
dari segala sesuatu itu boleh secara mutlak, nescaya mereka tidak akan mendapatkan
celaan dan teguran. Sebab, seandainya hukum asalnya adalah majhul (tidak diketahui) atau
8

dilarang, nescaya tidak seperti itu. Jadi, celaan Allah kepada mereka kerana tidak mahu
makan dari makanan yang disebut nama Allah padanya, merupakan dalil bahawa hukum
asalnya adalah mubah. Seandainya hukum asalnya adalah haram, bererti mereka telah
berbuat benar dengan tidak memakannya dan tentu tidak ada celaan terhadap mereka.

Kedua : Allah berfirman, “padahal Allah telah menerangkan satu persatu kepada
kamu apa Yang diharamkanNya atas kamu,” penjelasan dan keterangannya sebagai
berikut : Allah menerangkan bahawa Dia telah menjelaskan semua yang diharamkan.
Kerananya, apa sahaja yang tidak Dia terangkan keharamannya, bererti itu bukanlah sesuatu
yang haram; dan apa sahaja yang tidak haram, bererti itu halal, kerana sesuatu yang tidak
halal maka itu adalah haram.

3. Sabda Rasulullah saw :

‫ فحرم على الناس من‬،‫ من سأل عن شيء لم يحرم‬،‫(( إن أعظم المسلمين في المسلمين جرما‬
)) ‫أجل مسألته‬
Sesungguhnya kaum muslimin yang paling besar kejahatannya terhadap kaum muslimin
lainnya ialah orang yang bertanya tentang sesuatu yang belum diharamkan, lalu ia
diharamkan ke atas semua manusia kerana pertanyaannya itu.

Sisi pengambilan dalil-dalilnya : Sesungguhnya sesuatu tidaklah diharamkan kecuali


dengan dalil pengharaman yang khusus, berdasarkan sabda baginda, “yang belum
diharamkan,” dan pengharaman sesuatu akibat dari adanya pertanyaan, maka selain dari
itu tidaklah diharamkan.

Pendapat kedua : Hukum asal tentang sesuatu adalah haram melainkan ada dalil
yang menyatakan halalnya. Kelompok ini berdalil dengan alas an bahawa yang menjadi
hukum asal adalah “tidak boleh berbuat sesuatu” terhadap kepemilikan orang lain tanpa
seizinnya, sementara segala sesuatu adalah milik Allah, maka tidak boleh berbuat sesuatu
terhadap segala sesuatu kecuali setelah ada izin dariNya.

Pendapat ketiga : Berhenti tanpa menghukumi dalam masalah ini hingga ada dalil
yang menjelaskan hukumnya. Seakan orang yang berpendapat dengan pendapat ini
menganggap kalau dail-dalil kedua belah pihak sama kuatnya sehingga dia tidak menyikapi
hukum tertentu.

Pentarjihan :

Pendapat yang pertama lebih nyata kerana semua dalilnya sahih dan tegas.

Maka hukum asal segala sesuatu yang ada – dengan keaneka ragaman jenis dan
sifatnya – adalah halal dan suci secara mutlak bagi manusia, tidak diharamkan atas mereka
untuk memakainya, menyentuhnya dan merabanya. Jadi, tidak ada yang dilarang kecuali
apa yang Allah larang. Kalau tidak, maka kita masuk ke dalam firman Allah :

           
         
9

59. Katakanlah (kepada kaum Yang mengada-adakan sesuatu hukum): "Sudahkah kamu
nampak baik-buruknya sesuatu Yang diturunkan Allah untuk manfaat kamu itu sehingga
dapat kamu jadikan sebahagian daripadanya haram, dan sebahagian lagi halal?"
Katakanlah lagi (kepada mereka): "Adakah Allah izinkan bagi kamu berbuat demikian,
atau kamu hanya mengada-adakan secara dusta terhadap Allah?". (Yunus)

Kerananya, Allah mencela kaum musyrikin yang telah mensyariatkan di dalam agama
sesuatu yang Allah tidak izinkan dan mereka mengharamkan apa yang Allah tidak pernah
haramkan, sebagaimana Allah sebutkan tentang mereka dalam firmanNya :

          


           
           
       
          
         
         
         
 
136. Dan mereka (orang-orang musyrik) memperuntukkan dari hasil tanaman dan
binatang-binatang ternak Yang diciptakan oleh Allah itu, sebahagian bagi Allah (dan
sebahagian lagi untuk berhala-berhala mereka), lalu mereka berkata: ini untuk Allah -
menurut anggapan mereka - dan ini untuk berhala-berhala kami." kemudian apa Yang
telah ditentukan untuk berhala-berhala mereka, maka ia tidak sampai kepada Allah
(kerana mereka tidak membelanjakannya pada jalan Allah), dan apa Yang telah
ditentukan untuk Allah, sampai pula kepada berhala-berhala mereka (kerana mereka
membelanjakannya pada jalan itu). amatlah jahatnya apa Yang mereka hukumkan itu.
137. Dan Demikianlah juga (jahatnya) ketua-ketua Yang orang-orang musyrik itu jadikan
sekutu bagi Allah, menghasut kebanyakan dari mereka Dengan kata-kata indah Yang
memperlihatkan eloknya perbuatan membunuh anak-anak mereka, untuk membinasakan
mereka, dan untuk mengelirukan mereka nengenai ugama mereka. dan kalau Allah
kehendaki, nescaya mereka tidak melakukannya. oleh itu biarkanlah mereka dan apa
Yang mereka ada-adakan itu.
138. Dan mereka berkata lagi: "Ini adalah binatang-binatang ternak dan tanaman-
tanaman Yang dilarang, Yang tidak boleh seorang pun memakannya kecuali sesiapa Yang
Kami kehendaki", - menurut anggapan mereka; dan (sejenis lagi) binatang-binatang
ternak Yang dilarang menunggangnya; dan (sejenis lagi) bintang-bintang ternak Yang
tidak mereka sebutkan nama Allah ketika menyembelihnya; (semuanya itu mereka
lakukan dengan) berdusta terhadap Allah. Allah akan membalas mereka disebabkan apa
Yang mereka telah ada-adakan itu. (Al-An’aam)

Adapun alasan yang dijadikan sandaran oleh orang yang mengikuti pendapat kedua,
itu dapat dibantah bahawa pelarangan berbuat terhadap kepemilikan orang lain hanya
dianggap buruk – biasanya – terhadap hak orang yang akan mendapatkan mudharat kerana
menggunakan milik orang lain tanpa izin, dianggap buruk kebiasaan melarang orang lain
memanfaatkan miliknya padahal itu tidak mendatangkan mudharat kepadanya, seperti
bernaung dengan bayangan tembok seseorang atau mengambil penerangan cahaya dari api
10

yang dibuat oleh seseorang. Sementara Allah sama sekali tidak terkena mudharat jika
makhlukNya mengambil manfaat dengan menggunakan sesuatu pada milikNya.

Adapu tawaqquf, maka ini tidak beralasan, kerana dalil-dalil yang ada tidak sama
kuat berdasarkan apa yang telah kita lihat iaitu kuatnya dalil-dalil pendapat pertama dan
lemahnya dalil pendapat kedua.

Sebagai catatan : Syaikhul Islam Ahmad Bin Taimiyah berpendapat pembolehan ini
hanya berlaku khusus untuk kaum Muslimin. Beliau berkata dalam Al-Ath’imah, “Hukum
asalnya adalah halal bagi seorang muslim yang mahu beramal soleh, kerana Allah hanya
menghalalkan yang baik-baik untuk orang yang akan menggunakannya dalam ketaatan,
bukan dalam kemaksiatan. Ini berdasarkan firman Allah s.w.t. :

         
     … 
93. Tidak ada dosa bagi orang-orang Yang beriman serta mengerjakan amal Yang soleh
pada apa Yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa dan beriman serta
mengerjakan amal Yang soleh, … (Al-Ma’idah)

Kerananya, tidak boleh memberikan pertolongan dengan sesuatu yang mubah


kepada orang yang akan menggunakannya untuk kemaksiatan, seperti memberikan daging
dan roti kepada orang yang akan memakannya sambil minum khamar, dan kepada orang
yang akan menggunakannya dalam perbuatan keji. Barang siapa makan dari sesuatu yang
baik-baik lantas dia tidak bersyukur, maka dia adalah orang yang tercela. Allah berfirman :

4. Di antara permasalahan yang terkait di sini adalah pengaruh-pengaruh baik yang


timbul kerana memakan makanan yang baik dan pengaruh-pengaruh buruk yang timbul
akibat memakan makanan yang khabits, dikeranakan ini adalah perkara yang sangat penting
bagi setiap muslim. Sungguh, Allah telah memerintahkan manusia – secara umum – agar
memakan yang halal lagi baik, dengan firmanNya :

        … 


168. Wahai sekalian manusia! makanlah dari apa Yang ada di bumi Yang halal lagi baik, … (Al-
Baqarah)

Maka Allah memberi nikmat kepada mereka dengan memerintahkan agar memakan
apa saja yang ada di bumi berupa biji-bijian, buah-buahan dan haiwan-haiwan selama itu
adalah sesuatu yang “halal” iaini : Dihalalkan bagi kalian untuk mengambilnya, bukan dari
hasil merampas, mencuri, tidak dihasilkan dari transaksi yang haram atau dengan jalan yang
haram atau digunakan untuk perkara yang haram. “Baik” iaini : Tidak khabits, seperti
bangkai, darah, daging babi dan semua yang khabits.

Demikian pula Allah telah memerintahkan kaum mukminin – secara khusus – agar
mmemakan yang baik-baik dari apa yang telah Dia rezekikan kepada mereka, dalam
firmanNya :
11

         


    
172. Wahai orang-orang Yang beriman! makanlah dari benda-benda Yang baik (yang
halal) Yang telah Kami berikan kepada kamu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika betul
kamu hanya beribadat kepadaNya. (Al-Baqarah)

Allah memerintahkan hal ini kepada kaum mukminin secara khusus, kerana merkalah
yang hakikatnya mendapat manfaat dari semua perintah dan larangan dengan iman mereka,
Allah memerintahkan kepada mereka agar makan dari rezeki yang baik dan bersyukur
kepada Allah atas nikmatNya dengan cara mempergunakannya dalam ketaatan kepadaNya
serta memperkuat dirinya dengan makanan itu untuk mendapatkan apa yang ingin dia
capai. Maka, Allah telah memerintahkan kepada mereka dengan perintah yang Dia tujukan
kepada para Rasul, “Wahai Rasul-rasul, makanlah dari benda-benda Yang baik lagi halal
dan kerjakanlah amal-amal soleh; …” (Al-Mukminun : 51). Dalam ayat ini, Allah tidak
membatasi makanan yang halal kerana iman orang mukmin akan menghalanginya untuk
mengambil sesuatu yang tidak menjadi miliknya.

Sesungguhnya Allah memanggil orang-orang beriman dengan sifat yang mengikatkan


mereka dengan Allah dan yang mendorong mereka untuk menerima semua syariat Allah
serta agar mereka mengambil hukum halal dan haram hanya dariNya. Dia mengingatkan
mereka dengan kurnia yang telah Dia rezekikan kepada mereka. Oleh kerananya, Dialah
satu-satunya Pemberi rezeki dan membolehkan yang baik-baik dari rezeki yang Allah berikan
untuk mereka. Maka, Dia mengingatkan bahawa Dia tidak menghalangi mereka untuk
mengambil yang baik-baik dan bahawa jika Allah mengharamkan sesuatu, maka itu semata-
mata kerana sesuatu itu tidak baik, tidak dikeranakan Dia menginginkan untuk
mengharamkan yang baik kepada mereka dan menyusahkan mereka, padahal Dialah yang
melimpahkan rezeki kepada mereka semua tanpa harus memintanya.

Memakan makanan yang baik-baik akan memberikan pengaruh yang baik pada jiwa
dan tubuh, maka semua yang baik-baik (ath-thayyibat) yang Allah bolehkan adalah semua
makanan yang bermanfaat bagi tubuh, akal dan akhlak. Jadi semua makanan yang
bermanfaat adalah thayyib (baik) dan semua yang ada mudharatnya adalah khabits (buruk).
Mengkonsumsi makanan yang halal lagi baik akan memberikan pengaruh yang signifikan
dalam proses pembersihan jiwa, terkabulnya do’a dan diterimanya amal ibadah. Sebaliknya,
mengkonsumsi makanan yang haram, akan menghalangi terkabulnya doa dan diterimanya
ibadah. Allah berfirman tentang orang-orang Yahudi :

            …
          
   … 
41. … mereka ialah orang-orang Yang Allah tidak mahu membersihkan hati mereka; bagi
mereka kehinaan di dunia, dan di akhirat kelak mereka beroleh azab seksa Yang besar.
42. Mereka sangat suka mendengar berita-berita dusta, sangat suka memakan Segala
Yang haram (rasuah dan sebagainya). … (Al-Maidah)
12

As-Suhtu maksudnya adalah makanan yang haram. Barangsiapa yang keadaannya


demikian, bagaimana mungkin Allah membersihkan hatinya dan mengabulkan
permohonannya ?

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 : ‫(( أيها الناس إن اهلل طيب ال يقبل إال طيبا وإن اهلل أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين فقال‬
 : ‫ وقال‬        ... 
‫ ثم ذكر الرجل‬        ... 
‫رام‬3
3‫رابه ح‬3
3‫يطيل السفر إشعث أغبر يمد يديه إلى السماء يا رب يا رب ومطعمه حرام وش‬
)) ‫وملبسه حرام وغذي بالحرام فأنى يستجاب لذلك‬
“ Sesungguhnya Allah Maha Baik, tidak menerima kecuali hal yang baik. Dan sesungguhnya
Allah memerintahkan kaum mukminin dengan perintah yang diarahkan kepada para
rasulNya. Allah Ta’ala berfirman : 51. Wahai Rasul-rasul, makanlah dari benda-benda Yang
baik lagi halal dan kerjakanlah amal-amal soleh; … (Al-Mukminun) dan firmanNya : 172.
Wahai orang-orang Yang beriman! makanlah dari benda-benda Yang baik (yang halal)
Yang telah Kami berikan kepada kamu, … (Al-Baqarah) Sesudah itu, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menceritakan keadaan seseorang yang sedang dalam perjalanan jauh.
Orang tersebut rambutnya kusut, tubuhnya penuh debu, menengadahkan kedua tangannya
ke langit seraya memanjatkan (permohonan do’a) : ‘Wahai, Rabb-ku, wahai Rabb-ku”,
namun makanannya haram, minumannya haram dan pakaiannya haram. Dia tumbuh
dengan makanan yang haram, bagaimana mungkin dikabulkan ?[1]

Makanan yang halal maupun yang haram, tidak hanya berpengaruh pada hati
individu dan perangainya saja, yang berpotensi memperbaiki atau menyimpangkannya,
tetapi efek negatif tersebut juga merambah mempengaruhi masyarakat. Sebab sebuah
komunitas terdiri dari sekelompok individu.

Masyarakat yang di dominasi dengan kejujuran dalam bermua’malah,


mengkonsumsi makanan yang diperbolehkan, ia akan tumbuh menjadi sebuah komunitas
yang bersih, teladan dan saling menolong lagi kokoh. Sebaliknya, masyarakat yang
terkungkung oleh praktek risywah (suap), tipu menipu dan tersebarnya makanan yang
haram, akan menjadi komunitas yang ternoda, tercerai berai, indiviudalis, tak mengenal
kerjasama saling menolong, hina di mata masyarakat lain, (juga sebagai) ladang subur bagi
perkembangan sifat-sifat buruk. Pada gilirannya, akan menyeret masyarakat tersebut pada
kondisi yang lemah, tidak lama kemudian akan sirna oleh arus yang kecil sekalipun.

Selain itu, mengkonsumsi makanan yang khabits akan merusak tabiat. Ketika Allah
mengaharamkan yang khabits itu tidak lain dikeranakan adanya kerusakan, baik pada akal
atau akhlak, atau pada selainnya, yang tampak pada orang yang memandang boleh
terhadap makanan atau minuman yang haram yang berbanding lurus denga kerusakan yang
ada padanya. Seandainya bukan kerana takwil, nescaya mereka berhak mendapatkan
hukuman. Mengahlalkan sesuatu yang disepakati akan haramnya, seperti riba, bangkai, babi
dan selainnya merupakan perbuatan murtad dari agama Islam, sebagaimana disebutkan
dengan tegas oleh para ulama dalam bab “Hukum Murtad”. Kecuali, jika dia tidak
13

mengetahui hukumnya, seperti orang yang lahir dan tumbuh dewasa di negeri-negeri atau
pedalaman yang jauh dari Islam, maka orang seperti ini harus diberitahu tentang hukumnya,
dan jika dia tetap berada di atas keyakinannya itu setelah dia mengetahuinya dengan jelas,
maka dia kafir.

BAB PERTAMA :

PERBAHASAN PERTAMA :

- Keterangan tentang apa yang dimaksudkan dengan makanan


- Perbezaan antara metod jahiliyyah dan metod Islam dalam menentukan halal
dan haram sesuatu makanan
- Perbandingan secara umum di antara mazhab-mazhab Islam dalam menentukan
halal dan haram sesuatu makanan

PERBAHASAN KEDUA :

- Keterangan tentang pembahagian makanan kepada tumbuhan dan haiwan


- Pembahgian haiwan kepada haiwan darat dan haiwan laut, serta apa maksud
setiap satunya.

PERBAHASAN PERTAMA :

- Keterangan tentang apa yang dimaksudkan dengan makanan


- Perbezaan antara metod jahiliyyah dan metod Islam dalam menentukan halal
dan haram sesuatu makanan
- Perbandingan secara umum di antara mazhab-mazhab Islam dalam menentukan
halal dan haram sesuatu makanan

Keterangan Tentang Apa Yang Dimaksudkan Dengan Makanan :

            …
  … 
249. … "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu Dengan sebatang sungai, oleh itu
sesiapa di antara kamu Yang meminum airnya maka bukanlah ia dari pengikutku, dan
sesiapa Yang tidak merasai airnya maka Sesungguhnya ia dari pengikutku, … (Al-
Baqarah)

Sabda Rasulullah saw tentang air zam-zam :

)) ‫(( إنها طعام طعم وشفاء سقم‬


Perbezaan Antara Metod Jahiliyyah Dan Metod Islam Dalam Menentukan Halal Dan
Haram Sesuatu Makanan :
14

Adapun perbezaan antara metod jahiliyyah dengan manhaj Islam dalam


menghalalkan dan mengharamkan makanan adalah seperti perbedaan antara malam dan
siang dan antara cahaya dengan kegelapan. Itu kerana orang-orang jahiliyyah menghalalkan
dan mengharamkan sesuatu dengan menuruti selera mereka dan sesuai dengan bisikan para
penyesat dari kalangan jin dan manusia kepada mereka. Lalu mereka menghalalkan yang
diharamkan, seperti bangkai, darah dan haiwan-haiwan kecil yang merayap dan berjalan,
serta mereka mengharamkan sesuatu yang baik, lalu mereka mendatangkan beberapa
tanam-tanaman dan haiwan ternak untuk mereka persembahkan kepada sembahan-
sembahan mereka. Mereka mengatakan bahawa semua haiwan ternak dan buah-buahan
tersebut haram untuk mereka makan dan mereka juga mendatangakan beberapa haiwan
ternak lalu menjadikannya haram untuk ditunggangi, sebagaimana mereka mendatangkan
haiwan-haiwan ternak lalu berkata, “Ini tidak perlu disebut nama Allah ketika disembelih.”

Mereka telah benar-benar menyimpang dalam mitos-mitos pemahaman dan


perilaku yang lahir dari penyimpangan kesyirikan, penyembahan kepada berhala serta
menyerahkan masalah penghalalan dan pengharaman kepada para tokoh mereka dengan
mengklaim bahawa apa yang mereka tetapkan itulah yang Allah syariatkan. Mereka
menyimpang dalam mitos-mitos ini dengan mengatakan tentang janin yang ada dalam perut
haiwan ternak, adalah khusus diperuntukkan bagi laki-laki jika dia lahir dengan selamat,
tetapi diharamkan untuk perempuan. Tetapi, kalau janinnya mati sehingga menjadi bangkai,
maka kaum perempuan juga bias ikut menikmatinya. Demikianlah cara mereka menetapkan
aturan, tanpa sebab, tanpa dalil dan tanpa alas an, selain selera mereka yang darinya
mereka membuat aturan yang rumit dan semu.

Sedangkan manhaj Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan, adalah manhaj


bijaksana yang bertujuan untuk menolak mudharat dan membawa maslahat dengan apa
yang dia halalkan dan apa yang dia haramkan. Islam menerangkan berbagai penyimpangan
orang-orang jahiliyyah dalam manhaj mereka :

             
           
    … 
145. Katakanlah (Wahai Muhammad): "Aku tidak dapati Dalam apa Yang telah
diwahyukan kepadaku, sesuatu Yang diharamkan bagi orang Yang hendak memakannya
melainkan kalau benda itu bangkai, atau darah Yang mengalir, atau daging babi - kerana
Sesungguhnya ia adalah kotor - atau sesuatu Yang dilakukan secara fasik, Iaitu binatang
Yang disembelih atas nama Yang lain dari Allah". … (Al-An’aam)

             
 … 
119. Dan tidak ada sebab bagi kamu, (yang menjadikan) kamu tidak mahu makan dari
(sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
padahal Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa Yang diharamkanNya
atas kamu, … (Al-An’aam)

          … 
15

150. Katakanlah: "Bawalah saksi-saksi kamu memberi keterangan Bahawa Allah


mengharamkan (benda-benda Yang kamu haramkan) ini". … (Al-An’aam)

         … 


151. Katakanlah: "Marilah, supaya Aku bacakan apa Yang telah diharamkan oleh Tuhan
kamu kepada kamu, … (Al-An’aam)

Al-Allamah Ibnu Jarir menjabarkan makna ayat-ayat ini dan ayat-ayat lain yang mirip
dengannya, dengan mengatakan, “Allah berfirman kepada nabiNya, Muhammad s.a.w. :
Katakan, wahai Muhammad, kepada mereka yang menjadikan hasil pertanian dan
penternakan mereka, sebahagiannya untuk Allah dan sebahagian lainnya untuk sembahan-
sembahan dan berhala-berhala mereka, mereka yang mengatakan, ‘Haiwan dan hasil
pertanian ini dilarang, tidak boleh memakannya kecuali orang yang kami kehendaki,’ –
menurut sangkaan mereka -, orang-orang yang mengharamkan sebahagian haiwan ternak
lainnya untuk ditunggangi, yang tidak menyebut nama Allah ketika menyembelih
sebahagian lainnya, yang mengharamkan sebahagian janin yang ada di dalam perut-perut
haiwan ternak mereka bagi kaum perempuan dan para isteri mereka tapi menghalalkannya
untuk kaum lelaki di antara mereka, yang mengharamkan apa yang Allah rezekikan kepada
mereka, yang mana semua ini hanyalah kebohongan atas nama Allah dan perbuatan
menambah-nambah apa yang telah Allah haramkan atas kalian.

Katakanlah kepada mereka semua : Datangkanlah buktinya kepada kami, apakah


Allah yang mewasiatkan kepada kalian untuk mengharamkannya sedangkan kalian
menyaksikan dan mendengarkan langsung pengharaman dari Allah kepada kalian itu,
sehingga kalian berani mengharamkannya. Sesungguhnya jika kalian mendakwakan
demikian, sungguh kalian telah berdusta. Lagi pula, tidak mungkin bagi kalian untuk
mendakwakan demikian, kerana jika kalian mengatakannya, manusia akan mengetahui
kedustaan kalian. Sesungguhnya aku tidak menemukan dalam kitab yang diwahyukan
kepadaku dan tidak pula pada kitab-kitab lain yang diturunkan, satu pun makanan yang
diharamkan untuk dimakan dari apa yang kalian sebutkan bahawa Allah mengharamkan
sebahagian haiwan ternak ini yang kalian gambarkan sebagai pengharaman sesuatu yang
Dia haramkan atas kalian – menurut sangkaan kalian -, ‘Kecuali kalau makanan itu bangkai,’
yang mati tanpa penyembelihan, ‘Atau darah yang mengalir,’ iaitu yang terpancar, atau
kalau makanan itu adalah ‘daging babi, maka itu adalah najis,’ ‘atau kefasikan,’ yakni
dikeranakan itu, atau kecuali kalau sembelihan yang disembelih oleh seseorang dari kaum
musyrikin dari kalangan penyembah berhala, yang dia sembelih untuk patung-patung dan
sembahan-sembahannya, lalu dia menyebutkan nama sembahannya ketika dia
menyembelih haiwan itu, maka sembelihan itu adalah kefasikan yang Allah larang dan
haramkan, serta Allah melarang orang yang beriman kepadaNya makan dari haiwan yang
disembelih seperti demikian kerana itu adalah bangkai.

Yang demikian juga merupakan pengumuman dari Allah kepad kaum musyrikin yamg
membantah Nabi Allah dan para sahabat baginda mengenai masalah pengharaman bangkai
dengan dalil-dalil yang mereka bawakan, bahawa yang mereka bantah kepada mereka (Nabi
dan para sahabat) itu adalah haram yang Allah telah haramkan, dan bahawa apa yang
mereka sangka bahawa apa yang Allah haramkan adalah halal, yang telah Dia halalkan, dan
bahawa mereka berdusta ketika menisbatkan hukum pengharaman itu kepada Allah.
16

Maka manhaj Islam dalam masalah penghalalan dan pengharaman makanan adalah;
bahawa semua jenis biji-bijian, buah-buahan dan haiwan yang suci dan tidak menimbulkan
mudharat, maka itu adalah halal. Dan, semua yang najis-najis – seperti bangkai dan darah –
atau yang terkena najis atau yang menimbulkan mudharat – seperti berbagai jenis racu dan
yang lainnya -, maka itu adalah haram. Manhaj ini telah diterangkan dalam banyak ayat Al-
Quran dan hadis dari As-Sunnah :

Di antaranya adalah firman Allah s.w.t.,

        … 


168. Wahai sekalian manusia! makanlah dari apa Yang ada di bumi Yang halal lagi baik,
… (Al-Baqarah) yakni : Yang baik (thayyib) pada zatnya, tidak memberikan mudharat pada
badan dan tidak pula pada akal, kerana semua makanan dan minuman yang Allah halalkan
yang memiliki sifat ini, itu adalah thayyib dan bermanfaat untuk badan dan agama. Dan
semua makanan yang seperti ini sifatnya, pasti mengandung sifat thayyib, suci dan tidak
mendatangkan mudharat.

Di antara dalil yang menunjukkan ukuran kesucian (thaharah) pada makanan yang
dimakan adalah firman Allah s.w.t. :

      … 


3. Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), dan
darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), … (Al-Ma’idah) kata
najis yang terdapat dalam ayat ini bermakna najis ‘aini (substansi) dan najis itu adalah
khabits, Allah berfirman :

      …  …


157. … dan ia menghalalkan bagi mereka Segala benda Yang baik, dan mengharamkan
kepada mereka Segala benda Yang buruk; … (Al-A’raf)

Di antara dalil yang menunjukkan ukuran bebas bahaya pada makanan itu adalah
firman Allah s.w.t. :

     …  …


195. … dan janganlah kamu sengaja mencampakkan diri kamu ke Dalam bahaya
kebinasaan (dengan bersikap bakhil); … (Al-Baqarah), dan firmanNya :

    …  …


29. …dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri. … (An-Nisaa’)

Ayat-ayat ini menunjukkan bahawa semua yang khabits atau mendatangkan


mudharat, tidak boleh dikonsumsi dan digunakan, sedangkan semua yang thayyib dan
bermanfaat, maka itu diperbolehkan. Inilah manhaj Islam dalam menghalalkan dan
mengharamkan makanan, iaitu sebuah manhaj yang berporos pada pengambilan maslahat
dan menolak mudharat, sebuah syariat yang berasal dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha
17

Terpuji, Maah Mengetahui segala sesuatu, sebuah syariat yang cocok pada setiap zaman,
tempat dan bagi semua kelompok manusia.

Maka, nisbah yang manakah antara manhaj ini denganmanhaj yang dibuat oleh
musuh-musuh kemanusiaan dari kalangan penjahat jin dan manusia, atau dengan manhaj
yang diambil dari selera nafsu dan kecenderungannya yang binal :

          

50. Sesudah itu, Patutkah mereka berkehendak lagi kepada hukum-hukum jahiliyah?
padahal - kepada orang-orang Yang penuh keyakinan - tidak ada sesiapa Yang boleh
membuat hukum Yang lebih pada daripada Allah. (Al-Ma’idah)

Perbandingan Secara Umum Di Antara Mazhab-Mazhab Islam Dalam Menentukan Halal


Dan Haram Sesuatu Makanan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengemukakan perbandingan umum ini dengan


mengatakan, “Mazhab ahli al-hadits dalam prinsip besar dan luas ini di tengah-tengah
antara mazhab Masyarakat Iraqdan mazhab Masyarakat Hijaz. Ulama Madinah, Imam Malik
dan yang lainnya mengharamkan – dalam masalah minuman – semua yang memabukkan,
sebagaimana dalam banyak nas sahih dari Nabi s.a.w. dari banyak jalan. Tapi, tidak demikian
dalam halnya masalah makanan, tetapi yang dominan dalam mazhab mereka adalah tidak
mengharamkan kebanyakan makanan. Mereka membolehkan semua jenis unggas secara
mutlak, sekalipun memiliki cakar. Mereka memakruhkan semua haiwan buas yang bertaring
dan dalam pengharamannya ada dua riwayat dari Imam Malik. Demikian pula dalam
masalah haiwan-haiwan tanah dan serangga, ada dua riwayat dari beliau, makruh atau
haram. Demikian pula baghal dan keldai. Diriwayatkan dari beliau bahawa hukumnya
makruh, lebih makruh daripada haiwan buas yang bertaring. Diriwayatkan juga darinya
bahawa itu adalah haram berdasarkan as-Sunnah. Mereka juga memakruhkan kuda tetapi
lebih ringan makruhnya daripada binatang buas.

Sementara penduduk Kufah – dalam masalah minuman – bertolak belakang dengan


pandangan penduduk Madinah serta semua orang lainnya. Menurut mereka, yang namanya
khamar hanyalah minuman yang terbuat dari anggur. Mereka tidak mengharamkan
minuman memabukkan dalam kadar sedikit kecuali kalau itu adalah kahamar dari anggur,
atau dia adalah nabidz (sari kurma) atau kismis mentah atau yang terbuat dari jus anggur
yang dimasak, jika unsur yang memabukkan belum hilang. Adapun dalam masalah makanan,
mereka sangat berlebihan dalam pengharaman, sampai-sampai mereka mengharamkan
kuda dan dhabb (biawak). Ada yang mengatakan bahawa Abu Hanifah memakruhkan
biawak, hyena dan binatang sejenisnya.

Para ahli al-hadits – dalam masalah minuman – mengambil pendapat ulama


Madinah dan seluruh warga Ansar sejalan dengan sunnah yang bersumber dari Nabi s.a.w.
dan para sahabat baginda dalam pengharaman. Mereka lebih banyak mengikuti sunnah.
Sedangkan dalam masalah makanan, mereka mereka mengambil pendapat ulama Kufah
kerana kesahihan sunnah-sunnah dari Nabi s.a.w. yang mengharamkan semua binatang
buas yang bertaring dan semua unggas predator yang bercakar, serta mengharamkan
18

daging keldai. Akan tetapi, ahli al-hadits tidak sejalan dengan ulama Kufah pada semua
makanan yang mereka haramkan, melainkan mereka menghalalkan kuda kerana sahihnya
hadits-hadits dari Nabi yang menghalalkannya pada perang Khaibar. Para sahabat pun
pernah menyembelih kuda di zaman Nabi lalu mereka memakan dagingnya. Mereka
menghalalkan biawak kerana kesahihan hadits-hadits dari Nabi bahawa beliau telah
bersabda, “Aku tidak mengharamkannya,” dan biawak ini pernah dimakan oleh para
sahabat pada hidangan makan baginda, tetapi baginda hanya melihatnya tetapi tidak
mengecam terhadap orang yang memakannya. Demikian pula haiwan-haiwan lainnya yang
diberi rukhsah.

Maka mereka mengurangi jenis haiwan yang diharamkan oleh ulama Kufah seperti
halnya mereka menambah dalam masalah minuman atas ulama Madinah, sehingga para
ahli al-Hadits itu lebih banyak dalam mengikuti sunnah.

Masalah ini sampai pada tingkat bahawa Imam Ahmad mengharamkan sari anggur
dan nabidz yang sudah disimpan selama tiga malam walaupun belum menjadi minuman
keras, kerana demikian ketatnya mengikuti sunnah yang diriwayatkan dalam masalah itu.
Sebab, biasanya itu patut diduga menjadi minuman keras setelah lewat malam ketiga
sehingga dihukumi sama dengan khamar. Bahkan beliau juga sangat memakruhkan al-
Khalithain, baik itu kerana makruh tanzih atau kerana haram, menurut dua pendapat
berbeda yang dinukil dari beliau.” (Demikian dengan sedikit perubahan)

Melalui perbandingan ini, tampak jelas bagi kita manhaj mazhab-mazhab ini dalam
masalah penghalalan dan pengharaman makanan; Mazhab ulama Madinah yang dipelopori
oleh Imam Malik, Mazhab ulama Kufah yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah dan mazhab
ahli al-hadits yang dipelopori oleh Imam Ahmad.

Manhaj ulama Madinah karekteristiknya adalah luas dalam membolehkan sampai


pada taraf menyelisihi sebahagian nas.

Manhaj ulama Kufah mempunyai sifat keras dalam mengharamkan sampai pada
taraf menyelisihi sebahagian nas juga.

Manhaj ulama ahli al-hadits mempunyai sifat moderat antara kedua manhaj
sebelumnya seiring dengan semua nas.

Ketiga sifat ini akan tampak – insya Allah – melalui pemaparan pendapat semua
mazhab ini mengenai rincian hukum-hukum makanan. Wallahul Muwaffiq.

PERBAHASAN KEDUA :

- Keterangan tentang pembahagian makanan kepada tumbuhan dan haiwan


- Pembahgian haiwan kepada haiwan darat dan haiwan laut, serta apa maksud
setiap satunya.

Keterangan Tentang Pembahagian Makanan Kepada Tumbuhan Dan Haiwan


19

Makanan manusia terbahagi kepada dua bahagian :

Bahagian pertama : Makanan yang suci selai haiwan, seperti sayur-sayuran, buah-
buahan, makanan-makanan padat dan cair. Jenis ini disepakati oleh para ulama akan
bolehnya selama tidak terkena najis dan tidak mendatangkan mudharat.

Bahgian Kedua : Haiwan; iaitu haiwan darat dan haiwan laut.

Haiwan darat adalah haiwan yang tidak bias hidup kecuali di darat. Hukum asalnya adalah
halal kecuali haiwan yang sudah ditegaskan hukum haramnya dalam syariat. Ia terbahagi
kepada dua jenis :

Jenis pertama : Haiwan ahli (jinak), iaitu semua haiwan yang biasa hidup di dekat
rumah – berasal dari kata ahl yang bermakna jinak, seperti binatang ternak – iaitu unta,
lembu, kambing dan ayam.

Jenis kedua : Haiwan wahsyi (liar), - iaitu haiwan darat – berasal dari kata wahsyah
yang bermakna khulwah (sunyi, jauh), seperti kijang, burung unta, kelinci dan unggas.

Haiwan laut iaitu haiwan yang tidak bias hidup kecuali di air dan jika dipindahkeluar air
maka akan seperti haiwan yang sekarat setelah disembelih, seperti ikan dan paus.

BAB KEDUA :

PERBAHASAN PERTAMA : Keterangan Tentang Haiwan-Haiwan Darat Yang Diperselisihkan


Pengharamannya, Serta Pendalilan Dan Pentarjihan.

Hukum asal haiwan darat – sebagaimana telaah kami sebutkan – adalah halal kecuali
terdapat dalil yang mengharamkannya. Haiwan yang diharamkan terbahagi menjadi dua :
Ada yang diharamkan zatnya dan ada yang diharamkan kerana adanya penyebab tertentu
yang masuk padanya. Yang pertama (diharamkan zatnya) seperti babi, haiwan buas, baik
berupa unggas mahu pun yang berkaki empat, haiwan jinak yang berkuku, yang memakan
bangkai, haiwan yang diperintahkan untuk dibunuh di Al-Haram dan haiwan yang dipandang
menjijikkan menurut tabiat manusia. Haiwan yang diharamkan kerana adanya penyebab
tertentu yang masuk padanya, seperti bangkai, semua haiwan yang tidak mematuhi syarat
penyembelihan – kalau haiwan itu termasuk kategori yang disembelih dan mati kerana tua -.

Hikmah diharamkannya haiwan-haiwan ini :

Di antaranya ada yang kalau dimakan akan membawa akibat berupa sifat sewenang-
wenang dan zalim, seperti haiwan buas yang bertaring yang sifatnya kejam dan agresif,
kerana ada orang yang mengkonsumsi sesuatu akan melahirkan sikap yang mirip dengan
apa yang dia konsumsi. Jika dagingnya yang dia makan berubah menjadi daging dalam
tubuhnya, maka di dalam hati orang itu akan tumbuh perilaku kejam dan agresif, kerana
potensi kejalangan yang ada di dalam jiwa haiwan yang dia makan itu akan menyerap ke
20

dalam jiwa orang yang memakannya, sehingga jadilah manusia berakhlak seperti haiwan
buas.

Di antaranya ada yang diharamkan kerana keburukan makanan itu – seperti babi,
kerana yang menjadi penyebab kebanyakan perilaku buruk, disebabkan babi adalah haiwan
yang paling banyak memakan berbagai kotoran tanpa merasa jijik sedikit pun – demikian
pula seperti burung pemakan bangkai. Atau, kerana pada dirinya menjijikkan, seperti
haiwan-haiwan serangga. Kami telah melihat bahawa baiknya makanan menyebabkan
halalnya, dan keburukannya menyebabkan haramnya, sabagaimana yang terdapat dalam as-
sunnah tentang daging jallalah (pemakan kotoran), susunya dan telurnya. Haiwan ini
dilarang dikonsumsi kerana dia termasuk kategori makanan yang khabits.

Demikian pula tumbuh-tumbuhan yang diairi dengan air yang najis dan yang diberi
pupuk dengan sesuatu yang najis, menurut pendapat yang mengharamkan tumbuhan yang
dipupuk dengan sesuatu yang najis.

Secara umum, Allah mengharamkan semua makanan yang khabits kerana makanan
tersebut ditumbuh kembangkan dengan yang khabits, yang meniscayakan bagi orang-orang
yang memakannya kezaliman, kesewenang-wenangan atau kebejatan dan kerendahan
perilaku. Demikian pula dengan babi, darah dan haiwan buas, maka orang yang
mengkonsumsinya akan terdapat pada dirinya lahir sifat ganas dan buas sesuai dengan yang
ia makan.

Jika ditanya : Kenapa semua makanan ini dibolehkan bagi orang yang dalam keadaan
darurat, padahal dengan memakannya akan melahirkan banyak mafsadat ini?

Jawabannya adalah bahawa : Diperbolehkan dalam keadaan darurat seperti itu kerana
maslahat menjaga kelangsungan hidup lebih didahilikan daripada mencegah mafsadat.
Mafsadat itupun adalah faktor dari luar yang tidak akan mendatangkan mudharat ketika
dalam keadaan kita sangat membutuhkannya. Insya Allah akan dikemukakan penjelasan
lebih jauh mengenai masalah ini.

Semua haiwan yang akan disebutkan ini, pada sebahagiannya terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama mengenai hukumnya. Itu dikeranakan perbedaan dalil-dalil
yang ada dan perbedaan pemahaman mereka terhadap dalil-dalil ini. Selengkapnya
bagaimana paparan kami –Insya Allah – dalam masalah-masalah adalah berikut ini :

PERSOALAN PERTAMA : Hukum Memakan Daging Kuda (Al-Khail).

Al-Khail adalah sekelompok kuda, sebuah bentuk kata yang menunjukkan makna
jama’ tetapi tidak mempunyai bentuk mufrad (kata tunggal) dari lafaznya, seperti kata al-
qaum, ar-rahth dan an-nafar. Ada yang mengatakan bentuk mufradnya adalah kha’il. Kuda
dinamakan khail kerana dia ikhtiyal (gesit) dalam berjalan.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum memakan dagingnya menjadi


beberapa pendapat berikut :
21

Pendapat pertama : Diharamkan memakan daging kuda.

Ini diriwayatkan daripada Abu Hanifah – dan inilah riwayat yang paling sahih
menurut sebahagian al-Hanafiah – dan salah satu dari dua pendapat Imam Malik – dan
inilah yang masyhur di kalangan al-Malikiyah - . Pendukung pendapat ini berpegang dengan
beberapa dalil antaranya :

1. Firman Allah swt :

        


 
8. Dan (Allah menjadikan) kuda dan baghal serta keldai untuk kamu menunggangnya,
dan untuk menjadi perhiasan; dan ia menjadikan apa Yang kamu tidak mengetahuinya.
(An-Nahl)

Aspek pendalilan berdasarkan ayat ini ialah :

Bahawa Allah swt telah menyebut tentang binatang-binatang ternak dan manfaat-
manfaatnya dan menjelaskannya di dalam firmanNya :

         


         
           
 
5. Dan binatang-binatang ternak itu, ia juga menciptakannya untuk kamu; terdapat
padanya benda-benda Yang memanaskan tubuh dari sejuk dan beberapa faedah Yang
lain; dan daripadanya juga kamu makan.
6. Dan bagi kamu pada binatang-binatang ternak itu, keindahan (yang menarik hati)
ketika kamu membawanya balik untuk berihat (pada waktu petang), dan ketika kamu
membawanya keluar (pada waktu pagi).
7. Dan binatang-binatang itu pula membawa barang-barang kamu ke mana-mana negeri
Yang kamu tidak dapat sampai kepadanya melainkan Dengan menanggung susah payah.
Sesungguhnya Tuhan kamu amat melimpah belas kasihan dan rahmatNya. (An-Nahl)
Demikian pula Allah menyebutkan – setelah ayat yang mulia ini – beberapa manfaat air yang
diturunkan dari langit, manfaat-manfaat yang berkenaan dengan malam, siang, matahari,
bulan dan bintang-bintang, serta manfaat-manfaat yang berkenaan dengan laut. Allah
menyebutkan dalam ayat ini bahawa Allah telah menciptakan kuda, baghal dan keldai untuk
ditunggangi dan dijadikan perhiasan, tetapi Allah tidak menyebutkan manfaatnya untuk
dimakan, sehingga ini menunjukkan bahawa ketiga haiwan ini tidak mempunyai manfaat
lain kecuali apa yang disebutkan dalam ayat ini. Seandainya ada manfaat lain selain itu
semua, maka tidak ada kemungkinan kalau Allah tidak menyebutkannya ketika Dia
menyebutkan secara meluas manfaat-manfaat yang berhubungan dengan ketiga haiwan
tersebut. Maka ketiga haiwan ini berfungsi hanya sebagai tunggangan, bukan untuk
dimakan, dan ini adalah rincian dari yang telah menciptakan mereka. Ini diperkuat dengan
beberapa perkara :

Pertama : Huruf lam di sini bermakna ta’lil (alas an), yakni; alas an Dia
menciptakannya agar kalian menunggangi dan menjadikannya sebagai perhiasan. Suatu illah
22

yang disebutkan secara jelas dalam sebuah dalil menunjukkan makna pembatasan. Jadi,
pembolehan untuk memakannya bertentangan dengan erti tektual ayat tersebut.

Kedua : Penyertaan baghal dan keldai dengan kuda, menunjukkan bahawa kuda
sama seperti keduanya dalam hukum pengharaman.

Ketiga : Ayat yang mulia ini difahami dalam konteks penyebutan nikmat-nikmat Allah
(al-imtinan) – dan surah an-nahl dinamakan juga surah al-imtinan -. Padahal, Yang maha
Bijaksana tidak akan menyebutkan nikmat terendah (ditunggangi) lalu meninggalkan nikmat
yang lebih tinggi darinya (dimakan), apalagi penyebutan nikmat dengan memakan haiwan
ternak telah disebutkan dalam ayat sebelumnya.

Keempat : Seandainya kuda boleh dimakan, maka kurnia agar memanfaatkannya –


iaitu untuk ditunggangi dan sebagai perhiasan – akan hilang.

2. Hadith riwayat Kholid Bin Al-Walid ra, ia berkata :

)) ‫(( نهى رسول اهلل عن أكل لحوم الخيل والبغال والحمير‬


Rasulullah telah melarang dari memakan daging kuda, baghal dan keldai.

3. Hadith riwayat Jabir ra, ia berkata :

)) ‫(( نهى رسول اهلل عن لحوم الحمر والخيل والبغال‬


Rasulullah telah melarang daripada (memakan) daging keldai, kuda dan baghal.

Ketiga dalil ini dibantah dengan bantahan sebagai berikut :

1. Pendalilan dengan ayat dapat disanggah dari beberapa sisi :

Sisi pertama : Bahawa para ulama sepakat ayat ini turun di Makkah, sedangkan izin untuk
memakan daging kuda terjadi pada perang Khaibar dan itu terjadi lebih dari enam tahun
setelah peristiwa hijrah dari mallah. Seandainya Nabi memahami larangan memakan kuda
dari ayat ini, nescaya baginda tidak akan mengizinkan memakannya.

Sisi Kedua : Anggaplah kita sepakat bahawa huruf lam pada ayat tersebut bermakna ta’lil,
maka tidak bererti kita sependapat bahawa itu menunjukkan makna pembatasan hanya
untuk ditunggangi dan dijadikan perhiasan, kerana kuda bias dimanfaatkan untuk hal lain
selain keduanya dan juga untuk dimakan. Di sini hanya disebutkan kedua manfaat ini kerana
inilah manfaat kuda yang terbesar, iaitu untuk ditunggangi dan dijadikan perhiasan.

Sisi Ketiga : Orang yang berdalil dengan ayat ini untuk melarang memakan kuda – bererti
harus juga melarang membawa barang-barang yang berat di atas kuda, keldai dan baghal
kerana adanya pembatasan manfaat – seperti anggapan yang ada – hanya pada tunggangan
dan perhiasan, dan tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian.

Sisi Keempat : Berdalil dengan penyertaan keldai dan baghal dengan kuda sehingga kuda
mengambil anutan hukum keldai dan baghal yang digandingkan kepadanya – sehingga
23

haram untuk dimakan -, merupakan cara pendalilan iqtiran (penyertaan). Padahal ini adalah
cara pendalilan yang lemah menurut majoriti ulama ushul.

Sisi Kelima : Adapu berdalil bahawa ayat ini difahami dalam konteks penyebutan nikmat
Allah pada kuda dan binatang ternak, lalu disebutkan pada binatang ternak bahawa dia
boleh dimakan, tapi Allah tidak menyebutkan manfaat ini (boleh dimakan) pada kuda, maka
ini dapat ditanggapi dengan mengatakan bahawa Allah menyebutkan manfaat pada kedua
jenis haiwan ini dengan manfaat yang paling sering diambil, tetapi itu tidak menghalangi
adanya manfaat-manfaat lainnya.

2. Pendalilan dengan hadits Khalid bin Al-Walid dapat disanggah dari beberapa sisi :

a. Dalam konteks hadits disebutkan bahawa beliau ikut dalam perang Khaibar padahal
itu tidak benar. Yang benar, beliau masuk Islam setelah perang Khaibar.

b. Hadits ini diriwayatkan dari jalur lain dari Khalid, dan dalam sanadnya terdapat
perawi majhul (tidak dikenali).

c. Sekelompok huffaz telah menghukumi hadits Khalid ini sebagai hadits lemah,
sebagaimana yang bis adilihat dalam Fathul Bari.

3. Hadits Jabir dapat disanggah dari beberapa sisi :

a. Di dalam sanadnya ada Ikrimah bin Ammar dan dia adalah perawi yang lemah
menurut para ulama ahli al-hadits.

b. Penyebutan kuda tidak ada dalam riwayat-riwayat terkuatnya, sehingga ini


menunjukkan bahawa tambahan ini tidak sahih pada keaslian haditsnya.

c. Bahawa riwayat-riwayat yang datang dari banyak jalur dari Jabir yang membedakan
antara hukum kuda dengan keldai, lebih jelas ittisalnya (tersambung dengan runtut)
dan para perawinya lebih kuat hafalannya, maka riwayat-riwayat itu lebih
didahulukan.

Ini adalah kesimpulan dari sanggahan terhadap dalil-dalil pendapat ini, wallahu
a’lam.

Pendapat kedua : Boleh memakan daging kuda

Ini adalah pendapat mazhab As-Syafie, Ahmad dan merupakan pendapat


Muhammad bin Al-Hassan, Abu Yusuf dari kalangan al-Hanafiah, juga merupakan salah satu
pendapat dalam mazhab al-Mlikiyah serta pendapat majoriti ulama. Adapun dalil-dalil
pendapat ini adalah :

1. Hadits Jabir :
24

Sesungguhnya Nabi – pada perang Khaibar – melarang memakan daging keldai jinak dan
membolehkan memakan daging kuda. Muttafaqun ‘Alaihi

Sisi pendalilannya jelas : Jabir mengabarkan bahawa nabi membolehkan daging kuda
untuk mereka makan di saat beliau mengharamkan daging keldai kepada mereka. Maka ini
menunjukkan adanya perbedaan hukum antara kedua jenis haiwan tersebut.

2. Dari Asma’ binti Abu Bakar as-Siddiq r.a. dia berkata :

Kami pernah menyembelih seekor kuda pada zaman Rasulullah, sedangkan kami berada di
kota Madinah, lalu kami pun memakannya. Muttafaqun ‘Alaihi

Dalam riwayat Imam Ahmad :

Maka kami memakannya bersama keluarga baginda s.a.w.

Pendalilan dengan kedua hadits ini untuk membolehkan memakan daging kuda telah
dibantah dari beberapa sisi oleh para ulama yang mengharamkannya.

Sisi pertama : Pembolehan yang disebutkan dalam kedua hadits ini ada kemungkinan
terjadi pada saat keldai juga boleh dimakan. Kerana, Nabi saw tidak melarang memakan
daging keldai pada perang Khaibar kecuali kerana kuda boleh dimakan ketika itu kemudian
diharamkan kembali. Ini ditunjukkan oleh riwayat dari Az-Zuhri bahawa dia berkata, “Kami
tidak ketahui kuda itu dimakan kecuali ketika kaum Muslimin mengepung (Khaibar),” dan
dari Hassan dia berkata, “Para sahabat rasulullah memakan daging kuda dalam peperangan-
peperangan mereka.” Maka ini menunjukkan bahawa mereka memakannya ketika dalam
keadaan darurat, sebagaimana yang Az-Zuhri katakana. Maka kedua hadits di atas harus
difahami seperti ini untuk menjaga dalil-dalil yang ada dari pertentangan.

Sisi kedua : Jika terdapat larangan tetapi juga terdapat pembolehan pada saat yang
sama, maka larangan didahulukan sebagai sikap berhati-hati. Hadits Asma’ juga dibantah
dengan riwayat kedua dari hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Dalam
perang Khaibar, kami memakan kuda dan keldai liar, dan Nabi saw melarang dari keldai
jinak.” Ulama yang membantah mengatakan : Perbuatan para sahabat di zaman Nabi
hanyalah menjadi hujah apakah Nabi mengetahui perbuatan itu, sedangkan di sini diragukan
kalau Nabi mengetahui perbuatan mereka. Ditambah lagi ini bertentangan dengan hadits
Kholid bin Al-Walid, “Sesungguhnya Rasulullah melarang memakan kuda.” Kemudian
anggaplah tidak bertentangan, maka tidak patut berdalil dengannya untuk menentang
pendalilan ayat “Dan (Allah menjadikan) kuda dan baghal serta keldai untuk kamu
menunggangnya, dan untuk menjadi perhiasan; …” yang menunjukkan pelarangan
memakan daging kuda. Ini adalah kesimpulan dari sanggahan terhadap dalil-dalil orang yang
membolehkan makan daging kuda, dan tanggapan atas sanggahan ini akan dikemukakan
kemudian.

Pendapat ketiga : Makan daging kuda hukumnya makruh


25

Ini adalah pemahaman yang tersurat pada riwayat dari Abu Hanifah dan salah satu
riwayat Malik – sebahagian Malikiah mensahihkannya -. Sisi pendalilah pendapat ini adalah
mencari titik temu antara hadits-hadits yang bertentangan dalam masalah ini dan untuk
menyikapi berhati-hati dalam masalah pengharaman. Pemahaman ini dibantah dengan
mengatakan bahawa dalil-dalil dalam masalah ini tidak sama kuat sehingga harus
dikompromikan, kerana tidak ada sedikit pun kekuatan pada dalil orang-orang yang
melarangnya yang mengharuskan untuk berhati-hati agar jangan sampai jatuh ke dalam
larangan.

 Pentarjihan :

Berdasarkan apa yang telah kami paparkan berupa dalil-dalil dari kedua kelompok
dalam masalah ini, serta sanggahan masing-masing kelompok terhadap dalil-dalil lawannya,
maka akan tampat jelas bagi kita bahawa pendapat kedua lebih kuat, iaitu bolehnya
memakan daging kuda, tidak makruh sedikit pun. Itu berdasarkan beberapa alas an di
bawah ini :

1. Kekuatan dalil-dalil dari pendapat yang membolehkannya dan lemahnya dalil-dalil


pendapat yang menyelisihinya, sehingga dia tidak kuat untuk menentang dalil-dalil pihak
lawan, sebagaimana penjelasan dan adu argument yang telah dipaparkan terdahulu.

2. Apa yang dijadikan landasan oleh kelompok yang menentang pendapat ini, tidak
dapat diterima dengan beberapa alasan :

a. Adapun pemahaman mereka terhadap hadits-hadits yang membolehkan dengan


mengatakan bahawa daging kuda pernah dibolehkan pada saat keldai jugaboleh
dimakan, kemudian setelah itu keduanya diharamkan, maka pengarahan seperti
ini tidak dapat diterima. Kerana, Rasulullah merinci hukum dalam masalah itu
dengan melarang makan daging keldai dan membolehkan makan daging kuda.
Dalam sebahagian riwayat disebutkan, “Baginda mengizinkan,” dan dalam
sebahagian riwayat, “Baginda memerintahkan.” Maka, Nabi saw membolehkan
memakan daging kuda untuk mereka sementara baginda melarang memakan
daging keldai, sehingga itu menunjukkan adanya perbedaan hukum di antara
keduanya.

b. Adapun pemahaman mereka bahawa itu diperbolehkan itu ketika dalam keadaan
darurat atau kekurangan, maka ini dapat dibantah dengan mengatakan bahawa
izin untuk memakan daging kuda, seandainya itu hanyalah keringanan kerana
kekurangan makanan, maka keldai jinak lebih pantas untuk dimakan kerana
jumlahnya yang abnyak dan mahalnya kuda saat itu. Juga, kerana kuda bisa
digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang biasa dikerjakan oleh keldai seperti
mengangkut barang dan lainnya, sementara keldai tidak bisa digunakan untuk
mengerjakan sesuatu yang biasa dilakukan oleh kuda, seperti untuk tunggangan
perang. Nabi juga telah memerintahkan agar menumpahkan panic-panci yang
sedang digunakan memasak daging keldai, padahal ketika itu mereka
membutuhkan makanan. Maka itu menunjukkan bahawa pemberian izin untuk
26

memakan daging kuda adalah suatu pembolehan yang berlaku secara umum,
bukan hanya ketika di dalam darurat.

c. Adapun pendapat mereka yang menyatakan lebih didahulukan dalil yang


melarang daripada dalil yang membolehkan sebagai sikap berhati-hati, maka itu
dapat dibantah dengan mengatakan bahawa hal itu boleh dilakukan dengan
syarat dalil-dalil yang ada sama kekuatan sanadnya, sedangkan di sini tidak
demikian, kerana dalil-dalil yang membolehkan lebih kuat daripada dalil-dalil
yang mengharamkan.

d. Adapun sanggahan mereka terhadap hadits Asma’ dengan mengatakan bahawa


di dalamnya tidak ada keterangan yang jelas bahawa Nabi mengetahui kejadian
itu, ini dapat dibantah dengan kata-kata Asma’, “Maka kami memakannya
bersama keluarga Rasulullah.” Di sini ada kesan yang sanga kuat bahawa baginda
mengetahui kejadian itu. Seandainya itu terjadi, maka tidak mungkin terlintas
anggapan itu pada kepada keluarga Abu Bakar bahawa mereka berani
mengatakan sesuatu perbuatan pada zaman Nabi kecuali dalam keadaan mereka
benar-benar mengetahui tentang bolehnya sesuatu itu. Kerana, mereka sangat
dekat dengan Nabi dan tidak pernah berpisah dari beliau. Dengan demikian,
pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah bahawa jika seorang
sahabat mengatakan, “Kami melakukan demikian pada masa Nabi,” maka
pernyataan itu mempunyai hukum rafa’, kerana yang tampak adalah bahawa
Nabi mengetahuinya danmenyetujuinya.

e. Adapun sanggahan mereka terhadap hadits yang sama dengan salah satu riwayat
Muslim dari Jabir yang di dalamnya dia tidak mengabarkan bahaw Nabi
mengetahuinya, maka ini dapat dibantah dengan riwayat muttafaqun ‘alaihi dari
hadits Jabir yang di antara penggalan lafaznya, “Dan baginda –yakni Nabi –
membolehkan memakan daging kuda,” kerana riwayat ini adalah pengabaran
bahawa baginda mengizinkannya. Sehingga hal itu menunjukkan bahawa baginda
lebih daripada sekadar mengetahuinya.

f. Adapun sanggahan mereka terhadap hadits-hadits yang membolehkan dengan


hadits Kholid yang menunjukkan haramnya, maka itu adalah sanggahan yang
sangat lemah. Kerana, pada sanad Kholid terdapat kritikan yang mengurangi
kedudukannya untu bisa berhadapan dengan kedua hadits muttafaqun ‘alaihi ini.
g. Adapun perkataan mereka bahawa kalaupun dianggap semua hadits yang
membolehkan selamat dari dalil-dalil yang menentangnya, maka itu tetap tidak
boleh dijadikan sandaran untuk menolak pendalilan ayat surat An-Nahl yang
melarangnya. Pernyataan ini disanggah dengan dua jawaban :

Pertama : Ayat dalam surah An-Nahl bukanlah nas tegas yang melarang makan
kuda, sementara hadits-hadits tersebut sangat jelas menunjukkan boleh
memakannya. Sehingga pendalilan hadits yang membolehkan itu lebih kuat
daripada pendalilan ayat yang melarang –kalaupun ayat itu dianggap melarang -.
27

Kedua : Ayat ini hanya menunjukkan tidak dimakannya kuda, dan alas an tidak
dimakannya sesuatu itu lebih umum daripada sekadar meninggalkannya kerana
haram atau kerana makruh atau kerana menyelisi yang lebih utama.

