Anda di halaman 1dari 116

1

Artikel-Artikel Kategori

MAKANAN & SEMBELIHAN


Daripada Laman Web (almanhaj.or.id)

&&&&&&&&
2

Kamis, 21 April 2011 23:00:21 WIB

PETUNJUK NABI TENTANG MINUM


Jauh sebelum manusia menemukan beragam minuman multivitamin penjaga
stamina tubuh, berabad silam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan
teladan sempurna perihal minum. Dalam paparan hadits dijelaskan, beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam sangat menyukai minuman yang dingin dan manis. Aisyah Radhiyallahu anha
menuturkan.

ِ َ‫ح ْل َو ا ْلب‬
‫ار َد‬ ُ ‫م ا ْل‬
َ َّ‫سل‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ ِ َّ‫ول الل‬
َ ‫ه‬ ِ ‫س‬ُ ‫الش َرابِ إِلَى َر‬
َّ َ َ‫َكانَ أ‬
ُّ‫حب‬

Minuman yang paling disukai Rasulullah ialah yang dingin dan manis. [1]

Penuturan Aisyah di atas memiliki beberapa ihtimal (kemungkinan). Bisa jadi, yang
dimaksud ialah air yang dicampur madu, rendaman kismis ataupun kurma, sebagaimana
tercantum dalam riwayat Muslim berikut.

ْ َ‫قَا ِء َفي‬,‫الس‬
‫ َر ُب ُه‬,‫ش‬ ِّ ‫يب فِي‬ ُ ِ‫ َّزب‬,‫م ُي ْنبَ ُذ لَ ُه ال‬
َ َّ‫سل‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َ ‫ه‬ِ َّ‫ل الل‬
ُ ‫سو‬ ُ ‫ل َكانَ َر‬ َ ‫اس َقا‬ ٍ َّ‫ن َعب‬ ِ ‫ن ا ْب‬
ِ ‫ََع‬
ُ ‫ه َرا َق‬
‫ه‬,, َ
َ ‫ي ٌء أ‬ْ ,,‫ش‬ َ ‫ل‬ َ ‫إِنْ َف‬,,‫قَا ُه َف‬,,‫س‬
َ ,,‫ض‬ َ ‫ ِربَ ُه َو‬,,‫ش‬َ ‫ة‬ َ ‫انَ َم‬,,‫إِذَا َك‬,,‫ ِد َف‬,,َ‫ َد ا ْلغ‬,,‫ َد َوبَ ْع‬,,َ‫ ُه َوا ْلغ‬,,‫يَ ْو َم‬
ِ ,,َ‫ا ُء الثَّالِث‬,,‫س‬

Dari Ibnu Abbas Radhiyalahu 'anhu, ia berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam


pernah dibuatkan rendaman kismis dalam satu bejana, kemudian beliau minum rendaman
tersebut pada hari itu, juga esok harinya dan keesokannya harinya. Pada sore hari ketiga
beliau memberi minuman tersebut kepada yang lain, jika masih ada yang tersisa , beliaupun
menuangnya.” [2]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan dalam kitab Zaaduul Ma’ad, jika dua
sifat dingin dan manis terhimpun dalam satu minuman, akan memberikan manfaat yang
sangat besar bagi tubuh, membantu proses pencernaan dan penyaluran saripati makanan
dengan sempurna, mencairkan dahak, mencuci dan membasmi bibit penyakit di lambung,
menetralisir sisa-sisa makanan , serta menstabilkan kehangatan lambung. Di samping itu
juga sangat bermanfaat bagi hati, ginjal dan kandung kemih.

Lebih jauh lagi beliau menjelaskan, air dingin yang telah dienapkan memiliki
kelembaban yang mampu menetralisir panas tubuh, sekaligus menjaga kelembabannya,
serta mengganti sebagian zat yang telah terurai dari tubuh. Karena itulah Rasulullah amat
menggemarinya, sebagaimana tercantum dalam riwayat Bukhari,

‫ن‬ َ ‫ل ِم‬ ُ ‫ل َعلَى َر‬


ٍ ,,‫ج‬ َ ,,‫خ‬َ ‫م َد‬ َ َّ‫ل‬,,‫س‬
َ ‫ه َو‬ ِ ,,‫لَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬,,‫ص‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫ما أَنَّ ال َّنب‬َ ‫ي اللَّ ُه َع ْن ُه‬,,‫ض‬ ِ ‫ه َر‬ ِ َّ‫ن َع ْب ِدالل‬ ِ ‫ابِ ِر ْب‬,,‫ج‬َ ‫ن‬ْ ‫َع‬
‫ك َما ٌء‬ ‫د‬
َ َ ْ‫ن‬ ‫ع‬
ِ َ‫ان‬ َ
‫ك‬ ْ‫ن‬ ‫إ‬ ‫م‬ َّ
ِ َ َ َ ْ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬َ ‫ل‬‫ع‬ َ ‫ه‬ُ َّ ‫ل‬‫ال‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬‫ص‬َ ‫ي‬
ُّ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫ال‬
ِ َّ ُ َ‫ه‬ َ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫َا‬
‫ق‬ َ
‫ف‬ ‫ه‬ُ ٌَ ‫ل‬ ‫ب‬ ‫ح‬
ِ ‫ا‬ ‫ص‬ ‫ه‬ ‫ع‬َ ‫م‬
َ ُ َ َ ِ َ ْ‫و‬ ‫ار‬ ‫ص‬ ‫ن‬َ ‫أْل‬ ‫ا‬ ‫ن‬
َ ‫م‬
ِ ٍ ُ َ ِ َ ‫اأْل َ ْن‬
‫ل‬ ‫ج‬ ‫ر‬ ‫ار‬ ‫ص‬
‫ة َوإِاَّل َك َر ْع َنا‬ َ ‫ه ِذ ِه اللَّ ْيلَ َة فِي‬
ٍ ‫ش َّن‬ َ ‫ات‬
َ َ‫ب‬

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
masuk ke rumah salah seorang laki-laki Anshar bersama seorang sahabatnya, seraya berkata
kepadanya,”Adakah engkau mempunyai air yang telah diinapkan dalam bejana kulit? Jika
tidak kami akan minum langsung dari mulut kami.”
3

Selain memberitahukan jenis minuman yang bermanfaat bagi tubuh kita, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberitahukan dan melarang kita mengkonsumsi semua
jenis minuman yang memabukkan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.

‫م‬
ٌ ‫ح َرا‬
َ ‫م ٍر‬
ْ ‫خ‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫م ٌر َو ُك‬
ْ ‫خ‬
َ ‫سكِ ٍر‬ ُّ ‫ًك‬
ْ ‫ل ُم‬

Semua yang memabukkan itu adalah khamr. Dan semua khamr hukum haram [HR. Muslim
no. 5185]

Walaupun menurut sebagian orang khamr itu bermanfaat, akan tetapi bahaya yang
diakibatkan jauh lebih besar.

Itulah diantara petunjuk-petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada


umatnya. Memerintahkan mereka untuk mengkonsumsi yang jelas halalnya dan bermanfaat
serta melarang selain itu.

Disamping memberitahukan jenis minuman, Rasulullah juga memberikan tuntunan


tentang adab-adab minum serta hal lain yang berkaitan dengan minum. Diantaranya:

• Minum dengan terlebih dahulu membaca Bismillah.

Hal ini berdasarkan hadits yang memerintahkan membaca bismillah sebelum makan.
Sebagaimana tasmiyah (membaca bismillah) di sunnahkan sebelum makan, maka demikian
juga hal sebelum minum. (Syarah Shahih Muslim juz 13 hal. 189) Syaitan akan menjauhi
makanan dan minuman yang dibacakan bismillah sebelum di konsumsi.

• Minum dengan tangan kanan dan tidak menggunakan tangan kiri.

Rasulullah bersabda.

‫ب‬ُ ‫ َر‬,‫ش‬ْ َ‫ه َوي‬ِ ِ ‫م ال‬


َ ,‫ش‬ ُ ,‫ ْيطَانَ يَ ْأ ُك‬,‫الش‬
ِ ِ‫ل ب‬, َّ َّ‫ه َف ِإن‬
ِ ِ‫م ْين‬
ِ َ‫ب بِي‬ ْ َ‫ب َف ْلي‬
ْ ‫ش َر‬ َ ‫ش ِر‬
َ ‫ه َوإِذَا‬
ِ ِ‫م ْين‬ ْ ‫ُم َف ْليَ ْأك‬
ِ َ‫ُل بِي‬ َ َ‫ل أ‬
ْ ‫ح ُدك‬ َ ‫إِذَا أَ َك‬
‫ه‬
ِ ِ‫مال‬َ ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,‫ش‬ ِ ِ‫ب‬

Apabila salah seorang diantara kalian makan, maka hendaklah dia makan dengan tangan
kanannya dan apabila salah seorang diantara kalian minum maka hendaklah dia minum
dengan tangan kanannya, karena syaitan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan
tangan kirinya. [HR. Muslim no. 5233]

‫ب بِ َها‬
ُ ‫ش َر‬
ْ َ‫ه َوي‬
ِ ِ‫مال‬
َ ‫ش‬ ُ ‫الش ْيطَانَ يَ ْأك‬
ِ ِ‫ُل ب‬ َّ َّ‫ن بِ َها َف ِإن‬ ْ َ‫ه َوالَي‬
َّ َ‫ش َرب‬ ِ ِ‫مال‬
َ ‫ش‬
ِ ِ‫ُم ب‬ َ َ‫ن أ‬
ْ ‫ح ٌد ِم ْنك‬ َّ َ‫ال َ يَ ْأ ُكل‬

Janganlah sekali-kali salah seseorang diantara kalian makan dengan tangan kirinya dan
jangan pula minum dengannya. Karena syaitan makan dengan minum dengan tangan
kirinya. [HR. Muslim no. 5236]
4

• Minum dengan duduk, dan beliau melarang dengan tegas minum dalam keadaan
berdiri.

Dari Abu Hurairah ia berkata Rasullah bersabda,

‫ئ‬ ْ َ‫ي َف ْلي‬


,ْ ‫س َت ِق‬ َ ‫س‬
ِ َ‫ن ن‬ َ ‫ما َف‬
ْ ‫م‬ ً ِ‫ُم َقائ‬ َ َ‫ن أ‬
ْ ‫ح ٌد ِم ْنك‬ ْ ‫اَل َي‬
َّ َ‫ش َرب‬

Janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian minum dengan berdiri, jika lupa
hendaklah ia memuntahkannya.[3]

Adapun riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah pernah minum dengan


berdiri juga merupakan riwayat yang shahih. Namun begitu semua riwayat tersebut
merupakan perbuatan Rasulullah. Sedangkan perkataan beliau lebih didahulukan daripada
perbuatan beliau. Kerena perbuatan beliau terkadang menjelaskan, bahwa hal itu
merupakan kekhususan bagi beliau. Wallahu a’lam.[4]

Imam Nawawi t ketika menjelaskan makna larangan minum dalam keadaan berdiri
berkata, “Bahwa larangan yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut dibawa
pengertiannya kepada hukum makruh tanzih” [Syarah Shahih Muslim juz 13 hal. 192]

Berdasarkan adab-adab diatas, kita bisa mengambil satu faidah yaitu bathilnya
kebiasaan yang disuguhkan musuh Islam berupa makan dan minum sambil berdiri, dengan
menggunakan tangan kiri.

• Tidak bernafas di dalam gelas, dan dianjurkan untuk bernafas tiga kali ketika minum.

‫ه‬ َ ‫س فِي اإْل ِ نَا ِء أَ ْو ُي ْن َف‬


ِ ‫خ فِي‬ َ ‫م نَ َهى أَنْ ُي َت َن َّف‬
َ َّ‫سل‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َّ ِ‫ن َعبَّاسٍ أَنَّ ال َّنب‬
َ ‫ي‬ ِ ‫ن ا ْب‬
ِ ‫َع‬

Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi melarang bernafas dalam bejana ataupun meniupnya.” [5]

‫س فِي اإْل ِ نَا ِء ثَاَل ثًا‬


ُ ‫م َكانَ يَ َت َن َّف‬
َ َّ‫سل‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ ِ َّ‫ل الل‬
َ ‫ه‬ ُ ‫س أَنَّ َر‬
َ ‫سو‬ َ ْ ‫َع‬
ٍ َ ‫ن أن‬

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bernafas tiga kali ketika minum.[6]

• Tidak minum langsung dari mulut teko.

‫ة أَ ِو‬ ِ ,َ‫م ا ْل ِق ْرب‬


ِ ‫ن َف‬
ْ ‫ ْربِ ِم‬,‫الش‬
ُّ ‫ن‬
ِ ‫م َع‬ َ َّ‫ل‬,‫س‬
َ ‫ه َو‬ِ ,‫لَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬,‫ص‬ ِ َّ‫ول الل‬
َ ‫ه‬ ُ ,‫س‬ ُ ‫عن أَ ُبي‬
ُ ‫ نَ َهى َر‬: ‫ال‬,,‫ َر َة ق‬,‫ه َر ْي‬
‫قَا ِء‬,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,‫س‬
ِ ّ ‫ال‬

Dari Abu Hurairah ia berkata,”Rasulullah melarang minum lansung dari mulut teko ataupun
qirbah (wadah minum dari kulit).” [7]

• Tidak minum dengan menggunakan bejana dari emas ataupun perak, karena adanya
larangan Rasulullah tentang hal tersebut.

‫ة‬ َّ ِ‫ب أَ ْو ف‬
ٍ ‫ض‬ ٍ ‫ه‬
َ ‫ن َذ‬
ْ ‫ب فِي إِنَا ٍء ِم‬
َ ‫ش ِر‬
َ ‫ن‬ َ َّ‫سل‬
ْ ‫م َم‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ ِ َّ‫ل الل‬
َ ‫ه‬ ُ ‫سو‬
ُ ‫ل َر‬ ْ َ‫م َة َقال‬
َ ‫ت َقا‬ َ َ‫سل‬ ّ ِ ‫ن ُأ‬
َ ‫م‬ ْ ‫َع‬
5

‫م‬
َ ‫ج َه َّن‬
َ ‫ن‬
ْ ‫ه نَا ًرا ِم‬ ْ َ‫ج ُر فِي ب‬
ِ ِ‫طن‬ ِ ‫ج ْر‬ َ َّ‫َفإِن‬
َ ‫ما ُي‬

Dari Umu Salamah Radhiyallahu 'anha , ia berkata, Rasulullah bersabda,”Orang yang minum
menggunakan wadah emas atau perak, sesungguhnya ia ibarat menelan api neraka ke
dalam perutnya.” [8]

• Menutup bejana air pada malam hari, tidak membiarkannya terbuka.

‫ل َغطُّوا اإْل ِ نَا َء َوأَ ْوكُوا‬ُ ‫م يَ ُقو‬َ َّ‫سل‬َ ‫ه َو‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬ َ ‫ه‬ ِ َّ‫ل الل‬َ ‫سو‬ ُ ‫ت َر‬ُ ‫م ْع‬ ِ ‫س‬ َ ‫ل‬ َ ‫ه َقا‬ ِ َّ‫ن َع ْب ِد الل‬ِ ‫جابِ ِر ْب‬َ ‫ن‬ ْ ‫َع‬
‫ه ِو َكا ٌء‬ِ ‫س َعلَ ْي‬ َ ‫سقَا ٍء لَ ْي‬ َ
ِ ‫غطَا ٌء أ ْو‬ ِ ‫ه‬ِ ‫س َعلَ ْي‬ َ ‫م ُّر بِ ِإنَا ٍء لَ ْي‬ ُ ‫ة لَ ْيلَ ًة يَ ْن ِز‬
ُ َ‫ل فِي َها َوبَا ٌء اَل ي‬ ِ ‫الس َن‬َّ ‫السقَا َء َف ِإنَّ فِي‬ ِّ
‫ك ا ْل َوبَا ِء‬ َ ِ‫ن َذل‬ ْ ‫ه ِم‬ِ ‫ل فِي‬ َ ‫إِاَّل نَ َز‬

Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, aku mendengar Rasululah bersabda,” Tutuplah bejana-
bejana dan wadah air. Karena dalam satu tahun ada satu malam, ketika itu turun wabah,
tidaklah ia melewati bejana-bejana yang tak tertutup, ataupun wadah air yang tidak diikat
melainkan akan turun padanya bibit penyakit.” [9]

Inilah beberapa adab yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
umatnya. Sebagai seorang muslim, kita berkewajiban untuk mengikuti adab-adab tersebut.
Janganlah kita tergiur dengan berbagai kebiasan yang banyak di pamerkan oleh musuh Islam
meskipun dihiasi dengan berbagai slogan-slogan indah. Mereka hanya ingin melihat kita
ingkar kepada Rasulullah n dan ikut bersama mereka dalam kesesatan dan kedurhakaan.
Mereka ingin melihat kita sengsara sementara Rasulullah sangat ingin melihat kita bahagia
di dunia dan akhirat dan beliau sangat susah ketika melihat kita sengsara. Musuh-musuh
Allah ini akan terus berusaha dengan berbagai cara untuk menyesatkan kita, hendaklah kita
selalu waspada. Dan hanya kepada Allah kita mohon petunjuk dan perlindungan.

Wallahu a’lam bish shawab. (Nur Hasanah)

Maraji : - Zaadul Ma’ad


- Bahjatun Nazhrin

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 08121533647, 08157579296]

_______

Footnote

[1]. HR Ahmad 6/38 dan 40, At Tirmidzi dalam Al Jami’ (1896) dan dalam Asy Syamail 1/302
dengan sanad shahih. Dishahihkan oleh Al Hakim 1/337 dan disepakati oleh Adz Dzahabi.
[2]. HR Muslim
[3]. HR Muslim
[4]. Lihat keterangan Syaikh Salim Al Hilali tentang hal ini dalam Bahjatun nazhirin 2/73-74
[5]. HR At Tirmidzi (1888), Abu Daud (3728), Ibnu Majah (3428 & 3429)
[6]. HR Mutaffaqqun alaih
6

[7]. HR Muttafaqqun alaihi


[8]. Muttafaqqun ‘alihi.
[9]. HR Muslim.

&&&&&&&&&&&&&&

ETIKA MAKAN
(DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN & AS-SUNNAH)
7

Menyoal etika makan, dapat dipastikan banyak dari kaum muslimin belum
mempraktekkannya. Bukti konkrit, kerap kali kita saksikan di berbagai lokasi dan
kesempatan. Misal, seorang muslim makan sambil berjalan, atau makan dengan tangan
kirinya tanpa ada beban kekeliruan. Beragam jamuan makan ala barat, semisal standing
party banyak digandrungi orang. Banyak faktor yang menjadi latar belakang. Ketidaktahuan,
mungkin satu sebab diantaranya. Ironisnya, mereka yang telah mengetahui etika Islam
justru meremehkan dan menganggapnya bukanlah satu hal urgent dan mendasar. Celaka
lagi bila mereka meninggalkannya karena tertarik etika barat, dengan asumsi etika mereka
lebih beradab dan lebih moderen. Wal ‘iyadzu billah.

Padahal, sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama, salah satu pembatal
keislaman seseorang, ialah apabila ia meyakini ada petunjuk yang lebih baik dan lebih
sempurna dari petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Seyogyanya setiap muslim
senantiasa berupaya mengejewantahkan nilai-nilai islami, termasuk adab makan ini. Karena
adab-adab tersebut merupakan bagian dari risalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Berikut ini kami kemukakan point-point yang berkaitan dengan adab makan:

• Membaca basmalah, demi mengharap keberkahan dan mencegah syaithan ikut makan
bersama kita.

Abu Hafs Umar bin Abi Salamah Radhiyallahu 'anhu menuturkan,

َ ‫ا‬,,‫ة َف َق‬
‫ل‬ ِ ‫ح َف‬
ْ ,‫الص‬
َّ ‫يش فِي‬ ُ ‫ط‬ ِ َ‫ ِدي ت‬,َ‫ت ي‬ْ َ‫ان‬,,‫م َو َك‬
َ َّ‫سل‬َ ‫ه َو‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬ َ ‫ه‬ ِ َّ‫ل الل‬ ِ ‫سو‬ ُ ‫ج ِر َر‬
ْ ‫ح‬َ ‫ت ُغاَل ًما فِي‬ ُ ‫ُك ْن‬
‫ت‬ َ
ْ ‫ما َزال‬ َ ‫ك َف‬ َ ,‫ما يَلِي‬
َّ ‫ل ِم‬,
ْ ,‫ك َو ُك‬َ ,ِ‫مين‬ ْ ,‫م اللَّ َه َو ُك‬
ِ َ‫ل بِي‬, َ ‫م يَا ُغاَل ُم‬
ّ ِ ,‫س‬ َ َّ‫سل‬
َ ‫ه َو‬ َ
ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعل ْي‬ َ ‫ه‬ ِ َّ‫ول الل‬
ُ ‫س‬ُ ‫لِي َر‬
‫متِي بَ ْع ُد‬ َ ْ‫ط‬
‫ع‬ ِ ‫ك‬َ ‫تِ ْل‬

Ketika aku berada dalam bimbingan Rasulullah, pernah suatu kali tanganku bergerak di atas
piring ke segala arah, hingga Rasulullah pun berkata kepadaku,”Wahai anak, sebutlah nama
Allah, makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah dari apa yang dekat denganmu.”
Maka demikianlah cara makanku sejak saat itu. [1]

Dari Ummul mu’minin A’isyah Radhiyallahu 'anha ia berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,

‫ل‬, ِ ,ِ‫الَى فِي أَ َّول‬,,‫ه تَ َع‬


ْ ,‫ه َف ْليَ ُق‬ ِ َّ‫م الل‬ ْ ‫ذْ ُك َر‬,َ‫ي أَنْ ي‬
َ ,‫اس‬ َ ,‫س‬ ِ ,‫الَى َف‬,,‫ه تَ َع‬
ِ َ‫إنْ ن‬, ِ َّ‫م الل‬ ْ ‫ُم َف ْليَذْ ك ُِر‬
َ ‫اس‬ ْ ‫ح ُدك‬ َ َ‫ل أ‬ َ ‫إِذَا أَ َك‬
ِ ‫ه أَ َّولَ ُه َوآ‬
‫خ َر ُه‬ ِ َّ‫م الل‬ ِ ‫س‬ ْ ِ‫ب‬

Jika salah seorang kalian makan, maka sebutlah nama Allah. Jika ia lupa untuk menyebutnya
ِ ‫ه أَ َّولَ ُه َوآ‬
di awal, hendaklah ia membaca : ‫خ َر ُه‬ ِ َّ‫م الل‬
ِ ‫س‬
ْ ِ‫( ب‬dengan menyebut nama Allah pada
awal dan akhirnya). [2]

Berkenaan dengan hadits di atas, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali mengemukakan,
tasmiyyah ialah membaca lafadz bismillah. Adapun pendapat yang mengatakan tasmiyyah
dengan membaca bismillahir rahman nir rahim, merupakan pendapat yang tidak memiliki
hujjah. Demikian juga pendapat yang mengatakan tasmiyyah dibaca pada setiap suapan,
adalah pendapat yang batil. Karena tasmiyyah ini hanya dibaca pada awal makan.[3]
8

Adapun doa yang disunnahkan setelah selesai makan, ialah sebagaimana dijelaskan
dalam hadits-hadits berikut.

‫ي ًرا طَ ِي ّ ًبا‬,,‫ه َك ِث‬


ِ َّ‫ ُد لِل‬,‫م‬ َ ‫ل ا ْل‬
ْ ‫ح‬ َ ‫ا‬,,‫ ُه َق‬,َ‫ع َمائِ َدت‬
َ ,‫انَ إِذَا َر َف‬,,‫م َك‬ َ َّ‫سل‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َ ‫ي‬َّ ‫ن أَبِي ُأ َما َم َة أَنَّ ال َّن ِب‬ ْ ‫َع‬
‫س َت ْغ ًنى َع ْن ُه َربَّ َنا‬ ٍ ّ ‫ه َغ ْي َر َم ْك ِف‬
ْ ‫ي َواَل ُم َو َّدعٍ َواَل ُم‬ ِ ‫ُمبَا َر ًكافِي‬

Dari Abu Umamah, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika Beliau selesai
makan Beliau berdoa,“Segala puji bagi Allah (aku memujinya) dengan pujian yang banyak,
yang baik dan penuh berkah, yang senantiasa dibutuhkan, diperlukan dan tidak bisa
ditinggalkan, ya Rabb kami.[4]

‫ل‬ َّ ‫ل طَ َعا ًما ُث‬


َ ‫ا‬,,‫م َق‬ َ ,‫ن أَ َك‬ ْ ‫ل َم‬ َ ‫ا‬,,‫م َق‬ َ َّ‫ل‬,‫س‬
َ ‫ه َو‬ ِ ,‫لَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬,‫ص‬َ ‫ه‬ ِ َّ‫ل الل‬
َ ‫و‬,‫س‬ ُ ‫ه أَنَّ َر‬ِ ‫ن أَبِي‬ ْ ‫ن أَنَسٍ َع‬ ِ ‫ن ُم َعا ِذ ْب‬ ْ ‫َع‬
‫ن‬ ‫م‬ِ ‫م‬ ‫د‬ ,‫ق‬َ ‫ت‬ ‫ا‬
ْ َ َّ َ َ ُ َ ُ َّ ‫م‬ ‫ه‬, َ ‫ل‬ ‫ر‬ ,‫ف‬ِ ‫غ‬ ‫ة‬
ٍ ‫و‬ ,‫ق‬ُ ‫اَل‬ ‫و‬
َ ‫ي‬ ّ ‫ن‬
ِ ‫م‬
ِ ‫ل‬
ٍ ‫و‬ ,‫ح‬
ْ َ ِ ْ ْ‫ر‬,,‫ي‬ ‫غ‬َ ‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫ه‬
,
ِ ‫ي‬ ‫ن‬
ِ َ
‫ق‬ ‫ز‬ ‫ر‬‫و‬
َََ َ َ‫م‬ ‫ا‬ ‫ع‬َّ ‫ط‬ ‫ال‬ ‫َا‬‫ذ‬ ‫ه‬َ ‫ي‬ ‫ن‬
ِ ‫م‬
َ َ‫ع‬ ْ
‫ط‬ َ ‫أ‬ ‫ي‬ ‫ذ‬
ِ َّ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ه‬
ِ َّ ‫ل‬ِ ‫ل‬ ُ ْ َ ‫ا ْل‬
‫د‬ ‫م‬ ‫ح‬
‫خ َر‬ َ
َّ ‫ه َو َما تَأ‬ ِ ِ‫َذ ْنب‬

Dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,”Barangsiapa makan kemudian ia berdoa,’Segala puji bagi Allah Yang telah
memberi makanan ini kepadaku dan memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku,’
niscaya diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.[5]

• Wajib makan dengan tangan kanan, berdasarkan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam,

‫ل‬, َ ‫ا‬,,‫ه َف َق‬


ْ ,‫ل ُك‬ ِ ِ ‫م ال‬
َ ,‫ش‬
ِ ِ‫م ب‬ َ َّ‫ل‬,‫س‬
َ ‫ه َو‬ِ ,‫لَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬,‫ص‬ َ ‫ه‬ ِ َّ‫ل الل‬
ِ ‫و‬,‫س‬ ُ ‫ع ْن َد َر‬
ِ ‫ل‬ َ ‫جاًل أَ َك‬
ُ ‫ن اأْل َ ْك َوعِ أَنَّ َر‬ َ َ‫سل‬
ِ ‫م َة ْب‬ َ ‫عن‬
ِ ,,,‫ما َر َف َع َها إِلَى فِي‬َ ‫ل َف‬ َ ‫ا‬,,,‫ر َق‬,,, َ ‫ َتطَ ْع‬,,,‫اس‬ َ
‫ه‬ ُ ‫ ُه إِاَّل ا ْلكِ ْب‬,,,‫ت َما َم َن َع‬ ْ َ ‫ا‬,,,‫طي ُع َق‬
‫ل اَل‬ ْ ‫ل اَل أ‬
ِ ‫ َت‬,,,‫س‬ َ ‫ا‬,,,‫ك َق‬ َ ,,,ِ‫مين‬
ِ َ‫بِي‬

Dari Salamah bin Al Akwa’, bahwa pernah seorang laki-laki makan dengan tangan kirinya di
sisi Rasulullah, maka Beliau berkata,”Makanlah dengan tangan kananmu.” Laki-laki itu
menjawab,”Aku tidak bisa.” Beliau pun berkata,”Engkau tidak bisa, tidak ada yang
mencegahmu melakukannya melainkan kesombonganmu.” Akhirnya ia benar-benar tidak
bisa mengangkat tangannya ke mulutnya.

َ ‫اس َتطَ ْع‬


Ucapan Rasulullah pada hadits di atas ( ‫ت‬ ْ ‫ ) اَل‬merupakan doa Beliau atas laki-
laki tadi, karena kesombongannya enggan mengukuti sunnah.[6]

• Disunnahkan makan dengan tiga jari dan menjilatinya selesai makan serta mengambil
suapan yang jatuh

‫غ لَ ِع َق َها‬
َ ‫ َر‬,,‫إذَا َف‬,,
ِ ‫ع َف‬ َ َ‫ل بِ َثاَل ثِ أ‬
َ ِ‫اب‬,,‫ص‬ ُ ,,ُ‫م يَ ْأك‬
َ َّ‫ل‬,,‫س‬ ِ ,,‫لَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬,,‫ص‬
َ ‫ه َو‬ ِ َّ‫ل الل‬
َ ‫ه‬ َ ‫و‬,,‫س‬ ُ ‫ل َرأَ ْي‬
ُ ‫ت َر‬ َ ‫ا‬,,‫ن َك ْعب َق‬
ْ ‫َع‬

Dari Ka’ab bin Malik ia berkata,”Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam makan
dengan tiga jarinya dan setelah selesai Beliau menjilatinya.” [7]

‫ط َما‬ ْ ,‫م‬ ِ ‫ها َف ْل ُي‬َ ْ‫ ذ‬,‫خ‬ُ ‫ُم َف ْليَ ْأ‬ َ َ‫م ُة أ‬


ْ ‫ح ِدك‬ ْ ‫م إِذَا َو َق َع‬
َ ‫ت ُل ْق‬ َ َّ‫سل‬
َ ‫ه َو‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه‬ ِ َّ‫ل الل‬ ُ ‫سو‬ ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل َقا‬ َ ‫جابِ ٍر َقا‬َ ‫ن‬ ْ ‫َع‬
َ
‫صابِ َع ُه فإِنَّ ُه اَل‬ َ ‫قأ‬َ ْ
َ ‫ح َّتى يَل َع‬ َ ‫يل‬ ِ ‫م ْن ِد‬ ْ
ِ ‫ح يَ َد ُه بِال‬ْ ‫س‬َ ‫م‬ ْ َ‫ن َواَل ي‬ َ
,ِ ‫لش ْيطا‬ ْ ْ ْ
َّ ِ‫ن أذى َوليَأ ُكل َها َواَل يَ َد ْع َها ل‬ ً َ ْ ‫َكانَ بِ َها ِم‬
‫ه ا ْلبَ َر َك ُة‬ِ ‫ي طَ َعا ِم‬ َ
ِ ّ ‫َي ْد ِري فِي أ‬
9

Dari Jabir, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,”Jika jatuh
suapan salah seorang diantara kalian, hendaklah ia mengambilnya. Kemudian
membersihkan kotoron yang mungkin menempel dan memakannya. Janganlah ia tinggalkan
suapan itu untuk syaithan, dan janganlah ia mengusap tangannya dengan sapu tangan
sampai ia menjilatinya. Karena ia tidak tahu, di bagian mana berkah dari makannya.” [8]

• Tidak boleh makan dengan bersandar

‫ك ًئا‬ َ َّ‫سل‬
ُ ‫م اَل آك‬
ِ ‫ُل ُم َّت‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ ِ َّ‫ل الل‬
َ ‫ه‬ ُ ‫سو‬ َ ‫ل َقا‬
ُ ‫ل َر‬ ُ ‫ح ْي َف َة يَ ُقو‬
َ ‫ج‬
ُ ‫ن أبي‬
ْ ‫َع‬

Dari Abu Juhaifah, ia berkata, Rasulullah bersabda,”Tidaklah aku makan dengan bersandar.”
[9]

• Tidak boleh mencela makanan halal

َ ‫اش َت َها ُه أَ َكلَ ُه َوإِنْ َك ِر‬


‫ه ُه‬ ْ ‫ن‬ِ ِ‫م طَ َعا ًما َقط ُّ إ‬
َ َّ‫سل‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َ ‫ي‬
ُّ ‫اب ال َّن ِب‬
َ ‫ل َما َع‬ ُ ‫ن أَبِي‬
َ ‫ه َر ْي َر َة َقا‬ ْ ‫َع‬
‫تَ َر َك ُه‬

Dari Abi Hurairah, ia berkata,”Nabi tidak pernah mencela makanan sedikitpun. Jika Beliau
suka, Beliau memakannya. Dan bila tidak suka, Beliau meninggalkannya.” [10]

• Disunnahkan untuk bercakap-cakap ketika makan dan memuji makanan meskipun


sedikit.

