a. Kaidah pertama:
Contoh:
َّ الصاَل ةَ َوآتُوا
]77 :الزَكاة} [النساء َّ يمواِو
َأق
ُ َ {
Contoh:
Contoh:
وهاورزف ِ
ر وبق ل
ْ ا ِ
ةار ي
زِ
َ ُ ُ ُ َ َ ْ َ ْ ُْ َ ُ ُ
َ ُ ن ع مكُ ت ي هنَ ت ن
ْ ك
Artinya: Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, tapi
(sekarang) berziarahlah kalian. (HR Muslim).
Kaidah ketiga:
Firman ALLOH
Demikian juga apabila amr dikaitkan dengan suatu sebab atau sifat, misalnya
dalam surat bani Israil : 18.
َ الْ َف ْج ِر َك
ان الْ َف ْج ۗ ِر اِ َّن ُق ْراٰ َن س اِىٰل َغ َس ِق الَّْي ِل َوُق ْراٰ َن
ِ َّم
ْ الش ِ الص ٰلوَة لِ ُدلُو
ك ْ َّ ِ
م ِ
قَا
َم ْش ُه ْوًدا
Laksanakanlah salat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan
(laksanakan pula salat) Subuh. Sungguh, salat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).
Yaitu perintah setelah mintak izin dan pada dasarnya sama seperti kaidah
perintah setelah larangan, yaitu tidak menghendaki hokum wajib, karena
mintak izin dan larangan keduanya adalah merupakan qarinah untuk berpaling
dari printah wajib kepada makna yang lain
َوَم ا َعلَّ ْمتُ ْم ِّم َن اجْلََوا ِرِح ُم َكلِّبِنْي َ تُ َعلِّ ُم ْونَ ُه َّن مِم َّ ا َعلَّ َم ُك ُم ال ٰلّهُ فَ ُكلُ ْوا مِم َّ ا اَْم َس ْك َن
ِ اسم ال ٰلّ ِه َعلَْي ِه ۖو َّات ُقوا ال ٰلّهَ ۗاِ َّن ال ٰلّهَ س ِريْع احْلِس
اب او ر ك
ُ ذ
ْ ا
و م ك
ُ ي ل
َ ع
َ ُ َ َ َ ُ َْ َ
ْ ْ
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi
mereka?” Katakanlah, ”Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-
baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih
untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah
kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama
Allah (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat
cepat perhitungan-Nya.”
Amr disini adalah hasil permintaan izin dan konsekwensi hukumnya adalah mubah
Kaidah ke tujuh
Amar menurut masanya
ا َذا فُعِ َل اْملْأ ُم ْوُربِِه َعلَى َو ْج ِه ِه خَي ُْر ُج اْملْأ ُم ْوُر َع ْن َع ْه َد ِة اْالَ ْم ِر
“Apabila telah dikerjakan suatu perintah sesuai dengan jurusannya, َ berarti terlepaslah urusan َ itu dari
ikatan amar”
Sebagai contoh firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nissa ayat 43:
“…..kemudian jika kam tak mendapat air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci”
Maksudnya bila kita tidak mendapatkan air untuk berwudhu, maka boleh bertayamum
dengan debu yang suci sebagai pengganti air dan bila setellah shalat bertemu air, maka
sesuai dengan kaidah di atas, tidak perlu di-qadha lagi, karena dengan tayamum, berarti
telah lepas dari ikatan perintah wudhu.
Kaidah ke Delapan
a. Kaidah pertama:
األصل في النهي للتحريم
“Pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan (sesuatu perbuatan yang
dilarang).”
Larangan ini hanya merupakan pelajaran, agar jangan menanyakan sesuatu yang akan
memberatkan diri kita sendiri.
Larangan dalam hadis ini tidak menunjukkan haram, tetapi hanya makruh saja,
Karena hadis ini berbicara masalah adab. Disamping itu, larangan ini terkait
sikap memuliakan tangan kanan, dan sifat larangan itu tidak sampai pada hukum
haram.
QOIDAH KE-DUA
Misalnya, larangan jual beli waktu azan Jumat dan larangan menyetubuhi istri
yang sedang haid. larangan seperti ini tidak mengakibatkan batalnya perbuatan itu
jika tetap dilakukan.
Kaidah kedua:
النهي عن الشئ أمربضده
“Larangan terhadap sesuatu berarti perintah kebalikannya.”
Contoh:
Contoh:
Contoh:
:الزنى} [اإلسراء
ِّ َواَل َت ْق َربُوا
“Dan janganlah kamu mendekati zina.” (Q.S. al-Isra’: 32)
Penggertian ‘Amm
‘Amm di tinjau dari segi bahasa berarti umum dan merata. ‘Atau dengan
istilah lain Amm adalah “lafal yang meliputi pengertian umum terhadap
semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu, dengan hanya disebut
sekaligus.”
Berikut ini beberapa contoh lafazh yang bersifat ‘amm:
Lafazh kullu syai’ (segala sesuatu) dalam ayat di atas bermakna sungguh-sungguh segala sesuatu.
Tanpa kecuali. Tidak ada yang tidak Allah ketahui.
Allah berfirman dalam QS. Surat Hud ayat 16:
ِ ٍ ٰ ٰ
اَلَ ْم َت ْعلَ ْم اَ َّن اللّهَ َعلى ُك ِّل َش ْيء قَد ْي ٌر
Artinya “Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-
Baqarah: 106)
ِ س َذاِئَقةُ الْمو
ت ٍ ُك ُّل َن ْف
َْ
Artinya:“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)
ۗالربٰوا ٰ
ِّ َواَ َح َّل اللّهُ الَْب ْي َع َو َح َّرَم
Artinya “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS.
Al-Baqarah: 275)
Lafadh ا َّلِذيَْنadalah isim maushul, maka lafadh tersebut masuk dalam katagori ‘am.
6. Istim syarat, seperti lafadh man pada ayat di bawah ini:
اه ِليَّ ِة َي ْبغُ ْو ۗ َن َوَم ْن اَ ْح َس ُن ِم َن ال ٰلّ ِه ُح ْك ًما لَِّق ْوٍم ُّي ْوِقُن ْو َن
ِ اَفَح ْكم الْج
َ َ ُ
Artinya “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)” (QS. Al-Maidah: 50)
8. Lafazd jamak yang dima’rifkan dengan mudhaf. Seperti contoh:
Lafazd aulâd adalah lafaz jamak dalam posisi nakîrah. Akan tetapi karena
lafaz tersebut disandarkan dengan lafaz kum, maka ia menjadi ma’rifah.
Karena itu lafaz tersebut menunjukkan seluruh satuan-satuan yang dapat
dimasukkan ke dalamnya.