Berdasarkan semua ini, kita mengetahui bahawa yang ditunjukkan oleh dalil yang
jelas adalah pembolehan makan daging kuda. Kerananya Imam At-Thahawi – dan beliau
termasuk tokoh dalam mazhab Al-Hanafiah – berkata, “Abu Hanifah berpendapat
makruhnya memakan daging kuda, tapi dua orang murid seniornya dan juga yang lainnya
berseberangan dengannya. Mereka berdalil dengan hadits-hadits mutawatir yang
membolehkannya. Seandainya hukum masalah ini diambil dengan cara pengamatan,
tentunya tidak ada perbedaan antara kuda dengan keldai jinak. Akan tetapi, bilamana
hadits-hadits benar-benar sahih dari Rasulullah, maka itu yang lebih pantas untuk diambil
sebagai pendapat daripada yang dituntut oleh pengamatan. Apalagi Jabir telah
mengabarkan bahawa Nabi membolehkan daging kuda bagi mereka pada waktu itu di mana
keldai diharamkan, Maka itu menunjukkan perbedaan keduanya dalam masalah hukum.”
Demikian.

Ibnu Rusyd dar Al-Malikiyah berkata, “Adapun sebab perselisihan mereka tentang
daging kuda, maka itu disebabkan adanya perbedaan dalil khitab dalam ayat ini – yakni ayat
dalam surah An-Nahl -, “Dan (Allah menjadikan) kuda dan baghal serta keldai untuk kamu
menunggangnya, dan untuk menjadi perhiasan; …” dengan hadits Jabir. Juga kerana
adanya pertentangan antara mengqiyaskan kuda dengan baghal dan keldai. Akan tetapi,
pembolehan memakan daging kuda telah ditegaskan dalam hadits Jabir, sehingga tidak
selayaknya untuk dipertentangkan dengan qiyas dan tidak pula dalil khitab.”

PERSOALAN KEDUA : Hukum Daging Keldai Jinak.

1. Majoriti ulama berpendapat haram hukumnya memakan daging keldai jinak.

Ini adalah pendapatketiga imam : Abu Hanifah, As-Syafie dan Ahmad. Adapun Imam
Malik, riwayat-riwayat dari beliau saling bertentangan; ada yang meriwayatkan bahawa
beliau memakruhkannya dan ada riwayat dari beliau bahawa beliau mengharamkannya
seperti pendapat majoriti ulama. Mereka berdalil sebagai berikut :

a. Hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani dia berkata :


b. Hadits Al-Barra’ bin Azib dia berkata :
c. Dari Ibnu Umardia berkata :
d. Dari Abu Aufa dia berkata :

2. Adapun pendapat Imam Malik yang memakruhkannya, dia menggunakan dalil


sebagai berikut :

a. Apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahawa beliau berpendapat dengan makna
tekstual firman Allah s.w.t. :

             
       … 
28

145. Katakanlah (Wahai Muhammad): "Aku tidak dapati Dalam apa Yang telah
diwahyukan kepadaku, sesuatu Yang diharamkan bagi orang Yang hendak memakannya
melainkan kalau benda itu bangkai, atau darah Yang mengalir, atau daging babi … (Al-
An’aam)

Ibnu Abbas membacanya lalu berkata, “Selain dari apa yang disebutkan ini, maka itu
adalah halal.” Demikiat tinta umat ini, dan ahli ilmu al-Quran, Abdullah bin Abbas
memahami ayat ini bahawa keldai jinak tidak haram.

b. Apa yang terdapat dalam hadits Ghalib bin Abjar :

Dia berkata, “kami mengalami paceklik – setahun – sehingga aku tidak dapat
memberi makan keluargaku kecuali lemak keldai. Lalu aku mendatangi Rasulullah seraya
berkata. ‘Sesungguhnya engkau mengharamkan daging-daging keldai jinak, sedangkan kami
sedang mengalami paceklik,’ lalu baginda bersabda, ‘Berilah makan keluargamu dengan
lemak keldaimu, sesungguhnya aku mengharamkannya hanya kerana jawalli kampong,’
dengan jim difathah dan lam ditasydid, bentuk jama’ dari kata jallalah, iaitu pemakan
kotoran. Maka, dalam hadits ini ada kesan yang menunjukkan bolehnya memakan daging
keldai, dan bhawa Rasulullah hanya mengharamkannya kerana ada suatu sebab lain yang
masuk padanya, iaitu kerana memakan kotoran. Ada juga riwayat yang menerangkan sebab
lain, iaitu kerana tidak bisa dijadikan tunggangan dalam perang dan tidak bisa menyerang.
Ada juga riwayat lain yang menerangkan kerana dikhuatirkannya jumlah tunggangan akan
berkurang. Semua alasan ini – bisa menjadi alasan hukum – bahawa larangan memakan
daging keldai hanya dikeranakan ada satu sebab yang masuk kepadanya. Jadi hadits ini bisa
dijadikan sandaran bagi makna tekstual ayat tersebut untuk menunjukkan bolehnya
memakan daging keldai.

Syubhat ini harus dihilangkan dan pendapat yang benar dalam masalah ini harus
dijelaskan, maka kami katakan; Tidak diragukan bahawa pendapat yang benar adalah
pendapat majoriti ulama terdahulu dan belakangan, iaitu haramnya daging keldai jinak.
Bahkan Ibnu Abdil barr berkata, “Tidak ada perselisihan di kalangan ulama kaum Muslimin
pada zaman ini mengenai haramnya.”

Tinggal bagaimana tanggapan terhadap syubhat tersebut yang dipegang oleh orang-
orang yang menyelisihi majoriti ulama dalam hukum ini. Syubhatnya adalah sebagai berikut :

1. Erti yang tersurat pada ayat Al-Quran Al-Karim tersebut.


2. Hadits Ghalib bin Abjar.
3. Illat-illat yang terdapat dalam riwayat mengenai sebab diharamkannya.

1. Adapun berdalil dengan firman Allah swt, “Katakanlah (Wahai Muhammad): "Aku
tidak dapati Dalam apa Yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu Yang diharamkan… “
sehingga akhir ayat, dan bahawa Ibnu Abbas berpendapat dengan erti yang tersurat pada
ayat tersebut, maka ini dapat dijawab dari beberapa sisi :
29

Pertama : Pendalilan ini hanya bisa diterapkan pada masalah-maslah yang tidak ada
nas pengharamannya, sedangkan keldai jinak telah diharamkan dalam banyak nas, dan nas
pengharaman lebih didahulukan daripada penghalalan secara umum dan qiyas.

Kedua : Ayat ini termasuk Makkiyyah sementara hadits-hadits yang


mengharamkannya keluar setelah hijrah. Ayat ini hanya menyebutkan apa yang diharamkan
ketika wahyu itu turun dan ini tidak ada penafian adanya kemungkinan tambahan sesuatu
yang diharamkan pada waktu kemudian, dengan demikian tidak ada kontradiksi. Di antara
pengharaman tersebut degan ayat yang mulia ini. Kerana, ketika ayat ini turun, Allah
memang tidak mengharamkan makanan apa pun kecuali keempat makanan ini, sementara
pengharaman itu berganti sedikit demi sedikit. Maka pengharaman keldai adalah
pengharaman tersendiri dari apa yang tidak disinggung nas menjadi pengangkat hukum dari
apa yang Al-Quran bolehkan, tidak pula mengkhususkan keumumannya, selain bukan pula
sebagai nasikh (penghapus hukum). Wallahu a’lam.

Ketiga : Sebahagian ulama mengatakan bahawa ayat ini mencakup semua yang
diharamkan, sebahagiannya disebutkan dengan nas dan yang lainnya difahami secara
tersirat dari makna dan keumuman lafaz. Firman Allah swt dalam menyebut illat
diharamkannya bangkai, darah dan daging babi atau illat itu untuk yang disebutkan terakhir
sahaja (kerana itu kotor), itu merupakan sifat yang mencakup semua yang haram. Kerana
semua yang diharamkan itu adalah kotor dan khabits, sementara babi adalah sesuatu yang
paling khabits lagi kotor yang Allah haramkan atas para hambaNya sebagai penjagaan dan
pemuliaan kepada mereka agar tidak menyentuh yang khabits dan kotor. Adapun rincian
makanan kotor yang diharamkan, maka itu dijelaskan dalam As-Sunnah kerana di antara
fungsinya adalah mentafsirkan Al-Quran dan menjelaskan maksudnya.

Keempat : Ayat ini difahami dalam konteks sanggahan terhadap ucapan kaum
musyrikin pada masa lalu ketika mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan dan
mereka larut dalam pembicaraan menuruti hawa nafsu mereka, khusus mengenai masalah
haiwan ternak, tidak ada satu pun di antaranya yang haram kecuali apa yang disebutkan di
dalam ayat tersebut kecuali yang telah menjadi bangkai dan apa yang disembelih dengan
menyebut selain namaNya termasuk di antaranya, sedangkan selain dari itu adalah halal.
Maka kemungkinan bahawa alasan disebutkannya babi dalam ayat ini adalah kerana
sebahagian orang yang tidak memahami ada yang memasukkannya ke dalam jenis haiwan
ternak dan bahawababi termasuk dari jenis kambing, sebagaimana anggapan sebahagian
orang Nasrani yang tidak memahami dan juga orang-orang semisal mereka, sehingga
mereka pun mengembang-biakkan babi sebagaimana mereka mengembangbiakkan haiwan
ternak lainnya. Mereka tidak membedakan antara babi dengan haiwan ternak.

Kelima : Adapun apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahawa dia berpendapat
dengan makna tersurat pada ayat tersebut, maka dijawab denagn dua hal : Pertama :
Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas bahawa beliau tawaqquf dalam masalah daging keldai,
apakah itu untuk makna tertentu ataukah hanya untuk menguatkan. Kedua : Diriwayatkan
juga dari Ibnu Abbas bahawa dia meninggalkan pendapatnya itu dan kembali memastikan
haramnya keldai.
30

Al-‘Allamah Ibnu Al-Qayyim berkata, “Kenyataan menunjukkan bahawa Ibnu Abbas


pernah membolehkan pada mulanya ketika hadits tentang pengharamannya belum sampai
kepadanya, lalu pendapatnya itu didengar oleh sekelompok orang sehingga meriwayatkan
apa yang mereka dengar tersebut. Kemudian belakangan, hadits yang melarang makan
daging keldai sampai kepada beliau sehingga beliau tawaqquf dalam masalah apakah
pelarangan itu kerana haram atau hanya kerana keldai digunakan untuk mengangkut
barang-barang, sehingga As-Sya’bi dan juga yang lainnya meriwayatkan pendapat ini dari
beliau. Kemudian tatkala Ali bi Abi Thalib mendebatnya dalam masalah ini, ia akhirnya
memastikan bahawa hukumnya adalah haram, sebagaimana riwayat yang diambil oleh
Mujahid dari Ibnu Abbas dalam masalah ini, sehingga tidak ada lagi alasan untuk
menisbatkan pembolehan keldai kepada beliau, seakan-akan itu adalah pendapatnya yang
tetap, wallahu a’lam.

2. Adapun hadits Ghalib bin Abjar itu adalah hadits lemah dan redaksi haditsnya syaz,
bertentangan dengan hadits-hadits yang sahih, sehingga yang dapat dijadikan sandaran
adalah hadits-hadita yang sahih.

Di dalam sanadnya banyak terjadi perselisihan danjuga terdapat kekacauan sehingga


tidak dapat dijadikan hujah dan tidak sebanding dengan hadits-hadits yang bertentangan
dengannya. Seandainya sahih pun maka maknanya difahami bahawa boleh makan daging
keldai ketika dalam keadaan darurat.

3. Adapu semua ta’lil yang diriwayatkan bahawa itu diharamkan kerana banyak
berkeliaran atau kerana tidak bisa ditunggangi dalam perang atau tidak bisa menyerang atau
khuatir jumlah tunggangan akan berkurang, maka semua ini hanyalah kemungkinan yang
dapat dikesampingkan dengan illah yang kuat dari Rasulullah dalam hadits Anas yang di
dalamnya terdapat lafaz, “Kerana dia adalah kotor (rijs).” Terdapat riwayat sahih dari beliau
mengenai illah (alasan) pengharamannya kerana itu adalah haiwan yang kotor, dan ini
tentunya lebih didahulukan daripada pendapat para sahabat yang mengatakan selain dari
illah ini, kerana itu hanyalah dugaan dari sang perawi (sahabat) dan pendapatnya itu
bertentangan dengan ta’lil yang disebutkan kerana binatang tersebut adalah kotor, yang
merupakan sabda rasulullah. Al-‘Allamah Ibnu Al-Qayyim berkata, “Telah diperselisihkan
mengenai sebab diharamkannya keldai menjadi empat pendapat yang semuanya terdapat
dalam kitab As-Sahih :

Pertama : Kerana dia adalah binatang yang berkeliaran di perkampungan


sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ghalib. Dan ini telah terdapat dalam sebahagian
jalur dari hadits Abdullah bin Abi Aufa, “Kami ditimpa kelaparan pada malam-malam perang
Khaibar, maka tatkala terjadi perang Khaibar kami berkasil mendapatkan beberapa ekor
keldai jinak, lalu kami pun menyembelihnya. Setelah dagingnya mendidih di atas panic,
maka penyeru utusan Rasulullah berteriak, ‘Tumpahkanlah isi panic-panci kalian dan
janganlah kalian makan dari daging keldai jinak sedikit pun.’ Maka sekelompok ulama ada
yang mengatakan bahawa tidaklah Rasulullah melarang memakannya kecuali kerana dia
tidak bisa dipakai berperang, dan yang lainnya mengatakan bahawa larangan itu berlaku
selama-lamanya. Al-Bukhari berkata tentang sebahagian jalur hadits ini, “Dilarang
memakannya selama-lamanya kerana dia memakan tinja,” maka ini adalah sebab pertama
dan kedua.
31

Adapun sebab ketiga : Kerana mereka membutuhkannya, maka beliau melarang


memakannya untuk membiarkannya berkembang biak, sebagaimana yang terdapat dalam
hadits Ibnu Umar riwayat Al-Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya Rasulullah melarang
makan daging keldai jinak,” dan ada tambahan pada jalur lain, “Dan orang-orang ketika itu
membutuhkannya.”

Sebab keempat : Beliau melarang memakannya kerana zatnya adalah rijs (kotor),
dan ini adalah sebab yang paling tepat kerana inilah yang disebutkan sendiri oleh Rasulullah
dengan ucapan beliau sebagaimana yang terdapat dalam kitab As-Sahihain dari Anas
bahawa dia berkata, “Tatkala RAsulullah menguasai Khaibar, kami mendapatkan banyak
keldai di luar desa lalu kami memasaknya. Maka tiba-tiba penyeru rasulullah telah melarang
kalian (memakan) darinya, kerana itu adalah rijs (kotor) dari perbuatan syaitan.” Jadi, ini
adalah nas tegas mengenai sebab diharamkannya, adapun sebab-sebab lainnya maka itu
hanyalah dugaan dan perkiraan dari orang yang mengatakannya.”

PERSOALAN KETIGA : Hukum Binatang Buas Yang Bergigi Taring.

Nab (taring) adalah gigi yang terletak di belakang gigi seri. Bentuk jama’nya adalah
anyaab.

Ini adalah dari sisi bahasa. Adapun yang dimaksud dengan taring menurut bab
makanan, sebagaimana dikatakan oleh As-Syafi’iyah dan Al-Nahabilah bahawa itu adalah
gigi yang dengannya haiwan buas melindungi dirinya dan untuk menyerang manusia dan
haiwan lain lalu memangsanya. Adapu menurut Al-hanafiah, haiwan buas yang bertaring
adalah haiwan yang memangsa, melukai dan biasanya membunuh. Kedua definisi di atas
sama dari sisi makna, kerananya penulis kitab Al-Ifshah berkata, “Mereka (Imam-imam
empat) sepakat bahawa semua haiwan buas bertaring yang memangsa binatang lain dengan
taringnya – seperti singa, serigala, harimau dan macan tutul -, adalah haram. Kecuali Imam
malik, dia mengatakan, “Dimakruhkan, tidak diharamkan.”

Kerananya yang menjadi patokan dalam mengharamkan haiwan buas adalah adanya
dua sifat pada dirinya : Dia bertaring dan dia memangsa dengan taringnya itu.

Kami tidak melihat adanya alasan berselisih faham yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd
di antara para imam dalam masalah ini ketika dia berkata, “mereka berselisih dalam
menentukan jenis haiwan buas yang di haramkan. Abu Hanifah mengatakan, “Semua
haiwan yang memakan daging adalah haiwan buas,” dan As-Syafie berkata, “haiwan buas
yang diharamkan hanyalah yang memangsa manusia.” Adalah pengertian haiwan buas yang
dia nisbatkan kepada Abu Hanifah tidak sesuai dengan apa yang Al-Hanafiah sebutkan dari
beliau dalam kitab-kitab mereka yang ada di tangan-tangan kami, wallahu a’lam.

Ulama’ berbeza pendapat tentang hukum memakan binatang buas yang bergigi
taring kepada dua pendapat :
32

Pendapat pertama : Hukum memakannya haram. Ini adalah pendapat Hanabilah,


Syafiiyyah dan Hanafiyyah. Dalil mereka dalam hal ini ialah Sunnah yang sabit daripada
Rasulullah saw, antaranya ialah hadith riwayat Abu Tsa’labah Al-Khusyani, beliau berkata :

)) ‫ كل ذي ناب من السباع فأكله حرام‬: ‫(( أن رسول اهلل قال‬


Bahawa Rasulullah saw bersabda : Setiap binatang buas yang bergigi taring,
memakannya adalah haram.

Di dalam hadith ini dan yang semakna dengannya terdapat petunjuk yang jelas ke
atas pengharaman memakan binatang buas yang bergigi taring.

Pendapat kedua : Ia adalah satu riwayat daripada Imam Malik bahawa memakan
binatang buas yang bergigi taring adalah makruh, bukan haram. Juga merupakan pendapat
yang zahir di dalam kitab Al-Mudawwanah dan pendapat yang masyhur daripada ahli
mazhabnya (Imam Malik). Manakala riwayat kedua daripada Imam Malik mengatakan
bahawa memakan binatang buas yang bergigi taring adalah haram, sebagaimana pendapat
imam–imam tiga mazhab yang lain. Pendapat kedua inilah yang dia sebutkan dalam kitab Al-
Muwattha’. Yang dijadikan dalil pada riwayat pertama dari Imam Malik adalah pemahaman
yang diambil dari firman Allah,

             
           
             

145. Katakanlah (Wahai Muhammad): "Aku tidak dapati Dalam apa Yang telah
diwahyukan kepadaku, sesuatu Yang diharamkan bagi orang Yang hendak memakannya
melainkan kalau benda itu bangkai, atau darah Yang mengalir, atau daging babi - kerana
Sesungguhnya ia adalah kotor - atau sesuatu Yang dilakukan secara fasik, Iaitu binatang
Yang disembelih atas nama Yang lain dari Allah". kemudian sesiapa Yang terpaksa
(memakannya kerana darurat) sedang ia tidak mengingininya dan tidak melampaui
batas, maka Sesungguhnya Tuhan mu Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. (Al-
An’aam) Maka lahiriah ayat ayat ini menunjukkan bahawa selain dari apa yang disebutkan
ini adalah halal.

Penyebab timbulnya perselisihan di antara dua pendapat ini adalah adanya


pertentangan antara pemahaman ayat ini dengan hadits-hadits yang mengharamkan banyak
perkara yang tidak disebutkan dalam ayat tersebut. Ketiga imam dan yang berpendapat
dengan pendapat mereka mengambil pendalilan hadits-hadits dan menjawab pendalilan
dengan ayat bahawa ayat itu bersifat Makkiyah yang turun sebelum hijrah dan bertujuan
untuk membantah orang-orang jahiliah yang mengharamkan al-bajrah, as-sa’ibah, al-
washilah dan al-hami, kemudian setelah itu Allah mengharamkan banyak perkara, seperti
keldai jinak, daging baghal, semua haiwan buas yang bertaring dan semua burung yang
bercakar. Tidak ada keterangan dalam ayat ini kecuali pengabaran bahawa tidak ada yang
baginda dapatkan sesuatu yang diharamkan pada saat itu kecuali apa yang tersebut dalam
ayat itu, kemudian di wahyukan kepada baginda pengharaman semua haiwan buas yang
bertaring maka wajib untuk menerima dan mengamalkannya. Maka menurut pendapat ini,
pengharaman yang datang setelah itu mengangkat pemahaman dalam ayat ini.
33

Adapun orang yang berpendapat tidak ada lagi makanan yang diharamkan selain dari
apa yang tersebut dalam ayat ini, mereka mengabaikan makna tekstual hadits-hadits yang
melarang memakan semua haiwan buas yang bertaring dan mereka berpegang dengan
makna tekstual ayat tersebut, sebab pembatasan dalam ayat itu sangat jelas sehingga lebih
utama berpendapat dengan mengacu padanya. Dan siapa yang menggabungkan antara
hadits Abu tsa’labah dan ayat ini, maka dia memahami hadits tentang pengharaman haiwan
buas hanya bermakna makruh.

 Pentarjihan :

Yang rajih berdasarkan dalil-dalil adalah pendapat yang pertama, kerana semua
riwayat pengharamannya dari jalur yang sahih dari Al-kitab dan As-Sunnah, maka itu adalah
haram dan digabungkan bersama empat perkara haram yang terdapat dalam ayat tersebut,
dan yang demikian tidak dipandang bertentangan dengan Al-Quran kerana tambahan hal-
hal yang diharamkan itu diharamkan setelah turunnya ayat. Adapun ketika turunnya ayat itu
maka tidak ada satu pun makanan yang haramkecuali empat perkara yang tersebut itu,
maka membatasi makanan haram dengan itu sebelum turunnya pengharaman lainnya tidak
diragukan kebenarannya. Tetapi jika pengharaman lain yang datang dengan dalil yang baru
maka itu tidak menafikan pembatasan yang terdapat dalam ayat kerana pengharaman itu
datang setelahnya.

Mengarahkan hukum yang ada dalam hadits-hadits kepada hukum makruh, kalau
memungkinkan pada sebahagiannya, itu belum tentu memungkinkan pada semua dalil yang
ada kerana pada sebahagiannya terdapat dalam lafaz hadits yang baru sahaj kami
ketengahkan.

Setelah kita mengetahui pendapat yang kuat dalam masalah ini, maka perlu
diketahui bahawa orang-orang yang berpendapat dengan pendapat yang mengharamkan
ini, mereka juga berselisih pendapat dengan sesame mereka dalam beberapa jenis haiwan,
apakah patokan ini cocok atau tidak? Di antaranya :

1) Dubuk () :

Dengan huruf ba’ didhammahkan atau disukun, nama untuk hyena betina, tidak
dikatakan dhib’atun, dan untuk jantannya dikatakan dhib’an. Di antar sisi yang menakjubkan
dari haiwan ini adalah dia menjadi jantan setahun dan menjadi betina setahun, dia kahwin
dengan betina saat menjadi jantan dan dia melahirkan saat menjadi betina, binatang ini
gemar menggali kubur kerana kegemaran mereka memakan daging manusia.

Para ulama berselisih tentang hukum memakannya menjadi dua pendapat :

Pendapat pertama :

Boleh memakannya, ini adalah pendapat As-Syafie dan Imam Ahmad. Dalil mereka
adalah hadits Abdurrahman Bin Abdillah bin Abi Imarah dia berkata, “Aku bertanya kepada
Jabir, “Apakah hyena adalah haiwan buruan?” dia menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Boleh aku
34

memakannya?” dia menjawab, “Ya.” Aku berkata, “Apakah RAsulullah mengatakannya?” dia
menjawab, “Ya.”

Dalam sebuah lafaz dari jabir dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang
hyena, maka baginda bersabda, “Dia adalah haiwan buruan, dan digunakan domba untuk
umpan saat memburunya.” Hadits ini dengan semua riwayatnya sangat jelas menunjukkan
boleh memakan hyena. Imam As-Syafie berkata, “Orang-orang masih terus memakannya
dan memperjualbelikannya di antara Safa dan Marwah, tanpa ada seorang pun yang
mempermasalahkannya.”

Dalil yang lain, orang-orang Arab memandang baik (thayyib) dan memujinya, akan
tetapi pada dalil yang terakhir ini terdapat tinjauan, sebagaimana yang akan datang
penjelasannya dalam pembahasan hukum haiwan yang dipandang baik (thayyib) atau
dianggap buruk (khabits) oleh orang-orang Arab, Insya Allah.

Pendapat kedua :

Haram memakan hyena, ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sekelompok ulama
lainnya. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah lalu tentang pengharaman semua
haiwan buas yang bertaring, dan mereka berkata bahawa hyena mempunyai taring yang
dengannya memburu mangsanya, jadi dia termasuk dalam cakupan pengertian hadits
tentang binatang buas bertaring. Mereka menjawab dari beberapa sisi. Terhadap hadits
yang dipakai berdalil oleh ulama yang membolehkannya :

Pertama : Hadits itu tidak masyhur, sedangkan yang lebih utama adalah beramal
dengan hadits yang masyhur.

Kedua : dalil yang melarang lebih didahulukan daripada dalil yang membolehkan
ketika keduanya bertentangan, sebagai kehati-hatian.

Ketiga : Pembolehan itu dibawa pada pengertian sebelum pengharaman.

 Pentarjihan :

Yang rajih adalah pendapat yang membolehkan makan hyena kerana dalilnya lebih
kuat, sebagaimana yang telah berlalu. Al-Hafiz berkata dalam Al-Fath, “Ada beberapa hadits
hasan dalam masalah penghalalan hyena.”

Bantahan orang-orang yang tidak membolehkan makan hyena dijawab dengan dua
jawaban :

Pertama : Tidak ada kontradiksi antara hadits yang mereka pegang dengan hadits
yang menunjukkan boleh makan hyena, kerana hadits yang menunjukkan boleh memakan
hyne, kerana hadits yang membolehkan memakan hyena bersifat khusus sehingga dia
didahulukan daripada hadits tentang larangan memakan semua haiwan buas yang
bertaring.
35

Kedua : Dhib’un (hyena) bukanlah binatang buas sehingga dia tidak termasuk dalam
keumuman larangan memakan daging haiwan buas, kerana walaupun haiwan tersebut
mempunyai taring, akan tetapi itu tidak termasuk haiwan buas yang memangsa. Sementara,
yang dijadikan patokan dalam mengharamkan adalah adanya dua sifat : Taring dan
menyerang manusia. Ibnu Al-Qayyim berkata, “para ulama yang mensahihkan haditsnya,
menjadikannya sebagai pengkhusus terhadap keumuman pengharaman haiwan buas yang
bertaring tanpa membedakan antara keduanya, sampai-sampai mereka mengatakan,
“Diharamkan memakan semua haiwan buas yang bertaring kecuali dhib’un (hyena)” padahal
yang seperti ini tidak pernah terjadi dalam syariat iaitu mengkhususkan sesuatu dari sesuatu
dari semua sisi tanpa ada perbedaan antara keduanya. Dan, Alhamdulillah sampai saat
sekarang ini penulis belum pernah melihat satu pun masalah yang seperti ini dalam syariat –
maksud penulis syariat yang diturunkan, bukan syariat takwil -. Bagi orang-orang yang
memperhatikan sabda-sabda baginda yang mulia akan tampak jelas tertolaknya pertanyaan
ini, kerana baginda hanya mengharamkan haiwan yang mengumpulkan dua sifat :
Mempunyai taring dan termasuk haiwan buas yang tabiatnya pemangsa – seperti singa,
serigala, harimau dan macan tutul -. Adapun dhb’un (hyena) itu hanya mempunyai salah
satu sifat ini, iaitu mempunyai taring tetapi bukan haiwan buas pemangsa. Dan tidak
diragukan bahawa haiwan buas lebih khusus daripada haiwan yang mempunyai taring,
sedangkan haiwan buas tidaklah diharamkan kecuali kerana adanya sifat kebuasan yang
akan melahirkan sifat yang sama pada orang yang mengkonsumsinya, kerana orang yang
mengonsumsi sesuatu akan mempunyai kemiripan dengan apa yang dia konsumsi itu.
Demikian juga tidak diragukan bahawa kebuasan yang ada pada singa, serigala, harimau dan
macan tutul tidak terdapat pada hyena sehingga tidak bisa disamakan antara keduanya
dalam hal pengharaman, dan hyena tidak dianggap sebagai haiwan buas dari sisi bahsa dan
tidak pula dari sisi urf (kebiasaan masyarakat), wallahu a’lam.” Selesai.

Adapaun argument pihak lawan yang mengatakan bahawa hadits yang


membolehkan makan hyena tidak masyhur sehingga lebih utama beramal dengan hadits
yang masyhur, maka dijawab dengan mengatakan bahawa hadits yang disebutkan ini telah
dinilai sahih oleh sekelompok imam hadits, sebagaimana Al-Hafiz sebutkan dalam At-Talkhis,
dan beliau berkata dalam Al-fath, “Ada beberapa hadits dengan derajat hasan dalam
masalah penghalalan hyena.”

Perkataan mereka : dalil yang melarang lebih didahulukan daripada dalil yang
membolehkan atau pembolehan itu dianggap terjadi sebelum pengharaman, maka dijawab
dengan mengatakan bahawa apa yang mereka sebutkan bisa ditempuh ketika tidak bisa
mengkompromikan keduanya, sedangkan jalan kompromi di sini masih bisa ditempuh,
wallahu a’lam.

2) Musang () :

Dia adalah binatang liar yang penakut, lemah serta pandai membuat tipu daya dan
licik, hanya sahaja kerana kelihaiannya menipu, dia biasa berjalan bersama haiwan-haiwan
buas yang besar. Di antara bentuk tipuannya dalam mencarai mangsa adalah dia berpura-
pura mati dengan mengembungkan perutnya dan mengangkat semua kakinya agar dikira
mati. Jika ada haiwan lain mendekat, maka dia akan segera melompat dan menerkamnya.
Senjata utamanya dalam hal ini adalah kemampuan memperdaya dan berpura-pura mati.
36

Para ulama berselisih tentang hukum memakannya menjadi dua pendapat :

Pendapat pertama :

Hukumnya mubah, ini adalah mazhab As-Syafie dan juga menurut salah satu riwayat
dari Imam Ahmad. Kerana dia tidak menakuti orang dengan taringnya, haiwan ini termasuk
haiwan yang thayyib dan orang yang memburunya di tanah haram dan dalam keadaan
ihram harus membayar fidyah (dam). Ahmad dan Atha’ berkata, “Semua haiwan yang jika
sesorang memburunya diwajibkan membayar fidyah (dam) maka dia boleh dimakan.”

Pendapat kedua :

Hukumnya haram, ini adalah pendapat Abu Hanifah, dan majoriti riwayat dari
Ahmad yang merupakan riwayat yang benar dari mazhab beliau. Alasannya kerana itu
adalah binatang buas sehingga termasuk dalam keumuman larangan, dan dia mempunyai
taring yang dia memangsa dengannya.

Adapun mazhab Al-Malikiah, menurut prinsip umum yang mereka anut mengenai
masalah ini tidak mengharamkan semua jenis burung dan binatang buas.

 Pentarjihan :

Yang menurut penulis rajih adalah pendapat kedua, iaitu haramnya memakan rubah
atau musang adalah dikeranakan itu termasuk dalam keumuman haiwan buas yang dilarang,
sementara bagi orang yang mengeluarkannya dari hukum umum ini tidak mempunyai dalil.

Apa yang dijadikan alasan oleh orang-orang yang berpendapat bahawa rubah boleh
dimakan dengan mengatakan bahawa binatang ini tidak menakuti dengan taringnya dan
termasuk haiwan yang thayyib, tidak sesuai dengan kenyataan, kerana dia menyerang dan
memangsa dengan taringnya. Kalau seperti itu kenyataannya maka dia adalah haiwan buas
dan haiwan buas tidak termasuk haiwan yang thayyib.

Kata-kata mereka bahawa di tanah haram dan dalam keadaan ihram haiwan ini tidak
boleh diburu dan pelanggarannya dikenai hukuman harus membayar fidyah, adalah
pernyataan yang tidak ada dalilnya dari As-Sunnah, itu hanyalah ijtihad dari sebahagian
ulama.

3) Anjing Liar (Jackal) () :

Ibn Awaa, dibaca mad setelah hamzah. Ini adalah seekor haiwan yang ukurannya
lebih besar dari rubah atau musang tetapi lebih kecil dari anjing, cakarnya panjang serta
agak mirip dengan serigala dan musang. Dinamakan seperti itu kerana haiwan ini ya’wa
(mendatangi) lolongan haiwan lain yang sejenis dengannya, dia tidak melolong kecuali pada
malam hari ketika dia merasa terusik dan tinggal sendiri, lolongannya seperti suara anak
kecil. Para ulama juga berselisih menjadi dua pendapat tentang hukum memakannya :
37

Pendapat pertama :

Hukumnya haram. Ini adalah pendapat Al-Hanabilah dan riwayat paling sahih dalam
mazhab As-Syafi’iyah, kerana haiwan ini dipandang khabits, mempunyai taring yang
dengannya memangsa selain juga memakan bangkai.

Pendapat kedua :

Hukumnya mubah. Ini adalah salah satu riwayat dalam mazhab Al-Hanabilah dan
versi kedua dalam mazhab As-Syafi’iyah, kerana taringnya tidak kuat.

 Pentarjihan :

Yang rajih menurut penulis adalah hukumnya haram. Lemahnya taring yang dijadikan
alasan tidaklah mengharuskan haiwan ini dibolehkan, selagi dipandang khabits dan
memakan bangkai yang merupakan sebab lain yang mengharuskan diharamkan. Akan
dikemukakan penjelasan tambahan tentang masalah ini dalam pembahasan hukum haiwan
yang memakan bangkai, insya Allah.

4) Kucing :

Kata lainnya adalah as-sinnaur (kucing), bentuk jama’nya adalah hirarah, seperti kata
qirad dengan qiradah (kera), sebutan untuk betinanya adalah hirrah, kera ada dua jenis;
yang jinak dan yang liar. Mereka berselisih tentang hukum memakannya : Menurut Al-
Malikiah, kucing dengan kedua jenisnya makruh untuk dimakan. Sedangkan Al-Hanafiah dan
majoriti ulama mengharamkan kedua jenisnya, berdasarkan hadits Jabir dia berkata :

“Sesungguhnya Rasulullah melarang dari memakan kucing dan memakan hasil


penjualannya,” selain juga kerana dia menyerang dengan taringnya.

Ada satu sisi dari mazhab As-Syafi’iyah yang hanya menghalalkan kucing liar. Kerana
kucing terbahagi menjadi jinak dan liar. Mereka menghalalkan yang liar dan mengharamkan
yang jinak, seperti dalam masalah keldai, dan pendapat ini adalah salah satu riwayat dalam
mazhab Al-Hanabilah. Yang tetap dalam kedua mazhab yang disebutkan ini adalah
mengharamkan, sebagaimana pendapat majoriti ulama.

 Pentarjihan :

Yang rajih adalah haramnya kucing secara mutlak, sebagaimana pendapat yang
dikemukakan oleh majoriti ulama, kerana hadits yang ada tidak membedakan antara yang
liar dengan yang jinak. Selain itu, kucing termasuk haiwan yang mempunyai taring sehingga
termasuk dalam keumuman hadits sahih yang melarang memakan semua haiwan buas yang
bertaring.

5) (Hyrax) () :
38

Denagn wau difathahkan dan ba disukun. Haiwan yang ukurannya lebih kecil
daripada kucing, indah matanya dan pendek ekornya. Dalam hukum memakannya juga ada
dua pendapat di kalangan ulama :

Pendapat pertama :

Hukumnya mubah dan inilah yang sahih dari mazhab Al-Hanabilah dan pendapat As-
Syafi’iyah. Kerana yang membunuhnya di tanah haram pada saat berihram maka harus
membayar fidyah, haiwan ini seperti kelinci yang memakan tumbuh-tumbuhan, tidak
mempunyai taring untuk memangsa dan tidak pula masuk dalam kelompok haiwan yang
khabits, sehingga hukumnya mubah.

Pendapat kedua :

Hukumnya haram. Ini adalah riwayat kedua dalam mazhab Al-Hanabilah kerana dia
mirip tikus.

 Pentarjihan :

Yang rajih menurut pandangan penulis adalah pendapat yang membolehkan hyrax
(al-wabr) kerana ta’lilnya kuat dan kerana hukum asal makanan adalah mubah, sementara
keumuman nas mengharuskan mubahnya dan tidak ada dalil yang mengharamkannya.

6) Kuskus (Weasel) ()

Ini adalah haiwan melata kecil yang menyerang tikus dengan cara masuk ke
lubangnya dan menyeretnya keluar. Bentuk jama’nya adalah banatu ‘urs. Para ulama
berselisih menjadi dua pendapat tentang hukum memakannya :

Pendapat pertama :

Haram, dan ini adalah mazhab Al-Hanafiah dan Al-Hanabilah, kerana binatang ini
termasuk haiwan buas dan berbisa sehingga termasuk dalam keumuman larangan memakan
daging haiwan buas.

Pendapat kedua :

Hukumnya mubah. Ini adalah pendapat As-Syafi’iyah, kerana haiwan ini tidak
mempunyai taring yang kuat dan mirip dengan dhab (biawak), sehingga tidak termasuk
dalam keumuman larangan memakan daging haiwan buas bertaring seddangkan hukum asal
makanan adalah mubah.

 Pentarjihan :

Yang rajih adalah yang mengharamkan kuskus kerana dia memangsa dengan
taringnya sehingga termasuk dalam keumuman larangan makan daging haiwan buas selain
39

kerana dipandang khabits, maka berkumpullah padanya dua alasan yang mengharuskan
pengharamannya.

7) Marmut (Jerboa) () :

Dengan huruf ya difathah dan setelahnya huruf ba. Haiwan yang kaki belakangnya
panjang dan kaki depannya sangat pendek, mempunyai ekor seperti ekor tikus, tidak
mengangkat ujung ekornya ke atas seperti bunga dan warnanya seperti warna kijang.

Hukum memakannya : Para ulama berselisih menjadi dua pendapat dalam masalah
ini :

Pendapat pertama :

Hukumnya mubah dan ini adalah mazhab Al-Hanabilah dan juga pendapat As-
Syafi’iyah. Mereka memberi alasan bahawa kerana orang-orang Arab menganggapnya
thayyib, taringnya lemah dan wajib bagi orang yang berihram –jika dia membunuhnya
membayar denda. Argumen ini patut ditinjau kerana di dalamnya melibatkan anggapan
thayyib atau tidaknya bagi orang Arab dalam menentukan hukum halal dan haramnya serta
wajib fidyah atas orang yang ihram jika dia membunuhnya, tidak diriwayatkan dari Nabi
melainkan merupakan keputusan hukum yang Umar tetapkan dengan ijtihadnya.

Pendapat kedua :

Hukumnya haram, dan ini adalah pendapat Al-Hanafiah dan salah satu riwayat dari
Imam Ahmad. Sebab, haiwan ini termasuk buas yang berbisa dan kerana menyerupai tikus.

 Pentarjihan :

Yang rajih adalah pendapat yang membolehkan memakan yarbu’, tetapi bukan
kerana berdalilkan dengan alasan yang dikemukakan oleh para ulama yang
membolehkannya, melainkan kerana hukum asalnya adalah mubah, sementara tidak ada
dalil yang mengharamkannya. Menggolongkannya ke dalam haiwan buas tidak bisa diterima
kerana kriteria haiwan buas tidak ada padanya. Juga tidak benar mengqiyaskannya dengan
tikus kerana adanya perbedaan di antara keduanya : Tikus termasuk haiwan kotor yang
diperintahkan untuk dibunuh sedangkan yarbu’ tidak.

8) Dhab :

Dengan huruf dhad difathah, adalah seekor haiwan darat yang dikenal luas. Hukum
memakannya : Mereka berselisih mengenai maslah ini menjadi dua pendapat :

Pendapat pertama :

Mubah, dan ini adalah pendapat As-Syafi’iyah dan Al-Hanafiah. Dalil mereka adalah
hadits-hadits yang membolehkannya, di antaranya :
40

a. Hadits Khalid bin Al-Walid, bahawa dia bersama rasulullah masuk menemui
Maimunah. Dia adalah bibinya dan bibi Ibnu Abbas. Maimunah mempunyai sedikit daging
dhab pemberian saudara perempuannya, Hafidah binti Al-Harits dari daerah Najd. Lalu ia
menyajikan dhab itu kepada Rasulullah dan beliau hendak meraih dengan tangannya ke
daging tersebut, tetapi salah seorang dari perempuan yang hadir ketika itu berkata :

“Khabarkanlah kepada Rasulullah tentang hidangan yang kalian berika kepada baginda
ini.” Mereka berkata, “Itu adalah dhab wahai rasulullah,” maka rasulullah menarik
kembali tangannya. Khalid bin Al-Walid bertanya, “Apakah biawak haram wahai
Rasulullah?” Lalu baginda mwnjawab, “Tidak, hanya sahaja tidak ada di negeri kaumku
sehingga aku merasa jijik memakannya.” Khalid berkata, “Lalu aku mengambil sekerat
darinya kemudian memakannya, sedangkan rasulullah melihatku tetapi baginda tidak
melarangku.”

b. Dari Ibnu Umar dia berkata :

“Sesungguhnya Rasulullah ditanya tentang biawak, maka baginda bersabda, “Aku tidak
memakannya tetapi aku tidak mengharamkannya.”

Dalam sebuah riwayat lain dari Ibnu Umar :

“Rasulullah pernah bersama beberapa orang sahabat yang di antara mereka adalah
Saad. Lalu disajikan kepada mereka daging biawak. Maka, salah seorang isteri Nabi
berteriak, “itu adalah daging biawak.” Maka, Rasulullah bersabda, “Makanlah kalian,
kerana itu adalah halal. Hanya sahaja itu tidak termasuk makanan yang biasa aku
makan.”

Pendapat kedua :

Mengharamkan biawak. Ini adalah pendapat Al-Hanafiah. Mereka berhujah dengan


beberapa dalil :

a. Haiwan ini termasuk haiwan melata dan beracun.

b. Haiwan ini termasuk yang khabits sementara Allah mengharamkan yang khabits.

c. Hadits Aisyah bahawa Rasulullah pernah dihadiahi daging dhab tetapi baginda tidak
mahu mamakannya. Kemudian datng seorang wanita yang meminta makanan dan Aisyah
berniat memberikan makanan itu kepadanya, maka rasulullah bersabda kepadanya :

“Apakah kamu memberikan kepadanya makanan yang kamu sendiri tidajk mahu
memakannya?!”

Baginda tidak mungkin menolaknya hanya kerana jiwa baginda yang mulia merasa jijik
terhadapnya, kerana jika demikian halnya nescaya baginda tidak akan melarang bersedekah
dengannya, seperti kasus domba sahabat Anshar ketika baginda tidak mahu memakannya
tetapi memerintahkan agar bersedekah dengannya.
41

d. Dhab (biawak) termasuk haiwan mamsukh sementara haiwan yang mamsukh haram
untuk dimakan, seperti beruang, kera dan gajah sebagaimana diceritakan. Dalilnya adalah
apa yang diriwayatkan dari Rasulullah bahawa baginda ditanya tentang dhab, lalu baginda
bersabda :

“Sesungguhnya suatu umat terdahulu ada yang diubah menjadi haiwan di bumi dan aku
khuatir kalau haiwan ini termasuk darinya.”

Ini kesimpulan dari dalil-dalil yang dipakai oleh penulis Al-Bada’I As-Shana’I dalam
mengharamkan dhab, dan insya Allah akan datang bantahan atasnya.

 Pentarjihan :

Yang rajih tanpa ada keraguan padanya adalah boleh memakan biawak (dhab)
kerana kesahihan hadits-hadits mengenai hal ini dan jelas. An-Nawawi berkata dalam syarah
Sahih Muslim, “Terdapat hadits-hadits yang disebutkan oleh Imam Muslim dan juga yang
lainnya bahawa Nabi bersabda tentang dhab, “Aku tidak memakannya tetapi aku tidak
mengharamkannya,” dan dalam banyak riwayat, “Aku tidak memakannya tetapi tidak
mengharamkannya.” Dalam sebuah riwayat disebutkan bahawa Rasulullah pernah
mengangkat tangannya dari (hidangan) biawak, lalu dikatakan kepada baginda, “Apakah itu
haram wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak, hanya sahaja itu tidak ada di negeri
kaumku sehingga aku tidak berselera padanya,” Maka, mereka pun memakannya di
hadapan baginda dan baginda melihatnya.” Ahli bahasa berkata, “Aku tidak berselera
padanya,” adalah aku membencinya kerana menganggapnya kotor.” Selesai.

Semua dalil yang digunakan oleh para pengikut mazhab Hanafi untuk
mengharamkannya dapat dijawab sebagai berikut :

a. Mengenai pendapat mereka bahawa biawak termasuk haiwan kecil dan beracun,
maka yang demikian tidaklah mengharus menjadi haram, apalagi terdapat dalil sahih yang
menghalalkannya.
b. Adapun pandangan mereka bahawa itu termasuk haiwan yang khabits maka tidak
bisa diterima, bahkan termasuk haiwan yang thayyib kerana itu suci serta hanya memakan
rerumputan dan sesuatu lainnya yang suci, dengan demikian baiwak bukanlah haiwan yang
khabits.

c. Adapun hadits Aisyah yang mereka jadikan dalil bahawa Nabi melarang dari
bersedekah dengannya, kerana keharamannya maka, dijawab bahawa tidak ada kepastian
kalau Nabi melarang bersedekah dengannya kerana biawak haram dimakan, justeru ada
kemungkinan perbuatan baginda ini termasuk ke dalam firman Allah swt,

        


          
           
267. Wahai orang-orang Yang beriman! belanjakanlah (pada jalan Allah) sebahagian dari
hasil usaha kamu Yang baik-baik, dan sebahagian dari apa Yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. dan janganlah kamu sengaja memilih Yang buruk daripadanya (lalu
42

kamu dermakan atau kamu jadikan pemberian zakat), padahal kamu sendiri tidak sekali-
kali akan mengambil Yang buruk itu (kalau diberikan kepada kamu), kecuali Dengan
memejamkan mata padanya. dan ketahuilah, Sesungguhnya Allah Maha Kaya, lagi
sentiasa Terpuji. (Al-Baqarah) demikian seperti tidak berkenannya baginda bersedekah
dengan kurma yang sudah tua sekali. Kerana hal yang seperti inilah, baginda tidak berkenan
kalau Aisyah bersedekah dengan dhab, bukan kerana haiwan ini haram melainkan baginda
ingin agar untuk bertaqarrub kepada Allah hanyalah dengan makanan yang terbaik.

d. Adapun perkataan mereka bahawa dia termasuk haiwan mamsukh sementara


haiwan yang mamsukh haram dimakan, serta hadits-hadits yang mereka gunakan untuk
berdalil, maka semuanya dijawab dengan mengatakan bahawa ada banyak hadits
menunjukkan halalnya dhab secara tersurat dan tersirat, dalam bentuk nas dan persetujuan
Nabi. Adapun cara memadukan antara hadits-hadits tersebut dengan hadits-hadits yang
menunjukkan keengganan baginda untuk makan dhab kerana khuatir kalau dia termasuk
haiwan yang mamsukh, sebagai berikut :

Majduddin Ibnu Taimiyah berkata dalam Al-Muntaqa, “Telah ditetapkan riwayat sahih dari
Nabi bahawa haiwan yang mamsukh itu tidak mempunyai keturunan, dan tampaknya
baginda tidak mengetahui hal itu kecuali dari wahyu, sehingga kebimbangan baginda
tentang dhab itu terjadi sebelum turunnya wahyu tentang itu.”

Pernyataan ini lebih diperjelas dengan perkataan Al-Hafiz dalam Al-Fath tatkala dia berkata,
“Hadits-hadits ini walaupun menunjukkan halalnya dhab secara tersurat dan tersirat, dalam
bentuk nas dan persetujuan Nabi, akan tetapi bisa dikompromikan dengan hadits yang
disebutkan (Bahawa dia mamsukh) dengan mengatakan bahawa larangan itu terjadi di
awalnya, iaitu ketika masih ada kemungkinan kalau dia termasuk dari haiwan yang
mamsukh maka ketika itu bagindamenyuruh untuk menumpahkan panic-panci (yang berisi
daging dhab), kemudian setelah itu baginda tawaqquf sehingga baginda tidak mengizinkan
memakannya tetapi juga tidak melarangnya. Pengizinan ini terjadinya pada fasa kedua,
kerana baginda sudah mengetahui bahawa haiwan yang mamsukh tidak mempunyai
keturunan, dan setelah itu baginda jijik terhadapnya sehingga baginda tidak memakannya
tetapi juga tidak mengharamkannya, dan dhab dimakan pada hidangan baginda dengan izin
baginda, maka ini semua menunjukkan hukum boleh.”

PERSOALAN KEEMPAT : Hukum Burung Yang Mempunyai Kuku Tajam.

Al-Mikhlab (cakar) dengan mim dikasrah dan lam difathah, para pakar bahasa
mengatakan : Al-Mikhlab pada unggas dan haiwan buas kedudukannya sama seperti kuku
pada manusia. Yang dimaksud dengannya adalah jika cakarnya kuat dan digunakan untuk
memangsa haiwan lain seperti rajawali, helang, uqab (sejenis rajawali), burung alap-alap
dan syahin (sejenis helang).

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum memakan burung yang bercakar,
dengan uraian sebagai berikut :

1. Majoriti ulama As-Syafie, Ahmad dan Abu Hanifah berpendapat akan haramnya,
dengan dalil hadits Ibnu Abbas dia berkata :
43

“Rasulullah melarang untuk memakan semua haiwan buas yang bertaring dan semua
burung yang bercakar.”

Dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya. Jadi hadits ini sangat jelas menunjukkan
haramnya memakan semua burung yang bercakar, dan hadits-haditsnya sabit dalam Sahih
Muslim dan yang lainnya.

2. Imam Malik berpendapat boleh memakan semua unggas yang bercakar, berdalilkan
keumuman firman Allah swt :

             
           
             

145. Katakanlah (Wahai Muhammad): "Aku tidak dapati Dalam apa Yang telah
diwahyukan kepadaku, sesuatu Yang diharamkan bagi orang Yang hendak memakannya
melainkan kalau benda itu bangkai, atau darah Yang mengalir, atau daging babi - kerana
Sesungguhnya ia adalah kotor - atau sesuatu Yang dilakukan secara fasik, Iaitu binatang
Yang disembelih atas nama Yang lain dari Allah". kemudian sesiapa Yang terpaksa
(memakannya kerana darurat) sedang ia tidak mengingininya dan tidak melampaui
batas, maka Sesungguhnya Tuhan mu Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. (Al-
An’aam), dan kerana tidak ada satu pun nas – menurut beliau – yang mengharamkannya,
sampai-sampai beliau mengatakan, “Aku tidak mengetahui seorang pun dari para ulama
yang memakruhkan makan burung pemangsa.” Sebahagian muridnya mengatakan, “Malik
tidak memakruhkan satu pun unggas untuk dimakan, pemangsa mahupun yang bukan,
pemakan bangkai mahupun yang bukan. Semua ini berdasarkan keumuman ayat dan kerana
tidak ada satu pun nas yang sahih – menurut beliau – dari Nabi yang mengharamkannya.

 Pentarjihan :

Yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat majoriti ulama dan ketiga imam,
kerana keumuman ayat yang Imam malik jadikan sebagai dalil, dikhususkan dengan hadits-
hadits yang menerangkan haramnya semua unggas yang bercakar. Ditambah lagi, ayat itu
turunnya di Makkah sebelum hijrah yang dimaksudkan untuk membantah orang-orang
jahiliyah yang mengharamkan al-bajirah, as-sa’ibah, al-washilah dan al-hami, kemudian
setelah itu Allah mengharamkan banyak perkara, seperti keldai jinak, daging baghal, semua
haiwan buas yang bertaring dan semua burung yang bercakar, wallahu a’lam.

PERSOALAN KELIMA : Hukum Binatang Yang Memakan Bangkai Dan Al-Jallalah.

Telah berlalu pembahasan mengenai burung yang bercakar. Adapun burung yang
tidak bercakar tetapi memakan bangkai – seperti burung nasar, pemakan bangkai dan
sebahagian jenis gagak -, maka menurut Al-Hanabilah dan Al-Hanafiah, burung seperti ini
haram dimakan kerana makanannya khabits sehingga yang khabits ini akan bercampur
dengan dagingnya, sedangkan Allah swt telah mengharamkan atas kita semua yang khabits.
Juga kerana Rasulullah telahmemerintahkan untuk membunuh lima haiwan yang fasik baik
di tanah Haram mahupun di luar Tanah Haram di antaranya adalah gagak dan dia adalah
44

burung pemakan bangkai. Maka, unggas lain yang sama dengannya dalam sifat ini juga
diqiyaskan kepadanya. Rasulullah juga memerintahkan untuk membunuhnya di Tanah
Haram sementara, tidak boleh membunuh haiwan buruan yang bisa dimakan di Tanah
Haram, maka itu menunjukkan haiwan tersebut haramuntuk dimakan.

Mungkin ada yang mengatakan : Bahawa binatang buas itu dibunuh di Tanah Haram
untuk mencegahnya menyerang manusia, kerana semua haiwan yang menyerang di Tanah
Haram harus dibunuh sekalipun itu adalah haiwan yang boleh dimakan. Lagi pula berdalilkan
dengan perintah membunuhnya untuk menunjukkan haramnya adalah pendalilan yang
patut ditinjau.

Ini dijawab bahawa makanan haiwan ini berupa bangkai, cukup untuk
mengharamkannya, sebagaimana haiwan-haiwan yang sejenis lainnya. Menurut mazhab Al-
Malikiah, jenis unggas seperti ini boleh dimakan sebagaimana yang telah dikemukakan
terdahulu – kerana berpegang dengan keumuman firman Allah swt, “Katakanlah (Wahai
Muhammad): "Aku tidak dapati Dalam apa Yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu
Yang diharamkan bagi orang Yang hendak memakannya melainkan…”

 Pentarjihan :

Dari keumuman nas-nas yang mana Allah swt memerintahkan kepada seluruh
hambaNya agar memakan yang thayyib dan melarang mereka memakan semua yang
khabits, juga larangan memakan haiwan-haiwan pemakan bangkai yang akan dijelaskan
kelak, diperoleh petikan hukum akan haramnya mengkonsumsi haiwan yang memakan
bangkai. Sebab haiwan yang memakan bangkai tumbuh dan berkembang di dalam
dagingnya sesuatu yang haram sehingga diapun dipandang sebagai haiwan khabits yang
masuk ke dalam keumuman larangan memakan yang khabits.

Semua nas itu juga mengkhususkan keumuman ayat yangdijadikan pegangan oleh
Al-Malikiah, kerana telah baku pengharaman beberapa perkara setelah turunnya ayat ini.
Allah telah menghalalkan semua yang thayyib dan mengharamkan semua yang khabits.
Rasulullah mengharamkan untuk memakan semua haiwan buas yang bertaring dan semua
burung yang bercakar. Baginda juga melarang makan keldai jinak pada perang Khaibar. Di
antara bukti yang menunjukkan benarnya hal ini adalah adanya ijma’ akan pengharaman
makan kotoran, kencing, haiwan-haiwan kecil dan serangga yang menjijikkan, keldai jinak
dan lain-lainnya dari apa yang tidak disebutkan dalam ayat tersebut.

Hukum Memakan Ternak Dan Unggas Yang Mubah Tetapi Pemakan Kotoran (Jallalah) :

Al-Jallalah dengan jim difathah dan lam ditasydid, adalah bentuk kata eksageratif
yang menunjukkan makna berlebihan. Dia adalah haiwan pemakan kotoran, baik lembu
atau kambing atau unta atau dari jenis unggas seperti ayam, angsa dan selainnya.

Ada dua pendapat mengenai hukum memakannya :

Pendapat pertama :
45

Haram memakannya. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad dan salah satu daru
dua pendapat dalam mazhab As-Syafi’iyah. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar dia
berkata :

“Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan meminum susunya.”

Hadits ini jelas menunjukkan pengharaman makan daging jallalah kerana pada
dasarnya dalam larangan adalah haram.

Pendapat kedua :

Makruh memakan dagingnya. Ini adalah riwayat kedua dari Ahmad, yang paling
sahih dalam mazhab As-Syafi’iyah dan menjadi pendapat mazhab Al-Hanafiah. Kerana
pelarangannya tidak berkaitan dengan zat haiwan tersebut, melainkan berkaitan dengan
sebab lain yang masuk kepadanya, dan itu tidak mengharuskan apa-apa kecuali dagingnya
berubah, tetapi itu tidak membuatnya haram untuk dimakan.

Mereka berselisih dalam beberapa pendapat mengenai kadar najis yang jika kadar ini
dimakan oleh seekor haiwan, maka haiwan itu dipandang sebagai jallalah dan berlaku
padanya hukum berikut ini : Pendapat pertama : Jika haiwan itu memakan lebih banyak
yang najis daripada makananyang bukan najis, maka itu termasuk jallalah. JIka tidak, maka
itu tidak berpengaruh. Ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab Al-Hanabilah,
AlHanafiah dan As-Syafi’iyah. Kerana jika kebanyakan makanannya adalah najis, maka itu
akan merubah dagingnya, sehingga diharamkan untuk memakannya seperti halnya
makanan busuk. Pendapat kedua : Haiwan tersebut dipandang sebagai jallalah jika ia lebih
banyak memakan kotoran. Namun jika hanya memakan sedikit, maka tidak mengubah
hukumnya, dan ini adalah pendapat lain dalam mazhab Al-Hanabilah. Perbedaan antara
‘lebih banyak’ dengan ‘banyak’ menurut hemat penulis jelas. Pendapat ketiga : Yang
menjadi patokan bukanlah masalah banyak tidaknya, melainkan baudan busuk. Jika tercium
dari cairannya dan selainnya bau najis, maka dia adalah jallalah, dan jika tidak, maka bukan
termasuk jallalah. Ini adalah pendapat yang benar dalam mazhab As-Syafi’iyah.