‫ل‬
ٌّ ,‫خ‬ ِ ‫الُوا َما‬,,‫م َف َق‬
َ ‫ َدنَا إِاَّل‬,‫ع ْن‬ َ ‫ه اأْل ُ ُد‬,
ُ ,َ‫هل‬ ْ َ‫ل أ‬ َ َ‫سأ‬ َ ‫م‬َ َّ‫سل‬
َ ‫ه َو‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ي‬ َّ ِ‫ه أَنَّ ال َّنب‬ ِ َّ‫ن َع ْب ِد الل‬ِ ‫جابِ ِر ْب‬َ ‫ن‬ ْ ‫َع‬
‫ل‬ َ ‫م اأْل ُ ُد ُم ا ْل‬
ُّ ,,,,,,,‫خ‬ ‫ع‬
َ ْ ِ ‫ن‬ ‫ل‬
ُّ ,,,,,,, ‫خ‬
َ ْ
‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫د‬
ُ ُ ُ ‫أْل‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ع‬
َ ْ ُِ ‫ن‬ ‫ل‬ ‫و‬,,,,,,, ‫ق‬
ُ ‫ي‬
ََ‫و‬ ‫ه‬ِ ,,,,,,, ‫ب‬
ِ ُ‫ل‬,,,,,,,ُ
‫ك‬ ْ
‫أ‬ ‫ي‬ ‫ل‬
َ َ ,,,,,,, ‫ع‬
َ ‫ج‬
َ َ
‫ف‬ ‫ه‬ِ ,,,,,,,ِ ‫ب‬ ‫ا‬‫ع‬َ ‫د‬
َ ,,,,,,, ‫َف‬

Dari Jabir bin Abdillah, bahwasanya Nabi bertanya kepada keluarganya tentang lauk.
Mereka menjawab,”Kita tidak memiliki lauk, kecuali cuka.” Maka Beliaupun minta untuk
dibawakan. Kemudian Beliau makan dengan cuka tadi dan berkata,”Sebaik-baik lauk adalah
cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.” [11]

• Mendahulukan orang tua ketika makan

َ‫ح َّتى يَ ْب َدأ‬


َ ‫َع أَ ْي ِديَ َنا‬ ْ َ‫م طَ َعا ًما ل‬
ْ ‫م نَض‬ َ َّ‫سل‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َ ‫ي‬ ِ ّ ِ‫ع ال َّنب‬
َ ‫ض ْرنَا َم‬
َ ‫ح‬ َ ‫ح َذ ْي َف َة َقا‬
َ ‫ل ُك َّنا إِذَا‬ ُ ‫ن‬ْ ‫َع‬
‫ع َي َد ُه‬ ‫ض‬‫ي‬ َ
‫ف‬ ‫م‬ َّ
َ َ َ َ َ َ ِ ْ َ ُ‫ل‬‫س‬‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬َ ‫ل‬‫ع‬ ‫ه‬ َّ ‫ل‬‫ال‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬‫ص‬ ‫ه‬
َ ِ َّ ‫ل‬‫ال‬ ‫ل‬
ُ ُ ‫َر‬
‫و‬‫س‬

Dari Hudzaifah ia berkata,” Jika kami menghadiri jamuan makan bersama Rasulullah,
tidaklah kami menjulurkan tangan kami ke makanan sampai Rasulullah n memulainya” [12]

• Kita boleh makan dengan sendiri ataupun dengan berjamaah, berdasarkan firmanNya
Subhanahu wa Ta'ala :

‫ُم أَن تَ ْأ ُكلُوا‬ ْ ‫سك‬ ِ ‫ج َوال َ َعلَى أَن ُف‬ ٌ ‫ح َر‬


َ ‫يض‬ ِ ‫م ِر‬ َ ‫ج َوال ََعلَى ا ْل‬ ٌ ‫ح َر‬َ ِ‫ج َوال َ َعلَى ْاأل َ ْع َرج‬ ٌ ‫ح َر‬َ ‫مى‬ َ ‫س َعلَى ْاأل َ ْع‬ َ ‫لَّ ْي‬
‫ُم‬
ْ ‫ما ِمك‬ َ
َ ‫ُم أ ْو ُب ُيوتِ أ ْع‬ َ ْ ‫خ َواتِك‬ َ َ
َ ‫ُم أ ْو ُب ُيوتِ أ‬ْ ‫خ َوانِك‬ َ
ْ ِ‫ُم أ ْو ُب ُيوتِ إ‬ ُ َ
ْ ‫ُم أ ْو ُب ُيوتِ أ َّم َهاتِك‬ ْ ‫ُم أ ْو ُب ُيوتِ َءابَآئِك‬ َ ْ ‫ِمن ُب ُيوتِك‬
‫ُم‬ َ
ْ ‫س َعل ْيك‬ َ
َ ‫ُم ل ْي‬ ْ ‫ص ِدي ِقك‬ َ
َ ‫ح ُه أ ْو‬ َ
َ ‫ُم أ ْو َما َملك ُْتم َّم َفاتِي‬َ ْ ‫خاالَتِك‬ َ ِ‫ُم أ ْو ُب ُيوت‬َ ْ ‫خ َوالِك‬ َ َ
ْ ‫ُم أ ْو ُب ُيوتِ أ‬ ْ ‫ماتِك‬ َّ ‫أَ ْو ُب ُيوتِ َع‬
ِ‫عن ِد هللا‬ ِ ‫ن‬ ْ ‫حيَّ ًة ِ ّم‬
ِ َ‫ُم ت‬ ْ ‫سك‬ َ
ِ ‫موا َعلَى أن ُف‬ َ ‫خ ْل ُتم ُب ُيوتًا َف‬
ُ ّ ‫س ِل‬ َ ‫ش َتاتًا َف ِإذَا َد‬ َ َ
ْ ‫ميعًا أ ْو أ‬ ِ ‫ج‬ َ ‫ح أَن تَ ْأ ُكلُوا‬ ٌ ‫ج َنا‬
ُ
10

ْ ‫م ْاألَيَاتِ لَ َعلَّك‬
َ‫ُم تَ ْع ِقلُون‬ ُ ‫هللا لَ ُك‬
ُ ‫ن‬ َ ِ‫ُمبَا َر َك ًة طَ ِي ّبَ ًة َك َذل‬
ُ ّ ‫ك ُيبَ ِي‬

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang
sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu
sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu
yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara
bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah
saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, di
rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu.Tidak ada halangan bagi
kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu
rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya salam
yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkati lagi baik.Demikianlah Allah menjelaskan ayat-
ayat(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. [An-Nuur/24:61]

Namun ada anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk makan berjamaah
seperti yang diriwayatkan dalam satu hadits, para sahabat pernah bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,” Wahai Rasulullah sesungguhnya kami sudah makan
namun mengapakah kami tidak merasa kenyang? Beliau berkata,” Mungkin kalian makan
dengan terpisah” Mereka menjawab,”Ya” Maka beliau pun bersabda,

ْ ‫ك لَك‬
‫ُم‬ ْ ‫م هللاِ ُيبَ ِر‬ ْ ‫م ُعوا على طَ َعا ٍمكُم وا ْذّك ُُروا‬
َ ‫اس‬ ْ ‫َف‬
ِ ‫ج َت‬

“Berkumpullah kalian ketika makan serta sebutlah nama Allah niscaya Allah akan
memberikan keberkahan kepada kalian “[13]

• Jika diundang dalam jamuan makan, selayaknya kita memperhatikan adab-adab berikut:

1. Wajib memenuhi undangan sekalipun sedang berpuasa. Bagi yang berpuasa sunnah ia
boleh berbuka dan tidak wajib mengqadhanya, berdasarkan hadis Nabi berikut:

‫شا َء أَ ْفطَ َر‬


َ ْ‫م َو إِن‬
َ ‫صا‬
َ ‫شا َء‬
َ ْ‫ه إِن‬ ِ ‫ع أَ ِم ُر نَ ْف‬
ِ ‫س‬ ُ ‫م َتطَو‬
ُ ‫م ال‬
ُ ِ ‫ص ائ‬
َ ‫ال‬

“Orang berpuasa sunnah adalah amir bagi dirinya sendiri, jika mau ia boleh berpuasa dan
jika mau ia boleh berbuka” [14]

2. Disunnahkan untuk mendoakan yang mengundang.

Abdullah bin Bisr mengisahkan, ayahnya pernah membuat makanan untuk Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam lalu mengundang beliau. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun datang.
Selesai makan beliau berdoa:

‫م ُهم‬
ْ ‫ح‬ ْ ‫ واغْ ِف ْر لَ ُه‬,‫ما َر َز ْق َت ُهم‬
َ ‫م وا ْر‬ ْ ‫ك لَ ُه‬
َ ‫م فِ ْي‬ ْ ‫ار‬
ِ َ‫اللهم ب‬

“Ya Allah berikanlah mereka keberkahan pada apa yang Kau rizqikan kepada mereka,
ampunillah mereka serta sayangilah mereka” [15]

Kemudian sabda beliau yang lain:


11

‫مون‬
ُ ِ‫صائ‬ ِ ‫ت َعلَ ْيكُم المالئك ُة و أَ ْفطَ َر‬
َ ‫ع ْن َدكُم ال‬ ْ َّ‫صل‬ َ ‫أَ َك‬
َ ‫ل طَ َعا َمكُم األ ْب َرار و‬

“Semoga orang-orang baik memakan makanan kalian, para malaikat mendoakan kalian dan
orang-orang yang berpuasa berbuka di rumah kalian” [16]

3. Tidak wajib menghadiri undangan yang di dalamnya terdapat maksiat.


Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫م ِر‬ َ ‫ار َعلَ ْي َها بِال‬


ْ ‫خ‬ ُ ‫خ ِر َقال َ يَ ْق ُع َدنَّ على َمائِ َد ٍة ُت َد‬ ُ ‫ن َكانَ ُي ْؤ ِم‬
ِ ‫ن بِاهلل و اليَ ْو ِم اآل‬ ْ ‫َم‬

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah ia sekali-kali duduk di
meja hidangan yang di situ dihidangkan minuman keras” [17]

4. Disunnahkan untuk memulai makan dari tepi wadah dan bukan dari tengah

Dari Abdullah bin Bisr ia berkata,”Nabi memiliki mangkuk besar yang dinamai Al
Gharra’ yang diangkat oleh empat orang lelaki, tatkala para sahabat selesai shalat duha,
mangkuk tersebut dihidangkan penuh berisi kuah dan roti, para sahabat berkerumun
mengelilinginya. Ketika jumlah sahabat yang datang semakin banyak, Nabi duduk berlutut
dengan menduduki punggung telapak kaki beliau. Seorang lelaki badui bertanya,”Duduk
macam apakah ini? Rasulullah menjawab,”Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai
hamba yang mulia dan tidaklah Ia menjadikanku seorang yang sombong lagi
durhaka”Kemudian beliau bersabda,”Makanlah dari sisi-sisinya dan tinggalkanah puncaknya
niscaya Allah memberikan berkah pada makanan ini [18]

5. Tidak boleh bagi orang yang tidak diundang untuk ikut makn kecuali dengan seizin tuan
rumah.

Abu Mas’ud Al Badri bercerita,”Seorang laki-laki mengundang Nabi ke rumahnya


untuk mencicipi makanan buatannya. Lalu ada seorang lelaki yang mengikuti beliau. Ketika
sampai beliau berkata,”Lelaki ini mengikuti saya, engkau boleh mengizinkannya masuk atau
jika tidak ia akan pulang” Pemilik rumah menjawab,”Saya mengizinkannya wahai Rasulullah”
[19]

6. Tidak seyogyanya bagi tuan rumah mengkhususkan hanya mengundang orang-orang kaya
dan terpandang saja tanpa menyertakan orang-orang miskin.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫م يَ ْأتِ ال َّد ْع َو َة َفق َْد َع‬


‫صى‬ ْ َ‫ن ل‬ َ ‫ين َف‬
ْ ‫م‬ ُ ِ‫ساك‬ ُ ‫ه اأْل َغْ نِيَا ُء َو ُي ْت َر‬
َ ‫ك ا ْل‬
َ ‫م‬ ِ ‫ة ُي ْد َعى إِلَ ْي‬ َ ‫ش ُّر الطَّ َعا ُم طَ َعا ُم ا ْل َولِي‬
ِ ‫م‬ َ
‫سولَ ُه‬ُ َ َ َ ‫ال‬
‫ر‬‫و‬ ‫ه‬ َّ ‫ل‬

“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yang diundang untuk menghadirinya


hanya golongan kaya saja sedangkan orang-orang miskin dilarang” [20]

Wallahu a’lamu bish shawab


(Nur Hasanah)
12

Maraji :
- Riyadhus Shalihin tahqiq Abdul aziz Rabaah dan Ahmad Yusuf Ad-Daqaaq
- Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin
- Adabuz Zifaaf
- Hishnul Muslim

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 08121533647, 08157579296]

_______

Footnote

[1]. HR Al Bukhari (Al Fath 9/521) dan Muslim (2202)


[2]. Hadits shahih dengan beberapa syawahidnya. Dikeluarkan oleh Abu Dawud, 3767; At
Tirmidzi, 1858; An Nasai dalam Amalul Yaum wal Lailah, 281; Ahmad, 6/207-208; Ad Darimi,
2/ 94; Al Baihaqi, 7/276 dan Al Hakim, 4/108.HR Al Bukhari (Al Fath 9/521) dan Muslim
(2202)
[3]. Bahjatun Nazhirin hal. 50 fiqhul hadits point 1 dan 2.
[4]. HR Al Bukhari, Al Fath 9/580.
[5]. HR Abu Dawud, 4043; At Tirmidzi, 3458; Ibnu Majah, 3285; Ahmad, 3/3439; dan Ibnu
Sunni, 469.
[6]. Bahjatun Nazhirin hal. 239.
[7]. HR Muslim, 2032,132.
[8]. HR Muslim, 2033,134.
[9]. HR Al Bukhari, Al Fath, 9/540.
[10]. HR Muttafaqun ‘alaihi.
[11]. HR Muslim, 2052.
[12]. H.R Muslim (2017)
[13]. Hadits hasan lighairihi dengan beberapa syawahidnya, diriwayatkan oleh Abu Daud
(3764), Ibnu Majah (3286), Ahmad ( 3/501) dan selain mereka dari jalan Al Walid bin Muslim
ia berkata,” Telah menceritakan kepadaku kepadaku Wahsy bin Harb dari bapaknya dari
kakeknya secara marfu’.Lihat Majma’ Az Zawaid (5/20-21) dan At Targhib wat Tarhib (3/133-
134)
[14]. H.R An Nasai dalam Al Kubra (64/2), Al Hakim (1/439), Al Baihaqi (4/276) dari jalan
Samak bin Harb dari Abu Shalih dari Umu Hani’ dengan marfu’
[15]. H.R Muslim (3/1615)
[16]. H.R Ahmad 93/138), Abu ali Ash Shafar dalam haditsnya (11/1), Ath Thahawi dalam Al
Musykil (1/ 498-499), Al Baihaqi ( 7/287), ibnu Asakir (7/59-60) dan sanad mereka shahih
[17]. H.R Ahmad dari Umar, At Tirmidzi, di hasankan oleh Al Hakim dan ia juga
mensahihkannya dari Jabir dan disepakatioleh Adz Dzahabi, At Thabrani dari Ibnu Abbas.
[18]. H.R Abu Daud (3773), Ibnu Majah (3263 & 3275) dengan sanad shahih
[19]. Muttafaqun alaihi
[20]. H.R Muslim (4/154) dan Al Baihaqi (7/262) dari hadits Abu Hurairah
13

&&&&&&&&&&&&&&&&

Selasa, 28 Desember 2010 15:03:55 WIB

KRITERIA BINATANG YANG HARAM DI MAKAN


Oleh
Ustadz Nurul Mukhlisin Asyraf

Makanan mempunyai pengaruh yang besar pada diri seseorang. Bukan saja pada
badannya, tetapi pada perilaku dan akhlaknya. Bagi seorang muslim, makanan bukan saja
sekedar pengisi perut dan penyehat badan, sehingga diusahakan harus sehat dan bergizi
14

sebagaimana yang dikenal dengan nama “Empat sehat lima sempurna”, tetapi selain itu juga
harus halal. Baik halal pada zat makanan itu sendiri, yaitu tidak termasuk makanan yang
diharamkan oleh Allah, dan halal pada cara mendapatkannya.

Allah menegaskan bahwa Dia Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik,
termasuk makanan. Dan Allah memerintahkan kepada orang mukmin sebagaimana Dia
memerintahkan kepada para Rasul untuk memakan makanan yang baik, sebagaimana
firman-Nya:

‫حا‬
ً ِ‫صال‬
َ ‫ملُوا‬
َ ‫اع‬ ِ ‫ن الطَّ ِي ّبَا‬
ْ ‫ت َو‬ َ ‫ل ُكلُوا ِم‬ ُ ‫يَآأَيُّ َهاال ُّر‬
ُ ‫س‬

Wahai para rasul, makanlah yang baik dan lakukanlah perbuatan yang baik [Al-Mukminun :
51]

Juga Allah berfirman:

َ ‫يَاأَيُّ َها الَّ ِذ‬


ْ ‫ين َءا َم ُنوا ُكلُوا ِمن طَ ِي ّبَاتِ َما َر َز ْق َناك‬
‫ُم‬

Hai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik dari yang telah Kami rizkikan kepadamu.
[Al-Baqarah : 172].

Karena makanan yang tidak baik atau tidak halal akan menjadikan ibadah seseorang
tidak diterima oleh Allah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah
seorang laki-laki yang sedang musafir rambutnya kusut masai dan penuh debu. Dia
menadahkan kedua tangannya ke langit sembari berdo’a: “Wahai Tuhanku , wahai Tuhanku,
sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan perutnya diisi
dengan makanan yang haram, maka kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
“Bagaimana mungkin permohonannya dikabulkan? Al-Hafidz Ibnu Mardawaih meriwayatkan
sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
membaca ayat:

‫ين‬ ْ ‫ن إِنَّ ُه لَك‬


ٌ ‫ُم َع ُد ٌّو ُّم ِب‬ ِ ‫الش ْيطَا‬
َّ ِ‫ط َوات‬ ُ ‫حالَال ً طَ ِي ّباً َوال َ تَ َّت ِب ُعو ْا‬
ُ ‫خ‬ ِ ‫ما فِي األ َ ْر‬
َ ‫ض‬ ُ ‫َيا أَيُّ َها ال َّن‬
َّ ‫اس ُكلُو ْا ِم‬

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagimu. [Al-Baqarah : 168]
Sa’ad bin Abu Waqqash berdiri kemudian berkata: “Ya Rasulullah, doakan kepada
Allah agar aku senantiasa menjadi orang yang dikabulkan do’anya oleh Allah”. Maka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu
(makanlah yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan do’anya.
Demi (Allah) Yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh jika ada seseorang yang
memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya
selama empat puluh hari, dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan
riba maka neraka lebih layak baginya”. [HR. At-Thabrani, Ad-Durar al-Mantsur fi Tafsir bil
Ma’tsur juz II hal 403]
15

Dalam menafsirkan ayat di atas Syekh Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Perintah ini
(memakan makanan yang halal lagi baik) ditujukan kepada seluruh manusia, baik dia
mukmin atau kafir. Mereka diperintahkan memakan apa yang ada di bumi, baik berupa biji-
bijian, buah-buahan, dan binatang yang halal. Yaitu diperolehnya dengan cara yang halal
(benar), bukan dengan cara merampas atau dengan cara-cara yang tidak diperbolehkan.
Dan Tayyiban (yang baik) maksudnya bukan termasuk makanan yang keji atau kotor, seperti
bangkai, darah, daging babi, dan lainnya”. [Tafsir Taisir Karimirrahman, hal. 63].

Di antara wujud kasih sayang Allah kepada hamba-Nya adalah ditundukkan semua
yang ada di bumi ini beserta isinya untuk kepentingan manusia . Allah Azza wa Jalla
berfirman:

‫ه َو‬
ُ ‫ت َو‬
ٍ ‫ما َوا‬
َ ‫س‬
َ ‫ع‬
َ ‫س ْب‬
َ ‫ن‬
َّ ‫اه‬ َ ‫ماء َف‬
ُ ‫س َّو‬ َ ‫الس‬
َّ ‫اس َت َوى إِلَى‬
ْ ‫م‬َّ ‫ميعاً ُث‬
ِ ‫ج‬ ِ ‫ق لَكُم َّما فِي األ َ ْر‬
َ ‫ض‬ َ َ‫خل‬
َ ‫ه َو الَّ ِذي‬ ُ
‫م‬ٌ ‫ي‬‫ل‬
ِ ‫ع‬َ ‫ء‬
ٍ ‫ي‬
ْ ‫ش‬
َ ‫ل‬
ّ ِ ِ‫ب‬
‫ك‬
ُ

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendaki
menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. [al-
Baqarah : 29].

Termasuk di dalamnya adalah binatang atau hewan yang Allah tundukkan untuk
manusia, baik untuk dimakan, dijadikan kendaraan atau untuk perhiasan dan hiburan. Allah
Azza wa Jalla berfirman.

‫ين‬
َ ‫ح‬ِ ‫يحونَ َو‬
ُ ‫ين ُت ِر‬
َ ‫ح‬ِ ‫ل‬
ٌ ‫ما‬
َ ‫ج‬ ْ ‫} َولَك‬5{ َ‫ُم فِي َها ِدفْ ٌء َو َم َنافِ ُع َو ِم ْن َها تَ ْأ ُكلُون‬
َ ‫ُم فِي َها‬ ْ ‫خلَ َق َها لَك‬ َ ‫َواأل َ ْن َعا‬
َ ‫م‬
}6{ َ‫حون‬ ُ ‫س َر‬ ْ َ‫ت‬

Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu
memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke
kandang dan ketika melepaskannya ke tempat penggembalaan. [an-Nahl : 5-6]

Berdasarkan ayat di atas, maka pada dasarnya apa yang ada di bumi ini adalah halal
bagi manusia. Baik untuk dimakan maupun dimanfaatkan untuk keperluan yang lain. (Tafsir
Karimurrahman. Hal.63) Karena Allah tidaklah menciptakan semuanya itu sia-sia, tetapi
untuk kepentingan hamba-Nya. Dia tidak pernah melarang hamba-Nya untuk menikmati apa
yang ada selama itu dengan cara yang Dia benarkan. Adapun beberapa makanan atau
binatang yang dilarang untuk dimakan, semua itu demi kemaslahatan manusia secara
lahiriah maupun batiniyah, baik itu disadari oleh manusia atau tidak.

Dengan demikian mengetahui kriteria binatang yang haram dimakan berdasarkan


nas-nas agama sangat penting, agar seorang muslim bisa menghindarinya. Adapun di luar
yang dilarang itu boleh-boleh saja memakannya, selama tidak menimbulkan mudharat
kepada dirinya. Dan binatang tersebut tidak termasuk ke dalam golongan binatang yang
haram dimakan, baik karena kesamaan jenis, bentuk atau sifat. Dari Abu Darda, Rasulullah
bersabda, “Apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitabNya itulah yang halal, dan apa yang
diharamkan itulah yang haram, adapun yang tidak dijelaskan termasuk yang dimaafkan
16

bagimu. Dan terimalah pemaafan Allah, karena Allah tidak mungkin melupakan sesuatu
kemudian membaca surat Maryam : 64.

‫سيَّا‬ َ ُّ‫َوماَ َكانَ َرب‬


ِ َ‫ك ن‬

Dan tidaklah Tuhanmu lupa. [HR. Hakim dan dia menshahihkannya, juga diriwayatkan secara
.ringkas oleh Imam Bukhari bab: ma yukrahu min kats-rati as-Su’al]

Dan tidak boleh mengharamkan sesuatu –temasuk binatang- yang tidak pernah Allah
haramkan dalam Al-Qur’an atau lewat RasulNya, karena yang berhak menghalalkan dan
yang mengharamkan sesuatu hanyalah Allah. Mengharamkan sesuatu yang tidak pernah
Allah haramkan, atau sebaliknya termasuk iftira’ (berdusta) kepada Allah, sebagaimana
firman-Nya:

َ ‫ب إِنَّ الَّ ِذ‬


‫ين‬ َ ‫ك ِذ‬ ِ ّ ‫م لِ ّ َت ْف َت ُرو ْا َعلَى الل‬
َ ‫ه ا ْل‬ ٌ ‫ح َرا‬
َ ‫هـذَا‬ ٌ َ ‫حال‬
َ ‫ل َو‬ َ ‫هـذَا‬
َ ‫ب‬ َ ‫م ا ْل‬
َ ‫ك ِذ‬ ُ ‫س َن ُت ُك‬ِ ‫ف أَ ْل‬ُ ‫ص‬ ِ َ‫ما ت‬َ ِ‫َوال َ تَ ُقولُو ْا ل‬
َ‫حون‬ ‫ل‬‫ف‬
ُ ِ ْ ُ‫ي‬ َ ‫ال‬ ‫ب‬َ ِ‫ذ‬ ‫ك‬َ ْ
‫ل‬ ‫ا‬ ‫ه‬
ِ ّ ‫ل‬‫ال‬ ‫ى‬ َ‫َي ْف َت ُرونَ َعل‬

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu
secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung. [An-Nahl : 116].

BINATANG YANG BOLEH DAN YANG HARAM DIMAKAN

Pertama : Barri (Binatang Darat).

Yaitu binatang yang sebagian besar hidupnya di darat, baik dari jenis hewan maupun
burung. Binatang darat ini ada yang suci (halal), seperti: al-An’am (binatang ternak) yaitu
onta, sapi, kambing, kuda, dan lainnya.

Kuda termasuk halal –walaupun sebagian ulama mengharamkan-, berdasarkan


hadits Asma’ binti Abu Bakar yang berkata:

‫سا َفأَ َك ْل َنا ُه‬


ً ‫م َف َر‬
َ َّ‫سل‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ ِ ّ ِ‫ح ْرنَا َعلَى َع ْه ِد ال َّنب‬
َ ‫ي‬ َ َ‫ن‬

Pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kami menyembelih kuda kemudian kami
memakannya.” Dalam riwayat yang lain ditambah: “Kami berada di Madinah“ [Muttafaq
Alaih].

Binatang Darat Yang Haram.

Adapun di antara binatang darat yang di haramkan untuk di makan adalah sebagai
berikut:

Haram Dimakan Karena Binatangnya Sendiri (Zatnya). Seperti:

1. Babi.
17

Sebagaimana firman Allah.

ُ ‫م ْوقُو َذ ُة َوا ْل‬


‫م َت َر ِدّيَ ُة‬ َ ‫خ ِن َق ُة َوا ْل‬ ُ ‫ه َوا ْل‬
َ ‫م ْن‬ ِ ّ ‫ل لِ َغ ْي ِر الل‬
ِ ِ‫ه ب‬ َّ ‫ه‬ ِ ‫ير َو َما ُأ‬ ِ ‫خ ْن ِز‬ِ ‫م ا ْل‬ ْ َ‫م ْي َت ُة َوا ْل َّد ُم َول‬
ُ ‫ح‬ َ ‫م ا ْل‬ ُ ‫ت َعلَ ْي ُك‬ْ ‫ح ِرّ َم‬
ُ
‫صب‬ ُ ‫ن‬
ُّ ‫ال‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬َ ‫ح‬
َ ِ ‫ب‬ ‫ذ‬
ُ ‫ا‬ ‫م‬
َ ‫و‬
َ ‫م‬ ‫ت‬
ْ ُْ‫ي‬ َّ
‫ك‬ ‫ذ‬
َ ‫ا‬ ‫م‬
َ َّ ‫ال‬ ‫إ‬ ‫ع‬ ‫ب‬‫الس‬
ِ ُ ُ َّ ‫ل‬
َ َ
‫ك‬ َ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ ‫و‬
َ ‫ة‬
ُ ‫ح‬
َ ‫ي‬ ‫ط‬
ِ ‫ن‬
َّ ‫َو‬
‫ال‬

Diharamkan bagimu [memakan] bangkai, darah, daging babi, [daging hewan] yang di
sembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
yang diterkam binatang buas kecuali yang kamu sempat menyembelihnya, dan yang
disembelih untuk berhala. [Al-Maidah :3]

Dari keumuman ayat di atas maka semua yang berkaitan dengan babi baik kulit,
daging, minyak, lemak dan lainnya diharamkan untuk dimakan dan dimanfaatkan untuk
keperluan apapun.

2. Anjing.

Ia diharamkan karena termasuk Al-Khabaits [sesuatu yang buruk dan menjijikkan]


sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

‫جا ِم‬ َ ‫ب ا ْل‬


َّ ‫ح‬ ْ ‫ب َو َك‬
ُ ‫س‬ ِ ‫ك ْل‬
َ ‫ن ا ْل‬ َ َ‫ي َوث‬
ُ ‫م‬ ِ ّ ‫ب َم ْه ُر ا ْلبَ ِغ‬
ِ ‫س‬ َ ‫ش ُّر ا ْل‬
ْ ‫ك‬ َ

Sejelek-jelek pendapatan adalah upah pelacur, harga anjing dan pendapatan tukang bekam.
[HR.Muslim No. 1568]

Allah telah mengharamkan semua yang khabaits (jelek), dan yang buruk
sebagaimana firman-Nya.

َ‫خبَآئِث‬ ُ ‫ح ِرّ ُم َعلَ ْي ِه‬


َ ‫م ا ْل‬ َ ‫َو ُي‬

Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf : 157].

Juga hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah yang
memerintahkan untuk mencuci bejana dari jilatan anjing dengan basuhan tujuh kali dan
salah satunya dicampur dengan tanah ,menunjukkan keharaman dari anjing. Dalam kaidah
Ushul juga dikenal Qiyas aula, yaitu kalau harganya saja diharamkan atau sebagian tubuhnya
saja mesti disucikan, maka lebih diharamkan memakan binatangnya.

Dan pada dasarnya memelihara anjing dilarang oleh agama, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

ِ ‫ل يَ ْو ٍم قِي َراطَا‬
‫ن‬ ْ َ‫ن أ‬
َّ ‫ج ِر ِه ُك‬ ْ ‫َص ِم‬
َ ‫ة نَق‬ ِ ‫ص ْي ٍد أَ ْو َما‬
ٍ َ‫شي‬ َ ‫ن ا ْق َت َنى َك ْل ًبا إِاَّل َك ْل‬
َ ‫ب‬ ِ ‫َم‬

Barangsiapa memelihara anjing yang bukan untuk berburu atau anjing untuk menjaga
tanaman, maka kebaikannya akan berkurang dua Qirath’ setiap hari. [HR. Muslim dari Ibnu
Umar]
18

Dalam riwayat Muslim yang lain Ibnu Umar berkata: “Kami diperintahkan untuk
membunuh anjing, kecuali anjing untuk berburu dan anjing untuk menjaga tanaman.”

3. Semua Binatang Bertaring Yang Dengan Taringnya Ia Memangsa Dan Menyerang


Musuhnya

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.

‫م‬ َ ‫السبَاعِ َفأَ ْكل ُُه‬


ٌ ‫ح َرا‬ ِّ ‫ن‬
َ ‫ل ِذي نَابٍ ِم‬
ُّ ‫ُك‬

Semua binatang yang bertaring, maka memakannya adalah haram.[HR.muslim].

Juga apa yang diriwayatkan oleh Idris Al-Khalulani, dia mendengar Abu Tsa’labah al-
Khutsani berkata.

ِ‫السبَاع‬
ِّ ‫ن‬
َ ‫ب ِم‬
ٍ ‫ل ِذي نَا‬ ْ ‫ن أَ ْك ِل َع‬
ّ ِ ‫ن ُك‬ َ َّ‫سل‬
ْ ‫م َع‬ ِ ‫هللا َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ ُ ‫صلَّى‬
َ ِ‫ل هللا‬
ُ ‫س ْو‬
ُ ‫نَ َهى َر‬

Rasulullah melarang memakan semua binatang yang mempunyai taring. [HR. Muslim : No
1932]

4. Semua Bangsa Burung Berkuku Yang Dengan Kukunya Ia Mencengkeram Atau


Menyerang Musuh-musuhnya.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas:

‫ل ِذي‬ ْ ‫ن الطَّ ْي ِر َو َع‬


ّ ِ ‫ن ُك‬ ٍ َ‫خل‬
َ ‫ب ِم‬ ْ ‫ل ِذي ِم‬
ّ ِ ‫ن ُك‬
ْ ‫خ ْيبَ َر َع‬
َ ‫م‬ َ َّ‫سل‬
َ ‫م نَ َهى يَ ْو‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َ ‫ه‬ ِ َّ‫ل الل‬
َ ‫سو‬ُ ‫أَنَّ َر‬
ِ‫السبَاع‬
ِّ ‫ن‬
َ ‫نَابٍ ِم‬

Bahwa ketika perang Khaibar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang memakan
semua burung yang mempunyai kuku panjang dan setiap binatang buas yang bertaring.
[HR.Muslim]

Burung yang berkuku di atas adalah yang buas, sehingga tidak termasuk sebangsa
ayam, burung merpati dan sejenisnya. Abu Musa Al As’ariy Radhiyallahu 'anhu berkata:
“Saya melihat Rasulullah memakan daging ayam.” [Muttafaq Alaih]

5. Binatang-Binatang Yang Diperintahkan Untuk Dibunuh.

Merupakan hikmah Allah adalah Dia memerintahkan manusia untuk membunuh


beberapa jenis binatang. Karena binatang-binatang sering mengganggu dan membahayakan
manusia. Karena binatang tersebut dianjurkan untuk dibunuh, maka itu sebagai isyarat atas
larangan untuk memakannya. Karena kalau binatang itu boleh dimakan, maka akan menjadi
mubazzir kalau sekedar dibunuh, padahal Allah melarang hambaNya untuk melakukan hal-
hal yang mubazzir [Al-Isra’: 26-27].
19

Di antara binatang-binatang tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan dalam


hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

,َ ‫ق ُي ْق َت ْل‬
‫ن فِي‬ ِ ‫س َف َوا‬
ُ ‫س‬ ٌ ‫م‬
ْ ‫خ‬ َ ‫م َقا‬
َ ‫ل‬ َ َّ‫سل‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َ ‫ي‬ ِ ‫ضي اللَّ ُه َع ْن َها َع‬
ِ ّ ‫ن ال َّن ِب‬ ِ ‫ش َة َر‬ َ ِ‫ن َعائ‬ ْ ‫َع‬
ْ
ُ ‫ب ا ْل َع ُق‬
‫ور‬ ُ ‫ك ْل‬
َ ‫اب َوا ْل‬ ُ ‫ح َديَّا َوا ْل ُغ َر‬
ُ ‫ب َوا ْل‬
ُ ‫ح َر ِم ا ْل َفأ َر ُة َوا ْل َع ْق َر‬َ ‫ا ْل‬

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha Rasulullah bersabda: “Lima binatang jahat yang boleh
dibunuh, baik di tanah haram atau di luarnya: tikus, kalajengking, burung buas, gagak, dan
anjing hitam. [HR.Bukhari No;3136]

Termasuk binatang yang diperintahkan untuk dibunuh adalah cecak, seperti yang
diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash, dia berkata:

‫س ًقا‬
ِ ‫ما ُه ُف َو ْي‬
َّ ‫س‬ ِ ‫م أَ َم َر بِ َق ْت‬
َ ‫ل ا ْل َو َزغِ َو‬ َ َّ‫سل‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َّ ِ‫أَنَّ ال َّنب‬
َ ‫ي‬

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh cecak, dan
beliau dinamakan Fuwaisiqah (binatang jahat yang kecil)”. [HR. Muslim]

Pada riwayat lain Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ك‬
َ ِ‫ة ُدونَ َذل‬
ِ ‫ك َوفِي الثَّالِ َث‬
َ ِ‫ة ُدونَ َذل‬
ِ َ‫ة َوفِي الثَّانِي‬
ٍ ‫س َن‬ َ ‫ت لَ ُه ِمائَ ُة‬
َ ‫ح‬ ْ َ‫ة ُكتِب‬
ٍ َ‫ض ْرب‬ ِ ‫ل َو َز ًغا فِي أَ َّو‬
َ ‫ل‬ َ ‫ن َق َت‬
ْ ‫َم‬

Barangsiapa membunuh cecak dengan sekali pukulan, ditulis baginya seratus kebajikan,
barangsiapa yang membunuhnya pada pukulan yang kedua maka baginya kurang dari itu,
dan pada pukulan yang ketiga baginya kurang dari itu. [HR. Muslim]

6. Binatang-Binatang Yang Dilarang Untuk Dibunuh.

Sebaliknya ada beberapa jenis binatang yang dilarang oleh agama untuk dibunuh.
Maka dilarangnya membunuh binantang itu, berarti dilarang pula memakannya. Karena
kalau binatang itu termasuk yang boleh dimakan, bagaimana cara memakannya kalau
dilarang membunuhnya? Di antara binatang tersebut adalah seperti yang disebutkan dalam
riwayat Ibnu Abbas, beliau berkata:

‫ص َر ُد‬ ُ ‫حلَ ُة َوا ْل ُه ْد‬


ُّ ‫ه ُد َوال‬ ْ ‫ملَ ُة َوال َّن‬
ْ ‫ب ال َّن‬ َ ‫ل أَ ْربَعٍ ِم‬
ِ ّ ‫ن ال َّد َوا‬ ِ ‫ن َق ْت‬ َ َّ‫سل‬
ْ ‫م نَ َهى َع‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َ ‫ي‬
َّ ِ‫إِنَّ ال َّنب‬

Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang membunuh empat jenis binatang,
yaitu: semut, lebah, burung hud-hud dan burung shurad (sejenis burung gereja). [HR. Abu
Daud, Kitab al-Adab, Bab fi Qatli Ad-Dzur No; 5267].

Sebagian ulama berpendapat bahwa kodok termasuk dalam hal ini. Sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Utsman, seorang thabib (dokter) datang kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm dan bertanya tentang kodok yang dibuat menjadi
obat, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang membunuhnya. [HR.Ahmad, Nasa’i
dan dishahihkan oleh Al-Hakim]

Kodok bisa hidup di dua tempat di air dan di darat, seperti halnya buaya, maka
sebagia ulama mengharamkannya.
20

7. Binatang Yang Lahir Dari Perkawinan Dua Jenis Binatang Yang Berbeda, Yang Salah
Satunya Halal Dan Yang Lainnya Haram.

Hal ini karena memasukkannya ke binatang yang haram lebih baik dari
menghubungkannya kepada induknya yang halal. Seperti Bighal yang lahir dari keledai
negeri yang haram dimakan dan kuda yang boleh dimakan.

8. Binatang Yang Menjijikkan.

Semua yang menjijikkan -termasuk binatang - diharamkan oleh Allah. Sebagaimana


firmanNya:

َ‫خبَآئِث‬ ُ ‫ح ِرّ ُم َعلَ ْي ِه‬


َ ‫م ا ْل‬ َ ‫َو ُي‬

Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf : 157].

Namun kriteria binatang yang buruk dan menjijikkan pada setiap orang dan tempat
pasti berbeda. Ada yang menjijikkan pada seseorang misalnya, tetapi tidak menjijikkan pada
yang lainnya. Maka yang dijadikan standar oleh para ulama’ adalah tabiat dan perasaan
yang normal (salim) dari orang Arab yang tidak terlalu miskin yang membuatnya memakan
apa saja. Karena kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan pertama kali dan dengan bahasa
merekalah semuanya dijelaskan. Sehingga merekalah yang paling mengetahui mana
binatang yang menjijikkan atau tidak. (lihat penjelasan syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Majmu’ Fatawa, juz 9 hal. 26 dan seterusnya).

Kalau binatang itu tidak diketahui oleh orang Arab, karena tidak ada binatang sejenis
yang hidup di sana, maka dikiyaskan (dianalogikan) dengan binatang yang paling dekat
kemiripannya dengan binatang yang ada di Arab. Jika ia mirip dengan binatang yang haram
maka diharamkan, dan sebaliknya. Tetapi jika tidak ada yang mirip dengan binatang
tersebut maka dikembalikan kepada urf (tradisi) penduduk setempat. Kalau kebanyakan
menganggapnya tidak menjijikkan, Imam at-Thabari membolehkan untuk dimakan, karena
pada asalnya semua binatang boleh dimakan, kecuali kalau itu membahayakan.

Binatang Yang Haram Dimakan karena Faktor Yang Datang Dari Luar.

Di antaranya adalah sebagai berikut;

1. Binatang sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya.

Sebagaimana firman Allah

‫ق‬ ْ ‫ه َوإِنَّ ُه لَ ِف‬


ٌ ‫س‬ ِ ‫ه َعلَ ْي‬
ِ ّ ‫م الل‬ ْ ‫م ُيذْ َك ِر‬
ُ ‫اس‬ َّ ‫َوال َ تَ ْأ ُكلُو ْا ِم‬
ْ َ ‫ما ل‬
21

Dan janganlah kamu memakan binatang –binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. [Al-
An’am : 121].

2. Bangkai

Yaitu binatang yang mati dengan tidak disembelih; atau binatang yang disembelih
tetapi dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat; atau disembelih sesuai dengan syariat
tetapi dengan tujuan yang tidak dibenarkan oleh syara’, seperti penyembelihan yang
dipersembahkan kepada dewa atau ritual-ritual kesyirikan lainnya. Sebagaimana firman
Allah

ُ ‫م ْوقُو َذ ُة َوا ْل‬


‫م َت َر ِدّيَ ُة‬ َ ‫خ ِن َق ُة َوا ْل‬ ُ ‫ه َوا ْل‬
َ ‫م ْن‬ ِ ّ ‫ل لِ َغ ْي ِر الل‬
ِ ِ‫ه ب‬ َّ ‫ه‬ ِ ‫ير َو َما ُأ‬ ِ ‫خ ْن ِز‬ِ ‫م ا ْل‬ ْ َ‫م ْي َت ُة َوا ْل َّد ُم َول‬
ُ ‫ح‬ َ ‫م ا ْل‬ ُ ‫ت َعلَ ْي ُك‬ْ ‫ح ِرّ َم‬
ُ
‫صب‬ ُ ‫ن‬
ُّ ‫ال‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬َ ‫ح‬
َ ِ ‫ب‬ ‫ذ‬
ُ ‫ا‬ ‫م‬
َ ‫و‬
َ ‫م‬ ‫ت‬
ْ ُْ‫ي‬ َّ
‫ك‬ ‫ذ‬
َ ‫ا‬ ‫م‬
َ َّ ‫ال‬ ‫إ‬ ‫ع‬ ‫ب‬‫الس‬
ِ ُ ُ َّ ‫ل‬
َ َ
‫ك‬ َ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ ‫و‬
َ ‫ة‬
ُ ‫ح‬
َ ‫ي‬ ‫ط‬
ِ ‫ن‬
َّ ‫َو‬
‫ال‬

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. [Al-Maidah : 3].