Para ulama yang mengharamkan jallalah berselisih menjadi beberapa pendapat


mengenai lama masa kuarantin jika jallalah itu dikurung supaya tidak memakan kotoran
sehingga dagingnya menjadi halal :

Pertama : Ini adalah pendapat As-Syafie, “Tidak ada batasan waktu tertentu dalam
penentuan lamanya masa kuarantin. Yang menjadi patokan adalah waktu yang diketahui
menurut kebiasaan atau perkiraan bahawa bau najisnya sudah hilang.

Kedua : Lama pengurungan jallalah adalah tiga hari, baik dari jenis unggas mahupun
selainnya. Ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan merupakan pendapat Abu
Hanifah dalam masalah ayam tetapi dia hanya menghukuminya sunnah.

Ketiga : Dibedakan masa kuarantinya, iaitu : Unggas dikurung selama tiga hari,
kambing selama tujuh hari, dan selainnya selama 40 hari. Perincian ini adalah salah sati
riwayat dari Imam Ahmad.
46

 Pentarjihan Dari Ketiga Masalah Yang Berkenaan Dengan Jallalah :

1. Hukum memakan dagingnya : Tampaknya yang rajih adalah haram, kerana kejelasan
pelarangan yang ada serta tidak ada satu dalil pun yang melemahkannya.

2. Adapun yang menjadi patokan dalam sifat jallalah, maka yang rajih adalah jika
kebanyakan makanannya adalah najis. Ini diambil dari bentuk bentuk kata jallalah,
yang menunjukkan makna mubalaghah (berlebihan) yang memberikan pemahaman
makna ‘kebanyakan’.

3. Adapun lama masa kuarantin, maka yang rajih adalah tidak ditentukan, tergantung
perhitungan yang berlaku hingga bekas najis itu sudah hilang darinya. Sebab,
pembatasan waktu tidak ada dalilnya, sementara tujuannya adalah yang terlarang itu
dihilangkan.

Hikmah Dilarangnya Makan Daging Jallalah :

Hikmahnya – wallahu a’lam – adalah upaya Islam menyingkirkan para penganutnya


mengkonsumsi hal-hal yang khabits, walaupun secara tidak langsung, kerana itu akan
mendatangkan pengaruh buruk pada kesihatan dan jalan hidup seseorang. Sebab, orang
yang mengkonsumsi, sesuatu akan mendapat kemiripan dengan apa yang dia konsumsi,
sehingga keburukan yang ada pada makanan akan berpindah kepada orang yang
memakannya dan dia akan berperangai seperti perangainya.

PERSOALAN KEENAM : Hukum Memakan Binatang Yang Dipandang Menjijikkan :

Para pakar bahasa mengatakan, “Asal kata al-khubts dalam bahasa Arab adalah
sesuatu yang tercela, dibenci dan buruk, baik berupa ucapan atau perbuatan atau harta atau
makanan atau minuman atau seseorang atau keadaan. Dan Allah swt mengharamkan segala
sesuatu yang khabits, termasuk di antaranya adalah makanan yang khabits.

Makanan yang khabits ada dua bentuk :

1. Makanan yang khabits kerana zatnya yang ada padanya, seperti darah, bangkai dan
daging babi.

2. Makanan yang khabits kerana salah cara mendapatkannya, seperti makanan yang
diperolrhi dengan cara yang tidak dibenarkan menurut syariat atau dengan akad
yang diharamkan seperti riba dan perjudian.

Tidak diragukan bahawa makanan apa sahaja yang Allah halalkan maka dia adalah
makanan yang thayyib serta bermanfaat untuk badan dan agama, dan apa sahaja yang Dia
haramkan atau sebutkan dengan jelas bahawa itu kahabits maka makanan khabitslah itu
serta mendatangkan mudharat pada badan dan agama. Hanya sahaja masih ada banyak
perkara yang Allah tidak sebutkan dengan jelas akan kehalalannya dan tidak pula akan
47

keharamannya atau bahawa dia khabits, maka bagaimana bisa diketahui sesuatu itu thayyib
ataukah khabits? Dalam masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama :

Pendapat Pertama :

Dikembalikan kepada pandangan orang-orang Arab, sehingga apa sahaja yang


dipandang menurut ukuran umum orang-orang Arab – yang Al-Quran diturunkan kepada
mereka – dan bukan dalam keadaan darurat kerana kelaparan, maka itu adalah haram
berdasarkan firman Allah, “Dan mengharamkan untuk mereka segala yang buruk.” Kerana
makan khabits di kalangan mereka adalah jelas, sehingga makanan apa sahaja yang bersifat
khabits maka itu haram berdasarkan ayat ini. Tidak lepas dari hukum ini sebahagian
makanan yang mereka anggap khabits – seperti bawang putih -, kerana kandungan umum
yang mengeluarkan kandungan yang bersifat khusus dari hukum ini, sehingga dia
dikecualikan dari keumuman nas-nas, dan hujah (pengharaman) tetap berlaku pada
makanan yang tidak dikecualikan oleh dalil. Termasuk dalam hukum ini adalah semua
perkara yang syariat sebutka dengan jelas bahawa dia adalah khabits, kecuali kalau ada dalil
yang menunjukkan bolehnya tetapi tetap dinamakan sebagai makanan yang khabits. Ini
adalah pendapat Al-Hanafiah, As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah. Dalil mereka dalam masalah
ini adalah firman Allah swt, “Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik, dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” Bukan yang dimaksud dengan ‘yang baik’
di sini adalah yang halal, kerana seandainya itu yang dimaksud maka klausanya menjadi :
Aku menghalalkan kepada kalian yang halal, sehingga tidak ada penjelasan tambahan
padanya. Akan tetapi yang dimaksud dengan ‘yang baik-baik’ adalah apa yang dipandang
orang-orang Arab thayyib dan yang dimaksud dengan ‘yang buruk’ adalah apa yang
dipandang orang-orang Arab khabits.

Ini tidak dapat dikembalikan kepada strata manusia sehingga setiap orang akan
menentukan sendiri apa yang mereka anggap thayyib atau yang mereka anggap khabits,
kerana itu akan menyebabkan lahirnya perbedaan hukum dan tidak tetapnya penentuan
halal dan haram yang tentunya sudah bertentangan dengan kaedah-kaedah syariat,
melainkan masalah ini dikembalikan kepada pandangan orang-orang Arab. Merekalah
masyarakat yang pandangannya tentang thayyib dank habitsnya makanan paling pantas
untuk dijadikan sandaran, kerana merekalah yang pertama diajak bicara (melalui wahyu)
dan mereka juga adalah generasi yang moderat, yang tidak tenggelam dalam kenikmatan
makanan yang kotor tetapi mereka juga bukan orang yang sangat menghindari dan
mengkesampingkan makanan yang nikmat, yang mana sifat ini akan melahirkan kesulitan
kepada orang-orang dalam masalah makanan.

Hanya sahaja, orang Arab manakah yang memenuhi criteria ini?

As-Syafi’iyah mengatakan : Dikembalikan kepada orang-orang Arab yang menghuni


kota dan pinggiran kota, bukan orang-orang badwi yang tinggal di lembah-lembah, yang
memakan apa sahaja yang bisa dimakan tanpa memilah dan memilih. Yang dijadikan ukuran
adalah kebiasaan orang-orang yang berkecukupan secara ekonomi dan berharta, bukan
orang yang kekurangan dan membutuhkan, yang dipandang adalah ukuran kemakmuran
dan kesejahteraan, bukan kesulitan dan himpitan hidup.
48

Al-Hanabilah berpendapat bahawa ukuran ‘anggapan thayyib’ adalah pandangan


orang-orang Hijaz perkotaan, kerana Al-Kitab turun kepada mereka serta merekalah yang
pertama diajak bicara dengan wahyu Al-Quran dan dengan As-Sunnah, sehingga makna
lafaz-lafaz mereka harus dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku pada mereka, bukan
selain mereka. Orang-orang yang hidup di pedalaman tidak termasuk hitungan, sebab dalam
keadaan darurat dan kelaparan, mereka memakan apa sahaja yang mereka bisa makan.
Kerananya di antara mereka ditanya tentang apa yang mereka makan, maka iajawab,
“Semua binatang yang merayap dan yang berjalan kecuali ummu hubbain,” lalu mereka
berujar, baik kumbang biasa mahupun kumbang bangkai.

Anda dapat melihat bahawa perbedaan antara kedua pendapat ini adalah bahawa
Al-Hanabilah – sesuai dengan yang telah kami nukil dari mereka – mengkhususkan ukuran
masalah ini kepada penduduk Hijaz, sementara As-Syafi’iyah memberlakukannya secara
umum pada orang yang mempunyai kemudahan rezeki yang tinggalnya di kota di seluruh
negeri-negeri Arab.

Kesimpulan pendapat mereka dalam masalah ini adalah bahawa al-khaba’its adalah
lafaz umum yang mencakup semua perkara yang diharamkan oleh syariat dan yang
dianggap menjijikkan, seperti kalajengking, kumbang, tokek, tikus, ular serta semua jenis
haiwan kecil dan serangga. Inilah kaedah yang mereka sepakati, walaupun terkadang terjadi
perselisihan di antara mereka dalam penerapan criteria ini pada sebahagian haiwan,
sebagaimana yang akan datang penjelasannya insya Allah.

Pendapat Kedua :

Iaitu mazhab Malik yang menyatakan : At-Tahyyibat yang dimaksud adalah semua
yang halal, seolah ia menyamakan yang halal dengan thayyib kerana pengertian thayyib
adalah lafaz yang mengandung pujian dan pemuliaan. Kerananya menurut mazhab ini, al-
kaba’its adalah semua yang diharamkan, dan kerana landasan inilah Imam Malik
menghalalkan semua jenis ular, kalajengking, kumbang dan semacamnya, berdasarkan
firman Allah swt, “Katakanlah (Wahai Muhammad): "Aku tidak dapati Dalam apa Yang
telah diwahyukan kepadaku, sesuatu Yang diharamkan bagi orang Yang hendak
memakannya melainkan kalau benda itu bangkai,…” hingga akhir ayat. Pendalilan dengan
ayat ini dapat dijawab dengan penjelasan yang telah lalu bahawa keumuman ayat ini
dikhususkan dengan adanya pengharaman beberapa hal setelah turunnya ayat, yang mana
semua hal ini tidak disebutkan di dalam ayat.

Mereka juga berdalil dengan hadits at-Talib – dengan huruf ta difathah kemudian
lam dikasrah kemudian huruf ba -, yakni salah seorang sahabat, dia berkata, “Aku
bersahabat dengan Nabi dan aku tidak pernah mendengar satu pun pengharaman terhadap
binatang-binatang kecil dan serangga.” Tetapi berdalil dengan hadits ini dapat disanggah,
bahawa seandainya hadits ini sahih pun di dalamnya tidak ada dalil yang mendukung
pendapat mereka, kerana ucapan Talib, “Aku tidak pernah mendengar,” tidak menunjukkan
bahawa sahabat yang lainnya juga tidak mendengar. Maka, menurut pendapat Imam malik
ini, penilaian khabits dari manusia tidak ada sangkut pautnya dengan pengharaman, tetapi
yang menjadi patokan adalah apa yang disebutkan dengan jelas akan pengharamannya,
49

sedangkan apa yang tidak disebutkan dengan jelas akan pengharamannya, maka dia adalah
halal.

Kami melihat Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menguatkan pendapat ini, dengan
ucapan beliau ketika beliau tengah membantah kelompok yang menafikan hikmah dan
perintah Ar-Rabb yang sabit pada seluruh makhlukNya. Kata-kata beliau adalah sebagai
berikut :

“Allah swt berfirman, ‘Mereka menanyakan kepadamu : ‘Apakah yang dihalalkan


bagi mereka?’ Katakanlah, ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik.” Seandainya makna ‘yang
baik’ di sini adalah apa yang Allah halalkan, maka kalimat ini tidak ada manfaatnya,
kerananya diketahui bahawa thayyib dank habits adalah sebuah sifat yang ada pada suatu
benda. Bukanlah yang dimaksud dengan thayyib adalah sekadar lazatnya makanan, kerana
seseorang adakalanya merasa nikmat dengan makanan yang mendatangkan mudharat bagi
dirinya dari berbagai jenis racun dan apa yang dilarang oleh doctor untuk memakannya,
bukan pula yang dimaksud dengannya adalah kesenangan menyantap sekelompok umat ini,
seperti orang-orang Arab dan bukan pula kerana orang-orang Arab biasa memakannya.
Sebab, hanya kerana sekelompok umat terbiasa memakan sesuatu atau senang
memakannya atau tidak menyukainya kerana makanan itu tidak ada di negerinya, tidak
bererti dengan sendirinya Allah mengharamkannya atas seluruh kaum Mukminin jika tabiat
mereka tidak terbiasa dengannya, dan tidak juga dengan sendirinya Allah menghalalkannya
kepada seluruh kaum Mukminin semua makanan yang mereka biasa makan. Bagaimana
tidak, kerana orang-orang Arab terdahulu sudah terbiasa memakan darah, bangkai dan lain-
lainnya padahal Allah swt telah mengharamkannya. Ada sebahagian orang Arab pernah
ditanya, “Apa sahaja yang kalian makan?” Dia menjawab, “Apa sahaja yang merayap dan
yang berjalan kecuali Ummu Hubbain,” Lalu berujar, baik kumbang biasa mahupun kumbang
kotoran” Orang-orang Quraisy sendiri dahulu biasa makan makanan khabits yang telah Allah
haramkan dan mereka juga memandang jijik terhadap sebahagian makanan yang Allah tidak
haramkan. Dalam asSahihain dari Nabi bahawa disajikan kepada baginda daging dhab maka
baginda menahan tangannya dan tidak memakannya, maka ada yang berkata, “Apakah itu
haram wahai Rasulullah?” Baginda menjawab, “Tidak, hanya sahaja haiwan ini tidak ada di
negeri kaumku seingga aku merasa jijik terhadapnya.” Maka dari sini diketahui bahawa
ketidaksenangan orang-orang Quraisy dan selainnya terhadap makanan tertentu tidaklah
mengharuskan makanan itu diharamkan atas seluruh kaum muslimin, baik yang Arab
mahupun yang ajam(non Arab). Lagi pula, Nabi dan para sahabat baginda tidak ada seorang
pun dari mereka yang mengharamkan apa yang orang-orang Arab tidak senangi dan juga
tidak pernah membolehkan apa yang orang-orang Arab biasa makan. Firman Allah swt, “Dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk,” adalah pengabaran bahawa nabi akan melakukan hal itu. Maka Nabi menghalalkan
semua yang thayyib dan mengharamkan semua yang khabits, seperti semua haiwan buas
yang bertaring dan semua burung yang bercakar kerana mereka ini adalah haiwan
pemangsa yang buas. Maka jika manusia memakannya, kebuasan sifat pemakannya akan
menjadi mirip dengan daging haiwan yang dia konsumsi, perilaku mereka akan berubah
menjadi seperti perilaku binatang-binatang ini, iaitu buas dan liar. Maka yang thayyib adalah
semua yang Allah bolehkan dari makanan yang bermanfaat bagi akal dan perilaku,
sementara yang khabits adalah yang mendatangkan mudharat pada akal dan perilaku.”
Selesai.
50

Beliau juga mengatakan pada tempat yang lain, “Penilaian khabits orang-orang Arab
tidak berpengaruh ‘selagi syariat tidak mengharamkan’, maka itu adalah halal. Ini adalah
pendapat Imam Ahmad dan murid-murid seniornya.” Dengan demikian, dia menilai bahawa
penghalalan mengikuti kebaikan (thayyib) dan maslahat, dan pengharaman mengikuti
keburukan (khabits) dan mudharat pada zat dari sesuatu itu, bukan mengikuti penilaian
manusia. Pendapat beliau ini mempunyai sisi dan sudut pandang tersendiri, sebagaimana
yang anda lihat.

Sebelum mengakhiri pembahasan ini, kami kemukakan bahawa para ulama yang
berpendapat dengan pendapat yang pertama – setelah mereka bersepakat bahawa
penilaian khabits orang-orang Arab berpengaruh dalam masalah halal dan haram -, mereka
berbeda pendapat pada beberapa haiwan, apakah criteria itu ada pada mereka atau tidak.
Di antaranya :

1. Landak :

As-Syafie membolehkannya berdasarkan atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Umar


bahawa beliau pernah ditanya tentang landak, lalu beliau membaca firman Allah swt,
“Katakanlah (Wahai Muhammad): "Aku tidak dapati Dalam apa Yang telah diwahyukan
kepadaku, sesuatu Yang diharamkan bagi orang Yang hendak memakannya …”.

Landak juga haiwan yang dianggap thayyib dan tidak menyerang dengan taringnya,
sehingga dia halal untuk dimakan seperti kelinci.

Al-Hanabilah dan Al-Hanafiah berbeda dengan mereka, iaitu mengharamkannya


dengan alasan landak dianggap khabits kerana mereka memakan haiwan-haiwan kecil dan
serangga. Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah, bahawa landak pernah
disebutkan di sisi Rasulullah lalu baginda bersabda, “Landak adalah termasuk binatang yang
khabits.” Hanya sahaja hadits ini tidak dapat digunakan sebagai hujah dari sisi sanadnya,
sehingga kita mengembalikan kepada hukum asal, iaitu hukumnya boleh sampai ada dalil
yang mengeluarkannya dari hukum asal ini.

2. Landak jambul (an-Nish) dan biasa juga disebut adduldul (hystrix)

As-Syafi’iyah juga membolehkannya kerana binatang ini termasuk haiwan yang


thayyib menurut mereka. Sedangkan Al-hanabilah mengharamkannya kerana menurut
mereka binatang ini adalah haiwan yang khabits.

Perselisihan yang terjadi dalam masalah cabang ini dan yang semacamnya, termasuk
dalil yang menunjukkan lemahnya kaedah yang mereka membangun hukum di atasnya, iaitu
anggapan khabits dan kuatnya pendapat yang tidak memandang khabits.

PERSOALAN KETUJUH : Hukum memakan binatang yang diperintah untuk


membunuhnya, atau yang dilarang daripada membunuhnya.
51

Ada beberapa jenis haiwan dan unggas yang syariat perintahkan agar dibunuh dan
ada juga beberapa jenis yang dilarang untuk dibunuh. Para ulama berselisih menjadi dua
pendapat, apakah bisa dipetik dari sini pendalilan akan haramnya memakan haiwan
tersebut :

Pendapat pertama :

Hal itu menunjukkan pengharaman, kerana perintah untuk membunuhnya – beserta


larangan untuk membunuh haiwan-haiwan ternak yang boleh dimakan tetapi bukan
bertujuan untuk dimakan -, menunjukkan itu adalah haram. Sebab yang tersurat dan yang
langsung difahami, bahawa semua haiwan yang Rasulullah izinkan untuk dibunuh tanpa
melaluio penyembelihan yang disyariatkan adalah haiwan yang haram untuk dibunuh.
Kerana seandainya binatang tersebut bisa dimanfaatkan dengan dimakan maka baginda
pasti tidak akan mengizinkan untuk dibunuh, sebagaimana yang jelas terlihat. Kerananya
diharamkan untuk memakan semua haiwan yang Nabi perintahkan untuk dibunuh,
sebagaimana yang Aisyah riwayatkan, ia berkata, Rasulullah bersabda :

“Ada lima haiwan fasiq yang boleh dibunuh di tanah halal dan tanah haram : Ular, gagak
yang mempunyai bercak-bercak putih, tikus, anjing dan rajawali.”

Dan juga diharamkan memakan apa yang baginda larang untuk dibunuh,
sebagaimana yang Ibnu Abbas riwayatkan, ia berkata :

“Rasulullah melarang untuk membunuh empat jenis haiwan : Semut, lebah, burung
hudhud dan burung shurad.”

Pendapat kedua :

Perintah membunuh haiwan atau larangan membunuhnya tidaklah menunjukkan


pengharaman, kerana Rasulullah tidak memerintahkan membunuhnya kecuali kerana
binatang tersebut sering menyerang dan mengganggu manusia, sehingga baginda
memerintahkan membunuhnya untuk mencegah kejahatannya, bukan kerana dia
diharamkan. Sedangkan haiwan yang baginda larang untuk dibunuh, boleh jadi kerana dia
jarang mengganggu atau alasan lainnya.

 Pentarjihan :

Yang kuat menurut penulis adalah pendapat yang terakhir ini, kerana hukum asalnya
adalah halal, sedangkan yang haram tidak bisa ditetapkan kecuali kalau ada dalil sabit yang
mengeluarkannya dari hukum asal ini. Kerananya haiwan apa sahaja yang tidak ada dalil
sahih yang mengeluarkannya dari hukum asalnya, adalah halal. Adapun berdalilkan atas
pengharamannya dengan perintah untuk membunuhnya, maka itu tidak menunjukkan
pengharaman kerana perintah itu adalah untuk mencegah gangguannya dan keburukan
lainnya atau kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan.

PERSOALAN KELAPAN : Hukum Memakan Binatang Yang Lahir Dari Percampuran Antara
Binatang Yang Halal Dimakan Dengan Binatang Yang Haram Dimakan.
52

Haiwan yang lahir dari haiwan yang halal dimakan dan yang tidak halal dimakan
adalah haram untuk dimakan kerana itu adalah haiwan yang berasal dari dua makhluk
haiwan yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan sehingga sisi pelarangan yang
lebih mendominasi, dan juga kerana dia lahir dari haiwan yang diharamkan sehingga dia
juga mendapatkan hukumnya. Kerananya baghal diharamkan kerana dia adalah keturunan
dari keldai jinak dengan kuda, demikian pula diharamkan anjing hutan kerana dia adalah
keturunan dari serigala dengan hyena, baik yang boleh dimakan itu dari pihak induk jantan
mahupun betinanya.

PERBAHASAN KEDUA : Tentang Haiwan Atau Hidupan Laut.

PERSOALAN PERTAMA : Keterangan Tentang Haiwan-Haiwan Laut Yang Diperselisihkan


Status Halalnya, Serta Pendalilan Dan Pentarjihan.

Telah berlalu pembahasan mengenai haiwan-haiwan darat yang diperselisihkan


kehalalannya, maka perlu kiranya membahas haiwan-haiwan laut yang diperselisihkan
kehalalannya. Allah swt berfirman :

         … 


96. Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut, dan makanan Yang didapati dari laut,
sebagai bekalan bagi kamu (untuk dinikmati kelazatannya) dan juga bagi orang-orang
Yang Dalam pelayaran; … (Al-Ma’idah)

Yang dimaksud dengan laut di sini adalah lingkungan air yang jumlahnya sangat
banyak yang di dalamnya hidup ikan-ikan dan haiwan-haiwan air lainnya yang biasa diburu.
Sedangkan buruan laut adalah semua yang diburu dalam keadaan masih hidup, baik yang
berupa ikan mahupun selainnya. Maka shaid (haiwan buruan lau) yang dimaksud di sini
adalah al-mashid, dan disandarkan kepada al-bahr kerana dia hidup di dalamnya. Ini
mencakup semua haiwan yang biasanya hidup di dalam air dan yang seperti ini terbahagi
menjadi dua :

Pertama : HAiwan yang hidupnya di dalam air dan jika dia keluar darinya maka
hidupnya seperti hidupnya haiwan yang sekarat setelah disembelih. Contohnya ikan dengan
semua jenisnya.

Kedua : Haiwan yang hidupnya di air dan juga di darat, seperti buaya dan kepiting.

Para ulama berbeda pendapat mengenai haiwan laut yang halal dan terbahagi
menjadi beberapa pendapat berikut :

Pendapat pertama :

Semua haiwan laut halal hukumnya. Ini adalah pendapat Al-Malikiah dan riwayat
yang paling sahih dari mazhab As-Syafi’iyah.

Pendapat kedua :
53

Semua haiwan yang hidup di laut, kecuali kodok, buaya dan ular, halal hukumnya. Ini
adalah pendapat Al-Hanabilah.

Pendapat Ketiga :

Semua haiwan yang hidup di laut haram untuk dimakan kecuali ikan khususnya.
Semua jenis ikan halal dimakan kecuali yang mati mengambang. Ini adalah pendapat Al-
Hanafiah dan salah satu pendapat dalam mazhab As-Syafi’iyah.

Pendapat Keempat :

Ikan boleh dimakan, adapu selain ikan maka yang boleg dimakan adalah haiwan yang
terdapat sejenisnya di darat seperti lembu, kambing dan selainnya. Sedangkan haiwan air
yang terdapat sejenisnya di darat tidak bisa dimakan – seperti babi dan anjing laut – maka
hukumnya haram. Ini adalah sisi lain dalam mazhab As-Syafi’iyah dan salah satu pendapat
dalam mazhab Al-Hanabilah.

Dalil masing-masing pendapat :

1. Dalil pendapat pertama adalah mengacu pada keumuman firman Allah swt,
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut,” Ibnu
Abbas berkata, “Buruan laut,” adalah haiwan laut yang diburu dan “makanan dari laut,”
adalah haiwan dilemparkan.” Juga sabda Nabi saw :

“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”

Maka ayat dan hadits ini bersifat umum yang menunjukkan halalnya semua haiwan laut
tanpa ada pengecualian.

2. Dalil pendapat kedua mengacu pada keumuman ayat yang disebutkan terdahulu,
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut,” tetapi dikecualikan darinya kodok kerana
adanya larangan untuk membunuhnya dan itu menunjukkan pengharamannya – bagi yang
berpendapat demikian -. Dikecualikan juga buaya kerana haiwan ini memangsa manusia,
serta ular kerana dipandang sebagai haiwan yang khabits.

3. Dalil pendapat ketiga mengenai haiwan air yang mereka haramkan adalah firman
Allah swt :

      … 


3. Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), dan
darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), … (Al-Ma’idah), dan
Allah tidak membedakan antara yang hidup di darat dengan yang hidup di laut. Juga firman
Allah swt :

      …  …


54

157. … dan ia menghalalkan bagi mereka Segala benda Yang baik, dan mengharamkan
kepada mereka Segala benda Yang buruk; … (Al-A’raaf), dan semua haiwan air selain ikan
adalah khabits seperti kodok, kepiting, ular dan semacamnya.

4. Dalil pendapat keempat mengenai haiwan yang mereka haramkan adalah


menganalogikan haiwan yang hidup di air dengan yang hidup di darat, kerana
penyebutannya juga mencakup haiwan air sehingga berlaku hukum yang sama.

Jadi, dapat disimpulkan dari huraian yang telah dipaparkan bahawa tidak ada
perselisihan di antara ulama tentang halalnya ikan dengan semua jenisnya, kecuali yang
mati mengambang. Mereka hanya berselisih pada haiwan air yang mempunyai kemiripan
dengan haiwan darat yang haram untuk dimakan, seperti ikan duyung, anjing laut, babi laut,
ular laut dan semacamnya.

 Pentarjihan :

Yang lebih rajih menurut penulis adalah pendapat Al-Malikiah, iaitu halalnya semua
haiwan buruan laut berdasarkan firman Allah swt, “Dihalalkan bagimu binatang buruan
laut dan makanan (yang berasal) dari laut,” dan sabda baginda tentang laut, “Laut itu suci
airnya dan halal bangkainya.” dan tidak ada satu pun dalil sahih yang mengkhususkan
keumumannya.

Adapun pendalilan orang yang mengharamkan bangkai haiwan laut secara mutlak
dari keumuman firman Allah swt, “Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai
(binatang Yang tidak disembelih), …” maka jawabannya adalah bahawa keumuman ayat ini
dikhususkan dengan sabda baginda tentang laut, “Laut itu suci airnya dan halal
bangkainya.”

Adapun pendalilan mereka dari keumuman firman Allah swt, “…dan (Dia)
mengharamkan kepada mereka Segala benda Yang buruk; …” untuk mengharamkan
kepiting, ular laut dan semacamnya dari haiwan-haiwanlaut, maka kami tidak sepakat kalau
semua haiwan ini dipandang khabits. Dan hanya dengan klaim bahawa haiwan-haiwan
tersebut termasuk khabits tidak bisa dipakai untuk membantah keumuman dalil-dalil yang
sangat jelas.

Adapun pengqiyasan mereka terhadap haiwan laut kepada yang mirip dengannya
dari haiwan darat dalam hal pengharaman, maka itu adalah qiyas yang bertentangan
dengan dalil yang tegas, iaitu firmanNya, “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut… “
sehingga qiyasnya tidak benar.

PERSOALAN KEDUA : Hukum Bangkai Binatang-Binatang Laut, Serta Pendalilan Dan


Pentarjihan.

Haiwan laut terbahagi menjadi dua : Ada yang hidupnya di dalam air tetapi jika
keluar darinya maka dia akan mati, seperti ikan. Adapula yang hidupnya di darat dan juga di
air, seperti kodok dan semacamnya.
55

Adapun haiwan yang tidak bisa hidup kecuali di air, maka mengenai hukum
bangkainya ada perincian sebagai berikut :

Pertama : Yang mati dengan sebab yang jelas, seperti diestrum, atau terkena
lemparan batu, atau surutnya air, atau ditombak oleh nelayan, atau sebab lainnya, maka
hukumnya halal berdasarkan kesepakatan para ulama.

Kedua : Yang mati secara alami lalu mengambung di permukaan air dengan posisi
perut di atas, maka menurut tiga imam (iaitu) Malik, As-Syafie dan Ahmad adalah halal,
sedangkan menurut Abu Hanifah itu tidak halal.

Dalil ketiga imam dalam menghalalkannya adalah firman Allah swt, “Dihalalkan
bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut,” dan yang dimaksud
dengan ‘makanannya’ – menurut majoriti ulama – adalah bangkainya, sehingga ini
menunjukkan bolehnya memakan bangkai haiwan laut secara mutlak. Juga sabda baginda
tentang laut, “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” dan hadits Jabir bahawa dia
berkata :

“Kami pasukan khabath dan pimpinan kami adalah Abu Ubaidah. Di tengah peperangan,
kami mengalami kelaparan yang sangat parah. Kemudian ada seekor ikan sudah mati
yang terdampar di pantai. Ukurannya sangat besar dan kami belum pernah melihat yang
sebesar itu sebelumnya, yang disebut ikan paus. Maka, kami memakannya selama
setengah bulan. Abu Ubaidah mengambil salah satu dari tulang-tulangnya, dan kerana
demikian besarnya, pengendara haiwan kenderaan dapat berjalan di bawahnya. Setelah
kami tiba di Madinah, kami menceritakan hal itu kepada Nabi, lalu baginda bersabda,
‘Makanlah oleh kalian, itu sebagai rezeki dari Allah kepada kalian. Berikan juga kepada
kami kalau ada yang kalian bawa pulang.’ Maka Abu Ubaidah pun memberikan kepada
beliau daging ikan yang dia bawa, lalu baginda pun memakannya.” Muttafaqun ‘Alaihi.

Jadi, dalam hadits ini terdapat dalil akan halalnya bangkai laut, baik dia mati dengan
sendirinya atau mati kerana diburu. Permintaan baginda atas sebahagian dagingnya kepada
mereka lalu baginda memakannya bertujuan untuk betul-betul menenangkan hati mereka
akan kehalalannya, tidak ada keraguan dalam kehalalannya dan bahawa baginda juga
menyukai itu untuk diri baginda sendiri.

Adapun dalil Abu Hanifah dalam mengharamkan ikan yang ditemukan mati
mengambang adalah hadits Jabir, dari Nabi bahawa baginda bersabda :

“Binatang air yang mati kerana surutnya air maka makanlah, apa yang mati keran
dilemparkan oleh air (terdampar di pantai) maka makanlah dan apa yang mati
mengambang di permukaan air maka janganlah kamu memakannya.”

Mereka mengatakan : Bangkai ikan yang diperbolehkan dalam hadits di atas adalah
haiwan yang dinisbahkan pada laut agar supaya kematiannya juga dikaitkan dengan laut
bukan yang mati di laut tanpa sebab yang jelas. Mereka menjawab terhadap dalil yang
dipakai oleh ketiga imam lainnya dan majoroti ulama dengan jawaban sebagai berikut :
56

Mereka menjawab dengan menggunakan dalil dari ayat, iaitu firman Allah swt,
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut,” dengan
mengatakan, “Tidak ada hujah dalam ayat ini, kerana yang dimaksud dengan firmanNya,
“dan makanan (yang berasal) dari laut,” adalah apa yang terdampar di pantai lalu dia mati,
demikian yang dikatakan oleh para ahli tafsir. Yang seperti ini halal menurut kami kerana dia
bukan at-thafi (mengapung), yang dianggap at-thafi adalah ikan yang mati di air tanpa sebab
yang jelas dan kejadian tertentu, sedangkan akan yang terdapat dalam hadits itu mati akibat
kejadian tertentu iaitu terdampar di pantai, sehingga dia tidak dinamakan at-thafi. Yang
dimaksud dalam hadits-hadits yang membolehkan bangkai laut adalah yang selain at-thafi
berdasarkan keterangan yang telah kami sebutkan.

 Pentarjihan :

Yang rajih adalah pendapat imam yang tiga dan majoriti ulama, iaitu halalnya semua
bangkai laut. Kerana untuk mengkhususkan suatu nas yang bersifat umum, harus ada
dalilnya dari Al-Kitab atau As-Sunnah yang menunjukkan pengkhususan itu.

Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh Al-Hanafiah dalam mengharamkan memakan
at-thafi, maka itu adalah hadits yang lemah berdasarkan kesepakatan para imam hadits dan
tidak boleh berhujah dengannya seandainya pun tidak ada dalil lain yang bertentangan
dengannya, maka apa lagi kalau itu bertentangan dengan hadits-hadits yang sahih. Qiyas
juga mengharuskan halalnya bangkai binatang laut secara mutlak kerana seekor ikan
bilamana mati di darat maka boleh dimakan tanpa perlu disembelih, jika air surut atau
kerana dibunuh oleh akan lainnya maka itu boleh dimakan, maka demikian pula bilamana
mati pada saat berada di laut.

Pengakhususan mereka terhadap makanan laut yang ada pembolehannya di dalam


ayat yang mulia tersebut dengan apa yang terdampar di pantai adalah pengkhususan tanpa
dalil, kerana ayat ini bersifat umum. Demikian pula pengecualian mereka dengan at-thafi
dari semua bangkai laut dan hukum mereka akan pengharamannya adalah pengecualian
tanpa dalil yang mengkhususkannya dari keumuman dalil-dalil yang membolehkan bangkai
laut secara mutlak.

PERSOALAN KETIGA : Hukum Binatang Yang Hidup Di Darat Dan Di Laut.

Mengenai haiwan air yang hidup di darat seperti kodok, kura-kura, kepiting dan
penyu, para ulama berselisih dalam penghalalannya :

Imam Malik berpendapat bahawa itu hukumnya halal secara mutlak berdasarkan
firman Allah swt, “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal)
dari laut,” dan selain binatang buruannya, tidak ada makanan dari laut kecuali bangkainya,
sebagaimana yang dikatakan oleh majoriti ulama. Juga sabda baginda, “Laut itu suci airnya
dan halal bangkainya.” Dalam hadits ini ada penegasan bahawa bangkai laut adalah halal,
sehingga itu mencakup semua bangkai yang ada di laut.

An-Nawawi menukil bahawa yang menjadi patokan dalam mazhab As-Syafie adalah
halalnya bangkai semua yang hidup di air kecuali kodok. Adapun apa yang disebutkan oleh
57

penganut mazhabnya atau sebahagian mereka bahawa kura-kura, ular laut dan kera air
haram, maka itu difahami sebagai air selain air laut. Unggas air seperti bebek, angsa dan
semisalnya adalah halal – sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu – tetapi
bangkainya tidak halal tanpa ada perselisihan, bahkan disyaratkan dia harus disembelih.
Penulis kitab “Mughni Al-Muhtaj” menambahkan dengan mengatakan, “Ini didukung oleh
ucapan As-Syamil setelah dia membawakan nas-nas yang menghalalkannya, “Para sahabat
kami atau sebahagian mereka mengatakan : Semua yang ada dalam air adalah halal kecuali
kodok kerana adanya larangan untuk membunuhnya.”

Adapu pendapat Al-Hanabilah dalam masalah ini, maka sebagaimana yang penulis
Al-Mughni nukilkan untuk kita dengan kata-katanya, “Semua haiwan laut yang hidup di
darat hukumnya tidak halal untuk dimakan tanpa disembelih terlebih dahulu, seperti
burung-burung air, kura-kura dan anjing laut, kecuali yang tidak mempunyai darah seperti
kepiting, maka dia halal untuk dimakan tanpa perlu disembelih.”

Adapun Al-Hanafiah, mazhab mereka mengenai masalah ini dibawa pada kata-kata
penulis kitan Bada’i As-Shana’i dengan menyatakan, “Semua haiwan yang hidup di laut
haram untuk dimakan kecuali ikan kerana dia halal untuk dimakan, kecuali at-thafi (berada
di permukaan laut). Ini adalah pendapat ashab kami.”

Jadi, dari pemaparan ringkas ini, kita dapat menarik kesimpulan mengenai pendapat-
pendapat keempat-empat mazhab dalam masalah hukum memakan haiwan laut yang hidup
di darat sebagai berikut :

1. Menurut Al-Malikiah, haiwan halal secara mutlak.

2. Menurut As-Syafi’iyah, halal secara mutlak kecuali kodok dan juga kecuali burung air,
kerana dia tidak halal tanpa disembelih.

3. Menurut Al-Hanabilah, tidak halal secara mutlak kalau tanpa penyembelihan, selain
kepiting kerana dia tidak mempunyai darah.

4. Menurut Al-Hanafiah, semuanya tidak halal kecuali ikan.

BAB KETIGA :

PENDAHULUAN : Pembahagian Haiwan Darat Yang Bisa Dimakan Menjadi Haiwan Yang
Bisa Dijinakkan Dan Haiwan Yang Tidak Bisa Dijinakkan (Liar), Serta Hukum-Hukum Yang
Muncul Darinya

Kita telah selesai dari pemaparan perselisihan yang dapat kami paparkan dalam
masalah haiwan-haiwan darat dan laut yang diperselisihkan hukumnya, serta penjelasan
mazhab-mazhab para ulama dalam masalah itu dan mentarjih yang kuat menurut kami dari
semua pendapat yang ada.

Kerananya benar jika kami mengatakan : Selain dari semua jenis haiwan yang haram
untuk dimakan yang telah disebutkan terdahulu, maka itu adalah mubah secara umum,
58

berdasarkan hukum asal iaitu bahawa segala sesuatu asalnya adalah mubah dan suci.
Walaupun tentunya ada perselisihan dalam beberapa perkara cabang, akan tetapi
pembahasan ini bertujuan untuk menjelaskan kaedah menyeluruh yang semua perkara
cabang itu kembali kepadanya. Lagi pula untuk membahas semua pembahasan cabang
tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama dan pembahasan yang lebih luas dari apa
yang kami catat dalam skema pembahasan tulisan ini.

Tatkala pembolehan memakan haiwan darat ditentukan dengan penyembelihan


atau yang menggantikan posisinya, maka sangat tepat jika kami membahas hukum-hukum
seputar penyembelihan serta perinciannya. Kerananya kami perlu kemukakan bahawa ;

Haiwan yang boleh dimakan tidak lepas dari dua keadaan :

Keadaan Pertama : Dia berada dalam kendali dankekuasaan kita, kita bisa
mengurungnya, membebaskannya, menungganginya, menaikkan barang di atasnya dan kita
mengendalikannya secara penuh yang mana pengendalian dan penundukan ini telah
dianugerahkan kepada kita oleh Yang Maha Pencipa lagiMaha Mengetahui, yang berfirman :

         
         
          
      
12. Dan (Dia lah) Yang menciptakan sekalian makhluk Yang berbagai jenisnya; dan ia
mengadakan bagi kamu kapal-kapal dan binatang ternak Yang kamu dapat
mengenderainya,
13. Supaya kamu duduk tetap di atasnya; kemudian kamu mengingati nikmat Tuhan
kamu apabila kamu duduk tetap di atasnya, serta kamu (bersyukur dengan)
mengucapkan:" Maha suci Tuhan Yang telah memudahkan kenderaan ini untuk kami,
sedang Kami sebelum itu tidak terdaya menguasainya -
14. "Dan Sesungguhnya kepada Tuhan kamilah, Kami akan kembali!" (Az-Zukhruf)

Keadaan Kedua : Haiwan tersebut di luar kekuasaan dan pengendalian kita, lari
menjauhi kita dan sulit bagi kita untuk menangkapnya. Ia terbahagi lagi menjadi dua jenis :

Jenis pertama : Jenis yang hidup menjauh dari manusia, di tebing, di padang pasir
dan di gua-gua yang ada di pergunungan. Atau burung yang tinggal di sarangnya yang dia
buat di pohon yang sangat tinggi sehingga dia tidak terbiasa dipelihara oleh manusia dan
tidak hidup berdampingan dengan mereka. Jenis seperti ini disebut liar (wahsyi) baik dari
jenis haiwan melata mahupun unggas.

Jenis kedua : Haiwan yang tumbuh kembang dengan diternak, dirawat dan tenang
hidup dengan manusia, akan tetapi terjadi suatu kejadian yang menyebabkan dia lari dan
tidak lagi berdekatan dengan manusia, sehingga keluar dari kekuasaan kita dan bergabung
dengan haiwan liar dan kita tidak bisa lagi menangkapnya kembali. Ini dinamakan haiwan
ternak al-mutawahhisyah. Demikian pula haiwan yang terjatuh ke dalam sumur dan
semacamnya dan kita tidak bisa menaikkannya. Tatacara penyembelihannya berbeda sesuai
dengan perbedaan semua keadaan di atas, sebagaimana yang akan dijelaskan – insya Allah –
dalam pembahasan-pembahasan berikut ini.
59

PERBAHASAN PERTAMA : Penyembelihan

PERSOALAN PERTAMA : Definisi Penyembelihan Dan Penjelasan Hikmah-Hikmahnya.

Penyembelihan dari segi bahasa : Az-Dzakah ertinya kesempurnaan sesuatu, di


antara penggunaannya adalah az-dzaka’ dalam pemahaman jika akal orang itu sempurna
dan cepat menangkap. Kata kerjanya : () dan () adalah yang dipakai menyalakan api, dan ()
peperangan dan api jika saya mengobarkannya.

Penyembelihan dari segi syara’ : Az-dzakah menurut syariat adalah menggerek atau
menusuk haiwan darat yang boleh dimakan dengan cara memutuskan tenggorokannya atau
memotong saluran makanannya.

Hukumnya : Umat Islam telah sepakat secara Ijma’ bahawa tidak halal memakan
haiwan yang boleh dimakan selain ikan dan belalang kecuali setelah disembelih atau yang
termasuk makna penyembelihan, berdasarkan firman Allah swt :

        


      
     … 
3. Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), dan
darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-
binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, dan Yang mati tercekik, dan Yang
mati dipukul, dan Yang mati jatuh dari tempat Yang tinggi, dan Yang mati ditanduk, dan
Yang mati dimakan binatang buas, kecuali Yang sempat kamu sembelih (sebelum habis
nyawanya), … (Al-Ma’idah)

Hikmahnya : Membersihkan (tathyib) haiwan yang disembelih, sebab jika haiwan


sudah dialirkan darahnya maka dia menjadi bersih dan akan mempercepatkan pengeringan.
Disebutkan dalam sebuah hadits, “Dzakahnya bumi adalah ketika ia kering,” maksudnya :
Sucinya tanah tersebut dari najis. Maka Az-dzakah dalam haiwan sembelihan adalah untuk
menyucikannya dan dengannya dia dibedakan dari bangkai yang haram. Kerana tidaklah
bangkai diharamkan kecuali kerana tertahannya kelembapan, cairan lain dan darah kotor di
dalam tubuhnya. Sedangkan az-dzakah, tatakala proses mengeluarkan darah dan cairan
yang lainnya dengan penyembelihan maka itu adalah penyebab yang menjadikan halal.
Kalau tidak demikian, maka sekadar kematian tidaklah mengharuskan haramnya haiwan
tersebut, kerana kematian itu bisa terjadi dengan disembelih sebagaimana bisa terjadi
dengan sebab-sebab lainnya. Jika di dalam tubuh seekor haiwan tidak ada darah dan cairan
lainnya yang dapat dikeluarkan dengan penyembelihan, maka itu tidaklah menjadi haram
bilamana mati dan juga tidak disyaratkan penyembelihan dalam penghalalannya, seperti
belalang. Kerananya haiwan yang tidak mempunyai darah yang mengalir tidaklah menjadi
najis ketika dia mati, seperti lalat, lebah dan semacamnya. Dan ikan termasuk dari jenis ini,
60

kerana seandainya ikan mempunyai darah dan cairan lain yang tertahan tidak keluar kalau
dia mati, nescaya dia tidak akan dihalalkan tanpa penyembelihan.

Bangkai juga diharamkan kerana tidak adanya penyebutan nama Allah ketika dia
mati, yang mana penyebutan namaNya sangat berpengaruh pada kesucian haiwan yang
disembelih dan dia juga bisa menjauhkan syaitan. Maka penyembelihan bisa membersihkan
haiwan dengan pembersihan secara lahirian (hissi) dengan mengeluarkan darah darinya,
dan secara batiniah (maknawi) dengan menjauhkan syaitan daripadanya dengan menyebut
nama Allah.

PERSOALAN KEDUA : Syarat-Syarat Penyembelihan Yang Disepakati Dan Diperselisihkan,


Serta Pendalilan Dan Pentarjihan.

Para ulama bersepakat bahawa haiwan yang boleh disembelih adalah haiwan darat,
yang mempunyai darah yang mengalir, bukan haiwan yang diharamkan, bukan haiwan
perang dan bukan pula yang sudah tidak diharapkan kehidupannya kerana benturan keras,
atau ditanduk oleh haiwan lain, atau jatuhdari ketinggian, atau dimangsa oleh binatang
buas. Selain dari ini ada perselisihan yang akan tampak jelas dalam pembahasan berikut :

Penyembelihan menurut syariah mempunyai syarat-syarat yang harus terpenuhi


agar dia dihukumi sah yang dengannya haiwan yang disembelih tersebut menjadi halal
untuk dimakan. Syarat-syarat ini sebahagiannya berlaku pada orang yang menyembelih,
sebahagiannya berlaku pada alat penyembelihan dan sebahagiannya berlaku pada cara
penyembelihan. Jadi dapat kita katakana bahawa penyembelihan secara umum
membutuhkan penjelasan syarat-syarat mengenai lima perkara : Orang yang menyembelih,
alat yang digunakan untuk menyembelih, tempat penyembelihan, tatacara penyembelihan
dan bacaan dalam menyembelih. Berikut ini penjelasannya secara terperinci :

Syarat Pertama : Kelayakan Penyembelih (Tukang Sembelih) :

Seseorang layak untuk menyembelih jika terpenuhi padanya dua syarat, iaitu berakal
dan beragama. Penulis kitab Al-Mughni berkata, “Kesimpulan masalah ini adalah setiap
orang dari kaum muslimin dan ahli al-kitab yang bisa menyembelih, jika dia menyembelih,
maka halal memakan sembelihannya, baik dia laki-laki atau perempuan, baligh atau anak-
anak, orang yang merdeka atau budak, kami tidak mengetahui ada perselisihan dalam
masalah ini.” Kata-kata beliau ini berisi penjelasan mengenai beberapa perkara yang
disyaratkan pada orang yang menyembelih. Berikut huraiannya :

Pertama : Disyaratkan bahawa penyembelih harus berakal sebagaimana yang


dikatakan oleh al-Hanabilah, al-Hanafiah dan al-Malikiah, kerana dipandang perlu
mempunyai tujuan seperti halnya ibadah. Sedangkan orang yang tidak berakal, maka
tujuannya tidak sah sehingga penyembelihannya menjadi sama kalau ada parang yang
mengena dengan sendirinya tepat pada tenggorokan seekor kambing lalu dia
menyembelihnya. Jadi, jika yang menyembelih adalah anak-anak di bawah usia mumayyiz
atau orang gila atau orang mabuk yang hilang akalnya, maka penyembelihannya tidak sah.
61

Yang tampak dalam mazhab as-Syafie adalah tidak disyaratkan orang yang
menyembelih harus berakal, maka sembelihananak kecil di bawah usia mumayyiz atau
orang gila dan orang yang mabuk adalah halal, kerana secara umum mereka mempunyai
maksud dan tujuan, akan tetapi meskipun boleh, itu adalah makruh – sebagaimana yang as-
Syafie sebutkan dalam al-Umm dan dia tegaskan dalam At-Tanbih -, kerana dikhuatirkan
mereka melenceng dari bahagian leher yang harus disembelih.

 Pentarjihan :

Yang rajah adalah orang yang menyembelih disyaratkan harus berakal dan
mumayyiz, kerana di dalam penyembelihan ada bentuk ibadah kepada Allah dan dalam
melakukannya disebut nama Allah, sedangkan ibadah harus disertai dengan niat dan niat itu
tidak aka nada kalau yang menyembelih bukanlah orang yang berakal lagi mumayyiz.

Kedua : Disyaratkan dia harus beragama dengan agama samawi, baik dia seorang
muslim mahupun ahli al-kitab. Keluar dari itu, bererti haiwan yang disembelih oleh orang
kafir selain ahli al-kitab, maka sembelihannya tidak halal. Di sini ada beberapa permasalahan
yang berkaitan dengan sembelihan ahli al-kitab, iaitu : Dalil akan halalnya sembelihan
mereka, hikmah penghalalannya, yang dimaksud dengan ahli al-kitab yang halal
sembelihannya, sembelihan nasrani dari Bani Taghlib, jika ahli al-kitab tersebut tidak
menyebut nama Allah ketika menyembelih, jika dia menyembelih haiwan yang diharamkan
dalam agamanya atau yang lemaknya diharamkan atasnya,jika mereka menyembelih
haiwan yang mereka sebut at-tharif.

1. Dalil akan halalnya sembelihan ahli al-kitab adalah dari Al-Kitab, As-Sunnah dan
Ijma’ :

Adapun dari Al-Kitab adalah firman Allah swt :

 …      … 


5. … dan makanan (sembelihan) orang-orang Yang diberikan Kitab itu adalah halal bagi
kamu, … (Al-Maidah) dan makanan asalnya adalah sebutan untuk semua yang dimakan,
termasuk di dalamnya sembelihan dan di sini itu khusus bermakna sembelihan kerana
makanan selain sembelihan dihalalkan untuk kita baik yang berasal dari mereka mahupun
dari selain mereka. Para ulama tidak berselisih bahawa yang dimaksud denganmakanan di
sini adalah sembelihan, Al-Bukhari berkata, “Ibnu Abbas berkata, makanan mereka adalah
sembelihan mereka,” Ini adalah perkara yang disepakati di antara para ulama, iaitu bahawa
sembelihan mereka halal bagi kaum muslimin.

2. Hikmah Dihalalkannya Sembelihan Ahli Al-Kitab :

Mereka meyakini haramnya menyembelih untuk selain Allah dan mereka tidak
menyebut dalam sembelihan mereka kecuali nama Allah, walaupun mereka meyakini
tentang Allah sesuatu yang Allah Maha Suci, Maha Tinggi dan Maha Bersih dari semua itu.
Maka, mereka menyebut nama Allah pada semua sembelihan dan haiwan korban mereka
dan mereka beribadah kepada Allah dengannya. Kerananya tidak diperbolehkan memakan
sembelihan orang kafir selain mereka dari kalangan pelaku kemusyrikan dan yang semisal
62

dengan mereka, kerana mereka tidak menyebut nama Allah pada sembelihan-sembelihan
mereka, bahkan mereka tidak terbatas hanya memakan daging yang disembelih dalam
makanan mereka tetapi mereka juga memakan bangkai. Berbeda halnya dengan ahli al-
kitab, kerana mereka menisbatkan diri mereka kepada para nabi dan kitab suci, sedangkan
para rasul seluruhnya telah bersepakat akan haramnya menyembelih untuk selain Allah
kerana itu adalah kemusyrikan. Maka orang-orang Yahudi dan Nasrani meyakini haramnya
menyembelih untuk selain Allah, kerananya dihalalkan memakan sembelihan mereka, tidak
pada selain mereka. Inilah sebahagian hikmah yang para ulama sebutkan dalam
pembolehan sembelihan kedua kelompok ahli al-kitab. Jika hikmah ini benar maka itulah
yang diinginkan, tetapi jika tidak maka Allah telah membolehkan sembelihan-sembelihan
mereka, tidak pada selain mereka. Kewajiban kita hanyalah menerima hukumNya baik kita
mengetahui hikmahnya mahupun tidak kita ketahui, wallahu a’lam.

3. Yang Dimaksud Dengan Ahli Al-Kitab Yang Dihalalkan Sembelihannya :

Orang yang beragama dengan ahli al-kitab tidak lepas dari tiga keadaan :

Keadaan pertama : Kedua orang tuanya adalah ahli al-kitab,

Keadaan kedua : Kedua orang tuanya bukan ahli al-kitab,

Keadaan ketiga : Salah satu orang tuanya adalah ahli al-kitab.

Pada keadaan pertama, tidak ada perselisihan akan halalnya, sedangkan pada kedua
keadaan lainnya ada perbedaan pendapat :

Menurut al-Hanafiah, sembelihannya tetap halal pada semua keadaan di atas.


Berikut adalah kata-kata penulis kitab Al-Bada’I dalam masalah ini, dia mengemukakan, “Jika
selain ahli al-kitab dari orang kafir pindah kepada agama ahli al-kitab maka sembelihannya
boleh dimakan. Asalnya adalah dilihat kepada keadaan dan agamanya ketika dia
menyembelih, bukan yang lainnya dan ini adalah dasar ashab kami : Siapa yang pindah dari
suatu agama lalu menetap padanya maka dia dihukumi sama kalau dia memeluk agamanya
yang baru itu sejak asal, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam Kitab An-Nikah.
Adapun anak dari pasangan ahli al-kitab dan selain ahli al-kitab maka menurut kami
sembelihannya boleh dimakan, siapa sahaja dari kedua orang tuanya yang berasal dari ahli
al-kitab, ayah atau ibunya, kerana menjadikan anaknya mengikut kepada orang tuanya yang
ahli al-kitab lebih utama kerana dia yang lebih baik daripada yang lainnya, sehingga
mengikutkan anaknya kepadanya lebih layak.”

Ini juga pendapat al-Malikiah sebagaimana yang ditunjukkan oleh ungkapan Al-Khalil
dalam karyanya Al-Mukhtasar dan As-Syarhul Kabir ketika ia mengatakan dalam kedua kitab
itu dengan teks sebagai berikut, “Sembelihan mumayyiz sah hukumnya, walaupun dia
seorang Samiri –nisbah kepada Samiriah -, salah satu sekte dalam Yahudi, demikian pula
sembelihan orang Majusi yang masuk agama Nasrani atau Yahudi, serta demikian pula
sembelihan ahli al-kitab ashalah atau yang pindah agama – komentatornya menirukan kata-
katanya, “Atau yang pindah agama,” seperti orang Majusi yang masuk agama Nasrani.” –
Selesai.
63

Disebutkan dalam Hasyiyah As-Syarhul Kabir dari kitab-kitab mereka (al-Malikiah)


juga yang teksnya sebagai berikut, “yang tersurat, kata-kata penulis (ad-Dardir)
menunjukkan sahnya sembelihan dari seorang ahli al-kitab dengan syarat-syarat yang akan
disebutkan kelak, walaupun dia asalnya beragama Majusi lalu masuk agama Yahudi atau
walaupun dia asalnya adalah Yahudi lalu dia mengganti dan mengubah kitab sucinya, seperti
penganut As-Samiriah – salah satu sekte dalam Yahudi -, kecuali As-Shabi’yin kerana
walaupun asal mereka adalah Nasrani, akan tetapi kerana besarnya penyimpangan mereka
dari agama Nasrani mereka dihukumi sama dengan penganut Majusi. Demikianlah yang
dikatakan oleh para ulama mazhab ini (al-Malikiah).” Selesai.

Pada kedua pernyataan yang dinukil dari kitab-kitab al-Malikiah ini ada indikasi yang
jelas bahawa pendapat mereka dalam masalah ini sama dengan pendapat al-Hanafiah. Ini
juga telah disinyalir oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ketia dia berkata, “Jika kedua orang
tuanya adalam Majusi maka sembelihannya diharamkan menurut as-Syafie, sebahagian al-
Hanabilah sepakat dengannya dan hal ini juga dinukil dari Malik, akan tetapi dugaan besar
penulis, bahawa itu adalah kekeliruan terhadap Imam Malik kerana penulis tidak
menemukan pendapat ini dalam kitab-kitab pengikut mazhabnya.” Selesai.

Adapun mazhab as-Syafi’iyah dalam masalah ini, maka berikut adalah pernyataan
An-Nawawi dalam kutipan kata-katanya, “Adapun anak dari pasangan ahli al-kitab dengan
selain ahli al-kitab, jika ayahnya bukan ahli al-kitab dan ibunya ahli al-kitab maka
sembelihannya haram seperti halnya pernikahan mereka, tetapi jika ayahnya adalah ahli al-
kitab dan ibunya adalah Majusi maka ada dua pendapat (di dalam mazhab), dan yang paling
benar adalah haram dan pendapat yang kedua adalah halal, dan kedua pendapat ini juga
ada dalam masalah pernikahan mereka.” Selesai.

Dalam mazhab al-Hanabilah tentang masalah jika salah satu dari kedua orang tuanya
bukan ahli al-kitab, ada dua riwayat : Riwayat pertama, halal sembelihannya , dan riwayat
kedua, sembelihannya tidak halal, tanpa ada perincian antara ayah da ibu pada kedua
riwayat ini.

Ini adalah kesimpulan pendapat keempat mazhab dalam masalah sembelihan orang
yang kedua orang tuanya bukan ahli al-kitab sementara dia sendiri seorang ahli al-kitab,
iaitu halal secara mutlak dan dia adalah salah satu riwayat dalam mazhab al-Hanabilah
tetapi dengan syarat ayahnya adalah seorang ahli al-kitab, demikian pula yang tidak sah
dalam mazhab as-Syaafi’iyah.

 Pentarjihan :

Yang rajih dalam masalah ini adalah halalnya sembelihan ahli al-kitab secara mutlak,
baik kedua orang tuanya adalah ahli al-kitab, atau salah satunya shaja, atau keduanya bukan
ahli al-kitab, sebagaimana pendapat ini merupakan mazhab al-Nanafiah, al-Malikiah dan
salah satu riwayat dari Imam Ahmad, kerana yang menjadi patokan adalah agama orang itu,
bukan nasabnya. Sembelihan-sembelihan dan pernikahan mereka halal dibangun di atas
agama mereka, bukan di atas nasab mereka, apakah mereka masuk ke dalam agama ahli al-
kitab sebelum pengutusan Nabi Muhammad atau setelahnya. Kerana Allah telah
64

memerintahkan mereka untuk membeyar jizyah dan tidak mempersyaratkan hal itu
(keadaan orang tua mereka) dan Dia memperbolehkan sembelihan dan makanan mereka
untuk kita dan tidak mempersyaratkan hal itu dalam penghalalannya.