Termasuk sembelihan yang tidak boleh dimakan adalah sembelihan-sembelihan yang


ditujukan untuk arwah-arwah orang yang telah mati, arwah-arwah dewa, jin dan lainnya.
Begitu juga sembelihan orang Nashrani dan orang-orang non muslim yang dilakukan pada
kesempatan acara ritual dan upacara keagamaan mereka. Karena semuanya termasuk ke
dalam sembelihan yang disembelih untuk selain Allah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan firman Allah ‫ه‬ ِ ّ ‫ل لِ َغ ْي ِر الل‬
ِ ِ‫ه ب‬ ِ ‫َو َما ُأ‬
َّ ‫ه‬
berkata: “Zahir ayat ini menunjukkan larangan menyembelih untuk selain Allah, seperti
mengatakan: “Sembelihan ini ditujukan untuk si fulan”, dan lainnya. Kalau ini yang dimaksud
maka diucapkan atau tidak sama saja. Dan ini lebih diharamkan daripada mengatakan: “Saya
menyembelih dengan nama Al-Masih”, atau seumpamanya. Apabila menyembelih dengan
nama al-Masih atau al-Zahrah diharamkan, maka menyembelih untuk dipersembahkan demi
al-Masih atau al-Zahrah lebih diharamkan.

Oleh karena itu menyembelih karena selain Allah untuk mendekatkan diri kepadanya
termasuk yang diharamkan. Sekalipun mereka membaca basmalah, sebagaimana yang
dilakukan oleh kelompok munafik dari umat ini yang mendekatkan dirinya kepada bintang-
bintang dengan sembelihan dan lainnya. Begitu juga yang dilakukan oleh orang jahiliyah di
Makkah yang menyembelih untuk jin, oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam melarang memakan sembelihan yang ditujukan untuk jin. [Lihat Fathul Majid hal.
126].

Az-Zamakhsyari mencontohkan, kebiasaan orang-orang Jahiliyah apabila membeli


rumah atau membangun rumah baru, mereka mengeluarkan jin yang ada di dalamnya
dengan menyembelih sesembelihan, hal itu dilakukan karena takut diganggu oleh jin.
22

Ibrahim al-Marwazi juga menyebutkan bahwa sembelihan yang dilakukan ketika


menyambut pemimpin untuk mendekatkan diri kepadanya, telah difatwakan keharamannya
oleh ulama-ulama Bukhara, karena termasuk yang disembelih karena selain Allah. [Lihat
Fathul Majid hal. 127]

Orang yang melakukan penyembelihan karena selain Allah telah melakukan satu
kesyirikan, karena menyembelih juga termasuk ibadah yang harus dilakukan karena Allah
dan untuk Allah sebagaimana firman Allah:

‫ت َوأَنَا‬
ُ ‫ك ُأ ِم ْر‬ ّ ِ‫ك لَ ُه َوب‬
َ ِ‫ذل‬ َ ‫َش ِري‬
َ ‫} ال‬162{ ‫ين‬
َ ‫م‬ِ َ‫ب ا ْل َعال‬
ِ ّ ‫ماتِي هللِ َر‬
َ ‫ي َو َم‬
َ ‫حيَا‬
ْ ‫كي َو َم‬ ُ ‫صالَتِي َو ُن‬
ِ ‫س‬ َ َّ‫ُل إِن‬ْ ‫ق‬
‫ين‬
َ ‫م‬
ِ ِ‫سل‬
ْ ‫م‬ ُ ‫أَ َّو‬
ُ ‫ل ا ْل‬

Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku krena Allah pemilik sekalian alam.
Tidak ada sekutu bagiNya dan demikianlah kami diperintahkan dan saya termasuk orang-
orang yang muslim. [Al-An’am: 162-163].

Orang yang melakukan penyembelihan untuk selain Allah akan mendapat laknat dari
Allah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ali bin Abi Thalib.

Termasuk juga katagori bangkai adalah daging yang diambil dari binatang yang masih
hidup. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Waaqid al-Laitsi, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: Apa yang diambil dari binatang yang masih hidup adalah
termasuk bangkai”. [HR. Abu Daud].

Namun ada juga bangkai yang boleh dimakan, yaitu bangkai ikan dan belalang,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

‫ال‬
ُ ‫ح‬َ ّ‫ط‬
ِ ‫ك ِب ُد َوال‬ ِ ‫اد َوأَ َّما ال َّد َم‬
َ ‫ان َفا ْل‬ َ ‫وت َوا ْل‬
ُ ‫ج َر‬ ُ ‫ح‬ُ ‫ن َفا ْل‬ َ ‫ان َفأَ َّما ا ْل‬
ِ ‫م ْي َت َتا‬ ِ ‫ان َو َد َم‬ ْ ‫ت لَك‬
ِ ‫ُم َم ْي َت َت‬ ِ ‫ُأ‬
ْ َّ‫حل‬

Dihalalkan bagi kita dua bangkai,...yaitu ikan dan belalang. [HR.Ibnu Majah, Shahih lihat
Silsilah Shahihah No;1118]

3. Jalalah

Yaitu binatang yang sebagian besar makanannya adalah sesuatu yang kotor atau
najis, seperti bangkai atau kotoran lainnya. Walaupun pada awalnya ia adalah binatang yang
halal dimakan, tetapi menjadi tidak boleh dimakan apabila binatang tersebut tidak mau
makan atau lebih banyak memakan sesuatu yang kotor. Sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin umar, beliau berkata:

‫ة َوأَ ْلبَانِ َها‬


ِ َ‫جاَّل ل‬ ِ ‫ن أَك‬
َ ‫ْل ا ْل‬ َ َّ‫سل‬
ْ ‫م َع‬ ِ ‫صلَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ ِ َّ‫ل الل‬
َ ‫ه‬ ُ ‫سو‬
ُ ‫نَ َهى َر‬

Rasulullah melarang memakan Jalalah dan meminum susunya. [HR.Abu Daud, Kitab al-
At’imah,Bab An-Nahyu an Aklil Jalah Wa Albaniha, No; 3785]

Dalam riwayat lain ditambahkan:


23

Rasulullah melarang memakan Jalalah dari onta, menunggangnya, dan meminum susunya.
[HR.Abu Daud, Kitab al-At’imah,Bab An-Nahyu an Aklil Jalah Wa Albaniha, No; 376].

Agar Jalalah tersebut menjadi halal diharuskan untuk dikurung minimal tiga hari, dan
diberi makanan yang bersih atau suci, sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu Umar
bahwa beliau pernah mengurung ayam yang suka makan makanan yang kotor tiga hari
(Hadits Shahih riwayat Ibnu Abi Syaibah, Irwa’ No.2504).

Maksud pengurungan itu adalah untuk mengembalikan binatang tersebut menjadi


normal, yaitu memakan makanan bersih yang biasa dia makan, sekalipun harus
mengurungnya lebih dari tiga hari atau kurang dari itu.

Kedua : Bahrii (Binatang Laut)

Yaitu binatang yang tidak bisa hidup kecuali di dalam air, jika tinggal di darat dalam
waktu yang lama akan mati. Adapun binatang air yang sekali-kali bisa hidup di darat, seperti
kepiting, dan lainnya, maka menurut jumuhur ulama dari mazhab Maliki, Syafii, dan Ahmad
adalah suci dan boleh dimakan. Inilah yang lebih kuat karena keumuman hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, beliau
bertanya kepada Rasulullah tentang berwudhu’ menggunakan air laut, Nabi bersabda:

‫ل َم ْي َت ُت ُه‬ ِ ‫ور َما ُؤ ُه ا ْل‬


ُّ ‫ح‬ ُ ‫ه َو الطَّ ُه‬
ُ

Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. [HR.Tirmidzi, Kitab Abwab Atthaharah, Bab Maa
jaa Fi Maa’il Bahri annahu thahur No.69]

Imam Tirmidzi berkata tentang hadits di atas: Hadits ini shahih dan itulah yang
dipegang oleh kebanyakan sahabat di antaranya Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas Radhiyallahu
'anhum.

Tetapi ada sebagian sahabat yang memakruhkan bersuci dengan air laut, seperti
Abdullah bin Umar dan Abdullah bin ‘Amr [Sunan Tirmidzi I/100].

Juga sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdullah ketika mengikuti
sebuah peperangan dan mengalami kelaparan yang sangat, kemudian tiba-tiba ada ikan
besar yang sudah mati terdampar di tepi laut, yang tidak pernah dilihat sebelumnya, Jabir
berkata: “Kemudian kami memakannya setengah bulan. Dan Abu Ubaidah mengambil salah
satu tulangnya dan orang yang menunggang kuda bisa lewat di bawahnya. Abu Ubaidah
berkata: “Makanlah!”. Ketika sampai di Madinah kami menceritakan semuanya kepada
Nabi, kemudian beliau bersabda: “Makanlah!”, itu adalah rizki yang dikeluarkan oleh Allah
untuk dimakan. Kemudian beliau meminta sisa ikan yang ada dan beliau juga ikut
memakannya. [HR. Bukhari No. 4104].

Adapun binatang laut yang mempunyai nama dan bentuk seperti binatang darat
misalnya anjing laut, babi laut, maka terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Mayoritas
ulama mengatakan boleh dimakan, karena keumuman hadits yang menyebutkan air laut
24

suci dan bangkainya boleh dimakan. Namun sebagian di antara mereka mengharuskan
untuk disembelih terlebih dahulu karena termasuk binatang yang mempunyai darah yang
mengalir dan ini juga agar lebih cepat terbunuhnya. [Majmu’ Syarah Muhazzab, Imam An-
Nawawi, kitab al-Ath’imah]

MAKAN YANG HARAM DALAM KEADAAN TERPAKSA

Allah berfirman.

‫ط َّر َغ ْي َر َباغٍ َوال َ َعا ٍد َفال‬


ُ ‫ض‬
ْ ‫نا‬ َ ‫ه َف‬
ِ ‫م‬ ِ ّ ‫ه لِ َغ ْي ِر الل‬
ِ ِ‫ل ب‬ ِ ‫ير َو َما ُأ‬
َّ ‫ه‬ ِ ‫نز‬ ِ ‫م ا ْل‬
ِ ‫خ‬ ْ َ‫م َول‬
َ ‫ح‬ َ ‫م ْي َت َة َوال َّد‬ ُ ‫َعلَ ْي ُك‬
َ ‫م ا ْل‬ ‫م‬
َ ‫ح َّر‬َ ‫ما‬ َ َّ‫إِن‬
‫م‬
ٌ ‫حي‬ ,ٌ ‫إِنَّ الل ّ َه َغ ُف‬
ِ ‫ور َّر‬ ‫ه‬ِ ‫م َعلَ ْي‬
َ ‫إِ ْث‬

Sesungguhnya yang diharamkan bagimu hanyalah: bangkai, darah, daging babi, dan apa
yang disembelih karena selain Allah. Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampau batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Baqarah : 173]

Ibnu Katsir berkata: “Barang siapa sangat butuh kepada makanan yang haram yang
telah disebutkan oleh Allah karena dharurat (keterpaksaan) yang dihadapinya, maka boleh
dia memakannya. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepadanya. Dan Allah
mengetahui kebutuhan hamba-Nya ketika dia dalam keterpaksaan. Sehingga Dia
memaafkan dan membolehkannya untuk memakan sesuatu yang diharamkan-Nya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “ Sesungguhnya Allah senang rukhsah-
Nya (keringanan yang Dia berikan) dilakukan, sebagaimana Dia tidak senang larangan-Nya
dilakukan. [Hadits Shahih, Irwa’ No. 564)]

Bahkan memakan binatang yang haram tersebut, hukumnya bisa wajib ketika
keadaannya memaksa, yang kalau itu tidak dimakan ia akan mati. Tetapi apakah memakan
yang haram tersebut hanya untuk sekedar pengganjal perut saja, atau boleh sampai
kenyang?, merupakan khilaf di antara ulama’. Namun ada qaidah yang mengatakan
“Addharuraat Tuqaddaru bi qadariha“ (keterpaksaan diukur sesuai dengan ukurannya). Dan
tidak ada batasan waktu, seperti: harus tidak lebih dari tiga hari, sebagaimana yang
dipahami oleh kebanyakan orang awam, tetapi kapan saja dia terpaksa dia boleh
memakannya, selama dia tidak berpura-pura terpaksa. [Fiqhul Wajiz, Syaikkh Abdul Adzim
bin Badawi Al-Khalafi, hal. 397]

Rujukan utama.

1. Kitab Al-Ath’imah (Risalah Dukturah ) Syekh Shalih Al-Faudzan


2. Al-Wajiz Fi Fiqhi Asunnah wal Kitab AL-Aziz, Syekh Abdul Adzim Al-Khalafi
3. Bulughul Maram, Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani
4. Kebanyakan rujukan juga di ambil dari disket di dalam komputer yang tidak
mencantumkan halaman dan penerbitnya.
25

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 08121533647, 08157579296]

&&&&&&&&&&&&&&

Kamis, 1 Juli 2010 15:58:49 WIB

BERCERMIN KEPADA NABI IBRAHIM DALAM


MENJAMU TAMU
Saling berkunjung sesama kerabat, teman maupun sejawat merupakan kebiasaan
yang tak bisa dihindari. Keinginan berkunjung dan dikunjungi selalu ada harapan.
26

Demikianlah, suatu saat kita akan kedatangan tamu, baik diundang maupun tidak. Bahkan
pada momen-momen tertentu, kedatangan tamu sangat gencar.

Islam mengajarkan bagi siapa saja yang menjadi tuan rumah, supaya menghormati
tamu. Penghormatan itu tidak sebatas pada tutur kata yang halus untuk menyambutnya,
akan tetapi, juga dengan perbuatan yang menyenangkan. Misalnya dengan memberikan
jamuan, meski hanya sekedarnya.

Sikap memuliakan tamu, bukan hanya mencerminkan kemuliaan hati tuan rumah
kepada tamu-tamunya. Memuliakan tamu, juga menjadi salah satu tanda tingkat keimanan
seseorang kepada Allah dan Hari Akhir. Dengan jamuan yang disuguhkan, ia berharap pahala
dan balasan dari Allah pada hari Kiamat kelak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

َ ‫خ ِر َف ْل ُيك ِْر ْم‬


‫ض ْي َف ُه‬ ِ ‫ه َوا ْليَ ْو ِم اآْل‬ ُ ‫ن َكانَ ُي ْؤ ِم‬
ِ َّ‫ن بِالل‬ ْ ‫َو َم‬

"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya" [HR
al-Bukhâri dan Muslim]

Imam Ahmad rahimahullah dan sejumlah ulama lainnya, seperti dikutip oleh Ibnu
Katsîr rahimahullah, berpendapat wajibnya memberikan dhiyaafah (jamuan) kepada orang
yang singgah (tamu). Hal ini berdasarkan ayat di atas dan hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. [Lihat Tafsir Ibni Katsîr, 7/420].

Saking besarnya hak tamu, ada tarhîb bagi orang yang tidak mengindahkan tamunya.
kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

‫ف‬ ِ ‫ن اَل ُي‬


ُ ‫ض ْي‬ ْ ‫م‬ َ َ ‫ال‬
َ ‫خ ْي َر فِ ْي‬

"Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak menjamu tamu". [HR Ahmad. Lihat ash-Shahîhah,
no. 2434]

MENJAMU TAMU, MERUPAKAN SUNNAH NABI IBRAHIM

Memberi jamuan kepada tamu, merupakan kebiasaan sudah berkembang sejak


lama, sebelum risalah Nabi Muhammad n diturunkan. Yang pertama kali melakukan
perbuatan yang mulia ini, ialah Nabi Ibrâhiim Khalîlur Rahmân Alaihissalam. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:

‫كان أول من ضيف الضيف ابراهيم‬

"Orang yang pertama kali memberi suguhan kepada tamu adalah Ibrâhîm. [Lihat ash-
Shahîhah, 725].

Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan, "Sesungguhnya memberi jamuan kepada


tamu (dhiyâfah) termasuk sunnah (tradisi) Nabi Ibrâhîm yang Allah Subhanahu wa Ta'ala
memerintahkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan umatnya untuk
27

mengikuti millah (ajaran) beliau. Di sini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan kisah ini
(surat adz-Dzâriyât, Pen.) sebagai pujian dan sanjungan bagi beliau". [1]

Memang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan umatnya, dititahkan untuk


mengikuti ajaran-ajaran Nabi Ibrâhîm Alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang
hanif," dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb". [an-
Nahl/16:123].

BAGAIMANA NABI IBRAAHIIM ALAIHISSALAM MENJAMU TAMU?

Berikut ini, pemaparan singkat yang dilakukan oleh Nabi Ibraahim Alaihissalam saat
memuliakan para tamunya. Imam Ibnu Katsiir rahimahullah secara khusus mengatakan:
"Ayat-ayat ini mengatur tata-cara menjamu tamu", dan mari kita perhatikan satu-persatu.

1. Menjawab ucapan salam dari tamu dengan jawaban yang lebih sempurna.

2. Nabi Ibrâhîm Alaihissalam tidak bertanya terlebih dahulu: "Apakah kalian mau
hidangan dari kami?"

3. Nabi Ibrâhîm Alaihissalam bersegera menyuguhkan makanan kepada tamu.


Dikatakan oleh Syaikh as-Sa'di bahwa sebaik-baik kebajikan ialah yang disegerakan. Karena
itu, Nabi Ibrâhîm Alaihissalam cepat-cepat menyuguhkan jamuan kepada para tamunya.

4. Menyuguhkan makanan terbaik yang beliau miliki, Yakni, daging anak sapi yang
gemuk dan dibakar. Pada mulanya, daging tersebut tidak diperuntukkan untuk tamu. Akan
tetapi, ketika ada tamu yang datang, maka apa yang sudah ada, beliau hidangkan kepada
para tamu. Meski demikian, hal ini tidak mengurangi penghormatan Nabi Ibrâhîm q kepada
tamu-tamunya.

5. Menyediakan stok bahan di dalam rumah, sehingga beliau tidak perlu membeli di
pasar atau di tetangga.

6. Nabi Ibrâhîm alahissallam mendekatkan jamuan kepada para tamu dengan


meletakkan jamuan makanan di hadapan mereka. Tidak menaruhnya di tempat yang
berjarak dan terpisah dari tamu, hingga harus meminta para tamunya untuk mendekati
tempat tersebut, dengan memanggil, -misalnya- "kemarilah, wahai para tamu". Cara ini
untuk lebih meringankan para tamu.

7. Nabi Ibrâhîm melayani tamu-tamunya sendiri. Tidak meminta bantuan orang lain,
apalagi meminta tamu untuk membantunya, karena meminta bantuan kepada tamu
termasuk perbuatan yang tidak etis.

8. Bertutur kata sopan dan lembut kepada tamu, terutama tatkala menyuguhkan
jamuan. Dalam hal ini, Nabi Ibrâhîm menawarkannya dengan lembut: "Sudikah kalian
menikmati makanan kami (silahkan kamu makan)?" Beliau Alaihissalam tidak menggunakan
28

nada perintah, seperti: "Ayo, makan". Oleh karena itu, sebagai tuan rumah, seseorang harus
memilih tutur kata simpatik lagi lembut, sesuai dengan situasinya.

Intinya, tuan rumah seharusnya memuliakan tamu, yaitu dengan memberikan


perlakuan yang baik kepada tamunya. Allah menceritakan perihal mereka di rumah Nabi
Ibrâhîm Alaihissalam dengan sifat mukramûn (memperoleh kemuliaan).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrâhîm (malaikat-malaikat) yang


dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaman,"
Ibrâhîm menjawab: "Salamun" (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka, dia
pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi
gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrâhîm berkata: "Silahkan kamu
makan". [adz-Dzâriyât/51:24-27].

Demikianlah yang diajarkan oleh Nabiyyullah Ibrâhîm Alaihissalam kepada umat


Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Alaihissalam pantas menjadi teladan bagi
umat manusia. Allah memuji dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh
kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan (Rabb), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah
memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya
kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar ternasuk orang-orang yang
shalih". [an-Nahl/16:120-122]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa


sallam untuk mengikuti ajaran-ajaran Nabi Ibrâhîm Alaihissalam :

"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang
hanif," dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb". [an-
Nahl/16:123].

TIDAK MEMAKSAKAN DIRI DALAM MEMBERI JAMUAN KEPADA TAMU

Menjadi tuan rumah, memang seharusnya memberikan istimewa pelayanan kepada


tamunya. Tetapi, jamuan yang disuguhkan kepada tamu, tidak sepantasnya dilakukan di luar
batas kemampuannya. Sehingga sebagai tuan rumah tidak merasa berat atau memaksakan
diri. Hingga mengusahakan ragam hidangan yang mungkin saja anggota keluarga belum
pernah menikmatinya. Atau menikmatinya hanya saat momen-momen tertentu saja dan
tidak sering.
29

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang seseorang melakukan


perbuatan yang dapat merepotkan diri sendiri. Melalui pemberitaan dari salah seorang
sahabat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang takalluf dalam masalah ini.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

ِ ‫ه َما ال َ يَ ْق ِد ُر َعلَ ْي‬


‫ه‬ ِ ‫ض ْي ِف‬ َ َ‫ن أ‬
َ ِ‫ح ٌد ل‬ َّ ‫الَيَ َتكّلَّ َف‬

"Janganlah seseorang memaksakan diri (untuk melayani) tamunya dengan sesuatu yang
tidak ia sanggupi". [Riwayat Abu Nu'aim, al Khathiib dan ad-Dailami. Lihat juga ash-
Shahîhah, no. 2440)]

Pengertian takalluf sederhananya mengandung unsur pemaksaan diri dan


pengusahaan di luar batas kemampuan.

Imam al-Hâkim meriwayatkan dari A'masy dari Syaqîq, ia berkata: Saya dan temanku
mendatangi Salmân Radhiyallahu 'anhu. Kemudian ia menyuguhkan roti dan garam kepada
kami sembari berkata :

‫ُم‬ ُ ‫ف لَ َتكّ ْل‬


ْ ‫ت لَك‬ ِ ُّ ‫كل‬
َ ‫ن ال َّت‬ َ َّ‫سل‬
ِ ‫م نَ َهانَا َع‬ ِ ‫هللا َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َ ِ‫ل هللا‬
ُ ‫صل ّى‬ ُ ‫لَوال َ أَنَّ َر‬
َ ‫سو‬

"Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarang kami untuk berbuat
takalluf, niscaya saya akan mengusahakannya".

Dikatakan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah, bahwasanya hadits-hadits di atas


dikuatkan oleh makna umum hadits di bawah ini:

ِ ُّ ‫كل‬
‫ف‬ َ ‫ن ال َّت‬ َ ‫م َر َفقَا‬
ْ ‫ل ُن ِهي َنا َع‬ َ ‫ع ْن َد ُع‬ َ ‫س َقا‬
ِ ‫ل ُك َّنا‬ َ ْ ‫َع‬
ٍ َ‫ن أن‬

Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Kami pernah bersama 'Umar Radhiyallahu 'anhu ,
ia berkata: "Kami dilarang dari perbuatan yang memaksakan diri". [HR al-Bukhâri, no. 6749].
[3]

AWAS KEDUSTAAN DALAM PENYAMBUTAN!

Dalam point ini, perlu kiranya disampaikan sebuah tanbîh (catatan) bagi para tuan
rumah yang sedang menjamu tamu-tamunya. Terutama kaum ibu. Karena terkadang,
muncul gejala kedustaan saat menjamu tamu.

Misalnya, manakala tamu menyaksikan berbagai menu dan makanan tersaji di meja,
kemudian sang tamu berkomentar –misalnya- "wah repot amat nih," maka tuan rumah
meresponnya dengan berkata: "wah tak repot," padahal, tuan rumah benar-benar
mengalami kerepotan dalam mempersiapkan sajian tersebut, bahkan sampai harus pergi ke
pasar membeli bahan-bahan makanan, kalang-kabut dalam mempersiapkannya, dan lain-
lain.

Atau ketika menyaksikan tamu bergegas mohon pamit padahal belum lama duduk,
tuan rumah (ada yang) berkata: "Wah, belum dibuatkan minuman, kok sudah mau pulang?"
30

Perkataan atau ungkapan sejenis ini, jika hanya sebatas buah bibir saja, maka perkataan
tersebut sudah termasuk dalam kategori berbuat dusta.

Memang betul, tidak semua tuan rumah melakukan sebagaimana perbuatan ini.
Namun, lantaran berkembangnya gejala basa-basi di sebagian daerah, permasalahan ini
perlu untuk diperhatikan. Wallahu a'lam. (Abu Minhal)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
________

Footnote

[1]. At-Taisîr, 889.


[2]. Dinukil dari Tafsîr Ibnu Katsîr (7/421), dan lihat juga Tafsîr as-Sa'di, hlm. 889-890.
[3]. Ash Shahîhah 5/570 pada pembahasan an nahyu 'an at-takalluf lidh-dhaif (larangan
berbuat memaksakan diri untuk tamu).

&&&&&&&&&&&&&

Senin, 28 Juni 2010 00:46:51 WIB

DAGING IMPORT
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan

Pertanyaan.
31

Syaikh Shalih bin Fauzan ditanya : Kami mengimpor daging mentah tanpa tulang dari negeri
asing (non muslim, Red) dan daging ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat kita karena
harganya murah. Bolehkah kita mengkonsumsi daging tersebut? Tolong beri kami
penjelasan! Jazakumullah khairan.

Jawaban

Daging yang diimpor dari selain negeri kaum muslimin, ada dua jenis.

Pertama : Daging-daging itu berasal dari negeri Ahli Kitab, maksudnya negeri yang
penduduknya beragama Nasrani atau Yahudi, dan yang melakukan penyembelihan adalah
salah seorang Ahli Kitab dengan penyembelihan yang sesuai syariat.

Daging jenis ini halal dikonsumsi oleh kaum muslimin berdasarkan ijma’ karena
firman Allah Azza wa Jalla :

‫م‬ ُُّ ‫ح‬


ْ ‫ل لَّ ُه‬ ِ ‫ُم‬ ُ ‫ُم َوطَ َع‬
ْ ‫امك‬ ُُّ ‫ح‬
ْ ‫ل لَّك‬ ِ ‫اب‬ ِ ‫ين ُأو ُتوا ا ْل‬
َ ‫ك َت‬ ُ ‫َوطَ َع‬
َ ‫ام الَّ ِذ‬

"Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan al Kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal pula bagi mereka". [Al Maidah : 5]

Kata tha’amuhum, maksudnya adalah sembelihan mereka berdasarkan ijma' ulama.


Karena selain sembelihan, seperti biji-bijian, buah-buahan dan lain sebagainya halal, baik
berasal dari Ahli Kitab ataupun yang lainnya.

Kedua : Daging yang diimpor dari negeri bukan negeri Ahli Kitab, seperti negeri
komunis, negeri paganis (penyembah patung).

Daging-daging ini tidak boleh dikonsumsi oleh kaum muslimin, selama


penyembelihannya tidak dilakukan oleh seorang Muslim atau seorang Ahlu Kitab (dengan
cara penyembelihan yang sesuai syariat, Red). Jika penyembelihnya diragukan agamanya,
atau metode penyembelihannya diragukan, apakah dilakukan sesuai dengan tuntunan
syariat atau tidak, maka seorang muslim diperintahkan untuk berhati-hati dan meninggalkan
yang syubhat (samar). Sedangkan (daging-daging) yang tidak mengandung syubhat sudah
bisa mencukupi (mudah didapat).

Makanan itu sangat berbahaya, jika makanan itu keji (haram); karena akan
memberikan makanan dengan makanan yang buruk. Dan daging-daging sembelihan itu
memiliki kepekaan (kesensitifan) yang besar. Oleh karena itu, disyaratkan pada daging-
daging sembelihan itu berasal dari orang yang berhak melakukan penyembelihan, yaitu
orang Muslim atau Ahli Kitab, dan cara penyembelihannya dilakukan sesuai dengan
tuntunan syariat.

Jika dua syarat ini tidak terpenuhi, berarti daging itu merupakan bangkai, sedangkan
bangkai itu (hukumnya) haram.
32

Kesimpulannya : Daging-daging yang ditanyakan ini, jika diimpor dari negeri Ahli
Kitab dan disembelih sesuai dengan tuntunan syariat, maka daging ini boleh dikonsumsi.
Sedangkan jika disembelih tidak sesuai dengan tuntunan syariat, seperti dengan
menggunakan sengatan listrik atau semacamnya, maka (demikian) ini haram.

Jika urusan itu masih samar pada Anda, maka tinggalkan daging-daging itu dan
beralihlah kepada yang tidak mengandung syubhat. Wallahu a’lam.

[Syaikh Shalih bin Fauzan, dari kitab al Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih
bin Fauzan, 5/320-321]

SEMBELIHAN ORANG YANG TIDAK SHALAT


Pertanyaan.

Syaikh Shalih bin Fauzan ditanya : Kami membeli daging dari para jagal, dan kami
tidak mengetahui apakah mereka melakukan shalat ataukah tidak. Namun kami cenderung
menyangka, mereka tidak shalat, karena kami tidak melihat mereka di masjid-masjid yang
berdekatan dengan mereka, sedangkan kami pernah menanyakan kepada mereka tentang
orang yang melakukan penyembelihan itu, dan mereka menjawab : "Kami yang
menyembelih".
33

Bolehkah membeli daging dari mereka, setelah mengira bahwa mereka tidak shalat?
Berilah fatwa kepada kami. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada Anda.

Jawaban.

Daging yang dijual di pasar-pasar kaum Muslimin dari hewan- hewan yang
disembelih di negara-negara Islam hukum asalnya halal, al-hamdulillah. Dan tidak perlu
ditanyakan tentangnya, selama belum jelas atau tidak terbukti bahwa daging itu berasal dari
sembelihan yang tidak sesuai syariat.

Nabi n pernah ditanya tentang satu kaum yang baru masuk Islam, mereka
mendatangkan daging ke pasar-pasar kaum Muslimin, dan tidak diketahui apakah mereka
menyebut nama Allah ketika menyembelih ataukah tidak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam memberikan jawaban :

ِ ‫سمُّوا اللَّ َه َعلَ ْي‬


‫ه َو ُكلُو ُه‬ َ

"Hendaklah kalian membaca bismillah dan makanlah". [HR Bukhari, 6/226, dari 'Aisyah].

Maksudnya, bacaan basmalah ketika hendak makan. Sehingga keraguan yang ada
pada benak para penanya tidak memiliki tempat untuk menjadikan daging-daging itu haram,
wallahu a’lam.

Sedangkan kondisi orang-orang yang dipertanyakan yang meremehkan shalat


berjamaah, tidak memastikan hasil sembelihan mereka menjadi haram. Karena
meninggalkan shalat berjamaah, meskipun itu merupakan perbuatan haram (berdosa),
namun perbuatan itu tidak mengeluarkan dari Islam, dan pelakunya tidak dianggap kafir.

[Syaikh Shalih bin Fauzan, dari kitab al Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin
Fauzan, 5/324]

PEREMPUAN MENYEMBELIH
Pertanyaan.

Syaikh Shalih bin Fauzan ditanya : Bolehkah seorang wanita melakukan


penyembelihan binatang, ataukah ini khusus dilakukan oleh kaum lelaki?

Jawaban.

Seorang wanita boleh melakukan penyembelihan dan tidak ada beda antara wanita
dan lelaki dalam masalah ini. Pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ada seorang
perempuan sedang menggembalakan kambing, kemudian seekor serigala menyerang salah
34

satu kambingnya. Kemudian wanita ini mendapatkan kambing yang diserang serigala masih
dalam keadaan hidup, lalu dia menyembelihnya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang hukum memakan dagingnya, (dan)
beliau mengizinkannya. Ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan, bahwa daging
hasil sembelihan seorang wanita itu boleh dikonsumsi dan sama dengan sembelihan kaum
lelaki.

Dan Allah berfirman :

ْ ‫إِال َّ َما َذ َّك ْي ُت‬


‫م‬

"Kecuali apa yang kamu sembelih". [al Maidah : 3].

Ini mencakup orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan; atau Ahli Kitab laki-laki,
ataupun Ahli Kitab perempuan, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla.

ُُّ ‫ح‬
ْ ‫ل لَّ ُه‬
‫م‬ ْ ‫ُم َوطَ َعا ُمك‬
ِ ‫ُم‬ ُُّ ‫ح‬
ْ ‫ل لَّك‬ ِ ‫اب‬ ِ ‫ين ُأو ُتوا ا ْل‬
َ ‫ك َت‬ َ ‫َوطَ َعا ُم الَّ ِذ‬

"Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal pula bagi mereka". [al Maidah : 5].

Sama saja, baik yang melakukan penyembelihan itu kaum lelaki mereka ataupun
wanita; bagitu juga kaum muslimin. Wallahu a'lam.

[Syaikh Shalih bin Fauzan, dari kitab al Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin
Fauzan, 5/325]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183, Telp. 0271-761016]

&&&&&&&&&&&&
Rabu, 25 Nopember 2009 17:29:29 WIB

KEISTIMEWAAN AIR ZAM-ZAM


Oleh
Ustadz Mu'tashim

Air Zam-Zam bukanlah air yang asing bagi kaum Muslimin. Air ini mempunyai
keutamaan yang sangat banyak. Rasulullah telah menjelaskan kegunaan air tersebut. Beliau
bersabda,"Sebaik-baik air yang ada di muka bumi adalah Zam-Zam. Di dalamnya terdapat
makanan yang mengenyangkan dan penawar penyakit."[1] Apa rahasia dibalik air yang
banyak memiliki khasiat dan penuh barakah ini?
35

MAKNA ZAM-ZAM

Kata Zam-Zam dalam bahasa Arab berarti, yang banyak atau melimpah [2]. Adapun
air Zam-Zam yang dimaksud oleh syari'at, yaitu air yang berasal dari sumur Zam-Zam.
Letaknya dengan Ka'bah, berjarak sekitar 38 hasta.

Dinamakan Zam-Zam, sesuai dengan artinya, karena memang air dari sumur tersebut
sangat banyak dan berlimpah. Tidak habis walau sudah diambil dan dibawa setiap harinya
ke seluruh penjuru dunia oleh kaum Muslimin.

Dinamakan dengan Zam-Zam, bisa juga diambil dari perbuatan Hajar. Ketika air Zam-
Zam terpancar, ia segera mengumpulkan dan membendungnya. Atau diambil dari galian
Malaikat Jibril dan perkataannya, ketika ia berkata kepada Hajar.

Disebutkan juga, bahwa nama Zam-Zam adalah 'alam, atau nama asal yang berdiri
sendiri, bukan berasal dari kalimat atau kata lain. Atau juga diambil dari suara air Zam-Zam
tersebut, karena zamzamatul ma` adalah, suara air itu sendiri.[3]

Nama lain Zam-Zam, sebagaimana telah diketahui, antara lain ia disebut barrah
(kebaikan), madhmunah (yang berharga), taktumu (yang tersembunyi), hazmah Jibril (galian
Jibril), syifa` suqim (obat penyakit), tha'amu tu'im (makanan), syarabul abrar (minuman
orang-orang baik), thayyibah (yang baik) [4].

SEJARAH MUNCULNYA ZAM-ZAM

Disebutkan oleh Imam al Bukhari dalam Shahih-nya, dari hadits Ibnu 'Abbas. Suatu
saat, ketika berada di Mekkah, Nabi Ibrahim menempatkan istrinya Hajar dan anaknya
Ismail di sekitar Ka`bah, di suatu pohon besar yang berada di atas sumur Zam-Zam. Waktu
itu, tidak ada seorangpun di Mekkah, melainkan mereka bertiga. Setelah Nabi Ibrahim
Alaihissalam meletakkan kantong berisi kurma dan air, iapun beranjak pergi. Namun Hajar
mengikutinya seraya mengatakan,”Wahai Ibrahim, kemanakah engkau akan pergi dengan
meninggalkan kami sendiri di tempat yang tiada manusia lain, atau yang lainnya?"

Pertanyaan itu ia ulangi terus, tetapi Nabi Ibrahim tidak menengok kepadanya.
Sampai akhirnya Hajar berseru kepadanya,”Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan hal
ini?”

“Ya,” jawab Nabi Ibrahim.

"Kalau begitu, Allah tidak akan menyengsarakan kami,” seru Hajar. Kemudian kembalilah
Hajar ke tempatnya, dan Nabi Ibrahim terus melanjutkan perjalanannya.

Sesampainya di Tsaniyah -jalan bebukitan, arah jalan ke Kada`. Rasulullah ketika


memasuki Mekkah juga melewati jalan tersebut- dan keluarganya tidak dapat melihatnya
lagi, Nabi Ibrahim q menghadap ke arah Baitullah, lalu mengangkat kedua tangannya seraya
berdoa : "Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di
36

lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang
dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka
jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan beri rizkilah mereka dari
buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur" [Ibrahim/14 : 37]

Ibunda Ismail menyusui anaknya dan meminum dari kantong air tersebut. Hingga
akhirnya air itupun habis, dan anaknya kehausan. Dia melihat anaknya dengan penuh
cemas, karena terus menangis. Dia pun pergi untuk mencari sumber air, karena tidak tega
melihat anaknya kehausan.

Pergilah dia menuju bukit terdekat, yaitu bukit Shafa, dan berdiri di atasnya.
Pandangannya diarahkan ke lembah di sekelilingnya, barangkali ada orang disana. Akan
tetapi, ternyata tidak ada.

Dia pun turun melewati lembah sampai ke bukit Marwa. Berdiri di atasnya dan
memandang barangkali ada manusia di sana? Tetapi, ternyata tidak juga. Dia lakukan
demikian itu hingga tujuh kali.

Ketika berada di atas bukit Marwa, dia mendengar ada suara, dia berkata kepada
dirinya sendiri, "Diam!" Setelah diperhatikannya ternyata memang benar dia mendengar
suara, kemudian dia pun berkata, "Aku telah mendengar, apakah di sana ada pertolongan?"

Tiba-tiba dia melihat Malaikat Jibril, yang mengais tanah dengan kakinya (atau
dengan sayapnya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang lain), kemudian
memukulkan kakinya di atasnya. Maka keluarlah darinya pancaran air.

Hajar pun bergegas mengambil dan menampungnya. Diciduknya air itu dengan
tangannya dan memasukkannya ke dalam tempat air. Setelah diciduk, air tersebut justru
semakin memancar. Dia pun minum air tersebut dan juga memberikan kepada putranya,
Ismail. Lalu Malaikat Jibril berkata kepadanya, "Jangan takut terlantar. Sesungguhnya, di
sinilah Baitullah yang akan dibangun oleh anak ini (Ismail) bersama ayahnya. Dan
sesungguhnya, Allah tidak akan menelantarkan hambanya."

Beberapa waktu kemudian, datanglah orang-orang dari kabilah Jurhum turun di


lembah Makkah. Mereka turun karena melihat burung -burung yang berputar-putar.
Mereka berkata,"Burung ini berputar-putar di sekitar air. Kami yakin di lembah ini ada air,"
lalu mereka mengirim utusan, dan ternyata benar mereka mendapatkan air. Utusan itupun
kembali dan memberitahukan kepada orang-orang yang mengutusnya tentang adanya air.
Merekapun kemudian mendatanginya, dan meminta izin dari Ummu Ismail, bahwa mereka
akan mampir ke sana. Ummu Ismailpun mempersilahkan dengan syarat, bahwa mereka
tidak berhak memiliki (sumber) air tersebut, dan kabilah Jurhum inipun setuju [6].

PENEMUAN KEMBALI AIR ZAM-ZAM

Ketika Abdul Muthalib sedang tidur di Hijr Ismail, dia mendengar suara yang
menyuruhnya menggali tanah.
37

"Galilah thayyibah (yang baik)!" "Yang baik yang mana?" tanyanya.

Esoknya, ketika tidur di tempat yang sama, dia mendengar lagi suara yang sama,
menyuruhnya menggali barrah (yang baik)?"

Dia bertanya, "Benda yang baik yang mana?" Lalu dia pergi.

Keesokan harinya, ketika tidur di tempat yang sama di Hijr Ismail, dia mendengar lagi
suara yang sama, menyuruhnya menggali madhmunah (sesuatu yang berharga).

Dia bertanya," Benda yang baik yang mana?"

Akhirnya pada hari yang keempat dikatakan kepadanya : "Galilah Zam-Zam!"

Dia bertanya,"Apa itu Zam-Zam?"

Dia mendapat jawaban : "Air yang tidak kering dan tidak meluap, yang dengannya engkau
memberi minum para haji. Dia terletak di antara tahi binatang dan darah. Berada di patukan
gagak yang hitam, berada di sarang semut".

Sesaat Abdul Muthalib bingung dengan tempatnya tersebut, sampai akhirnya ada kejelasan
dengan melihat kejadian yang diisyaratkan kepadanya. Kemudian iapun bergegas
menggalinya.

Orang-orang Quraisy bertanya kepadanya,"Apa yang engkau kerjakan, hai Abdul Muthalib?

Dia menjawab,"Aku diperintahkan menggali Zam-Zam," sampai akhirnya ia beserta anaknya,


Harits mendapatkan apa yang diisyaratkan dalam mimpinya, menggali kembali sumur Zam-
Zam yang telah lama dikubur dengan sengaja oleh suku Jurhum, tatkala mereka terusir dari
kota Mekkah.[6]

KEUTAMAAN DAN KHASIAT AIR ZAM-ZAM

Dari penjelasan Rasulullah dan para ulama dapat diketahui, bahwa air Zam-Zam
memiliki barakah dan keutamaan. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan air
Zam-Zam dapat disebutkan sebagai berikut.

‫ب لَ ُه ( أخرجه‬ ُ َ‫ما‬
َ ‫ش ِر‬ ِ ‫مل‬ َ َّ‫سل‬
َ ‫ َما ُء َز ْم َز‬:-‫م‬ ِ ‫هللا َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ ُ ‫صلَّى‬
َ - ِ‫ل هللا‬
ُ ‫س ْو‬ َ ‫اس َقا‬
ُ ‫ل َر‬ ٍ َّ‫ن َعب‬
ِ ‫جابِ ٍر َوا ْب‬
َ ‫ن‬
ْ ‫َع‬
)‫أحمد وابن ماجه‬

"Dari Jabir dan Ibnu 'Abbas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Air Zam-Zam,
tergantung niat orang yang meminumnya."[7]

Ibnu Taimiyyah berkata,”Seseorang disunnahkan untuk meminum air Zam-Zam


sampai benar-benar kenyang, dan berdoa ketika meminumnya dengan doa-doa yang
dikehendakinya. Tidak disunnahkan mandi dengannya (menggunakan air Zam-Zam)."[8]
38

‫ب‬
َ ‫ش ِر‬ُ َ‫ما‬ِ ‫مل‬َ ‫م َما ُء َز ْم َز‬ َ َّ‫سل‬
َ ‫ه َو‬ ِ ‫هللا َعلَ ْي‬
ُ ‫ى‬ َّ ‫صل‬ َ ِ ‫ل هللا‬ ُ ‫س ْو‬ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل َقا‬َ َ‫ما قا‬ َ ‫هللا َع ْن ُه‬ُ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫اس َر‬
ٍ َّ‫ن َعب‬ ِ ‫ن ا ْب‬
ِ ‫َو َع‬
‫ك‬ ْ َ‫طعِ ظ‬
َ ِ‫مئ‬ ْ ‫ش ِر ْب َت ُه لِ َق‬ َ ْ‫ك هللا ُ َوإِن‬ َ ‫شبَ َع‬ َ
ْ ‫كأ‬ َ ‫ش ْب ِع‬َ ِ‫ش ِر ْب َت ُه ل‬ َ ْ‫ك هللا ُ َوإِن‬ َ َ‫شفا‬ َ ‫ش ِفي‬ ْ ‫س َت‬ ْ َ‫ش ِر ْب َت ُه ت‬َ ْ‫لَ ُه إِن‬
‫السال َ ُم‬َّ ‫ه‬ ‫ي‬َ ‫ل‬‫ع‬ ‫ل‬
ِ ْ َ َ ِْ َ ْ ‫ي‬ ‫ع‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫إس‬ ِ‫هللا‬ ‫ا‬ ‫ي‬‫ق‬ْ ‫س‬ ‫و‬
َ ُ َ ُ َّ ‫م‬ َ ‫ال‬ ‫الس‬ ‫ه‬ِ ْ َ َ ِ َ ْ ِ ُ َ ْ َ َ ِ َ ُ ‫َقطَ َع ُه‬
‫ي‬َ ‫ل‬‫ع‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫ئ‬ ‫ا‬ ‫ر‬ ‫ب‬‫ج‬ ‫ة‬ ‫م‬‫ز‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫ه‬ ‫و‬ ‫هللا‬
‫رواه الدارقطني والحاكم وقال صحيح اإلسناد‬

"Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anh, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Air
Zam-Zam sesuai dengan niat ketika meminumnya. Bila engkau meminumnya untuk obat,
semoga Allah menyembuhkanmu. Bila engkau meminumnya untuk menghilangkan dahaga,
semoga Allah menghilangkannya. Air Zam-Zam adalah galian Jibril, dan curahan minum dari
Allah kepada Ismail."[9]

ْ ِ‫اع ًة يَ ْعن‬
‫ي‬ َ َّ‫شب‬
َ ‫م ْي َها‬
ِّ ‫س‬
َ ‫ل ُك َّنا ُن‬ُ ‫م ْع ُت ُه يَ ُق ْو‬
ِ ‫س‬ َ ‫ما َقا‬
َ ‫ل‬ َ ‫هللا َع ْن ُه‬
ُ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫اس َر‬
ٍ َّ‫ن َعب‬ ِ ‫ن ا ْب‬
ِ ‫ل َع‬ ْ ِ‫ن أَب‬
ِ ‫ي الط ُّ َف ْي‬ ْ ‫َو َع‬
) ‫ل ( رواه الطبراني في الكبير‬ ْ َ
ِ ‫ن َعلى ال ِعيَا‬ ْ
ُ ‫م ال َع ْو‬َ ‫ها نِ ْع‬َ ‫م َو ُك َّنا نَجِ ُد‬
َ ‫َز ْم َز‬

"Dari Abi Thufail, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Saya mendengar
Rasulullah bersabda,”Kami menyebut air Zam-Zam dengan syuba'ah (yang mengenyangkan).
Dan kami juga mendapatkan, air Zam-Zam adalah sebaik-baik pertolongan (kebutuhan atas
kemiskinanan)". [HR Tabrani] [10]

) ‫ضأَ ( رواه أحمد‬


َّ ‫ب ِم ْن ُه َوتَ َو‬ َ ‫م َف‬
َ ‫ش ِر‬ َ ‫ن َما ِء َز ْم َز‬
ْ ‫ل ِم‬
ّ ٍ ِ‫سج‬ َ َّ‫سل‬
ِ ِ‫م َد َعا ب‬ ِ ‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َ ِ‫ل هللا‬
َ ‫سو‬
ُ ‫إِنَّ َر‬

"Dari Usamah, bahwasanya Rasulullah meminta untuk didatangkan segantang air Zam-Zam,
kemudian beliau meminumnya dan berwudhu dengannya" [HR Ahmad] [11]

‫ حديث‬. ) ‫م‬
,ْ ‫يه‬
ِ ‫س ِق‬
ْ َ‫ضى َوي‬ َ ‫ى ا ْل‬
َ ‫م ْر‬ ُ َ‫ي َوا ْل ِق َربِ َو َكانَ ي‬
َ ‫صبُّ َعل‬ ِ ‫ي األ َ َد‬
ْ ‫او‬ ْ ِ‫م ف‬
َ ‫ل َما َء َز ْم َز‬
ُ ‫م‬
ِ ‫ح‬ْ َ‫َكانَ ي‬
) ‫صحيح‬

"Disebutkan dalam Silsilah Shahihah, adalah Rasululllah membawa air Zam-Zam di dalam
kantong-kantong air (yang terbuat dari kulit). Beliau menuangkan dan membasuhkannya
kepada orang yang sedang sakit".

‫ي‬ َ ‫حا َء َفقَا‬


ُّ ‫ل ال َّن ِب‬ ْ َ‫م ُع ا ْلب‬
َ ‫ط‬ َ ‫ج‬
ْ َ‫ل ت‬
َ ‫عي‬
ِ ‫ما‬ َ ‫س‬ ْ ِ‫م إ‬ ُّ ‫ت ُأ‬ْ َ‫ج َعل‬
َ ‫ه‬ ِ ‫م بِ َع ِق ِب‬َ ‫ض َز ْم َز‬َ ‫ن َر َك‬ ِ ‫السال َ ُم‬
َ ‫ح ْي‬ َّ ِ ‫ل َعلَ ْي‬
‫ه‬ َ ‫ج ْب ِر ْي‬
ِ َّ‫إِن‬
) ‫ ( صحيح‬.‫ت َع ْي ًنا َم ِع ْي ًنا‬ َ َ َ
ْ َ‫ل ل ْو تَ َرك ْت َها كان‬ َ ‫ع ْي‬
ِ ‫ما‬َ ‫س‬
ْ ِ‫م إ‬ ُ ً
َّ ‫جرا َوأ‬ ِ ‫ها‬ َ ‫هللا‬
ُ ‫م‬ َ ‫ح‬ِ ‫ َر‬: ‫م‬ َ َّ‫سل‬ َ ‫ه َو‬ َ
ِ ‫صلَّى هللا ُ َعل ْي‬ َ

Tatkala Jibril memukul Zam-Zam dengan tumit kakinya, Ummi Ismail segera mengumpulkan
luapan air. Nabi berkata,"Semoga Allah merahmati Hajar dan Ummu Ismail. Andai ia
membiarkannya, maka akan menjadi mata air yang menggenangi (seluruh permukaan
tanah)."[12]

‫خ ْي ُر َما ٍء َعلَى‬ َ َّ‫سل‬


َ " :- ‫م‬ ِ ‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ َ - ‫ل هللا‬
ُ ‫س ْو‬ َ ‫ل َقا‬
ُ ‫ل َر‬ َ َ‫ما قا‬ َ ‫هللا َع ْن ُه‬
ُ ‫ي‬ َ ‫ض‬ِ ‫ن َعبَّاسٍ َر‬
ِ ‫ن ا ْب‬ ِ ‫َو َع‬
،"‫ْم‬
‫ق‬ ‫الس‬
ِ َّ ‫ء‬ ‫ا‬ ‫ف‬‫ش‬ِ
ُ َ َ ِ ْ‫و‬ ,
، ‫م‬‫ع‬ َّ ‫ط‬‫ال‬ ‫م‬ ‫ا‬
ُ َ ‫ع‬ َ ‫ط‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬
ْ َ َ ْ َ ُ َ ِ ْ ‫ه‬
ِ ‫ف‬ ،‫م‬ ‫ز‬ ‫م‬‫ز‬ ‫ء‬ ‫ا‬‫م‬ ‫ض‬ ‫ر‬َ ‫أْل‬ ‫ا‬ ِ ‫ج‬
ْ ‫َو‬

"Dari Ibnu 'Abbas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Sebaik-baik air yang
terdapat di muka bumi adalah Zam-Zam. Di dalamnya terdapat makanan yang
mengenyangkan dan penawar penyakit."[13]
39

Abu Dzar al Ghifari berkata,"Selama 30 hari, aku tidak mempunyai makanan kecuali air Zam-
Zam. Aku menjadi gemuk dan lemak perutku menjadi sirna. Aku tidak mendapatkan dalam
hatiku kelemahan lapar."[14]

ِ‫ل هللا‬ ُ ‫م ف ِإَنَّ َر‬


َ ‫س ْو‬ َ ‫ما ِء َز ْم َز‬ َ ِ‫ك ب‬ َ ‫ها َع ْن‬ َ ‫ل أَ ْب ِر ْد‬
َ ‫ى َفقَا‬ َ ‫م‬ُ ‫الح‬
ْ ‫ي‬ َ َ‫ك َة َفأ‬
ْ ِ‫خ َذ ْتن‬ َّ ‫م‬َ ِ‫اس ب‬
ٍ َّ‫ن َعب‬ َ ‫س ا ْب‬
ُ ِ‫جال‬ َ ‫ت ُأ‬
ُ ‫ ُك ْن‬:
(. ‫م‬ ‫ز‬ ‫م‬ ‫ز‬ ِ
‫ء‬
َ َ ْ َ َ ِ َ‫ا‬ ‫م‬ ‫ب‬ ‫ل‬َ ‫ا‬ ‫ق‬ ‫و‬
ْ َ ‫أ‬ ِ
‫ء‬ ‫ا‬ ‫م‬ ْ
‫ل‬ ‫ا‬‫ب‬ ‫ا‬‫ه‬ ‫و‬ ‫د‬ ‫ر‬ ‫ب‬َ ‫أ‬ َ
‫ف‬
َ ِ َ ُ ِ ْ َ َّ َ َ ْ َ ْ ِ ‫م‬‫ن‬ ‫ه‬ ‫ج‬ ِ ‫ح‬ ‫ي‬‫ف‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ى‬ ‫م‬
َ ُ‫ح‬ ْ
‫ل‬ ‫ا‬ ( ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ
‫ق‬ ‫م‬ َّ ‫ل‬‫س‬ ‫و‬
َ َ َ ِ ْ َ ‫ه‬ ‫ي‬َ ‫ل‬‫ع‬ ُ ‫هللا‬ ‫صلَّى‬ َ

"Dari Hammam, dari Abi Jamrah ad-Duba`i, ia berkata : "Aku duduk bersama Ibnu 'Abbas di
Mekkah, tatkala demam menyerangku. Ibnu 'Abbas mengatakan, dinginkanlah dengan air
Zam-Zam, karena Rasulullah mengatakan, sesungguhnya demam adalah dari panas Neraka
Jahannam, maka dinginkanlah dengan air atau air Zam-Zam" [15]

ِ ‫صلَّى هللا َُعلَ ْي‬


‫ه‬ َ ِ‫ل هللا‬ ُ ‫خ ِب ُر أَنَّ َر‬
َ ‫س ْو‬ َ ‫ن َما ِء َز ْم َز‬
ْ ‫م َو ُت‬ ْ ‫ل ِم‬
ُ ‫م‬
ِ ‫ح‬ ْ َ‫ أَنَّ َها َكان‬: ‫هللا َع ْن َها‬
ْ َ‫ت ت‬ ُ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ش َة َر‬َ ِ‫ن َعائ‬ ْ ‫َع‬
‫م ُل ُه‬
ِ ‫ح‬ْ َ‫م كاَنَ ي‬َ َّ‫سل‬َ ‫َو‬

Dari 'Aisyah, ia membawa air Zam-Zam. Ia mengkabarkan, sesungguhnya dahulu Rasulullah


membawanya (sebagai bekal-Pen.).[16]

Ibnul Qayyim berkata,"Aku dan selain diriku telah megalami perkara yang ajaib
tatkala berobat dengan air Zam-Zam. Dengan izin Allah, aku telah sembuh dari beberapa
penyakit yang menimpaku. Aku juga menyaksikan seseorang yang telah menjadikan air Zam-
Zam sebagai makanan selama beberapa hari, sekitar setengah bulan atau lebih. Ia tidak
mendapatkan rasa lapar, ia melaksanakan thawaf sebagaimana manusia yang lain. Ia telah
memberitahukan kepadaku bahwa, ia terkadang seperti itu selama empat puluh hari. Ia juga
mempunyai kekuatan untuk berjima', berpuasa dan melaksanakan thawaf ".[17]

Beliau rahimahullah berkata,"Ketika berada di Mekkah, aku mengalami sakit dan


tidak ada tabib dan obat (yang dapat menyembuhkannya). Akupun mengobatinya dengan
meminum air Zam-Zam dan membacakan atasnya berulangkali (dengan al Fatihah),
kemudian aku meminumnya. Aku mendapatkan kesembuhan yang sempurna. Akupun
menjadikannya untuk bersandar ketika mengalami rasa sakit, aku benar-benar banyak
mengambil manfaat darinya."[18]
Demikian penjelasan singkat tentang air Zam-Zam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah memberitahukan kepada kita dan membenarkan khasiat dan keutamaan air
yang tak pernah kering tersebut, meskipun setiap hari diambil oleh banyak manusia. Dengan
mengetahui secara sepintas air Zam-Zam ini, maka hendaknya dapat meningkatkan dan
memperkuat sandaran dan ketergantungan kita kepada Allah. Dia-lah yang Maha Penguasa
mengatur segala yang Ia kehendaki.

Wallahu a'lam.

Sumber Bacaan :

- Shahihul-Bukhari, 3/1190, Cet Daar Ibnu Katsir, al Yamamah, Beirut.


- Fat-hul Bari, 6/402, Cetakan tahun 1379, Darul Ma`rifah, Beirut.
- Shahih Muslim, 4/1919, Cetakan Dar Ihya Turats Arabi, Beirut.
- Syarh Nawawi 'ala Muslim, 8/194, Cetakan Dar Ihya` Turats al Arabi, Beirut.
- Sunan Tirmidzi, 3/295, Cetakan Dar Ihya` Turats al Arabi, Beirut.
40

- Bidayah wan-Nihayah, Ibnul Katsir, 2/244-245, Cetakan Maktabah al Ma`arif, Beirut.


- Musnad Ahmad, Cetakan Muassasah al Qurtubah, Mesir, halaman 1/291.
- Zaadul Maad, Cetakan Muassasah ar Risalah, Beirut, 4/162.
- Shahih Sirah Nabawiyah, al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Beirut.
- Shahih Targhib wa Tarhib, al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Urdun, Beirut
- Irwa-ul Ghalil, al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Beirut.
- Mukhtashar Irwa`, al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Beirut.
- Manasik Haji wal Umrah, al Albani, Cetakan al Maktabah Islamiyah, Beirut.
- Al Mutli` 'ala Abwabul-Fiqh, al Bali, Cetakan Maktab al Islami, Beirut, halaman 1/200.
- Kementerian Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan Saudi Arabia, internet.
www.al-islam.com
- Kamus al Munawir, Edisi II, Cetakan Pustaka Progessif.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
_________

Footnotes

[1]. Hadits hasan. Lihat Shahih Targhib wa Tarhib, Syaikh al Albani, 2/18.
[2]. Lihat Nihayah, Ibnul Atsir, 5/605, 2/779; al Mutli` 'ala Abwabul-Fiqh, Abu Fath al Ba'li,
halaman 200; kamus al Munawir, 583.
[3]. Lihat Ibnul Atsir, 2/779; al Mutli` 'ala Abwabul-Fiqh, Abu Fath al Ba'li, 1/200; Syarh
Nawawi ala Muslim, 8/194.
[4]. Lihat al Mutli` 'ala Abwabul-Fiqh, Abu Fath al Ba'li, 1/200.
[5]. Lihat Fat-hul Bari, 6/402; Shahih Sirah Nabawiyah, al Albani, 40, Kementerian Urusan
Keislaman, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan Saudi Arabia, www.al-islam.com.
[6]. Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir, 2/244-245.
[7]. Hadits shahih. Lihat Irwa-ul Ghalil, al Albani, 1/218.
[8]. Lihat Hajjatun-Nabi, al Albani, 1/117.
[9]. Hadits hasan li ghairihi. Lihat Shahih Targhib wa Tarhib, al Albani, 2/19.
[10]. Lihat Shahih Targhib wa Tarhib, al Albani, 2/19
[11]. Hadits hasan. Lihat Mukhtasar Irwa-ul Ghalil, al Albani, 1/3.
[12]. Silsilah Shahihah, 4/232.
[13]. Hadits hasan. Lihat Shahih Targhib wa Tarhib, al Albani, 2/18.
[14]. Lihat Shahih Muslim, 4/1919, Cetakan Dar Ihya Turats Arabi, Beirut. Lihat Shahih Sirah
Nabawiyah, al Albani, 129.
[15]. Lihat Shahihul-Bukhari, 3/1190, Cetakan Dar Ibnu Katsir, al Yamamah, Beirut. Dalam
riwayat yang sama terdapat dalam Musnad Ahmad. Shuaib al Arnauth mengatakan, bahwa
sanadnya shahih sesuai dengan syarat shahihain. Lihat Musnad Ahmad, halaman 1/291,
Cetakan Muassasah al Qurtubah, Mesir.
[16]. Hadist hasan, sebagaimana yang dikatakan oleh Tirmidzi, dan dishahihkan oleh al
Albani. Lihat Sunan Tirmidzi, 3/295, Cetakan Dar Ihya` Turast al Arabi, Beirut.
[17]. Lihat Zaadul Maad, 3/192, Cetakan al Misriyah.
[18]. Lihat Zaadul Maad, 4/162, Cetakan Muassasah ar-Risalah, Beirut.
41

&&&&&&&&&&&&&&

Selasa, 13 Mei 2008 10:03:14 WIB

MACAM-MACAM WALIMAH, APAKAH


MAKANAN ACARA BID’AH HARAM?
Oleh
Redaksi Majalas As-Sunnah

Pertanyaan.

1. Di masyarakat, banyak pelaksanaan walimah. Ada walimah haji, walimah khitan,


walimah (wanita) hamil (7 bulan) dan lain-lain. Tolong sebutkan yang lain!

2. Tolong jelaskan walimah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah dan yang tidak!
42

3. Tolong jelaskan masalah pelaksanaan tahlilan (pesta kematian). Bagaimana hukum


makanan tersebut, halal ataukah haram?

Jawaban

1). Walimah, adalah setiap makanan yang dibuat karena acara pernikahan atau
lainnya.

Imam Syafi’i dan sahabat-sahabat beliau menyatakan, bahwa walimah setiap


undangan (makan) diadakan, disebabkan karena adanya kejadian yang menyenangkan, baik
pernikahan atau lainnya. Namun yang masyhur, jika disebut walimah saja, maka yang
dimaksud adalah walimah pernikahan. Adapun untuk lainnya, disebutkan dengan secara
khusus, seperti walimah khitan atau lainnya. [1]

Tentang macam-macam walimah (undangan makan) secara rinci, antara lain


dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fat-hul Bari Syarh Shahih
Bukhari. [2] Beliau menyatakan bahwa An Nawawi rahimahullah, yang mengikuti Al Qadhi
‘Iyaadh rahimahullah, menyebutkan walimah itu ada 8 macam:

a). Al-I’dzaar atau al ‘udzrah, yaitu walimah karena khitan.


b). A- ‘Aqiiqah, walimah karena kelahiran (gembira terhadap bayi).
c). Al-Khurs atau al khur-sh, walimah karena keselamatan seorang wanita dari
perceraian. Ada yang menyatakan, al khurs adalah walimah karena kelahiran.
d). Al-‘Aqiiqah, walimah kelahiran khusus hari ke tujuh.
e). An naqii’ah, walimah karena kepulangan orang yang bepergian. Ada yang
menyatakan, an naqii’ah adalah walimah yang dibuat oleh orang yang datang (dari
safar). Sedangkan walimah yang dibuatkan untuknya dinamakan at tuhfah.
f). Al-Wadhiimah, walimah di saat musibah.
g). Al-Ma’dubah atau al ma’dabah, walimah yang diadakan tanpa sebab. Jika al
aa’dubah ini diadakan untuk orang-orang yang ditentukan, maka dinamakan an
aaqaraa, jika untuk umum, dinamakan al jafalaa.
h). Walimah, undangan makan karena pernikahan. Ada yang menyatakan, walimah
adalah undangan makan setelah dukhul (pengantin baru menggauli isterinya).
Adapun undangan makan imlaak (ijab-qabul, acara pernikahan) dinamakan asy
syundukh atau asy syundakh. (Kemudian Al Hafizh menambahkan jenis walimah
lainnya, yaitu:)
i). Al-Hidzaaq, undangan makan yang dibuat di saat anak kecil pintar (ahli). Ibnur Rif’ah
mengatakan: “Al-Hidzaaq adalah undangan makan yang dibuat karena khatm
(penutupan), yaitu khatm Al Qur’an”. Begitu dia mengkhususkan. Dan dimungkinkan
khatm (penutupan) apa yang dia niatkan. Juga dimungkinkan, hal itu umum pada
keahlian anak untuk tiap-tiap pekerjaan.

Itulah keterangan yang ada dari para ulama tentang jenis-jenis walimah (undangan
makan). Adapun yang antum sebutkan, yaitu:
43

- Walimah haji, jika itu dilakukan setelah pulangnya, maka termasuk An-Naqii’ah atau
At-Tuhfah. Jika itu dilakukan sebelum keberangkatannya, maka mungkin termasuk al
ma’dubah. Tetapi kami tidak mengetahui kebiasaan ini dilakukan oleh Salafush Shalih.

- Walimah kehamilan 7 bulan. Hal seperti ini tidak boleh dilakukan, karena termasuk
kebiasaan orang-orang jahiliyah. Dan biasanya disertai dengan kepercayaan dan perbuatan
syirik.

2). Tolong jelaskan walimah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah dan yang tidak!

Jawaban.

Walimah-walimah yang disebutkan oleh para ulama di atas, hukum asalnya adalah
mubah, karena walimah termasuk urusan keduniaan. Yaitu urusan yang biasa dilakukan oleh
manusia karena bermanfaat di dunia ini. Karena hukumnya mubah, maka jangan sampai
dianggap sunnah, apalagi wajib, sehingga orang yang meninggalkannya dicela. Atau
menganggapnya makruh atau haram, sehingga orang yang melakukannya dicela. Kecuali
walimah yang diperintahkan atau dianjurkan oleh agama, sehingga menjadi ibadah wajib
atau mustahab. Atau walimah yang dilarang, sehingga manjadi haram atau makruh.

Diantara walimah-walimah di atas, yang diperintahkan atau dianjurkan oleh syari’at


yaitu : Walimatul ‘Ursy (walimah pernikahan) dan Walimah Aqiqah pada hari ke tujuh
kelahiran bayi. Dalilnya sebagai berikut:

Ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui Abdurrahman bin


‘Auf telah menikah, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

ْ ِ‫أَ ْول‬
َ ِ‫م َولَ ْو ب‬
‫شا ٍة‬

"Buatlah walaupun walimah dengan seekor kambing" [HR Bukhari, no. 5.167]

Tentang walimah aqiqah, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫مى‬
َّ ‫س‬ ُ َ‫حل‬
َ ‫ق َو ُي‬ ْ ‫ه َو ُي‬
ِ ‫سابِ ِع‬
َ ‫م‬
َ ‫ح َع ْن ُه َي ْو‬
ُ َ‫ه ُتذْ ب‬
ِ ‫ة بِ َع ِقي َق ِت‬ ِ ‫ل ُغاَل ٍم َر‬
ٌ ‫هي َن‬ ُّ ‫ُك‬

"Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) darinya pada hari
ketujuh (dari kelahirannya), dicukur, dan diberi nama" [HR Abu Dauwd, no. 2.838; Tirmidzi,
no. 1.522; Ibnu Majah, no. 3.165; Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani]

Diantara walimah-walimah di atas yang dilarang syari’at, yaitu Al-Wadhiimah


(walimah saat tertimpa musibah). Misalnya, seperti selamatan kematian yang dilakukan oleh
banyak umat Islam.

ِ ِ‫ص ْن َع َة الطَّ َعا ِم (بَ ْع َد َد ْفن‬


)‫ه‬ َ ‫ت َو‬ َ ‫ل ا ْل‬
ِ ّ ‫م ِي‬ ْ َ‫ع إِلَى أ‬
ِ ‫ه‬ َ ‫ما‬
َ ِ‫جت‬ َ ‫ي َقا‬
ْ ‫ل ُك َّنا نَ َرى ااِل‬ َ َ‫ه ا ْلب‬
ِ ّ ِ‫جل‬ ِ َّ‫ن َع ْب ِد الل‬
ِ ‫ير ْب‬
ِ ‫ج ِر‬ َ ‫ن‬ ْ ‫َع‬
‫ة‬
ِ ‫ح‬َ َّ ‫ن‬
‫ا‬ ‫ي‬‫ن‬
ِ ‫ال‬ ْ ‫ِم‬
44

"Dari Jarir bin Abdullah Al Bajali, dia berkata : “Kami -yakni para sahabat- memandang,
berkumpul di tempat keluarga mayit dan pembuatan makanan (setelah penguburan mayit)
termasuk meratap”. [Riwayat Ibnu Majah, no. 1.612; dalam kurung tambahan riwayat
Ahmad. Lihat Hukum Tahlilan, tulisan Ustadz Abdul Hakim bin Amir ‘Abdat]

Syaikh Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlaan berkata: “Wadhiimah, yaitu makanan
kumpulan orang-orang kesusahan (yakni walimah saat musibah) tidak disyari’atkan dan
tidak disukai” [3].

Demikian juga Walimah Khitan, sebaiknya ditinggalkan. Al Hafizh Ibnu Hajar


berkata,”Dalam Musnad Ahmad, dari hadits Utsman bin Abul ‘Ash, tentang walimah khitan
(dinyatakan), ‘tidak pernah diundang untuknya (walimah khitan)’.” [4].

3). Tolong jelaskan masalah pelaksanaan tahlilan (pesta kematian). Bagaimana hukum
makanan tersebut, halal ataukah haram?

Jawaban.

Tentang tahlilan (pesta kematian) telah terjawab di atas. Hal itu termasuk bid’ah dan
maksiat. Adapun makanannya, jika berupa daging, maka sebaiknya ditinggalkan. Karena,
dikhawatirkan termasuk binatang yang disembelih untuk selain Allah. Adapun selain
dagingnya, maka halal. Namun bagi orang yang mengetahui dan melihat kemungkaran, dia
wajib untuk mengingkari dan menjelasakannya, agar tidak disangka bahwa diamnya dan
pengambilannya itu merupakan dalil tentang bolehnya kegiatan tersebut.

Mirip dengan ini, yaitu makanan atau benda yang dijadikan sesaji untuk berhala.
Syaikh Muhammad Hamid Al Fiqi rahimahullah mengatakan:

“Dan demikian juga setiap makanan, minuman, atau lainnya yang disebut nama
(Allah), karena untuk nadzar atau qurbah (mendekatkan diri, yaitu sesaji) untuk selain Allah
(hukumnya sama dengan binatang yang disembelih untuk selain Allah). Maka seluruh
makanan yang dibuat untuk dibagikan kepada orang-orang yang i’tikaf (semedi, tirakat) di
dekat kubur-kubur atau thaghut-thaghut, atas namanya atau berkatnya, itu termasuk
kategori yang disembelih untuk selain Allah”.

Menanggapi pernyataan Syaikh Muhammad Hamid Al Fiqi rahimahullah, maka


Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah memberikan komentar :

“Dalam masalah ini terdapat perincian. Jika yang dimaksudkan dengan hal itu, bahwa
perbuatan itu termasuk syirik, karena itu merupakan ibadah dan qurbah untuk selain Allah,
maka ini benar.… Adapun jika maksud Syaikh Hamid bahwa uang, makanan, minuman,
hewan hidup yang disajikan oleh pemiliknya untuk para nabi, para wali dan selain mereka,
haram diambil dan dimanfaatkan, maka ini tidak benar. Karena itu merupakan harta yang
dapat dimanfaatkan.

Pemiliknya sudah tidak menyukainya, dan itu tidak masuk pada hukum bangkai,
maka pastilah itu mubah bagi orang yang mengambilnya. Sebagaimana seluruh harta-harta
45

yang ditinggalkan oleh pemiliknya bagi orang yang menghendakinya. Seperti tangkai-tangkai
(gandum, padi) yang ditinggalkan oleh para petani atau kurma yang ditinggalkan oleh para
pemanennya untuk orang-orang miskin.

Dibolehkannya hal itu dengan dalil, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengambil harta-harta simpanan pada (berhala) Laata dan menggunakannya untuk
membayar hutang ‘Urwah bin Mas’ud Ats Tsaqafi. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
memandang harta itu dipersembahkan untuk Laata sebagai halangan dari mengambilnya
ketika berkuasa terhadapnya. Namun merupakan kewajiban bagi orang yang melihat orang
-dari kalangan orang-orang yang bodoh dan orang-orang musyrik- yang melakukannya
untuk mengingkarinya dan menjelaskan kepadanya bahwa hal itu termasuk syirik. Sehingga
tidak disangka bahwa diamnya dari pengingkaran dan pengambilannya dari barang itu –jika
dia mengambil sesuatu darinya- merupakan dalil tentang kebolehannya. dan bolehnya
taqarrub dengannya kepada selain Allah. Dan karena syirik merupakan sebesar-besarnya
kemungkaran, maka wajib mengingkari terhadap orang yang melakukannya.

Tetapi, jika makanan itu terbuat dari daging-daging sembelihan orang-orang musyrik,
atau dari lemaknya, atau kuahnya, maka itu haram. Karena penyembelihan mereka
termasuk hukum bangkai, sehingga daging-daging itu haram, dan makanan yang bercampur
dengannya menjadi najis. Berbeda dengan roti dan semacamnya, selama tidak tercampuri
sesuatu dari sembelihan orang-orang musyrik, maka itu halal bagi orang yang
mengambilnya. Demikian juga uang dan semacamnya, sebagaimana telah terdahulu.

Wallahu a’lam”. [5]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus /Tahun VIII/1427H/2006M. Rubrik Soa-Jawab,
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

_________

Footnotes

[1]. Lihat Fat-hul Bari (9/290), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Cet. 1, Th. 1419 H / 1998 M.
Kitab Nikah, Bab Haq Ijabatil Walimah Wad Da’wah
[2]. Lihat Fat-hul Bari (9/290-292), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Cet. 1, Th. 1419 H / 1998 M.
Kitab Nikah, Bab Haq Ijabatil Walimah Wad Da’wah.
[3]. Catatan kaki kitab Fiqhuz Zawaaj, hlm. 79
[4]. Lihat Fat-hul Bari, (9/291), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Cet. 1, Th. 1419 H / 1998 M.
Kitab Nikah, Bab Haq Ijabatil Walimah Wad Da’wah.
[5]. Catatan kaki kitab Fat-hul Majid Syarh Kitab At Tauhid, Bab : Keterangan yang datang
tentang penyembelihan untuk selain Allah, hlm. 128, Penerbit Daar Ibni Hazm, Cet. 1, Th.
1420 H / 1999 M.

&&&&&&&&&&&
46

Selasa, 18 September 2007 08:02:09 WIB

KURMA SERING DIGUNAKAN SEBAGAI SIMBOL


KEBAIKAN DALAM ISLAM
Oleh
Abu Zubair Zaki Rakhmawan

[a]. Kurma Sering Digunakan Sebagai Simbol Kebaikan Dalam Islam


Kurma adalah termasuk kebutuhan pangan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Arab
sebagai makanan pokok, oleh karena itu kurma termasuk bahan makanan untuk zakat
fitrah.

Sebagaimana hadits.
47

“Artinya : (Kategori makanan yang termasuk) zakat itu ada empat macam, tepung gandum,
terigu, kismis, dan kurma kering” [1]

Sedangkan kurma sebagai gambaran dari kebaikan terkandung dalam hadits berikut ini.

Dari Al-Mundzir bin Jarir, dari ayahnya,ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada permulaan siang yang terik”. Lalu ia melanjutkan : ‘Lalu
datanglah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu kaum dalam keadaan tidak
beralas kaki, tidak memakai baju, hanya memakai kain selimut (yang nampak dari yang
memakainya hanya bagian kepala saja), atau mantel dari karung sambil menyandang
pedang, kebanyakan mereka dari kabilah Mudhar, bahkan semuanya dari Mudhar. Melihat
kondisi demikian, wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah (karena merasa
iba) melihat kefakiran yang menimpa mereka. Beliau masuk dan keluar kembali, kemudian
menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan dan iqamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam melaksanakan shalat kemudian diikuti dengan khutbah, beliau bersabda : “ Wahai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari seroang
diri… hingga akhir ayat …. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu” (An-Nisaa
: 1) (Juga membaca ayat dalam surat Al-Hasyr), “Wahai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) ; dan bertakwalah kepada Allah..” [Al-Hasyr : 18]

Beliau melanjutkan,’Ada seseorang bershadaqah dari dinarnya, dirhamnya,


pakaiannya, dari satu sha gandumnya, satu sha kurma (sampai beliau mengatakan) …
walaupun hanya dengan sebutir kurma kering”.