Keberadaan seseorang beragama Islam atau Yahudi atau Nasrani atau nama-nama
agama lainnya, itu adalah hukum yang berkaitan dengan dirinya sendiri dengan akidahnya,
keyakinannya, ucapannya dan ilmunya. Mereka sedikit pun terkena penamaan ini hanya
kerana orang tua mereka terkait dengan penamaan itu, kecuali anak kecil maka hukumnya
di dunia sama seperti kedua orang tuanya kerana dia belum belum beramal sendiri. Tapi jika
dia sudah baligh dan mengucapkan pernyataan keIslaman atau kekafiran maka hukumnya
hanya berkaitan dengan dirinya sendiri berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Jika kedua
orang tuanya orang Yahudi atau Nasrani lalu dia sendiri masuk Islam maka dia dihukumi
termasuk bahagian dari kaum muslimin berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Demikian
pula kalau kedua orang tuanya Muslim lalu dia sendiri kafir maka dia adalah orang kafir
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Kalau dia kafir dengan murtad (keluar dari islam)
maka murtadnya ini tidak boleh dibiarkan walaupun kedua orang tua mereka adalah ahli al-
kitab. Semua hukum yang dikaitkan dengan nama agama, seperti Islam, iman, kafir, nifak,
murtad, yahudi dan Nasrani, semua hukum itu hanya berlaku pada orang yang bersifat
dengan sifat-sifat yang mengharuskan dia mendapatkan hukum itu. Seseorang termasuk
kaum musyrikin atau pelaku kesyirikan walaupun kedua orang tuanya bukanlah musyrik.
Orang yang kedua orang tuanya adalah musyrik sedangkan dia sendiri Muslim maka
hukumnya adalah hukum kaum Muslimin, bukan hukum orang musyrik. Demikian pula jika
dia adalah orang Yahudi atau Nasrani sedangkan kedua orang tuanya adalah musyrik maka
hukumnya adalah hukum Yahudi dan Nasrani walaupun kedua orang tuanya adalah musyrik,
ini bertentangan dengan asal.

4. Hukum Sembelihan Orang-Orang Nasrani Dari Bani Taghlib Dan Semua Orang Arab
Yang Masuk Ke Dalam Agama Yahudi Dan Nasrani :

Ada dua pendapat di kalangan para ulama tentang masalah halalnya sembelihan
mereka :

Pendapat pertama : Haram sembelihan-sembelihan mereka. Ini adalah pendapat as-


Syafi’iyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Pendapat kedua : Sembelihan mereka halal seperti ahli al-kitab lainnya. Ini adalah
pendapat mazhab al-Hanafiah dan riwayat kedua dari Imam Ahmad.

Sumber perselisihannya adalah, apakah penamaan orang-orang yang diberikan Al-


Kitab (ahli al-kitab) juga mengenai orang-orang Arab yang beragama Nasrani dan Yahudi
sebagaimana penamaan itu mengenai umat yang dikhususkan Al-Kitab kepada mereka, iaitu
Bahi Israel dan orang-orang Romawi. Diriwayatkan bahawa Ali dan Ibnu Abbas berselisih
tentang sembelihan-sembelihan Bani Taghlib : Ali berkata, “Sembelihan-sembelihan mereka
tidak boleh dimakan dan perempuan-perempuan mereka tidak boleh dinikahi kerana
mereka tidak berpegang teguh dengan agama Nasrani kecuali dalam masalah meminum
khamar.” Diriwayatkan juga dari beliau bahawa beliau berkata, “Kami memerangi mereka
65

kerana mereka tidak melaksanakan syarat-syarat yang Utsman berlakukan terhadap


mereka.”

Ibnu Abbas berkata, “Bahkan sembelihan-sembelihan mereka halal berdasarkan


firman Allah swt :

 …      … 


51. … dan sesiapa di antara kamu Yang menjadikan mereka teman rapatnya, maka
Sesungguhnya ia adalah dari golongan mereka itu mereka itu. … (Al-Ma’idah), yakni
mereka memberi loyalitas kepada mereka (orang-orang Nasrani), maka mereka termasuk
dari golongan mereka.

Seluruh kaum muslimin dari kalangan sahabat dan selain mereka tidaklah
mengharamkan sembelihan-sembelihan mereka, dan hal ini iaitu pengharaman sebelihan
mereka, tidak diketahui kecuali dari Ali seorang. Diriwayatkan dari Umar bin Al-Kahattab
perkataan yang semakna dengan perkataan Ibnu Abbas. Maka di antara ulama ada yang
menguatkan pendapat Umar dan Ibnu Abbas, dan itu adalah pendapat majoriti ulama
seperti Abu hanifah, Malik dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat dari beliau. Dan di
antara ulama ada yang menguatkan pendapat Ali, dan itu adalah pendapat as-Syafie dan
Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya.

Imam Ibnu Jarir At-Thobari berkata dalam tafsirnya, setelah beliau membawakan
riwayat-riwayat dari Ali dalam masalah ini, “Semua riwayat dari Ali ini hanya menunjukkan
bahawa dia melarang makan sembelihan orang-orang Nasrani Bani Taghlib kerana mereka
tidak berada atas agama Nasrani akibat mereka tidak menghalalkan apa yang agama Nasrani
halalkan dan tidak mengharamkan apa yang agama Nasrani haramkan kecuali dalam hal
khamar. Dan barang siapa menganut sebuah agama yang dia sama sekali tidak berpegang
teguh kepada agama itu, maka dia lebih mendekati lepas dari agama itu daripada ikut
kepada mereka dan para pemeluknya. Kerananya Ali melarang memakan sembelihan orang-
orang Nasrani Bani Taghlib, bukan kerana mereka tidak termasuk dari Bani Israel.” Selesai.

Disebutkan dari Ibnu Abbas bahawa dia berkata, “Makanlah dari sembelihan Bani
Taghlib dan menikahlah dengan perempuan-perempuan mereka, kerana Allah telah
berfirman di dalam KitabNya :

         


            
   
51. Wahai orang-orang Yang beriman! janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani itu sebagai teman rapat, kerana setengah mereka menjadi teman rapat
kepada setengahnya Yang lain; dan sesiapa di antara kamu Yang menjadikan mereka
teman rapatnya, maka Sesungguhnya ia adalah dari golongan mereka itu mereka itu.
Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum Yang berlaku zalim. (Al-
Ma’idah)

Maka seandainya Bani Taghlib tidak mempunyai hubungan dengan mereka kecuali
perwalian, maka mereka sudah termasuk dari mereka.
66

Pangkal perbedaan pendapat antara Ali dan Ibnu Abbas mengenai masalah ini adalah
: Apakah sekadar menisbatkan diri kepada agama Nasrani walaupun tidak mematuhi
hukum-hukumnya, sudah cukup untuk memberlakukan hukum ini kepadanya ataukah
belum cukup? Yang rajah dari kedua pendapat ini adalah pendapat yang menyatakan
halalnya sembelihan-sembelihan mereka kerana mereka berada di atas agama Nasrani.
Keberadaan mereka dari bangsa Arab tidaklah menghalangi penerapan hukum Nasrani atas
mereka sehingga mereka terkena keumuman ayat, “… dan makanan (sembelihan) orang-
orang Yang diberikan Kitab itu adalah halal bagi kamu, …” Dan sikap mereka yang
menggampangkan sebahagian kewajiban dan larangan di dalam agama Nasrani tidaklah
mengeluarkan mereka dari agama Nasrani, wallahu a’lam.

5. Hukum Sembelihan Ahli Al-Kitab Yang Tidak Menyebut Nama Allah Padanya :

Binatang yang ahli al-kitab sembelih tetapi mereka tidak menyebut nama Allah
padanya ada dua keadaan :

Keadaan pertama : Apa yang mereka sembelih dengan tidak menyebut nama siapa
pun sebelumnya, mereka tidak menyebut nama Allah dan tidak juga menyebut nama
selainNya.

Keadaan kedua : Apa yang mereka sembelih dengan menyebut nama Al-Masih atau
Az-Zahrah atau selain keduanya.

Pada keadaan pertama, ada dua pendapat di kalangan ulama mengenai hukum
sembelihannya :

Pendapat pertama : Dia tidak halal secara mutlak, baik kita mengatakan bahawa
tasmiah (membaca basmalah) adalah syarat sahnya sembelihan seorang Muslim ataupun
tidak. Kerana jika kita mengatakan tasmiah adalah syarat halalnya sembelihan seorang
Muslim, maka ahli al-kitab lebih pantas lagi mengamalkannya, dan jika kita mengatakan dia
bukan syarat halalnya sembelihan seorang musli, maka ada perbedaan antara seorang
Muslim dengan ahli al-kitab kerana nama Allah selalu ada di dalam hati seorang Muslim
walaupun dia tidak menyebutnya dengan lisannya, berbeda halnya dengan ahli al-kitab.

Pendapat kedua : Dia halal secara mutlak, baik tasmiah dipersyaratkan pada halalnya
sembelihan seorang Muslim atau tidak. Semua sembelihan ahli al-kitab adalah halal, baik dia
menyebut nama Allah ketika menyembelih atau tidak, berdasarka lahiriah Al-Quran Al-Aziz,
iaitu firman Allah swt :

 …      … 


5. … dan makanan (sembelihan) orang-orang Yang diberikan Kitab itu adalah halal bagi
kamu, … (Al-Maidah), sebab lahiriah ayat ini bersifat umum mencakup haiwan yang tidak
disebut nama Allah ketika disembelih.

 Pentarjihan :
67

Yang rajah menurut penulis adalah pendapat yang pertama, iaitu haramnya
sembelihan ahli al-kitab jika dia tidak menyebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sebab,
yang rajah bahawa tasmiah adalah syarat halalnya sembelihan seorang Muslim dan ahli al-
kitab, berdasarkan firman Allah swt :

           … 
121. Dan janganlah kamu makan dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, kerana Sesungguhnya Yang sedemikian itu
adalah perbuatan fasik (berdosa); … (Al-An’aam), dan ini bersifat umum pada sembelihan
seorang Muslim dan ahli al-kitab. Sedangkan firman Allah, “… dan makanan (sembelihan)
orang-orang Yang diberikan Kitab itu adalah halal bagi kamu, …” yang dimaksud
dengannya adalah binatang yang mereka sembelih sesuai dengan syaratnya, sebagaimana
pada seorang Muslim.

Sedangkan hukum pada keadaan kedua, iaitu binatang yang mereka sembelih
dengan selain nama Allah seperti Al-masih, Az-Zahrah dan selainnya, maka para ulama
berselisih menjadi tiga pendapat tentang hukum sembelihannya :

Pendapat pertama : Haram. Ini adalah pendapat as-Syafi’iyah, al-Hanafiah dan


merupakan riwayat yang paling sahih dari Ahmad. Sebab Al-Quran Al-Karim telah
menegaskan haramnya semua yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah,

        


  … 
3. Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), dan
darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-
binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, … (Al-Ma’idah), dan ini bersifat
umum mencakup sembelihan penyembeh berhala dan ahli al-kitab jika dia menyembelih
dan tidak menyebut nama Allah.

Pendapat kedua : Hukumnya boleh. Ini adalah pendapat sekelompok salaf dan salah
satu riwayat dari Imam Ahmad, kerana itu termasuk dari makanan mereka sedangkan Allah
telah membolehkan makanan mereka untuk kita tanpa ada pengecualian, padahal Allah
telah mengetahui bahawa mereka menyebut selain namaNya dalam menyembelih.

Pendapat ketiga : Ini adalah pendapat al-Malikiah. Jika seorang ahli al-kitab
menyembelih dan memaksudkan dengan sembelihannya untuk mendekatkan diri kepada
sembahan-sembahan mereka dan mereka menjadikannya sebagai persembahan (korban),
sehingga mereka meninggalkan haiwan yang telah disembelih itu dan tidak memakannya,
maka tidak halal bagi kita memakannya kerana itu tidak termasuk ‘makanan mereka’ kerana
mereka tidak memanfaatkannya. Adapun apa yang mereka sembelih untuk diri mereka
dengan tujuan untuk mereka makan, walaupun mereka menyembelihnya pada hari-hari
raya mereka akan tetapi mereka menyebut nama sembahan-sembahan mereka – misalnya –
ketika menyembelihnya untuk mencari berkat, maka itu boleh dimakan tetapi dengan
hukum makruh, kerana itu masuk dalam keumuman firmanNya, “… dan makanan
(sembelihan) orang-orang Yang diberikan Kitab itu adalah halal bagi kamu, …”
68

 Pentarjihan :

Yang kuat adalah pendapat, iaitu bahawa itu haram secara mutlak berdasarkan
keumuman firman Allah swt, “Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang
Yang tidak disembelih), dan darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk
semuanya), dan binatang-binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, …” dan
ini termasuk dari penyembelihan dengan selain nama Allah. Adapun pembolehan memakan
sembelihan ahli al-kitab – walaupun dia bersifat mutlak – akan tetapi dia tetap dibatasi
dengan apa yang tidak mereka sembelih dengan selain nama Allah. Tidak boleh
menghilangkan dan membatalkan pembatasan bahkan nas yang bersifat mutlak harus
dibawa kepada yang terikat (muqayyad), walaupun para ulama yang tidak sependapat
dalam masalah ini mengklaim sebaliknya dengan mengatakan bahawa ayat, “dan binatang-
binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, …” inilah yang mutlak sementara
ayat, “… dan makanan (sembelihan) orang-orang Yang diberikan Kitab itu adalah halal
bagi kamu, …” inilah yang muqayyad, maka yang mutlak harus dibawa maknanya kepada
yang muqayyad sehingga sembelihan ahli al-kitab membatasi apa yang disembelih dengan
selain nama Allah, sementara sembelihan selain untuk Allah membatasi hukum mutlak
kehalalan makanan ahli al-kitab.

Inilah pendapat yang lebih tepat berdasarkan beberapa hal :

Pertama : Allah swt telah menegaskan haramnya semua sembelihan yang tidak
disebut namaNya ketika menyembelih, melarang untuk memakannya dan mengabarkan
bahawa itu adalah kefasikan. Ini merupakan peringatan bahawa sembelihan yang
disebutkan padanya nama selain Allah lebih haram dan lebih patut untuk dikatakan sebagai
kefasikan sehingga itu tidak dihalalkan. Di antara bahagian masalah ini adalah masalah yang
sedang kita bahas.

Kedua : Firmannya : “… dan makanan (sembelihan) orang-orang Yang diberikan


Kitab itu adalah halal bagi kamu, …” telah dikecualikan darinya makanan haram yang
mereka halalkan, seperti bangkai, darah dan daging babi, maka mengecualikan apa yang
mereka halalkan berupa sembelihan dengan menyebut nama selain Allah lebih tepat dan
lebih patut. Maka bukanlah yang dimaksud dari ‘makanan mereka’ adalah semua yang
mereka halalkan walaupun sebenarnya itu haram atas mereka, kerana tidak mungkin bagi
siapa pun untuk berpendapat seperti ini. Bahkan yang dimaksud dengannya adalah semua
makanan yang Allah halalkan untuk mereka, kerana babi termasuk dari makanan yang
mereka halalkan dan babi diharamkan atas kita. Maka pengharaman apa yang disembelih
dengan selain nama Allah atas mereka lebih besar daripada pengharaman babi, kerana
pengharaman apa yang disembelih dengan selain nama Allah termasuk pengharaman
masalah kemusyrikan, sementara pengahraman bangkai, darah dan daging babi termasuk
pengharaman dalam masalah keburukan atas mereka dan maksiat, dan tidak diragukan
bahawa pengharaman maksiat berada di bawah pengharaman kemusyrikan.

Ketiga : Asal pada haiwan sembelihan adalah haram kecuali haiwan yang Allah dan
RasulNya halalkan. Kerananya, sekiranya dianggap dalil yang melarang dianggap
bertentangan dengandalil yang membolehkan maka lebih patut memberlakukan dalil yang
melarang kerana tiga alasan :
69

Pertama : Memperkuat hukum asalnya yang berupa larangan,

Kedua : Itu sikap lebih berhati-hati,

Ketiga : Jika kedua dalil bertentangan maka keduanya gugur sehingga hukumnya
kembali kepada hukum asal pengharaman.

Diantara dalil yang menunjukkan bahawa hukum asal pada haiwan sembelihan
adalah haramadalah sabda Nabi saw tentang anjing pemburu :

Jika ada anjing lain yang bersama dengannya maka janganlah kamu memakan hasil
buruannya, kerana jika kamu membaca basmalah ketika melepaskan anjingmu, kamu
tidak membaca basmalah pada anjing yang lain.

maka ini menunjukkan bahawa hukum asal pada haiwan-haiwan sembelihan adalah haram
hingga ada dalil sahih yang mengeluarkannya dari hukum asal ini.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tatakala keumuman larangan pada firman
Allah swt, “dan binatang-binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, …”
bertentangan dengan keumuman pembolehan pada firmanNya, “… dan makanan
(sembelihan) orang-orang Yang diberikan Kitab itu adalah halal bagi kamu, …” maka para
ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang paling sesuai dengan Al-Kitab
dan As-Sunnah adalah apa yang ditunjukkan dalam kebanyakan perkataan Imam Ahmad,
iaitu pelarangan, walaupun di antara ashab kami yang belakangan ada yang tidak
menyebutkan riwayat ini sama sekali. Hal itu kerana keumuman dari firman Allah, “… dan
binatang-binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, dan Yang mati tercekik,
dan Yang mati dipukul, dan Yang mati jatuh dari tempat Yang tinggi, dan Yang mati
ditanduk, dan Yang mati dimakan binatang buas, kecuali Yang sempat kamu sembelih
(sebelum habis nyawanya), dan Yang disembelih atas nama berhala; …” adalah
keumuman yang terjaga tidak ada satu bentuk apapun darinya yang dikecualikan. Berbeda
halnya dengan makanan ahli al-kitab, kerana disyaratkan padanya penyembelihan yang
membolehkannya untuk dimakan. Kerananya, seandainya seorang ahli al-kitab
menyembelih pada selain tempat yang yang sisyariatkan maka tidak boleh memakan hasil
sembelihannya itu. Kerna tujuan sembeliha ahli al-kitab dalam masalah ini adalah seperti
sembelihan Muslim. Sedangkan jika seorang Muslim menyembelih untuk selain Allah atau
dia menyembelih dengan nama selain Allah, maka sembelihannya tidak boleh dimakan dan
dia menjadi kafir dengan perbuatan itu. Maka, demikian halnya dengan kafir zimmi. Kerana
firman Allah swt, “… dan makanan (sembelihan) orang-orang Yang diberikan Kitab itu
adalah halal bagi kamu, dan makanan (sembelihan) kamu adalah halal bagi mereka
(tidak salah kamu memberi makan kepada mereka). …” adalah sama, walaupun mereka
menghalalkan itu tetapi kita tidak menghalalkannya.Maka tidak semua makanan yang
mereka halalkan adalah halal juga untuk kita, dan kerana terkadang pelarangan
bertentangan dengan pembolehan sehingga pelarangan itu lebih utama didahulukan. Juga
kerana kita telah mengetahui secara yakin bahawa penyembelihan untuk selain Allah atau
dengan nama selainNya sama sekali bukan sebahagian dari agama para nabi , dia termasuk
70

kesyirikan yang mereka munculkan, sehingga alas an yang kerananya sembelihan mereka
dihalalkan ternafikan di sini. Wallahu a’lam.

Inilah yang ditarjih oleh Syeikhul Islam dalam masalah ini dan ini merupakan tarjih
berlandaskan Al-Kitab, As-Sunnah dan kaedah-kaedah syariah.

Adapun pembedaan al-Malikiah antara haiwan yang disembelih dengan selain nama
Allah untuk tujuan taqarrub sehingga itu diharamkan, dengan haiwan yang disembelih
dengan selain nama Allah dengan tujuan hanya untuk memakan dagingnya sehingga itu
dimakruhkan, tidak diharamkan. Pembedaan ini tidak ada dalilnya. Kerana, sebab
pengharaman, iaitu menyembelihnya dengan menggunakan selain nama Allah ada pada
kedua bentuk perbuatan itu tanpa ada perbedaan, maka wajib menyamakan hukum di
antara keduanya.

6. Hukum Sembelihan Orang-Orang Yahudi Terhadap Haiwan Yang Mereka Yakini


Haramnya, Seperti Unta, Burung Unta, Angsa Dan Semua Haiwan Yang Mempunyai
Selaput Di Antara Jari-Jemarinya, Apakah Juga Dihalalkan Bagi Kaum Muslimin :

Ada dua pendapat di kalangan ulama :

Pendapat pertama : Ini adalah pendapat As-Syafi’iyah, yang menonjol dari mazhab
Imam Ahmad dan merupakan pendapat majoriti ashabnya, iaitu hukumnya boleh.

Pendapat kedua : Itu diharamkan bagi kita. Ini adalah pendapat al-Malikiah.

Dalil pendapat pertama adalah berpegang pada keumuman ayat, “… dan makanan
(sembelihan) orang-orang Yang diberikan Kitab itu adalah halal bagi kamu,…”. Dalil
pendapat kedua adalah bahawa niat dalam penyembelihan merupakan syarat untuk
menjadikannya halal haiwan yang disembelih itu dengan penyembelihan. Kerananya barang
siapa berpendapat bahawa itu adalah syarat dalam penyembelihan maka ia akan
berpendapat tidaak bolehnya sembelihan-sembelihan itu, kerana mereka tidak meyakini
halalnya haiwan tersebut hanya dengan penyembelihan. Adapun yang berpendapat bahawa
niat bukanlah syarat pada penyembelihan dan dia berpegang dengan keumuman ayat yang
menghalalkannya, ia akan berpendapat bahawa sembelihan-sembelihan itu boleh dimakan.
Al-‘Allamah Ibnu Al-Qayyim berkata, “Al-Malikiah berdalil akan pendapat mereka dengan
firman Allah swt :

        … 


146. Dan Kami haramkan atas orang-orang Yahudi Segala binatang Yang berkuku, … (Al-
An’aam)

Tatkala haiwan tersebut haram atas mereka maka sembelihan mereka terhadapnya
tidaklah dianggap sebagai dzakah (penyembelihan) sebagaimana jika kita (umat Islam)
menyembelih babi tidak dianggap sebagai dzakah. Dalil ini dibangun atas tiga pendahuluan :

Pertama : Haiwan itu haram atas mereka, dan ini berlaku tetap dengan nas Al-Quran.
71

Kedua : Pengharaman itu masih berlaku dan akan terus berlaku.

Ketiga : Jika mereka menyembelih haiwan yang mereka yakini haramnya maka
sembelihan tersebut tidak menjadikannya halal dimakan.

Adapun yang pertama, berlaku tetap dengan nas Al-Quran. Sedangkan yang kedua
dalilnya adalah kerana sebab pengharaman tersebut masih terus ada, iaitu permusuhan
mereka terhadap kaum Muslimin. Allah swt berfirman :

       …


146. … Demikianlah Kami balas mereka Dengan sebab kederhakaan mereka; dan
Sesungguhnya Kamilah Yang benar. (Al-An’aam)

dan kedurhakaan mereka secara terus-menerus sepanjang kerasulan Rasulullah saw, bahkan
kedurhakaan mereka bertambah besar dengan diutusnya baginda. Maka pengharamannya
bertambah besar dengan bertambah besarnya kedurhakaan mereka. Ini diperjelas dengan
keterangan bahawa dihapuskannya keharaman tersebut hanya menjadi rahmat bagi orang
yang mengikuti Rasul, kerana Allah menghilangkan semua beban dan belenggu dari para
pengikut baginda yang dahulu ada pada mereka sebelum diutusnya baginda tapi Dia tidak
menghapuskannya dari orang kafir kepadanaya. Allah swt berfirman :

       


       
       
         
         
 
157. "Iaitu orang-orang Yang mengikut Rasulullah (Muhammad s.a.w) Nabi Yang Ummi,
Yang mereka dapati tertulis (namanya dan sifat-sifatnya) di Dalam Taurat dan Injil Yang
ada di sisi mereka. ia menyuruh mereka Dengan perkara-perkara Yang baik, dan
melarang mereka daripada melakukan perkara-perkara Yang keji; dan ia menghalalkan
bagi mereka Segala benda Yang baik, dan mengharamkan kepada mereka Segala benda
Yang buruk; dan ia juga menghapuskan dari mereka beban-beban dan belenggu-
belenggu Yang ada pada pada mereka. maka orang-orang Yang beriman kepadaNya, dan
memuliakannya, juga menolongnya, serta mengikut Nur (cahaya) Yang diturunkan
kepadanya (Al-Quran), mereka itulah orang-orang Yang berjaya. (Al-A’raaf)

Adapun pendahuluan yang kedua, iaitu jika merek menyembelih apa yang mereka
yakini haramnya, maka penyembelihan itu tidak menjadikan sembelihan itu halal dimakan,
sebagaimana telah berlalu penjelasannya. Yakni kata-katanya terdahulu. Iaitu kerana itu
bukanlah makanan dari orang yang menyembelinya, kerana itu adalah penyembelihan di
mana orang yang menyembelihnya tidak meyakini kehalalannya sehingga dia sama seperti
menyembelih haiwan yang haram dan tatkala keyakinan orang yang menyembelih
mempunyai pengaruh dalam halal ataau haramnya haiwan yang dia sembelih, maka
seandainya seorang Muslim menyembelih haiwan yang dia yakini tidak halal baginya untuk
menyembelihnya, misalnya haiwan itu hasil jarahan, maka dia dihukumi haram. Jadi, niat
berpengaruh dalam sembelihan sebagaimana dia berpengaruh dalam ibadah.
72

Demikianlah. Adapun Al-Malikiah, mereka berkata, “Pengharaman haiwan yang


disembelih itu atas mereka harus berlaku dengan dalil dari syariat kita, jika tidak berlaku
dengan syariat kita bahkan merekalah yang memberitahukan kepada kita bahawa haiwan
itu diharamkan atas mereka, maka kita makruh untuk memakannya,” yakni : makruh tanzih.
Dan tidak ada alas an bagi penulis mentarjih di antara dua pendapat tersebut dalam
masalah ini.

7. Jika Seorang Ahli Al-Kitab Menyembelih Haiwan Yang Mengandung Lemak Yang
Diharamkan Atas Mereka, Apakah Lemak Yang Diharamkan Atasnya Tersebut Juga
Diharamkan Atas Kita :

Ini termasuk dari masalah yang diperselisihkan menjadi tiga pendapat :

Pendapat pertama : Mubah. Ini adalah perkataan Imam Ahmad dan ashabnya serta
pendapat As-Syafi’iyah.

Pendapat kedua : Haram. Ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab Al-Malikiah
dan sekelompok Al-Hanabilah.

Pendapat ketiga : Makruh. Ini adalah pendapat kedua dalam mazhab Al-Malikiah.

Sebab perselisihan di sini sama dengan sebab yang telah berlalu perbahasannya
dalam masalah perselisihan tentang hukum sembelihan mereka berupa haiwan yang
diharamkan atas mereka. Orang-orang yang membolehkan juga berdalilkan dengan hadits
Abdullah bin Mughaffal dia berkata :

Kami dahulu mengepung istana Khaibar, lalu ada seseorang yang melemparkan
bungkusan yang berisi lemak, akupun melompat untuk mengambilnya dan ternyata di
situ ada Nabi saw, sehingga aku malu kepada baginda.

Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap orang yang melarang memakan apa
yang diharamkan atas mereka, seperti lemak, kerana Nabi menyetujui Ibnu Mughaffal untuk
memanfaatkan bungkusan yang disebutkan dalam hadits tersebut.

Akan tetapi, pendalilan dengan hadits ini dibantah bahawa tidak dapat dipastikan
bahawa lemak itu berasal dari haiwan yang diharamkan atas mereka, bahkan yang tampak,
mereka hanya memakan lemak yang diperbolehkan bagi mereka sehinggan kita juga boleh
memakannya sebagaimana kita boleh memakan sembelihan-sembelihan dan makanan
mereka. Yang tampak adalah bahawa lemak tersebut dari bahagian punggung, usus dan
yang bercampur dengan tulang, kerana itulah lemak yang biasa mereka makan.

Orang yang membolehkan juga berdalil dengan hadits :

Ada seorang perempuan Yahudi menghadiahi Rasulullah saw daging kambing (beracun),
maka baginda makan darinya dan baginda tidak mengharamkan lemak di perut kambing
itu dan tidak pula bahagian lainnya. Ikut menyantap kambing itu bersama baginda, Bisyir
bi Al-Barra’ bin Ma’rur lalu dia meninggal.
73

Sisi pendalilannya adalah beliau serta para sahabat yang bersama beliau memakan
kambing itu dan beliau tidak bertanya kepada mereka (orang-orang Yahudi) apakah ada
wahyu yang turun dalam agama mereka berkenaan dengan lemak kambing yang mereka
yakini keharamannya itu atau tidak.

Demikianlah, dan penulis tidak bisa menentukan pendapat yang rajah pada kedua
masalah ini, iaitu masalah jika ahli al-kitab menyembelih haiwan yang lemaknya
diharamkan, penulis menyikapi tawaqquf, wallahu a’lam.

8. Jika Ahli Al-Kitab Menyembelih Haiwan Yang Mereka Namakan At-Tharif, Iaitu
Haiwan Yang Paru-Parunya Bersatu Dengan Lambungnya, Apakah Itu Diharamkan Atas
Kita Kerana Mereka Tidak Meyakini Kehalalannya, Atau Tidak :

Majoriti ulama tidak mengharamkannya, kerana Taurat tidak mengharamkan at-


tharif dalam pengertian ini, iaitu yang paru-parunya menyatu dengan lambungnya, kerana
yang Taurat haramkan adalah at-Tharif yang bermakna haiwan yang telah dimangsa oleh
singa atau serigala atau binatang buas lainnya. Inilah yang Al-Quran ungkapkan dengan
firman Allah swt :

   …  …


3. … dan Yang mati dimakan binatang buas, … (Al-Ma’idah)

Disebutkan dalam Taurat :

“… dan daging yang ada di padang pasir yang telah dimangsa, janganlah kalian
memakannya,”

lalu para ulama mereka (ahli al-kitab) telah memalingkan makna ini kemudian
mengarahkannya tidak pada tempatnya sehingga mereka menafsirkan at-tharif dengan
penafsiran yang salh ini.

Al-Malikiah berpendapat bahawa at-tharif haram hukumnya dengan makna yang


dimaksudkan oleh orang-orang Yahudi, kerana itu tidak termasuk makanan mereka.

 Pentarjihan :

Yang rajah adalah pendapat majoriti ulama, iaitu halalnya at-tharif – dengan
bermakna ini – jika ahli al-kitab menyembelihnya, kerana pengharamannya tidak berlaku
tetap dan kerana at-tharif yang diharamkan dalam taurat adalah haiwan yang dimangsa
oleh singa atau serigala atau haiwan buas lainnya. Akan tetapi mereka mengalihkan
maknanya dan mereka melampaui batas dengan mentafsirkannya dengan penafsiran yang
Allah tidak maksudkan. Perbuatan mereka itu sama sekali tidak bisa mengubah hukum
kecuali di mata orang yang “Mereka menjadikan pendita-pendita dan Ahli-ahli ugama
mereka sebagai pendidik-pendidik selain dari Allah, … “ (At-Taubah)
74

Syarat Kedua Dari Syarat-Syarat Penyembelihan Yang Berkaitan Dengan Alat


Menyembelih. Alat menyembelih mesti memiliki ciri-ciri berikut :

Ciri Pertama : Ia adalah sesuatu yang tajam, boleh memotong dan mengoyakkan
dengan ketajamannya bukan dengan beratnya.

Ciri Kedua : Ia bukanlah gigi atau kuku.

Jika kedua hal ini terhimpun pada suatu benda maka halal menyembelih dengan
menggunakan benda itu, baik dia terbuat dari besi atau batu atau kayu atau tongkat atau
kaca, berdasarkan keumuman sabda baginda :

Haiwan yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelih, maka
makanlah, kecuali kalau yang dipakai menyembelih adalah gigi atau kuku. Aku akan
mengabarkan kepada kalian mengenai hal itu : Adapun gigi, maka dia termasuk tulang,
adapun (menyembelih dengan) kuku maka dia adalah perbuatan orang-orang Habsyah.

Sabda baginda, “mengalirkan darah” yakni : Mengalirkan dan menumpahkan


banyak darah, baginda menyamakannya denganaliran air yang ada di sungai. Kata ‘ma’ (apa)
berada pada posisi subjek marfu’ (dhammah) kerana dia berada di awal kalimat (ibtida’) dan
prediketnya adalah “maka makanlah”. Dalam hadits ini terdapat penegasan disyaratkanya
benda yang bisa memutus dan mengalirkan darah dalam penyembelihan, tidak cukup
dengan alat yang hanya bisa meremukkan dan melukai hingga ke otaknya, tetapi tidak bisa
mengalirkan darahnya.

Hikmah disyaratkannya pengaliran darah adalah untuk membedakan antara daging


dan lemak yang halal dengan yang haram, juga untuk mengingatkan bahawa bangkai itu
diharamkan kerana darah yang kotor masih tertinggal di dalam tubuhnya. Dalam hadits ini
juga terdapat penegasan akan bolehnya menyembelih dengan menggunakan benda tajam
apa sahaja yang bisa memotong, kecuali kuku dan gigi. Termasuk dalam kategori kuku
adalah kuku manusia dan kuku binatang, baik dia masih melekat pada tubuhnya atau sudah
terlepas, yang suci mahupun yang najis. Termasuk dalam kategori gigi adalah gigi manusia
dan selainnya, yang suci dan yang najis, yang masih berada di dalam mulutnya atau yang
sudah lepas.

Ini adalah pendapat majoriti ulama. Sedangkan Al-Hanafiah berpendapat bahawa


boleh menyembelih dengan menggunakan gigi dan kuku yang terlepas, keduanya hanya
diharamkan digunakan untuk menyembelih ketika keduanya masih bersatu dengan tubuh.
Adapun jika keduanya melukai dengan kuku yang sudah terlepas atau gigi yang sudah
tanggal maka boleh menyembelih dengan menggunakan keduanya tetapi hukumnya
makruh, kerana tatakala dia memotong urat leher maka itu dipandang telah menyembelih
sehingga boleh menyembelih dengan menggunakan keduanya, sebagaimana kalau dia
menyembelih dengan menggunakan batu atau bambu tajam. Mereka menjawab hadits yang
melarang dengan mengatakan bahawa yang dimaksud dengan larangan di situ adalah
larangan untuk menyembelih dengan gigi dan kuku yang masih menyatu di badan, kerana
orang-orang Habsyah melakukan itu hanya untuk memperlihatkan kekuatan mereka, dan itu
menggunakan gigi atau kuku yang masih menyatu dengan tubuhnya, bukan yang sudah
75

terlepas. Ditambah lagi jika gigi dan kuku yang digunakan belum lepas dari tubuh, maka
orang yang menyembelih tersebut harus bertumpu pada sembelihannya hingga haiwannya
tercekik dan remuk sehingga tidak halal dimakan.

 Pentarjihan :

Yang rajah adalah mazhab majoriti ulama, iaitu tidak sahnya menyembelih dengan
menggunakan gigi dan kuku secara mutlak, berdasarkan hadits sahih yang melarang
menyembelih dengan menggunakan keduanya, baik masih menyatu dengan tubuh
mahupun sudah terlepas, kerana apa yang tidak bisa dipakai menyembelih ketika masih
menyatu dengan tubuh maka dia juga tidak bisa dipakai setelah terlepas, seperti selain
benda tajam. Adapun alas an mereka dengan mebgatakan bahawa keduanya bisa memutus
urat leher jika keduanya sudah terlepas, maka itu adalah alas an yang menyelisihi alas an
(ta’lil) yang ada dalam hadits, iaitu kerana menyembelih dengan kuku adalah perbuatan
orang-orang Habsyah sedangkan gigi adalah termasuk jenis tulang, sehingga alas an mereka
itu tidak perlu dipertimbangkan.

Para ulama berbeda pendapat, apakah larangan menyembelih hanya terbatas pada
gigi sahaja sehingga boleh menyembelih dengan tulang lainnya? Atau larangan ini bersifat
umum dari semua jenis tulang, baik berupa gigi maupun yang lainnya? Ada dua pendapat :

Pendapat pertama : Larangan itu hanya terbatas pada gigi, maka tidak boleh
menyembelih dengannya tetapi boleh menggunakan tulang yang lainnya. Ini adalah salah
satu riwayat dari Imam Ahmad dan mazhab dari keduanya.

Pendapat kedua : Larangannya bersifat umum pada seluruh tulang sehingga tidak
boleh menyembelih dengan keduanya. Ini adalah mazhab As-Syafie dan riwayat kedua dari
Imam Ahmad. Kerana sabda baginda : () “Adapun gigi maka dia termasuk tulang,” adalah
peringatan akan tidak bolehnya menyembelih dengan tulang, baik kerana tulang itu ada
yang najis atau kerana itu akan menyebabkan ternajisnya tulang yang dipakai tersebut
sehingga tidak bisa dimakan oleh orang beriman dari kalangan jin, sebagaimana Nabi telah
melarang dari istija’ dengan menggunakan tulang kerana dia adalah makanan saudara kita
dari kalangan jin. Sabda baginda ini adalah qiyas yang pendahuluan keduanya dibuang
kerana sudah dikenal di tengah-tengah mereka. Kalimat lengkap yang menggantikannya
adalah : Adapun gigi, maka dia adalah tulang, sedangkan semua tulang tidak halal dipakai
untuk menyembelih, dan hasil (hukum)nya dihilangkan kerana sudah ditunjukkan oleh
pengecualian. Ini menunjukkan bahawa baginda dari dahulu telah menetapkan bahawa
sembelihan itu tidak sah dengan menggunakan tulang, kerananya baginda hanya
mengatakan, “Maka itu adalah tulang.” Maka, yang merekaa ketahui selamaini adalah
bahawa menyembelih dengan tulang itu tidak sah lalu syariat menyetujui hal itu dan
baginda mengisyaratkannya di sini. Al-Bukhari : Tidak boleh menyembelih dengan
menggunakan gigi, tulang dan kuku.” Hanya sahaja masih tersisa keraguan seputar kalimat
ini, “Adapun gigi maka dia termasuk tulang,” hingga akhir, apakah dia termasuk sabda
Rasulullah sehingga bisa dipakai berhujjah, atau dia adalah mudraj dari ucapan perawi
hadits ini sehingga tidak bisa dipakai berhujjah. Dalam masalah ini ada dua pendapat di
kalangan para ahli al-hadits, yang rajah di antar keduanya adalah merafa’kan ini kepada
Rasulullah dan itu adalah sebahagian dari sabda baginda.
76

 Pentarjihan :

Yang rajah adalah dilarang menyembelih dengan menggunakan tulang secara


mutlak, berdasarkan hadits yang menunjukkan larangan menyembelih dengannya, dan itu
diperkuat dengan hadits-hadits yang melarang untuk istinja’ dengan menggunakan tulang.
Maka hikmah larangan menyembelih dengannya - wallahu

Syarat Ketiga : Memutuskan apa yang wajib diputuskan ketika penyembelihan.

Dalam masalah apa yang harus dipotong dalam penyembelihan dan bagaimana sifat
pemotongannya, ada perselisihan ulama yang harus dijelaskan. Mereka bersepakat bahawa
letak penyembelihan adalah pada tenggorokan dan al-labbah, tidak boleh memotong selain
bahagian ini berdasarkan ijma’. Dkhususkan bahagian ini dalam penyembelihan kerana dia
adalah tempat berkumpulnya urat-urat sehingga ketika disembelih darah akan mengalir
dengan deras, cepat mematikan sehingga dagingnya akan lebih baik dan lebih tidak
menyiksa haiwan tersebut. Penyembelihan pada tenggorokan disebut nahr dan ini dilakukan
pada unta, sedangkan al-labbah adalah bahagian leher yang masuk ke dalam yang terletak
di antara pangkal tenggorokan dengan dada. Maka an-nahr pada leher bahagian bawah
sedangkan az-dzabh pada leher bahagian atas. Adapun yang wajib dipotong dalam
penyembelihan, maka perlu diketahui bahawa pada leher haiwan ada empat urat :

1. Hulqum iaitu tempat keluar masuknya nafas,

2. Mari’ iaitu tempat masuknya makanan dan minuman, dan letaknya di bawah
halqum,

3. Wadjan iaitu dua urat yang ada di pinggir leher dan mengelilingi halqum, dan ada
yang mengatakan mengelilingi mari’.

Keempat urat di atas adakalanya dinamakan al-awdaj al-arba’ah (urat yang empat).

Para ulama sepakat bahawa penyembelihan yang memutuskan keempat urat ini
dengan sempurna adalah penyembelihan yang menghalalkan haiwan itu untuk dimakan.
Kemudian mereka berselisih setelah itu pada beberapa masalah :

Pertama : Jika yang dipotong hanya sebahagian dari keempat urat ini, apakah
sembelihannya sah atau tidak?

Kedua : Jika sah dengan hanya memotong sebahagiannya, urat mana sahajakah itu?

Ketiga : Jika seseorang melampaui batas dalam menyembelih sampai memotong an-
nukha’ (saraf tulang belakang), apakah itu diperbolehkan?

Keempat : Jika haiwan disembelih dari tengkuknya, apakah halal?


77

Kelima : Jika haiwan yang seharusnya digerek (dzabah) malah ditusuk (nahr) dan
yang seharusnya ditusuk malah digerek, apakah halal?

Isu Pertama : Jika yang dipotong hanya sebahagian dari keempat urat ini, maka ada dua
pendapat di kalangan ulama dalam membolehkan sembelihannya

Pendapat Pertama : harus memotong keempat urat itu dan tidak cukup kalau hanya
memotong sebahagiannya. Pendapat ini diriwayatkan dari malik dan merupakan salah satu
riwayat dari Ahmad. Berdasarkan hadits Abu Hurairah dia berkata :

“Rasulullah melarang syarithah syaitan, iaitu haiwan yang disembelih tetapi yang
dipotong hanya kulitnya tetapi tidak memotong semua urat lehernya.”

Syarithah syaitan adalah sembelihan syaitan, dari kata syarth al-hijam.

Penafsiran syarithah sebagaimana yang ada dalam hadits tersebut adalah penafsiran
dari perawinya, bukan dari matan hadits tersebut. Orang-orang jahiliyyah biasa memotong
sebahagian tenggorokannya lalu membiarkannya hingga mati kemudian mereka
memakannya. Perbuatan ini disandarkan kepada syaitan kerana dialah yang mendorong
mereka melakukannya serta dialah yang mengelabuhi dan menghiasi perbuatan buruk ini di
mata mereka. Dan lahiriah hadits ini menunjukkan keharusan memotong semua urat yang
empat ini dalam penyembelihan.

Pendapat Kedua : Cukup memotong sebahagian dari keempat urat ini dalam
penyembelihan, kerana itu sudah memotong letak yang jika dipotong, maka dia akan segera
mati walaupun lebih sempurna kalau memotong keempat urat itu.

Pendapat pertama adalah pendapat Abu Hanifah dan As-Syafie, sedangkan pendapat
kedua adalah pendapat Malik dan riwayat kedua dari Imam Ahmad, berdasarkan sabda Nabi
saw :

“Haiwan yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah padanya ketika menyembelih
maka makanlah.”

Maka hadits ini menunjukkan bahawa penyembelihan itu cukup dengan mengalirkan
darahnya dan itu sudah terwujud dengan memotong sebahagian urat lehernya.

 Pentarjihan :

Yang rajah adalah pendapat kedua. Hadits yang dipegang oleh mereka yang
mensyaratkan harus terpotong semua dijawab dengan mangatakan bahawa asal haditsnya
tidak ada penyebutan ‘urat lehernya’ (al-awdaj), dia hanya merupakan penafsiran dari
perawi. Dikatakan juga bahawa yang dimaksud dengan al-awdaj adalah sebahagiannya,
bukan seluruhnya, kerana artikel lam ta’rif dalam bahasa yang berlaku bagi orang-orang
arab terkadang bermakna sebahagian, dan dengan cara inilah kedua hadits tersebut bisa
dikompromikan. Itupun kalau hadits yang mereka kemukakan itu sahih, sebab, dalam
78

sanadnya terdapat kritik sehingga tidak dapat menandingi derajat hadits yang mendukung
pendapat kami.

Isu Kedua : Menurut pendapat yang menyatakan sah hanya dengan memotong
sebahagian dari keempat urat ini, lalu urat yang manakah itu?

Para ulama yang berpendapat sah dengan cukup hanya sebahagian dari keempat
urat ini, mereka berselisih menjadi beberapa pendapat berikut ini :

Pendapat Pertama : Cukup hanya dengan memotong tiga urat tanpa menentukan
yang mana ketiga urat itu, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah. Sebab itu sudah memotong
sebahagian besar urat leher dan sebahagian besar dapat mewakili hukum keseluruhan pada
masalah yang diberikan keluasan dalam prinsip syariat, sementara penyembelihan termasuk
ibadah diberikan keluasan.

Pendapat Kedua : Wajib memotong ketiga urat berikut : wadjan dan hakqum
(tenggorokan) dan tidak sah memotong kurang dari ketiga urat ini. Ini adalah pendapat yang
paling masyhur dari Malik. Kerana wadjan adalah dua urat tempat mengalirnya darah
sedangkan halqum adalah tempat perlintasan nafas, sehingga tidak boleh hanya memotong
wadjan tetapi tidak memotong halqum, kerana dengan demikian tujuan dari penyembelihan
belum terlaksana tanpa memotong lainnya.

Pendapat ketiga : Wajib memotong ketiga urat berikut : mari’ yang merupakan
tempat masuknya makanan, halqum yang merupakan tempat perlintasan nafas dan salah
satu dari dua urat wadjan yang merupakan tempat mengalirnya darah, kerana jika salah
satunya sudah dipotong maka tujuan dari memotong kedua-duanya sudah tercapai.

Pendapat Keempat : Yang wajib adalah hanya memotong dua urat berikut : Mari’
dan halqum. Inilah pendapat yang benar dan disebutkan dengan jelas dari mazhab As-
Syafi’iyah dan juga merupakan mazhab Al-Hanabilah. Sebab dengan demikian maksud
penyembelihan sudah tercapai dengan memotong keduanya, iaitu nyawanya sudah hilang
dengan memotong keduanya.

Inilah kesimpulan dari pendapat-pendapat mereka dalam masalah urat mana yang
harus dipotong dalam penyembelihan. Yang kuat menurut penulis – berdasarkan dalil-dalil
yang ada – adalah pendapat yang pertama, iaitu wajibnya memotong tiga dari empat urat
tanpa ada penentuan yang mana sahaja ketiga urat itu. Dan itu tidak terlepas dari tiga
kemungkinan berikut : Wadjan dengan halqum, wadjan dengan mari’ atau salah satu wadjan
dengan halqum dan mari’. Yang mana satu dari ketiga kemungkinan ini, maka itu sudah
mengalirkan darahnya, tidak menyiksa haiwan sembelihan dengan cepatnya dia mati. Inilah
yang hendak dicapai dalam penyembelihan, kerana wadjan adalah dua urat tempat
mengalirnya darah sehingga memotong keduanya atau salah satunya sahaja lebig cepat
mengalirkan darah daripada memotong urat lain selain keduanya. Mewajibkan memotong
keduanya – sebagaimana pada pendapat kedua – tidak beralasan kerana keluarnya darah
sudah tercapai dengan memotong salah satunya, sama halnya kalau memotong keduanya.
Mewajibkan memotong mari’ dan halqum – sebagaimana pada pendapat ketiga – dari satu
sisi tidak ada dalilnya dan dari sisi lain tidak perlu dilakukan, kerana yang menjadi tujuan
79

dalam penyembelihan adalah menenangkan haiwan dan menyucikannya denagn


mengeluarkan darah kotornya, dan itu sudah tercapai denga memotong salah satunya
(mari' dan halqum) bersama wadjan atau memotong keduanya bersama salah satu dari
wadjan. Membatasi dengan hanya memotong mari’ dan halqum – sebagaimana pada
pendapat keempat – adalah kurang jika tidak memotong wadjan yang merupakan tempat
mengalirnya darah, sementara keluarnya darah dengan memotong keduanya wadjan atau
salah satunya lebih cepat daripada keluarnya darah dengan memotong selain keduanya,
sedangkan mengalirkan darah termasuk tujuan terbesar disyariatkannya penyembelihan.
Wallahu a’lam.

Isu Ketiga : Jika ia melewati batas dalam memotong hingga memutus nukha’, apakah
sembelihannya halal dimakan?

Haiwan ternak yang disembelih seperti ini dinamakan al-mankhu’ah, dan melakukan
nakh’u pada haiwan sembelihan adalah orang yang menyembelih melampaui batas dalam
memotong hingga memutus nukha’ iaitu benang saraf putih yang ada di dalam tulang
tengkuk dan itu memanjang sampai ke bawah sampai ke tulang sulbi, iaitu benang saraf
tulang punggung yang bersambung dengan otak.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya :

Sekelompok ulama – di antaranya Ibnu Umar – mengatakan : Tidak boleh dimakan.

Kelompok lainnya memakruhkan perbuatan itu tetapi membolehkan untuk


memakannya.

Imam Malik membedakan antara orang yang melewati batas dalam memotong dan
tidak bermaksud untuk memotong nukha’ maka beliau memakruhkannya. Adapu yang
memang meniatkannya maka itu tidak boleh dimakan, kerana ia telah meniatkan untuk
menyembelih dengan cara yang tidak diperbolehkan.

Sebahagian Al-Malikiah mengatakan : Tidak boleh dimakan jika dia memotongnya


dengan sengaja dan bukan kerana tidak tahu, tetapi boleh dimakan jika memotongnya
secara tidak sengaja atau kerana tidak tahu tentang hukumnya. Pendapat ini mirip dengan
pendapat Malik.

Yang rajah adalah boleh memakannya walaupun perbuatannya dimakruhkan kerana


penyembelihan (dzakah) sudah terlaksana dengannya. Akibat paling parah yang disebabkan
dari memotong nukha’ dalam keadaan seperti ini adalah menambah rasa sakit pada haiwan
yang disembelih, hanya sahaja itu tidak mengharuskannya menjadi haram dimakan, dan
tidak ada hujah bagi orang yang melarang memakannya.

Isu Keempat : Jika menyembelih haiwan dari tengkuknya, apakah halal memakannya?

Para ulama sepakat akan disyariatkannya memotong urat-urat yang wajib dipotong
dalam penyembelihan dari arah leher. Dan mereka berbeda menjadi dua pendapat tentang
kehalalan haiwan sembelihan kalau dipotong dari arah tengkuk :
80

Pendapat Pertama : Jika melakukannya dengan sengaja dan tidak terpaksa maka
tidak boleh memakan sembelihannya, kerana memotong dari arah tengkuk adalah yang
menjadi penyebab kematian dan itu dilakukan pada selain letak penyembelihan sehingga
ada penghalang untuk menghalalkannya, sama halnya kalau dia membelah perutnya. Sebab,
orang yang hendak memotong urat-urat leher dari arah tengkuk tidak akan bisa
memotongnya sampai dia memotong nukha’ dan itu adalah cara yang sangat mematikan.
Sehingga akhirnya penyembelihan pun dilakukan pada haiwan yang sudah terbunuh. Ini
adalah pendapat Malik dan salah satu riwayat dari Ahmad. Tapi jika dia tidak sengaja
melakukannya seperti kalau haiwan sembelihannya mengamuk sehingga pisau langsung
mengenai tengkuknya maka itu boleh dimakan kerana ketika binatang itu mangamuk sulit
untuk menyembelihnya dari arah penyembelihan yang seharusnya, sehingga gugurlah
keharusan menjaga letak penyembelihan, seperti haiwan yang terjatuh ke dalam sumur.
Maka ketika itu dia boleh dimakan dengan syarat masih sempat disembelih di lehernya
dalam keadaan dia masih hidup. Akan dikemukakan bantahan mengenai hal ini dalam tarjih,
insya Allah.

Pendapat Kedua : Ada rincian dalam masalah ini, dengan rincian sebagai berikut :

1. Jika pisau mengenai bahagian yang wajib dipotong lalu dia memotongnya dalam
keadaan masih hidup maka boleh dimakan kerana yang demikian itu memastikan
kematiannya dengan cara disembelih, hanya sahaja perbuatan ini makruh kerana
menambah rasa sakit pada haiwan.

2. Jika pisau mengenai bahagian yang wajib dipotong tetapi haiwan yang akan
disembelih itu sudah tidak bergerak, maka itu tidak halal kerana adanya kematian sebelum
disembelih. Rincian ini adalah pendapat Al-Hanafiah, As-Syafi’iyah dan salah satu riwayat
dari Ahmad.

Yang kuat menurut penulis adalah jika penyembelihan dilakukan pada bahagian yang
telah ditentukan dalam keadaan haiwan itu masih hidup walaupun sudah sekarat maka itu
halal dimakan, sama seperti menyembelih haiwan yang sudah dimangsa oleh binatang buas
atau yang jatuh dari tempat tinggi atau yang ditanduk oleh haiwan lainnya. Kerana Allah
berfirman tentangnya, “… kecuali Yang sempat kamu sembelih (sebelum habis nyawanya)
…” sementara ia sempat disembelih. Adapun membedakan antara sengaja dengan tidak
sengaja dalamm masalah ini, maka itu tidak ada dalilnya, dan itu tidak berpengaruh apa pun
selain berdosa orang yang sengaja kerana dia telah menyiksa haiwan.

Isu Kelima : Jika dia menusuk haiwan yang seharusnya digorok atau menggorok yang
seharusnya ditusuk, apakah dagingnya halal?

Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama bahawa penyembelihan itu ada dua
cara : Az-Dzabh (menggorok) dan An-Nahr (menusuk), Allah swt berfirman :

           … 
67. Dan (ingatlah), ketika Nabi Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah
menyuruh supaya kamu menyembelih seekor lembu betina". … (Al-Baqarah)
81

Nahr adalah menusuk labbah yang ada di pangkal leher, sedangkan dzabh adalah
memotong (menggorok) leher bahagian atas. Mereka juga bersepakat bahawa di antara
haiwan ada yang dipotong dan di antaranya ada pula yang ditusuk.

Jika orang yang menyembelih menyelisihi cara ini, lalu dia menusuk haiwan yang
seharusnya dipotong atau memotong haiwan yang seharusnya ditusuk, maka tentang
kehalalannya ada dua pendapat :

Pendapat Pertama : Tidak halal melakukan cara itu kecuali dalam keadaan terpaksa
atau dalam keadaan tidak tahu. Ini adalah pendapat Al-Malikiah. Tidak halal kerana ini
menyelisihi cara yang disyariatkan.

Pendapat Kedua : Halal memakan sembelihan seperti ini. Ini adalah pendapat Al-
Hanabilah, As-Syafi’iyah dan Al-Hanafiah, kerana adanya pemotongan urat-urat leher dan
pengaliran darah yang dituntut dalam penyembelihan.

 Pentarjihan :

Yang rajah adalah pendapat yang kedua, iaitu bolehnya memakan haiwan yang
disembelih dengan cara seperti ini kerana maksud dalam penyembelihan – iaitu pengaliran
darah – sudah tercapai. Adapun dalil yang menunjukkan pengkhususan nahr pada unta dan
dzabh pada haiwan selainnya, maka paling tinggi itu hanya menunjukkan sunnahnya dan itu
yang lebih utama. Hanya sahaja itu tidak menunjukkan haramnay haiwan yang disembelih
dengan cara seperti itu. Wallahu a’lam.

Syarat Keempat : Hendaklah disebutkan nama Allah atas sembelihan :

Perbahasan tentang perkara ini mengandungi poin-poin berikut :

1. Penjelasan Hikmah menyebut nama Allah atas sembelihan.

2. Hukumnya dan pandangan-pandangan ulama’ tentangnya, serta pendalilan dan


pentarjihan.

3. Bentuk sebutan.

4. Waktu Sebutan.

5. Sembelihan yang tidak diketahui sama ada penyembelihnya menyebut nama Allah
atau tidak.

Firman Allah swt :

           
            
         
          
82

         


          
         
   
118. Maka makanlah dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah
ketika menyembelihnya, jika betul kamu beriman kepada ayat-ayatNya.
119. Dan tidak ada sebab bagi kamu, (yang menjadikan) kamu tidak mahu makan dari
(sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
padahal Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa Yang diharamkanNya
atas kamu, kecuali apa Yang kamu terpaksa memakannya? dan Sesungguhnya
kebanyakan manusia hendak menyesatkan Dengan hawa nafsu mereka Dengan tidak
berdasarkan pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia lah Yang lebih mengetahui akan
orang-orang Yang melampaui batas.
120. Dan tinggalkanlah kamu dosa Yang nyata dan Yang tersembunyi. kerana
Sesungguhnya orang-orang Yang berusaha melakukan dosa, mereka akan dibalas
Dengan apa Yang mereka telah lakukan.
121. Dan janganlah kamu makan dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, kerana Sesungguhnya Yang sedemikian itu
adalah perbuatan fasik (berdosa); dan Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan
kepada pengikut-pengikutnya, supaya mereka membantah (menghasut) kamu; dan jika
kamu menurut hasutan mereka (untuk menghalalkan Yang haram itu), Sesungguhnya
kamu tetap menjadi orang-orang musyrik. (Al-An’aam)

Dalam ayat-ayat ini Allah swt memerintahkan kepada hamba-hambanya yang


beriman agar memakan haiwan-haiwan yang sembelihan yang disebut namaNya ketika
disembelih.

Maka yang difahami adalah tidak diperbolehkan memakan haiwan yang tidak
disebut nama Allah padanya, seperti halnya yang dipandang boleh oleh kaum musyrikin,
berupa memakan bangkai dan memakan haiwan yang dipersembahkan untuk berhala.
Kemudian Allah memerintahkan agar memakan dari haiwan yang disebut namaNya ketika
disembelih, Allah berfirman :

             
 … 
119. Dan tidak ada sebab bagi kamu, (yang menjadikan) kamu tidak mahu makan dari
(sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
padahal Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa Yang diharamkanNya
atas kamu, …(Al-An’aam)

yakni : Dia telah menerangkan dan menjelaskan kepada kalian semua yang Dia haramkan
atas kalian. Dalam ayat ini juga terdapat larangan memakan haiwan yang disembelih tanpa
menyebut nama Allah dan penamaan perbuatan itu sebagai kefasikan.