Perawi berkata : “Kemudian seorang laki-laki dari kaum Anshar membawa sekantung
penuh kurma, hampir-hampir telapak tangannya tidak kuat untuk membawanya, bahkan
benar-benar lemah, maka hal ini diikuti silih berganti oleh banyak orang. Aku pun melihat
raut wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergembira seakan-akan berbinar cerah
sekali, kemudian beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang mencontohkan suatu sunnah dalam
Islam dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala sunnah tersebut dan pahala orang
yang mengamalkannya sesudahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan
barangsiapa mencontohkan suatu sunnah dalam Islam dengan sunnah yang buruk, maka
dosanya akan ditanggungnya dan juga dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa
mengurangi dosa mereka sedikitpun”[2]

Hadits tersebut menurut Imam An-Nawawy dalam Syarh Shahih Muslim [3]
berkaitan dengan hadits yang lain.

“Artinya : Barangsiapa yang mengajak kepda petunjuk, maka baginya ada pahala
yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari
pahala-pahala mereka. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan maka baginya
dosa yang sama dengan dosa orang-orang yang mengikutinya tidak dikurangi sedikitpun pun
dosa mereka dari dosa-dosanya” [4]
48

Hadits tersebut adalah nash (dalil) yang sangat jelas kepada anjuran untuk
memberikan contoh yang terpuji (baik) dan peringatan sekaligus larangan untuk membuat
contoh yang jelek, dan hal ini berlaku hingga Kiamat kelak.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani memberikan keterangan tentang hadits


tersebut : “Maksud dari hadits-hadits tersebut, yaitu kalimat : ‘Man sanna fil Islam,’ adalah
orang yang membuka jalan kepada kaum muslimin dengan mengajak mereka kepada
sunnah yang baik, maksudnya adalah dien (agama), inilah makna shahih yang menjadi
maksud secara bahasa dan makna hadits tersebut.

Sedangkan orang yang menafsirkan dengan pendapat : “Man ibtada’a fil Islam
bid’atan hasanatan’ barangsiapa yang mekakukan bid’ah dalam Islam berupa bid’ah
hasanah (bid’ah yang baik)”. Adalah pendapat orang-orang belakangan yang bathil. Karena
hal itu bertentangan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Dan setiap kesesatan itu tempatnya di Neraka” [Mukhtashar Shahih


Muslim no, 410]

Penafsiran (bathil) tersebut adalah penyandaran yang tercela atas nama Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari segi makna.

Setiap apa yang dikerjakan oleh kaum Anshar dalam hadits tersebut adalah memulai
shadaqah dan itu termasuk perkara yang telah disyariatkan sebelumnya dengan dalil-dalil
nash (yang jelas). Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menceritakan
kisahnya kaum Anshar tersebut, maka manakah perbuatan kaum Anshar yang termasuk
bid’ah? Sampai-sampai dikatakan bahwa itu termasuk perbuatan bid’ah hasanah? Dan
apakah hadits ini mendorong untuk melakukan bid’ah hasanah? [5]

[b] Lafazh Kurma Tercantum Dalam Hadits Kematian Orang-Orang Shalih, Sebagai Bagian
Dari Tanda-Tanda Akhir Zaman
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Orang-orang yang shalih akan meninggal (terlebih dahulu), satu demi satu,
kemudian yang tertinggal hanyalah orang rendahan lagi hina, seperti ampas gandum dan
kurma. Allah tidak akan mempedulikan mereka sama sekali”[6]

[c]. Lafazh Kurma Tercantum Dalam Hadits Yang Berkaitan Dengan Anjuran Untuk
Senantiasa Membaca Al-Qur’an

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Perumpamaan seorang mukmin yang sedang membaca Al-Qur’an adalah seperti
utrujah (lemon), baunya harum dan rasanya enak, sedangkan perimpamaan seorang
mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti sebutir kurma, tidak ada baunya dan
rasanya manis. Perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur’an adalah seperti daun
kemangi, baunya wangi namun rasanya pahit, sedangkan perumpamaan orang munafik
49

yang tidak membaca Al-Qur’an adalah seperti buah labu pahit (sejenis pare) yang tidak ada
baunya dan rasanyapun pahit” [7]

Imam An-Naway menjelaskan maksud hadits tersebut sebagai anjuran tentang


keutamaan membaca Al-Qur’an dan perumpamaan yang digunakan untuk mejelaskan
tujuan hadits tersebut. [8]

[d]. Lafazh Kurma Tercantum Dalam Hadits Anjuran Untuk Tidak Berbohong Kepada Anak
Kecil

Dari Abdullah bin Amr, ia berkata, ‘Suatu hari ibuku memanggilku, sementara
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk diantara kami, maka ibuku berkata,
‘Kemarilah engkau, aku akan memberikan sesuatu,’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepada ibuku, ‘Apa yang hendak engkau berikan?’ Ibuku berkata, ‘Aku akan
memberikan kurma’. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Jika kamu tidak memberikan kepadanya sesuatu akan dicatat bagimu suatu
kedustaan” [9]

[e]. Lafazh Kurma Tercantum Dalam Hadits Tertawanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Atas Pengakuan Seorang Sahabat Yang Berjima Di Siang Hari Ramadhan.
Hadits tersebut adalah hadits shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

“Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tiba-tiba)
datanglah seorang laki-laki dan berkata, ‘Wahai Rasulullah celakahlah aku’, Beliau bertanya,
‘Ada apa denganmu ? ‘Dia menjawab, ‘Aku telah mencampuri isteriku sementara aku
sedang berpuasa (bulan Ramadhan), ‘Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
‘Apakah engkau mempunyai seorang hamba untuk dimerdekakan?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’
Beliau bertanya, ‘Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?’. Dia
menjawab, ‘Tidak’ Beliau bertanya lagi,’Apakah engkau mempunyai makanan untuk
diberikan kepada 60 orang miskin?’ Dia menjawab, ‘Tidak’. Berkata Abu Hurairah,
“Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiam, maka ketika kami dalam keadaan itu,
didatangkanlah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekeranjang kurma lalu beliau
berkata, ‘Dimana orang yang bertanya tadi?’ Lalu ia menjawab, ‘Aku, wahai Rasulullah’,
Beliau berkata, ‘Ambillah ini, lalu bershadaqahlah dengannya’. Lalu laki-laki tersebut
berkata, ‘Kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada satu
rumah pun dari satu ujung kota ke ujung yang lainnya yang lebih fakir dari keluargaku.
‘Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga kelihatan gigi taringnya, kemudian
belaiu berkata, “Berikanlah makanan itu bagi keluargamu” [10]

[Disalin dengan sedikit penyesuaian dari buku Kupas Tuntas Khasiat Kurma Berdasarkan Al-
Qur’an Al-Karim, As-Sunnah Ash-Shahihah dan Tinjauan Medis Modern, Penulis Zaki
Rahmawan, Pengantar Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Media Tarbiyah –
Bogor, Cetakan Pertama, Dzul Hijjah 1426H]

__________
50

Foote Note

[1]. HR Ad-Daruquthni (no. 201) dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah (no. 879)
[2]. HR Muslim (no. 1017), Syarh Shahih Muslim (VII/104) oleh Imam An-Nawawy Kitabuz
Zakat bab Al-Hatsu ‘ala Shadaqah, cet. Daar Al-Haitsam th. 2003M, At-Tirmidzi (no. 2675),
Ibnu Majah (no. 203), Ad-Darimy (no. 515), Ahmad (IV/357), An-Nasa’i (no. 2553), dan yang
lainnya dari Jabir bin Abdillah.
[3]. Syarh Shahih Muslim (XVI/226) Kitabul Ilmi bab Man Sanna Sunnatan Hasanatan au
Syiatan
[4]. HR Muslim (no. 2674) dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[5]. Mukhtashar Shahih Muslim (no. 533) cet Al-Maktabah Al-Islamy, th.397H
[6]. HR Al-Bukhari (no. 6434) dan Ahmad (IV/193) dari Sahabat Mirdas bin Malik Al-Aslamy
[7]. HR Al-Bukhari (no. 5020, 5059, 5427),Muslim (no. 797) Abu Dawud (no. 4830), At-
Tirmidzi (no. 2865), An-Nasa-I (no. 5038) dan Ibnu Majah (no. 214) dari Abu Musa Al-Asy’ary
[8]. Syarh Shahih Muslim (VI/83-84), cet. Daar Ibnul Haitsam.
[9]. HR Abu Dawud (no. 4991), Ahmad (III/447). Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam
Ash-Shahihah 9no. 748).
[10]. HR Al-Bukhari (no. 1936) dari Abu Hurairah

&&&&&&&&&&&&

Senin, 17 September 2007 03:05:23 WIB

PETUNJUK RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI


WA SALLAM KETIKA MAKAN KURMA

Oleh
Abu Zubair Zaki Rakhmawan

Sesungguhnya dalam diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat teladan


dalam berbagai perkara, termasuk di dalamnya ketika makan kurma.
51

[a]. Disunnahkan Makan Kurma Sebelum Berangkat Shalat Iedul Fithri


Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat
shalat pada hari raya Iedul Fithri, sehingga beliau makan beberapa buah kurma”.

Murajja bin Raja mengatakan : “Ubaidillah pernah memberitahukan kepadaku,


dimana ia menceritakan, Anas bin Malik pernah memberitahukan kepadaku, dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau makan kurma itu dalam jumlah yang ganjil” [1]

Dari hadits tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa mengkonsumsi kurma


sebelum menuju tempat shalat Iedul Fithri adalah sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan sangat dianjurkan untuk makan lebih dari satu kurma dengan jumlah ganjil. Hal ini
berdasarkan lafazh hadits di atas yang dilafazhkan ‘tamarat’ (kurma dalam bentuk jamak,
bukan satu atau dua tapi lebih dari dua). Maka satu kurma belum cukup untuk
menyempurnakan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu
dianjurkan untuk makan kurma sebanyak tiga, lima, tujuh, sembilan ataupun sebelas, yang
penting adalah berjumlah ganjil dan lebih dari dua.

Sedangkan hikmah dari mendahulukan makan sebelum shalat Iedul Fithri adalah
sebagai simbol bahwa pada hari itu telah dihalalkan untuk berbuka atau makan dan minum
di pagi hari. Hal ini juga karena hari sebelumnya adalah hari diwajibkannya puasa sedangkan
hari ketika Iedul Fithri adalah hari diwajibkannya berbuka atau makan dan minum.
Bersegera untuk merealisasikan konsekuensi dari wajibnya berbuka pada hari Iedul Fithri
adalah sangat utama. Oleh karena itu dengan mengkonsumsi beberapa butir kurma
sebelum berangkat ke tempat shalat Iedul Fithri telah mecakup keutamaan yang dianjurkan
tersebut.[2]

Jadi yang dianjurkan adalah makan beberapa kurma sebelum berangkat menuju
tempat shalat Iedul Fithri, bukan Iedul Adha. Hal ini sebagaimana hadits Buraidah.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah keluar (menuju tempat shalat
‘Ied) pada hari Iedul Fithri sampai beliau makan terlebih dahulu. Begitu juga tidak pernah
makan ketika hari Iedul Adha sampai beliau selesai melaksanakan shalat Iedul Adha terlebih
dahulu” [3]

[b]. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Makan Kurma Dengan Keju


Sebagaimana yang diriwayatkan dari kedua anak Busyr As-Sulamiyyain, mereka berdua
berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengunjungi kami, maka kami
hidangkan kepada beliau, keju dan kurma kering, sedangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sangat menyukai keju dan tamr (kurma kering)” [4]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah memberikan komentarnya terhadap hadits


tersebut dalam Ath-Thibb An-Nabawy : ‘Zubdah (keju) dapat berfungsi melunakkan tinja,
melemaskan syaraf dan bengkak yang terjadi pada kandung empedu dan juga
kerongkongan, berkhasiat juga mengatasi kekeringan yang terjadi. Bila dioleskan pada gusi
bayi, berkhasiat sekali mempercepat pertumbuhan gigi. Berguna untuk mengatasi batuk
52

yang timbul karena hawa panas atau hawa dingin, menghilangkan kudis dan kulit kasar. Rasa
mual yang terkandung dapat menghilangkan selera makan namun dapat diatasi dengan
makanan yang manis-manis, seperti madu dan kurma. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengkombinasikan antara kurma dan keju, terdapat hikmah agar kedua jenis makan
tersebut saling melengkapi” [5]

Keju dengan kandungan lemak dan protein yang tinggi dapat menambah kekurangan
kandungan lemak yang terkandung dalam kurma.

[c]. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Makan Kurma Dengan Mentimun


Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Ja’far
Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata.

“Artinya : Aku melihat Rasulullah makan buah mentimun dengan ruthab (kurma basah)” [6]

Hadits ini mempunyai pelajaran yang sangat agung yaitu menggambarkan tentang
keahlian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal mengkonsumsi makanan secara
seimbang.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencampur buah kurma dan mentimun


dengan tujuan agar rasa panas yang terkandung dalam kurma dapat menyeimbangkan rasa
dingin dan basah yang ada di mentimun, hal ini karena mentimun agak sulit untuk dicerna di
lambung, dingin dan terkadang berbahaya[7]

[d]. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Pernah Makan Kurma Dengan Semangka.
Sebagaimana hadits : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa makan semangka
dengan kurma basah”. [8]

[c]. Kurma Dapat Dijadikan Arak Dimana Hal Itu Telah Diharamkan Dalam Islam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya sebagian dari anggur itu (dapat dijadikan) khamr (arak), dan
sebagian dari kurma itu (dapat dijadikan) khamr (arak), dan sebagian dari madu itu (dapat
dijadikan) khamr (arak) dan sebagian dari biji gandum itu berupa khamr (arak), sebagian dari
gandum gerst/sejenis tepung sereal (dapat dijadikan) khamr (arak)” [9]

[Disalin dengan sedikit penyesuaian dari buku Kupas Tuntas Khasiat Kurma Berdasarkan Al-
Qur’an Al-Karim, As-Sunnah Ash-Shahihah dan Tinjauan Medis Modern, Penulis Zaki
Rahmawan, Pengantar Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Media Tarbiyah –
Bogor, Cetakan Pertama, Dzul Hijjah 1426H]

__________

Foote Note

[1]. HR Al-Bukhari (no. 953) dan Ibnu Majah (no. 1754) dari Anas bin Malik Radhiyallahu
‘anhu
53

[2]. Diringkas dari Asy-Syarhul Mumti fii Zaadil ‘ala Zaadil Mustaqni (III/93-94) oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, tahqiq Khalid Ammar, cet. Maktabah Islamiyah Mesir,
th. 2002M
[3]. HR Ahmad (V/352), At-Tirmidzi (no. 542), Ibnu Majah (no. 1756), Al-Hakim (I/294), dan
lafazh ini milik At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’ish Shaghiir
(no. 4845)
[4]. HR Abu Dawud (no. 3837) dan Ibnu Majah (no. 3343) dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Ibni Majah (no. 2694)
[5]. Ath-Thibb An-Nabawy (hal. 313) oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cet. Maktabah
Nizaar Musthafa Al-Baaz, th 1418H
[6]. HR Al-Bukhari (no. 5440) dan Muslim (no. 2043) dari Abdullah bin Ja’far
[7]. Ath-Thibb An-Nabawy (hal. 339-340) oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cet.
Maktabah Nizaar Musthafa Al-Baaz, th. 1418H
[8]. HR Al-Humaidhi dalam Musnad (I/42), Abu Dawud (no. 2826) dari Aisyah. Dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahihah (no. 57)
[9]. HR Abu Dawud (no. 3676) dan Ahmad (IV/267). Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 1593)]

&&&&&&&&&&&&&

Minggu, 16 September 2007 06:09:15 WIB

KURMA ADALAH MAKANAN PERTAMA YANG


DIGUNAKAN UNTUK MENTAHNIK BAYI
Oleh
Abu Zubair Zaki Rakhmawan

Tahnik adalah mengunyah sesuatu lalu meletakkannya di langit-langit mulut bayi.


Jika dikatakan : “hanakta ash-shabiyya” maksudnya adalah engkau mengunyah kurma, lalu
meratakannya di langit-langit mulut bayi.
54

Dianjurkan yang mentahnik bayi adalah orang yang memiliki keutamaan, kebaikan
dan ilmu. Dianjurkan pula agar memohonkan berkah untuk si bayi, sebagaimana hadits
berikut ini.

Dari Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata.

“Artinya : Anak lelakiku baru saja lahir, lantas aku membawanya kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sesampainya di hadapannya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberinya nama Ibrahim, lalu mentahniknya dengan kurma dan memohonkan
keberkahan baginya, setelah itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serahkan lagi kepadaku”
[1]

Dalam hadits lain disebutkan.

Dari Asma binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, ia bercerita saat mengandung Abdullah bin
Zubair –(ia berkata)-, “Saat aku mengandung Abdullah aku masih tinggal di Makkah.
Kemudian aku berangkat menuju Madinah, di tengah perjalanan aku terlebih dahulu
singgah di Kuba dan ternyata aku melahirkan di sana. Lantas aku membawa anakku ke
pangkuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau meminta kurma kemudian
dikunyahnya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meludah sedikit di mulut anakku.
Itulah, benda yang pertama kali masuk ke perut anakku, yaitu ludah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam setelah itu beliau mentahniknya dengan kurma (yang telah dikunyahnya)
lalu berdo’a memohonkan keberkahan atasnya. Dan itulah bayi pertama yang dilahirkan
dalam keadaan Islam (setelah hijrah ke Madinah dari keturunan orang-orang Muhajirin)” [2]

Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Ketika Abdullah bin Abi Thalhah dilahirkan, aku
membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat kami menemuinya,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berselimut kain besar sembari mengecat tanda
pada untanya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, ‘Apakah engkau
membawa kurma?. ‘Ya’ Jawabku. Beliau mengambil beberapa butir buah kurma,
mengunyahnya hingga lembut, lalu mentahniknya pada si bayi. Si bayi membuka mulutnya,
lalu Nabi meludahkan sisa kunyahan kurma ke mulut si bayi. Selanjutnya bayi itu
menjilatinya dengan ujung lidahnya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Yang paling disukai dari orang-orang Anshar adalah buah kurma’. Lalu beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi nama bayi itu Abdullah” [3]

Cukuplah ketiga hadits tersebut sebagai penjelasan tentang sunnahnya tahnik.

Imam An-Nawawy rahimahullah –dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim- menjelaskan


tentang faedah yang terkandung dalam hadits tersebut, di antaranya adalah.

[1]. Anjuran mentahnik bayi yang baru dilahirkan. Tahnik ini adalah sunnah, berdasarkan
ijma.
[2]. Hendaknya yang melakukan tahnik adalah orang-orang yang shalih, baik laki-laki atau
perempuan.
[3]. Dianjurkan bahan untuk mentahnik adalah kurma. Jika tidak ada, maka selainnya pun
dibolehkan namun kurma adalah lebih baik.
55

[4]. Memberikan kesempatan kepada orang yang shalih dalam pemberian nama kepada si
bayi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang tuanya.[4]

Jadi, menurut beliau (Imam An-Nawawy) dibolehkan mentahnik dengan selain


kurma, akan tetapi As-Sunnah hanya menyebutkan kurma sebagai bahan tahnik,
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mentahnik
Ibrahim bin Abi Musa, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Abi Thalhah. Maka, sebaiknya
tidak mengganti kurma dengan bahan lainnya.

KURMA SEBAGAI CONTOH DALAM BERSHADAQAH

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh dengan kurma ketika


memerintahkan umat ini untuk bershadaqah, sebagaimana hadits.

“Artinya : Barangsiapa yang bershadaqah sebanding dengan satu kurma dari penghasilan
yang baik, sedangkan Allah tidaklah menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah
menerima (shadaqah) dengan tangan kanan-Nya [5], kemudian
mengembangkannya/membesarkan bagi orang yang bershadaqah, sebagaimana seorang di
antara kalian membesarkan anak kuda, bahkan sampai menjadi seperti gunung” [6]

Hadits ini menunjukkan tentang shadaqah yang dilipatgandakan oleh Allah dengan
ganjaran yang sangat besar.

Al-Qadhi Iyadh rahimahullaah memberikan penjelasan bahwa sesuatu itu diterima


dengan penuh keridhaan apabila dilakukan dengan tangan kanan, hal ini menunjukkan
tentang diterimanya dan diridhainya shadaqah. [7]

Hadits ini menunjukkan bahwasanya satu kurma saja yang didapatkan dari
penghasilan yang halal kemudian dishadaqahkan, maka itu menjadi berlipat ganda
ganjarannya bahkan dilipatgandakan oleh Allah dengan ganjaran yang besar seperti gunung.

Pada kesempatan yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa di antara kalian yang mampu untuk berlindung diri dari api Neraka
walaupun hanya dengan sebutir tamr (kurma), maka lakukanlah” [8]

Imama An-Nawawi rahimahullaah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan makna


hadits tersebut dengan berkata, “Hadits ini menunjukkan kepada anjuran untuk shadaqah
dan tidak mempermasalahkan seberapa besarnya, karena dengan shadaqah yang sekecil itu
pun (sebutir tamr) telah dapat melindungi diri dari api Neraka”[9]

Inilah salah satu bukti kesitimewaan dari kurma yang telah dijadikan perumpamaan
yang mulia, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

KURMA DIGUNAKAN DALAM DEFENISI ORANG-ORANG YANG TERMASUK KATEGORI


MISKIN
56

Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling di sekitar orang lain dan
meminta kepada mereka sesuap atau dua suap makanan atau pun sebutir atau dua butir
kurma. Namun yang dimaksud orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai kekayaan
harta untuk mencukupi kehidupannya, dan (dengan kondisinya seperti itu) ia tidak minta
agar orang lain memberikan shadaqah kepadanya dan tidak pula berdiri senantiasa
meminta-minta kepada manusia” [10]

Dalam lafazh lain yang tercantum dalam Shahih Al-Bukhari, yaitu.

“Artinya : Orang miskin bukanlah orang yang meminta sesuap atau dua suap makanan dari
orang lain namun orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai kekayaan apa-apa dan
ia malu untuk meminta-minta, ia pun tidak meminta kepada orang lain secara mendesak”
[11]

[Disalin dengan sedikit penyesuaian dari buku Kupas Tuntas Khasiat Kurma Berdasarkan Al-
Qur’an Al-Karim, As-Sunnah Ash-Shahihah dan Tinjauan Medis Modern, Penulis Zaki
Rahmawan, Pengantar Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Media Tarbiyah –
Bogor, Cetakan Pertama, Dzul Hijjah 1426H]

__________

Foote Note

[1]. HR Al-Bukhari (no. 5467) dan Muslim (no. 2145)


[2]. HR Al-Bukhari (no. 3909, 5469) dan Muslim (no. 2146)
[3]. HR Al-Bukhari (no. 5470), Muslim (no. 2144), Abu Dawud (no. 4951), Ahmad (III/105-
106) dan yang lainnya.
[4]. Syarh Shahih Muslim (XIV/123-124) oleh Imam An-Nawawy cet. Daar Ibnul Haitsam, th.
2003M, Kairo Mesir
[5]. Biyaminihi maksudnya sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam hadits Aisyah yang
diriwayatkan oleh Bazzar adalah dengan tangan kanan-Nya. Lihat penjelasan tentang
Yataqabbaluha bi yamiinihi dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-
Asqalany (III/279).
[6]. HR Al-Bukhari (no. 1410), Muslim (no. 1014) Ahmad (II/331), At-Tirmidzi (no. 661), Ibnu
Majah (no. 1842), Ad-Darimi (no. 1677), dan yang lainnya dari Sahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, lafazh hadits ini milik Imam Al-Bukhari. Hadits ini diberikan keterangan
lengkap oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil fi Takhrij Ahaadits Manaaris Sabiil (III/393
no. 886) cet. II, Al-Maktab Al-Islamy, th. 1405H
[7]. Lihat Syarh Shahih Muslim (VII/98-99) oleh Imam An-Nawawy, cet Daar Ibnu Haitsam,
th. 2003H
[8]. HR Al-Bukhari (no. 6023), Muslim (no. 1016 (66)), At-Tirmidzi (no. 2415) dari Sahabat
Adiy bin Hatim.
[9]. Syarh Shahih Muslim (VII/100-101) oleh Imam An-Nawawy, cet. Daar Ibnu Haitsam,
th.2003
57

[10]. HR Al-Bukhari (no. 1479), Muslim (no. 1039), lafazh ini milik Al-Bukhari dan
diriwayatkan pula oleh Abu Dawud (no. 1631), An-Nasa’i (no. 2572) dan Ad-Darimi (no.
1618), dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
[11]. HR. Al-Bukhari (no. 1476) dari Abu Hurairah

&&&&&&&&&&&&&

Sabtu, 15 September 2007 07:09:42 WIB

MAKAN TUJUH BUTIR KURMA AJWAH DAPAT


MENANGKAL RACUN DAN SIHIR
Oleh
Abu Zubair Zaki Rakhmawan

Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan hadits dari Shahabat
Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah
bersabda.
58

“Artinya : Barangsiapa mengkonsumsi tujuh butir kurma Ajwah pada pagi hari, maka pada
hari itu ia tidak akan terkena racun maupun sihir” [1]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullaah menukilkan perkataan Imam Al-


Khathabi tentang keistimewaan kurma Ajwah : “Kurma Ajwah bermanfaat untuk mencegah
racun dan sihir dikarenakan do’a keberkahan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terhadap kurma Madinah bukan karena dzat kurma itu sendiri” [2]

Hadits ini mempunyai banyak sekali kandungan faedahnya, sebagaimana yang


dituturkan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah dalam kitabnya ‘Ath-Thibb An-Nabawi’
[3] : “Al-Maf’uud adalah sakit yang menyerang bagian liver (hati)[4]”. Dan kurma memiliki
khasiat yang menakjubkan untuk menyembuhkan penyakit ini (dengan izin Allah), terutama
sekali kurma dari Madinah, khususnya jenis Ajwah. (Pembatasan pada) jumlah tujuh itu juga
mengandung khasiat yang hanya diketahui rahasianya oleh Allah.

Kurma adalah jenis nutrisi yang baik, terutama bagi orang yang makanan sehari-
harinya mengandung kurma seperti penduduk Madinah. Begitu juga kurma adalah makanan
yang baik bagi orang-orang yang tinggal di daerah panas dan agak hangat namun memiliki
temperatur tubuh yang lebih dingin.

Bagi penduduk Madinah, tamr (kurma yang kering) merupakan makanan pokok
sebagaimana gandum bagi bangsa-bangsa lain. Juga, kurma kering dari daerah Aliyah di
Madinah merupakan salah satu jenis kurma terbaik sebab rasanya gurih, lezat dan manis.
Kurma termasuk jenis makanan, obat dan buah-buahan, kurma cocok dikonsumsi oleh
hampir seluruh manusia. Dapat berguna untuk memperkuat suhu tubuh alami, tidak
menimbulkan reduksi timbunan ampas yang merusak tubuh seperti yang ditimbulkan oleh
berbagai jenis makanan dan buah-buahan. Bahkan bagi yang sudah terbiasa makan kurma,
kurma dapat mencegah pembusukan dan kerusakan makanan yang berefek negatif
terhadap tubuh.

KURMA AJWAH BERASAL DARI SURGA DAN DAPAT MENGOBATI RACUN

Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Kurma Ajwah itu berasal dari Surga, ia adalah obat dari racun” [4]

Imam Ibnul Qayyim memberikan komentar terhadap hadits tersebut, “Yang


dimaksud dengan kurma Ajwah disini adalah kurma Ajwah Al-Madinah, yakni salah satu
jenis kurma di kota itu, dikenal sebagai kurma Hijaz yang terbaik dari seluruh jenisnya.
Betuknya amat bagus, padat, agak keras dan kuat, namun termasuk kurma yang paling lezat,
paling harum dan paling empuk” [5]

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda.
59

“Artinya : Sesungguhnya dalam kurma Ajwah yang berasal dari Aliyah arah kota Madinah di
dataran tinggi dekat Nejed itu mengandung obat penawar atau ia merupakan obat penawar,
dan ia merupakan obat penawar racun apabila dikonsumsi pada pagi hari” [6]

PENYEBUTAN ANGKA TUJUH DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH

Adapun khasiat dari tujuh butir kurma memiliki makna spiritual maupun material
sebagaimana yang terdapat dalam syari’at Islam.

Allah menciptakan langit dan bumi masing-masing tujuh lapis. Jumlah hari dalam
sepekan adalah tujuh. Manusia mencapai tahapan kesempurnaan penciptaan dirinya ketika
telah mencapai tujuh fase. Allah mensyariatkan kepada para hamba-Nya untuk berthawaf
tujuh putaran. Sa’i antara Shafa dan Marwah juga sebanyak tujuh putaran. Melempar
jumrah masing-masing tujuh kali. Takbir shalat Ied di raka’at pertama juga tujuh kali.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Perintahkanlah mereka (anak-anak kalian) untuk shalat pada usia tujuh tahun” [7]

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, beliau memerintahkan agar kepalanya
disiram dengan air sebanyak tujuh qirbah. [8]

Allah pernah memberi kuasa kepada angin untuk mengadzab kaum ‘Aad selama tujuh
malam.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdo’a kepada Allah agar memberikan
pertolongan kepada kaumnya dengan tujuh masa sebagaimana yang diminta oleh nabi
Yusuf.[9]

Allah menggambarkan sedekah seseorang dilipatgandakan pahalanya seperti tujuh batang


pokok padi yang masing-masing berisi seratus butir padi. [10]

Batang padi yang dilihat oleh sahabat nabi Yusuf dalam mimpinya jumlahnya juga tujuh
buah. Jumlah tahun saat mereka bercocok tanam juga tujuh.

Pelipatgandaan pahala hingga tujuh ratus kali lipat atau lebih

Yang masuk surga dikalangan ummat ini tanpa hisab ada tujuh puluh ribu orang.[11]

Disamping itu ada pula lafzh angka tujuh yang lain dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu,
Allah berfirman.

“Artinya : Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-
habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
[Luqman ; 27]
60

“Artinya : Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi
mereka (adalah sama saja) kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh
kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka, yang demikian
itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang fasik” [At-Taubah : 80]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : orang mukmin makan dengan satu usus manakala orang kafir makan dengan tujuh
usus” [12]

[Disalin dengan sedikit penyesuaian dari buku Kupas Tuntas Khasiat Kurma Berdasarkan Al-
Qur’an Al-Karim, As-Sunnah Ash-Shahihah dan Tinjauan Medis Modern, Penulis Zaki
Rahmawan, Pengantar Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Media Tarbiyah –
Bogor, Cetakan Pertama, Dzul Hijjah 1426H]

__________

Foote Note

[1]. HR Al-Bukhari (no. 5769) dan Muslim (no. 2047) (155)), dari Shahabat Sa’ad bin Abu
Waqqash
[2]. Fathul Bari Syarah Shahih Al-Bukhari oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany (X/239), cet.
Daar Abi Hayyan 1416H
[3]. Diringkas dari Ath-Thib An-Nabawy oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, hal. 121-123,
cet. Maktabah Nizaar Musthafa Al-Baaz, th. 1418H dan Shahih Ath-Thibb An-Nabawy fi
Dhau’il Ma’arif Ath-Thabiyyah wal Ilmiyyah Al-Haditsah oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly,
hal. 152-155 cet. Maktabah Al-Furqaan, th.1424H
[4]. HR Ibnu Majah (no. 3453) Ahmad (III/48) dari Sahabat Jabir bin Abdillah dan Abi Sa’id,
demikian juga At-Tirmidzi dalam Sunnannya (no. 2066) dari Abu Hurairah. Dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Misykatul Mashaabiih (IV/164/4163), dimuat juga oleh Syaikh Salim
bin Ied Al-Hilaly dalam Shahih Ath-Thibb An-Nabawy fi Dhau’il Ma’arif Ath-Thabiyyah wal
Ilmiyyah Al-Haditsah (hal. 428), cet. Maktabah Al-Furqaan, th.1424H
[5]. Ath-Thibb An-Nabawy oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (hal. 331), cet. Maktabah
Nizaar Musthafa Al-Baaz, tah. 1418H
[6]. HR Muslim no. 2048 dari Aisyah
[7]. HR Ahmad (II/187), Abu Dawud (no. 494, 495), At-Tirmidzi (no. 407), Ad-Darimi (I/333)
dan Al-Hakim (I/201) dari Sahabat Sabrah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullaah
dalam kitabnya, Shahih Jami’ush Shaghir (no. 5867) dan Irwaa-ul Ghalil 9no. 247).
Riwayat selengkapnya adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memerintahkan
umatnya agar mengingatkan putra-putri mereka untuk mendirikan shalat ketika telah
berumur 7 tahun.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersbada, “Perintahkan anak kamu shalat, ketika
berumur 7 tahun. Dan apabila sudah berumur 10 tahun belum shalat, pukullah dia”.
[8]. Berdasarkan hadits riwayat Al-Bukhari (no. 4442), dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Dengan lafazh “Guyurkan kepadaku (air) tujuh qirbah”
[9]. HR Al-Bukhari (no. 1006), dari Sahabat Abu Hurairah
61

[10]. Sebagaimana firman Allah : “ Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-
orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-taip bulir seratus biji. Allah meliput gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha
Mengetahui” [Al-Baqarah : 261]
[11]. HR Al-Bukhari (no. 5707) dan Muslim (no. 220) dari Shahabat Ibnu Abbas. Lafazhnya
adalah : “..Dan akan masuk Surga tanpa hisab dari mereka (umat Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam) tujuh puluh ribu orang”.
[12]. HR Al-Bukhari (no. 5393), Muslim (no. 2060) dan yang lainnya dari Sahabat Ibnu Umar,
juga terdapat hadits dari Abu Hurairah dan Abu Musa. Hadits ini tidak menunjukkan pada
jumlah usus yang tujuh pada orang kafir namun adalah permisalan (majaz) sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh Al-Qaadhi Iyadh (yang dinukilkan oleh Imam An-Nawawy dalam
Syarah Shahiih Muslim (XXIII/24), cet. Daar Ibnu Haitsam) bahwa hadits ini untuk
menggambarkan bahwa orang kafir itu makan dan minumnya banyak, sedangkan orang
mukmin adalah sederhana dalam makan dan minum. Lihat lengkapnya di Fathul Baari
(IX/536-540)

&&&&&&&&&&&&

Jumat, 14 September 2007 02:44:00 WIB

MANFAAT BUAH KURMA MENURUT SUDUT


PANDANG MEDIS MODERN
Oleh
Abu Zubair Zaki Rakhmawan

Berikut ini akan kami paparkan sebagian dari manfaat dan khasiat kurma ditinjau
dari sudut pandang medis modern yang sekaligus menguatkan khabar Al-Qur’an Al-Karim
dan As-Sunnah Ash-Shahihah tentang khasiat dan keutamaan kurma.
62

[1]. Tamr (kurma kering) berfungsi untuk menguatkan sel-sel usus dan dapat membantu
melancarkan saluran kencing karena mengandung serabut-serabut yang bertugas
mengontrol laju gerak usus dan menguatkan rahim terutama ketika melahirkan.

Penelitian yang terbaru menyatakan bahwa buah ruthab (kurma basah) mempunyai
pengaruh mengontrol laju gerak rahim dan menambah masa systolenya (kontraksi jantung
ketika darah dipompa ke pembuluh nadi). Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan Maryam binti Imran untuk memakan buah kurma ketika akan melahirkan,
dikarenakan buah kurma mengenyangkan juga membuat gerakan kontraksi rahim
bertambah teratur, sehingga Maryam dengan mudah melahirkan anaknya.[1]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu kearahmu, niscaya pohon itu akan
menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bersenang
hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku
telah bernadzar berpuasa untuk Rabb Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara
dengan seorang manusia pun pada hari ini” [Maryam : 25-26]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan ‘Amr bin Maimun di


dalam tafsirnya : “Tidak ada sesuatu yang lebih baik bagi perempuan nifas kecuali kurma
kering dan kurma basah” [2]

Dokter Muhammad An-Nasimi dalam kitabnya, Ath-Thibb An-Nabawy wal Ilmil


Hadits (II/293-294) mengatakan, “Hikmah dari ayat yang mulia ini secara kedokteran adalah,
perempuan hamil yang akan melahirkan itu sangat membutuhkan minuman dan makanan
yang kaya akan unsur gula, hal ini karena banyaknya kontraksi otot-otot rahim ketika akan
mengeluarkan bayi, terlebih lagi apabila hal itu membutuhkan waktu yang lama. Kandungan
gula dan vitamin B1 sangat membantu untuk mengontrol laju gerak rahim dan menambah
masa sistolenya (kontraksi jantung ketika darah dippompa ke pembuluh nadi). Dan kedua
unsur itu banyak terkandung dalam ruthab (kurma basah). Kandungan gula dalam ruthab
sangat mudah untuk dicerna dengan cepat oleh tubuh” [3]

Buah kurma matang sangat kaya dengan unsur Kalsium dan besi. Oleh karena itu,
sangat dianjurkan bagi perempuan yang sedang hamil dan yang akan melahirkan, bahkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Maryam Al-Adzra (perawan) untuk
memakannya ketika sedang nifas (setelah melahirkan). Kadar besi dan Kalsium yang
dikandung buah kurma matang sangat mencukupi dan penting sekali dalam proses
pembentukan air susu ibu. Kadar zat besi dan Kalsium yang dikandung buah kurma dapat
menggantikan tenaga ibu yang terkuras saat melahirkan atau menyusui. Zat besi dan
Kalsium merpuakan dua unsur efektif dan penting bagi pertumbuhan bayi. Alasannya , dua
unsur ini merupakan unsur yang paling berpengaruh dalam pembentukan darah dan tulang
sumsum.

[2]. Ruthab (kurma basah) mencegah terjadi pendarahan bagi perempuan-perempuan


ketika melahirkan dan mempercepat proses pengembalian posisi rahim seperti sedia kala
63

sebelum waktu hamil yang berikutnya [4]. Hal ini karena dalam kurma segar terkandung
hormon yang menyerupai hormon oxytocine yang dapat membantu proses kalahiran.

Hormon oxytocine adalah hormon yang salah satu fungsinya membantu ketika wanita atau
pun hewan betina melahirkan dan menyusui.

[3]. Memudahkan persalinan dan membantu keselamatan sang ibu dan bayinya. [5]

[4]. Buah kurma, baik tamr maupun ruthab dapat menenangkan sel-sel saraf melalui
pengaruhnya terhadap kelenjar gondok. Oleh karena itu, para dokter menganjurkan untuk
memberikan beberapa buah kurma di pagi hari kepada anak-anak dan orang yang lanjut
usia, agar kondisi kejiwaannya lebih baik.

[5]. Buah kurma yang direbus dapat memperlancar saluran kencing.

[6]. Buah kurma Ajwah dapat digunakan sebagai alat ruqyah dan mencegah dari ganguan jin.

[7]. Kurma sangat dianjurkan sebagai hidangan untuk berbuka puasa. Ada hal yang sudah
ditetapkan dalam bidang kedokteran bahwa gula dan air merupakan zat yang pertama kali
dibutuhkan orang berpuasa setelah melalui masa menahan makan dan minum.
Berkurangnya glukosa (zat gula) pada tubuh dapat mengakibatkan penyempitan dada dan
gangguan pada tulang-tulang. Dilain pihak, berkurangnya air dapat melemahkan dan
mengurangi daya tahan tubuh. Hal ini berbeda dengan orang berpuasa yang langsung
mengisi perutnya dengan makanan dan minuman ketika berbuka. Padahal ia membutuhkan
tiga jam atau lebih agar pencernaannya dapat menyerap zat gula tersebut. Oleh karena itu,
orang yang menyantap makanan dan minuman ketika berbuka puasa tetap dapat
merasakan fenomena kelemahan dan gangguan-ganguan jasmani akibat kekurang zat gula
dan air.

[8]. Buah kurma dapat mencegah stroke

[9]. Buah kurma kaya dengan zat garam mineral yang menetralisasi asam, seperti Kalsium
dan Potasium. Buah kurma adalah makanan terbaik untuk menetralisasi zat asam yang ada
pada perut karena meninggalkan sisa yang mampu menetralisasi asam setelah dikunyah dan
dicerna yang timbul akibat mengkonsumsi protein seperti ikan dan telur.

[10]. Buah kurma mengandung vitamin A yang baik dimana ia dapat memelihara
kelembaban dan kejelian mata, menguatkan penglihatan, pertumbuhan tulang,
metabolisme lemak, kekebalan terhadap infeksi, kesehatan kulit serta menenangkan sel-sel
saraf.

[11] Kurma adalah buah, makanan, obat, minuman sekaligus gula-gula. [6]

[Disalin dengan sedikit penyesuaian dari buku Kupas Tuntas Khasiat Kurma Berdasarkan Al-
Qur’an Al-Karim, As-Sunnah Ash-Shahihah dan Tinjauan Medis Modern, Penulis Zaki
64

Rahmawan, Pengantar Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Media Tarbiyah –
Bogor, Cetakan Pertama, Dzul Hijjah 1426H]

__________

Foote Note

[1]. Perkataan Dokter Muhammad Kamal Abdul Aziz dalam kitabnya Al-Ath’imah Al-
Qur’aniyyah. Dicantumkan oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly dalam Shahih Ath-Thibb An-
Nabawy fi Dhau’il Ma’arif Ath-Thabiyyah wal Ilmiyyah Al-Haditsah (hal. 399), cet. Maktabah
Al-Furqaan, th. 1424H
[2]. Tafsir Ibni Katsir (V/168), Tahqiq : Hani Al-Haj, cet. Al-Maktabah At-Tauqifiyah, Mesir.
[3]. Dinukil oleh Syaikh Salim bin Id Al-Hilaly dalam Shahih Ath-Thibb An-Nabawy fi Dhau’il
Ma’arif Ath-Thabiyyah wal Ilmiyyah Al-Haditsah (hal. 399), cet. Maktabah Al-Furqaan, th.
1424H
[4]. Catatan kaki yang terdapat dalam Shahih Ath-Thibb An-Nabawy fi Dhau’il Ma’arif Ath-
Thabiyyah wal Ilmiyyah Al-Haditsah (hal. 399), cet. Maktabah Al-Furqaan, th. 1424H
[5]. Catatan kaki yang tedapat dalam Shahih Ath-Thibb An-Nabawy fi Dhau’il Ma’arif Ath-
Thabiyyah wal Ilmiyyah Al-Haditsah (hal. 399), cet. Maktabah Al-Furqaan, th. 1424H
[6]. Ath-Thibb An-Nabawy (hal. 292) oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cet. Maktabah
Nizaar Musthafa Al-Baaz, th. 1418H.

&&&&&&&&&&&&&

Kamis, 13 September 2007 16:15:09 WIB

RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM


MENGANJURKAN BERBUKA PUASA DENGAN
KURMA
Oleh
Abu Zubair Zaki Rakhmawan

Sebagaimana hadits dari Anas bin Malik : “Rasulullah pernah berbuka puasa dengan
ruthab (kurma basah) sebelum shalat, kalau tidak ada ruthab, maka beliau memakan tamr
65

(kurma kering) dan kalau tidak ada tamr, maka beliau meminum air, seteguk demi seteguk”
[1]

Hadits diatas mengandung beberapa pelajaran berharga, antara lain : [2]

[1]. Dianjurkannya untuk bersegera dalam berbuka puasa.

[2]. Dianjurkannya untuk berbuka puasa dengan ruthab (kurma basah), apabila tidak ada
maka boleh memakan tamr (kurma kering), jika tidak ada pula maka minumlah air.

[3]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan beberapa buah kurma sebelum
melaksanakan shalat. Hal ini merupakan cara pengaturan yang sangat teliti, karena puasa itu
mengosongkan perut dari makanan sehingga liver (hati) tidak mendapatkan suplai makanan
dari perut dan tidak dapat mengirimnya ke seluruh sel-sel tubuh. Padahal rasa manis
merupakan sesuatu yang sangat cepat meresap dan paling disukai liver (hati) apalagi kalau
dalam keadaan basah. Setelah itu, liver (hati) pun memproses dan melumatnya serta
mengirim zat yang dihasilkannya ke seluruh anggota tubuh dan otak.

[4]. Air adalah pembersih bagi usus manusia dan itulah yang berlaku alamiyah hingga saat
ini.

Imam Ibnul Qayim rahimahullaah memberikan penjelasan tentang hadits di atas,


beliau berkata :

“Cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbuka puasa dengan kurma atau air,
mengandung hikmah yang sangat mendalam sekali. Karena saat berpuasa lambung kosong
dari makanan apapun. Sehingga tidak ada sesuatu yang amat sesuai dengan liver (hati) yang
dapat di disuplai langsung ke seluruh organ tubuh serta langsung menjadi energi, selain
kurma dan air. Karbohidrat yang ada dalam kurma lebih mudah sampai ke liver (hati) dan
lebih cocok dengan kondisi organ tersebut. Terutama sekali kurma masak yang masih segar.
Liver (hati) akan lebih mudah menerimanya sehingga amat berguna bagi organ ini sekaligus
juga dapat langsung diproses menjadi energi. Kalau tidak ada kurma basah, kurma kering
pun baik, karena mempunyai kandungan unsur gula yang tinggi pula. Bila tidak ada juga,
cukup beberapa teguk air untuk mendinginkan panasnya lambung akibat puasa sehingga
dapat siap menerima makanan sesudah itu” [3]

Dokter Ahmad Abdurrauf Hasyim dalam kitabnya Ramadhan wath Thibb berkata :

“Dalam hadits tersebut terkandung hikmah yang agung secara kesehatan, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memilih mendahulukan kurma dan air dari pada yang lainnya
sedangkan kemungkinan untuk mengambil jenis makanan yang lain sangat besar, namun
karena ada bimbingan wahyu Ilahi maka Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wa sallam memilih
jenis makanan kurma atau pun air sebagai yang terbaik bagi orang yang berpuasa. Maka,
yang sangat diperlukan bagi orang yang ingin berbuka puasa adalah jenis-jenis makanan
yang mengandung gula, zat cair yang mudah dicerna oleh tubuh dan langsung cepat diserap
oleh darah, lambung dan usus serta air sebagai obat untuk menghilangkan dahaga.
66

Zat-zat yang mengandung gula yaitu glukosa dan fruktosa memerlukan 5-10 menit
dapat terserap dalam usus manusia ketika dalam keadaan kosong. Dan keadaan tersebut
terjadi pada orang yang sedang berpuasa. Jenis makanan yang kaya dengan kategori
tersebut yang paling baik adalah kurma khususnya ruthab (kurma basah) karena kaya akan
unsur gula, yaitu glukosa dan fruktosa yang mudah dicerna dan diserap oleh tubuh” [4]

Maka, urutan makanan yang terbaik bagi orang yang berbuka puasa adalah ruthab
(kurma basah), tamr (kurma kering) kemudian air, kalau itu pun tidak ada, maka boleh
menggunakan sirup atau air juice buah yang mengandung unsur gula yang cukup, seperti air
yang dicampur sedikit madu, jeruk, lemon, dan sebagainya. [5]

Ustadz DR Anwar Mufti rahimahullaah berkata :

“Sesungguhnya usus menyerap air yang mengandung gula membutuhkan waktu kurang
lebih selama 5 menit, hal ini dapat cepat memperkuat tubuh yang sedang lemah. Sedangkan
orang yang berbuka puasa dengan langsung makan dan minum yang kurang mengandung
unsur gula, maka apa yang telah disantapnya baru diserap oleh lambungnya selama 3-4 jam.
Hal ini tidak terjadi bagi orang yang berbuka puasa dengan mengkonsumsi kurma yang
banyak mengandung unsur gula karena proses penyerapannya dapat berlangsung relative
lebih cepat. [6]

Kurma lebih unggul dari makanan lain yang mengandung gula. Hal ini juga didukung
bukti, yaitu segelas air yang mengandung glukosa akan diserap tubuh dalam waktu 20-30
menit, tetapi gula yang terkandung dalam kurma baru habis terserap dalam tempo 45-60
menit. Maka, orang yang makan cukup banyak kurma pada waktu sahur akan menjadi segar
dan tahan lapar, sebab bahan ini juga kaya dengan serat. [7]

[Disalin dengan sedikit penyesuaian dari buku Kupas Tuntas Khasiat Kurma Berdasarkan Al-
Qur’an Al-Karim, As-Sunnah Ash-Shahihah dan Tinjauan Medis Modern, Penulis Zaki
Rahmawan, Pengantar Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Media Tarbiyah –
Bogor, Cetakan Pertama, Dzul Hijjah 1426H]

__________

Foote Note

[1]. HR Abu Dawud (no. 2356), Ad-Daruquthni (no. 240) dan Al-Hakim (I/432 no. 1576).
Dihasankan oleh Imam Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil fi Takhrij Ahaadits Manaaris Sabiil
IV/45 no. 922
[2]. Disadur dari Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maram oleh Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-
Asqalany yang disyarah oleh Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al-Bassam (II/198 no. 459)
cet. Daar ibnu Haitsam, th. 2004M
[3]. Ath-Thibb An-Nabawy (hal. 309) oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cet. Maktabah
Nizaar Musthafa Al-Baaz, th. 1418H
[4]. Dimuat oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly dalam Shahih Ath-Thibb An-Nabawy (hal. 400)
67

[5]. Catatan kaki yang terdapat dalam Shahih At-Thibb An-Nabawy fi Dhau-il Ma’arif Ath-
Thabiyyah wal Ilmiyyah Al-Haditsah (hal. 401) oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly, cet.
Maktabah Al-Furqaan, th. 1424H
[6]. Catatan kaki yang terdapat dalam Shahih At-Thibb An-Nabawy fi Dhau-il Ma’arif Ath-
Thabiyyah wal Ilmiyyah Al-Haditsah (hal. 401) oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly, cet.
Maktabah Al-Furqaan, th. 1424H
[7]. Sebagaimana penjelasan Dr David Conning, Direktur Jenderal British Nutrition
Foundation. Dinukil dari makalah kesehatan dari Pusat Kesehatan Universitas Utara
Malaysia yang diambil dari www.medic.uum.ed

&&&&&&&&&&&&&

Senin, 5 Maret 2007 10:15:04 WIB

Halaman ke-1 dari 3

HARAMNYA BINATANG BUAS


Oleh
Ustadz Abu Ubaidah Al-Atsari

Alkisah suatu saat Ismail Al-Qadhi masuk kepada khalifah Abbasiyyah waktu itu, lalu
disuguhkan padanya sebuah kitab yang berisi tentang keringanan dan ketergelinciran para
ulama. Setelah membacanya dia berkomentar : “Penulis buku ini adalah zindiq [1], sebab
68

orang yang membolehkan minuman memabukkan tidaklah membolehkan nikah mut’ah,


dan orang yang membolehkan nikah mut’ah tidaklah membolehkan nyanyian, tidak ada
seorang alim pun kecuali memiliki ketergelinciran. Barangsiapa memungut semua kesalahan
ulama niscaya akan hilang agamanya”. Akhirnya, buku itu diperintahkan supaya dibakar.
[Siyar A’lam Nubala 13/465,Adz-Dzahabi]

Sejarah berulang lagi saat ini ! Betapa banyak kita jumpai manusia pada zaman
sekarang yang mengikuti arus hawa nafsunya dengan mencari-cari ketergelinciran ulama.
Baginya musik boleh-boleh saja karena mengikuti pendapat Ibnu Hazm!! Wanita nikah tanpa
wali hukumnya boleh karena mengikuti madzhab Hanafiyyah!! Binatang buas tidak haram
karena mengikuti madzhab Malikiyyah!! Melafazhkan niat boleh karena mengikuti madzhab
Hanabilah dan Syafi’iyyah!! Demikianah dia menborong segudang bencana pada dirinya!!

Perlu menjadi catatan kita bersama bahwa tidak semua pendapat yang dinisbatkan
kepada suatu madzhab [2] atau seorang alim berarti pasti shahih alamatnya, bahkan tidak
jarang penisbatan tersebut hanyalah anggapan semata. [Lihat At-Ta’alum wa Atsaruhu Ala
Fikri wal Kitab Bakr Abu Zaid hal. 112]

Kajian kita kali ini adalah tentang hukum memakan daging binatang buas, haram
atau bolehkah sebagaimana yang populer dalam madzhab Malikiyyah. Kami terdorong
mengulas masalah ini karena hukum yang sudah jelas tentangnya ternyata masih samar bagi
sebagian kalangan. Buktinya, masih ada sebagian da’i kondang yang mengatakan :
“haditsnya hanya ahad!”, “ada kesalahan perawinya!”. Pesan saya kepada juru dakwah yang
mau pergi ke Korea agar jangan memfatwakan tentang haramnya daging anjing karena
penduduk disana biasa memakannya!!”. Ada juga yang mengatakan : “hukumnya boleh, kan
cuma makruh [3], ditinggalkan dapat pahala dilakukan juga enggak berdosa”. Dan komentar
lainnya.

Kita berdo’a kepada Alloh agar menampakkan sinar kebenaran dalam hati kita
semua dan memudahkan kita untuk mengikutinya. Amiin.

TAKHRIJ HADITS

Ketauhilah wahai saudaraku seiman –semoga Alloh selalu mejagamu- bahwa hadits
ini adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya. Berikut ini kami paparkan beberapa
riwayat sebagiannya yang paling shahih agar hati anda menjadi tentram tentang
keshahihannya.

[1]. Riwayat Abu Tsa’labah Al-Husyani Radhiyallahu’anhu.

Dari Abu Tsa’labah Al-Husyani Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam melarang dari memakan setiap binatang buas yang bertaring”

SHAHIH. Diriwayatkan Bukhari 5530, 5780, 5781. Muslim 1936, Tirmidzi 1477, Abu Dawud
3802, Nasai 4325, 4342, Ibnu Majah 3232, Malik dalam Al-Muwatha’ 2/496, Ahmad dalam
69

Musnadnya 4/193, 194 Ad-Darimi 1980, 1981, Ibnu Hibban dalam Shahihnya 2555, Syafi’i
dalam Musnadnya 1168, 1746, Ath-Thayyalisi 1016, Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 8704,
Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 19865, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqa 889, Thabrani
dalam Mu’jam Kabir 22/208, 209 Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Atsar 4/190, 206 Baihaqi
dalam Sunan Kubra 9/331, Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 11/233 dari Jalur Abu Idris Al-
Khaulani dari Abu Tsa’labah.
Tirmidzi berkata : “hadits masyhur dari Abu Tsa’labah, hasan shahih”
Al-Baghawi berkata : “Hadits ini disepakati keshahihannya”

[2]. Riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu

DariAbu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Setiap binatang yang bertaring maka memakannya adalah haram”

SHAHIH. Diriwayatkan Muslim 1933, Tirmidzi 4324, Nasai 7/200, Ibnu Majah 3233, Malik
dalam Al-Muwatha 2/496, Ahmad dalam Musnadnya 2/236, Ibnu Hibban dalam Shahihnya
5278, Syafi’i dalam Musnadnya 1169, 1748, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 19867,
Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Atsar 4/190, Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 1/234 dari
Ismail bin Abu Hakim dari Abidin bin Sufyan Al-Hadhrami dari Abu Hurairah.
Tirmidzi berkata : “Hadits ini hasan”
Al-Baghawi berkata : “Hadits ini shahih”
Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid 1/139 : “Hadits ini shahih, bahkan disepakati
keshahihannya”.

[3]. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam melarang dari setiap binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam”

SHAHIH. Diriwayatkan Muslim 1934, Abu Dawud 3803, Nasai 4348, Ibnu Majah 3234,
Ahmad 1/244, 289, 302, 339, 373, Darimi 1982, Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 8707,
Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 19870, Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5256, Ath-
Thahawi dalam Syarh Ma’ani Atsar 4/190, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqa 892, 893, Al-Baihaqi
dalam Sunan Kubra 9/315, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2/47, Al-Baghawi dalam Syarh
Sunnah 11/234 dari Maimun bin Mihran dari Ibnu Abbas. Dan terkadang dari Maimun bin
Mihran dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas.
Al-Hakim berkata : “Hadits ini shahih menurut syarat Bukhari-Muslim
Al-Baghawi berkata : “Hadits ini shahih”.

[4]. Miqdam bin Ma’di Karib Al-Kindi Radhiyallahu ‘anhu.

Dari Miqdam bin Ma’di Karib Al-Kindi Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketahuilah, sesungguhnya aku telah mendapatkan
wahyu kitab (Al-Qur’an) dan semisalnya (Hadits). Ketahuillah, hampir saja akan ada
seseorang duduk seraya bersandar di atas ranjang hiasnya dalam keadaan kenyang, sedang
dia mengatakan : “Berpeganglah kalian dengan Al-Qur’an. Apa yang kalian jumpai di
dalamnya berupa perkara haram, maka haramkanlah”, Ketahuilah tidaklah dihalalkan untuk
70

kalian keledai jinak dan setiap binatang buas yang mempunyai kuku tajam. Demikian pula
luqathah (barang temuan) melainkan apabila pemiliknya telah merelakannya. Dan barang
siapa singgah bertamu kepada suatu kaum, hendaklah mereka menjamunya. Jika tidak,
boleh baginya (tamu) mengambil haknya”.

SHAHIH. Diriwayatkan Abu Dawud 4604, Ahmad 4/130-131, Ibnu Abdil Barr dalam At-
Tamhid 1/149-150, Al-Kahthib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/79 dan Al-
Kifayah hal.8, Ibnu Nashr Al-Marwazi dalam As-Sunnah hal. 116, Al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah
hal. 51, Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah 6/549 dari jalan Hariz bin Utsman Ar-Rahabi dari
Abdullah bin Abu Auf Al-Jursyi dari Miqdam bin Ma’di Karib Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sanad hadits ini shahih, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Muhammad


Nashiruddin Al-Albani dalam Al-Misykah 163. Hadits ini juga mempunyai syawahid (penguat-
penguat) yang cukup banyak.

[5]. Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengharamkan pada hari Khaibar keledai (jinak), bighal (pernakan dari keledai
dengna kuda), setiap binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam”.

HASAN. Diriwayatkan Tirmidzi 1478, Ahmad dalam Musnadnya 3/323, Ibnu Abi Syaibah
dalam Al-Mushannaf 19869 dari Ikrimah bin Ammar dari Yahya bin Abu Salma dari Jabir.
Tirmidzi berkata : “Hasan gharib”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 9/813 “Sanadnya jayyid”. Dan
disetujui Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 7/456

Dan masih banyak lagi riwayat lainnya dari Ali bin Abu Thalib, Khalid bin Walid,
Irbadh bin Sariyah, Abu Umamah Al-Bahili, Ikrimah secara mursal. Bahkan hadits ini
dihukumi mutawatir oleh sebagian ulama seperti Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Atsar
4/190. Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid 1/125, Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in
3/364, Al-Kattani dalam Nazhamul Mutanatsir hal. 161.

Setelah ini, masih adakah keraguan dalam diri kita terhadap keabsahan hadits ini?!!
Dan perhatikanlah bersama hadits keempat di atas yang merupakan informasi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada golongan yang mendustakan hadits beliau!!

Senin, 5 Maret 2007 10:15:04 WIB

Halaman ke-2 dari 3

FIQIH HADITS [4]

Setelah kita ketahui bersama keabsahan hadits pembahasan, sekarang kami ingin
mengajak pembaca yang kami cintai –semoga Alloh menjadikan kita hamba-hamba Alloh
71

yan saling mencintai- untuk mempelajari fiqih hadits ini. Berikut beberapa pembahasan
yang ingin kami uraikan mengenai hadits pembahasn di atas.

[1]. Definisi

Nab secara bahasa adalah gigi taring yang berada di belakang gigi seri. [Nailul Author
Asy-Syaukani 8/120]

Adapun yang dimaksud dalam pembahasan ini, kalau menurut Syafi’iyyah dan
Hanabillah adalah gigi yang dijadikan oleh binatang buas untuk menyerang manusia dan
hewan. (Mughni Muhtaj Asy-Syirbini 4/300, Al-Mughni Ibnu Qudamah 11/66). Sedangkan
menurut Hanafiyyah maksudnya adalah hewan yang biasa melukai atau membunuh.
[Hasyiyah Ibni Abidin 5/193, Takmilah Fathul Qadir 9/499]

Dua definisi ini sekalipun berbeda redaksinya, namun maknanya sama. Oleh
karenanya, Ibnu Hubairah mengatakan : “Mereka (imam empat) bersepakat bahwa semua
binatang buas bertaring yang menyerang selainnya, seperti singa, serigala, macan kumbang,
macan tutul, semuanya hukumnya haram, kecuali Malik dia hanya berpendapat makruh,
tidak sampai haram” [Al-Ifshah 1/457]

Jadi yang menjadi patokan keharaman binatang buas adalah apabila dia memiliki dua
sifat :

Pertama : Memiliki gigi taring, Kedua : Melawan dengan taringnya.

[2]. Hukumnya

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum binatang buas.

[a]. Makruh Dan Tidak Haram

Hal ini merupakan riwayat dari Imam Malik rahimahullah dan pendapat yang popular
dalam madzhab Malikiyyah [Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd 1/343, Adhwaul Bayan Asy-
Syinqithi 2/250]

Riwayat kedua dari Imam Malik rahimahullah adalah haram seperti pendapat imam
madzhab lainnya. Pendapat inilah yang beliau tegaskan dalam kitabnya Al-Muwatha 2/42 :
“Bab haramnya memakan binatang buas bertaring”, kemudian beliau membawakan hadits
riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan Abu Tsa’labah Radhiyallahu ‘anhu, seraya
berkomentar : “Inilah pendapat kami”. Landasan riwayat pertama dari Imam Malik
rahimahullah adalah tekstual surat Al-An’am : 145.

“Artinya : Katakanlah : “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor
atau binatang yang disembelih atas nama selain Alloh….”
72

Mereka menyatakan bahwa ayat ini secara tegas membatasi makanan yang haram
hanya pada perkara-perkara di atas saja.(Al-Jami li Ahkamil Qur’an Al-Qurthubi 7/117). Atau
maksimalnya adalah makruh hukumnya, demi mengkompromikan antara ayat dengan
hadits. [Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd 1/343]

[b]. Haram

Hal ini merupakan pendapat Hanabilah, Syafi’iyyah, dan Hanafiyyah (Al-Mughni Ibnu
Qudamah 11/66, Mughni Muhtaj Asy-Syirbini 4/300, Syarh Tanwir Abshar 5/193). Dalil
mereka adalah hadits-hadits pembahasan yang tegas menunjukkan tentang haramnya,
bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah keliru. [Lihat pula
At-Tambihat Ibnu Abdil Barr 1/140, I’lamul Muwaqqi’in Ibnul Qayyim 3/356, Silsilah Ash-
Shahihah Al-Albani 476]

Tidak diragukan lagi bahwasanya pendapat inilah yang rajih (lebih kua) dan tidak
seharusnya diselisihi karena begitu kuatnya agumen yang dibawakan. Adapun dalil yang
digunakan oleh pendapat yang membolehkan yaitu surat Al-An’am : 145 maka jawabannya
dari beberapa segi yang akan kami sebutkan di akhir pembahasan.

[3]. Hikmahnya

Makanan mempunyai pengaruh yang dominan bagi orang yang memakannya,


Makanan yang halal dan bersih akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat.
Sebaliknya, makanan yang haram akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena
itulah, para ulama menyebutkan hikmah diharamkannya makan daging binatang buas yang
bertaring dan burung berkuku tajam yaitu karena tabiat binatang-binatang tersebut adalah
menyerang, sehingga apabila dimakan dagingnya oleh manusia maka akan menjadikan
akhlak manusia terpengaruh dan menirunya. Tentu saja hal ini sangat membahayakan
agamanya. Oleh karenanya, Alloh mengharamkan hal itu. [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah
20/523, Madarijus Salikin Ibnul Qayyim 1/484]

[4]. Musang Haram?

Ada faktor penting lain yang sangat mendorong hati kami menulis bahasan ini yaitu
ketergelinciran penulis pada tulisan “Makanan Haram” yang dimuat dalam majalah Al-
Furqon edisi 12 th. 2, dimana pada halaman 29, penulis menterjemahkan hewan “dhabu’
dengan “musang”. Terjemahan ini adalah ketergelinciran yang cukup fatal. Kami memohon
ampun kepada Alloh dan meminta maaf kepada semunya. Oleh karenanya, perkenankanlah
kami mengulas secara tersendiri tentang hukum dua hewan ini sebagai tanggung jawab
kami untuk meralat kesalahan tersebut.

[a]. Dhabu (Hyena, hewan sejenis Serigala) [5]

Termasuk keajaiban hewan ini adalah dia setahun jantan untuk mengawini dan
setahun betina untuk melahirkan, dan dia amat suka membongkar kuburan karena sangat
berambisi dengan daging anak Adam. [Hayah Hayawan Ad-Dimyari 2/81-82]
73

Pertama : Halal

Ini pendapat Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal [Mughni Muhtaj 4/299 dan Al-
Muqni 3/52]

Dalil pendapat ini adalah hadits berikut.

“Artinya : Dari Ibnu Abi Ammar berkata : Aku bertanya kepada Jabir Radhiyallahu ‘anhu
tentang dhabu ; apakah ia termasuk hewan buruan ? Jawabnya : “Ya” Saya bertanya :
“Bolehkah saya memakannya? Jawabnya : “Ya” Saya bertanya : “Apakah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal itu?” Jawabnya : “Ya”. [Hadits Riwayat Abu
Dawud 3801, Tirmidzi 851, Nasai 5/191 dll. Dishahihkan oleh Bukhari, Tirmidzi, Ibnu
Khzuaimah, Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar dalam At-Talkish 1/1507]

Hadit ini jelas menujukukkan bolehnya makan dhabu. Imam Syafi’i rahimahullah
mengatakan : “Manusia biasa memakannya dan menjualnya antara Shafa dan Marwah”

Kedua : Haram

Ini pendapat Abu Hanifah dan lainnya, (Ad-Durrul Mukhtar 5/194). Dalil mereka
karena dhabu termasuk binatang buas.

Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama. Adapun alasan pendapat kedua
ini dinilai lemah karena dua segi.

• Hadits binatang buas bersifat umum, sedangkan hadits yang membolehkan dhabu lebih
khusus, maka ini lebih didahulukan. [Nailul Authar 8/127]

• Dhabu bukan termasuk binatang buas, karena sekalipun dia memiliki gigi taring tetapi dia
tidak menyerang seperti binatang buas lainnya ; sedangkan patokan buas adalah apabila dia
memiliki dua sifat : gigi taring dan melawan. Hal ini seperti dijelaskan Ibnul Qayyim dalam
I’lamul Muwaqqi’in 3/367 bahkan beliau mengatakan : “Dhabu tidaklah termasuk binatang
buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun urf (kebiasaan) manusia”. [Lihat pula Majmu
Fatawa Ibnu Taimiyyah 20/335, Tuhfatul Ahwadzi Al-Mubarakfuri 5/411 dan At-Taliqat Ar-
Radhiyyah Al-Albani 3/28]

[b]. Musang

Musang adalah binatang pengecut dan sangat licik. Dengan kelicikannya dia bisa
sering bersama binatang-binatang buas menyeramkan lainnya. Di antara keajaiban
kelicikannya dalam mencari rezeki dia berpura-pura mati dan menggelembungkan perutnya
serta mengangkat kaki dan tangannya agar disangka mati. Kalau ada hewan yang
mendekatinya, seketika itu dia langsung menerkamnya. [Miftah Dar Sa’adah Ibnul Qayyim
2/153]
74

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum memakannya menjadi dua pendapat.

Pertama : Halal

Ini madzhab Syafi’i dan salah satu riwayat dari Ahmad. [Mughni Muhtaj 4/299, Al-
Muqni 3/528]

Alasan pendapat ini karena musang termasuk binatang yang tidak menjijikan dan dia
tidak menyerang dengan taringnya.

Kedua : Haram

Ini pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang popular dalam madzhab Ahmad.
[Badai Shanai 5/39, Al-Mughni 11/67]

Alasan pendapat ini karena musang termasuk binatang buas yang dilarang dalam
hadits.

Pendapat yang kuat adalah pendapat kedua karena musang termasuk binatang buas.
Alasan pendapat pertama tidak bisa diterima karena menyelisihi fakta. Wallahu A’lam

Senin, 5 Maret 2007 10:15:04 WIB

Halaman ke-3 dari 3

SYUBHAT DAN JAWABANNYA

Seperti diutarakan di muka, ada sebagian kalangan yang berpendapat bolehnya makan
binatang buas dengan alasan surat Al-Maidah : 145. landasan ini sangat lemah ditinjau dari
beberapa segi.

Pertama : Anggapan Batil Dengan Kesepakatan Ulama

Syaikh Al-Allamah Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan : “Ketahuilah bahwa


anggapan tidak ada yang diharamkan selain hanya empat perkara yang tersebut dalam ayat
ini merupakan anggapan batil dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin, sebab seluruh
kaum muslimin telah bersepakat dengan bimbingan Al-Qur’an dan Hadits akan haramnya
khamr. Hal ini merupakan dalil yang kuat akan haramnya selain empat perkara yang
tersebut dalam ayat ini. Barangsiapa yang mengatakan bahwa khamr hukumnya halal
berdasarkan ayat ini maka dia kafir tanpa perselisihan di kalangan ulama “ [Adhwa’ul Bayan
2/221]

Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata : ‘Hal yang menguatkan pendapat ini adalah
ijma (kesepakatan ulama tentang haramnya makan kotoran, minum kencing, binatang-
binatang menjijikan, dan khamr padahal tidak tersebut dalam ayat ini” [Al-Jami li Ahkamil
Qur’an 7/118-19]
75

Kedua : Tidak Ada Kontradiksi Antara Ayat Dengan Hadits

Beragam jawaban para ulama dalam menjawab ayat diatas, tetapi yang terbagus
bahwa pada saat turunnya ayat tersebut, memang hanya empat perkara yang diharamkan,
tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan adanya pengharaman setelahnya yang harus
diterima. Berikut ini komentar para ulama yang menguatkan jawaban ini.

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata : “Mayoritas ahli ilmu dari ahli hadits dan
selainnya mengatakan bahwa ayat ini adalah muhkam tidak terhapus hukumnya. Dan setiap
yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditambahkan padanya, karena
itu adalah tambahan hukum dari Alloh melalui lisan rasulNya, sedangkan tidak ada bedanya
antara apa yang diharamkan Alloh dalam KitabNya dan apa yang Dia haramkan melalui lisan
rasulNya, berdasarkan firman Alloh.

“Artinya : Barangsiapa yang menaati Rasul sesungguhnya ia telah menaati Alloh …..” [An-
Nisa : 80]

“Artinya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Alloh dan hikmah …”
[Al-Ahzab : 34]

Ahli ilmu mengatakan yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam ayat ini tidak ada dalil
yang menunjukkan bahwa perkara haram hanya terbatas pada empat perkara saja, yang ada
hanyalah perintah Alloh kepada rasulNya agar beliau mengkhabarkan kepada para
hambaNya bahwa beliau tidak menjumpai dalam Al-Qur’an makanan atau minuman yang
ditegaskan keharamannya kecuali apa yang tersebut dalam ayat ini. Hal ini tidak menutup
kemungkinan kalau Alloh mengharamkan dalam kitabNya setelah itu atau melalui lisan
rasulNya perkara-perkara lain selain yang tersebut dalam ayat ini ..” [At-Tamhid 1/145-146]

An-Nawawi rahimahullah berkata : “Para sahabat kami (Syafi’iyyah) berdalil dengan


hadits-hadits ini seraya mengatakan ; ‘Ayat di atas hanyalah menunjukkan bahwa beliau
tidak mendapati waktu itu sesuatu yang diharamkan kecuali hanya empat perkara tersebut,
kemudian setelah itu diwahyukan pada beliau haramnya binatang buas yang bertaring,
sehingga wajib diterima dan diamalkan konsekuensinya” [Syarh Shahih Muslim 3/82-83]

Asy-Syinqithi rahimahullah berkata : “Pendapat terkuat yang didukung oleh dalil


adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa setiap perkara yang ditegaskan
keharamannya berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah maka hukumnya adalah haram yang
ditambahkan pada empat perkara tersebut. Hal ini tidak bertentangan sama sekali dengan
Al-Qur’an, karena perkara-perkara haram itu ditambahkan pada empat perkara tersebut
setelahnya”. Lanjutnya : “Waktu turunnya ayat tersebut tidak ada yang diharamkan kecuali
empat perkara saja. Namun apabila muncul pengharaman baru lainnya maka hal itu tidaklah
betentangan dengan pembatasan pertama karena yang ini datang setelahnya. Inilah
pendapat terkuat dalam masalah ini, insya Allah” (Adhwaul Bayan 2/224) [Lihat pula Ar-
Risalah Imam Syafi’i 206-208, Zadul Ma’ad Ibnul Qayyim 3/304, Nailul Authar 10/42 dan
Fathul Qadir Asy-Syaukani 2/172, Subulus Salam 7/279 Ash-Shan’ani]
76

Ketiga : Berdalil dengan ayat ini bisa dikatakan benar dalam hal-hal yang belum ditegaskan
keharamannya dalam Al-Qur’an dan Hadits, sedangkan binatang buas telah shahih dalil yang
menegaskan keharamannya. Maka ketegasan ini harus lebih didahulukan daripada
keumuman ayat di atas. [Fathul Bari Ibnu Hajar 9/655, Nailul Authar Asy-Syaukani 8/118]

Keempat : Ayat ini mencakup seluruh makanan yang diharamkan, sebagiannya dengan
ketegasan nash, dan sebagiannya secara makna dan keumuman lafazh. Sebab dalam ayat
tersebut Alloh menegaskan bahwa Dia mengharamkan hal-hal tersebut karena barang-
barang tersebut adalah “kotor”. Hal ini merupakan sifat yang mencakup seluruh perkara
haram, sebab semua yang haram itu adalah kotor yang diharamkan oleh Alloh kepada
hambaNya sebagai penjagaan dan kemuliaan bagi mereka. Adapun perincian perkara yang
haram diambil dari hadits, karena hadits merupakan penjelas Al-Qur’an” [Taisir Karimir
Rahmah, As-Sa’di 1/228]

Demikianlah pembahasan kita kali ini. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi
kita semua.Amiin.

[Disalin dari majalah Al Furqon, Edisi : 1 Tahun VI/Sya’ban 1427H/Sept 2006M. Penerbit
Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat : Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu
Gresik Jatim

__________

Foote Note

[1]. Zindiq dalam definisi para fuqaha adalah seorang yang menampakkan ke Islaman dan
menyembunyikan selain Islam atau orang yang mengingkari Pencipta, hari akhir dan amal
shaleh. Adapun menurut definisi ahli kalam dan umumnya manusia zindiq adalah
pengingkar dan penentang” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 7/471]
[2]. Ketahuilah bahwa maksud ucapan ulama “Madzhab fulan” adalah dua perkara : Pertama
: Madzhab pribadi. Kedua : Madzhab istilahi. Pada umumnya yang dimaksud oleh orang-
orang belakangan : madzhab Syafi’i, madzhab Ahmad dan sejenisnya adalah madzhab
istilahi, yang bisa jadi terkadang imam mereka sendiri menyelisihi pendapat madzhab
tersebut” [Syarh Mumti Ibnu Utsaimin 1/20-21]
[3]. Al-ustadz A.Hassan –semoga Alloh merahmatinya- berkata dalam Soal jawabnya (hal.
304) “ Menurut hadits, ada beberapa macam binatang terlarang dimakan, tetapi larangan
itu dipandang sebagai larangan makruh oleh sebagian daipada ulama”.
[4]. Penulis banyak mengambil manfaat pembahasan ini dari kitab Al-Ath’imah wa Ahkam
Shaid wa Dhabaih hal. 56-63 oleh Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, cet. Maktabah
Ma’arif, dengan beberapa tambahan penting dari referensi lainnya.
[5]. Demikian diterjemahkan dalam Kamus Kontemporer Arab Indonesia hal. 1203 dan
Kamus Muhammad Yunus hal. 226. Lebih jelas, lihat gambarnya dalam kamus tersebut.