Maka semua ayat di atas sangat jelas menunjukkan disyariatkannya menyebut nama
Allah ketika akan menyembelih haiwan-haiwan sembelihan. Ini adalah perkara yang
disepakati. Yang diperselisihkan hanyalah apakah menyebut nama Allah adalah syarat
83

dihalalkannya sembelihan itu untuk dimakan atau itu bukanlah syarat, sebagaimana
penjelasan berikut ini.

1. Hikmah Pensyariatannya :

Menyebut nama Allah pada haiwan yang hendak disembelih akan mensucikannya
dan mengusir syaitan dari penyembelih dan haiwan yang disembelih. Kerananya jika dial alai
dari penyebutan nama Allah, maka syaitan akan mengerubuti orang yang menyembelih dan
haiwan sembelihan sehingga dia menjadikan haiwannya khabits. Maka, menyebut nama
Allah pada haiwan sembelihan akan mendatangkan kesucian, sedangkan menyebut nama
nama selainNya dari nama-nama berhala, binatang dan jin, akan menjadikannya khabits.

2. Pendapat-pendapat Ulama’ tentang hukum menyebut nama Allah Atas


Sembelihan :

Dalam perkara ini, ulama; berbeza pandangan kepada tiga pendapat :

Pendapat Pertama : Wajib hukum tasmiah atas haiwan sembelihan secara mutlak,
sehingga haiwan sembelihan tidak halal jika tanpa tasmiah. Ini adalah pendapat sekelompok
ulama dan salah satu riwayat dari Ahmad. Pendapat ini yang dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah dengan kata-katanya, “Inilah pendapat yang paling tepat, kerana Al-Kitab dan As-
Sunnah dalam banyak tempat telah menentukan kehalalan sembelihan dengan penyebutan
nama Allah atasnya.” Para ulama yang berpendapat denga pendapat ini berdalilkan dengan
beberapa dalil, di antaranya :

Pertama : Firman Allah swt :

           … 
121. Dan janganlah kamu makan dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, kerana Sesungguhnya Yang sedemikian itu
adalah perbuatan fasik (berdosa); … (Al-An’aam)

Dalam ayat ini ada larangan memakan haiwan yang tidak disebut nama Allah ketika
disembelih dan Allah menamakan hal itu sebagai kefasikan.

Pendalilan dengan ayat ini disanggah dengan mengatakan bahawa ayat ini ditujukan
kepada haiwan yang disembelih untuk selain Allah, seperti pada firman Allah swt :

       …  …


145. … atau sesuatu Yang dilakukan secara fasik, Iaitu binatang Yang disembelih atas
nama Yang lain dari Allah". … (Al-An’aam) atau ditujukan kepada bangkai dengan dalil
sebab turunnya ayat ini, iaitu tatkala kaum musyrikin mendengar pengharaman Allah dan
RasulNya atas bangkai dan penghalalannya atas haiwan yang disembelih – sedangkan
mereka menghalalkan bangkai -. Mereka berkata dengan maksud untuk menentang Allah
dan rasulNya serta beralasan tanpa ada hujah dan argument, “Apakah kalian memakan yang
kalian bunuh (sembelih) tetapi kalian tidak mahu memakan apa yang Allah bunuh, “ maksud
mereka adalah bangkai.
84

Sanggahan ini bisa dijawab dengan mengatakan bahawa ayat ini bersifat umum
mencakup apa yang tersebut dalam sabab an-nuzul dan selainnya berupa haiwan yang
disembelih untuk selain Allah dan haiwan yang disembelih tanpa tasmiah, kerana yang
menjadi patokan adalah keumuman lafaz , bukan kekhususan sebab sebagaimana yang
ditegaskan dalam kitab-kitab ushul. Maka firmanNya, “Dan janganlah kamu makan dari
(sembelihan binatang-binatang halal) Yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya,…” lahiriahnya bermakna umum mencakup semua haiwan yang tidak
disebut nama Allah, dari bangkai, apa yang disembelih untuk selain Allah dan yang
disembelih tanpa tasmiah, sehingga membawa makna ayat ini hanya kepada sebahagian
makna adalah bangunan hukum tanpa pondasi.

Imam Ibnu Jarir berkata dalam menafsirkan ayat ini, yang kesimpulan kata-katanya,
“Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai apa yang Allah inginkan dengan laranganNy
memakan haiwan yang tidak disebut nama Allah padanya. Sebahagian mereka mengatakan :
Itu adalah haiwan-haiwan sembelihan yang orang-orang Arab dahulu sembelih untuk
sesembahan-sesembahan mereka,” kemudian beliau membawakan dalil-dalil yang
mendukung pendapat ini. Kemudian beliau berkata, “Yang lainnya mengatakan : Bahkan
yang dimaksud adalah bangkai,” kemudian beliau membawakan beberapa atsar yang
mendukungnya. Kemudian beliau berkata, “yang lainnya mengatakan, “Bahkan yang Allah
maksudkan adalah semua haiwan sembelihan yang tidak disebut nama Allah padanya,”
kemudian beliau membawa beberapa atsar yang mendukungnya. Kemudian beliau berkata,
“Abu Ja’far berkata, “Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah dengan mengatakan :
Yang Allah maksudkan dengannya adalah sembelihan untuk patung-patung dan berhala-
berhala serta apa yang sudah mati (bangkai) atau disembelih oleh orang yang tidak halal
sembelihannya.” Maka di sini beliau berpendapat bahawa ayat ini bersifat umum, jika
demikian keadaannya maka termasuk ke dalam keumumannya, haiwan yang disembelih
tanpa tasmiah, sehingga tidak boleh mengeluarkan makna ini darinya kecuali dengan dalil.

Dalil orang yang mengarahkan makna ayat ini kepada haiwan yang disembelih untuk
selain Allah berdasarkan firman Allah swt, “Atau kefasikan, binatang yang disembelih untuk
selain Allah,” kerana tasmiah bukanlah kefasikan bahkan yang merupakan kefasikan adalah
menyembelih untuk selain Allah. Ini dijawab dengan mengatakan bahawa penggunaan kata
‘kefasikan’ atas perbuatan meninggalkan apa yang Allah wajibkan adalah penggunaan yang
tidak dilarang dalam syariat, sehingga termasuk di dalamnya perbuatan meninggalkan
tasmiah dengan sengaja.

Kata ganti (itu) pada firmanNya, “Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah
suatau kefasikan,” ada yang mengatakan : kembalinya kepada perbuatan memakan
(sembelihan untuk selain Allah) dan ada pula yang mengatakan : kembalinya kepada
penyembelihan untuk selain Allah. Bahkan, Ibnu Jarir tidak menyebutkan kemungkinan lain
kecuali bahawa kata ganti itu kembalinya kepada perbuatan memakan (sembelihan untuk
selain Allah), ketika dia berkata, “Adapu firmanNya, “Sesungguhnya perbuatan yang
semacam itu adalah suatu kefasikan,” yang Allah maksudkan adalah jika dia memakan apa
yang tidak disebut nama Allah padanya, baik yang berupa bangkai atau apa yang disembelih
untuk selain Allah, ‘Itu adalah suatu kefasikan.” Maka, mengarahkan makna ayat ini kepada
bangkai atau kepada haiwan yang disembelih untuk selain Allah dan tidak memasukkan
85

sembelihan yang tidak disebut nama Allah atasnya, adalah suatu penarikan hukum yang
tidak mempunyai dalil, sebagaimana yang telah penulis terangkan. Wallahu a’lam.

Para ulama yang mewajibkan tasmiah juga berdalilkan dengan hadits Rafi’ bin Khadij
bahawa Nabi bersabda :

Haiwan yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelih, maka
makanlah.

Dalam hadits ini ada dalil akan disyaratkannya tasmiah, kerana beliau mengaitkan
izin untuk memakan dengan terkumpulnya kedua perkara itu, iaitu pengaliran darah dan
tasmiah, sedangkan yang dikaitkan dengan dua perkara, tidak cukup hanya dengan salah
satunya.

Pendalilan ini bisa disanggah dengan mengatakan bahawa hadits ini bersifat umum
dan bisa dikhususkan dengan hadits-hadits yang menunjukkan tidak disyaratkannya
tasmiah, baik secara mutlak walaupun dalam keadaan lupa. Tetapi sanggahan ini dibantah
bahawa hadits-hadits yang dianggap menjadi pengkhusus bagi hadits ini dan hadits sahih
lain yang semakna dengannya, tidaklah sama kuatnya dengan hadits-hadits ini sehingga dia
tidak bisa mengkhususkannya, sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian.

Pendapat Kedua : Tasmiah atas haiwan sembelihan hukumnya wajib ketika ingat,
bukan dalam keadaan lupa. Maka dibolehkan memakan haiwan yang disembelih tanpa
tasmiah kerana lupa, bukan sengaja. Ini adalah pendapat Al-Hanafiah, Al-Malikiah dan yang
masyhur dalam mazhab Al-Hanabilah. Mereka berdalilkan dengan beberapa dalil, di
antaranya :

1. Hadits Ibnu Abbas dari Nabi beliau bersabda :

“Cukup bagi orang Muslim namaNya. Jika dia lupa untuk membaca tasmiah ketika akan
menyembelih, hendaknya dia menyebut nama Allah kemudian hendaknya dia
memakannya.”

2. Sabda baginda :

“Sesungguhnya Allah menghapus dosa umatku berupa ketidaksengajaan, kelupaan, dan


apa yang dipaksakan terhadap mereka.”

Pendalilan dengan hadits ini patut ditinjau, kerana hadits ini hanya menunjukkan
gugurnya dosa dari orang yang lupa, akan tetapi tidak menghalangi kewajiban dan larangan.
Kerananya orang yang sengaja sama hukumnya dengan orang yang lupa dalam hal
meninggalkan takbiratul ihram, thaharah dan lain sebagainya dari syarat-syarat solat.

Pendapat Ketiga : Tasmiah pada haiwan sembelihan hukumnya sunnah secara


mutlak, bukan merupakan syarat. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad dan merupakan
mazhab As-Syafi’iyah. Mereka berhujah dengan beberapa dalil :
86

Pertama : Firman Alalh swt, “Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai


(binatang Yang tidak disembelih), dan darah (yang keluar mengalir), dan daging babi
(termasuk semuanya), dan binatang-binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari
Allah, dan Yang mati tercekik, dan Yang mati dipukul, dan Yang mati jatuh dari tempat
Yang tinggi, dan Yang mati ditanduk, dan Yang mati dimakan binatang buas, kecuali
Yang sempat kamu sembelih (sebelum habis nyawanya), …” Allah membolehkan haiwan
yang disembelih dan tidak menyebutkan tentang wajibnya tasmiah.

Pendalilan ini bisa dijawab oleh pihak lawan dengan mengatakan bahawa yang
dimaksud dengan ayat ini adalah, “… kecuali Yang sempat kamu sembelih (sebelum habis
nyawanya), …” dan kamu menyebut nama Allah atasnya, kerana hal ini (wajib tasmiah)
ditunjukkan oleh dalil-dalil lainnya.

Kedua : Mereka juga berdalilkan bahawa Allah swt telah menghalalkan sembelihan-
sembelihan ahli al-kitab dengan firmannya :

      …  …


5. …dan makanan (sembelihan) orang-orang Yang diberikan Kitab itu adalah halal bagi
kamu, … (Al-Ma’idah), dan kebanyakan mereka tidak membaca tasmiah, maka itu
menunjukkan banawa dia tidaklah wajib. Kerana jika dipersyaratkan harus ada tasmiah
maka sembelihan mereka tidak akan dihalalkan kerana adanya keraguan adanya tasmiah
pada sembelihan mereka, kerana ragu dalam syarat mengharuskan ragu pada hal yang
disyaratkan.

Pendalilan ini bisa dijawab oleh pihak lawan dengan mengatakan bahawa yang
dimaksud dengan sembelihan ahli al-kitab yang dibolehkan dalam ayat tersebut adalah apa
yang mereka sembelih dengan terpenuhi semua syarat-syaratnya, seperti sembelihan-
sembelihan kaum muslimin.

Jika tidak diketahui apakah orang yang menyembelih itu membaca tasmiah atau
tidak maka sembelihannya adalah halal, baik dia seorang muslim mahupun ahli al-kitab.
Kerana syariat tidak membebani kita untuk mencari tahu semua sembelihan, apakah disebut
nama Allah padanya atau tidak, kerana itu akan merepotkan. Maka wajib meyakini
sembelihan seorang muslim dan yang sama hukumnya dengannya kepada kemungkinan
yang paling baik (yakni : membaca tasmiah) sebagai bentuk prasangka baik padanya.

Ketiga : Mereka berdalil dengan hadits Aisyah, bahawa sekelompok orang yang
berkata :

Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada satu kaum yang datang membawa daging kepada kami
tetapi kami tidak mengetahui apakah saat menyembelih mereka menyebut nama Allah atau
tidak.” Maka baginda bersabda, “Bacalah tasmiah atas daging itu dan makanlah.” Aisyah
mengatakan bahawa orang-orang itu baru masuk Islam.

Sisi pendalilan hadits ini adalah bahawa : Seandainya tasmiah adalah syarat nescaya
baginda tidak akan memberikan keringanan kepada mereka untuk memakannya kecuali
87

setelah diyakini tasmiah diucapkan saat menyembelihnya, sedangkan tasmiah yang


dimaksud dalam hadits tersebut adalah tasmiah ketika akan memakan daging itu.

Ini disanggah dengan mengatakan bahawa apa yang kalian sebutkan itu
bertentanagn dengan makna yang terkandung dalam hadits tersebut yang menunjukkan
wajibnya membaca tasmiah. Sebab, para sahabat memahami bahawa tasmiah itu
diharuskan dan mereka khuatir kalau tasmiah tidak diucapkan pada makanan tersebut
kerana yang menyembelihnya adalah orang-orang yang baru masuk Islam, sehingga baginda
memerintahkan agar mereka membaca sendiri tasmiah ketika akan memakannya dan
menerapkan hukum terhadap kaum muslimin sesuai dengan zahirnya. Maka dari hadits ini
diperoleh pengertian bahawa semua daging yang ada di pasar-pasar kaum muslimin adalah
halal, dan demikian pula daging haiwan yang disembelih oleh orang-orang badwi di
kalangan kaum mulimin, kerana kebanyakan mereka mengetahui wajibnya tasmiah sebelum
menyembeli. Kerananya apa sahaja yang disembelih oleh seorang muslim maka itu boleh di
makan dan harus diyakini bahawa dia membaca tasmiah, kerana tidak boleh kita
berprasangka buruk kepada sesame muslim dalam masalah apapun kecuali hingga jelas
kebalikannya.

 Pentarjihan :

Sebenarnya, jika kita menilik dalil-dalil dari masing-masing kelompok dan


membandingkannya dari sisi kesahihan sanad dan kejelasan pendalilan, maka kita akan
temukan bahawa yang paling kuat adalah pendapat yang pertama, kerana semua dalil
mereka sahih sanadnya, banyak jalur-jalurnya dan makna yang terkandung di dalamnya
sejalan dengan erti tersurat yang terdapat dalam Al-Quran Al-Karim yang menunjukkan
wajibnya membaca tasmiah atas haiwan sembelihan secara mutlak. Al-Quran dan As-
Sunnah telah menggantungkan kehalalannya – pada banyak tempat – dengan penyebutan
nama Allah pada haiwan sembelihan, tidaj benar mengkhususkannya pada satu keadaam
dari keadaan lainnya, atau memalingkannya dari hukum wajib kepada hukum sunnah,
sebagaimana yang diklaim oleh pihak yang tidak sependapat. Sebab hadits-hadits yang
mereka jadikan sebagai dalil, di antaranya ada yang disepakati bahawa itu adalah hadits
yang lemah, seperti hadits :

“Seorang mukmin itu menyembelih dengan nama Allah, baik dia membacanya atau
tidak.” Di antaranya adalah hadits mursal, seperti hadits :

“Barang siapa lupa, maka tidak mengapa.”

Maka. Bagaiman atsar-atsar dengan keadaan seperti ini dapat digunakan untuk
mengalahkan ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits yang sabit dalam kitab-kitab As-Shihah,
yang menunjukkan wajibnya membaca tasmiah secara mutlak. Di antara yang merajihkan
pendapat ini adalah Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana kami sebutkan.

Imam Al-Bukhari di dalam Shahihnya mengisyaratkan rajihnya pendapat kedua


dengan mengatakan, “Bab : Tasmiah atas haiwan sembelihan dan orang yang
meninggalkannya dengan sengaja.” Al-Hafiz berkata dalam syarahnya, “Dia mengisyaratkan
dengan ungkapan kata-katanya , “Dengan sengaja,” akan rajihnya pendapat yang
88

membedakan antara orang yang sengaja meninggalkan tasmiah – maka sembelihannya


tidak sah -, dengan orang yang lupa membacanya – maka sembelihannya halal -. Kerana dia
membawakan rujukan sebagai dukungan dari kata-kata Ibnu Abbas dan apa yang dia
sebutkan setelahnya, yang di antaranya adalah firman Allah swt :

           … 
121. Dan janganlah kamu makan dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, kerana Sesungguhnya Yang sedemikian itu
adalah perbuatan fasik (berdosa); … (Al-An’aam)

Kemudian Al-Bukhari berkata, “Sedangkan orang yang lupa tidak dinamakan fasik.”

3. Bentuk Sebutan (Zikir) yang disyariatkan ke atas sembelihan :

Setelah mereka bersepakat akan disyariatkannya tasmiah pada sembelihan, mereka


berselisih dalam hal lafaznya menjadi dua pendapat :

Pendapat Pertama : Ini adalah pendapat Al-Hanafiah dan Al-Malikiah, bahawa yang
dimaksud dengan tasmiah adalah menyebut nama Allah yang mana sahaja tanpa ada
pengkhususan dengan ‘bismillah’. Bahkan yang dimaksud adalah menyebut nama Allah yang
mana sahaja di antara semua nama Allah , dengan lafaz Allah dibubuhkan, misalnya dengan
mengucap (), atau tidak dibubuhkan misalnya mengucap () atau () atau (). Demikian pula
tahlil, tahmid dan tasbih.

Dalil mereka adalah bahawa Allah swt berfirman :

           
        … 
118. Maka makanlah dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah
ketika menyembelihnya, jika betul kamu beriman kepada ayat-ayatNya.
119. Dan tidak ada sebab bagi kamu, (yang menjadikan) kamu tidak mahu makan dari
(sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
… (Al-An’aam)

Demikian pula diterangkan dalam beberapa hadits tanpa ada pembedaan antara
satu nama denag yang lainnya.

Pendapat Kedua : Harus hanya membaca ‘Bismillah’, tidak ada zikir lain yang bisa
menggantikan posisinya. Ini adalah pendapat Al-Hanabilah dan As-Syafi’iyah. Dalil mereka
adalah bahawa pemutlakan tasmiah diarahkan kepada lafaz ‘Bismillah’, kerana telah berlaku
baku bahawa Rasulullah jika baginda menyembelih, baginda membaca ().

 Pentarjihan :

Yang rajah menurut penulis adalah pendapat kedua, kerana walaupun nama Allah
datang secara mutlak dalam nas-nas, hanya sahaja itu telah dijelaskan dengan perbuatan
89

Rasulullah yang sabit dalam As-Shahih bahawa baginda membaca ‘Bismillah’ ketika akan
menyembelih.

4. Waktu Sebutan.

Waktunya menurut semua ulama adalah ketika akan menyembelih, kerana makna
dari menyebut nama Allah swt tidak bisa terwujud pada haiwan sembelihan kecuali jika dia
dibaca ketika akan disembelih. Boleh memajukannya sebelum waktu penyembelihan tetapi
dengan jarak waktu yang terlalu lama.

5. Sembelihan yang tidak diketahui sama ada penyembelihnya menyebut nama Allah
atau tidak.

Hukumnya diperselisihkan sebagaimana perbedaan pendapat para ulama dalam


hukum tasmiah pada haiwan sembelihan :

Menurut pendapat yang mengatakan bahawa tasmiah tidaklah wajib pada haiwan
sembelihan, maka keraguan adanya tasmiah pada haiwan sembelihan itu tidak berpengaruh
baginya kerana menurutnya haiwan itu halal walaupun tanpa tasmiah. Jika tidak ada
tasmiah pada haiwan sembelihan, baik secara mutlak atau kerana lupa maka para sahabat
Rasulullah telah cukup bagi mereka dalam menghilangkan masalah ini, tatkala mereka
bertanya kepada baginda :

“Sesungguhnya ada satu kaum yang datang membawa daging kepada kami, tetapi kami
tidak mengetahui apakah saat menyembelih mereka menyebut nama Allah atau tidak.”
Maka baginda bersabda, “Bacalah tasmiah atas daging itu dan makanlah.”

Dari sini bisa difahami bahawa barang siapa mendapatkan daging yang disembelih
oleh orang lain maka ia boleh memakannya dan dia menyebut nama Allah atasnya untuk
membawa manusia pada kesihatan dan keselamatan.

Maka setelah pemaparan semua ini kita bisa mengatakan : Jika diyakini bahawa
orang yang menyembelih itu tidak membaca tasmiah maka tidak boleh makan dari
sembelihannya, tetapi jika tidak diketahui apakah dia membaca tasmiah atau tidak maka
boleh baginya untuk memakannya kerana tidak diharuskan mencari tahu adanya tasmiah
pada semua daging yang dibeli di pasar-pasar kaum muslimin yang disembelih oleh kaum
muslimin atau ahli al-kitab, kerana kaum muslimin asalnya sudah memahami masalah
tasmiah ini dan hendaknya kita selalu berprasangka baik kepada seorang muslim selama
belum jelas kebalikannya, dan ahli al-kitab sama dengan hukum kaum muslimin dalam
masalah ini. Wallahu a’lam.

Dari pemaparan mengenai syarat-syarat penyembelihan ini kita bisa melihat bahawa
keempat mazhab secara umum bersepakat pada tiga syarat : Kepantasan orang yang
menyembelih, jenis alat yang digunakan untuk menyembelih dan pemotongan urat yang
wajib dipotong dalam penyembelihan, walaupun mereka berbeda pendapat dalam
sebahagian rincian syarat tersebut sebagaimana yang telah kami kemukakan. Keempat
mazhab berbeda pendapat mengenai hukum tasmiah, apakah itu adalah syarat keempat
90

dari syarat sahnya sembelihan secara mutlak, atau apakah itu syarat darinya pada selain
keadaan lupa, atau itu bukanlah syarat sahnya sama sekali akan tetapi dia hanya syarat
kesempurnaan.

Demikian pula mereka berselisih pendapat mengenai masalah niat :

Al-Malikiah menegaskan bahawa dia adalah syarat sahnya sembelihan, dan ini juga
difahami dari mazhab Al-Hanafiah dan Al-Hanabilah kerana mereka mempersyaratkan pada
orang yang menyembelih bahawa dia harus berakal agar bisa berniat dengan sempurna,
kerananya jika yang menyembelih itu adalah orang yang mabuk atau gila atau anak kecil di
bawah usia mumayyiz maka sembelihannya tidak sah menurut mereka kerana tidak adanya
niat yang berlaku darinya , sebagaimana yang telah kami terangkan sebelumnya dari
mazhab mereka.

Dapat difahami dari perkataan As-Syafi’iyah bahawa niat tidak disyaratkan kerana mereka
tidak mempersyaratkan akal dan tamyiz pada orang yang menyembelih. Kerananya, mereka
menganggap sah sembelihan orang yang mabuk, gila dan anak kecil di bawah usia
mumayyiz, sebagaimana yang telah kami terangkan. Bahkan penulis kitab al-Muhazzab
menegaskan hal itu dengan mengatakan, “Dimakruhkan sembelihan orang yang mabuk dan
orang yang gila kerana dikhuatirkan dia meleset dari bahagian yang seharusnya dipotong
sehingga akan membunuh haiwan itu. Tetapi jika dia menyembelih (dengan tepat) maka
sembelihannya halal kerana tidak ada yang hilang dari penyembelihannya kecuali niat dan
ilmu yang mana hal itu tidak mengharuskan haramnya haiwan itu, sama halnya kalau dia
menyembelih kambing tetapi dia mengira sedang memotong rumput.”

PERSOALAN KETIGA : Adab-Adab Umum Dalam Penyembelihan.

Telah kami bahas penjelasan mengenai apa sahaja yang disepakati dan yang
diperselisihkan dalam syarat-syarat penyembelihan, dan masih tersisa beberapa perkara
yang disyariatkan untuk dijaga dalam hal penyembelihan, seperti perkara-perkara yang
menyempurnakannya dan tatacara dalam pelaksanaannya. Berikut penjelasannya :

1. Disyariatkan untuk menusuk unta dalam keadaan berdiri dengan kaki kiri bahagian
hadapan terikat, berdasarkan firman Allah swt :

          
     … 
36. Dan Kami jadikan unta (yang dihadiahkan kepada fakir miskin Makkah itu)
sebahagian dari Syiar ugama Allah untuk kamu; pada menyembelih unta Yang tersebut
ada kebaikan bagi kamu; oleh itu sebutlah nama Allah (semasa menyembelihnya) ketika
ia berdiri di atas tiga kakinya … (Al-Hajj)

Yakni : Tusuklah dia dengan nama Allah dan dalam keadaan Shawaf, yakni : Kaki-kakinya
telah dibentangkan. Adapun dalam keadaan terikat, maka itu ditunjukkan oleh bacaan
lainnya, ‘Shawafina,’ dengan huruf nun, bentuk jama’ dari kata shafinah, iaitu unta yang
diangkat salah satu kaki depannya denag cara diikat agar dia tidak bergerak, juga firman
Allah swt :
91

      


31. (ingatkanlah peristiwa) ketika Nabi Sulaiman ditunjukkan kepadanya pada suatu
petang, satu kumpulan kuda Yang terpuji keadaannya semasa berdiri, lagi Yang tangkas
semasa berlari. (Shaad)

Di antara dalil yang menunjukkan kalau dia disembelih dalam keadaan berdiri adalah firman
Allah swt :

     …  …


36. … maka apabila ia tumbang (serta putus nyawanya), makanlah sebahagian
daripadanya, …(Al-Hajj)

Yakni : Kalau dia sudah jatuh, dan ini mengisyaratkan bahawa tadinya dia dalamkeadaan
berdiri. Cara (kaifiat) inilah yang disunnahkan menurut majoriti ulama. Ibnu Umar pernah
mendatangi seseorang yang telah membaringkan untanya untuk disembelih, maka beliau
berkata, “Biarkan dia berdiri dalam keadaan terikat, itulah sunnah Muhammad, sedangkan
lembu dan kambing dibaringkan di atas perutnya yang sebelah kiri.

2. Disunnahkan mengarahkan haiwan sembelihan kea rah kiblat, kerana Ibnu Umar
memandangnya sunnah dan kerana kiblat adalah arah paling utama untuk menghadap.

3. Dimakruhkan mengiris atau merobek sedikitpun dari kulit haiwan sembelihan sampai
dia benar-benar sudah mati, berdasarkan firman Allah swt, “… maka apabila ia tumbang
(serta putus nyawanya), makanlah sebahagian daripadanya, …” maksudnya jika dia sudah
roboh dalam keadaan mati. Kematian diibaratkan dengan kat ‘roboh’ sebagaimana
diibaratkan dengan kata ‘nahr’ dan ‘dzabh’ denan firman Allah swt, “… oleh itu sebutlah
nama Allah (semasa menyembelihnya)…” dan menggunakan ungkapan kiasan pada
sebahagian tempat yang kadang lebih mengena daripada menyebutnya terang-terangan.
Dengan jatuhnya haiwan sembelihan setelah disembelih merupakan tanda mengalirnya
darah dan keluarnya roh darinya.

Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah mengutus Budail bin Warqa’ Al-Khuza’I
dengan membawa seekor unta yang masih hidup, kemudian dia berteriak di jalan antara
dua gunung di dekat rumahku, “Ketahuilah, sesungguhnya penyembelihan itu tempatnya di
tenggorokan dan labbah, janganlah kalian tergesa-gesa sampai haiwannya mati,” yakni :
Janganlah kalian memulai tindakan-tindakan yang berkenaan dengan penyembelihan
sampai haiwannya mati.

4. Alat yang dipakai menyembelih haruslah tajam kerana itu tidak akan menyiksa
haiwan, berdasarkan sabda baginda :

“Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan mata pisaunya dan


menenangkan haiwan sembelihannya,”

Dia memegang alatnya dengan kuat dan mempercepat penyembelihan, berdasarkan sabda
baginda :
92

“Jika salah seorang di antara kalian menyembelih, maka hendaklah dia bersiap.”

5. Tidak boleh menyiksa haiwan setelah dia disembelih. Telah sabit dari Nabi bahawa
baginda melarang dari melakukan shabr pada haiwan ternak, iaitu mengurung haiwan
ternak lalu melemperinya dengan anak-anak panah lalu menyembelihnya hingga mati.
Dalam As-Shahihain dari Anas, bahawa Nabi melarang melakukan shabr pada haiwan
ternak. Di dalamnya juga disebutkan, dari Ibnu Umar bahawa ia melewati sekelompok orang
yang memasang ayam kemudian mereka melemparinya, maka Ibnu Umar berkata, “Siapa
yang melakukan ini? Sesungguhnya Rasulullah telah melaknat pelakunya.” Imam Muslim
meriwayatkan dari hadits Ibnu Abbas dari Nabi bahawa baginda melarang menjadikan
makluk yang mempunyai roh sebagai ghardh, maksudnya menjadikannya sebagai sasaran
lempar tombak. Dalam Musnad Imam Ahmad dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah
melarang melempari haiwan ternak kemudian dimakan. Hadits-hadits yang semakna dengan
ini sangat banyak. Kerananya Nabi memerintahkan untuk memperbaiki cara membunuh dan
menyembelih, memerintahkan agar menajamkan mata pisau dan menenangkan haiwan
yang akan disembelih dengan menggunakan peralatan yang tajam yang tidak menyiksanya
dengan mempercepat kematiannya.

6. Diperintahkan untuk berlaku lembut kepada haiwan sembelihan ketika akan


disembelih. Imam Ahmad berkata, Dia ditarik ke tempat penyembelihan dengan perlahan,
pisau disembunyikan darinya dan tidak diperlihatkan kecuali ketika dia siap disembelih.”
Inilah agama Islam, agama yang penuh rahmat yang mencakup semua makhluk hidup. Telah
benar Allah yang Maha Agung tatkala dia berfirman :
     
107. Dan tiadalah Kami mengutuskan Engkau (Wahai Muhammad), melainkan untuk
menjadi rahmat bagi sekalian alam. (Al-Anbiyaa’)

7. Tidak boleh menyembelih haiwan yang halal dengan tujuan bukan untuk dimakan.
Dari Abdullah bin Umar secara marfu’ :

“Tidak ada seorang pun yang menyembelih seekor burung ushfur atau yang lebih besar
dari itu tanpa ada haknya, kecuali Allah akan meminta pertanggungjawabannya.” Ibnu
Umar berkata, “Wahai Rasulullah apakah haknya ?” Baginda menjawab, “Dia
menyembelihnya lalu memakannya, dan janganlah ia memotong kepalanya lalu
membuangnya.”

Dalam hadits yang lain :

“Barang siapa yang menyembelih burung ushfur dengan sia-sia maka dia akan mengadu
kepada Allah pada hari kiamat, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya si fulan telah
menyembelihku dengan sia-sia, dia tidak menyembelihku untuk dimanfaatkan.”

PERSOALAN KEEMPAT : Implikasi Penyembelihan Terhadap Janin.

Janin adalah anak yang masih berada di dalam perut, sehingga merupakan satu
sebutan untuknya selama dia masih berada di dalam perut induknya. Ada yang mengatakan,
93

“Bahawa dinamakan janin kerana dia tidak terlihat, sehingga jika dia sudah lahir, dia
dinamakan manfus.” Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah anak yang terdapat
di dalam perut haiwan yang disembelih, dan itu mempunyai tiga keadaan :

Keadaan Pertama : Dia keluar – setelah induknya disembelih – dalam keadaan hidup
yang sempurna, maka dalam keadaan seperti ini dia tidak halal dimakan kecuali setelah
disembelih juga tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. Sebab, dia dihukumi makhluk lai
yang tidak berhubungan dengan yang lainnya, iaitu induknya, baik dari sisi tubuh mahupun
makanan, kerananya dia tidak halal hanya dengan menyembelih yang lainnya.

Keadaan Kedua : Dia keluar– setelah induknya disembelih – dalam keadaan hidup
yang tidak sempurna gerakannya seperti gerakan haiwan yang sudah disembelih.

Keadaan Ketiga : Dia keluar– setelah induknya disembelih – dalam keadaan mati.

Pada dua keadaan terakhir ini, apakah dia halal dimakan hanya dengan
penyembelihan yang dilakukan terhadap induknya? Dalam masalah ini ada tiga pendapat di
kalangan ulama :

Pendapat Pertama : Dia halal, baik lahir sudah berbulu mahupun tidak. Ini adalah
pendapat Al-Hanabilah, As-Syafi’iyah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan dari Al-
Hanafiah. Dalil mereka adalah hadits Abu said dari Nabi bahawa baginda bersabda tentang
janin :

“Sembelihannya adalah sembelihan induknya.”

Maksudnya adalah pengabaran tentang penyembelihan janin adalah dengan


menyembelih induknya maka anaknya menjadi halal dimakan kerananya sebagaimana
halnya induk dengan disembelih, sehingga tidak perlu lagi menyembelih anaknya kerana dia
menyatu dengan induknya sebagai bahagian anggota tubuhnya dan makan dari
makanannya sehingga sembelihan untuknya sudah cukup dengan sembelihan induknya, dia
seakan-akan anggota tubuh induknya. Juga kerana sembelihan pada haiwan itu berbeda-
beda disesuaikan dengan kesanggupan atau ketidaksanggupan dalam menguasainya, seperti
haiwan buruan yang lari, haiwan yang melakukan perlawanan dan yang tidak bisa
dijinakkan. Sedangkan janin tidak bisa untuk disembelih kecuali dengan menyembelih
induknya, sehingga sembelihan induknya itu sudah menjadi sembelihan janinnya. Dalam
keadaan seperti ini, Imam Ahmad menghukumi sunnah agar darah yang ada di dalam
lambungnya dikeluarkan. Akan diketengahkan bantahan terhadap dalil yang berpendapat
dengan pendapat ini ketika menyebutkan pendapat yang ketiga.

Pendapat Kedua : Ini adalah pendapat Al-Malikiah, bahawa sembelihan janin adalah
sembelihan induknya hingga tubuhnya telah sempurna dan sudah tumbuh bulu di tubuhnya.
Kerana keadaannya telah menjadi haiwan yang patut disembelih maka itu mengharuskan
adanya anggapan hidup padanya dengan mengqiyaskannya kepada haiwan lain yang akan
disembelih, sedangkan hidup tidak dihukumi ada padanya kecuali jika bulunya sudah
tumbuh dan postur tubuhnya sudah sempurna. Sebagaimana yang telah diriwayatkan dari
94

sebahagian sahabat bahawa mereka pernah mengatakan, “Jika janin itu sudah berbulu,
maka sembelihannya adalah sembelihan induknya.”

Disebutkan dalam beberapa riwayat hadits adanya persyaratan tumbuhnya bulu, di


antaranya adalah hadits Ibnu Umar dengan lafaz, “Jika janin itu sudah berbulu maka
sembelihannya adalah sembelihan induknya.” Akan dikemukakan bantahan terhadap
pendalilan ini dalam pentarjihan.

Pendapat Ketiga : Jika janin itu ditemukan mati di dalam perut setelah induknya
disembelih maka tidak boleh dimakan, baik dia sudah berbulu mahupun belum, kerana
hidupnya dianggap hidup terpisah yang bisa diketahui keberadaan hidupnya setelah
kematian induknya. Kerananya, wajib menyembelihnya juga dengan cara tersendiri dengan
dalil bahawa janin anak manusia mendapatkan hukum tersendiri; Dia merdeka dengan
kemerdekaan ibunya yang disandarkan pada dirinya dan sah baginya mendapat wasiat atau
berwasiat. Sementara janin haiwan ternak adalah makhluk yang mempunyai darah yang
mana tujuan penyembelihan tidak tercapai, iaitu pemisahan antara darah dan dagingnya
yang mengeluarkan induknya, kerana itu tidak disebabkan kerana keluarnya darah darinya,
sehingga dia tidak boleh diikutkan kepada selainnya (induknya). Di sisi lain, haiwan yang
mati dan belum disembelih adalah bangkai, sementara Allah telah mengharamkan bangkai
dan janin yang belum disembelih, sehingga hukumnya haram. Penjelasan masalah ini akan
dibahas – dan ini adalah pendapat Al-Hanafiah kecuali Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-
Hasan – pada pembahasan yang telah lalu.

Mereka menjawab mengenai hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama yang
membolehkannya bahawa hadits itu telah diriwayatkan dengan lafaz lain, iaitu kata dzakah
yang kedua dimanshub (fathah) sehingga dia bermakna tasybih (analogi), yakni,
“Sembelihannya mirip dengan sembelihan induknya”. Kerana pada at-tasybih, adakalanya
artikel tasybihnya disebutkan dan adakalnya dibuang. Allah swt berfirman : () “Padahal ia
berjalan sebagai jalannya awan” yakni : Seperti jalannya awan. Maka menyerupakan
sembelihannya dengan sembelihan induknya mengharuskan adanya kesetaraan antara
keduanya dalam hal sama-sama membutuhkan penyembelihan. Bahkan riwayat merafa’
(dhammah) kata dzakah pun ada kemungkinan bermakna tasybih, Allah berfirman, ()
“Syurga yang luasnya seluas langit dan bumi,” yakni : Seperti luasnya langit dan bumi.
Ditambah lagi hadits itu termasuk hadits ahad yang datang menjelaskan permasalahan yang
berkembeng luas di tengah kaum muslimin saat itu, dan itu menunjukkan hadits ini tidak
sabit. Kerana seandainya sabit maka hadits ini pasti masyhur di kalangan ulama.

 Pentarjihan :

Yang rajih adalah pendapat yang pertama, iaitu halalnya janin dari haiwan yang
disembelih jika dia keluar dalam keadaan sudah mati atau masih hidup tetapi sudak sekerat,
baik dia sudah berbulu mahupun belum. Itu kerana kuatnya hadits yang dipakai berdalil oleh
para ulama yang membolehkannya secara mutlak. Haditsnya telah diteliti kesahihannya oleh
sejumlah ahli al-hadits dan sebahagian lain menilai hadits ini hasan, dan darjatnya paling
minimal adalah hasan lighairih kerana jalurnya yang banyak. Dan bersamaan dengan
kekuatan sanadnya, dia juga tegas menunjukkan pembolehan hal itu secara mutlak tanpa
ada pensyaratan tumbuhnya bulu.
95

Adapun riwayat yang dipegang oleh Al-Malikiah dalam mensyaratkan tumbuhnya


bulu pada janin, maka dia adalah riwayat yang tidak bisa dijadikan hujah kerana dia mauquf
dan di dalam sanadnya ada seorang perawi lemah yang meriwayatkannya sendirian, iaitu
Ahmad bin Isham.

Adapun takwil Al-Hanafiah terhadap hadits ini dengan mengatakan bahawa yang
dimaksud di situ adalah at-tasybih, dalam pengertian bahawa janin itu juga harus disembelih
sebagaimana induknya harus disembelih, sehingga dia tidak halal kecuali dengan
penyembelihan yang mirip dengan penyembelihan terhadap induknya. Takwil ini
dimentahkan oleh lafaz hadits tersebut kerana lafaz yang ada adalah :

“Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami menusuk unta, serta menyembelih lembu dan
kambing, sedangkan di dalam perutnya ada janin. Apakah kami harus membuangnya
atau kami boleh memakannya?’ Baginda bersabda, ‘Makanlah jika kalian mahu, kerana
sembelihannya adalah sembelihan induknya.”

Jadi baginda membolehkan mereka memakannya dengan alasan bahawa


penyembelihan yang dilakukan pada induknya sudah merupakan penyembelihan padanya,
sebagaimana yang terdapat dalam riwayat yang kedua :

“Sembelihan janin adalah dengan sembelihan induknya,” yakni : terjadi dan dihasilkan
pada penyembelihan induknya. Diriwayatkan juga dengan lafaz :

“Penyembelihan janin dengan sebab penyembelihan induknya,” . Kata ‘dengan’ (bi) di sini
bermakna ‘sebab’.

Adapun mereka menganalogikan janin itu dengan bangkai, maka dijawab bahawa
orang yang dari lisannya keluar pengharaman bangkai, dia jugalah yang telah menghalalkan
janin yang dimaksud. Seandainya pun dia dianggap bangkai maka pengecualian janin sama
seperti pengecualian ikan dan belalang dari bangkai (yang diharamkan), lalu bagaimana lagi
sementara itu bukanlah namgkai. Janin adalah salah satu bahagian tubuh induknya,
sedangkan penyembelihan terhadap induknya sudah mewakili semua bahagian tubuhnya
sehingga tidak butuh setiap anggota tubuhnya harus disembelih secara tersendiri. Inilah
keharusan ushul yang sahih seandainya tidak ada sunnah yang menjawab masalah ini. Lalu
bagaimana lagi, sementara sunnah telah menjelaskan bolehnya dan sejalan dengan qiyas
dan ushul yang sahih.

Adapun jawaban mereka : Seandainya hadits ini sabit pasti akan masyhur di kalangan
ulama. Ini dijawab bahawa hadits ini telah diriwayatkan dari banyak jalur dari 15 orang
sahabat, dan yang seperti ini adalah jenis hadits masyhur. Dan tidak diketahui adanya
perselisihan di antara para sahabat dalam masalah ini. Ibnu Mundzir berkata, “Tidak ada stu
pu keterangan dari seorang sahabat dan tidak juga dari para ulama, bahawa janin haiwan itu
tidak boleh dimakan kecuali harus disembelih terlebih dahulu, kecuali apa yang
diriwayatkan dari Abu Hanifah.”
96

PERSOALAN KELIMA : Perbezaan Pendapat Tentang Cara Menyembelih Binatang Jinak


Yang Tidak Dapat Dikawal, Serta Pendalilan Dan Pentarjihan.

Kaifiat penyembelihan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan dari haiwan


yang disembelih, iaitu dari sisi mudah disembelih dan tidak mudah disembelih.

Adapun yang mudah disembelih, maka penyembelihannya wajib pada anggota


badan yang ditentukan (leher), disertai dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang
telah berlalu penjelasannya.

Jika dia sulit disembelih, apakah kerana tabiat aslinya adalah binatang buas, maka
yang seperti ini bisa disembelih denag kaifiat yang akan dikemukakn penjelasannya pada
pembahasan haiwan buruan, insya Allah. Jika dia sulit disembelih kerana dia menjadi liar
padahal asalnya tadi jinak atau dia terjatuh ke dalam sumur dan semacamnya sehingga sulit
untuk disembelih pada anggota badan yang telah ditentukan (leher), maka yang seperti ini
keadaannya – menurut majoriti ulama dan ketiga Imam, Abu Hanifah, As-Syafie dan Ahmad
– seluruh bahagian tubuhnya bisa dijadikan letak penyembelihan, sehingga bahagian tubuh
mana sahaja bisa dilukai hingga membunuhnya, maka dia halal dimakan.

Dalil mereka adalah hadits Rafi’ bin Khadij dia berkata :

“Kami pernah bersama rasulullah dalam sebuah perjalanan. Tiba-tiba, seekor unta milik
kami lepas, tetapi mereka tidak mempunyai kuda. Lalu seorang lelaki memanahnya
sehingga anak panah menahannya. Maka, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya unta ini
mempunyai sifat liar seperti sifat liar binatang-binatang buas. Kerananya jika ada unta
yang seperti itu, lakukanlah seperti apa yang dilakukan terhadapnya ini.”

Makna ‘nadda’ adalah lari, perkataan, “Maka anak panah itu menahannya,” yakni :
anak panah itu mengenainya lalu dia berhenti. Dan sabda baginda ‘awabid’ adalah bentuk
jama’ dari kata ‘abidah’ degan alif dipanjangkan dan ba dikasrah, yakni : aneh. Dikatakan : Si
Fulan datang dengan abidah, yakni : dengan ucapan atau perbuatan yang aneh, dan
dikatakan : Ta’abbadat iaitu tawahhasyat (menjadi liar). Yang dimaksud di sini adalah unta
itu mempunyai sifat liar. Dalam hadits ini terdapat pembolehan memakan haiwan yang
dilempar dengan tombak lalu tombak itu melukainya di bahagian tubuh mana pun, dengan
syarat haiwannya itu liar atau tiba-tiba menjadi liar, misalnya unta atau lembu atau kuda
atau kambing atau selainnya tiba-tiba lari dan tidak sanggup untuk menangkapnya, maka
hukumnya sama seperti haiwan buruan, halal untuk dilempar dan boleh untuk melukai
tubuhnya, kerana yang menjadi pedoman dalam sembelihan adalah sesuai dengan keadaan
haiwan ketika akan disembelih, bukan asal tabiatnya, dengan dalil jika haiwan buas bisa
dijinakkan, maka wajib untuk menyembelihnya di tenggorokan dan labbah. Sehingga,
demikian pula haiwan yang jinak yang tiba-tiba menjadi liar, maka yang menjadi patokan
adalah ketika dia menjadi liar.

Imam Malik berkata, “Tidak boleh dimakan haiwan kecuali yang ditusuk jika dia
termasuk haiwan yang penyembelihannya dengan cara ditusuk, dan yang digerek jika dia
termasuk haiwan yang cara penyembelihannya dengan cara digerek, atau salah satu dari
dua cara ini dilakukan jika haiwannya termasuk haiwan yang bisa disembelih dengan kedua
97

cara itu.” Sebab, yang menjadi hukum asal pada haiwan yang jinak adalah tidak boleh
dimakan kecuali dengan digerek atau ditusuk, sedangkan hukum asal pada haiwan yang liar
adalah dia boleh dimakan dengan cara dilukai. Maka wajib melakukan perbuatan dengan
berpedoman hukum asal pada setiap jenis haiwan yang sesuai dengan keadaannya, dengan
dalil jika haiwan jinak menjadi liar maka tidak wajib bagi orang yang berihram untuk
membayar dam kalau dia membunuhnya, dan keldai jinak tidaklah menjadi boleh dimakan
jika dia tiba-tiba menjadi liar.

 Pentarjihan :

Yang rajih adalah pendapat majoriti ulama dan ketiga imam, iaitu halalnya haiwan
seperti ini dengan cara dilukai. Ahmad berkata, “Mungkin sahaja hadits ini belum sampai
kepada Imam Malik.” Hujah orang yang mewajibkan berpedoman dengan hukum asal
dibantah dengan dua jawaban :

Pertama : Keadaan ini dikecualikan dari hukum asal kerana hadits ayang
menerangkannya sahih.

Kedua : Hukum yang ada pada keadaan ini tidak bertentangan dengan hukum asal,
itu kerana sebab dibolehkannya sembelihan haiwan liar dengan cara dilukai adalah kerana
haiwan itu tidak bisa disembelih, bukan kerana dia itu liar semata, kerananya bila faktor ini
ditemukan pada haiwan ternak yang jinak maka cara penyembelihannya pun sama dengan
cara penyembelihan haiwan liar. Dengan demikian qiyas dan dalil bisa disatukan. Al-Bukhari
telah memberikan judul bab pada kitab Sahihnya mengenai masalah ini dengan kata-kata,
“Bab : Haiwan ternak apa sahaja yang ada di bawah kekuasaanmu lalu membuatmu sulit
untuk menyembelihnya maka hukumnya sama seperti haiwan buruan, demikian pula kalau
unta yang terjatuh ke dalam sumur, maka sembelihlah dia sesuai dengan kemampuanmu.
Ini adalah pendapat Ali, Ibnu Umar dan Aisyah.”

PERSOALAN KEENAM : Hukum Sembelihan Orang Majusi, Serta Pendalilan.

Majusi adalah salah satu kelompok umat manusia dan kata ‘majusi’ adalah bahasa
Parsi. Kata ‘majus’ sama seperti’shabur’, dan Majus diambil dari nama seorang laki-laki yang
kedua telinganya kecil, lalu dia mendirikan sebuah agama dan mengajak orang-orang Arab
untuk memeluknya (manhajkus). Mereka meyakini bahawa Zaradi’ta adalah nabi dan
bahawa Allah menurunkan wahyu kepadanya.

Para ulama sepakat –kecuali segelintir di antara mereka – bahawa haiwan-haiwan


sembelihan mereka tidak boleh dimakan. Abu Tsaur berpendapat sembelihan mereka boleh
dimakan berdalilkan dengan sabda Nabi :

“Perlakukan mereka seperti perlakuan kalian terhadap ahli al-kitab.”

dan juga kerana mereka mengakui adanya pembayaran jizyah kepada kaum muslimin,
kerananya hasil buruan dan haiwan sembelihan mereka dihalalkan.
98

Hanya sahaja yang dimaksudkan dengan hadits, “Perlakukan mereka seperti


perlakuan kalian terhadap ahli al-kitab.”, adalah hanya berkenaan dengan menarik jizyah
sahaja. Pengqiyasan antara haiwan sembelihan dengan jizyah, adalah bahawa kerana jizyah
dipungut dari mereka maka demikian pula sembelihan mereka dihalalkan, ini adalah qiyas
yang rusak kerana adanya perbedaan di antara keduanya. Itu kerana tatkala mereka
mempunyai syubhat berupa kitab suci mereka dan hukum asal pada darah manusia adalah
terjaga, maka darah mereka tidak boleh ditumpahkan dan sebagai gantinya jizyah dipungut
dari mereka, untuk lebih menjaga sisi syubhat dan berpegang kepada hukum asal sampai
ada dalil sabit yang mengeluarkannya dari hukum asal ini. Sedangkan tatkala hukum asal
pada sembelihan adalah haram, maka memilih hukum haram dalam masalah sembelihan
mereka ini adalah dalam rangka sikap berhati-hati dan membiarkan hukum sembelihan itu
sebagaimana asalnya, sehingga semua perkara tetap pada hukum asalnya. Mereka adalah
orang-orang kafir dan tidak ada satu pun dalil yang mengeluarkannya dari hukum asal ini,
kerana mereka tidak termasuk ahli al-kitab maka sembelihannya tidak halal untuk kita. Dalil
bahawa mereka bukanlah ahli al-kitab adalah :

Pertama : Firman Allah swt :

       


         
     
155. Dan ini sebuah Kitab (Al-Quran) Yang Kami turunkan, Yang ada berkatnya (banyak
manfaatnya). oleh itu, hendaklah kamu menurutnya; dan bertaqwalah (kepada Allah),
Mudah-mudahan kamu beroleh rahmat.
156. Supaya kamu tidak mengatakan: "Bahawa Kitab (ugama) itu hanya diturunkan
kepada dua golongan (Yahudi dan Nasrani) dahulu sebelum kami, dan Sesungguhnya
Kami lalai (tidak faham) akan apa Yang dibaca dan dipelajari oleh mereka". (Al-An’aam)
Maka jelaslah bahawa Allah menurunkan Al-Quran kerana tidak mahu mereka
mengucapkan ucapan itu, untuk mencegah dan menolak ucapan mereka itu. Seandainya
Allah menurunkan kitab suci kepada lebih dari dua umat ini (Yahudi dan Nasrani), nescaya
ucapan mereka ini adalah kedustaan dan tidak perlu Allah mencegah mereka
mengucapkannya.

Kedua : Firman Allah swt :

       


          
    
17. Bahawasanya orang-orang Yang beriman, dan orang-orang Yahudi, dan orang-orang
Saabiein, dan orang-orang Nasrani, dan orang-orang Majusi, serta orang-orang musyrik,
Sesungguhnya Allah akan memutuskan hukumNya di antara mereka pada hari kiamat,
kerana Sesungguhnya Allah sentiasa memerhati dan menyaksikan tiap-tiap sesuatu. (Al-
Hajj). Jadi di sini Allah menyebutkan enam agama dan menyebutkan bahawa Dia akan
memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Dan tatkala Allah menyebutkan
agama-agama yang akan mendapatkan keberuntungan di akhirat, Allah berfirman,

        


     … 
99

62. Sesungguhnya orang-orang Yang beriman, dan orang-orang Yahudi dan orang-orang
Nasora (Nasrani), dan orang-orang Saabien sesiapa di antara mereka itu beriman kepada
Allah dan (beriman kepada) hari akhirat serta beramal soleh, … (Al-baqarah)

        


     … 
69. Sesungguhnya orang-orang Yang beriman, dan orang-orang Yahudi, dan orang-orang
Saabiein, dan orang-orang Nasrani - sesiapa sahaja di antara mereka Yang beriman
kepada Allah (dan Segala RasulNya meliputi Nabi Muhammad s.a.w) dan (beriman
kepada) hari akhirat serta beramal soleh, … (Al-Ma’idah), maka Allah tidak menyebutkan
Majusi dan tidak pula kaum musyrikin. Seandainya ada kebahagian pada kedua agama ini di
akhirat – sebagaimana pada agama shabi’in, Yahudi dan nasrani – nescaya Allah akan
menyebutkan mereka. Dan seandainya mereka mempunyai kitab suci maka bererti mereka
berada pada hidayah – sebelum adanya penghapusan dan penggantian pada kitab mereka –
dan mereka akan masuk ke dalam syurga jika mereka mengamalkan syariat mereka,
sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani berada pada hidayah sebelum adanya
penghapusan dan penggubahan pada kitab suci mereka. Tatkala Allah tidak menyebutkan
Majusi dalam golongan mereka, maka diketahuilah bahawa mereka sama sekali tidak
mempunyai kitab suci. Jika ada yang mengatakan : Kalau begitu ini mengharuskan halalnya
sembelihan As-Shabi’in, maka kita katakana : Hal ini mengharuskan demikian.

Imam Abu Hanifah berpendapat halalnya sembelihan-sembelihan mereka (Majusi)


dan demikian pula sekelompok ulama lain selain Abu Hanifah, kerana kereka – menurut
mereka – termasuk ahli al-kitab, bukan kerana mereka mempunyai kitab suci sendiri.

Ketiga : Sabda Rasulullah saw :

“Perlakukan mereka seperti perlakuan kalian terhadap ahli al-kitab.” menunjukkan


bahawa mereka bukan ahli al-kitab, kita hanya diperintahkan untuk memperlakukan mereka
(Majusi) dengan tradisi mereka (ahli al-kitab) dalam masalah penarikan jizyah sahaja,
sebagaimana yang para sahabat lakukan kerana mereka tidak memahami dari lafaz ini
kecuali hukum ini.

Jika ada yang mengatakan : Diriwayatkan dari Ali bahawa dia berkata, “Merka
(Majusi) dahulu mempunyai kitab suci kemudian kitab suci mereka diangkat ke langit.”
Maka ini dijawab dari dua sisi :

Pertama : Atsar ini telah dinilai lemah oleh Imam Ahmad dan juga yang lainnya ,
sebagaimana yang disebutkan oleh Syaeikhul Islam Ibnu Taimiyah. Imam Al-Qurthubi
berkata dalam Tafsirnya, “Diriwayatkan dari As-Syafie bahawa mereka pada masa lalu
pernah mempunyai kitab suci sehingga mereka termasuk ahli al-kitab lalu mereka
menggantinya. Menurut pendapat penulis, beliau berpendapat seperti itu kerana bersandar
pada atsar dari Ali bin Abi Thalib dari jalur yang lemah, sanadnya berputar pada Abu Said Al-
Baqqal sebagaimana yang dikatakan oleh Abdurrazzaq dan yang lainnya.” Selesai.

Di dalam sanadnya juga terdapat Said bin Al-Marzuban, seorang perawi yang dikritik.
Yahya al-Qatthan berkata, “Saya tidak mahu meriwayatkan darinya,” Ibnu Main berkata,
100

“Dia tidak bernilai apapun dan hadits-haditsnya tidak patut ditulis,” Al-Fallas berkata,
“Haditsnya ditinggalkan” dan Abu Zur’ah berkata, “Dia adalah seorang mudallis.”

Kedua : Kalaupun sanadnya dianggap kuat kerana Al-Hafiz Ibnu Hajar telah menilai
riwayat ini hasan, kalaupun atsar ini dihukumi sahih maka itu hanya menunjukkan bahawa
mereka dahulu pernah mempunyai kitab suci lalu diangkat, tidak menunjukkan bahawa
sekarang mereka mempunyai kitab. Dengan demikian mereka tidak dapat dikategorikan ke
dalam ahli al-kitab kerana mereka sama sekali tidak mempunyai kitab, baik kitab itu sudah
diganti mahupun yang belum diganti, tidak pula kitab yang dihapus mahupun yang belum
dihapus, akan tetapi mereka (Majusi) digolongkan kepada ahli al-kitab hanya dalAM
MASALAH JIZYAH. Adapun masalah pernikahan dan sembelihan, maka kehalalannya hanya
terbatas pada ahli al-kitab, kerana darah mereka haram untuk ditumpahkan kerana adanya
syubhat sedangkan pernikahan dan sembelihan tidak halal dengan syubhat.

PERSOALAN KETUJUH : Hukum Sembelihan Penyembah Berhala, Puak Ad-Dahri Dan Orang
Yang Murtad, Serta Pendalilan Dan Penjelasan Hikmahnya.

Al-watsani adalah orang yang menyembah watsan, iaitu berhala, baik yang terbuat
dari kayu atau batu atau selainnya dari semua benda yang disembah selain Allah, berupa
kuburan, pepohonan, bebatuan dan manusia. Maka Al-watsani adalah semua orang yang
berbuat syirik terhadap Allah dengan syirik akbar, siapapun yng dia sembeh selain Allah.

Ad-dahri adalah nisbah kepada dahr (zaman), ini diperuntukkan kepada orang yang
meyakini kekekalan zaman dantidak beriman kepada hari kebangkitan. Maka ini mencakup
semua orang yang tidak meyakini adanya Sang Pencipta, dari kalangan orang-orang yang
menganut faham meterialisme seperti orang-orang atheis dan yang semisal mereka dari
kalangan orang-orang yang menyimpang dari yang haq kepada kebatilan.