&&&&&&&&&&&&&&&
77

Jumat, 2 Maret 2007 13:16:57 WIB

MAKANAN HARAM
Oleh
Ustadz Abu Ubaidah Al-Atsari

Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa makanan mempunyai pengaruh yang


dominant bagi diri orang yang memakannya, artinya : makanan yang halal, bersih dan baik
akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang haram
akan membentuk jiwa yang keji dan hewani. Oleh karena itulah, Islam memerintahkan
kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan yang
haram. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
78

“Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah baik, tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan
sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu’min sebagaimana yang
diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman : “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan
yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”. Dan firmanNya yang lain : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah
di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”. Kemudian beliau
mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut
serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit : “Ya Rabbi ! Ya Rabbi!
Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai dari harta yang
haram, dan ia meminum dari minuman yang haram,dan dibesarkan dari hal-hal yang haram,
bagaimana mungkin akan diterima do’anya” [Hadits Riwayat Muslim no. 1015]

Allah juga berfirman.

“Artinya : Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka
segala yang buruk” [Al-A’raf : 157]

Makna “ At-Thoyyibaat” bisa berarti lezat/enak, tidak membahayakan, bersih atau


halal. [Lihat Fathul Bari (9/518) oleh Ibnu Hajar]

Sedangkan makan “Al-Khabaaits” bisa berarti sesuatu yang menjijikan, berbahaya


dan haram. Sesuatu yang menjijikan seperti barang-barang najis, kotoran atau hewan-
hewan sejenis ulat, kumbang, jangkrik, tikus, tokek/cecak, kalajengking, ular dan sebagainya
sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan Syafi’i. [Lihat Al-Mughni (13/317) oleh Ibnu
Qudamah]. Sesuatu yang membahayakan seperti racun, narkoba dengan aneka jenisnya,
rokok dan sebagainya. Adapun makanan haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.

KAIDAH PENTING TENTANG MAKANAN

Sebelum melangkah lebih lanjut, perlu kita tegaskan terlebih dahulu bahwa asal
hukum segala jenis makanan baik dari hewan, tumbuhan, laut maupun daratan adalah halal.
Allah berfirman.

“Artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi” [Al-Baqarah : 168]

Tidak boleh bagi seorang untuk mengharamkan suatu makanan kecuali berlandaskan
dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang shahih. Apabila seorang mengharamkan tanpa dalil,
maka dia telah membuat kedustaan kepada Allah, Rabb semesta alam. FirmanNya.

“Artinya : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu
secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
79

Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan lebohongan terhadap Allah tiadalah


beruntung” [An-Nahl : 116]

MAKANAN HARAM

Karena asal hukum makanan adalah halal, maka Allah tidak merinci dalam Al-Qur’an
satu persatu, demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya.
Lain halnya dengan makanan haram, Allah telah memerinci secara detail dalam Al-Qur’an
atau melalui lisan rasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Allah berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [Al-An’am : 119]

Perincian penjelasan tentang makanan haram, dapat kita temukan dalam surat Al-
Maidah ayat 3 sebagai berikut ;

“Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk
dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya” [Al-Maidah : 3]

Dari ayat di atas dapat kita ketahui beberapa jenis makanan haram yaitu :

1. BANGKAI

Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram
dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada
bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan.
Bangkai ada beberapa macam sebagai berikut.

a). Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau
tidak.
b). Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras
hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
c). Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh
ke dalam sumur sehingga mati
d). An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya [Lihat Tafsir
Al-Qur'an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir]

Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan
dan belalang berdasarkan hadits.

“Artinya : Dari Ibnu Umar berkata: " Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun
dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa." [Shahih. Lihat
takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11]

Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda.
80

"Artinya : Laut itu suci airnya dan halal bangkainya" [Shahih. Lihat takhrijnya dalam Al-
Furqan 26 edisi 3/Th 11]

Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no.


480): "Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut
sekalipun terapung di atas air (laut)? Beliau menjawab: "Sesungguhnya yang terapung itu
termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah bersabda: "Laut itu suci airnya dan halal
bangkainya" [Hadits Riwayat Daraqutni : 538]

Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut
tidaklah shahih. [Lihat pula Al-Muhalla (6/60-65) oleh Ibnu Hazm dan Syarh Shahih Muslim
(13/76) oleh An-Nawawi]

2. DARAH

Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya :

"Artinya : Atau darah yang mengalir" [Al-An'Am : 145]

Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa'id bin Jubair. Diceritakan bahwa
orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia
mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk
memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat
makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. [Lihat
Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24]

Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa
berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel
pada daging atau leher setelah disembelih. Semuanya itu hukumnya halal. Syaikul Islam Ibnu
Taimiyyah mengatakan: " Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah
adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak
ada satupun dari kalangan ulama' yang mengharamkannya". [Dinukil dari Al-Mulakhas Al-
Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan]

3. DAGING BABI

Babi, baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh
anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam
al-Qur'an, hadits dan ijma' ulama.

Hikmah pengharamannya karena babi adalah hewan yang sangat menjijikan dangan
mengandung penyakit yang sangat berbahaya. Oleh karena itu,makanan kesukaan hewan ini
adalah barang-barang yang najis dan kotor. Daging babi sangat berbahaya dalam setiap
iklim, lebih-lebih pada iklim panas sebagaimana terbukti dalam percobaan. Makan daging
babi dapat menyebabkan timbulnya satu virus tunggal yang dapat mematikan. Penelitian
telah menyibak bahwa babi mempunyai pengaruh dan dampak negatif dalam masalah iffah
(kehormatan) dan kecemburuan sebagaimana kenyataan penduduk negeri yang biasa
81

makan babi. Ilmu modern juga telah menyingkap akan adanya penyakit ganas yang sulit
pengobatannya bagi pemakan daging babi. [Dari penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz
sebagaimana dalam Fatawa Islamiyyah 3/394-395]

4. SEMBELIHAN UNTUK SELAIN ALLAH

Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram,
karena Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan nama-Nya yang mulia.
Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain
Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut
adalah haram dengan kesepakatan ulama.

5. HEWAN YANG DITERKAM BINATANG BUAS

Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan
sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya
mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan
ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas
baik kambing, unta, sapi dan lain sebagainya, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum
mukminin.

Al-Mauqudhah, Al-Munkhaniqoh, Al-Mutaraddiyah, An-Nathihah dan hewan yang


diterkam binatang buas apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan
kakinya masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syar'i, maka
hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal.

6. BINATANG BUAS BERTARING

Hal ini berdasarkan hadits :

"Artinya : Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Setiap
binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan" [Hadits Riwayat. Muslim no. 1933]

Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil
Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I'lamul Muwaqqi'in
(2/118-119).

Maksudnya "dzii naab" yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk
melawan manusia seperti serigala, singa, anjing, macan tutul, harimau, beruang, kera dan
sejenisnya. Semua itu haram dimakan". [Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-
Baghawi]

Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang
bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah
pendapat yang salah. [Lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr, I'lamul Muwaqqi'in (4-
356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah no. 476 oleh Al-Albani]
82

Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): "Saya tidak
mengetahui persilangan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak
boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak
mengetahui seorang ulama pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikian pula
anjing, gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku
(keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bukan pendapat
orang....".

Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang buas
yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah halal sebagaimana
pendapat Imam Ahmad dan Syafi'i berdasarkan hadits.

"Artinya : Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang,
apakah ia termasuk hewan buruan ? Jawabnya: "Ya". Lalu aku bertanya: apakah boleh
dimakan ? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari
Rasulullah ? Jawabnya: Ya. [Shahih. Hadits Riwayat Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa'i
(5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-
Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507)]

Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? ! Imam
Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam I'lamul Muwaqqi'in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi
antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang buas, baik
ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh
Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad
Nasiruddin Al-Albani dalam At-Ta'liqat Ar-Radhiyyah (3-28)

7. BURUNG YANG BERKUKU TAJAM

Hal ini berdasarkan hadits.

"Artinya : Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari
setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam" [Hadits Riwayat Muslim no. 1934]

Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234) "Demikian juga setiap
burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya". Imam Nawawi
berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: "Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab
Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan
binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam."

8. KHIMAR AHLIYYAH (KELEDAI JINAK)

Hal ini berdasarkan hadits

"Artinya : Dari Jabir berkata: "Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang pada perang
khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda". [Hadits Riwayat
Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941]
83

Dalam riwayat lain disebutkan begini :

"Artinya : Pada perang Khaibar, mereka meneyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang
dari kuda" [Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa'i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272),
Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811]

Dalam hadits di atas terdapat dua masalah :

Pertama : Haramnya keledai jinak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan
sahabat, tabi'in dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas
seperti di atas. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama.
[Lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani]

Kedua : Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin
Rahawaih dan mayoritass ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas di atas.
Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan dengan sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari
Atha' bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij: " Salafmu biasa memakannya (daging kuda)".
Ibnu Juraij berkata: "Apakah sahabat Rasulullah ? Jawabnya : Ya. (Lihat Subulus Salam
(4/146-147) oleh Imam As-Shan'ani]

9. AL-JALLALAH

Hal ini berdasarkan hadits.

"Artinya : Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki".
[Hadits Riwayat. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih]

Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari
memakan jallalah dan susunya." [Hadits Riwayat. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu
Majah: 3189]

Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya "
[Hadits Riwayat Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648]

Maksud Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki
dua yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manusia/hewan dan
sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598)
meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama
tiga hari. [Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648]

Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: "Kemudian menghukumi


suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut
memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah
dan tidak haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya..."
84

Hukum jalalah adalah haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas Syafi'iyyah


dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-'Ied dari para fuqaha' serta
dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini, Al-Baghawi dan Al-Ghozali.
[Lihat Fathul Bari (9/648)]

Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan susunya.
Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat keharamannya itu hilang,
maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas
waktu tertentu. Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): "Ukuran waktu boelhnya
memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan
diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang benar.". Pendapat ini dikuatkan oleh
imam Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta'liqat Ar-
Radhiyyah (3/32).

10. AD-DHAB (HEWAN SEJENIS BIAWAK) BAGI YANG MERASA JIJIK DARINYA

Berdasarkan hadits :

"Artinya : Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata: Rasulullah melarang dari makan dhab
(hewan sejenis biawak). [Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Ma'rifah wa Tarikh
(2/318), Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam FathulBari (9/665) serta
disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 2390)]

Benar terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan
selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhab baik secara tegas berupa sabda Nabi
maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits Abdullah bin Umar secara marfu'
(sampai pada nabi).

“Artinya : Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya." [Hadits
Riwayat Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943]

Demikian pula hadits Ibnu Abbas dari Khalid bin Walid bahwa beliau pernah masuk
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke rumah Maimunah. Di sana telah
dihidangkan dhab panggang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkehendak untuk
mengambilnya. Sebagian wanita berkata : Khabarkanlah pada Rasulullah tentang daging
yang hendak beliau makan !, lalu merekapun berkata : Wahai Rasulullah, ini adalah daging
dhab. Serta merta Rasulullah mengangkat tangannya. Aku bertanya : Apakah daging ini
haram hai Rasulullah? Beliau menjawab : “Tidak, tetapi hewan ini tidak ada di kampung
kaumku sehingga akupun merasa tidak enak memakannya. Khalid berkata : Lantas aku
mengambil dan memakannya sedangkan Rasulullah melihat. [Hadits Riwayat Bukhari no.
5537 dan Muslim no. 1946]

Dua hadith ini serta banyak lagi lainnya –sekalipun lebih shahih dan lebih jelas- tidak
bertentangan dengan hadits Abdur Rahman bin Syibl di atas atau melazimkan lemahnya,
karena masih dapat dikompromikan diantara keduanya.Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul
Bari (9/666) menyatukannya bahwa larangan dalam hadits Abdur Rahman Syibl tadi
menunjukkan makruh bagi orang yang merasa jijik untuk memakan dhab. Adapun hadits-
85

hadits yang menjelaskan bolehnya dhab, maka ini bagi mereka yang tidak merasa jijik untuk
memakannya. Dengan demikian, maka tidak melazimkan bahwa dhab hukumnya makruh
secara mutlak. [Lihat pula As-Shahihah (5/506) oleh Al-Albani dan Al-Mausu’ah Al-Manahi
As-Syar’iyyah (3/118) oleh Syaikh Salim Al-Hilali]

11. HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA SUPAYA DIBUNUH

"Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik
di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam." [Hadits Riwayat Muslim no.
1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz "kalajengking: gantinya "ular"]

Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): "Setiap binatang yang
diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena
Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang
dimakan" [Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu' Syarh
Muhadzab (9/23) oleh Nawawi]

"Artinya : Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh
tokek/cecak" [Hadits Riwayat. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr
berkata dalam At-Tamhid (6/129) : "Tokek/cecak telah
disepakati keharaman memakannya".

12. HEWAN YANG DILARANG UNTUK DIBUNUH

"Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan : semut, tawon, burung
hud-hud dan burung surad " [Hadits Riwayat Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu
Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis
4/916]

Imam syafi'i dan para sahabatnya mengatakan: "Setiap hewan yang dilarang dibunuh
berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang
membunuhnya." [Lihat Al-Majmu' (9/23) oleh Nawawi]

Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun


ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati keharamannya. [Lihat
Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi]

"Artinya : Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah
bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang membunuhnya” [Hadits Riwayat Ahmad (3/453), Abu Daud
(5269), Nasa'i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar
dan Al-Albani]

Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa
ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab Syafi'i. Al-Abdari menukil dari Abu
Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal
kecuali katak. [Lihat pula Al-Majmu' (9/35), Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh
86

Syaikh As-Syanqithi, Aunul Ma'bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26)
oleh Al-Bassam]

13. BINATANG YANG HIDUP DI DUA ALAM

Sebagai penutup pembahasan ini, ada sebuah pertanyaan : “Adakah ayat Qur’an
atau Hadits shahih yang menyatakan bahwa binatang yang hidup di dua alam haram hukum
memakannya seperti kepiting, kura-kura, anjing laut dan kodok?”.

Jawab secara umum : Perlu kita ingat lagi kaidah penting tentang makanan yaitu asal
segala jenis makanan adalah halal kecuali apabila ada dalil yang mengharamkannya. Dan
sepanjang pengetahuan kami tiddak ada dalil dari Al-Qur'an dan hadits yang shahih yang
menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan
demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya "asal hukumnya adalah halal
kecuali ada dalil yangmengharamkannya. [Lihat pula “Soal jawab” Juz. 2 hal. 658 oleh Ustadz
A Hassan dkk]

Adapun jawaban secara terperinci :

Kepiting - hukumnya halal sebagaimana pendapat Atha' dan Imam Ahmad. [Lihat Al-
Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm]

Kura-kura dan Penyu - juga halal sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus,
Muhammad bin Ali, Atha', Hasan Al-Bashri dan fuqaha' Madinah. [Lihat Al-Mushannaf
(5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84]

Anjing laut - juga halal sebagaimana pendapat Imam Malik, Syafi'i, Laits, Sya'bi dan
Al-Auza'i [Lihat Al-Mughni 13/346]

Katak/kodok - hukumnya haram secara mutlak menurut pendapat yang rajih karena
termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas. Wallahu A’lam

Demikianlah pembahasan yang dapat kami sampaikan. Apabila benar, maka itu dari
Allah dan apabila salah, maka hal itu karena kemiskinan penulis dari perbendaharaan ilmu
yang mulia ini dan penulis menerima nasehat dan kritik pembaca semua.

[Disalin dari majalah Al Furqon, Edisi : 12 Tahun II/Rojab 1424. Penerbit Lajnah Dakwah
Ma’had Al-Furqon, Alamat : Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]

&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
87

Senin, 14 Agustus 2006 14:00:05 WIB

HUKUM MENYEMBELIH HEWAN TERNAK


DENGAN TENAGA LISTRIK
Dikoreksi
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan berkata dalam kitab beliau "Al-I'lam
Bi Naqdi Kitab Al-Halal wa Al-Haram" pada pasal koreksi 6: Hukum Menyembelih Hewan
Ternak dengan Tenaga Listrik.

Penulis (Yusuf Al-Qardhawi) di dalam pembahasannya yang berjudul Penyembelihan Ahli


Kitab hal. 48 menjelaskan sebagai berikut:
88

"Permasalahan yang kedua: Apakah disyaratkan bahwa penyembelihan kita, yaitu


dengan memakai alat yang tajam (seperti pisau) sebagaimana fatwa umumnya para ulama?
Adapun menurut golongan penganut mazhab Maliki, alat tajam bukan menjadi syarat. Imam
Al-Qadhi Ibnul 'Arabi di dalam tafsir ayat 3 surat Al-Maidah menerangkan: "Ini adalah dalil
yang pasti kebenarannya bahwa buruan dan makanan ahli kitab termasuk perkara thayyibat,
dihalalkan oleh Allah, kehalalannya adalah mutlak. Adapun Allah mengulang-ulang
pembahasan ini adalah untuk menghilangkan keraguan serta musnahnya anggapan-
anggapan yang membawa bahaya kerusakan sehingga memperpanjang permasalahan."
Saya pernah ditanya tentang orang Nasrani yang membekuk leher ayam lalu dimasaknya,
apakah dagingnya halal dimakan bersama makanannya atau diambil makanannya saja? Saya
jawab: "Dagingnya halal dimakan, karena itu adalah makanannya. Rahib dan ahbarnya
sekalipun sembelihannya tidak seperti kita. Sebab Allah menghalalkan makannya untuk kita
secara umum tidak ada perkecualian. Dan semua apa yang mereka lihat di dalam diennya
halal, maka untuk kitapun halal kecuali apa yang dijelaskan oleh Allah tentang
kebohongannya. Ulama kita ada yang berfatwa bahwa mereka pun menyerahkan wanitanya
untuk dinikahi, tentunya boleh dikumpuli, lalu mengapa kita enggan makan sembelihannya?
Ingat makan itu lebih ringan daripada menyetubuhi dalam kehalalan dan keharaman. Inilah
apa yang dijelaskan oleh Ibnul 'Arabi." Beliau menambahkan pada maudlu' (topik) yang ke-2:
"Apa yang mereka makan tanpa sesembelihan seperti pencekikan dan pemukulan kepalanya
-tanpa niat menyembelih-, maka itu dinamakan bangkai, hukumnya haram."

Penulis (Yusuf Al-Qardhawi) berkata: "Dua perkataan itu tidak bertentangan, sebab
selagi mereka menilainya itu sebagai sesembelihan, maka halal bagi kita untuk
memakannya. Sekalipun cara penyembelihannya tidak sama dengan kita. Sebaliknya jika
mereka menilai hal itu bukan sesembelihan, maka haram bagi kita memakannya. Oleh
karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa selagi ada tujuan untuk mengeluarkan nyawa
hewan, maka dapat dikatakan menyembelih. Inilah pendapat pengikutnya Maliki secara
umum.

Karenanya berdasarkan keterangan yang kami paparkan di atas tadi, kita dapat
mengetahui hukum daging yang diimpor dari Ahli Kitab, seperti ayam dan daging sapi yang
dibungkus. Boleh jadi penyembelihannya dengan alat listrik dan yang semisalnya selagi
mereka menilainya halal maka halal pula untuk kita, juga sesuai dengan pemahaman
keumuman ayat."

Selesailah pembicaraan penulis yang intinya beliau berusaha menghalalkan daging


impor yang penyembelihannya bertentangan dengan syariat Islam.

Jawaban kami kepadanya ada beberapa segi.

Pertama.

Penulis nampaknya berani mengubah apa yang ia nukil dari perkataan Ibnul 'Arabi, berani
menambah, mengurangi dan merubah kalimatnya. Tentunya perbuatan ini penyelewengan
amanat ilmiah dan hilang rasa takutnya kepada Allah. Jika kita mau mengembalikan apa
yang ia nukil lalu kita padukan dengan aslinya, maka nampak ketidakjujurannya.
89

Misal pertama, Ibnul 'Arabi berkata: "Mereka (Ahli Kitab) itu menyerahkan anak laki-
laki dan wanita mereka untuk dimiliki selama waktu perdamaian". Tetapi ibarat yang
diungkapkan oleh penulis demikian: "Mereka menyerahkan kepada kita wanita-wanitanya
agar dinikahi". Penulis menghapus kalimat "anak-anak laki-laki mereka" dan "selama waktu
perdamaian". Penulis juga merubah "untuk dimilikiI" menjadi “untuk dinikahi".

Contoh kedua, Ibnul 'Arabi berkata: "Maka jika apa yang mereka makan itu bukan
dalam bentuk penyembelihan seperti dengan cara pencekikan dan pemukulan kepala, maka
hal ini hukumnya bangkai. Haram hukumnya menurut nash walaupun mereka memakannya,
maka kitapun haram memakannya. Demikian juga babi bagi mereka halal demikian juga
makanan mereka yang lain, tetapi hal itu itu haram bagi kita". Adapun redaksi dari penulis
dalam penukilannya adalah sebagai berikut: "Apa yang mereka makan yang bukan
disembelih seperti dengan cara pencekikan dan pemukulan kepada tanpa niat disembelih",
lalu beliau menghapus kata-kata "menurut nash" sampai pada kata "demikian juga makanan
mereka yang lain".

Barangkali dia berbuat demikian bertujuan agar fatwa Ibnul 'Arabi dapat dijadikan
dasar untuk dihalalkannya binatang yang dibunuh dengan listrik, sekalipun menyimpang
dengan penyembelihan menurut syara'.

Kedua.

Bahwa perkataan Ibnul 'Arabi ini sangat berlawanan, suatu saat dia mengungkapkan:
"Apa yang dimakan oleh ahli Kitab, padahal dia menyembelihnya bukan dengan cara
penyembelihan, tentunya hukum makannya haram karena itu bangkai. Demikian juga babi,
haram untuk kita."

Fatwa beliau ini adalah benar karena sejalan dengan syariat Islam, lebih-lebih
binatang yang mati karena dicekik lehernya. Demikian juga penafsiran beliau tentang Al-
Munkhaniqati (binatang yang tercekik) sebagaimana di dalam ayat, mencakup pula binatang
yang dijerat lehernya.

Beliau (Ibnul 'Arabi) berkata: "Wal Munkhaniqah ialah yang terjerat lehernya dengan
tali baik disengaja atau tidak, atau tanpa tali." Ini menandakan tertolaknya tambahan
kalimat "tanpa niat penyembelihan" oleh Yusuf Qardhawi.

Kemudian berlawanan pula perkataannya Ibnul 'Arabi yang pertama dan kedua,
karena beliau mengatakan: "Bahwa dihalalkan bagi kita penyembelihan orang Nasrani
dengan cara menjerat lehernya, sebab sudah menjadi makanan para rahib (pendeta) dan
ahbar (paderi)-nya, sekalipun cara penyembelihannya tidak sama dengan kita." Sekarang
kita bertanya, mana di antara dua perkataannya tadi yang dapat dijadikan pegangan? Maka
tidak diragukan lagi lagi bahwa fatwanya yang pertamalah yang dapat dijadikan pegangan
karena sesuai dengan nash syara'. Adapun fatwanya yang kedua keliru, tidak bisa dijadikan
pegangan.

Selanjutnya penulis pada awalnya mengatakan: "Saya tidak bisa menerima dengan
akal yang waras, bahwa saya ini dituduh taqlid atau bermadzhab tertentu dalam segala
90

permasalahan, baik itu keliru atau benar." Lalu mengapa dia sendiri di sini menyampingkan
akalnya dalam pembahasan ini dan bertaqlid kepada Ibnul 'Arabi dalam pendapatnya yang
keliru lagi bertentangan sehingga dengan fatwanya ditarik kesimpulan boleh makan
sembelihan dengan cara penyetruman listrik.

Ketiga.

Penulis mengatakan: "Pemahaman menyembelih ialah bermaksud untuk


mengeluarkan nyawa binatang dengan niat untuk dimakan."

Perkataan ini mempunyai arti kapan saja binatang itu dapat dicabut nyawanya
dengan niat untuk dimakan, berarti hukumnya seperti menyembelih menurut syara',
walaupun dengan memakai beberapa cara dan di manapun mengena pada badannya. Jelas
pendapat ini adalah keliru, sebab penyembelihan menurut syara' mempunyai sifat yang
khas dan alat yang khas serta di tempat bagian badannya yang khas pula sebagaimana
penjelasan para ulama.

Selanjutnya Ibnul 'Arabi di dalam menafsirkan ayat 3 surat al Maidah mengatakan


bahwa yang dimaksud dengan penyembelihan menurut syara' ialah mengalirnya darah,
terpotongnya urat leher hewan yang disembelih di lehernya. Adapun penyembelihan
binatang yang sulit diatasinya -sebagaimana penjelasan yang lalu- dengan disertai niat
menyembelihnya dan menyebut nama Allah.

Selanjutnya beliau menjelaskan tentang khilaf ulama di dalam hukum menyembelih


dari tengkuknya, lalu beliau menerangkan: Dikembalikan pada asalnya sebagaimana kami
telah menjelaskannya kepadamu. Yaitu bahwa penyembelihan sekalipun ada niat untuk
mengalirkan darah, tetapi penyembelihan itu termasuk bagian dari ibadah dan
mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci. Sebab pada zaman jahiliyah penyembelihan
itu mereka maksudkan untuk patung-patung dan berhalanya, disembelihnya untuk selain
Allah, dan mereka menjadikan sembelihannya itu dalam rangka mendekatkan diri dan
beribadah kepada-Nya. Karena itu Allah memerintahkan agar mengembalikan niat dan
ibadah kepada-Nya. Dengan demikian berarti penyembelihan itu ada sangkut pautnya
dengan niat dan tempat yang khusus. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam menyembelih
hewan pada tenggorokan di lehernya, sebagaimana beliau telah bersabda:

"Artinya : Bahwasanya penyembelihan itu di tenggorokan dan di lehernya."

Ini menunjukkan bahwa tempatnya khusus. Bahkan beliau menjelaskan lagi:

"(dengan) Alat yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah, maka makanlah."

Apabila diabaikan hal itu, yakni tidak ada niat, tidak ada persyaratan dan sifat-sifat
yang khusus, maka hilanglah makna ibadah. Ibnu Qudamah di dalam kitab Al Mughni
menjelaskan tempat penyembelihan sebagai berikut: "Adapun tempatnya adalah
tenggorokan dan leher, yaitu wahdah (lekuk/cekung antara pangkal leher dan dada). Maka
dilarang menyembelih pada selain tempat ini menurut ijma'.
91

Keempat.

Bahwa fatwa penulis menghalalkan daging impor yang kadang-kadang


penyembelihannya dengan sengatan listrik dan semisalnya adalah fatwa yang batil. Sebab
penyembelihan dengan cara ini, tidak halal dagingnya. Lebih-lebih yang menyembelihanya
bukan orang Islam, sebab cara itu tidak memenuhi persyaratan penyembelihan. Inilah fatwa
yang berdasarkan qaul Ibnul 'Arabi dan yang lainnya, dan sudah kami jelaskan pertentangan
dan kerusakannya.

Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman bin Jasir di dalam kitab Manasik-nya II/219
menukil qaulnya para fuqaha, beliau mengatakan: "Jika penyembelihan itu diwakilkan
kepada orang ahli, sekalipun kafir dzimmi Ahli Kitab, maka sah tetapi makruh."

Kami katakan, "Yang dimaksud oleh fuqaha boleh mewakilkan ahli kitab dzimmi
dalam penyembelihan hewan milik orang Islam atau korbannya dengan syarat Ahli Kitab
dzimmi itu menyembelih pada tempat yang disyariatkan dan menurut persyaratan yang
berlaku. Tetapi jika mereka menyembelihnya dengan menusukkan paku atau kapak di
kepalanya dan semisalnya atau dengan listrik sebagaimana yang dilakukan oleh orang
Nasrani pada masa sekarang, maka dilarang mewakilkannya dan haram dagingnya. Sebab
penyembelihan dengan cara itu tidak dinamakan penyembelihan tetapi bangkai. Hal itu
adalah haram sekalipun yang melakukannya orang Islam. Wallahu a'lam.

Adapun perkataan penulis: "Selagi mereka menilai halal dan disembelih, maka
kitapun halal memakannya sesuai dengan keumuman ayat." Kami jawab: "Bukanlah yang
dimaksud Allah menghalalkan kepada kita makanan yang mereka halalkan, tetapi makanan
mereka yang dihalalkan oleh Allah untuk mereka (maka halal pula untuk kita). Adapun
ucapan Ibnul 'Arabi yang menjadi sandaran oleh pengarang, di sini adalah menjelaskan
kebalikan sebagaimana yang beliau katakana tadi, bahkan memperkuat pendapat kami.
Mengapa? Sebab kebolehan penyembelihan mereka itu dikaitkan dengan anggapan mereka
dalam agamanya dan Allah tidak mendustakan mereka tentang masalah itu, supaya menjadi
makanan bagi pendeta dan rahib mereka. Sekarang kami bertanya: "Apakah penyembelihan
dengan cara sengatan listrik dan mereka menganggapnya halal menurut agamanya dan
sembelihannya dimakan oleh ahbar dan rahib mereka, tidak didustakan oleh Allah?
Tentunya penulis harus menelaahnya terlebih dahulu.

[Disalin dari dari buku Al-I'lam Bi Naqdi Kitab Al-Halal wa Al-Haram, edisi Indoensia Kritik
terhadap buku: Halal dan Haram dalam Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzah bin Abdullah Al-
Fauzan, Penerbit Pustaka Istiqamah Solo]

&&&&&&&&&&&&&&&&&&
92

Senin, 10 Juli 2006 10:12:58 WIB

KESULITAN MENDAPATKAN DAGING HALAL DAN


BEJANA SUCI

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya seorang pelajar dari Somalia. Saya
belajar di negeri Cina. Saya menghadapi banyak masalah dalam soal makanan secara umum
dan untuk mendapatkan daging halal secara khusus. Diantara kesulitan-kesulitan itu
misalnya.
93

[1]. Sebelum pergi ke Cina, saya mendengar bahwa hewan-hewan yang disembelih atau
lebih tepatnya dibunuh oleh orang-orang kafir, tidak boleh dimakan oleh seorang muslim. Di
perguruan tinggi, kami memiliki sebuah restoran kecil khusus bagi kaum muslimin. Di situ
juga ada daging. Namun saya sendiri tidak yakin kalau hewan itu disembelih menurut cara
yang Islami, saya masih ragu dalam hal ini. Perlu diketahui bahwa teman-teman saya tidak
merasa ragu seperti saya dan tetap memakannya. Apakah mereka melakukan yang benar,
atau telah melakukan yang haram ?

[2]. Berkaitan dengan tempat makanan atau bejana makanan, tidak ada pembedaan antara
tempat makanan kaum muslimin dengan non muslim. Apa yang harus saya lakukan
menghadapi segala hal itu ?

Jawaban

Tidak boleh memakan sembelihan orang-orang kafir selain Ahli Kitab dari kalangan
Yahudi dan Nashrani, baik mereka itu Majusi, Paganis, Komunis atau orang – orang kafir lain,
dan juga makanan yang bercampur dengan sembelihan mereka kuah dan sejenisnya. Karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memperbolehkan bagi kita memakan makanan orang-
orang kafir selain Ahli Kitab, berdasarkan firman Allah.

“Artinya :Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka
….” [Al-Ma’idah : 5]

Makanan mereka, artinya sembelihan mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh


Ibnu Abbas dan yang lainnya. Adapun buah-buahan dan sejenisnya, tidak menjadi masalah,
karena tidak termasuk katagori makanan yang diharamkan. Sementara makanan kaum
muslimin juga halal bagi sesama muslim atau bagi non muslim, karena mereka betul-betul
muslim, dalam arti tidak beribadah kepada selain Allah, tidak beribadah kepada para Nabi,
para wali, para penghuni kubur dan yang lainnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang
kafir.

Adapun tempat makanan seyogyanya kaum muslimin memiliki tempat-tempat


makanan sendiri, tidak dipakai bersama orang-orang kafir, karena mereka menggunakannya
untuk makanan mereka, untuk minuman keras dan sejenisnya. Kalau tidak ada, juru masak
kaum muslimin harus mencuci bejana-bejana yang biasa digunakan oleh orang-orang kafir,
baru kemudian digunakan untuk tempat makanan kaum muslimin, berdasarkan riwayat
shahih dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani Radhiyallahu
‘anhu bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum makan
dengan menggunakan tempat makanan kaum musyrikin. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.

“Artinya : Jangan kalian gunakan untuk makan, kecuali bila tidak ada yang lain, cucilah
terlebih dahulu, baru gunakan untuk tempat makanan kalian”
94

HUKUM DAGING IMPORT DARI NEGERI-NEGERI


AHLI KITAB
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Berkaitan dengan daging import dari luar
negeri, demikian juga ayam beku yang tidak kita ketahui, bagaimana penyembelihannya, di
mana sebagian ulama tidak merekomendasikannya unuk dibeli?

Jawaban

Kalau daging-daging itu di import dari negeri-negeri Ahli Kitab, halal dimakan dan
kami tidak mengetahui adanya dalil yang mengharamkannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala

“Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka
…” [Al-Ma’idah : 5]

Realita bahwa di sebagian negeri Ahli Kitab, binatang-binatang disembelih tidak


dengan cara syar’i, tidaklah menyebabkan daging-daging import dari berbagai negeri Ahli
Kitab itu menjadi haram. Kecuali kalau kita mengetahui secara pasti bahwa daging import
tertentu berasal dari tempat penyembelihan yang tidak syar’i. Karena pada asalnya adalah
halal dan aman, sebelum diketahui hal yang mengandung konsekwensi sebaliknya.

[Diasalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal, Edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerjemah Abu Umar Abdillah, Penerbit Pustaka At-
Tibyan]

&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
95

Bolehkah Kita Mengkonsumsi Daging Import Dan Bolehkah Membeli Daging Dari Orang
Yang Tidak Shalat?

Senin, 5 Juni 2006 14:14:53 WIB

BOLEHKAH KITA MENGKONSUMSI DAGING


IMPORT?
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Kami mengimport daging mentah tanpa
tulang dari negeri asing (non muslim, -red) dan daging ini banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat kita karena harganya murah. Bolehkah kita mengkonsumsi daging tersebut ?
Tolong beri kami penjelasan ! Jazakumullah khairan.
96

Jawaban

Daging yang diimport dari selain negeri kaum muslimin, ada dua jenis.

Pertama : Daging-daging itu berasal dari negeri Ahli Kitab, maksudnya negeri yang
penduduknya beragama Nasrani atau Yahudi, dan yang melakukan penyembelihan adalah
salah seorang Ahli Kitab dengan penyembelihan yang sesuai syariat.

Daging jenis ini halal dikonsumsi oleh kaum muslimin berdasarkan ijma karena firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal pula bagi mereka” [Al-Maidah : 5]

Kata ‘tha’amuhum, maksudnya adalah sembelihan mereka berdasarkan ijma’ ulama.


Karena selain sembelihan, seperti biji-bijian, buah-buahan dan lain sebagainya halal, baik
berasal dari Ahli Kitab ataupun lainnya.

Kedua : Daging import dari negeri bukan negeri Ahli Kitab, seperti negeri komunis, negeri
paganis (penyembah patung).

Daging-daging ini tidak boleh dikonsumsi oleh kaum muslimin, selama


penyembelihannya tidak dilakukan oleh seorang Muslim atau seorang Ahlu Kitab (dengan
cara penyembelihan yang sesuai syari’at, -red). Jika penyembelihannya diragukan
agamanya, atau metode penyembelihannya diragukan, apakah dilakukan sesuai dengan
tuntunan syari’at atau tidak, maka seorang muslim diperintahkan untuk berhati-hati dan
meninggalkan yang syubhat (samar). Sedangkan (daging-daging) yang tidak mengandung
syubhat sudah bisa mencukupi (mudah didapat).

Makanan itu sangat berbahaya, jika makanan itu keji (haram) ; karena akan
memberikan makanan dengan makanan yang buruk. Dan daging-daging sembelihan itu
memiliki kepekaan (sensitifitas) yang besar. Oleh karena itu, disyaratkan pada daging-daging
sembelihan itu berasal dari orang-orang yang berhak melakukan penyembelihan, yaitu
orang-orang Muslim atau Ahli Kitab, dan cara penyembelihannya dilakukan sesuai dengan
tuntunan syariat.

Jika dua syarat ini tidak terpenuhi, berarti daging itu merupakan bangkai, sedangkan
bangkai itu (hukumnya) haram.

Kesimpulannya, daging-daging yang ditanyakan ini, jika diimport dari negeri Ahli
Kitab dan disembelih sesuai dengan tuntunan syari’at, maka daging ini boleh dikonsumsi.
Sedangkan jika disembelih tidak sesuai dengan tuntunan syari’at, seperti dengan
menggunakan sengatan listrik atau semacamnya, maka (demikian) ini haram.

Jika urusan ini masih samar pada anda, maka tinggalkan daging-daging itu dan
beralihlah kepada yang tidak mengandung syubhat. Wallahu a’lam
97

[Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 5/320-321]

BOLEHKAH MEMBELI DAGING SEMBELIHAN


ORANG YANG TIDAK SHALAT ?
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Kami membeli daging dari para jagal,
dan kami tidak mengetahui apakah mereka melakukan shalat ataukah tidak. Namun kami
cenderung menyangka. Mereka tidak shalat, karena kami tidak melihat mereka di masjid-
masjid yang berdekatan dengan mereka, sedangkan kami pernah menanyakan kepada
mereka tentang orang yang melakukan penyembelihan itu, dan mereka menjawab : “Kami
yang menyembelih”. Bolahkah membeli daging dari mereka, setelah mengira bahwa mereka
tidak shalat? Berilah fatwa kepada kami. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan
kepada anda.

Jawaban

Daging yang dijual di pasar-pasar kaum muslimin dari hewan-hewan yang disembelih
di negera-negara Islam hukum asalnya adalah halal, alhamdulillah. Dan tidak perlu
ditanyakan tentangnya, selama belum jelas atau tidak terbukti bahwa daging itu berasal dari
sembelihan yang tidak sesuai syari’at.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang satu kaum yang baru
masuk Islam, mereka membawa daging ke pasar-pasar kaum muslimin, dan tidak diketahui
apakah mereka menyebut nama Allah ketika menyembelih ataukah tidak, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban.

“Artinya : Hendaklah kalian membaca bismillah dan makanlah” [Hadits Riwayat Bukhari
6/226 dari Aisyah]

Maksudnya, bacaan basmalah ketika hendak makan. Sehingga keraguan yang ada
pada benak para penanya tidak memiliki kesempatan untuk menjadikan daging-daging itu
haram, wallahu a’lam.

Sedangkan kondisi orang-orang yang dipertanyakan yang meremehkan shalat


berjama’ah, tidak mesti mengakibatkan hasil sembelihan mereka menjadi haram. Karena
98

meninggalkan shalat berjama’ah, meskipun itu merupakan perbuatan haram (berdosa),


namun perbuatan itu tidak mengeluarkan dari Islam, dan pelakunya tidak dianggap kafir.

[Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 5/324]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun IX/1427/2006M, Diterbitkan oleh Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Puwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]

&&&&&&&&&&&&&&&

Selasa, 18 April 2006 14:26:15 WIB

DAMPAK MAKANAN HARAM BAGI MASYARAKAT


Oleh
Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Mengkonsumsi makanan yang halal lagi baik akan memberikan pengaruh yang
signifikan dalam proses pembersihan jiwa, terkabulnya do’a dan diterimanya amal ibadah.
Sebaliknya, mengkonsumsi makanan yang haram, akan menghalangi terkabulnya doa dan
diterimanya ibadah. Allah berfirman tentang orang-orang Yahudi.

ُُ ‫ظ‬
{ ‫يم‬ ِ ‫َاب َع‬ ِ َ ‫م فِي ْاأل‬
ٌ ‫خ َر ِة َعذ‬ ْ ‫ي َولَ ُه‬
ُُ ‫خ ْز‬ ْ ‫م لَ ُه‬
ِ ‫م فِي ال ُّد ْنيَا‬ ِّ َ‫هللا أَن ُيط‬
ْ ‫ه َر ُقلُوبَ ُه‬ ُ ‫م ُي ِر ِد‬ ْ َ‫ين ل‬ َ ِ‫ُأ ْوالَئ‬
َ ‫ك الَّ ِذ‬
‫ت‬
ِ ‫ح‬ ْ ‫لس‬ َ َ ‫اعونَ لِ ْل‬
ُّ ِ‫ك ِذبِ أكَّالُونَ ل‬ ُ ‫م‬ َّ ‫س‬َ }41

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak menyucikan hati mereka. Mereka
beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. Mereka itu
adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan makanan
yang haram” [Al-Maidah ; 41-42]
99

As-Suhtu maksudnya adalah makanan yang haram. Barangsiapa yang keadaannya


demikian, bagaimana mungkin Allah membersihkan hatinya dan mengabulkan
permohonannya ?

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “ Sesungguhnya Allah Maha Baik, tidak
menerima kecuali hal yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mukminin
dengan perintah yang diarahkan kepada para rasulNya. Allah Ta’ala berfirman.

‫حا‬
ً ِ‫صال‬
َ ‫ملُوا‬ ْ ‫ن الطَّ ِي ّبَاتِ َو‬
َ ‫اع‬ َ ‫ل ُكلُوا ِم‬ ُ ‫يَآأَيُّ َها ال ُّر‬
ُ ‫س‬

“Hai para rasul, makanlah dari makanan yang baik dan kerjakanlah amalan yang shalih” [Al-
Mukminun : 51]

َ ‫يَاأَيُّ َها الَّ ِذ‬


ْ ‫ين َءا َم ُنوا ُكلُوا ِمن طَ ِي ّبَاتِ َما َر َز ْق َناك‬
‫ُم‬

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan “
kepadamu” [Al-Baqarah : 172]

Sesudah itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan keadaan seseorang


yang sedang dalam perjalanan jauh. Orang tersebut rambutnya kusut, tubuhnya penuh
debu, menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya memanjatkan (permohonan do’a) :
‘Wahai, Rabb-ku, wahai Rabb-ku”, namun makanannya haram, minumannya haram dan
pakaiannya haram. Dia tumbuh dengan makanan yang haram, bagaimana mungkin
dikabulkan ?[1]

Makanan yang halal maupun yang haram, tidak hanya berpengaruh pada hati
individu dan perangainya saja, yang berpotensi memperbaiki atau menyimpangkannya,
tetapi efek negatif tersebut juga merambah mempengaruhi masyarakat. Sebab sebuah
komunitas terdiri dari sekelompok individu.

Masyarakat yang di dominasi dengan kejujuran dalam bermua’malah,


mengkonsumsi makanan yang diperbolehkan, ia akan tumbuh menjadi sebuah komunitas
yang bersih, teladan dan saling menolong lagi kokoh.

Sebaliknya, masyarakat yang terkungkung oleh praktek risywah (suap), tipu menipu
dan tersebarnya makanan yang haram, akan menjadi komunitas yang ternoda, tercerai
berai, indiviudalis, tak mengenal kerjasama saling menolong, hina di mata masyarakat lain,
(juga sebagai) ladang subur bagi perkembangan sifat-sifat buruk. Pada gilirannya, akan
menyeret masyarakat tersebut pada kondisi yang lemah, tidak lama kemudian akan sirna
oleh arus yang kecil sekalipun.

Pasalnya, makanan-makanan yang buruk tersebut bisa merusak tabiat manusia,


“Allah mengharamkan makanan-makanan yang buruk lantaran mengandung unsur yang
dapat menimbulkan kerusakan, baik pada akal, akhlak ataupun aspek lainnya. Keganjilan
prilaku akan nampak pada orang-orang yang menghalalkan makanan dan minuman yang
haram tersebut, sesuai dengan kadar kerusakan yang terkandung (dalam makanan
100

tersebut). Seandainya, mereka tidak mencari-cari alasan takwil (sebagai pembenaran),


niscaya sudah pantas untuk ditimpa siksa (dari Allah)” [2]

[Dikutip dari kitab Al-Ath’imah, Syaikh Al-Fauzan, hal. 18-19, Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh
Cet. II, Th 1419/1999]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
08121533647, 08157579296]

_______

Footnote

[1]. Hadits Riwayat Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi


[2]. Majmu Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (10/21)

&&&&&&&&&&&&&&&

Hukum Memakan Daging Import Dan Keju Yang Diproduksi Oleh Negara-Negara Kristen

Kamis, 9 Maret 2006 16:36:23 WIB

HUKUM MEMAKAN DAGING IMPORT

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apa hukumnya memakan daging


import?

Jawaban

Daging (import) ini ada dua kemungkinan yaitu hewan yang boleh dimakan dan tidak
boleh dimakan. Hewan yang boleh dimakan terbagi menjadi dua kemungkinan :
101

[1]. Sembelihan ahli kitab, ini bisa berupa.

- Disembelih secara syari'at maka halal dimakan

- Dibunuh dengan cara (yang tidak syar'i), maka haram dimakan, karena kita tidak
mengetahuinya dengan jelas. Nabi bersabda : "Tinggalkan apa yang meragukanmu, lakukan
apa yang tidak meragukanmu".

[2]. Bukan sembelihan ahli kitab, maka hukumnya haram.

Daging hewan yang tidak dimakan sembelihannya (hewan yang haram dimakan)
maka ini hukumnya haram.

HUKUM MEMAKAN KEJU YANG DIPRODUKSI


OLEH NEGARA-NEGARA KRISTEN
Pertanyaan

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Sebagian keju yang diproduksi


oleh negara-negara Kristen mencantumkan bahwa sebagian materi penyusunnya adalah
senyawa yang diambil dari lambung sapi untuk proses fermentasi. Jika diduga kuat bahwa
sapi tersebut tidak disembelih sesuai dengan syariat, maka apakah senyawa tadi juga
menjadi haram karena ia mengikuti hukum sembelihannya (yaitu sapi yang tidak disembelih
sesuai syari'at yang hukumnya haram,-pent)?

Jawaban

Tidak, karena para sahabat memakan keju yang mereka peroleh dari negeri Persia.

Dan senyawa penyusunan keju tersebut yang diambil dari hewan yang tidak disembelih
secara Islami, maka senyawa tersebut najis dan haram. Dan di sini tidak ada bedanya apakah
hewan tersebut disembelih atau tidak.

Mengenai perbuatan para sahabat yaitu memakan keju yang mereka peroleh dari
Persia membukakan suatu pintu (bab) fiqih bagi kita yang jarang dibahas orang.

Lihatlah ! senyawa najis ini dalam prosesnya dicampur dalam susu yang jumlahnya
sangat besar. Coba kita bandingkan dengan air suci yang turun dari langit dalam jumlah yang
sangat banyak dalam suatu penampungan. Kemudian air tersebut kemasukan sedikit najis.
Bolehkah kita meminum air ini dan bersuci dengannya ? Boleh, karena najis tersebut tidak
mengalahkan kesucian air tersebut, dan sifat air itu tetap seperti semula yaitu suci dan
mensucikan. Maka demikian pula dengan susu tersebut, ia suci dan boleh diminum.

Dan seandainya susu yang tercampur senyawa najis tersebut berubah menjadi keju,
maka di sini aku sama sekali tidak dapat memberikan suatu pendapat. Akan tetapi jika ada
102

sebagian ahli kimia yang meneliti bahwa keju dari susu yang tercampur senyawa najis
tersebut telah berubah menjadi senyawa atau materi lain, maka masalah ini menjadi lebih
mudah (ia menjadi halal ,-“pent)

Adapun jika ternyata senyawa tersebut masih dalam hakikat semula, tetapi ia
teramat kecil bila dibandingkan jumlah susu yang telah berubah menjadi keju, maka
jawabnya adalah sebagaimana yang baru saja disebutkan (ia menjadi halal, -pent).

Perubahan materi sangat berpotensi merubah hukum-hukum syar'i. Dan perubahan


materi termasuk sesuatu yang bisa mensucikan benda-benda yang najis dalam syariat
Islamiyah.

Khamr diharamkan karena memabukkan. Tapi jika khamr tersebut mengalami


perubahan dan menjadi cuka, maka cuka tersebut tidak lagi memabukkan dan
hukumnyapun menjadi halal. Jadi cuka ini boleh diminum karena tidak memabukkan dan
tidak pula najis.

[Disalin dari buku Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa
Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni
Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]

&&&&&&&&&&&&&&

Selasa, 28 Februari 2006 08:13:30 WIB

HUKUM MENYEMBELIH UNTUK SELAIN ALLAH


DENGAN MAKSUD MENDAPATKAN
KESEMBUHAN
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Sebagian orang ketika mendapatkan
musibah, mereka pergi kepada seseorang yang mereka sebut tabib tradisional. Ketika orang
sakit dibawa kepada tabib ini, makak dikemukakan kepada wali orang yang sakit tersebut
sejumlah penyakit. Ia menegaskan bahwa penyakit ini tidak akan bisa sembuh kecuali jika
disembelihkan untuknya hewan tertetntu yang tidak disebutkan nama Allah ketika
menyembelihnya. Setelah disembelih, hewan tersebut dikuburkan di tempat yang telah
ditentukannya. Apakah jika seseorang melakukan hal itu untuk mencari kesembuhan tanpa
berniat syirik merupakan suatu dosa, dan apakah itu termasuk syirik besar, kemudian
103

apakah dampak menyembelih untuk selain Allah secara umum pada akidah muslim ?

Jawaban.

Menyembelih untuk selain Allah guna menyembuhkan orang yang sakit atau tujuan-
tujuan lainnya adalah syirik besar, karena penyembelihan adalah ibadah. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah". [Al-Kautsar : 2]

Dia berfirman.

"Artinya : Katakanlah, Sesungguhnya shalatku, ibadahku (sembelihanku) hidupku dan


matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya ; dan demikian itulah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah)". [Al-An'am : 162-163]

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan agar penyembelihan itu karena Allah


semata, dan Dia mengiringkannya bersama shalat. Demikian pula Allah memerintahkan
untuk memakan sembelihan yang disebutkan nama Allah dan melarang makan dari
sembelihan yang tidak disebutkan namaNya. Dia berfirman.

"Artinya : Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika
menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayatNya". [Al-An'am : 118]
Hingga firmanNya.

"Artinya : Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu
kefasikan". [Al-An'am : 121]

Penyembelihan karena selain Allah adalah syirik besar, untuk tujuan apapun, baik
untuk menyembuhkan orang yang sakit, sebagaimana yang mereka sangka, maupun tujuan
lainnya. Orang yang memerintahkan kerabat orang yang sakit supaya menyembelih
sembelihan dengan tidak menyebut nama Allah adalah seorang dukun yang memerintahkan
kesyirikan. Oleh karena itu, wajib melaporkan kepada pemerintah mengenainya, agar
menangkapnya dan membebaskan umat Islam dari keburukannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan buat kita obat-obatan yang mubah
untuk mengobati orang yang sakit. Yaitu, dengan pergi kepada dokter, rumah sakit dan
berobat dengan pengobatan yang berguna lagi diperbolehkan. Demikian pula Allah
Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkan kepada kita ruqyah dengan kitabNya, dengan
membacakan pada orang yang sakit dari kitab Allah dan kita memohon kesembuhan kepada
Allah dengan doa-doa yang diriwayatkan dari Nabi.

Dengan ini cukup untuk orang-orang yang beriman.


104

"Artinya : Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya". [Ath-
Thalaq : 3]

Adapun para pesulap tersebut, maka mereka adalah para pendusta dan para dajjal
yang bermaksud untuk merusak akidah umat Islam serta memakan harta orang lain dengan
batil. Oleh karena itu, mereka tidak boleh dibiarkan mengelabui dan menyesatkan manusia,
bahkan wajib menolak dan menghentikan kejahatan mereka.

Adapun membiarkan mereka adalah meupakan kemungkaran terbesar dan


membuat kerusakan di muka bumi. Setiap muslim wajib memelihara akidahnya. Ia tidak
boleh mengobati badannya dengan sesuatu yang akan merusak agama dan akidahnya. Ia
tidak boleh pergi kepada para dajjal tersebut. Jika mereka mengabarkan kepada manusia
tentang, perkara-perkara ghaib, maka mereka adalah para dukun. Padahal Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa mendatangi dukun lalu mempercayai apa yang dikatakannya, maka ia
telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad". [1]

[Kitab Ad-Da'wah, Fatwa-Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan jilid 1, hal. 28-30]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-
Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit
Darul Haq]
_________

Foote Note

[1]. Hadits Riwayat At-Tirmidzi no. 135, Kitab Ath-Thaharah, Ibnu Majah no 639, Kitab Ath-
Thaharah, dan Ahmad dalam Al-Musnad no 9252

&&&&&&&&&&&&&&&
105

Senin, 9 Januari 2006 09:39:08 WIB

ADAB-ADAB MENYEMBELIH HEWAN

Oleh
Syaikh Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli
Syaikh Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah

[1]. HARAM MENYEMBELIH UNTUK SELAIN ALLAH

Abu Thufail Amir bin Watsilah berkata : Aku berada di sisi Ali bin Abi Thalib, lalu
datanglah seseorang menemuinya, orang itu bertanya : 'Apakah Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam ada merahasiakan sesuatu kepadamu?

Abu Thufail berkata : Mendengar ucapan tersebut, Ali marah dan berkata : Tidaklah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merahasiakan sesuatu kepadaku yang beliau sembunyikan
dari manusia kecuali beliau telah menceritakan padaku empat perkara : Orang itu berkata :
Apa itu yang Amirul Mukminin ?' Ali berkata : Beliau bersabda :

Artinya : Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat
orang yang menyembelih untuk selain Allah dan Allah melaknat orang yang memberi
tempat bagi orang yang membuat bid'ah dan Allah melaknat orang yang merubah tanda-
tanda di bumi. [1]
106

Maka tidak boleh menyembelih untuk selain Allah berdasarkan hadits ini dan hadits-
hadits lainnya yang melarang dari semisal perbuatan tersebut. Adapun yang diperbuat oleh
orang awam pada hari ini dengan menyembelih untuk para wali maka masuk dalam laknat
yang disebutkan dalam hadits ini, karena sembelihan untuk wali adalah sembelihan untuk
selain Allah.

[2]. BERBUAT KASIH SAYANG KEPADA HEWAN (KAMBING)

Dari Qurrah bin Iyyas Al-Muzani : Bahwa ada seorang lelaki berkata : Ya Rasulullah,
sesungguhnya aku mengasihi kambing jika aku menyembelihnya. Maka beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda :

Artinya : Jika engkau mengasihinya maka Allah merahmatinya.[2]

[3]. BERBUAT BAIK (IHSAN) KETIKA MENYEMBELIH

Dengan melakukan beberapa perkara :

[a]. Menajamkan Parang

Dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu 'anhu ia berkata : Dua hal yang aku hafal dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau berkata.

Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik (ihsan) atas segala sesuatu. Jika kalian
membunuh (dalam qishah,-pent) maka berbuat ihsanlah dalam cara membunuh dan jika
kalian menyembelih maka berbuat ihsanlah dalam cara menyembelih, dan hendaklah salah
seorang dari kalian menajamkan parangnya dan menyenangkan sembelihannya.[3]

[b]. Menjauh Dari Penglihatan Kambing Ketika Menajamkan Parang

Dalam hal ini ada beberapa hadits di antaranya.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa


sallam mengamati seorang lelaki yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam
keadaan ia mengasah perangnya sedangkan kambing tersebut memandang kepadanya,
maka beliau mengatakan:

"Tidaklah diterima hal ini. Apakah engkau ingin benar-benar mematikannya. (dalam riwayat
lain : Apakah engkau ingin mematikannya dengan beberapa kematian)." [4]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata.

"Jika salah seorang dari kalian menajamkan parangnya maka janganlah ia menajamkannya
dalam keadaan kambing yang akan disembelih melihatnya". [5]

[c]. Menggiring Kambing Ke Tempat Penyembelihan Dengan Baik


107

Ibnu Sirin mengatakan bahwa Umar Radhiyallahu anhu melihat seseorang menyeret
kambing untuk disembelih lalu ia memukulnya dengan pecut, maka Umar berkata dengan
mencelanya : Giring hewan ini kepada kematian dengan baik. [5]

[d]. Membaringkan Hewan Yang Akan Disembelih

Aisyah Radhiyallahu 'anha menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam


memerintahkan untuk dibawakan kibas, lalu beliau mengambil kibas itu dan
membaringkannya kemudian beliau Shallallahu alaihi wa sallam menyembelihnya. [6]

Berkata Imam Nawawi dalam Syarhus Shahih Muslim (13/130) : Hadits ini
menunjukkan sunnahnya membaringkan kambing ketika akan disembelih dan tidak boleh
disembelih dalam keadaan kambing itu berdiri atau berlutut tetapi dalam keadaan
berbaring karena lebih mudah bagi kambing tersebut dan hadits-hadits yang ada
menuntunkan demikian juga kesepakatan kaum muslimin. Ulama sepakat dan juga amalan
kaum muslimin bahwa hewan yang akan disembelih dibaringkan pada sisi kirinya karena
cara ini lebih mudah bagi orang yang menyembelih dalam mengambil pisau dengan tangan
kanan dan menahan kepala hewan dengan tangan kiri.

[e]. Tempat (Bagian Tubuh) Yang Disembelih

Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata : Penyembelihan dilakukan di sekitar kerongkongan


dan labah. [7]

Labah adalah lekuk yang ada di atas dada dan unta juga disembelih di daerah ini. [8]

[4]. MENGHADAPKAN HEWAN SEMBELIHAN KE ARAH KIBLAT

Nafi' menyatakan bahwa Ibnu Umar tidak suka memakan sembelihan yang ketika
disembelih tidak diarahkan kearah kiblat. [8]

[5]. MELETAKKAN TELAPAK KAKI DI ATAS SISI HEWAN SEMBELIHAN

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata.

"Rasulullah menyembelih hewan kurban dengan dua domba jantan yang berwarna putih
campur hitam dan bertanduk. Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau, dengan
mengucap basmalah dan bertakbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau di sisi-sisi kedua
domba tersebut" [9]

[6]. TASMIYAH (MENGUCAPKAN BISMILLAH)

Berdasarkan firman Allah Ta'ala :

"Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan.
108

Sesungguhnya syaithan itu mewahyukan kepada wali-walinya (kawan-kawannya) untuk


membantah kalian". [Al-An'am : 121]

Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata :

"Rasulullah menyembelih hewan kurban dengan dua domba jantan. Beliau mengucap
bismillah dan bertakbir.

Dan dalam riwayat Muslim : Beliau mengatakan Bismillah wallahu Akbar.

Siapa yang lupa untuk mengucap basmalah maka tidak apa-apa. Ibnu Abbas
Radhiyallahu anhuma pernah ditanya tentang orang yang lupa bertasmiyah (membaca
basmalah) maka beliau menjawab : Tidak apa-apa" [10]

[7]. TIDAK BOLEH MENGGUNAKAN TARING/GADING DAN KUKU KETIKA MENYEMBELIH


KAMBING

Dari Ubadah bin Rafi' dari kakeknya ia berkata : Ya Rasulullah, kami tidak memiliki
pisau besar (untuk menyembelih). Maka beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

"Hewan yang telah dialirkan darhanya dengan menggunakan alat selain dzufur (kuku) dan
sinn (taring/gading) maka makanlah. Adapun dzufur merupakan pisaunya bangsa Habasyah
sedangkan sinn adalah idzam".[11]

[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah, Edisi Indonesia Hukum Khusus
Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, Penulis Salim bin Ali bin rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah
dan Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah Abu Abdirrahman, Penerbit Pustaka
Al-Haura]

_________

Foote Note

[1]. Shahih. Dikeluarkan oleh Muslim (13/1978-Nawawi), An-Nasai (7/232) Ahmad (1/108-
118) dari hadits Ibnu Abbas yang juga dikeluarkan oleh Ahmad (1/217-39-317) dan Abu Ya'la
(4/2539)
[2]. Shahih. Dikeluarkan oleh Al-Hakim (3/586), Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (373),
Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (19/44-45-46), dalam Al-Ausathh (161) dan Ash-Shaghir (1/109)
dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (2/302-6/343)
[3]. Shahih. Dikeluarkan oleh Muslim (13/1955-Nawawi), Ibnu Majah (3670), Abdurrazzaq
(8603-8604) dan Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa (899)
[4]. Shahih, Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi (9/280), Al-Hakim (3/233), Abdurrazzaq (8609) dan
dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi dan hadits ini memang shahih
sebagaimana dikatakan keduanya.
Isnad Al-Baihaqi rijalnya tsiqat dan rawi yang bernama Abdullah bin Ja'far Al-Farisi kata Adz-
Dzahabi dalam As-Siyar : Imam Al-Alamah ilmu Nahwu ia menulis beberapa karya tulis dan ia
diberi rezki dengan isnad yang ali, beliau tsiqah dan ditsiqahkan oleh Ibnu Mandah
109

[5]. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq 98606-8608) dengan sanad yang ada didalamnya ada
kelemahan karena bercampurnya hafalan Shalih Maula At-Tauamah.
[6]. Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi (9/281), Abdurrazzaq (8605) dan isnadnya munqathi
(terputus), karena Ibnu Sirin tidak bertemu dengan Umar, maka isnadnya dlaif. Namun
keumuman hadits dan hadits yang mengharuskan bersikap rahmah pada kambing menjadi
syahid baginya hingga hadits ini maknanya shahih.
[7]. Shahih. Dikeluarkan oleh Muslim (13/1967-Nawawi), Abu Daud (2792) dan Al-Baihaqi
dalam Al-Kubra (9/276-280-286)
[8]. Shahih diriwayatkan Abdurrazzaq (8615)
[9]. An-Nihayah Fi Gharibil Hadits oleh Ibnul Atsir (4/223)
[10]. Shahih. Diriwayatkan Abdurrazzaq (8605), dan di sisi Al-Baihaqi (9/280) dan jalan Ibnu
Juraij dan Nafi bahwasanya : Ibnu Umar menganggap sunnah untuk menghadapkan
sembelihan ke arah kiblat jika disembelih. Ibnu Juraij ini mudallis dan ia meriwayatkan
dengan an-anah.
[11]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (10/18-Fathul Bari), Muslim (13/1966-Nawawi), Abu Daud
(2794), Al-Baihaqi (9/258-259) dan Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa (909)
[11]. Shahih. Diriwayatkan Malik (2141-riwayat Abi Mush'ab Az-Zuhri) dan dishahihkan
sanadnya oleh Al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/624)
[12]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (9/630-31-633-638-Fathul Bari), Muslim (13/1966-
Nawawi), Abu Daud (2821), Al-Baihaqi (9/281) dan Abudrrazzaq (8618), Ath-Thahawi dalam
Maanil Atsar (4/183)

&&&&&&&&&&&&&&&
110

Kamis, 4 Agustus 2005 17:57:14 WIB

TIDAK SEPANTASNYA MENANYAKAN TEKNIS


PENYEMBELIHAN HEWAN TERNAK DAN AYAM
Oleh
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.

Pada suatu hari saya mengundang beberapa sahabat dan rekan kerja saya makan
siang. Tatkala mereka datang, saya sajikan hidangan makan siang untuk mereka yang di
dalamnya ada ayam panggang yang kami masak sendiri di rumah. Saya ditanya oleh salah
seorang dari mereka yang dikenal dengan komitmentnya kepada agama, apakah ayam
panggang ini produk dalam negeri atau import ? Maka saya jelaskan bahwasanya ayam
tersebut import dan kalau tidak keliru berasal dari Perancis. Maka orang itu tidak mau
memakannya. Saya bertanya kepadanya, kenapa ? Ia jawab dengan mengatakan, ini haram!
Maka saya katakana : Dari mana anda mengambil kesimpulan ini ? Ia menjawab dengan
mengatakan : Saya dengar dari sebagian masyayaikh (ulama) yang berpendapat demikian.
Maka saya berharap penjelasan hukum syar'i yang sebenarnya di dalam masalah ini dari
Syaikh yang terhormat.

Jawaban.

Ayam impor dari negara asing, yakni non Islam, jika yang menyembelihnya adalah
ahlul kitab, yaitu yahudi atau nashrani maka boleh dimakan dan tidak sepantasnya
dipertanyakan bagaimana cara penyembelihannya atau apakah disembelih atas nama Allah
111

atau tidak ? Yang demikian itu karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah makan
daging domba yang dihadiahkan oleh seorang perempuan yahudi kepadanya di Khaibar [1],
dan beliau juga memakan makanan ketika beliau di undang oleh seorang yahudi, yang di
dalam makan itu ada sepotong gajih [2] dan beliau tidak menanyakan bagaimana mereka
menyembelihnya atau apakah disembelih dengan menyebut nama Allah atau tidak ?!

Di dalam Shahih Bukhari diriwayatkan : "Bahwasanya ada sekelompok orang yang


berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Sesungguhnya ada suatu kaum yang
datang kepada kami dengan membawa daging, kami tidak tahu apakah disembelih atas
nama Allah atau tidak. Maka beliau menjawab, "Bacalah bismillah atasnya oleh kamu dan
makanlah". Aisyah radhiyallahu 'anha berkata : Mereka pada saat itu masih baru
meninggalkan kekafiran.

Di dalam hadits-hadits diatas terdapat dalil yang menunjukkan bahwa tidak


selayaknya (bagi kita) mempertanyakan tentang bagaimana real penyembelihannya jika
yang melakukannya orang yang diakui kewenangannya. Ini adalah merupakan hikmah dari
Allah dan kemudahan dariNya ; sebab jika manusia dituntut untuk menggali syarat-syarat
mengenai wewenang yang sah yang mereka terima, niscaya hal itu akan menimbulkan
kesulitan dan membebani diri sehingga menyebabkan syari'at ini menjadi syari'at yang sulit
dan memberatkan.

Adapun kalau hewan potong itu datang dari negara asing dan orang yang melakukan
penyembelihannya adalah orang yang tidak halal sembelihannya, seperti orang-orang
majusi dan penyembah berhala serta orang-orang yang tidak menganut ajaran agama
(atheis), maka ia tidak boleh dimakan, sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membolehkan
sembelihan selain kaum Muslimin, kecuali orang-orang ahlu kitab, yaitu yahudi dan
nashrani. Apabila kita meragukan orang yang menyembelihnya, apakah berasal dari orang
yang halal sembelihannya ataukah tidak, maka yang demikian itu tidak apa-apa.

Para fuqaha (ahli fiqih) berkata : "Apabila anda menemukan sesembelihan dibuang di
suatu tempat yang sembelihan mayoritas penduduknya halal, maka sembelihan itu halal",
hanya saja dalam kondisi seperti ini kita harus menghindari dan mencari makanan yang
tidak ada keraguannya. Sebagai contoh : Kalau ada daging yang berasal dari orang-orang
yang halal sembelihannya, lalu sebagian mereka ada yang menyembelih secara syar'i dan
pemotongan benar-benar dilakukan dengan benda tajam, bukan dengan kuku atau gigi ; dan
sebagian lagi ada yang menyembelih secara tidak syar'i, maka tidak apa memakan
sembelihan yang berasal dari tempat itu bersandarkan kepada mayoritas, akan tetapi
sebaiknya menghindarinya karena sikap hati-hati.

[Ibnu Utsaimin, Majalah Al-Muslimun, edisi 2]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-
Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit
Darul Haq]
112

&&&&&&&&&&&&&&

Selasa, 16 Maret 2004 07:31:10 WIB

MEMAKAN SEMBELIHAN ORANG KAFIR


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Kami kadang-kadang terpaksa


harus makan di luar kost tempat tinggal, yaitu di salah satu restaurant Amerika cepat saji
(Kentucky, Burger). Semua makanan di situ adalah daging ayam dan daging sapi dan kami
tidak tahu bagaimana hewan itu disembelih, apakah dengan cara strum listrik atau ditembak
ataukah di cekik. Kami juga tidak tahu apakah disebutkan nama Allah atasnya atau tidak.
Pertanyaannya adalah : Apakah boleh bagi kami makan di situ atau tidak ? Terima kasih.

Jawaban.

Kami nasehatkan agar tidak makan daging syubhat (masih diragukan) yang ada di
situ, sebab boleh jadi tidak halal. Sebab biasanya orang-orang Amerika tidak mempunyai
komitmen dengan penyembelihan syar'i, yaitu penyembelihan dengan pisau yang tajam,
menghabiskan semua darahnya dan menyebut nama Allah atasnya. Kebanyakan
penyembelihan mereka dilakukan dengan sengatan listrik atau dicelup ke dalam air panas
supaya kulit dan bulunya terkelupas dengan mudah agar timbangannya bertambah berat
karena menetapnya darah di dalam daging. Dan di sisi lain mereka tidak mengakui adanya
keharusan menyebut nama Allah di saat menyembelih. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.
113

"Artinya : Janganlah kamu memakan hewan yang disembelih tidak menyebutkan nama Allah
atasnya". [Al-An'am : 121]

Allah Subhanahu wa Ta'ala membolehkan kita memakan sembelihan ahlu kitab,


karena dahulu mereka menyebut nama Allah ketika menyembelihnya dan mereka lakukan
dengan pisau hingga darahnya habis tuntas melalui tempat sembelihan.

Demikianlah dahulu kebiasaan mereka, mereka lakukan itu karena mereka komit
kepada jaran yang ada di dalam Kitab Suci yang mereka akui. Sedangkan pada abad-abad
belakangan ini mereka sudah tidak mengetahui ajaran yang ada di dalam Kitab Suci mereka,
maka mereka menjadi seperti orang-orang murtad. Maka dari itu kami berpendapat untuk
tidak memakan hewan sembelihan mereka, kecuali jika dapat dipastikan mereka
menyembelihnya secara syar'i.

Maka berdasar penjelesan diatas kami berpendapat : Dilarang makan daging syubhat
(diragukan) yang ada di restaurant cepat saji tersebut, dan kalian memakan ikan saja di
restaurant-restauran atau memilih restaurant Islam yang pemiliknya komitmen dengan
sembelihan secara syar'i atau kalian sendiri yang melakukan penyembelihan hewan, seperti
ayam dan hewan ternak berkaki empat lainnya.

Jadi kalian tidak makan kecuali sembelihan orang yang kalin percaya dan orang
Muslim atau ahlu kitab. Walahu a'lam.

[Demikian dikatakan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, pada tgl
19/12/1420H]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-
Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit
Darul Haq]

&&&&&&&&&&&&&&
114

Jumat, 5 Maret 2004 10:58:38 WIB

HUKUM MAKAN DAGING YANG TIDAK


DIKETAHUI APAKAH DISEMBELIH DENGAN
MENYEBUT NAMA ALLAH ATAUKAH TIDAK ?
DAN HUKUM BERGAUL DENGAN ORANG-ORANG
KAFIR
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa yang kita lakukan apabila
dihidangkan kepada kita daging untuk dimakan sedangkan kita tidak tahu apakah disembelih
atas nama Allat atau tidak ? Bagaimana pendapat Syaikh tentang bergaul dengan kaum
kafir?

Jawaban.

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari yang bersumber dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhu :

“Bahwasanya ada suatu kaum yang berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sesungguhnya ada satu kelompok manusia yang datang kepada kami dengan
membawa daging, kami tidak tahu apakah disembelih atas nama Allah ataukah tidak ? Maka
beliau menjawab : “Sebutlah nama Allah oleh kamu atasnya dan makanlah”. Aisyah
115

menjawab, “Mereka pada saat itu masih baru meninggalkan kekufuran” [Riwayat Imam Al-
Bukhari, Hadits no. 2057]

Maksudnya, mereka baru masuk Islam. Dan orang seperti mereka kadang-kadang
tidak banyak mengetahui hukum-hukum secara rinci yang hanya diketahui oleh orang-orang
yang sudah lama tinggal bersama kaum Muslimin. Namun begitu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para penanya) agar pekerjaan mereka
diselesaikan oleh mereka sendiri, seraya bersabda : “Sebutlah nama Allah oleh kamu
atasnya”, yang maksudnya adalah : Bacalah bismillah atas makanan itu lalu makanlah.

Adapun apa yang dilakukan oleh orang lain selain anda, dari orang-orang yang
perbuatannya dianggap sah, maka harus diyakini sah, tidak boleh dipertanyakan. Sebab
mempertanyakannya termasuk sikap berlebihan. Kalau sekiranya kita mengharuskan diri
kita untuk mempertanyakan tentang hal seperti itu, maka kita telah mempersulit diri kita
sendiri, karena adanya kemungkinan setiap makanan yang diberikan kepada kita itu tidak
mubah (tidak boleh), padahal siapa saja yang mengajak anda untuk makan, maka boleh jadi
makanan itu adalah hasil ghashab (mengambil tanpa diketahui pemiliknya) atau hasil curian,
dan boleh jadi berasal dari uang yang haram, dan boleh jadi daging yang ada di makanan
tidak disebutkan nama Allah (waktu disembelih). Maka termasuk dari rahmat Allah kepada
hamba-hambaNya adalah bahwasanya suatu perbuatan, apabila datangnya dari ahlinya,
maka jelas ia mengerjakannya secara sempurna hingga bersih dari dzimmah (beban) dan
tidak perlu menimbulkan kesulitan bagi orang lain.

Adapun pertanyaan mengenai pergaulan dengan orang-orang kafir, kalau dari


pergaulan itu bisa diharapkan masuk Islam setelah ditawarkan kepadanya, dijelaskan
keunggulan- keunggulannya dan keutamaannya, maka boleh-boleh saja bergaul dengan
mereka untuk mengajak mereka masuk Islam. Jika seseorang sudah melihat tidak ada
harapan dari orang-orang kafir itu untuk masuk Islam, maka hendaknya jangan bergaul
dengan mereka, karena bergaul dengan mereka akan menimbulkan dosa, karena pergaulan
itu sendiri menghilangkan ghirah (kecemburuan) dan sensitifitas (terhadap agama), bahkan
barangkali bisa menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang kepada mereka, kaum kuffar. Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

“Artinya : Kamu tidak akan mendapat sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun
keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan
dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan dariNya” [Al-Mujadilah :
22]

Berkasih sayang kepada musuh-musuh Allah, mencintai dan loyal kepada mereka
adalah sangat bertentangan dengan apa yang menjadi kewajiban bagi seorang Muslim.
Sebab Allah subhanahu wa Ta’ala telah melarang akan hal itu, seraya berfirman.

“Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi
dan nashrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu) ; sebab sebagian mereka adalah pemimpin
bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin,
116

maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim” [Al-Maidah : 51]

Dan firmanNya.

“Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-musuhKu


dan musuh-musuh kami menjadi teman setia(mu) yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang ; padahal sesungguhnya mereka telah
ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu [Al-Mumtahanah : 1]

Dan sudah tidak diragukan lagi bahwa setiap orang kafir adalah musuh Allah dan musuh-
musuh kaum beriman. Allah telah berfirman.

“Artinya : Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikay-malaikatNya, rasul-rsaulNya,


Jibril dan Mika’il, maka sesungguhnya Allah adalah musuh-musuh orang kafir” [Al-Baqarah :
98]

Maka tidak sepantasnya bagi seorang yang beriman bergaul dengan musuh-musuh
Allah, berbelas kasih dan mencintai mereka, karena mengandung banyak bahaya besar atas
agama dan manhajNya.

[Ibnu Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Darbi]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-
Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Jurasiy, Penerjmah
Musthofa Aini Lc, Penerbit Darul Haq]

&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

Anda mungkin juga menyukai