Orang yang murtad adalah orang yang kafir setelah masuk Islam kerana
mengamalkan salah satu dari pembatal-pembatal keIslaman, misalnya melakukan salah satu
dari perbuatan kekafiran, seperti pemikiran atheis, mengaku sebagai nabi atau
membenarkan orang yang mengaku nabi – seperti al_Qadiyaniah -, atau meyakini bolehnya
berhukum denag selain hukum yang Allah turunkan, berupa undang-undang buatan
manusia, dan demikian pula orang-orang syiah yang ekstrim yang meyakini Ali dan Husein
atau selainnya dari para imam ahli al-bait sebagai sembahan. Demikian pula perbuatan
meninggalkan solat sambil mengingkari kewajipannya adalah kemurtadan dari Islam
berdasarkan ijma’ dan meninggalkannya kerana malas tetapi masih mengakui kewajibannya
juga merupakan kemurtadan menurut pendapat yang paling benar, sesuai dengan rincian
yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh. Ini adalah contoh nyata dari perbuatan murtad dari
Islam, yang dialami banyak orang dari orang-orang yang mengaku Muslim pada masa
sekarang. Maka sembelihan orang kafir asli, baik dia watsani mahupun dahri adalah haram
berdasarkan ijma’ dan firman Allah,

      …  …


5. …dan makanan (sembelihan) orang-orang Yang diberikan Kitab itu adalah halal bagi
kamu, … (Al-Ma’idah). Pemahaman kebalikannya adalah haramnya makanan (sembelihan)
101

orang-orang kafir selain mereka, kerana mereka tidak mempunyai kitab suci sehingga
sembelihan-sembelihan mereka tidak halal.

Sembelihan orang yang murtad adalah haram menurut majoriti ulama, sementara
Ishak berkata, “Jika dia murtad kepada agama ahli al-kitab maka sembelihan mereka halal
kerana dia mendapatkan hukum mereka dalam hala halalnya sembelihan mereka.

Yang benar adalah pendapat jumhur ulama, kerana orang yang murtad adalah orang
yang kafir dan tidak boleh disetujui agama apapun yang dia pindah kepadanya, sehingga
sembelihannya tidak halal seperti watsani. Hukum-hukum ahli al-kitab juga tidak berlaku
atas mereka walaupun mereka beragama dengan agama mereka, maka jizyah mereka tidak
diterima, tidak boleh dimerdekakan (kalau dia hamba) dan tidak halal menikahi perempuan
yang murtad.

Adapun apa hikmah dari pengharaman sembelihan orang-orang Majusi, watsani dan
dahri, maka penjelasan kenyataan yang sangat penting ini kita serahkan masalah ini kepada
Al-‘Allamah Ibnu Al-Qayyim ketika beliau berkata, “Sesungguhnya sembelihan mereka ini
mengakibatkan yang disembelih menjadi khabits dan mengharuskan itu menjadi haram,
kerana penyebutan nama berhala-berhala, binatang-bintang dan jin pada haiwan
sembelihan akan menjadikannya khabits sedangkan penyebutan nama Allah swt semata
akan menjadikannya thayyib, dan Allah swt telah menjadikan sembelihan yang tidak
disebutkan namaNya sebagai kefasikan, dan itulah al-Khabits.

Tidak diragukan bahawa penyebutan nama Allah pada haiwan sembelihan akan
mensucikannya dan mengusir syaitan dari orang yang menyembelih dan sembelihannya.
Kerananya , jika dia tidak menyebut namaNya maka syaitan akan ikut bersama orang yang
menyembelih dan haiwan yang disembelih yang akan menjadikan haiwan sembelihan itu
khabits. Syaitan berjalan di dalam tempat-tempat peredaran darah haiwan tersebut,
sehingga darahnya menjadi tunggangannya dan yang membawanya, sedangkansyaitan
adalah makhluk yang paling khabits. Maka, jika orang yang menyembelih menyebut nama
Allah, syaitan akan keluar dari darahnya sehingga sembelihan itu akan menjadi thayyib.
Tetapi jika dia tidak menyebut nama selain Allah dari nama-nama syaitan-syaitan dan
berhala-berhala, maka itu mengakibatkan munculnya sifat khabits tambahan pada haiwan
sembelihan itu.

Penyembelihan hukumnya sama seperti ibadah lainnya, kerananya Allah


menggandingkan keduanya, seperti pada firmannya :

   


2. Oleh itu, kerjakanlah sembahyang kerana Tuhanmu semata-mata, dan sembelihlah
korban (sebagai bersyukur). (Al-Kautsar)

         


162. Katakanlah: "Sesungguhnya sembahyangku dan ibadatku, hidupku dan matiku,
hanyalah untuk Allah Tuhan Yang memelihara dan mentadbirkan sekalian alam. (Al-
An’aam)
102

          
          
         
          
          
36. Dan Kami jadikan unta (yang dihadiahkan kepada fakir miskin Makkah itu)
sebahagian dari Syiar ugama Allah untuk kamu; pada menyembelih unta Yang tersebut
ada kebaikan bagi kamu; oleh itu sebutlah nama Allah (semasa menyembelihnya) ketika
ia berdiri di atas tiga kakinya maka apabila ia tumbang (serta putus nyawanya),
makanlah sebahagian daripadanya, dan berilah (bahagian Yang lain) kepada orang-
orang Yang tidak meminta dan Yang meminta. Demikianlah Kami mudahkan Dia untuk
kamu (menguasainya dan menyembelihnya) supaya kamu bersyukur.
37. Daging dan darah binatang korban atau hadiah itu tidak sekali-kali akan sampai
kepada Allah, tetapi Yang sampai kepadanya ialah amal Yang ikhlas Yang berdasarkan
taqwa dari kamu. Demikianlah ia memudahkan binatang-binatang itu bagi kamu supaya
kamu membesarkan Allah kerana mendapat nikmat petunjukNya. dan sampaikanlah
berita gembira (dengan balasan Yang sebaik-baiknya) kepada orang-orang Yang
berusaha supaya baik amalnya. (Al-Hajj)

Allah menyebutkan bahawa Dia hanya menundukkan binatang-binatang ternak itu


kepada orang yang menyebut namaNya ketika menyembelihnya dan yang sampai
kepadaNya hanyalah ketaqwaan, iaitu taqarrub kepadaNya dengan amal itu dan dengan
menyebut namaNya ketika menyembelih. Jika dia tidak menyebut nama Allah atasnya maka
dia dilarang memakannya dan dagingnya makruh (dibenci) sehingga kebencian Allah pun
berlaku terhadapnya – kerana namaNya tidak disebut ketika menyembelihnya atau disebut
nama selainNya ketika menyembelih – akan menjadikannya khabits sehingga kedudukannya
sama seperti bangkai. Jika demikian keadaan sembelihan yang tidak didahului dengan
tasmiah atau yang disebutkan nama selain Allah padanya, maka apa yang disembelih oleh
musuhNya (syaitan) – yang berupa makhluk yang paling khabits – yang ikut serta dalam
penyembelihan tentu akan lebih pantas untuk diharamkan. Jika orang yang menyembelih
melakukannya demikian.”

Jika ada yang mengatakan : Penyimpangan ini juga ada pada ahli al-kitab, akan tetapi
sembelihan-sembelihan mereka tetap dihalalkan! Maka jawabannya : Ada perbedaan yang
sangat mencolok antara para penyembeh berhala dengan ahli al-kitab, kerana kekafiran
para penyembah berhala lebih parah kekafiran ahli al-kitab, kerana ahli al-kitab masih
mempunyai bahagian dalam tauhid dan sebahagian amalan-amalan warisan para nabi, yang
mana semua ini tidak ada pada para penyembah berhala. Ahli al-kitab beriman akan adanya
hari kebangkitan, pembalasan dan kenabian secara umum, berbeda halnya dengan para
penyembah berhala. Di sisi lain, para penyembah berhala memerangi seluruh rasul dan
umat-umat mereka sejak zaman Nuh hingga penutup para nabi dan rasul. Sedangkan ahli al-
kitab – walaupun mereka kafir -, mereka tetap mengakui asal kenabian, tauhid, hari akhirat,
syurga dan neraka dan di dalam kitab-kitab mereka ada penyebutan khabar gembira
mengenai kedatangan Nabi Muhammad saw.

Maka adanya perbedaan yang mencolok antara kedua kelompok ini memberikan
pengaruh pada halalnya sembelihan-sembelihan dan bolehnya menikahi perempuan-
perempuan ahli-al-kitab, berbeda dengan para penyembeh berhala. Mungkin sahaja di sana
103

masih ada rahsia lain selain itu yang tidak kita ketahui. Yang wajib atas kita hanyalah
menerimahukum-hukum Allah, baik kita ketahui hikmahnya mahupun tidaak. Wallahu
a’lam.

PERSOALAN KELAPAN : Hukum Daging Yang Diimport Dari Negara Orang Bukan Islam
(Kafir), Yang Menganuti Berbagai Agama.

Makanan yang diimport dari orang-orang kafir ada dua jenis :

Jenis pertama : Yang tidak perlu disembelih, dan ini juga terbahagi menjadi dua :

1. Yang tidak memerlukan pengolahan dan pembuatan, seperti buah-buahan dan


beras,

2. Yang mereka olah dan proses pembuatan yang tidak berhubungan dengan agama
mereka, seperti roti dan tepung.

Adapun makanan yang tanpa pengolahan dan pembuatan dari mereka maka
hukumnya halal berdasarkan ijma’. Adapun yang mereka olah dan produksi maka hukumnya
juga halal kecuali makanan yang bercampur sesuatu daru sembelihan-sembelihan mereka,
seperti keju kerana ia memerlukan al-infahah – dengan hamzah dikasrah, fa’ difathah dan
terkadang dikasrah, dan ha diringankan dan terkadang ditasydid -, dia adalah zat yang
dikeluarkan dari perut anak kambing yang masih menyusu, zat ini diperah dari susu lalu ia
mengental.

Jika infahah ini berasal dari sembelihan orang yang sembelihan mereka diharamkan
– seperti orang majusi -, maka pada kehalalan keju yang dibuat darinya ada perselisihan
pendapat di antara ulama kaum Muslimin, sebagaimana yang diringkas oleh Syeikhul Islam
Ibnu Taimiyah dengan kata-katanya, “Perselisihan ini muncul dari perselisihan mereka
mengenai susu dan infahah bangkai, apakah keduanya suci atau najis. Menurut Abu Hanifah
dan salah satu riwayat dari Ahmad, keduanya adalah suci, sehingga menurut pendapat ini,
keju dari orang majusi adalah halal kerana dia terbuat dari infahah dan dia adalah zat yang
suci. Sedangkan menurut Malik As-Syafie dan riwayat kedua dari Ahmad, keduanya adalah
najis, sehingga menurut pendapat ini, keju orang majusi adalah haram kerana dia terbuat
dari infahah dan dia adalah zat yang najis. Yang lebih tepat adalah pendapat pertama, iaitu
sucinya infahah bangkai, sehingga keju yang terbuat darinya adalah halal. Kerana tatkala
para sahabat menaklukkan negeri-negeri Iraq, mereka memakan keju yang dibuat oleh
orang majusi, dan pembolehan ini tampak jelas dan tersebar luas di kalangn mereka.
Ditambah lagi susu dan infahah itu tidak mati, keduanya hanya dianggap najis oleh orang
yang menganggapnya kerana keduanya berada di dalam wadah yang najis (bangkai). Tetapi
alas an ini kurang tepat kerana kami tidak menerima kalau cairan bisa menjadi najis kalau
bersentuhan dengan yang najis.

Maksudnya : Selama najis tersebut tidak mengubah salah satu dari sifat-sifatnya.
Inilah kesimpulan mengenai perbedaan pendapat mengenai hukum keju di masa lampau.
Berpatokan dari sini, kita bisa menghukumi halalnya keju yang ada sekarang selama dia
tidak mengandung zat yang diharamkan, seperti lemak babi.
104

Jenis kedua : Makanan yang diimport dari orang-orang kafir berupa sembelihan.
Kaum Muslimin di zaman ini mengimport dari negeri-negeri kafir, daging-daging yang
kehalalannya ditentukan pada terpenuhinya syarat-syarat penyembelihan syarie, seperti
mengimport lembu, kambing dan ayam. Kaum Muslimin berada dalam kebingungan
mengenai kondisi daging-daging ini, apakah dia memenuhi syarat-syarat penyembelihan
yang syarie ataukah tidak.

Tidak diragukan bahawa masalah seperti ini adalah masalah yang sangat penting
dalam kehidupan kaum Muslimin, kerana makanan mempunyai peran penting dalam
mempengaruhi hidup manusia. Dan Islam memberi perhatian besar mengenai masalah ini,
sehingga menetapkan batas-batas dan kaedah-kaedah dari makanan yang diharamkan, baik
yang berupa daging mahupun yang lainnya, serta memperingatkan kaum Muslimin dari
memakannya agar mereka selamat dari pengaruh-pengaruh buruknya serta bahya-
bahayanya yang besar.

Dari sinilah bermunculan banyak pertanyaan seputar hukum daging-daging ini yang
masuk ke negeri muslim dari berbagai negeri kafir, apakah dia mempunyai sifat halal
ataukah sifat haram. Kemudian jawaban dari orang-orang yang menjawab pertanyaan ini
pun beraneka ragam, yang mana terkadang semua jawaban itu menambah rumit maslah
sehingga permasalahan ini – secar teori – masih tersisa dan belum juga mencapai jalan
keluar yang pasti.

Maka kami dalam pembahasan yang singkat ini – insya Allah – akan membawakan
pendapat-pendapat dari para peneliti yang berhasil kami dapatkan dalam masalah ini, lalu
kami akan membantah pendapat yang patut dibantah sesuai dengan batas keilmuan kami,
kemudian kami akan menyampaikan pendapat yang kami pandang kuat dalam maslah
tersebut. Maka kami katakana – hanya Allah yang memberi taufik dan menunjuki kepada
jalan yang lurus :-

Telah kami sebutkan sebelumnya bahawa sembelihan ahli al-kitab adalah halal
berdasarkan ijma’ dan bahawa sembelihan orang kafir selain ahli al-kitab adalah haram
berdasarkan ijma’, kecuali sedikit perbedaan pendapat yang tidak perlu diperhatikan dalam
masalah sembelihan Majusi. Dan hukum sembelihan di sini dalam permasalahan ini tidak
berbeda dengan hukum yang telah lalu, dan penjelasannya sebagai berikut :

Pertama : daging apa sahaja yang diimport dari negeri-negeri kafir yang
penduduknya selain ahli al-kitab, atau disembelih oleh orang kafir selain ahli al-kitab di
mana pun negerinya, maka hukumnya adalah haram.

Kedua : Apa sahaja yang diimport dari negeri-negeri kafir yang penduduknya adalah
ahli al-kitab, atau dia disembelih oleh ahli al-kitab di mana pun negerinya, dan diketahui
bahawa cara penyembelihannya sesuai dengan cara syariat maka hukumnya halal.

Ketiga : Apa sahaj yang diimport dari negeri-negeri kafir yang penduduknya ahli al-
kitab, hanya sahaja banyak rumor yang berkembang bahawa mereka menyembelihnya
dengan cara yang tidak syarie, maka di sinilah letak permasalahannya.
105

Berikut kami akan memaparkan contoh-contoh pendapat mengenai cara


penyembeliham mereka :

Disadur dari kitab yang berjudul, “Daging – Beberapa perbahasan mengenai haiwan
sembelihan, haiwan buruan dan daging kemasan.”, karya Sayyid Abdullah Ali Husain, salah
seorang ulama Al-Azhar dan seorang saujana hukum. Dia menyelesaikan karyanya ini pada
tahu 1367H dan dia menutup tulisannya itu dengan kata-kata berikut : “ Sesungguhnya saya
bersaksi kepada Allah semata bahawa saya tidak mengurangi luasnya pembahsan dan tidak
menyimpan pengetahuan yang bermanfaat, dan saya bersaksi kepada Allag bahawa saya
telah menyampaikan dan Allah adalah sebaik-baik saksi.”

Dia berkata di dalam kitab ini, “Adapu daging-daging dalam kemasan, seperti ‘bull
beef’(daging lembu), kaldu lembu yang dikenal dengan nama ‘ceff acsou’ dan mie rasa sop
ayam, demikian pula daging-daging yang dikemas dalam kaleng yang terbuat dari timah dan
semacamnya apapu jenis dagingnya, yang didatangkan ke Mesir dari Eropah, Australia dan
Amerika, hukumnya jelas haram untuk dikonsumsi kerana dia berasal dari daging haiwan
yang dipukul sampai mati. Cara penyembelihan di semua Negara yang kami sebutkan ini,
semuanya hampir sama, iaitu dengan memukul haiwan pada bahagian otaknya sehingga
haiwan tersebut langsung jatuh tersungkur tidak bergerak sama sekali kerana pukulan
tersebut mengenai otaknya. Dan bilamana itu dilakukan lalu dibawa untuk dilakukan
pemotongan setelah sebelumnya dikuliti, haiwan ini pun diolah menjadi berbagai jenis
daging kemasan dan makanan yang terbuat darinya. Dahulu saya mencuba mengetahui cara
penyembelihan mereka yang sebenarnya melalui jalur rasmi, agar hasilnya nanti tidak bisa
dibantah dan tidak diragukan keotentikannya dalam penerapan hukum syariat (dalam
masalah ini). Lalu saya mengirim surat secara berkala ke konsulat 14 negara : (1) England, (2)
Perancis, (3) Sepanyol, (4) Belanda, (5) Itali, (6) Turki, (7) Afrika selatan, (8) Amerika Syarikat,
(9) Brazil, (10) Australia, (11) Russia, (12) Denmark, (13) Switzerland dan (14) Romania, yang
mana surat tersebut berisi tiga pertanyaan :

Pertama : Bagaimana cara penyembelihan haiwan di Negara kalian (Atau cara kalian
membunuh haiwan)

Kedua : Bahagian tubuh mana yang pertama kali dipukul pada haiwan yang akan
dibunuh di negara kalian.

Ketiga : Industri apa sajakah yang menggunakan bahan baku daging kemasan yang
dibuat dan berasal dari Negara kalian.

Yang menampakkan dengan sangat jelas penyelisihan mereka terhadap cara yang
syarie adalah keterangan yang ada dalam jawaban negara Belanda dan denmarak,
kerananya kami membawakannya sebagai berikut :

1. Method Belanda dalam menyembelih, sebagaimana jawaban mereka :

Haiwan tersebut dibunuh – setelah diseksa – dengan cara pembunuhan yang paling
cepat. Cara penyeksaannya adalah dengan menggunakan peralatan yang menghancurkan
106

otak sehingga haiwan tersebut langsung kehilangan kesadarannya saat itu juga (padahal
memenggal kepala atau tengkuk adalah perkara yang dilarang, dan demikian pula
penyembelihan dengan alat pisau automatis). Jadi haiwan tersebut dibunuh dengan
menggunakan penusuk yang mempunyai bor dan alat ini dilengkapi denganbubuk mesiu
yang siap meledak. Bor yang berbentuk cekung ini lalu dimasukkan ke dalam otaknya, dan
dia akan segera kembali ke tempatnya sebelum kepala haiwan itu jatuh.

2. Method Denmark dalam menyembelih, sebagaimana dalam jawaban mereka :

Kuda, lembu jantan dan unta yang besar disembelih dengan cara dipengsankan, baik
dengan menembak kepalanya di bahagian otaknya dengan menggunakan pistol dengan
peluru yang khusus dirancang untuk proses ini atau denganpistol yang menembakkan paku
yang tembus ke dalam. Adapun unta kecil dan kambing, maka dia disembelih dengan cara
dipengsankan, baik dengan peluru mahupun dipukul dengan keras di bahagian hadapan
kepala dengan palu. Adapun ayam, maka mereka mengharuskan dalam penyembelihannya
dengan dipengsankan dengan segera dengan cara melakukan pukulan yang keras dengan
menggunakan palu di atas kepalanya.

Ketika menyembelih kuda, lembu jantan dan unta yang besar dengan method yang
disebutkan di atas, darahnya dikeluarkan dengan memasukkan pisau pada bahagian bawah
lehernya, tepatnya di bahagian pembuluh darah besar yang terdapat di bahagian dalam
dada dari arah atas, dan yang akan dipakai dalam proses ini adalah proses biasa.

Adapu unta kecil dan kambing, maka darahnya dikeluarkan dengan membelah
tubuhnya dari bahagian bawah lehernya, yang tepatnya di bahagian pembuluh darah besar
yang terletak di belakang kepala di sekitar tengkuk, sehingga semua pembuluh darahnya
terputus.” Selesai.

Kemudian penulis mengomentarinya dengan mengatakan, “Semua ini adalah bukti


yang legal dan otentik dari apa yang kami katakana, iaitu bahawa sembelihan-sembelihan
mereka adalah ahaiwan yang mati kerana dipukul dengan pukulan yang mematikan,
hukumnya najis dan haram, tidak boleh seorang seorang Muslim mengonsumsinya atau
mengimportnya atau menjualnya. Dulu saya merasa cukup dengan apa yang saya ketahui
secara peribadi selama saya belajar di Eropah selama lima tahun, iaitu bahawa method
penyembelihan haiwan mereka di tempay penyembelihan adalah pembunuhan dengan cara
pemukulan pada kepalanya yang tepat mengenai otaknya di bahagian hadapan kepala di
antara dua tanduk pada kepala bahagian hadapan. Pemukulannya hanya sebanyak satu kali
dengan menggunakan alat yang memang dirancang untuk itu sehingga haiwan tersebut saat
itu juga langsung jatuh tersungkur. Akan tetapi kerana khuatir saya mengklaim sesuatu yang
saya tidak ketahui, maka saya pun mendatangkan bukti bertulis dari pemerintahan mereka
sendiri, yang sengaja kami sebarkan agar orang-orang mengetahuinya dan merasa cukup
dengan bukti itu.”

Kemudian penulis berkata, “Saya juga pernah mengunjungi pakar penyembelihan


yang bekerja sebagai perwakilan negara Mesir untuk eropah dan Amerika. Lalu dia berkata,
“Saya telah bertanya kepada yang mulia mufti Mesir tentang hukum membunuh haiwan
dengan cara seperti ini, maka beliau menjawab, “Jika diyakini haiwan tersebut masih hidup
107

setelah dipukul, maka kita segera menyembelihnya setelah pemukulan itu selama dia masih
hidup agar penyembelihannya sempurna,” beliau berkata, “Kecuali kalau denga sekadar
dipukul itu kemungkinannya untuk hidup sudah diragukan bahkan diyakini kalau dia sudah
mati sebelum disembelih.” Selesai.

PERBAHASAN KEDUA : Perburuan

PERSOALAN PERTAMA : Definisi perburuan dan hukum berburu.

Berburu (as-shaid) adalah bentuk masdar dari shada-yashidu shaidan, digunakan


untuk perbuatan berburu haiwan, baik haiwan darat mahupun haiwan laut, yang liar
mahupun yang jinak, yang halal dimakan mahupun yang haram, dan terkadang juga
digunakan untuk haiwan buruan. Dan yang dimaksud di sini adalah memburu haiwan yang
halal dimakan, mempunyai tabiat yang liar dan sulit untuk dijinakkan.

Hukum berburu : Berburu boleh hukumnya kalau bertujuan untuk memenuhi


kebutuhan dan mengambil manfaat dari dagingnya. Makruh hukumnya kalau bertujuan
hanya untuk bermain-main atau menjadikannya sebagai hobi semata-mata, kerana itu
menyibukkan dari mengerjakan sesuatu yang lebih bermanfaat dari amal keagamaan dan
keduniaan, padahal tujuan yang paling penting dari manusia dalam kehidupan dunia adalah
sesuatu yang jauh lebih tinggi daripada itu, iaitu dia diciptakan untuk beramal dengan
sungguh-sungguh untuk agama dan dunianya. Diharamkan berburu pada dua keadaan :

Pertama : Jika meninbulkan perbuatan kezaliman dan permusuhan kepada orang


lain, misalnya dengan merusak tanaman-tanaman mereka, kebun-kebun mereka dan harta-
harta mereka.

Kedua : Jika berburunya di tanah al-haram atau dia dalam keadaan ihram. Allah swt
berfirman dalam menjelaskan Al-Haram :
      … 
67. Dan tidakkah mereka melihat dan memerhatikan Bahawa Kami telah menjadikan
(Makkah, negeri mereka) tanah suci Yang dihormati, lagi aman; … (Al-Ankabut)

Nabi bersabda dalam sebuah hadits yang panjang :

“Haiwan buruannya (Al-Haram) tidak boleh dibuat lari,” Muttafaqun ‘Alaihi.

Yang dimaksud dengan membuat lari haiwan buruan adalah dengan mengusiknya
dari tempatnya. Maka di sini diambil pendalilan lebih diharamkan lagi kalau sampai
membunuhnya. Dan baginda mengecualikan darinya beberapa haiwan yang biasa
mengganggu (yakni lima binatang yang boleh dibunuh). Dengan sabda baginda :

“Ada lima haiwan fasik yang boleh dibunuh di tanah halal dan tanah haram,” Muttafaqun
‘Alaihi

Dan Allah swt berfirman dalam mengharamkan orang yang sedang berihram untuk
berburu :
108

        … 


96. …. tetapi diharamkan atas kamu memburu binatang buruan darat selama kamu
sedang berihram. … (Al-Ma’idah)

…         


95. Wahai orang-orang Yang beriman! janganlah kamu membunuh binatang-binatang
buruan ketika kamu sedang berihram. … (Al-Ma’idah)

PERSOALAN KEDUA : Keterangan Tentang Syarat-Syarat Yang Disepakati Dan Yang


Diperselisihkan Bagi Menghalalkan Binatang Buruan Yang Mati Akibat Perburuan, Serta
Pendalilan Dan Pentarjihan.

Telah dijelaskan terdahulu bahawa haiwan yang boleh dimakan terbahagi menjadi
dua : Yang bisa dijinakkan dan yang tidak bisa dijinakkan.

Yang bisa dijinakkan, hukumnya tidak boleh dimakan kecuali harus disembelih.

Yang tidak bisa dijinakkan, setekah dia terkena lemparan (pemburu) ada dua
keadaan :

Keadaan Pertama : Dia ditemukan dalam keadaan masih bernyawa (hayat


mustaqirrah), maka dalam keadaan seperti ini tidak halal untuk dimakan kecuali setelah
disembelih, kerana saat itu dia masuk dalam kategori haiwan yang bisa ditundukkan yang
sama hukumnya dengan haiwan jinak, sehingga dia harus disembelih dengan
penyembelihan yang sah beserta syarat-syaratnya yang telah disebutkan terdahulu. Yang
dimaksud dengan hayat mustaqirrah adalah gerakannya masih lebih aktif daripada gerakan
haiwan yang sudah disembelih dan masih banyak waktu untuk menyembelihnya.

Keadaan Kedua : Dia mati kerana diburu atau dia ditemukan dalam keadaan tidak
lagi bernyawa yang mustaqirrah atau dia mempunyai kehidupan yang mustaqirrah akan
tetapi sudah tidak sempat lagi untuk menyembelihnya.

Maka dalam keadaan seperti ini, ketika dia terkena alat berburu maka itu sudah
menggantikan posisi penyembelihan, sehingga dia boleh dimakan kalau terpenuhi syarat-
syarat berikut :

Syarat Pertama :

Pemburu tersebut adalah orang yang boleh menyembelih, dengan terpenuhinya


kedua syarat yang dipersyaratkan pada orang yang menyembelih, iaitu berakal dan
beragama.

Yang dimaksud dengan berakal adalah dia mumayyiz serta bukan orang yang mabuk,
bukan pula orang yang gila dan bukan pula anak kecil yang berada di bawah usia mumayyiz.
Sedangkan yang dimaksud dengan beragama adalah dia seorang muslim atau ahli al-kitab,
maka tidak dihalalkan hasil buruannya orang yang menyembah berhala (watsani), orang
109

Majusi dan orang yang murtad, kerana berburu sama hukumnya dengan menyembelih dan
pemburu dianggap sebagai orang yang menyembelih sehingga disyaratkan padanya
(berburu) kelayakan (menyembelih) yang dipersyaratkan pada orang yangmenyembelih,
sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu.

Syarat Kedua :

Peralatan yang digunakan cocok untuk perburuan, yang mana dia ada dua jenis :

Jenis Pertama : Semua benda tajam yang bisa dilemparkan terhadap haiwan buruan,
seperti panah, pedang, tombak dan yang semisalnya dari senjata yang bisa melukai dengan
tajam, seperti peluru senapang yang dikenal luas di zaman ini, yang mana pelemparan
(tembakan) dengan serbuk mesiu ini pertama kali digunakan pada pertengahan abad ke
lapan. Berbeda halnya dengan bunduq iaitu tanah yang dibentuk menjadi seperti bola lalu
dilemparkan kepada haiwan buruan – bentuk tunggalnya adalah bandaqah -, maka haiwan
yang mati dengan menggunakan bunduq ini tidak halal dimakan kerana dia membunuh
dengan berat massanya sehingga tanah tersebut meremukkan dan mematahkan tulangnya
sehingga haiwan tersebut tergolong mauqudzah. Adapun bubuk mesiu (peluru) yang ada
pada masa ini, maka dia membunuh haiwan buruan dengan cara merobek dan menembus,
yang mana kedua cara ini lebih kuat (daya bunuhnya) daripada pedang. Sebahagian ulama
Al-Hanafiah berfatwa bahawa tidak halal haiwan yang dibunuh denagn mesiu kerana
kematiannya diakibatkan luka bakar dan hantaman dari massa peluru yang ditembakkan
dengan keras. Mungkin yang mereka maksud di sini adalah sejenis peluru berupa potongan
kecil yang berbentuk bulat yang sampai sekarang masih biasa digunakan, dan orang-orang
awam biasa menamakannya dengan al-halbi. Adapun peluru yang masyhur di zaman ini,
maka tidak ada satu pun alasan mengharamkan haiwan yang terbunuh dengannya.

Disyaratkan pada penggunaan senjata tajam di sini adalah apa yang disyaratkan pada
alat penyembelihan, iaitu senjata tersebut dapat membunuh dengan ketajamannya dan
tidak terbuat dari gigi dankuku, sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu. Jika
seseorang melempari haiwan sembelihan dengan sebuah senjata tajam lalu senjata tersebut
mengenainya dengan bahagiannya yang tajam kemudian membunuhnya, maka hukumnya
halal. Jika dia melemparinya dengan benda yang tidak mempunyai ketajaman, seperti batu,
atau dia mempunyai bahagian yang tajam tetapi senjata tersebut mengenainya bukan
dengan bahagiannya yang tajam lalu membunuhnya, maka dia tidak halal dimakan.
Berdasarkan hadits Hadi bin Hatim dia berkata :

“Aku bertanya kepada Rasulullah tentang hukum berburu dengan menggunakan mi’radh,
maka beliau bersabda, “Jika engkau melukainya dengan menggunakan bahagian
runcingnya maka makanlah, tetapi jika engkau melukainya dengan menggunakan sisinya
maka janganlah memakannya kerana dia adalah waqidz (yang mati kerana terbentur).”

Mi’radh – dengan mim dikasrah, ain disukun, lalu huruf ra dan huruf dhadh setelah
alif – adalah tongkat yang hujungnya runcing.

Jadi jika kayu tersebut mengenainya pada bahagian runcingnya, maka itu boleh
dimakan kerana kedudukannya seperti anak panah. Tetapi jika alat itu mengenainya pada
110

bahagian sisinya, maka dia tidak boleh dimakan, dan alasannya telah disebutkan dalam
hadits bahawa kerana dia termasuk waqidz. Hal itu kerana kayu tersebut – dalam keadaan
seperti itu – tidak sama dengan anak panah, bahkan kedudukannya sama dengan batu
danbenda-benda berat lainnya, sedangkan semua haiwan yang terbunuh dengan
menggunakan benda yang berat,maka itu adalah waqidz yang tidak halal untuk dimakan,
kerana Allah telah mengharamkan al-mauqudzah dan haiwan seperti ini termasuk di
dalamnya, baik alat itu melukai haiwan tersebut dengan menggunakan benda yang berat
atau pun tidak, kerana luka yang terjadi tidak mengakibatkan mengalirnya darah.

Alat perburuan jenis Kedua : Haiwan berburu, iaitu pemangsa dari jenis haiwan
buas, anjing dan burung, berdasarkan firman Allah swt :

           
         
       … 
4. Mereka bertanya kepadamu (Wahai Muhammad): "Apakah (makanan) Yang
Dihalalkan bagi mereka?" bagi menjawabnya katakanlah: "Dihalalkan bagi kamu
(memakan) Yang lazat-lazat serta baik, dan (buruan Yang ditangkap oleh) binatang-
binatang pemburu Yang telah kamu ajar (untuk berburu) mengikut cara pelatih-pelatih
binatang pemburu. kamu mengajar serta melatihnya (adab peraturan berburu)
sebagaimana Yang telah diajarkan Allah kepada kamu. oleh itu makanlah dari apa Yang
mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah nama Allah atasnya (ketika kamu
melepaskannya berburu); … (Al-Ma’idah). Haiwan berburu ini terbahagi kepada dua jenis :

Jenis pertama : Yang berburu dengan menggunakan taringnya, seperti anjing dan
macan tutul.

Jenis kedua : Yang berburu dengan cakarnya, seperti burung helang.

Dipersyaratkan pada kedua jenis ini bahawa keduanya haruslah haiwan yang terlatih.
Tidak ada perselisihan di kalangan ulama mengenai persyaratan ini, berdasarkan firman
Allah swt, “… dan (buruan Yang ditangkap oleh) binatang-binatang pemburu Yang telah
kamu ajar (untuk berburu) mengikut cara pelatih-pelatih binatang pemburu. kamu
mengajar serta melatihnya (adab peraturan berburu) sebagaimana Yang telah diajarkan
Allah kepada kamu…”

Haiwan jenis yang pertama – iaitu yang memburu dengan taringnya – dianggap
terlatih dengan beberapa tanda yang diketahui dengan jelas :

Pertama : Haiwan tersebut pergi berburu jika tuannya melepaskannya untuk


mencari buruan, dalam erti jika tuannya memerintahkan dengan meneriaknya atau
mengherdiknya dengan anggota tubuh – misalnya – maka anjing tersebut akan segera pergi
memburu dan mencari haiwan buruannya.

Kedua : Anjing tersebut takut jika diherdik, dan herdikan di sini adalah memberi aba-
aba dengan hardikan terhadap haiwan pemburu. Hardikan ini dimaksudkan untuk salah satu
dari dua maksud berikut :
111

1. Untuk menghentikan dan menahannya dari mengejar haiwan buruan. Menurut Al-
Hanabilah dan salah satu pendapat dalam mazhab As-Syafi’iyah, itu dipandang hanya kalau
dilakukan sebelum dia disuruh memburu atau sebelum dia melihat haiwan buruan,
sedangkan pendapat yang paling benar dalam mazhab mereka (As-Syafi’iyah) adalah hal itu
harus terjadi secara mutlak, baik sebelum mahupun setelah dia diberi perintah memburu.

2. Hardikannya bertujuan untuk mengarahkan agar menambah jumlah haiwan buruan,


misalnya kalau anjing tersebut pergi berburu dengan sendirinya (tanpa perintah), lalu
tuannya segera menyadari hal itu sehingga dia pun menghardiknya kerananya.

Keempat mazhab sepakat mengenai pentingnya kedua perkara ini.

Ketiga : Anjing tersebut tidak memakan haiwan buruan tersebut ketika dia
menangkapnya, jika dia memakan sebahagian darinya maka haiwan tersebut menjadi tidak
halal. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, riwayat yang paling benar dari Ahmad dan
merupakan mazhab As-Syafi’iyah. Sementara dalam mazhab Al-Malikiah, haiwan buruan
yang dimangsa oleh haiwan pemburu tersebut tetap boleh dimakan walaupun haiwan
pemburu tersebut memakan sebahagian besar darinya, dan ini adalah riwayat kedua dari
Imam Ahmad.

Dalil-dalil kedua kelompok :

Yang mensyaratkan anjing pemburu harus terlatih jika ingin haiwan tangkapannya
halal dimakan, berdalilkan dengan hadits Adi bin Hatim dari Nabi bahawa baginda
bersabda :

“Jika engkau melepaskan anjingmu yang terlatih dan engkau menyebut nama Allah
padanya, maka makanlah apa yang dia tangkap untukmu, kecuali kalau anjing itu juga
memakan sebahagian dari hasil tangkapannya, maka janganlah kamu memakannya,
kerana aku khuatir kalau dia menangkap haiwan tersebut untuk kebutuhan dirinya
sendiri.”

Hadits ini menunjukkan haramnya memakan haiwan buruan yang sebahagiannya


telah dimakan oleh anjing pemburu, dan alasannya disebutkan di dalam hadits iaitu adanya
kekhuatiran kalau anjing tersebut menangkapnya untuk dirinya sendiri, sedangkan Allah swt
berfirman, “… oleh itu makanlah dari apa Yang mereka tangkap untuk kamu…” dan itu
termasuk haiwan yang dia tangkap bukan untuk kita, tetapi untuk dirinya sendiri.

Sementara yang membolehkan memakan haiwan yang sebahagiannya telah dimakan


oleh anjing, berdalil dengan hadits Abu Tsa’labah, dia berkata, Rasulullah bersabda tentang
anjing pemburu :

“Jika engkau melepaskan anjingmu dan menyebut nama Allah padanya mama makanlah
(hasil tangkapan) walaupun dia telah memakan sebahagiannya.”
112

Mereka menanggapi atas hadits Adi bahawa larangan di situ bermakna makruh, guna
memadukan antara hadits itu dengan hadits yang menunjukkan bolehnya.

Tetapi tanggapan ini dibantah bahawa penggabungan ini tidak tepat, kerana
penegasan adanya penyebab di dalam hadits tersebut, iaitu adanay kekhuatiran kalau anjing
tersebut menangkap untuk dirinya sendiri. Maka baginda telah menetapkan bahawa jika
anjing tersebut memakan sebahagian darinya, maka itu adalah tanda kalau dia
menangkapnya untuk dirinya sendiri bukan untuk tuannya, maka tidak boleh berpaling dan
meninggalkan penyebab ini.

 Pentarjihan :

Setelah memerhatikan kedua dalil di atas, kami berpendapat bahawa dalil ulama
yang berpendapat akan haramnya adalah lebih kuat, kerana haditsnya diriwayatkan dalam
As-Sahihain selain juga telah disepakati kesahihannya. Sementara dalil pembolehannya
diriwayatkan di luar As-Sahihain selain juga banyak sisi kelemahannya.

Kerananya pendapat yang mengharamkannya lebih kuat, apa lagi riwayat hadits Adi
adanya penegasan yang disertai penyebutan penyebab yang sesuai dengan pengharaman,
iaitu adanya kekhuatiran kalau anjing tersebut menangkap untuk dirinya sendiri, juga
didukung dengan kaedah hukum asal pada sembelihan adalah haram. Kerananya jika kita
meragukan adanya penyebab yang membolehkan untuk memakannya maka kita harus
kembali kepada hukum asal. Pendapat ini juga dikuatkan dengan firmanNya, “… oleh itu
makanlah dari apa Yang mereka tangkap untuk kamu…” sedangkan anjing yang memakan
sebahagian dari tangkapannya adalah anjing yang menangkap untuk dirinya sendiri dan Nabi
telah menjadikannya sebagai tanda bahawa dia menangkapnya hanya untuk dirinya sendiri,
bukan untuk tuannya. Selain itu, pendapat ini juga didukung dengan beberapa hadits yang
semakna dengannya.

Apakah ada jenis anjing yang diperkecualikan yang tidak boleh berburu dengan jenis
tersebut?

Mereka bersepakat akan bolehnya berburu dengan anjing pemburu yang terlatih
kecuali pada anjing hitam al-bahim, iaitu anjing yang tidak mempunyai sedikit pun warna
putih pada tubuhnya. Mereka berbeda pendapat dalam masalah berburu dengan
menggunakan anjing seperti itu menjadi dua pendapat :

Pendapat pertama : Boleh berburu dengannya dan ini merupakan pendapat tiga
imam mazhab, iaitu Abu Hanifah, Malik dan As-Syafie, berdasarkan keumuman dalil dan
mereka tidak mengecualikan satu anjing pun. Disebutkan dalam kitab “Radd Al-Mukhtar” –
salah satu dari kitab-kitab Al-Hanafiah -, “Halal berburu dengan semua haiwan yang
bertaring dan bercakar,” dan penulis “As-Syarh Al-Kabir” – salah satu dari kitab-kitab As-
Syafi’iyah – berkata, “Sama sahaja antara anjing yang hitam dengan yang lainnya, tidak ada
perselisihan pendapat dalam mazhab kami mengenai masalah ini.” Mereka berdalaikan
dengan dirman Allah swt, “… dan (buruan Yang ditangkap oleh) binatang-binatang
pemburu Yang telah kamu ajar (untuk berburu) mengikut cara pelatih-pelatih binatang
pemburu. kamu mengajar serta melatihnya (adab peraturan berburu)…,” mereka
113

berkata : Haiwan pemburu (al-jawarih) digunakan untuk jenis binatang buas dan burung
(pemburu). Jadi ayat ini bersifat umum mencakup semua jenis anjing. Demikian pula hdits-
hadits yang ada menunjukkan pembolehan untuk berburu dengan semua jenis anjing tanpa
ada pengecualian, dan juga dengan mengqiyaskan anjing hitam kepada anjing-anjing yang
lainnya.

Pendapat kedua : Haramnya haiwan yang diburu dengan menggunakan anjing hitam
al-bahim. Ini adalah pendapat yang paling benar dalam mazhab ahmad dan ini juga yang
merupakan pendapat murid-muridnya. Dalil pendapat ini :

Dalil pertama : Dia adalah anjing yang haram untuk dipelihara, sehingga tidak
dibolehkan berburu dengannya sebagaimana dilarangnya anjing yang tidak terlatih.

Dalil kedua : Baginda memerintahkan untuk membunuhnya sebagaimana yang


disebutkan dalam hadits Jabir :

“Sesungguhnya Nabi memerintahkan agar membunuh anjing-anjing, kemudian baginda


melarang dari membunuhnya, dan baginda bersabda, ‘Yang boleh kalian bunuh hanya
yang berwarna hitam pekat yang mempunyai dua titik putih, kerana dia adalah syaitan.”

Jadi, baginda menyebutkan yang menjadi penyebab agar dibunuh adalah kerana itu
adalah syaitan, dan warna hitam adalah tanda syaitan, begitu pula dikatakan, “Jika kamu
melihat orang yang membawa pedang maka bunuhlah dia kerana dia murtad,” maka yang
menjadi sebab di sini adalah kemurtadan. Apa sahaja yang wajib untuk dibunuh maka
haram untuk memeliharanya dan melatihnya, sehingga dia juga tidak boleh digunakan untuk
berburu. Pembolehan untuk memakan haiwan buruan yang terbunuh hanyalah rukhsah
(keringanan) sehingga tidak diperbolehkan dengan menggunakan sesuatu yang haram,
sebagaimana rukhsah-rukhsah lainnya.

 Pentarjihan :

Yang tampak rajih bagi penulis, dari kedua mazhab ini adalah pendapat kedua, iaitu
pengharaman haiwan yang ditangkap oleh anjing yang berwarna hitam kecuali jika haiwan
buruan tersebut ditemukan dalam keadaan masih hidup lalu segera di sembelih. Sebab
adanya perintah untuk membunuh anjing hitam mengharuskan bersegera untuk
membinasakannya dan menjauhkan diri darinya, sementara menggunakannya untuk
berburu adalah perbuatan membiarkan dia hidup dan dekat dengan kita. Ini tentu sahaja
beertentangan dengan tujuan dari perintah agar membunuhnya. Adapun pernyataan
bahawa perintah untuk membunuh ini, maka ini dibantah oleh lafaz hadits Jabir ketika
Rasulullah bersabda, “Yang boleh kalian bunuh hanya yang berwarna hitam pekat yang
mempunyai dua titik putih, kerana dia adalah syaitan.” Maka hadits ini memberi
pembatasan larangan membunuh pada selain yang berwarna hitam dan baginda
mendorong untuk membunuh yang berwarna hitam serta menyebutkan sebabnya bahawa
dia adalah syaitan. Sebab ini terus-menerus ada pada anjing tersebut (yang berwarna hitam)
sedangkan ada atau tidak adanya sebuah hukum ditentukn dengan ada tidaknya sebab
tersebut. Adapun dalil yang mereka pegang berupa keumuman dalil tentang pembolehan
114

mengajari anjing mka dijawab bahawa itu adalah keumuman yang dikhususkan dengan dalil-
dalil yang memerintahkan agar membunuh yang berwarna hitam. Wallahu A’lam.

Apakah yang dijadikan patokan pada anjing, berulang-ulang anjing pemburu tidak
memangsa haiwan tangkapannya?

Para ulama yang berpendapat dipersyaratkannya anjing pemburu tersebut tidak


memakan haiwan tangkapannya, berbeda pendapat : Apakah berulang-ulangnya hal
tersebut yang dijadikan patokan atau tidak. Mengenai hal ini ada tiga pendapat :

Pendapat Pertama, dan ini adalah mazhab Al-Hanabilah : Berulang-ulangnya dia


tidak memakannya tidak dijadikan patokan kerana dia mengetahui sifat yang lebih mirip
dengan perilaku lainnya, kerananya dia membiarkan tidak memakan haiwan buruannya
sekali sahaja sudah cukup menjadi patokan.

Pendapat Kedua dalam permasalahan ini adalah mazhab As-Syafi’iyah dan salah satu
dari dua pendapat Abu Hanifah : Dipersyaratkan dia meninggalkannya berulang kali yang
dengannya ahli dalam masalah ini menyatakan bahawa dia sudah menjadi anjing yang
terlatih dan dengan dugaan kuat bahawa haiwan pemburu tersebut sudah bisa dikendalikan
dan terlatih. Pendapat ini – sebagaimana dapat dilihat – mempersyaratkan kejadian
berulang tanpa ada pembatasan berapa kali jumlah pengulangannya, kerana pembatasan
jumlah tidak ada dalilnya sedangkan yang dimaksud di sini adalah untuk mengetahui ukuran
seekor haiwan dianggap terlatih, dan ini bisa diketahui dengan adanya pernyataan dari
orang yang ahli dan berpengalaman dalam masalah ini, sebagaimana dalam masalah-
masalah lain yang tidak mempunyai dalil dari pembuat syariat.

Pendapat Ketiga : Dipersyaratkan dia meninggalkannya sebanyak tiga kali, ini adalah
satu riwayat dari Abu Hanifah dan merupakan pendapat kedua temannya, Abu Yusuf dan
Muhammad. Inilah yang dipilih oleh banyak penulis yang bermazhab Al-Hanafiah dan juga
salah satu pendapat dalam mazhab Al-Hanabilah – yang didukung oleh penulis kitab Al-
Mughni -. Sisi pendalilan pendapat ini adalah bahawa jika dia meninggalkannya kurang dari
tiga kali terdapat kemungkinan kalau dia meninggalkannya sekali atau dua kali kerana dia
sudah kenyang, sehingga jika dia meninggalkannya sebanyak tiga kali maka itu menunjukkan
bahawa itu sudah menjadi kebiasaannya, kerana tiga kali adalah pembatasan yang dibuat
untuk uji coba dan pemberian alasan sebagaimana dalam batasan khiyar (dalam jualbeli),
dan juga kerana pengulangan yang banyak adalah sebagai tanda dari adanya pemahaman
(dari anjing tersebut), bukan pengulangan yang sedikit, sedangkan yang banyak jumlah
minimalnya adalah tiga kali sehingga dialah yang dijadikan batasan.

 Pentarjihan :

Yang rajih dari semua pendapat ini menurut penulis adalah pendapat As-Syafi’iyah,
iaitu dipersyaratkannya anjing tersebut adalah jika haiwan pemburu tersebut meninggalkan
haiwan tangkapannya hingga diketahui bahawa dia meninggalkannya kerana hasil pelatihan,
bukan kerana adanya kemungkinan yang lain. Hanya sahaja hai tersebut tidak dibatasi
dengan jumlah tertentu kerana penentuan jumlah tidak ada dalilnya, sementara yang
menjadi tujuan adalah untuk mempastikan kalau anjing tersebut sudah terlatih, dan ini
115

sudah bisa diketahui dengan dua kali sehingga apa yang lebih dari itu – sesuai dengan
dugaan kuat – sudah tercapai apa yang dimaksudkan, wallahu a’lam.

Apakah boleh berburu dengan menggunakan haiwan selain anjing?

Para ulama berselisih dalam masalah ini menjadi dua pendapat :

Pendapat pertama, adalah pendapat majoriti ulama dan imam empat. Dibolehkan
berburu dengan semua haiwan pemburu yang terlatih, dari jenis anjing dan burung seperti
helang dan burung pemangsa lainnya. Mereka berhujah dengan firman Allah swt, “… dan
(buruan Yang ditangkap oleh) binatang-binatang pemburu Yang telah kamu ajar (untuk
berburu) mengikut cara pelatih-pelatih binatang pemburu. kamu mengajar serta
melatihnya (adab peraturan berburu)…,” dan al-jawarih iaitu haiwan buas pemangsa baik
yang berupa binatang buas piaraan mahupun unggas. Dinamakan al-jawarih kerana dia
melukai (jaraha) haiwan lain untuk tuannya dan menangkap haiwan buruan untuk mereka.
Dikatakan, “Fulan jaraha li ahlihi = jika dia mendatangkan kebaikan untuk keluarganya,” jika
dia memberikan kebaikan kepada mereka, dan, “Fulan jarihatu ahlihi” yakni : Memperbaiki
mereka. Jadi, makna firman Allah swt :

     …  …


4. … dan (buruan Yang ditangkap oleh) binatang-binatang pemburu Yang telah kamu ajar
(untuk berburu) mengikut cara pelatih-pelatih binatang pemburu. … (Al-Ma’idah) adalah
apa yang kalian ketahui tentang perburuan lalu kalian mengajarkannya kepada haiwan
ternak pemburu atau burung.

Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat sekelompok ulama : Perburuan hanya
boleh dilakukan dengan anjing sahaja dan apa yang diburu oleh haiwan selainnya tidaklah
halal kecuali yang sempat disembelih, berdasarkan firman Allah swt :

     …  …


4. … dan (buruan Yang ditangkap oleh) binatang-binatang pemburu Yang telah kamu ajar
(untuk berburu) mengikut cara pelatih-pelatih binatang pemburu. … (Al-Ma’idah)

Maka firmanNya “Mukallibin” posisinya adalah sebagai hal, dan al-mukallib adalah
anjing terlatih dan mengetahui cara-cara perburuan. Jadi, di sini ada pendalilan bahawa
yang dimaksud di sini adalah anjing, bukan haiwan buas lainnya. Ini adalah kesimpulan dari
pendalilan mereka.

 Pentarjihan

Yang rajih adalah pendapat majoriti ulama, iaitu dibolehkannya berburu dengan
haiwan pemburu dari jenis anjing dan burung, kerana firman Allah swt, “… dan (buruan
Yang ditangkap oleh) binatang-binatang pemburu Yang telah kamu ajar (untuk berburu)
mengikut cara pelatih-pelatih binatang pemburu. kamu mengajar serta melatihnya (adab
peraturan berburu)…,” bersifat umum mencakup semua haiwan pemburu yang mempunyai
sifat-sifat yang Allah sebutkan, dari jenis burung dan haiwan buas. FirmanNya, “Mukallibin”
tidak difahami pembatasan hukum pada anjing sahaja kerana yang dimaksud dengan anjing
116

di sini adalah yang terlatih. Walaupun kata yang tertera dalam ayat adalah anjing akan
tetapi itu bukanlah suatu syarat. Kerananya, boleh berburu dengan menggunakan selain
anjing dari haiwan-haiwan pemburu lainnya. Pada ayat ini dikhususkan dengan kebanyakan
anjing – walaupun haiwan pemburu yang terlatih lainnya sama dengannya dalam hukum –
kerana berburu dengan anjing lebih lazim dilakukan. Wallahu a’lam.

Dari pandangan para fuqaha, tampak tidak ada perbedaan antara haiwan piaraan
buas yang terlatih dengan burung pemangsa yang terlatih kecuali dalam masalah jika dia
memakan sebahagian dari tubuh haiwan buruannya. Para ulama mempersyaratkan tidak
bolehnya hal itu pada anjing dan haiwan semisalnya, berbeda pendapat, apakah tidak
bolehnya hal itu juga dipersyaratkan pada burung pemburu? Ada dua pendapat :

Pendapat pertama : Tidak bolehnya hal itu juga disyaratkan pada burung, sehingga
jika dia memakan sebahagian dari tangkapannya, maka haiwan yang dia makan itu tidaklah
halal. Ini adalah pendapat yang lebih tegas dalam mazhab As-Syafi’iyah. Sisi pendalilan
pendapat ini adalah qiyas dengan anjing pemburu, kerana ketika hal itu disyaratkan
padanya, maka itu juga disyaratkan pada burung pemburu, kerana tidak adanya perbedaan
antara sebab larangan yang diambil dari kejadian anjing pemburu yang memakan
buruannya dengan burung pemburu yang memakan hasil buruannya, iaitu dikhuatirkan
kalau dia menangkap haiwan itu untuk dirinya sendiri. Demikian pula halnya, sebab ini juga
dikhuatirkan ada pada burung pemburu. Sebahagian mereka berdalil dengan hadits Adi bin
Hatim bahawa Nabi bersabda :

“Haiwan apa sahaja yang kamu latih berupa anjing atau helang lalu kamu melepasnya
untuk berburu dan engkau menyebut nama Allah, maka makanlah apa yang dia tangkap
untuk kamu.” Aku (Adi) bertanya, “Walaupun dia membunuh haiwan buruannya? Lalu
baginda bersabda, “Jika dia membunuhnya tetapi tidak memakan darinya, maka
sesungguhnya dia menangkapnya hanya untuk dirimu.”

Akan dikemukakan kemudian bantahan terhadap dalil ini.

Pendapat kedua : Tidak disyaratkan dalam penghalalan haiwan yang ditangkap oleh
burung pemburu, dia tidak boleh makan darinya. Ini adalah pendapat Al-Hanabilah, Al-
Hanafiah dan salah satu pendapat dalam mazhab As-Syafi’iyah. Mereka mengatakan : Ini
dikeranajan adanya perbedaan antara anjing pemburu dengan burung pemburu, iaitu tubuh
burung helang tidak bisa dipukul agar dia meninggalkan (tidak memakan) haiwan yang dia
tangkap, sedangkan trubuh anjing itu bisa dipukul agar meninggalkan haiwan buruannya
tersebut. Ditambah lagi, tanda keterlatihan seekor haiwan adalah ketika dia bisa
meninggalkan sesuatu yang menjadi kebiasaannya, sedangkan helang itu sifatnya liar dan
sulit dijinakkan sehingga kedatangannya ketika dipanggil menandakan kalau dia sudah
terlatih. Adapun anjing maka dia adalah haiwan jinak yang biasa merampas, sehingga tanda
kalau dia sudah terlatih adalah dia meninggalkan kebiasaannya tersebut, iaitu memakan dan
merampas. Jika demikian keadaannya maka tidak benar pengqiyasan burung pemburu
kepada anjing kerana adanya perbedaan yang mencolok antara keduanya.

Adapun dalil yang dijadikan dalil oleh sebahagian As-Syafi’iyah dalam mensyaratkan
tidak bolehnya memakan hasil buruan dalam masalah burung pemangsa, itu adalah hadits
117

lemah yang tidak bisa dijadikan hujah, serta penyebutan helang dalam hadits tersebut tidak
terdapat dalam riwayat-riwayat al-hafiz tetapi hanya datang dari riwayat Mujalid bin Said
sementara dia adalah perawi yang dinilai lemah berdasarkan kesepakatan mereka (al-
huffaz).

Dipersyaratkan dalam penghalalan apa yang dibunuh oleh haiwan pemburu adalah
dia harus melukainya, keranannya jika haiwan pemburu tersebut membunuh buruannya
dengan cara mencekik atau menabraknya, maka dia tidaklah dihalalkan kerana dia adalah al-
mauqudzah yang sama sahaja kalau dia membunuhnya dengan menggunakan batu.
Kerananya dia harus melukainya pada bahagian mana sahaja dari tubuhnya, dengan
menggunakan taringnya atau kukunya atau cakarnya, dan ini adalah ketersuratan irwayat
dalam mazhab Al-Hanafiah dan yang menjadi fatwa di kaalangan mereka. Ini juga adalah
pendapat Al-Malikiah, Al-Hanabilah dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab As-
Syafi’iyah.

Ada yang mengatakan bahawa hasil tangkapannya halal walaupun dia tidak
melukainya, ini adalah pendapt kedua dalam mazhab Al-Hanafiah, salah satu pendapat
dalam mazhab Al-Hanabilah dan riwayat yang paling benar dalam mazhab As-Syafi’iyah.
Berdasarkan keumuman firman Allah swt, “… oleh itu makanlah dari apa Yang mereka
tangkap untuk kamu…” serta keumuman hadits-hadits, dan kerana tidak mungkin
mengajari/melatih anjing untuk melukai dan mengalirkan darah sehingg dia pun tak bisa
dijadikan patokan, sebagaimana gugurnya persyaratan penyembelihan pada letak
penyembelihan (di leher).

 Pentarjihan

Yang rajih menurut penulis adalah pendapat yang pertama, kerana Rasulullah
melarang memakan haiwan buruan yang terbunuh dengan menggunakan al-mi’radh
(tongkat yang berhujung runcing) jika yang membunuhnya adalah bahagian sisinya
sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu, kerana dia adalah waqidz (yang mati
kerana dipukul) dan masalah ini semisal dengannya. Adapun yang dijadikan dalil oleh para
ulama yang membolehkan berupa keumuman ayat, maka dia dikhususkan dengan dalil-dalil
pengharaman al-mauqudzah, wallahu a’lam.

Syarat Ketiga :

Dia melepaskan sarana berburu – baik yang berupa haiwan buruan mahupun benda
tajam – dengan maksud untuk berburu.

Berdasarkan sabda baginda dalam hadits-hadits yang telah disebutkan terdahulu :

“Jika engkau melepaskan anjingmu yang terlatih dan engkau menyebut nama Allah
padanya, maka makanlah.”

Dalam hadits ini terdapat keterangan bahawa penghalalan apa yang dibunuh oleh
anjing yang terlatih adalah anjing itu dilepas untuk memburunya. Ditambah lagi anjing atau
helang adalah sarana penyembelihan, sementara penyembelihan tidak akan terjadi dengan
118

sekadar adanya alat akan tetapi sarana tersebut harus digunakan, dan penggunaan kedua
haiwan pemburu ini adalah dengan melepaskannya dengan tujuan untuk berburu. Demikian
pula disyaratkan ketika dia melepaskan anak panahnya, harus bertujuan untuk berburu.
Kerananya, jika dia melepaskan anak panah terhadap suatu sasaran tetapi tiba-tiba panah
tersebut mengenai haiwan buruan tanpa kesengajaan ataukah dia sengaja memanah ke
bahagian atas kepalanya akan tetapi tanpa kesengajaan lalu membunuhnya maka haiwan
tersebut tidak boleh dimakan kerana dia tidak bertujuan untuk memanah tubuh haiwan
tersebut, sehingga ini mirip dengan orang yang hendak menancapkan sebuah pisau tetapi
tanpa sengaja dia menyembelih seekor kambing. Ini adalah pendapat Imam empat dan
banyak ulama dari kalangan fuqaha. Berangkat dari pensyaratan ini muncullah beberapa
permasalahan :

Masalah pertama : Jika anjing berburu dengan sendirinya lalu dia membunuh
haiwan yang dia buru maka haiwan itu tidak halal menurut ulama sebagaimana yang telah
kami sebutkan, kerana tidak terpenuhinya syarat ini iaitu dia harus dilepaskan oleh tuannya.
Sebab, ketika dia dikirim oleh tuannya maka itu mewakili tindakan penyembelihan, dengan
dalil bahawa tasmiah bersamaan dengan pelepasan haiwan pemburu dianggap
penyembelihan sebagaimana dalam sabda baginda, “Jika engkau melepas anjingmu yang
telah terlatih (memburu) dan kamu menyebut nama Allah ketika melepasnya maka
makanlah (apa yang dia tangkap).” Sekelompok ulama lain mengatakan : Buruan yang
dibunuh seperti ini halal untuk dimakan kalau tuannya memang sejak awal membawanya
keluar untuk berburu, kerana dikeluarkannya dia untuk berburu secara umum sudah
merupakan bentuk pelepasan dia untuk berburu. Yang rajih adalah pendapat pertama
kerana Rasulullah bersabda, “Jika engkau melepas anjingmu yang telah terlatih
(memburu),” menunjukkan keharusan haiwan pemburu tersebut dilepas (dikirim) untuk
memburu dan itu merupakan perkara tambahan dari sekadar mengeluarkannya untuk
berburu.

Masalah kedua : Jika anjing tersebut keluar berburu dengan sendirinya lalu tuannya
menghardiknya lalu dia membaca basmalah kemudian setelah itu anjing itu pergi lagi
memburu dan akhirnya dia membunuh haiwan buruannya, apakah haiwan buruan tersebut
halal? Ada dua pandapat di kalangan ulama :

Pendapat pertama : Haiwan buruan yang dia bunuh dalam keadaan seperti ini
adalah halal, dan ini adalah mazhab Al-Hanabilah, Al-Hanafiah, salah satu dari dua pendapat
dalam Al-Malikiah dan salah satu pendapat yang lebih benar dalam mazhab As-Syafi’iyah.

Dalil mereka : Hardiknya mempengaruhi perburuannya sehingga keadaan itu sama


sahaja kalau dia melepasnya untuk berburu, kerana bilamana perbuatan selain manusia
bergabung dengan perbuatan manusia maka yang menjadi patokan adalah perbuatan
manusia, sebagaimana kalau ada anjing yang menyerang manusia atas keinginannya (anjing)
sendiri lalu ada orang yang menambahi dengan menyuruh anjing tersebut untuk menyerang
kembali orang itu maka yang menanggung adalah orang yang menyuruh anjing tersebut.

Pendapat kedua : Buruan yang dibunuh oleh haiwan pemburu dalam keadaan
seperti ini tidak halal, dan ini adalah yang paling benar dan yang disebutkan dengan jelas
119

dalam mazhab As-Syafi’iyah dikeranakan terkumpulnya antara pelepasan yang menghalangi


dengan bujukan yang membolehkan maka yang menjadi penghalang lebih didahulukan.

 Pentarjihan :

Yang rajih adalah pendapat yang pertama kerana adanya niat, tasmiah dan bujukan
yang mempengaruhi anjing tersebut untuk berburu seperti halnya kalau tuannya
mengirimnya sejak awal, dan Nabi bersabda, “Jika engkau melepas anjingmu yang telah
terlatih (memburu) dan kamu menyebut nama Allah ketika melepasnya maka makanlah
(apa yang dia tangkap).” Semua ini terdapat dalam bentuk seperti ini, dan sangat jelas
bahawa pada awalnya anjing tersebut tidak dilepas sebelum berburu; Dan, sebelum
membunuh haiwan buruan telah didahului dengan hardikan dan bujukan. Wallahu a’lam.

Masalah ketiga : Jika dia melepaskan anjing akan tetapi dia tidak melihat adanya
haiwan buruan, lalu tiba-tiba ada haiwan buruan lalu dia membunuhnya.

Tidak halal menurut Al-Hanabilah, As-Syafi’iyah dan merupakan pendapat majoriti


ulama kerana dia melepasnya bukan untuk mengejar haiwan buruan, sehingga apa yang dia
tangkap tidaklah halal. Sebagaimana kalau talinya pengikatnya lepas lalu dia pergi dan
memburu dengan sendirinya. Ada yang mengatakan : Hukumnya halal, dan ini sisi yang
lemah dalam mazhab As-Syafi’iyah dan merupakan pendapat dari sebahagian Al-Malikiah.
Mungkin landasan pendapat ini adalag berpegang dengan keumuman sabda baginda, “Jika
engkau melepaskan anjingmu yang terlatih dan engkau menyebut nama Allah padanya,
maka makanlah,” sedangkan di sini anjing tersebut sudah dilepaskan.

Masalah keempat : Jika dia melepaskan anjing untuk memburu seekor haiwan
buruan tetapi anjing tersebut menangkap selain dari haiwan yang diperintahkan lalu dia
membunuhnya, apakah dia dihalalkan? Ada dua pendapat :

Pendapat pertama, dan ini adalah pendapat As-Syafi’iyah, Al-Hanabilah dan Al-
Hanafiah : Hukumnya halal dengan syarat anjing itu mendapati haiwan buruan di arah dia
dikirim ke situ, menurut sebahagian As-Syafi’iyah. Demikian pula Al-Hanafiah
mempersyaratkan kalau anjing tersebut menangkap haiwan yang lain itu segera setelah dia
dilepaskan. Sisi penghalalan dari keadaan yang disebutkan ini adalah bahawa yang menjadi
patokan adalah dia melepasnya untuk memburu dan itu sudah terpenuhi di sini, lagi pula
penentuan haiwan yang diburu bukanlah syarat dalam perburuan kerana hal itu tidak
mungkin, sehingga hukumnya sama dengan kejadian anak panah yang mengenai dua
haiwan buruan.

Pendapat kedua, ini adalah pendapat Al-Malikiah : Haiwan buruan dalam keadaan
seperti ini tidak dihalalkan kerana dia tidak meniatkannya, kerana mereka mempersyaratkan
harusnya menentukan haiwan yang diburu dalam perburuan, dan luka yang diakibatkan
oleh anjing-anjing sama kedudukannya dengan penyembelihan kerananya dia harus
meniatkan haiwan buruan tertentu.

Yang rajih adalah pendapat yang pertama berdasarkan keumuman firman Allah swt,
“… oleh itu makanlah dari apa Yang mereka tangkap untuk kamu…” juga sabda baginda,
120

“Jika engkau melepas anjingmu yang telah terlatih (memburu) dan kamu menyebut nama
Allah ketika melepasnya maka makanlah (apa yang dia tangkap).” dan kerana tidak
mungkin mengajari haiwan pemburu agar hanya memburu seekor haiwan yang tertentu dan
jangan memburu yang lainnya maka gugurlah persyaratan ini.

Masalah kelima : Jika ada keraguan pada sesuatu keadaan, apakah haiwan buruan
tersebut mati kerana alat berburu yang dilepaskan ataukah mati kerana sebab lainnya, maka
hukumnya berbeda sesuai dengan berbedanya keadaan dan bentuk kejadian. Berikut adalah
beberapa kedaan tersebut beserta penjelasan hukumdari masing-masing keadaan :

Bentuk pertama : Jika dia melepas anjingnya untuk memburu seekor haiwan lalu dia
mendapati haiwan yang diburu tadi dalam keadaan mati, dan dia juga mendapati ada anjing
lain yang ada di dekat anjingnya. Dia tidak mengetahui keadaan sebenarnya, dia tidak
mengetahui apakah syarat-syarat perburuan terpenuhi padanya ataukah tidak, dia tidak
mengetahui yang mana di antara kedua anjing ini yang membunuhnya, atau dia mengetahui
kedua anjing inilah yang membunuhnya secara bersama-sama atau dia mengetahui bahawa
yang membunuhnya adalah anjing yang tidak diketahui (majhul). Maka dalam semua
keadaan ini, haiwan tersebut tidak boleh dimakan kecuali jika dia mendapatinya dalam
keadaan masih hidup lalu dia segera menyembelihnya. Ini adalah pendapat majoriti ulama
dan di antara mereka adalah imam empat. Ini ditunjukkan oleh hadits Adi bin Hatim dia
berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah dengan mengatakan, “Aku melepaskan anjingku
lalu aku menemukan anjing lain di dekat kambingku, aku tidak tahu yang mana di antara
keduanya yang membunuhnya.” Lalu baginda bersabda,

“Janganlah kamu mmemakan hasil buruannya, kerana jika kamu membaca basmalah
ketika melepas anjingmu, kamu tidak membaca basmalah pada anjing yang lain.”

Dalam hadits ini dijelaskan tidak halalnya memakan haiwan buruan yang ada anjing
lain yang memburunya bersama anjingnya, kerana hukum asal adalah terlarang sehingga dia
lebih didahulukan pada haiwan yang tidak diketahui bagaimana kaifiat perburuannya.

Bentuk kedua : Jika dia memanah haiwan buruan atau mengirim anjing untuk
menangkapnya lalu haiwan tersebut hilang dari pandangannya lalu dia menemukannya
sudah dalam keadaan, dan ada kemungkinan sebab kematiannya kerana terkena panah atau
selainnya. Ada beberapa sisi tinjauan di kalangan ulama dalam masalah ini :

Pertama : Menurut Al-Hanafiah, jika haiwan itu bersembunyi dari pandangannya lalu
dia berhenti mencarinya lalu dia mendapatinya dalam keadaan mati maka dia tidak boleh
memakan. Jika haiwan itu tidak pernah lepas dari pandangannya atau haiwan itu
bersembunyi akan tetapi dia tidak berhenti mencarinya sampai dia menemukannya maka
dia boleh dimakan, dengan dalil istihsan (memandang baik) walaupun qiyas mengharuskan
dia tidak boleh dimakan. Sisi qiyas adalah tetap adanya kemungkinan kalau buruan itu mati
kerana luka yang dibuat oleh anjingnya atau dari panahnya dan mungkin juga dia mati
kerana sebab lainnya, maka dia tidak boleh dimakan kerana adanya keraguan. Sisi istihsan
adalah hukum darurat mengharuskan hal itu (boleh dimakan), kerana keadaan ini termasuk
perkara yang tidak mungkin untuk dihindari dalam perburuan. Kerana biasanya, jika anak
panah mengenai buruan maka buruan tersebut akan membawanya lari dan menghilang dari
121

pandangan, dan demikian pula kalau dia digigit oleh anjing. Jika demikian halnya, maka
anggapan bila akan mengakibatkan tertutupnya pintu perburuan dan menimbulkan
kesusahan pada orang-orang yang berburu. Kerananya gugurlah persyaratan tentang tidak
bolehnya lenyap dari pandangan yang tidak mungkin bisa dihindari jika memang sang
pemburu tidak lalai dalam mencarinya, kerana keadaan darurat dan kesulitan yang timbul
kerananya. Ketika dia tidak berusaha untuk mencarinya maka itu tidak dianggap sebagai
keadaan darurat sehingga ketika itu yang diamalkan adalah qiyas.

Kedua : Adapun menurut Al-Malikiah, maka dalam “Mukhtasar al-Khalil” beserta


syarahnya “As-Syarhul al-Kabir” disebutkan, “Jika haiwan buruan itu lenyap semalaman lalu
dia menemukannya pada keesokan harinya dalam keadaan mati maka dia tidak boleh
dimakan kerana adanya kemungkinan mati kerana dimangsa oleh haiwan buas, misalnya.”
Pensyarahnya berkata, “keesokan harinya bukanlah batas ukuran walaupun zahirnya itu
yang penulis maksudkan, akan tetapi yang maksudkan dengannya adalah bahawa haiwan
buruan itu tidak jelas keadaannya beberapa saat dari malam hari yang panjang, sehingga
keadaannya tidak jelas dan tidak diketahui apakah dia mati kerana haiwan pemburunya atau
ada haiwan buas lain yang membantu pemburunya dalam membunuhnya, misalnya ular.
Kerananya jika dia memanahnya lalu buruan itu lari dan menghilang darinya selama sehari
penuh kemudian dia mendapatinya dalam keadaan sudah mati, maka dia boleh dimakan
kalau dia tidak terlambat dalam mencarinya. Ini adalah makna dari kata-katanya,
“semalaman”. Perbedaan antara malam dan siang adalah bahawa haiwan buruan bisa
melindungi dirinya dari haiwan buas pada siang hari, dan tidak bisa pada malam hari.
Kerananya jika dia hilang di malam hari, maka ada kemungkinan kalau ada haiwan buas lain
yang ikut membunuhnya bersama dengan luka akibat terkena panah, berbeda halnya jika
dia hilang pada siang hari kerana kemungkinan terjadinya hal itu tidak ada.” Selesai.

Ketiga : Adapun menurut As-Syafi’iyah, maka penulis “Al-Muhazzab” berkata, “Jika


dia luka kerana terkaman anjing atau terkena panah lalu haiwan itu menghilang kemudian
dia menemukannya dalam keadaan sudah mati, sedangkan lukanya bisa menyebabkan dia
mati dan bisa juga tidak, maka As-Syafie berkata, “Tidak halal kecuali kalau ada dalil maka
tidak ada lagi pendapat (yang diperhitungkan).” Di antara ashab kami (As-Syafi’iyah) ada
yang mengatakan : dalam masalah ini ada dua pendapat : Pendapat pertama dihalalkan,
berdasarkan hadits Adi bin Hatim dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
memanah seekor haiwan buruan lalu mencarinya tetapi tidak menemukannya kecuali
setelah malam hari,” maka baginda bersabda, “Kalau kamu melihat anak panahmu di situ
dan haiwan buas tidak memangsanya maka makanlah.” Itu kerana yang Nampak adalah dia
mati akibat panah tersebut dan tidak diketahui ada sebab lainnya. Pendapat yang kedua
tidak dihalalkan, berdasarkan hadits Ziyad bin Abi Maryam dia berkata, “Ada seorang laki-
laki yang datang kepada Nabi lalu berkata, “Aku pernah memanah seekor haiwan buruan
kemudian dia menghilang lalu akhirnya saya menemukannya sudah dalam keadaan mati.”
Maka Rasulullah bersabda, “Binatang buas banyak berkeliaran,” dan baginda tidak
menyuruh dia untuk memakannya.” Di antara mereka (As-Syafi’iyah) ada yang mengatakan
boleh dimakan berdasarkan kesepakatan (As-Syafi’iyah), kerana dia (As-Syafie) berkata,
“Tidak dimakan kalau dia tidak ada dalil,” sedangkan ada hadits yang sabit menerangkan
bahawa baginda memerintahkan untuk memakannya. An-Nawawi merajihkan bolehnya dia
dimakan jika tidak ditemukan adanya bekas luka kecuali luka akibat anak panah atau haiwan
pemburu. Dia (An-Nawawi) berkata, “Ulama yang membolehkannya menafsirkan dalil-dalil
122

yang melarang dengan larangan makruh, sedangkan ulama yang mengharamkannya


menafsirkan hadits-hadits yang membolehkan jika haiwan tersebut masih bergerak dan bisa
disembelih, dan ini adalah penafsiran yang lemah.” Selesai.

Keempat : Adapun menurut Al-Hanabilah, maka yang masyhur dari Ahmad adalh jika
seseorang memanah buruan atau mengirim anjingnya untuk menagkapnya lalu haiwan
tersebut hilang dari pandangannya kemudian dia mendapatinya dalam keadaan sudah mati
smentara anak panahnya menancap padanya atau ada anjingnya di dekatnya dan tidak
ditemukan ada bekas luka lainnya, maka dia halal dimakan. Dalam riwayat lain darinya ada
perbedaan antara haiwan yang hilang di siang hari – maka tidak mengapa memakannya –
dengan yang hilang di malam hari – maka tidak boleh dimakan -, sebagaimana yang telah
berlalu dari mazhab Al-Maalikiah. Ada juga riwayat dari Ahmad yang menunjukkan kalau
haiwan itu hilang dalam selang waktu yang lama maka tidak boleh dimakan, dan jika
sebentar maka dibolehkan. Dari beliau juga diriwayatkan bahawa hukumnya makruh secara
mutlak.

Pentarjihan

Yang rajih dalam masalah ini adalah : Jika dia mendapati anak panahnya tertancap
padanya atau ada bekas panah padanya dan tidak ditemukan ada bekas luka akibat selain
panah, maka itu halal sebagaimana riwayat yang masyhur dari Ahmad dan juga yang
dirajihkan oleh An-Nawawi yang baru sahaja kami sebutkan. Itu kerana hadits yang
menunjukkan demikian adalah sahih dari Nabi sebagaimana dalam hadits Adi bin Hatim dari
Nabi saw :

“Kalau engkau memanah haiwan buruan lalu engkau menemukannya sehari atau dua
hari setelahnya dan tidak ada padanya luka kecuali bekas panahmu, maka makanlah.
Jika dia terjatuh ke dalam air maka janganlah kamu memakannya.”

Ditambah lagi, luka akibat panah adalah sebab pembolehannya dan dia sudah
diyakini keberadaannya, sedangkan sebab-sebab lainnya masih diragukan keberadaannya,
sehingga sesuatu yang diyakini tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan semata.

Bentuk ketiga : Jika seseorang memanah haiwan buruan lalu dia jatuh ke dalam air
yang kemungkinan dengannya dia terbunuh atau dia terjatuh dari bukit yang kemungkinan
dengannya dia bisa mati, maka riwayat yang masyhur dari Ahmad adalah dia tidak boleh
dimakan secara mutlak, baik yang membunuhnya adalah haiwan pemburu itu atau bukan,
berdasarkan keumuman sabda baginda dalam hadits yang dikemukakan sebelumnya, “Jika
dia terjatuh ke dalam air maka janganlah kamu memakannya.” kerana ada kemungkinan
dia mati kerana tenggelam sehingga itu sama hukumnya kalau yang membunuhnya bukan
kerana luka tersebut. Yang menjadi pendapat banyak penganut Al-Hanabilah, salah satu dari
sua pendapat dalam mazhab As-Syafi’iyah, juga merupakan pendapat Malik dan Abu
Hanifah adalah apa yang tersebut dalam Ad-Durr Al-Mukhtar, iaitu adanya perincian antara
yang lukanya bisa menyebabkan kematiannya – maka dia dihalalkan, walaupun dia terjatuh
ke dalam air – dengan yang lukanya tidak bisa menyebabkan kematian – maka dia tidak
dihalalkan -. Landasan pendapat ini adalah haiwan haiwan yang lukanya bisa menyebabkan
dia mati maka dia dihukumi sudah mati sehingga apa yang dialaminya (tenggelam) tidak
123

berpengaruh apapun. Adapun yang lukanya tidak bisa menyebabkan dia mati maka dia tidak
bisa dipastikan mati dengan apa yang dialaminya (tenggelam) sehingga keadaannya
diragukan dan sisi pelarangan lebih didahulukan. Luka yang bisa menyebabkan kematiannya
sama kedudukannya kalau dia disembelih atau menampakkan luka akibat senjata pemburu.

 Pentarjihan :

Menurut penulis, pendapat pertama iaitu yang mengharamkannya secara mutlak,


itulah yang rajih berdasarkan keumuman larangan memakannya dalam keadaan seperti ini,
iaitu sabda baginda, “Jika dia terjatuh ke dalam air maka janganlah kamu memakannya.”
Juga kerana jika dia masih hidup maka ada sebab lain yang membantu terbunuhnya selain
dari luka akibat terkena senjata pemburu, maka sisi pelarangan dalam hal ini lebih
didahulukan.

Syarat Keempat :

Iaitu tasmiah (membaca basmalah).

Imam tiga; Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat bahawa tasmiah adalah
syarat, sedangkan As-Syafie berkata, “Itu adalah sunnah muakkadah, bukan syarat,” seperti
halnya berlaku dalam masa penyembelihan dan telah dikemukakan terdahulu penyebutan
dalil-dalilnya di sana.

Para ulama yang menjadikan tasmiah sebagai syarat berbeda pendapat, apakah dia
disyaratkan secara mutlak baik berburu dengan memanah mahupun dengan mengirim
haiwan pemburu, baik kepada orang yang ingat mahupun orang yang lupa, ataukah dia
menjadi syarat secara mutlak hanya ketika berburu dengan menggunakan haiwan pemburu
dan menjadi syarat bagi orang yang ingat ketika akan melepaskan anak panahnya, ataukah
dia menjadi syarat bagi orang yang ingat dan bukan bagi orang yang lupa, ketika dia melepas
haiwan pemburu dan melepaskan anak panahnya? Ada tiga pendapat :

Pendapat pertama : Itu adalah syarat secara mutlak bagi orang yang ingat dan yang
lupa, tidak gugur dalam keadaan bagaimana pun, disyaratkan ketika akan melepas haiwan
pemburu dan ketika akan melepaskan anak panah. Ini adalah mazhab Ahmad dan
merupakan pendapat sekelompok ulama. Mereka berdalilkan dengan keumuman dalil-dalil
dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan pensyaratan basmalah secara mutlak,
seperti firman Allah swt, “… oleh itu makanlah dari apa Yang mereka tangkap untuk kamu
dan sebutlah nama Allah atasnya (ketika kamu melepaskannya berburu); …” dan juga
sabda baginda, “Jika engkau melepas anjingmu yang telah terlatih (memburu) dan kamu
menyebut nama Allah ketika melepasnya maka makanlah (apa yang dia tangkap).”

Pendapat kedua : Itu adalah syarat secara mutlak bagi orang yang ingat dan yang
lupa ketika akan mengirim haiwan pemburu dan bukan syarat bagi orang yang lupa ketika
akan melepaskan anak panahnya. Alasan pendapat ini adalah kerana anak panah adalah
senjata berburu yang sebenarnya yang mana anak panah itu tidak mempunyai keinginan
seperti halnya pisau. Berbeda halnya dengan haiwan pemburu kerana dia melakukannya
dengan keinginannya sendiri. Pendapat ini adalah riwayat kedua dari Imam Ahmad.
124

Pendapat ketiga : Membaca basmalah ketika akan berburu adalah syarat dalam
keadaan ingat, bukan dalam keadaan lupa. Dengan demikian, syarat ini gugur ketika lupa. Ini
adalah pendapat Al-Hanafiah dan Al-Malikiah, dan mereka berdalilkan dengan sabda
baginda, “Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku, ketidaksengajaan, kelupaan dan
apa yang mereka dipaksa melakukannya.” Selain itu, pelepasan haiwan pemburu sama
kedudukannya dengan perbuatan menyembelih, sehingga kelupaan padanya bisa dimaafkan
sebagaimana dalam masalah penyembelihan.

BAB KEEMPAT :

PERBAHASAN PERTAMA : Bangkai.

PERSOALAN PERTAMA : Definisi Bangkai Dan Penjelasan Hikmah Pengharamannya Serta


Sanggahan Terhadap Orang Bukan Islam Yang Mengharuskannya.

Definisi Bangkai :

Bangkai adalah tubuh yang berpisah dengan roh tanpa melalui penyembelihan yang
syarie, misalnya dia mati dengan sendirinya tanpa ada campur tangan manusia di dalamnya.
Adakalanya haiwan itu menjadi bangkai kerana adanya campur tangan manusia, misalnya
dia membunuhnya dengan selain cara penyembelihan yang dibolehkan.

Allah swt telah mengharamkan bangkai dalam banyak ayat dalam kitabNya, di
antaranya adalah firman Allah swt :

         
   … 
173. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu memakan bangkai, dan
darah, dan daging babi, dan binatang-binatang Yang disembelih tidak kerana Allah … (Al-
Baqarah)

        


  … 
3. Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), dan
darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-
binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, … (Al-Ma’idah)

             
       … 
145. Katakanlah (Wahai Muhammad): "Aku tidak dapati Dalam apa Yang telah
diwahyukan kepadaku, sesuatu Yang diharamkan bagi orang Yang hendak memakannya
melainkan kalau benda itu bangkai, atau darah Yang mengalir, atau daging babi - … (Al-
An’aam)

Para ulama sepakat akan haramnya bangkai selain dalam keadaan darurat.
125

Hikmah pengharamannya : Kebanyakan bangkai itu mendatangkan mudarat pada


tubuh kerana dia mati akibat suatu penyakit atau kelemahan atau makhluk hidup yang
sangat kecil yang pada zaman ini dikenak dengan sebutan mikroba, di mana mikroba ini
melahirkan racun-racun dan adakalanya mikroba ini hidup di tubuh bangkai selama waktu
tertentu. Selain itu, bangkai juga termasuk makanan yang dianggap menjijikkan, kotor dan
buruk oleh akal dan nalar yang sihat. Selain itu, pada bangkai, darahnya tertahan di dalam
dan kelembapan yang tidak hilang darinya kecuali dengan penyembelihan yang sesuai
syariat. Jika ada yang mengatakan : Bahawa semua maksud ini juga terdapat pada
penyembelihan orang kafir selain ahli al-kitab dan selain mereka dari kalangan orang-orang
yang tidak boleh menyembelih, demikian juga pada sembelihan orang yang tida membaca
basmalah. Kalau begitu, kenapa sembelihan mereka semua diharamkan dan dianggap
sebagai bangkai?

Maka jawabannya adalah bahawa sebab pengharaman bangkai bukan hanya kerna
adanya penahanan mengalirnya darah, akan tetapi di sana ada beberapa sebab lainnya
dalam mengharamkan bangkai, dan tidak adanya sebahagian sebab tidak mengharuskan
semua sebab yang lainnya juga tidak ada. Bahkan itu digantikan oleh sebab yang lainnya.
[Kerana Allah swt telah mengharamkan semua yang khabits (buruk) atas kita, hanya sahaja
sifat khabits yang mengharuskan pengharaman itu terkadang Nampak dengan jelas dan
terkadang tersembunyi dari kita, kerananya apa yang tampak dengan jelas maka pembuat
syariat tidak memberikan tanda selain dari sifat khabitsnya itu, sedangkan apa yang yang
tersembunyi dari kita maka Dia memberikan tanda yang menunjukkan kalau dia khabits.
Maka tertahannya darah di dalam tubuh bangkai adalah sebab pengharaman yang tampak
dengan jelas.

Adapun sembelihan orang Majusi, yang murtad, yang tidak membaca basmalah dan
yang disembelih untuk selain Allah, tidak diragukan bahawa penyembelihan mereka itu
mengakibatkan yang disembelih menjadi khabits yang mengharuskannya untuk diharamkan.
Tidak ada yang mengingkari bahawa penyebutan nama berhala-berhala, bintang-bintang
dan jin-jin ketika dalam penyembelihan akan menjadikannya khabits, dan penyebutan nama
Allah semata akan menjadikannya thayyib, tidak ada yang mengingkari hal ini kecuali orang
yang kurang pengetahuannya mengenai hakikat ilmu, iman dan kebaikan syariat. Allah swt
benar-benar telah menjadikan semua sembelihan yang tidak disebut nama Allah atasnya
sebagai kefasikan yang merupakan al-khabits, dan tidak diragukan bahawa penyebutan
nama Allah pada haiwan sembelihan akan menjadikannya thayyib serta akan mengusir
syaitan dari orang yang menyembelih tidak membaca namaNya, syaitan akan bersama
dengan dirinya dan haiwan yang disembelih, lalu dia akan menjadikan haiwan tersebut
khabits].

Bantahan terhadap orang-orang musyrik dan selain mereka yang menghalalkan bangkai

Di dalam Al-Quran, Allah swt menyebutkan tentang kaum musyrikin bahawa mereka
membolehkan bangkai dan mereka membantah orang-orang beriman dalam masalah itu.
Allah juga memperingatkan orang-orang beriman agar tidak mentaati mereka dalam
membolehkan mereka makan makanan yang diharamkan ini, dan Dia menghukumi ketaatan
kepada mereka dalam masalah itu sebagai kemusyrikan. Allah swt berfirman :
126

           
            
         
          
         
          
         
   
118. Maka makanlah dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah
ketika menyembelihnya, jika betul kamu beriman kepada ayat-ayatNya.
119. Dan tidak ada sebab bagi kamu, (yang menjadikan) kamu tidak mahu makan dari
(sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
padahal Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa Yang diharamkanNya
atas kamu, kecuali apa Yang kamu terpaksa memakannya? dan Sesungguhnya
kebanyakan manusia hendak menyesatkan Dengan hawa nafsu mereka Dengan tidak
berdasarkan pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia lah Yang lebih mengetahui akan
orang-orang Yang melampaui batas.
120. Dan tinggalkanlah kamu dosa Yang nyata dan Yang tersembunyi. kerana
Sesungguhnya orang-orang Yang berusaha melakukan dosa, mereka akan dibalas
Dengan apa Yang mereka telah lakukan.
121. Dan janganlah kamu makan dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, kerana Sesungguhnya Yang sedemikian itu
adalah perbuatan fasik (berdosa); dan Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan
kepada pengikut-pengikutnya, supaya mereka membantah (menghasut) kamu; dan jika
kamu menurut hasutan mereka (untuk menghalalkan Yang haram itu), Sesungguhnya
kamu tetap menjadi orang-orang musyrik. (Al-An’aam)

Dia memerintahkan agar makan dari haiwan yang disebut nama Allah atasnya (ketika
disembelih), dan menyebut nama Allah menetapkan arah, menentukan tujuan dan
mengumumkan iman manusia pada kepatuhan kepada perintah dari Allah yang ditujukan
kepada mereka ini, “Maka makanlah dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika betul kamu beriman kepada ayat-
ayatNya.” Kemudian Dia bertanya kepada mereka, mengapa mereka tidak mahu makan
daging haiwan yang telah disebut nama Allah atasnya padahal Allah telah menjadikannya
halal bagi mereka dan Dia telah menjelaskan semua yang haram kepada mereka, yang
mereka tidak boleh memakannya kecuali dalam keadaan darurat. Maka semua pandangan
mengenai halal dan haramnya sesuatu atau bolehnya dimakan dan ditinggalkannya sesuatu
berakhir dengan penjelasan ini, “Dan tidak ada sebab bagi kamu, (yang menjadikan) kamu
tidak mahu makan dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah
ketika menyembelihnya, padahal Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu
apa Yang diharamkanNya atas kamu, kecuali apa Yang kamu terpaksa memakannya?...”

Tatkala nas-nas ini mengarah kepada kejadian tertentu pada saat itu yang mengenai
kebiasaan, iaitu tatkala kaum musyrikin enggan untuk memakan semua sembelihan yang
Allah telah halalkan dan justru mereka menghalalkan semua sembelihan yang Allah telah
haramkan dalam keadaan mereka meyakini bahawa itu termasuk dari syariat Allah, maka
keadaan ini mengharuskan Allah menerangkan mengenai urusan orang-orang yang
membuat syariat dan yang membuat kedustaan atas nama Allah. Allah menegaskan bahawa
127

mereka hanyalah mensyariatkan sesuatu dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan,
mereka menyesatkan manusia dengan apa yang mereka syariatkan tersebut kepada mereka
dari hasil perbuatan tangan mereka sendiri dan mereka melampaui batas dalam uluhiah dan
hakimiah Allah dengan ikut campurnya mereka dalam perkara-perkara yang merupakan
kekhususan Allah padahal mereka hanyalah hamba, “… dan Sesungguhnya kebanyakan
manusia hendak menyesatkan Dengan hawa nafsu mereka Dengan tidak berdasarkan
pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia lah Yang lebih mengetahui akan orang-orang
Yang melampaui batas.” Allah memerintahkan mereka untuk meninggalkan semua dosa
yang Nampak dan yang tersembunyi – dan di antara bentuknya adalah perbuatan mereka
tersebut, berupa penyesatan manusia dengan hawa nafsu yang tanpa ilmu dan mereka
menggiring manusia untuk menjalankan syariat-syariat yang bukan berasal dari Allah,
sebagai bentuk kedustaan atas nama Allah bahawa itu adalah syariatNya – dan Dia
memperingatkan mereka akan akibat jelek dosa yang mereka ada-adakan ini, “Dan
tinggalkanlah kamu dosa Yang nyata dan Yang tersembunyi. kerana Sesungguhnya
orang-orang Yang berusaha melakukan dosa, mereka akan dibalas Dengan apa Yang
mereka telah lakukan.”

Kemudian Dia melarang makan daging dari sembelihan yang tidak disebut nama
Allah atasnya (ketika disembelih) yang mereka perbantahkan terhadap orang-orang beriman
dalam pengharamannya. Mereka meyakini bahawa bangkai adalah hasil sembelihan Allah,
maka bagaimana bisa kaum Muslimin memakan haiwan yang mereka sembelih dengan
tangan-tangan mereka sendiri lalu mereka tidak mahu memakan apa yang Allah sembelih
(bangkai). Ini adalah salah satu bentuk fikiran orang-orang jahiliyah yang kepicikanan dan
kebodohannya benar-benar nyata dalam semua bentuk kejahilan. Hal inilah yang syaitan-
syaitan dari kalangan manusia dan jin selalu bisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kaum muslimin dlam masalah sembelihan-sembelihan ini, yang disinggung
dalam ayat-ayat berikut, “Dan janganlah kamu makan dari (sembelihan binatang-
binatang halal) Yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, kerana
Sesungguhnya Yang sedemikian itu adalah perbuatan fasik (berdosa); dan Sesungguhnya
syaitan-syaitan itu membisikkan kepada pengikut-pengikutnya, supaya mereka
membantah (menghasut) kamu; dan jika kamu menurut hasutan mereka (untuk
menghalalkan Yang haram itu), Sesungguhnya kamu tetap menjadi orang-orang
musyrik.”

Maka kaum musyrikin [orang-orang yang tersesat kerana hawa-hawa nafsu mereka
sendiri] menatakan bahawa apa yang Allah sembelih dengan pisauNya [yang mereka
maksud adalah bangkai] lebih baik daripada yang kalian (kaum Muslimin) sembelih dengan
pisau-pisau kalian [yang mereka maksud adalah haiwan yang disembelih]. Dalam kata-kata
mereka ini terkandung pernyataan bahawa mereka menghalalkan apa yang Allah telah
haramkan dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah halalkan, dan ini adalah
pemutarbalikkan kenyataan. Mereka mengatakan hal ini [tanpa ilmu] yakni tanpa ilmu yang
mereka ketahui dalam masalah penyembelihan. Kerana di antara hikmah dari
penyembelihan ini – sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu – adalah untuk
mengeluarkan darah yang Allah haramkan atas kita. Berbeda halnya dengan bangkai,
kerananya Allah mensyariatkan penyembelihan tersebut menjadi penyebab keluarnya
semua darah dari haiwan tersebut, berbeda halnya penyembelihan pada anggota tubuh
selain leher.
128

Sebagai kelanjutan dari pensyariatan mereka akan halalnya bangkai, mereka juga
membolehkan bangkai janin yang ada di dalam perut haiwan ternak, dan mereka
menyamakan pembolehan untuk memakannya di antara perempuan dan lelaki
sebagaimana yang Allah kisahkan tentang mereka dengan firmanNya :

         
           
   
139. Dan mereka berkata lagi: "Apa Yang ada Dalam perut binatang-binatang ternak itu
(jika ia lahirkan hidup) adalah halal bagi lelaki-lelaki Kami dan haram bagi perempuan-
perempuan kami". dan jika ia (dilahirkan) mati, maka mereka (lelaki perempuan)
bersekutu padanya (bersama-sama memakannya). Allah akan membalas mereka tentang
apa Yang mereka tetapkan (mengenai halal dan haram) itu. Sesungguhnya Allah Maha
Bijaksana, lagi Maha mengetahui. (Al-An’aam)

Maka pengharaman bangkai adalah hukum Allah yang dibangun di atas ilmu dan
hikmah, sedangkan pembolehannya adalah hukum jahiliyah yang dibangun di atas hawa
nafsu dan kebodohan,
          

50. Sesudah itu, Patutkah mereka berkehendak lagi kepada hukum-hukum jahiliyah?
padahal - kepada orang-orang Yang penuh keyakinan - tidak ada sesiapa Yang boleh
membuat hukum Yang lebih pada daripada Allah. (Al-Ma’idah)

Ketaatan kepada Allah dalam pengharamannya adalah tauhid, sedangkan ketaatan kepada
orang-orang jahiliyah dalam pembolehannya adalah kemusyrikan, “Dan jika kamu menuruti
mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” Kerana masalah
penghalalan dan pengharaman adalah hak milik Allah swt semata, tidak ada seorang pun
yang bersekutu denganNya dalam masalah itu,

          …


41. … dan (ingatlah) Allah menghukum menurut apa Yang dikehendakiNya; tiada
sesiapapun Yang dapat menghalang hukumNya, dan Dia lah juga Yang amat cepat
hitungan hisabNya. (Ar-Ra’d)

PERSOALAN KEDUA : Bangkai Yang Dikecualikan Dari Pengharaman Dan Dibolehkan


Memakannya, Serta Pendalilan.

Ada dua jenis bangkai yang dikecualikan dan boleh dimakan :

Jenis pertama : Bangkai Haiwan Laut :

Berdasarkan firman Allah swt, “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan
makanan (yang berasal) dari laut.” Yang dimaksud dengan makanan di sini adalah semua
haiwan yang mati dari jenis haiwan yang tidak bisa hidup kecuali di air, sehingga ayat ini
mengkhususkan keumuman firman Allah swt, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan
kepada kamu memakan bangkai, …” dan firman Allah swt, “Diharamkan kepada kamu
129

(memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), …”. Juga berdasarkan hadits Ibnu
Umar dari Nabi bahawa baginda bersabda :

“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah : Adapun kedua bangkai, maka dia
adalah ikan dan belalang, …”

Demikian pula hadits Abu Hurairah bahawa Nabi bersabda tentang laut, “Dia penyuci
airnya dan halal bangkainya,” dan itu adalah hadits sahih. Demikian pula hadits Jabir tentang
kisah ikan paus yang terdampar di pantai lalu para sahabat makan darinya selama setengah
bulan, dan mereka menceritakan hal itu kepada Nabi lalu baginda bersabda, “Makanlah,
sebagai rezeki yang Allah keluarkan untuk kalian.” Hadits-hadits ini juga mengkhususkan
ayat-ayat yang bersifat umum dalam pengharaman bangkai. Telah dikemukakan terdahulu
rincian masalah ini pada pembahasan yang kedua dari pembahasan-pembahasan bab kedua
mengenai haiwan buruan laut. Maksud kami menyebutkannya di sini adalah sekadar untuk
mengingatkan bangkai apa sahaja yang dikecualikan dari bangkai yang diharamkan. Wallahu
a’lam.

Jenis kedua : Belalang (Jarad)

[Jarad dengan jim difathah dan ra diringankan (tanpa tasydid), haiwan yang dikenal
luas, bentuk tunggalnya adalah jaradah, kata sebutan untuk jantan dan betinanya sama,
sebagaimana halnya hammamah (merpati). Ada yang mengatakan bahawa kata jarad
diambil dari kata al-jarad (mepreteli) kerana tidaklah dia hinggap pada sesuatu kecuali dia
akan merosak dan merontoknya. Struktur tubuh belalang sangat menakjubkan, padanya
terkumpul sepuluh jenis anggota tubuh haiwan-haiwan lainnya, yang sebahagiannya
disebutkan dalam kedua bait syair berikut :

Diperselisihkan mengenai asal-usulnya, ada yang mengatakan dia asalnya adalah


jenis ikan kerananya dia boleh dimakan tanpa penyembelihan. Dalilnya adalah hadits Anas,
“Sesungguhnya belalang adalah jenis ikan laut,” dan hadits Abu Hurairah, “Kami pernah
keluar bersama Rasulullah untuk berhaji atau umrah, lalu kami mendapati sekawanan
belalang lalu kami pun memukulnya dengan sandal-sandal dan cambuk-cambuk kami.
Baginda bersabda, “Makanlah kerana dia termasuk haiwan buruan laut.” Seandainya kedua
hadits ini sahih, maka keduanya adalah dalil kuat bagi yang berpendapat tidak adanya denda
bagi orang yang sedang berihram yang membunuhnya, sedangkan majoriti ulama
berpendapat sebaliknya. Jika ada dalil sabit yang menyatakan adanya denda kerana
membunuhya, maka itu menunjukkan bahawa dia adalah haiwan darat.]

Adapun hukum memakannya, maka secara umum para ulama telak bersepakat
mengenai bolehnya makan belalang, dengan dalil hadits yang baru sahaja dikemukakan itu,
“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah : Adapun kedua bangkai, maka dia
adalah ikan dan belalang, …” dan hadits Abdullah bin Abi Aufa dia berkata, “kami
berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali peperangan dan kami hanya memakan
belalang.” Hanya sahaja majoriti ulama mengatakan bahawa belalang dihalalkan secara
mutlak, baik dia mati kerana diburu atau dengan disembelih atau mati begitu sahaja tanpa
sebab yang jelas. Sedangkan Malik – dalam riwayat yang masyhur darinya – dan Ahmad –
dalam satu riwayat – berpendapat bahawa belalang tidaklah halal kecuali kalau mati kerana
130

sebab yang jelas, misalnya kerana sebahagian anggota tubuhnya terpotong atau direbus
atau dibakar hidup-hidup, tetapi jika dia mati begitu sahaja tanpa sebab yang jelas, maka
tidak halal dimakan.

Majoriti ulama berpendapat dengan hadits yang telah berlalu, “Dihalalkan bagi kita
dua bangkai.” Dalil ini dikritik bahawa marfu’nya hadits ini kepada Nabi saw adalah lemah
dan yang benarnya dia adalah perkataan Ibnu Umar, sehingga tidak sah berdalil dengannya
untuk menghalalkan bangkai belalang. Kritikan ini dijawab, bahawa riwayat yang mauquf
dari Ibnu Umar dan riwayat lain yang telah disahihkan oleh para huffaz, sudah cukup
menjadi dalil kerana riwayat Ibnu Umar ini memepunyai hukum marfu’, kerana ucapan
seorang sahabat ‘kami diperintahkan untuk melakukan ini’ atau ‘ kami dilarang melakukan
ini’ atau ‘dihalalkan untuk kami ini’ atau ‘diharamkan atas kami ini’, semuanya sama
hukumnya dengan hadits marfu’ dari Nabi saw, dan itu sama kedudukannya kalau dia
berkata ‘Rasulullah bersabda demikian’ atau ‘ beliau menghalalkan ini’ atau ‘mengharamkan
itu’, dan ini adalah kaedah yang sudah masyhur. Malik berdalil dengan firman Allah swt,
“Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), …”
kerana bangkai belalang termasuk ke dalam keumuman ayat, maka itu juga diharamkan.

Yang rajih adalah pendapat majoriti ulama, dan pendalilan Imam Malik dengan
keumuman ayat dijawab bahawa dia adalah dalil umum yang dikhususkan dengan hadits
tersebut di atas, wallahu a’lam.

PERSOALAN KETIGA : Hukum binatang yang disembelih setelah berlaku perkara yang
boleh menyebabkannya mati seperti tercekik dan dipukul . . . , serta pendalilan dan
pentarjihan.

Dalil utama yang menjadi acuan dasar semua hukum dalam permasalahan ini adalah
firman Allah swt :

        


      
  … 
3. Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), dan
darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-
binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, dan Yang mati tercekik, dan Yang
mati dipukul, dan Yang mati jatuh dari tempat Yang tinggi, dan Yang mati ditanduk, dan
Yang mati dimakan binatang buas, … (Al-Ma’idah)

Allah swt telah menerangkan dalam ayat ini hukum kebanyakan jenis makanan, di
antaranya adalah al-munkhaniqah (Yang mati tercekik), al-mauquzah (Yang mati dipukul), al-
mutaraddiyah (Yang mati jatuh dari tempat Yang tinggi), an-nathihah (Yang mati ditanduk)
dan apa yang dimangsa oleh binatang buas. Pembahasan mengenai kelima jenis daging ini
mencakup :

1. Penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan masing-masing dari kelima jenis ini.
2. Alasan disebutkannya kelima jenis ini setelah penyebutan makanan-makanan yang
diharamkan sebelumnya.
131

3. Penjelasan seputar perselisihan ulama mengenai jenis pengecualian yang terdapat


dalam ayat yang mulia ini.
4. Kemudian penjelasan seputar perselisihan para fuqaha mengenai batasan ukuran
‘bernyawa’ yang dengannya seekor haiwan sah untuk disembelih pada kelima jenis haiwan
yang dijadikan makanan yang disebutkan ini, disertai dengan pendalilan masing-masing
pendapat dan tarjih di antaranya.

Pertama : Penjelasannya

al-munkhaniqah Yang mati tercekik : Dia adalah haiwan yang mati dalam keadaan
tercekik. Al-khanaq adalah tertahannya nafas, baik yang melakukannya adalah manusia
(dengan tangannya) atau dengan seutas tali atau dengan dua batang kayu atau lainnya.
Disebutkan bahawa orang-orang jahiliyah dahulu biasa mencekik kambing dan haiwan
lainnya, jika sudah mati baru mereka memakannya.

al-mauquzah Yang mati dipukul : A-waqadz adalah pukulan atau benturab keras, dan
yang dimaksud dengan al-mauquzah di sini adalah haiwan yang dikenai benturan atau
dipukul dengan menggunakan batu atau batang kayu atau lainnya sampai mati tanpa
melalui penyembelihan. Ada yang mengatakan bahawa orang-orang jahiliyah biasa
melakukan hal demikian pada haiwan lalu mereka memakannya.

al-mutaraddiyah Yang mati jatuh dari tempat Yang tinggi : Ar-rada adalah binasa, dan
yang dimaksud dengan al-mutaraddiyah di sini adalah haiwan yang terjatuh dari tempat
yang tinggi ke bawah lalu mati, bik itu jatuh dengan sendirinya mahupun didorong oleh yang
lainnya. Orang-orang jahiliyah biasa memakan al-mutaraddiyah dari haiwan ternak.

an-nathihah Yang mati ditanduk : Berwazan fa’ilah yang bermakna maf’ulah. Ini
adalah kambing yang ditanduk oleh haiwan lain lalu dia mati kerananya.

Yang mati dimakan binatang buas : Haiwan yang diterkam oleh binatang buas yang
bertaring dan bercakar, seperti singa, macan tutul dan serigala. Dalam ungkapan ini ada
(kata) yang disembunyikan, iaitu : Haiwan yang dimangsa oleh binatang buas, kerana apa
yang dimangsa oleh binatang buas bererti telah rusak.

Orang-orang jahiliyah tidak meyakini haiwan sebagai bangkai kecuali haiwan yang
mati kerana penyakit dan semisalnya, bukan yang mati kerana sebab yang diketahui.
Adapun semua sebab yang disebutkan ini, kedudukannya – menurut mereka – sama dengan
sembelihan.

Kedua : Alasannya

Adapun alasan disebutkannya kelima jenis ini setelah penyebutan makanan-


makanan haram sebelumnya, adalah – wallahu a’lam – untuk membantah orang-orang
jahiliyah yang tidak menghukumi kelima jenis ini sebagai bangkai dan pembolehan mereka
atas semua itu, sebagaimana yang telah kami sebutkan.

Ketiga : Penjelasan mengenai jenis pengecualian yang terdapat dalam ayat.


132

Firman Allah swt, “… kecuali Yang sempat kamu sembelih (sebelum habis
nyawanya),…” maknanya adalah : Kecuali yang sempat kamu sucikan dengan
penyembelihan yang mana Allah telah menjadikannya sebagai penyuci. Para ulama berbeda
mengenai jenis pengecualian yang terdapat dalam ayat yang mulia ini menjadi dua
pendapat :
3. Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), dan darah (yang keluar
mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari
Allah, dan Yang mati tercekik, dan Yang mati dipukul, dan Yang mati jatuh dari tempat Yang tinggi, dan Yang
mati ditanduk, dan Yang mati dimakan binatang buas, kecuali Yang sempat kamu sembelih (sebelum habis
nyawanya), dan Yang disembelih atas nama berhala; dan (diharamkan juga) kamu merenung nasib Dengan
undi batang-batang anak panah. Yang demikian itu adalah perbuatan fasik. pada hari ini, orang-orang kafir
telah putus asa (daripada memesongkan kamu) dari ugama kamu (setelah mereka melihat perkembangan
Islam dan umatnya). sebab itu janganlah kamu takut dan gentar kepada mereka, sebaliknya hendaklah kamu
takut dan gentar kepadaKu. pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagi kamu ugama kamu, dan Aku telah
cukupkan nikmatKu kepada kamu, dan Aku telah redakan Islam itu menjadi ugama untuk kamu. maka sesiapa
Yang terpaksa kerana kelaparan (memakan benda-benda Yang diharamkan) sedang ia tidak cenderung hendak
melakukan dosa (maka bolehlah ia memakannya), kerana Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha
Mengasihani.

Pendapat Pertama : Ini adalah pendapat majoriti ulama : Itu adalah pengecualian
muttasil (yang berhubungan dengan yang sebelumnya) yang kembalinya kepada apa yang
dia dapat merujuk kepadanya, dari jenis makanan yang sudah hamper mati tapi sempat
disembelih dalam keadaan dia masih memepunyai nyawa yang mustaqirrah. Dan kalimah ini
hanya memungkinkan kembali kepada firmanNya, “… dan Yang mati tercekik, dan Yang
mati dipukul, dan Yang mati jatuh dari tempat Yang tinggi, dan Yang mati ditanduk, dan
Yang mati dimakan binatang buas, …” kerana pengecualian ini tidak mungkin kembali
kepada firmanNya, “…Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang
tidak disembelih), dan darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk
semuanya), dan binatang-binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, …”
kerana makanan-makanan ini tidak boleh disembelih.

Kebenaran pendapat ini bisa dilihat dengan adanya ijma’ bahawa penyembelihan itu
dilakukan pada kelima jenis haiwan ini yang masih ada harapan bernyawa, maka ini
menunjukkan bahawa pengecualian tersebut mempunyai pengaruh pada kelima jenis
haiwan ini, sehingga dia dihukumi muttasil.

Jadi, menurut pendapat ini, makna ayatnya adalah : Diharamkan al-munkhaniqah, al-
mauquzah, al-mutaraddiyah, an-nathihah dan yang dimakan oleh binatang buas kalau dia
mati kerana dicekik, dipukul, terjatuh, ditanduk dan dimangsa oleh binatang buas, kecuali
kalau kalian sempat menyembelihnya sebelum dia mati, maka ketika itu dia halal untuk
dimakan.

Pendapat Kedua : Ini adalah pendapat sekelompok ulama Madinah. Dia adalah
pengecualian munqati’ (yang tidak berhubungan dengan yang sebelumnya), tidak kembali
kepada makanan-makanan haram yang Allah sebutkan dalam ayat ini. Mereka berdalil
dengan dua hal :
133

Pertama : Disebutkan dalam ayat ini sejumlah haiwan yang tidak bisa disembelih,
iaitu bangkai dan babi, [mereka mengatakan bahawa makna ayat tersebut adalah :
Diharamkan atas kalian bangkai, darah dan semua yang Kami sebutkan itu, akan tetapi apa
yang kalian sembelih dari haiwan yang Allah halalkan untuk disembelih, maka itu halal bagi
kalian]. Maka kata ‘kecuali’ maknanya adalah ‘akan tetapi’ yakni : Diharamkan atas kalian
semua perkara ini, akan tetapi apa yang kalian sembelih itulah yang halal dan tidak
diharamkan.

Kedua : [Pengharaman ini tidak berkaitan dengan zat kelima jenis ini dalam keadaan
mereka masih hidup, akan tetapi berkaitan dengan mereka dalam keadaanmereka sudah
mati. Jika demikian halnya maka pengecualian di sini adalah bersifat munqati’. Itu kerana
makna dari firman Allah swt, “Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang
Yang tidak disembelih),…” adalah daging bangkai, demikian pula daging al-mauqudzah, al-
mutaraddiyah, an-nathihah dan yang lainnya, yakni : Daging bangkai yang seperti ini
penyebab kematiannya. Jika sudah diketahui bahawa yang dimaksud di sini adalah tidak
berkaitannya pengharaman ini dengan zat kelima jenis ini dalam keadaan mereka masih
hidup, melainkan dia berkaitan dengan mereka setelah mereka mati, disebabkan semua
daging haiwan itu haram untuk dimakan dalam keadaan dia masih hidup dengan dalil
disyaratkannya penyembelihan padanya dan dengan dalil sabda baginda saw, “Bahagian
tubuh mana sahaja yang terpotong dari haiwan dalam keadaan dia masih hidup maka itu
adalah bangkai,” jika semua ini sudah diketahui maka ungkapan, “…kecuali Yang sempat
kamu sembelih (sebelum habis nyawanya),…” harus berkedudukan sebagai pengecualian
yang munqati’]. Dan yang dimaksud dengan al-munkhaniqah dan yang lainnya itu dalam
ayat ini – menurut pendapat ini – adalah semua yang mati kerana sebab-sebab tersebut
atau yang keadaannya – menurut dugaan kuat – sudah tidak bernyawa lagi kerana adanya
sebab-sebab ini. Makah al yang seperti ini keadaannya sudah tidak bisa diberlakukan
padanya pengecualian ini. Adapun tujuan penyebutan kelima jenis ini setelah bangkai
adalah sebagai bantahan terhadap orang-orang jahiliyyah yang tidak memandang satu pun
haiwan sebagai bangkai kecuali yang mati kerana penyakit yang mengenainya, bukan
haiwan yang tercekik, terjatuh, tertanduk haiwan lain dan yang diterkam oleh binatang
buas. Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahawa hukum semua ini sama dengan
hukum haiwan yang mati kerana terkena penyakit.

Pentarjihan :

Yang rajih adalah bahawa pengecualian ini bersifat muttasil sebagaimana yang
dikatakan oleh majoriti ulama, [kerana hak ‘pengecualian’ dialihkan pada kalimah
sebelumnya, dan tidak membuat munqati’ kecuali dengan dalil yang harus diterima],
sedangkan di sini tidak ada dalil yang kuat sehingga sifat pengecualian ini tetap pada
asalnya.

Keempat : Penjelasan mengenai perbedaan pendapat dalam ukuran ‘bernyawa’ yang


dengannya kelima jenis haiwan ini masih boleh disembelih.

Ada beberapa pendapat dalam masalah ini :


134

Pendapat Pertama : Jika seseorang menyembelihnya dalam keadaan dia masih


bernyawa walaupun tinggal sedikit maka itu adalah halal. Ini adalah pendapat Abu Hanifah
dan satu riwayat dari Ahmad, berdasarkan firman Allah swt, “Diharamkan kepada kamu
(memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), …” hingga firman Allah swt, “… dan
Yang mati tercekik, dan Yang mati dipukul, dan Yang mati jatuh dari tempat Yang tinggi,
dan Yang mati ditanduk, dan Yang mati dimakan binatang buas, kecuali Yang sempat
kamu sembelih (sebelum habis nyawanya), …” Allah mengecualikan ‘yang disembelih’ dari
sejumlah daging yang diharamkan, sedangkan pengecualian dari sesuatu yang diharamkan
menunjukkan pembolehan. Haiwan yang disembelih ini, kerana adanya belahan pada
lehernya dan juga masih hidup, maka itu termasuk ke dalam cakupan ayat ini. Pendapat ini
yang dijadikan fatwa dalam mazhab Al-Hanafiah, maka cukup menjadi alasan haiwan boleh
disembelih dengan masih adanya nyawa padanya.

Pendapat Kedua : Tidak halal memakan satu pun daris emua yang tersebut dalam
ayat ini kecuali kalau itu didapati masih mempunyai nyawa yang mustaqirrah lalu dia
disembelih. Ini adalah pendapat Al-Hanabilah dan As-Syafi’iyyah. Sisi pendalilan pendapat ini
adalah jika dia didapati dalam keadaan sudah tidak mempunyai nyawa yang mustaqirrah
maka dia dihukumi sama dengan bangkai yang tidak bisa disembelih. Hanya sahaja mereka
berbeda pendapat mengenai definasi ‘nyawa mustaqirrah’ : Menurut As-Syafi’iyyah, itu
didefinisikan dengan adanya tanda-tanda dan petunjuk-petunjuk yang tidak bisa dijelaskan
dengan kata-kata. Di antara tanda-tanda tersebut adalah gerakan yang banyak setelah
terpotongnya saluran makanan dan pernafasan serta terpancar dan keluarnya darah.
Menurut Al-Hanabilah, diketahui dengan gerakannya: Jika gerakannya lebih banyak
daripada gerakan haiwan yang telah disembelih maka dia halal disembelih, dan jika
gerakannya sama sahaja dengan gerakan haiwan yang telah disembelih maka itu tidak halal.
Sebahagian Al-Hanabilah mengukurnya dengan waktu, dengan mengatakan : Jika dia masih
bisa hidup setengah hari lebih maka dia halal untuk disembelih. Ini dibantah oleh penulis ‘Al-
Mughni’ kemudian dia berkata, “Yang benar adalah : Jika dia masih hidup selama jangka
waktu kematian kerana penyembelihan lebih cepat daripada mati kerana terkena sebab-
sebab di atas maka itu halal.”

Pendapat Ketiga : Haiwan yang menurut dugaan kuat mati kerana semua penyebab
di atas, maka dia tidak halal disembelih. Ini adalah pandangan Malik dan salah satu riwayat
dari Ahmad. Misalnya dia diserang oleh haiwan pemangsa, seperti yang terpotong tulang
belakangnya dan yang porak peranda isi kepalanya atau yang jelas lukanya atau yang
terpotong urat lehernya. Dalil pendapat ini adalah : Bahawa jika haiwan tersebut sudah
dalam keadaan seperti ini maka dia sudah dihukumi sebagai bangkai sehingga tidak boleh
lagi disembelih.

Kesimpulan dari pendapat-pendapat ini adalah sebagai berikut :

Pendapat pertama : Memandang cukup dengan sekadar melihat adanya nyawa pada
haiwan tersebut yang dengannya dia masih memungkinkan untuk disembelih sebelum mati.

Pendapat kedua menyatakan : Dia harus mempunyai tanda-tanda masih bernyawa


yang lebih banyak daripada sekadar hidup, iaitu dengan adanya nyawa yang mustaqirrah
yang berlangsung selama selang waktu yang cukup lama, dan ini bisa diketahui dengan
135

tanda-tanda seperti gerakan yang masih aktif dan semacamnya, sebagaimana yang telah
dikemukakan terdahulu.

Pendapat ketiga menyatakan : Dia harus mempunyai nyawa yang jika seekor haiwan
tersebut dibiarkan dalam keadaan seperti itu maka dia tetap bisa bertahan hidup. Maka jika
sebab itu yang menyebabkan dia terbunuh, bererti dia tidak boleh disembelih.

Pentarjihan :

Yang rajih dari semua pendapat ini adalah pendapat yang pertama kerana itulah
yang sejalan dengan bunyi teks ayat, “… kecuali Yang sempat kamu sembelih (sebelum
habis nyawanya), …” Kerananya jika haiwan tersebut didapati dalam keadaan masih hidup
lalu segera disembelih maka ini sudah termasuk ke dalam keumuman ayat. Di antara dalil
yang juga menunjukkan hai ini adalah sebuah peristiwa yang pernah terjadi pada zaman
Nabi saw, iaitu bahawa ada seorang budak perempuan milik Ka’ab bin Malik yang pernah
menggembalakan kambing-kambingnya di daerah Sala’ lalu salah satu kambingnya terluka
parah, lalu budak itu segera mendatangi dan menyembelihnya dengan sebuah batu tajam.
Kemudian hal ini ditanyakan kepada Nabi saw maka baginda bersabda, “Makanlah.” Jadi
perkataan Ka’ab, “Maka budak itu segera mendatangi lalu menyembelihnya,” menunjukkan
bahawa dia bersegera menyembelihnya ketika dia khuatir kalau kambing itu akan mati saat
itu juga. Persyaratan harus ada nyawa yang mustaqirrah atau persyaratan bahawa bukan
lika itu yang menyebabkannya terbunuh, kedua persyaratan ini bertentangan dengan teks
eksplisit dalil-dalil yang ada.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah telah memilih pendapat ini, dalam sebuah jawaban dari
pertanyaan yang diarahkan kepada beliau dalam permasalahan ini. Kami mengetengahkan
kata-kata beliau secara lengkap kerana faedahnya yang sangat besar. Beliau berkata,
“Alhamdulillahi Rabbil alamin, Allah berfirman, “Diharamkan kepada kamu (memakan)
bangkai (binatang Yang tidak disembelih), dan darah (yang keluar mengalir), dan daging
babi (termasuk semuanya), dan binatang-binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari
Allah, dan Yang mati tercekik, dan Yang mati dipukul, dan Yang mati jatuh dari tempat
Yang tinggi, dan Yang mati ditanduk, dan Yang mati dimakan binatang buas, kecuali
Yang sempat kamu sembelih (sebelum habis nyawanya), …” Firman Allah swt, “… kecuali
Yang sempat kamu sembelih (sebelum habis nyawanya), …” kembalinya kepada makanan
yang telah disebutkan sebelumnya berupa al-munkhaniqah, al-mauqudzah, al-
mutaraddiyah, an-nathihah dan yang diterkam oleh binatang buas, menurut seluruh ulama
seperti As-Syafie, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah dan selain mereka. Kerananya jika ada
haiwan yang didapati dalam keadaan belum mati maka dia boleh disembelih, hanya sahaja
para ulama berbeda pendapat mengenai keadaan haiwan yang boleh disembelih dalam
keadaan seperti ini :

Di antara mereka ada yang mengatakan : Yang sudah diyakini akan kematiannya
tidak boleh lagi disembelih, sebagaimana pendapat Malik dan salah satu riwayat dari
Ahmad.

Di antara mereka ada yang mengatakan : Yang hidup lebih dari setengah hari maka
dia boleh disembelih.
136

Di antara mereka ada yang mengatakan : Yang disembelih hanyalah yang masih
mempunyai nyawa yang mustaqirrah, sebagaimana yang dikatakan oleh sebahagian As-
Syafi’iyah dan Ahmad. Kemudian di antara mereka ada yang mengatakan : Nyawa yang
mustaqirrah adalah yang gerakannya lebih aktif daripada gerakan haiwan yang sudah
disembelih, dan di antara mereka ada yang mengatakan : Yang jelas masih ada kemungkinan
bisa hidup lebih lama daripada haiwan yang sudah disembelih.

Yang benar adalah : Jika dia masih hidup lalu disembelihj maka dia halal dimakan,
dan perbandingan gerakannya dengan haiwan yang disembelih bukanlah patokan kerana
gerakan haiwan yang sudah disembelih tidak tetap, bahkan di antara mereka ada yang
masih bisa hidup agak lama dan gerakannya bertambah banyak. Sedangkan Nabi saw telah
bersabda, “Haiwan yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelih
maka makanlah,” kerananya kapan darah yang keluar dari haiwan yang disembelih
mengalir, … maka itu halal dimakan. Manusia telah membedakan antara darah haiwan yang
masih hidup dengan darah haiwan yang telah mati, kerana haiwan yang mati darahnya
membeku dan berwarna hitam, kerananya Allah mengharamkan bangkai kerana
kelembapan (darah) tertahan di dalam tubuhnya, sehingga jika darah yang biasa keluar dari
haiwan yang disembelih sudah keluar darinya dalam keadaan hidup (saat disembelih)maka
dia halal untuk dimakan, walaupun dia yakin bahawa haiwan tersebut sudah mati (yakni :
Kerana terkena panah / haiwan pemburu) …

Umar bin Al-Khattab meyakini keadaan demikian dan sebelumnya masih hidup maka
boleh dimakan. Lebih dari satu sahabat telah berfatwa bahawa jika haiwan tersebut masih
bisa memukul dengan ekornya, melihat dengan matanya dan meronta dengan kakinya
setelah disembelih maka itu halal dimakan. Mereka tidak mempersyaratkan agar geraknya
sebelum itu lebih banyak daripada haiwan yang telah disembelih. Ini adalah pandangan para
sahabat, kerana gerak adalah tanda adanya nyawa, tidak sebaliknya. Maka tidak
ditemukannya pertanda demikian padanya tidaklah mengharuskan dia dihukumi sebagai
bangkai, bahkan terkadang dia masih hidup walaupun tanda semacam ini tidak terlihat
padanya. Manusia – misalnya – dia dalam keadaan tidur lalu lehernya dipotong lalu tidak
bergerak sedikit pun. Demikian pula orang yang pengsan lalu dia disembelih dan dia tidak
bergerak. Demikian pula haiwan, terkadang dia masih hidup lalu disembelih dan dia tidak
bergerak kerana dia sudah terlalu lemah untuk bergerak, walaupun sebenarnya diamasih
hidup. Akan tetapi keluarnya darah yang tidak keluar kecuali dari seekor haiwan yang
disembelih dan dia bukanlah darah bangkai adalah petanda akan adanya nyawa, wallahu
a’lam.

Selesai. Penulis sengaja tidak mengutip beberapa kata kerana alasan maknanya yang
tumpang tindih sehingga kurang jelas.

Jawaban ini – sebagaimana yang dapat dilihat – ditopang dengan dalil-dalil serta
fatwa-fatwa para sahabat, dan kenyataan yang terjadi menguatkan pendapat yang beliau
pilih dalam masalah penyembelihan al-munkhaniqah dan yang disebutkan bersamanya.
Seorang peneliti objektif tidak memepunyai pilihan lain kecuali mengakui dan menerima
penjelasan beliau ini, wallahu a’lam.
137

PERSOALAN KEEMPAT : Hukum memakan binatang-binatang yang disembelih kerana


selain dari Allah.

Allah swt berfirman :

         
   … 
173. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu memakan bangkai, dan
darah, dan daging babi, dan binatang-binatang Yang disembelih tidak kerana Allah … (Al-
Baqarah)

Kita telah mengetengahkan perbahasan mengenai perkara yang berkaitan dengan


daging babi dan darah pada perbahasan tersendiri, dan maksud kami di sisni adalah untuk
menjelaskan hukum memakan haiwan-haiwan yang disembelih dengan menyebut nama
selain nama Allah. Ayat yang mulia yang baru sahaja kami bawakan telah
mengharamkannya dan memasukkannya ke dalam kelompok bangkai, darah dan daging
babi. Dalam ayat yang lain Al-Quran melukiskan bahawa itu adalah kefasikan :

             
           
    … 
145. Katakanlah (Wahai Muhammad): "Aku tidak dapati Dalam apa Yang telah
diwahyukan kepadaku, sesuatu Yang diharamkan bagi orang Yang hendak memakannya
melainkan kalau benda itu bangkai, atau darah Yang mengalir, atau daging babi - kerana
Sesungguhnya ia adalah kotor - atau sesuatu Yang dilakukan secara fasik, Iaitu binatang
Yang disembelih atas nama Yang lain dari Allah". … (Al-An’aam)

Haiwan yang disembelih dengan selain nama Allah adalah apa yang disembelih
dengan menyebut selain nama Allah, berupa patung-patung, berhala-berhala, anak-anak
panah dan semacamnya dari kebiasaan orang-orang jahiliyah yang menyembelih untuknya.
Pelarangan untuk memakannya dalam rangka menjaga nilai-nilai tauhid kerana
penyembelihan dengan selain nama Allah adalah termasuk perbuatan menyembah berhala.
Kerananya siapa sahaja yang menyembelih seekor haiwan sembelihan dengan menyebut
nama selain Allah maka bererti dia telah mendekatkan diri kepada sesuatu yang namanya
dia sebut ketika menyembelih dan itu termasuk perbuatan syirik terhadap Allah dengan cara
memalingkan ibadah kepada selainNya. Para ulama fiqih menyebutkan bahawa semua
haiwan yang disebutkan suatu nama selain Allah ketika menyembelihnya – walaupun dia
menyebutkan nama Allah bersamanya – maka dia adalah haram. Sebab, kerana dalam
penyembelihan tidak boleh menyebut nama selain dari nama yang memberikan haiwan
ternak yang halal tersebut kepadanya, maka haiwan tersebut disembelih dan dimakan
dengan namaNya, tidak ada yang bersekutu denganNya dalam masalah itu selainNya, dan
tidak boleh bertaqarrub dengan menyembelihnya kepada selainNya dari makhluk-makhluk
yang tidak bisa mencipta, tidak memberikan apa-apa dan tidak menghalalkan apa-apa. Kami
telah sebutkan di awal bab ini bahawa hikmah pengharaman jenis ini adalah bahawa haiwan
yang disembelih dengan cara seperti ini mengakibatkan haiwannya menjadi khabits dan
mengharuskan pengharamannya, maka dia dikategorikan ke dalam jenis najis yang berupa
benda dan kotoran yang sebenarnya.
138

Binatang-binatang Yang disembelih tidak kerana Allah terbahagi kepada dua jenis :

Jenis pertama : Apa yang disembelih oleh Ahli al-Kitab dan disebut nama selain Allah.
Jenis ini telah berlalu pembahasannya dalam syarat-syarat penyembelihan.

Jenis Kedua : Yang disembelih oleh selain ahli al-kitab dari kalangan para penyembah
berhala, Majusi, penyembah kubur dan selain mereka, kepada berhala-berhala dan
bebatuan mereka yang mereka mendekatkan diri kepadanya dengan menyembelih haiwan-
haiwan persembahan serta berbagai jenis nazar yang banyak terjadi di banyak negeri pada
zaman ini, yang mana dahulu negeri-negeri ini adalah negeri Islam sedangkan sekarang
sudah muncul gejala-gejala kemusyrikan yang nyata dan kebanyakan orang yang mengaku
beragama Islam dari penduduknya telah berlumba-lumba dalam menyembelih untuk selain
Allah di makam para wali. Padahal nas-nas agama Islam sangat jelas melarang
penyembelihan kepada selain Allah dan bahawa itu termasuk kemusyrikan akbar yang
mengeluarkan pelakunya dari agama. Juga sangat jelas melarang penyebutan nama selain
Allah pada haiwan-haiwan sembelihan dan sangat jelas mengharamkan untuk makan daging
yang disembelih untuk berhala-berhala ini dan bahawa itu termasuk dari jenis bangkai.

Apa yang disembelih dengan menyebut selain nama Allah hukumnya haram secara
mutlak.

[Allah swt telah mengharamkan semua yang disembelih untuk selain Allah dan yang
disebut atas nama selain Allah, walaupun yang dia maksudkan hanya sekadar untuk
memakan dagingnya dan bukan untuk bertaqarrub. Nabi saw juga telah melaknat orang
yang menyembelih untuk selain Allah serta melarang memakan semua daging haiwan yang
disembelih untuk jin-jin, sementara kaum musyrikin ketika itu biasa menyembelih haiwan
untuk jin. Bahkan Allah telah mengharamkan secara mutlak semua haiwan yang disembelih
tanpa menyebut namaNya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah
dalam banyak tempat. Allah berfirman :

   


2. Oleh itu, kerjakanlah sembahyang kerana Tuhanmu semata-mata, dan sembelihlah
korban (sebagai bersyukur). (Al-Kautsar)
Yakni : Menyembelihlah hanya untu Rabbmu jua, juga dalam firman Allah swt :

         


162. Katakanlah: "Sesungguhnya sembahyangku dan ibadatku, hidupku dan matiku,
hanyalah untuk Allah Tuhan Yang memelihara dan mentadbirkan sekalian alam. (Al-
An’aam)

Ibrahim dan Ismail juga telah berkata saat keduanya meninggikan pondasi Al-Bait,

         
 … 
128. "Wahai Tuhan kami! Jadikanlah Kami berdua: orang-orang Islam (yang berserah diri)
kepadaMu, dan Jadikanlah daripada keturunan kami: umat Islam (yang berserah diri)
139

kepadaMu, dan tunjukkanlah kepada Kami syariat dan cara-cara Ibadat kami, … (Al-
Baqarah)
manasik yang dimaksud di sini adalah semua tempat pelaksanaan ibadah haji, sebagaimana
dalam firman Allah swt :

       … 


67. Bagi tiap-tiap umat, Kami adakan satu syariat Yang tertentu untuk mereka ikuti dan
jalankan, … (Al-Hajj)

Allah swt berfirman :

          … 
34. Dan bagi tiap-tiap umat, Kami syariatkan Ibadat menyembelih korban (atau lain-
lainnya) supaya mereka menyebut nama Allah sebagai bersyukur akan pengurniaanNya
kepada mereka; … (Al-Hajj)

Allah swt berfirman :

           … 
37. Daging dan darah binatang korban atau hadiah itu tidak sekali-kali akan sampai
kepada Allah, tetapi Yang sampai kepadanya ialah amal Yang ikhlas Yang berdasarkan
taqwa dari kamu. … (Al-Hajj)

Dan Allah swt berfirman :

         
32. Demikianlah (ajaran Allah); dan sesiapa Yang menghormati syiar-syiar ugama Allah
maka (Dia lah orang Yang bertaqwa) kerana Sesungguhnya perbuatan itu satu kesan dari
sifat-sifat taqwa hati orang mukmin. (Al-Hajj)

Maka yang menjadi tujuan adalah ketakwaan hati kepada Allah, iaitu penyembahan
kepadaNya semata dengan sepenuhnya penyembahan dan tidak kepada selainNya.
Penyembahan kepadaNya adalah dengan cinta yang sempurna serta tunduk dan ikhlas yang
paripurna, dan inilah agamanya Nabi Ibrahim].[Kaum musyrikin biasa menyembelih untuk
kuburan dan bertaqarrub kepadanya dengan menyembelih haiwan-haiwan kurban. Mereka
pada zaman jahiliyah, jika ada seorang pembesar mereka meninggal maka mereka akan
menyembelih kuda, unta dan lain sebagainya di sisi kuburnya, sebagai bentuk pengagungan
kepada orang yang meninggal tersebut. Maka Nabi saw melarang semua perbuatan itu.
Sekalipun seandainya dia telah bernazar untuk menyembelih untuk selain Allah maka dia
tidak boleh memenuhi nazarnya itu, dan walaupun dia telah mensyaratkannya mak itu
adalah pensyaratan yang tidak sah].

Sungguh amalan-amalan jahiliyah telah terulang kembali dalam bentuk yang paling
buruk, di negeri-negeri yang penduduknya mengaku bahawa negeri-negeri mereka adalah
negeri Islam. Jadilah penyembelihan kepada selain Allah – di negeri-negeri tersebut –
sebagai sesuatu yang sudah lumrah dilakukan. Kami tidak mengingkari bahawa di negeri-
negeri tersebut masih ada kaum Muslimin dalam erti yang benar, iaitu orang-orang yang
140

mentauhidkan Allah dan mengingkari kemusyrikan tersebut, akan tetapi keberadaan


mereka di negeri-negeri tersebut tidaklah menjadikan negeri-negeri tersebut dihukumi
Islami, selama fenomena kemusyrikan masih Nampak nyata di dalamnya dan selama yang
diterapkan berhukum di antara manusia adalah selain hukum yang Allah turunkan. Amerika
dan Inggeris bahkan Rusia, terdapat kaum Muslimin, akan tetapi apakah kita boleh
menamakan negeri-negeri tersebut sebagai negeri Islam, dengan alasan kenyataan ini.

Yang dimaksud di sini adalah untuk menjelaskan pengharaman makan daging


sembelihan semacam ini, penyembelihan dengan selain nama Allah adalah perbuatan
penyembahan kepada selain Allah, maka memakannya merupakan andil dan dukungan
kepada para pelakunya untuk melakukannya, padahal itu adalah perbuatan yang wajib
ditolak dan tidak boleh disetujui. Tidak cukup hanya denga tidak memakannya, melainkan
harus ada perbuatan melawannya dan membersihkan seluruh negeri darinya, sebagaimana
yang dilakukan oleh para nabi mereka dan pendahulu mereka yang saleh. Dan tidak akan
menjadi baik keadaan akhir umat ini kecuali dengan apa yang memperbaiki awalnya, iaitu
dengan bertauhid kepada Allah, jihad di jalanNya dan berdakwah kepadaNya dengan kata-
kata dan perbuatan.

PERBAHASAN KEDUA : Khinzir (Babi)

PERSOALAN PERTAMA : Definisi Khinzir (Babi)

Babi adalah haiwan buruk rupa, tidak menawan di mata, mempunyai dua taring
seperti taring gajah yang dengannya dia menyerang, kepalanya seperti kerbau, mempunyai
kuku seperti kuku lembu dan kambing dan dia adalah haiwan yang paling cepat dalam
berkembang biak.

PERSOALAN KEDUA : Hukum memakannya dan hikmahnya.

Hukum memakannya : Babi adalah makanan yang diharamkan, berdasarkan firman


Allah swt :

         
   … 
173. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu memakan bangkai, dan
darah, dan daging babi, dan binatang-binatang Yang disembelih tidak kerana Allah … (Al-
Baqarah)

Allah swt berfirman :

        


  … 
3. Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), dan
darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-
binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, … (Al-Ma’idah)

Dan Allah swt berfirman :


141

             
       … 
145. Katakanlah (Wahai Muhammad): "Aku tidak dapati Dalam apa Yang telah
diwahyukan kepadaku, sesuatu Yang diharamkan bagi orang Yang hendak memakannya
melainkan kalau benda itu bangkai, atau darah Yang mengalir, atau daging babi - … (Al-
An’aam)

Allah menegaskan dalam ayat-ayat ini akan pengharaman daging babi, dan tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hukum haramnya. Babi mempunyai taring
yang dengannya dia memangsa sehingga dia termasuk ke dalam keumuman pengharaman
semua haiwan yang mempunyai taring. Kalau begitu, pengharamannya berdasarkan nas
dalil, keumuman pelarangan dan ijma’. Pengharaman babi mencakup babi yang jinak dan
yang liar, mencakup semua bahagian tubuhnya bahkan hingga lemaknya pun haram.

Daging babi disebutkan secara khusus di sini hanyalah kerana dia adalah bahagian
tubuh yang paling sering dimanfaatkan darinya. Al-Allamah Ibnul Qayyim mengangkat
perbandingan antara bentuk pelarangan dari menjualnya dan bentuk pelarangan dari
memakannya, yang kesimpulannya adalah bahawa tatkala Pembuat Syariat mengharamkan
untuk menjualnya, Dia menyebutkannya secara utuh – sebagaimana dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim :

“Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi
dan patung-patung,”

- agar lafaz ini mencakup pengharaman untuk menjualnya dalam keadaan hidup dan setelah
mati, serta mencakup penjualan semua bahagian luar tubuhnya mahupun bahagian dalam.
Tatkala baginda mengharamkan untuk memakannya maka baginda menyebutkan dagingnya
untuk mengingatkn pengharaman memakannya, dan penyebutan daging di sini kerana dia
adalah bahagian tubuhnya yang terbesar.

Adapun hikmah pengharaman babi : Kerana dia kotor kerana makanan yang paling
disukai oleh haiwan ini adalah sesuatu yang kotor dan najis. Mengkonsumsi babi
mendatangkan mudarat di berbagai kawasan, terutama pada kawasan yang beriklim panas,
sebagaimana yang telah terbukti melalui penelitian bahawa memakan dagingnya adalah
salah satu penyebab munculnya cacing pita yang sangat mematikan. Disebutkan juga
bahawa mengkonsumsi babi mempunyai pengaruh buruk pada sikap memelihara
kehormatan dan kecemburuan.

[Adapun mengenai dagingnya bisa membahayakan, itu terbukti secara medis


modern yang seluruh mudharatnya bersumber dari sesuatu yang kotor yang dia makan.

Di antara bentuk mudharat yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi babi adalah :


Berkembang biaknya larva halus seperti cacing pita – kita berlindung kepada Allah darinya -,
dan sebab masuknya cacing-cacing ini ke dalam tubuhnya adalah kerana dia bisa memakan
kotoran. Dia juga mengembang biakkan cacing lain yang para doctor menyebutnya dengan
142

cacing rambut yang berbentuk spiral. Dia masuk ke dalam tubuh babi dari bangkai tikus yang
dia makan. Di antara bentuk mudharat lainnya adalah bahawa dagingnya adalah daging
yang paling sulit untuk diurai kerana banyaknya lemak yang ada di bahagian urat-uratnya,
yang mana dia akan berubah menjadi tumpukan lemak di bawah usus besarnya sehingga
akan sulit menguraikan zat-zat putih telur yang dibutuhkan oleh urat, maka usus besar
orang yang memakannya akan berasa letih dan dia akan merasakan beratnya beban yang
ada dalam perutnya dan daging itu akan bergejolak di dalam hatinya. Jika dia bisa muntah
secara tidak sengaja sehingga zat-zat yang khabits ini keluar maka itu lebih baik, tetapi jika
tidak maka usus-ususnya akan bergejolak dan dia akan terkena penyakit mencret].

PERBAHASAN KETIGA : Darah

PERSOALAN PERTAMA : Hukum mengambil khasiat (makan) dengan darah dan


hikmahnya.

Para ulama sepakat bahawa darah adalah haram lagi najis, tidak boleh dimakan dan
tidak boleh dimanfaatkan. Orang-orang pada zaman jahiliyah, jika salah seorang di antara
mereka merasa lapar maka dia segera mengambil sesuatu yang tajam, baik berupa tulang
atau yang semacamnya lalu dengannya menyembelih untanya atau haiwan lain dari jenis
apapun, kemudian dia mengumpulkan semua darah yang keluar darinya lalu dia
meminumnya. Al-Asya’ari berkata dalam qasidahnya :

Allah swt telah mengharamkan dengan firmanNya dalam surah Al-Baqarah dan
dalam surah An-Nahl,
         
   … 
173. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu memakan bangkai, dan
darah, dan daging babi, dan binatang-binatang Yang disembelih tidak kerana Allah … (Al-
Baqarah)

        


    … 
115. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu memakan bangkai, dan
darah, dan daging babi, dan binatang Yang disembelih tidak kerana Allah … (An-Nahl)

dan dengan firmanNya :

        


  … 
3. Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), dan
darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-
binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, … (Al-Ma’idah)

Allah menyebutkan darah dalam ayat-ayat ini secara mutlak dan Dia membatasinya dalam
ayat Al-An’aam dengan firmanNya :
143

             
       … 
145. Katakanlah (Wahai Muhammad): "Aku tidak dapati Dalam apa Yang telah
diwahyukan kepadaku, sesuatu Yang diharamkan bagi orang Yang hendak memakannya
melainkan kalau benda itu bangkai, atau darah Yang mengalir, atau daging babi - … (Al-
An’aam)
Para ulama mengarahkan ayat yang bersifat mutlak kepada yang muqayyad (yang terikat),
dan akan dijelaskan lebih lanjut pada penjelasan tambahan mengenai masalah ini, Insya
Allah.

Hikmah Pengahraman Darah :

PERSOALAN KEDUA : Penjelasan apa yang dibolehkan tentang darah.

Telah berlalu pada dua ayat yang telah kami sebutkan di awal pembahasan ini
pengharaman darah secara mutlak, iaitu pada ayat dalam surah Al-Baqarah,
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu memakan bangkai, dan darah,
…” dan ayat dalam surah Al-Ma’idah, “Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai
(binatang Yang tidak disembelih), dan darah (yang keluar mengalir), …” maka implikasi
hukum kedua ayat ini adalah pengharaman darah secara mutlak. Akan tetapi ada dalam
dalil-dalil lain pembatasan dari kemutlakan ini, dan penjelasannya adalah sebagai berikut :

Pertama, disebutkan pada ayat dalam surah Al-An’aam adanya pengkhususan


pengharaman hanya pada darah yang mengalir, iaitu pada firman Allah swt,

             
    … 
145. Katakanlah (Wahai Muhammad): "Aku tidak dapati Dalam apa Yang telah
diwahyukan kepadaku, sesuatu Yang diharamkan bagi orang Yang hendak memakannya
melainkan kalau benda itu bangkai, atau darah Yang mengalir, … (Al-An’aam). Yang
dimaksud dengan yang mengalir adalah yang terpancar. [Tentang syarat yang ditetapkan
Allah tentang darah – ketika Dia mengumumkan kepada para hambaNya akan
pengharamannya – iaitu darah yang mengalir, bukan yang lainnya. Terdapat dalil yang jelas
bahawa darah yang tidak mengalir adalah halal dan tidak najis].

Darah yang tidak mengalir seperti yang terdapat di dalam urat-urat tidaklah
diharamkan oleh Allah, dengan dalil pengertian tersurat dari ayat ini. Atsar dari para ulama
salaf juga menguatkan dan mendukung pengertian ini. Ibnu Jarir dalam tafsir karyanya
mengemukakan bahawa kaum Muslimin memahami darah yang mengalir melalui urat-urat
binatang yang disembelih tidak seperti yang diikuti oleh orang-orang Yahudi.” Diantaranya
adalah perkataan sebahagian mereka ketika ditanya tentang darah dan apa yang melekat
pada pisau dari darah kepalanya dan tentang ketel yang terlihat padanya warna merah,
maka ia jawab, “Yang Allah larang hanyalah darah yang mengalir.” Di antarang adalah
pandangan sebahagian mereka, “Darah yang diharamkan adalah yang mengalir, adapun
daging yang bercampur dengan darah maka tidak mengapa.” Al-Qurthubi berkata dalam
Tafsir karyanya, “Ijma’ ulama sejalan dengan ini.” Demikianlah pendapatnya, padahal Ibnu
144

Ruysd dalam Bidayah Al-Mujtahid menyebutkan perbezaan pendapat dalam masalah ini
dengan mengatakan, “Mereka berbeza pendapat mengenai darah yang tidak mengalir dan
demikian pula dalam masalah darah ikan : Di antara mereka ada yang menyatakan bahawa
itu adalah najis. Di antara mereka ada yang tidak memandangnya sebagai najis.

Perbezaan pendapat secara lengkap dalam masalah ini ada dalam mazhab Malik dan
mazhab lainnya. Sebab lahirnya perbezaan pendapat mereka mengenai darah yang tidak
mengalir adalah kerana adanya pertentangan antara dalil yang bersifat mutlak dengan yang
bersifat muqayyad (terikat), sebagai berikut : Firman Allah swt, “Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan kepada kamu memakan bangkai, dan darah, …” mengharuskan
pengharaman darah yang mengalir dan yang tidak mengalir, sedangkan firman Allah swt, “…
atau darah Yang mengalir, …” mengharuskan – sesuai dengan dalil bunyi teks –
pengharaman darah yang mengalir sahaja. Maka barang siapa di antara mereka
mengembalikan dalil mutlaq kepada yang muqayyad maka dia mensyaratkan pada
pengharamannya harus yang mengalir. Sedangkan yang berpendapat bahawa dalil yang
bersifat mutlak mengharuskan adanya hukum tambahan pada dalil yang muqayyad dan
bahawa pertentangan antara yang mutlaq dengan yang muqayyad hanyalah dalam masalah
dalil bunyi teks, sementara dalil yang mutlak itu lebih umum, dan yang umum lebih kuat
daripada dalil bunyi teks. Orang yang berpendapat seperti ini maka ndia akan menguatkan
yang mutlaq daripada yang muqayyad dan dia akan mengatakan bahawa haram hukum
darah yang sedikit maupun yang banyak.” Selesai.

Apa yang dia katakana ini kurang tepat kerana bertentangan dengan atsar dari para
ulama salaf berupa pengalaman mereka terhadap pengertian kebalikan dari ayat ini,
sebagaimana yang telah kami nukilkan dari Ibnu Jarir dari kata-kata mereka. Penukilan
tentang ijma’ ini, Al-Qurthubi juga didukung oleh kata-kata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
“Telah baku bahawapara sahabat biasa meletakkan daging di dalam ketel lalu ada tetesan-
tetesan darah yang tertinggal pada air tersebut. Aku tidak mengetahui ada perbezaan
pendapat di kalangan ulama bahawa hal yang seperti ini dimaafkan dan bahawa darah
tersebut tidaklah najis berdasarkan ijma’ mereka.” Beliau juga berkata, “Bahkan mencuci
daging haiwan sembelihan adalah bid’ah. Para sahabat di zaman Nabi saw, senantiasa
mengambil daging langsung memasaknya dan memakannya tanpa terlebih dahulu
mencucinya, padahal mereka melihat adanya tetesan-tetesan darah terdapat di dalam ketel.
Hal itu kerana Allah hanya mengharamkan atas mereka darah yang mengalir, yakni yang
muncrat dan tumpah. Adapun darah yang terdapat di dalam urat-urat haiwan, maka Allah
swt tidak mengharamkannya, melainkan Dia mengharamkan mereka untuk mengumpulkan
darah dari urat-urat tersebut sebagamana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, yang
kerana perbuatan zalim sebahagian dari mereka dan sering menghalangi manusia dari jalan
Allah, Allah mengharamkan atas mereka yang baik-baik yang dulunya dihalalkan atas
mereka.” Selesai.

Dengan penjelasan ini tampaklah kuatnya pendapat yang membolehkan darah yang
tidak mengalir. Ibnu Rusyd berkata dalam Bidayah Al-Mujtahid ketika memberikan batasan
mengenai darah yang diharamkan, “As-Safh yang dipersyaratkan pada pengharaman darah
adalah hanya yang mengalir ketika terjadinya penyembelihan dari haiwan yang halal untuk
dimakan. Adapun memakan darah yang mengalir dari haiwan yang masih hidup maka
sedikit mahupun banyak tetaplah diharamkan. Demikian pula darah haiwan yang haram
145

untuk dimakan, walaupun dia disembelih maka sedikit mahupun banyak tetaplah haram.”
Selesai.

Ini adalah penjelasan yang sangat tepat, yang maksudnya adalah : Darah diharamkan
kecuali yang tidak mengalir dari haiwan yang disembelih dan halal dimakan. Inilah yang
ditunjukkan dalam Al-Quran dan perkataan para ulama salaf. Termasuk yang hala di
dalamnya adalah darah yang terdapat pada urat-urat. Demikian pula hati dan limpa,
sebagaimana yang akan dibahas mendatang.

Kedua, disebutkan di dalam As-Sunnah adanya pembolehan hati, limpa dan darah
ikan, serta adanya pengkhususan hal-hal ini dari keumuman darah yang tersebut dalam
ayat. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra bahawa dia berkata,
“Rasulullah bersabda, “Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah: Adapun dua
bangkai maka itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa.”
Telah berlalu penjelasan mengenai hadits ini, dan bahawa boleh berdalil dengannya dalam
keadaan bagaimanapun, baik itu dinilai marfu’ kepada Nabi saw atau hanya dihukumi
mauquf kepada Ibnu Umar, kerana kata-kata seorang sahabat mengenai hal demikian :
‘Kami diperintahkan untuk melakukan ini’ atau itu; ‘kami dilarang untuk melakukan ini atau
itu’. ‘Ini dihalalkan untuk kami’ atau ‘itu diharamkan atas kami’, semuanya mempunyai
hukum marfu’ kepada Nabi saw dan setingkat dengan ucapannya : ‘Rasulullah bersabda
demikian’ atau ‘baginda menghalalkan ini untuk kami’ atau ‘baginda mengharamkan itu atas
kami’.

Maka, hadits ini adalah dalil yang mengkhususkan keumuman kedua ayat yang
menunjukkan pengharaman secara mutlaq, yang mana kedua hadits ini menunjukkan
penghalalan hati dan limpa – Dan, An-Nawawi berkata, “Tanpa ada perbezaan pendapat,” –
berdasarkan hadits yang sahih – sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits pembolehan
darah ikan -. Perselisihan yang Ibnu Rusyd sebutkan dalam masalah ini – sebagaimana yang
telah kami sebutkan – mengisyaratkan bahawa sebab perselisihan itu adalah kerana adanya
pertentangan antara keumuman ayat dengan qiyas. Adapun keumuman ayat, adalah firman
Allah swt, “… dan darah, …” sedangkan qiyas adalah : Tidak mungkin dipandang bahawa
pengharaman darah mengikuti pengharaman bangkai haiwan, Maksudnya : adalah bahawa
haiwan yang bangkainya diharamkan maka darahnya pun diharamkan, dan haiwan yang
bangkainya halal maka darahnya juga halal. Inilah pendapat Ibnu Rusyd. Akan tetapi yang
lebih tepat menurut penulis adalah bahawa sebab perselisihan itu adalah adanya
pertentangan antara hadits, “Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah…” dengan
keumuman firman Allah, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu
memakan bangkai, dan darah, …” sampai akhir ayat. Hanya sahaja qiyas yang Ibnu Rusyd
sebutkan itu adalah merupakan sebab lain dari perselisihan ini, bersamaan dengan sebab
yang kami senutkan ini.

PERBAHASAN KEEMPAT : Hukum memakan makanan yang diharamkan ketika keadaan


terdesak.

PERSOALAN PERTAMA : Penjelasan bahawa Syariat Islam sesuai dengan semua keadaan
manusia, dimana syariat menetapkan hukum yang munasabah untuk setiap keadaan.
146

Ketika Allah menyebutkan makanan-makanan yang diharamkan dalam ayat-ayat di


dalam KitabNya yang mulia, iaitu ayat-ayat yang telah kami sebutkan, Dia mensyariatkan
dalam keadaan-keadaan darurat hal-hal yang sesuai dengannya. Maka dalam keadaan
darurat Dia membolehkan sebahagian dari apa yang Dia haramkan dalam keadaan normal,
sesuai dengan yang dibutuhkan untuk menghilangkan mudharat. Kerananya, datanglah
pengecualian pada semua ayat tersebut sebagai penegasan akan hukum ini :

               …

173. … maka sesiapa terpaksa (memakannya kerana darurat) sedang ia tidak
mengingininya dan tidak pula melampaui batas (pada kadar benda Yang dimakan itu),
maka tidaklah ia berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha
Mengasihani. (Al-baqarah)

    …  …


119. … kecuali apa Yang kamu terpaksa memakannya? … (Al-An’aam)

            …
115. … maka sesiapa terpaksa (memakannya kerana darurat) sedang ia tidak
mengingininya dan tidak melampaui batas (pada kadar benda Yang dimakan itu, maka
tidaklah ia berdosa), Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.
(An-Nahl)

Ini termasuk dari rahmat Allah kepada para hambaNya ketika Dia menjadikan
aturan-aturanNya berjalan seiring dengan keadaan dan kesanggupan mereka, Dia tidak
menjadikan kesusahan untuk mereka di dalam agama ini, serta Dia menghilangkan dari
mereka kesusahan dan beban-beban yang berat. Kerananya orang yang dalam keadaan
terdesak boleh memakan bangkai, darah dan daging babi. Dalam keadaan darurat dia juga
boleh meminum air najis yang bisa menghilangkan dahaganya. Adapun khamar, maka
majoriti fuqaha melarang untuk meminumnya dalam keadaan haus kerana itu akan
menambah rasa hausnya.

Jika ada yang mengatakan : Bagaimana bisa hal-hal yang haram ini dibolehkan dalam
keadaan darurat padahal itu akan menimbulkan mudharat dan merupakan perbuatan
mengkonsumsi sesuatu yang khabits?

Maka jawabannya adalah bahawa pembolehan hal-hal yang diharamkan bagi orang
yang terpaksa ini, walaupun merupakan perbuatan mengkonsumsi sesuatu yang khabits
yang merupakan sebab dari haramnya makanan tersebut, namun maslahat untuk
mempertahankan kelangsungan hidup lebih didahulukan daripada mencegah mafsadah ini.
Mafsadah ini pun hanyalah perkara yang muncul menghadang kerana terpaksa, dan tidak
akan memberikan pengaruh buruk ketika keadaan sangat mengharuskan untuk
melakukannya.

Maka, pengaruh sifat khabits yang ada pada makanan-makanan ini dikesampingkan
dalam keadaan seperti ini [kerana sifat khabuth tidak berdiri sendiri pada makanan yang
dimakan tersebut, melainkan timbul dari yang menerima lalu mengkonsumsinya dan yang
147

melakukannya. Yakni, timbul dari orang yang mengkonsumsi dan makanan yang dikonsumsi.
Mirip dengan masalah ini, adalah pengaruh racun yang masuk ke dalam tubuh, dia
ditentukan oleh racun itu dan objek yang menerimanya (tubuh). Maka mengkonsumsi hal-
hal yang khabits ini dalam keadaan normal (bukan darurat) mengharuskan lahirnya
pengaruh yang tidak diharapkan adanya. Tetapi jika orang yang mengkonsumsinya adalah
orang yang dalam keadaan terpaksa, maka keadaan daruratnya mencegah penerimaan sifat
khabits yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi, sehingga mafsadah tersebut tidak
akan terjadi kerana terjadinya hal itu disyaratkan jika melakukannya dalam keadaan normal
yang dengannya objek penerima (tubuh) akan menerima sifat khabits dari makanan
tersebut.

Kerananya, jika keadaan normal sudah hilang (dan berubah menjadi keadaan
terpaksa-ptrj) maka syarat penerimaan (sifat khabits) juga hilang sehingga mafsadah
tersebut tidak akan terjadi sama sekali. Perhatikanlah makanan dan minuman yang
memudaratkan yang mudharat tidak pernah hilang darinya jika orang yang tidak dalam
keadaan terpaksa mengkonsumsinya dalam keadaan dia masih mempunyai makanan halal
lainnya.

Jika keadaannya semakin mendesak untuk mengkonsumsinya dan dia tidak


mempunyai pilihan lain, maka makanan itu justru akan memberi manfaat kepadanya dan
tidak akan muncul darinya mudharat sama sekali, kerana penerimaan sifat dasar, kebutuhan
dan keterpaksaaannya pada makanan ini akan melindungi dia dari mudharat yang timbul
akibat makanan ini. Berbeza halnya denganorang yang dalam keadaan normal.

Contoh-contoh seperti ini sudah diketahui dan dikenal luas dengan indera. Kalau hal
ini terjadi pada sifat-sifat yang bisa dikenali secara indrawi yang memberikan pengaruh pada
objeknya (tubuh) dengan pengaruh indrawi, maka bagaimanakah dengan sifat-sifat moril
yang pengaruhnya hanya bisa diketahui dengan akal atau dengan syariat.

Maka, tidak patut dianggap bahawa keadaan darurat tersebut menghilangkan dan
mengganti sifat (khabits) yang ada pada objeknya (tubuh), kerana kami tidak mengatakan
seperti itu dab memang tidak ada seorang berakal pun yang mengatakannya, akan tetapi
keadaan darurat itu hanya mencegah dan mengesampingkan pegarug dari sifat tersebut.
Maka itu termasuk pencegah yang mencegah pengaruh yang seharusnya terjadi, bukan
menghilangkan kekuatannya. Tidakkah dapat dilihat bahawa pedang yang tajam jika
mengenai batu maka batu itu akan menjadi penghalang dari memotongnya dan mencegah
pengaruhnya. Tidakkah batu itu menghilangkan ketajaman dan kesiapannya untuk
memotong objek yang menerimanya (batu)].

PERSOALAN KEDUA : Batasan keadaan terdesak yang membolehkan makan benda yang
haram.

Batasab darurat di sini tampak jelas dari sejumlah ayat yang diketengahkan dalam
perbahasan ini :

1. Firman Allah swt :


148

          …  …
119. … padahal Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa Yang
diharamkanNya atas kamu, kecuali apa Yang kamu terpaksa memakannya? … (Al-
An’aam)

Maka dalam ayat ini Allah menyebutkan pembolehan hanya sekadar dengan adanya
keadaan darurat, dalam keadaan bagaimana pun darurat tersebut ditemukan.

2. Firman Allah swt :

           …  …
173. … maka sesiapa terpaksa (memakannya kerana darurat) sedang ia tidak
mengingininya dan tidak pula melampaui batas (pada kadar benda Yang dimakan itu),
maka tidaklah ia berdosa. … (Al-baqarah)

Allah membatasi pemboleh dalam ayat ini bahawa orang yang dalam keadaan
terpaksa itu bukanlah orang yang menginginkannya (baghin) dan bukan pula orang yang
melampaui batas (adin). Hanya sahaja Dia tidak menjelaskan sebab dari keadaan darurat
tersebut dan tidak pula menjelaskan siapa yang dimaksud dengan orang yang menginginkan
dan orang yang melampaui batas.

3. Firman Allah swt :

             …

3. … maka sesiapa Yang terpaksa kerana kelaparan (memakan benda-benda Yang
diharamkan) sedang ia tidak cenderung hendak melakukan dosa (maka bolehlah ia
memakannya), kerana Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.
(Al-Ma’idah)

Allah swt menjelaskan dalam ayat ini bahawa sebab dari keadaan darurat adalah
makhmashah, iaitu kelparan. Dia juga mengisyaratkan bahawa yang dimaksud dengan orang
yang menginginkan (al-Baghi) dan yang melampaui batas (al-‘adi) adalah orang yang sengaja
(al-mutajanif) berbuat dosa, dan al-mutajanif adalah orang yang cenderung. Maka bisa
difahami dari ayat ini bahawa orang yang menginginkannya dan yang melampaui batas,
keduanya adalah orang yang cenderung dan sengaja melakukan dosa.

Kalau begitu kita bisa menyatakan bahawa batasan darurat yang dengannya
dibolehkan untuk mengkonsumsi makanan yang haram adalah : Dia khuatir kalau dirinya
akan binasa kerana kelaparan dan dia tidak menemukan makanan halal yang bisa dia
konsumsi, dengan syarat dia bukanlah orang yang cenderung dan sengaja (al-mutajanif)
melakukan pelanggaran terhadap yang haram tersebut, iaitu bukan orang yang
menginginkannya (al-baghi) dan yang tidak melampaui batas dalam melakukannya (al-‘adi).

Para ulama berbeza pendapat mengenai apa yang


Pendapat Pertama :
149

Pendapat Kedua :

Pendapat Ketiga :

Pentarjihan :

PERSOALAN KETIGA : Hukum memakan makanan yang diharamkan ketika darurat.

Pendapat Pertama :

Pendapat Kedua :

Pentarjihan :

PERSOALAN KEEMPAT : Jumlah (Kadar) makanan yang diharamkan yang boleh dimakan
oleh orang dalam keadaan terdesak.

Pendapat Pertama :

Pendapat Kedua :

Pendapat Ketiga :

Pentarjihan :

PERSOALAN KELIMA : Apakah orang yang dalam keadaan darurat boleh menyimpan
makanan yang haram itu sebagai bekal?

Pendapat Pertama :

Pendapat Kedua :

PENUTUP : Kemurahan Syariat Islam dan penjagaannya terhadap keselamatan manusia,


yang dapat dipetik dari sela-sela pembahasan yang telah berlalu

Allah swt telah memberikan kecukupan kepada seorang mukmin dari hal-hal yang
Dia haramkan dengan hal-hal yang Dia halalkan dan dengan kurniaNya bukan dari yang lain.
Kerananya, apa sahaja yang Dia haramkan dari sesuatu yang khabits nescaya Dia
menghalalkan untuknya sesuatu yang thayyib yang jauh, jauh lebih baik.

Setelah kita paparkan secara cepat hukum Islam seputar makanan ini, yang mana
Islam adalah agama yang Allah telah pilihkan untuk manusia seluruhnya, tidak ada yang
tersisa dari urusan dunia kecuali manusia hidup di bawah naunganNya, merasakan nikmat
dengan hidayahNya dan mendapatkan penerangan dengan cahayaNya dalam seluruh aspek
kehidupan mereka. Setelah itu kita akan mendapati dari sela-sela pembahasan-pembahasan
tentang makanan yang telah kita lalui, bahawa manhaj Islam dalam permasalahan ini adalah
seperti manhajnya dalam semua permasalahan, iaitu manhaj yang penuh dengan
150

kemurahan dan penjagaan terhadap keselamatan jiwa, tubuh dan akal. Maka Dia
membolehkan semua yang thayyib (baik) dan bermanfaat untuk badan dn akal, serta
mengharamkan semua makanan yang khabits dan membahayakan tubuh dan akal.

        … 


168. Wahai sekalian manusia! makanlah dari apa Yang ada di bumi Yang halal lagi baik,
… (Al-Baqarah)

         


    
172. Wahai orang-orang Yang beriman! makanlah dari benda-benda Yang baik (yang
halal) Yang telah Kami berikan kepada kamu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika betul
kamu hanya beribadat kepadaNya. (Al-Baqarah)

         
     … 
64. Allah Yang menjadikan bumi sebagai tempat penetapan untuk kamu, dan langit
sebagai bumbung Yang kukuh binaannya; dan ia membentuk kamu lalu memperelokkan
rupa kamu, serta dikurniakan kepada kamu dari benda-benda Yang baik lagi halal. …
(Ghafir)

      …  …


157. …dan ia menghalalkan bagi mereka Segala benda Yang baik, dan mengharamkan
kepada mereka Segala benda Yang buruk; … (Al-A’raaf)

Maka, ayat-ayat ini dan yang semisal dengannya menjelaskan manhaj Islam pada
makanan yang dihalalkan dan makanan yang diharamkan. Maka hukum asal pada makanan
yang thayyib adalah halal, dan tidaklah diharamkan sebahagian makanan yang thayyib
kepada orang-orang Yahudi kecuali sebagai hukuman kepada mereka atas kezaliman
mereka,

         … 
160. Maka disebabkan kezaliman Yang amat besar dari perbuatan orang-orang Yahudi,
Kami haramkan atas mereka makanan Yang baik-baik Yang pernah Dihalalkan bagi
mereka, … (An-Nisaa’)

Maka Allah menciptakan makanan-makanan yang baik ini berupa rezeki untuk
kemanfaatan para makhluk, dan Dia mewasiatkan agar mereka menggunakannya dan
memanfaatkannya untuk mewujudkan maslahat dan menghilangkan mafsadah, tanpa
melampaui batas dari batasan ini.

          …


31. … dan makanlah serta minumlah, dan jangan pula kamu melampau; Sesungguhnya
Allah tidak suka akan orang-orang Yang melampaui batas. (Al-A’raaf)

         
 
151

67. Dan juga mereka (yang diredhai Allah itu ialah) Yang apabila membelanjakan
hartanya, tiadalah melampaui batas dan tiada bakhil kedekut; dan (sebaliknya)
perbelanjaan mereka adalah betul sederhana di antara kedua-dua cara (boros dan bakhil)
itu. (Al-Furqan)

          
  
29. Dan janganlah Engkau jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu, dan janganlah pula
Engkau menghulurkannya Dengan sehabis-habisnya, kerana akibatnya akan Tinggalah
Engkau Dengan keadaan Yang tercela serta kering keputusan. (Al-Israa’)

Demikianlah ayat-ayat yang mulia ini memberikan garis besar manhaj yang lurus
dalam makan, minum dan menginfaqkan yang baik-baik. Ini adalah manhaj yang bersifat
pertengahan antara kekikiran dan pemborosan. Kalau dalam manhaj ini Allah telah
membolehkan makanan yang baik-baik dan mengharamkan yang khabits, maka Dia telah
melarang dengan pelarangan yang keras tidak boleh melampaui dan melanggar manhaj ini
dengan menghalalkan apa yang telah Dia haramkan atau mengharamkan apa yang telah Dia
halalkan. Allah swt telah berfirman :

          
           
         
87. Wahai orang-orang Yang beriman! janganlah kamu haramkan benda-benda Yang
baik-baik Yang telah Dihalalkan oleh Allah bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui
batas (pada apa Yang telah ditetapkan halalnya itu); kerana Sesungguhnya Allah tidak
suka kepada orang-orang Yang melampaui batas.
88. Dan makanlah dari rezeki Yang telah diberikan Allah kepada kamu, Iaitu Yang halal
lagi baik, dan bertaqwalah kepada Allah Yang kepadanya sahaja kamu beriman. (Al-
Ma’idah)

          
 … 
32. Katakanlah (Wahai Muhammad): "Siapakah Yang (berani) mengharamkan perhiasan
Allah Yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambaNya, dan demikian juga benda-
benda Yang baik lagi halal dari rezeki Yang dikurniakanNya?" … (Al-A’raaf)

           
             
      … 
59. Katakanlah (kepada kaum Yang mengada-adakan sesuatu hukum): "Sudahkah kamu
nampak baik-buruknya sesuatu Yang diturunkan Allah untuk manfaat kamu itu sehingga
dapat kamu jadikan sebahagian daripadanya haram, dan sebahagian lagi halal?"
Katakanlah lagi (kepada mereka): "Adakah Allah izinkan bagi kamu berbuat demikian,
atau kamu hanya mengada-adakan secara dusta terhadap Allah?".
60. Dan apakah sangkaan orang-orang Yang mengada-adakan kata-kata dusta terhadap
Allah, (tidakkah mereka akan diazabkan) hari kiamat kelak? … (Yunus)
152

         
           
       
116. Dan janganlah kamu berdusta Dengan sebab apa Yang disifatkan oleh lidah kamu:
"Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan sesuatu Yang dusta terhadap Allah;
Sesungguhnya orang-orang Yang berdusta terhadap Allah tidak akan berjaya.
117. (Mereka hanya mendapat) sedikit kesenangan (di dunia), dan mereka pula akan
beroleh azab seksa Yang tidak terperi sakitnya. (An-Nahl)

Hal itu kerana penghalalan dan pengharaman adalah mutlak hak Allah. Kerananya
barang siapa menghalalkan dan mengharamkan maka bererti dia telah menjadikan dirinya
sebagai sekutu untuk Allah dalam hak ini. Kerananya, Allah mencela dengan keras orang-
orang Yahudi dan Nasrani ketika mereka mentaati para pendita dan rahib mereka dalam
penghalalan apa yang telah Dia haramkan dan pengharaman apa yang telah Dia halalkan.
Dia juga mengabarkan bahawa dengan ketaatan seperti ini mereka telah menjadikan
mereka (para pendita dan rahib mereka) sebagai sesembahan-sesembahan selain Allah.
Allah swt berfirman :

        


            
   
31. Mereka menjadikan pendita-pendita dan Ahli-ahli ugama mereka sebagai pendidik-
pendidik selain dari Allah, dan juga (Mereka mempertuhankan) Al-Masih Ibni Maryam,
padahal mereka tidak diperintahkan melainkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha
Esa; tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia. Maha suci Allah dari apa Yang
mereka sekutukan. (At-Taubah)

Demikian pula Dia juga telah mencela orang-orang jahiliyah yang membolehkan
bangkai yang telah Allah haramkan, dan mereka mengharamkan beberapa jenis haiwan
ternak yang Allah telah halalkan, kerana mereka bertaqlid kepada nenek moyang mereka
dan kerana mereka mengikuti hawa nafsu mereka. Allah swt berfirman :

             
          
           
          
 
103. Allah tidak sekali-kali mensyariatkan Bahirah, tidak juga Saa'ibah, tidak juga
Wasilah dan tidak juga Haam. akan tetapi orang-orang kafir itu sentiasa mengada-
adakan perkara dusta terhadap Allah; dan kebanyakan mereka tidak menggunakan akal
fikirannya
104. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah menurut kepada apa Yang telah
diturunkan oleh Allah (Al-Quran), dan kepada RasulNya (yang menyampaikannya)",
mereka menjawab: "Cukuplah bagi Kami apa Yang Kami dapati datuk nenek Kami
mengerjakannya". Adakah (Mereka akan menurut juga) sekalipun datuk nenek mereka
tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat hidayah petunjuk? (Al-Ma’idah)
Al-Bukhari meriwayatkan dalam As-Sahih karyanya dari Said bin Al-Musayyab dia
berkata, “Al-Bahirah adalah haiwan ternak yang susunya diperuntukkan khusus untuk
sesembahan-sesembahan mereka, kerananya tidak ada seorang pun yang boleh memerah
153

susunya. As-Sa’ibah adalah haiwan yang mereka biarkan lepas begitu sahaja dan
diperuntukkan kepada sesembahan-sesembahan mereka, kerananya barang apapun tidak
boleh dinaikkan di atas punggunya. Al-Wasilah adalah unta betina yang ketika pertama kali
melahirkan, dia melahirkan unta betina kemudian setelah itu lahir lagi unta betina tanpa ada
unta jantan yang lahir di antara keduanya, mereka juga membiarkannya lepas begitu sahaja
untuk sesembahan-sesembahan mereka. Al-Ham adalah unta jantan yang telah ditetapkan
untuk membuntingkan unta betina sebanyak jumlah tertentu, dan jika tugasnya sudah
selesai maka mereka akan meninggalkannya untuk sesembahan-sesembahan mereka dan
mereka membebaskannya dari mengangkut beban sehingga dia tidak boleh lagi
mengangkut beban apapun, dan mereka menamakannya al-hami.” Selesai.

[Semua masalah ini terjadi pada zaman jahiliyah lalu Islam datang dan
menghapusnya. Mereka mengharamkan untuk diri-diri mereka sendiri sebahagian dari
haiwan-haiwan ternak mereka padahal Allah tidak pernah mengharamkan itu semua atas
mereka, akan tetapi mereka melakukannya hanya kerana mengikuti langkah-langkah
syaitan. Kerananya Allah swt menghina mereka kerananya dan Dia mengabarkan kepada
mereka bahawa semua itu adalah halal. Maka apapun yang haram menurut kami hanyalah
apa yang Allah swt dan RasulNya telah haramkan, dan yang halal hanyalah apa yang Allah
dan RasulNya juga halalkan]. Jadi, pensyariatan orang-orang jahiliyah pada setiap masa dan
tempat dalam permasalahan ini dan masalah lainnya adalah pensyariatan yang dibangun di
atas sikap menuruti hawa nafsu dan taqlid buta, sangat jauh dari nilai-nilai wahyu yang
diturunkan.

          
          
   
104. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah menurut kepada apa Yang telah
diturunkan oleh Allah (Al-Quran), dan kepada RasulNya (yang menyampaikannya)",
mereka menjawab: "Cukuplah bagi Kami apa Yang Kami dapati datuk nenek Kami
mengerjakannya". Adakah (Mereka akan menurut juga) sekalipun datuk nenek mereka
tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat hidayah petunjuk? (Al-Ma’idah)
Ini adalah logika orang-orang jahiliyah yang masih terus menerus terwarisi hingga pada hari
ini, yang kerananya manusia mengalami kesempitan, kesusahan dan terperosok ke dalam
jurang kesesatan selama mereka tidak kembali kepada tuntunan agama mereka dan kembali
kepada syariat Rabb mereka.

Allah telah meminta dari hamba-hambaNya agar mereka hanya memakan yang baik-
baik dari apa yang telah Dia rezekikan kepada mereka dan agar mereka bersyukur
kepadaNya atas semua itu agar Dia menambahkan yang baik-baik ini kepada mereka,

         


    
172. Wahai orang-orang Yang beriman! makanlah dari benda-benda Yang baik (yang
halal) Yang telah Kami berikan kepada kamu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika betul
kamu hanya beribadat kepadaNya. (Al-Baqarah)
Cara mensyukuri nikmat tersebut adalah dengan adanya pengakuan hati bahawa itu
datangnya dari sisi Allah semata, dengan mengulang-ngulang pengakuan tersebut dengan
lisan dan dengan menggunakan nikmat tersebut dalam ketaatan kepada Allah. Inilah rukun-
154

rukun syukur yang tidak akan bisa terwujud kecuali dengan adanya semua rukun ini. Jika
syukur sudah terwujud maka kesombongan dan kecongkakan akan hilang dan makanan
tersebut akan menjadi penopang menuju kehidupan yang bahagia dan menjadi penopang
dalam memakmurkan alam dengan pemakmuran yang sepatutnya. Jika syukur tidak ada
maka nikmat ini akan menjadi sesuatu hal yang melalaikan bagi para makhluk sehingga
kebinasaan dan kehancuran mengepung mereka,

          
     
55. Adakah mereka menyangka Bahawa apa Yang Kami berikan kepada mereka dari
harta benda dan anak-pinak itu.
56. (Bermakna Bahawa Dengan Yang demikian) Kami menyegerakan untuk mereka
pemberian kebaikan? (Tidak!) bahkan mereka tidak menyedari (hakikatnya Yang
sebenar). (Al-Mukminun)

Demikianlah Islam menggariskan untuk kita cara dalam memanfaatkan nikmat-


nikmat ini. Dia menjelaskan kepada kita pengetahuan-pengetahuan mengenai yang halal
dan yang haram mengenai makanan. Dia mengingatkan kita dari gaya hidup ifrath
(melampaui batas) dan tafrith (menggampangkan) dalam masalah makanan ini, yang mana
masing-masing dari kedua gaya hidup ini telah ditempuh oleh kelompok manusia yang sesat.
Dia juga menjelaskan kepada kita bahawa Dia tidaklah mengharamkan sesuatu kepada kita
kecuali kerana sesuatu itu membahayakan dank habits. Kerananya, Dia mengharamkan
bangkai, kerana itu adalah makanan kotor yang jiwa manusia jijik terhadapnya, dan itu juga
berbahaya kerana bangkai adalah haiwan yang kelembaban dan darahnya tertahan dan
tidak keluar darinya, yang mana kedua hal ini tidak bisa keluar kecuali dengan cara
penyembelihan yang syarie. Dia juga mengharamkan untuk kita darah yang mengalir kerana
dia mengandung kuman-kuman yang berbahaya dan zat-zat lain yang terdapat di dalamnya,
dan itu adalah makanan khabits yang mengeluarkan orang yang memakannya dari tabiat
normal.

Anda mungkin juga menyukai