Pengertian Shalat
Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminology (istilah), para ahli Fiqih mengartikan secara
lahir dan hakiki.
Secara lahiriah Shalat berarti ‘Beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan di akhiri
dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut syarat-syarat yang telah
ditentukan’(Sidi Gazalba: 88).
Secara hakiki Shalat ialah ‘Berhadapan hati, jiwa dan raga kepada Allah,secara yang mendatangkan rasa
takut kepada-Nya atau mendhairkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan
perkataan dan perbuatan’ (Hasbi Asy-syidiqi: 59)
Dalam pengertian lain Shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya
sebagai bentuk ibadah yang didalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan
perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun
yang telah ditentukan syara’ (Imam Basyahri Assayuthi: 30).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Shalat adalah Suatu ibadah kepada Tuhan,
berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut
syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’ berupa penyerahan diri secara lahir batin kepada Allah
dalam rangkah ibadah dan memohon ridho-Nya.
Menurut A. Hasan (1991) Baqha (1984), Muhammad bin Qasim As-Syafi’i (1982) dan Rasyid (1976)
shalat menurut bahasa Arab berarti berdo’a. ditambahakan oleh Ash-Shiddiqy (1983) bahwa perkataan
shalat dalam bahasa Arab berarti do’a memohon kebajikan dan pujian. Sedangkan secara hakekat
mengandung pengertian “berhadap (jiwa) kepada Allah dan mendatangkan takut kepadanya, serta
menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan, kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaannya.
Solat yang berarti do’a terlihat dari firman Allah dalam Surah At-Taubah ayat 103:
Artinya: “dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka”
Secara dimensi Fiqh shalat adalah beberapa ucapan atau rangkaian ucapan dan perbuatan (gerakan)
yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam yang dengannya kita beribadah kepada Allah, dan
menurut syarat-syarat yang telah di tentukan oleh Agama.
Solat merupakan salah satu kewajiban yang menduduki kedua setelah syahadat dalam rukun islam.
Sehingga di dalam Al-Qur’an dan hadits banyak sekali dijelaskan mengenai kewajiban untuk
mengerjakan solat. Diantara dalil Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai kewaiban salat adalah:
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”
Artinya:“Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu
duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-
orang yang beriman.”
Sedangkan hadits-hadits yang menjelakan tentang kewajiban solat antara lain adalah:
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Islam itu terdiri atas lima rukun.
Mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan sesungguhnya Muhammat itu adalah utusan
Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, hajji ke Baitullah dan puasa Ramadlan. [HR. Ahmad, Bukhari
dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 333]
340 :1 فى نيل االوطار، الجماعة اال البخارى و النسائى.صالَ ِة ُ ْ َبي َْن الرَّ ج ُِل َو َبي َْن ْال ُك ْف ِر َتر:هللا ص
َّ ك ال ِ َقا َل َرس ُْو ُل:َعنْ َج ِاب ٍر َقا َل
Dari Jabir, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “(Yang membedakan) antara seseorang dan kekufuran
adalah meninggalkan shalat”. [HR. Jama’ah, kecuali Bukhari dan Nasai, dalam Nailul Authar juz 1, hal.
340]
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah, bahwa seorang Arab gunung datang kepada Rasulullah SAW dalam keadaan
rambutnya kusut, lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah wajibkan
kepadaku dari shalat ?”. Beliau bersabda, “Shalat-shalat yang lima, kecuali kamu mau melakukan yang
sunnah”. Ia bertanya, “Beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah wajibkan kepadaku dari puasa ?”.
Beliau SAW bersabda, “Puasalah bulan Ramadlan, kecuali kamu mau melakukan yang sunnah”. Ia
bertanya lagi, “Beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah wajibkan kepadaku dari zakat ?’. Thalhah
berkata : Lalu Rasulullah SAW memberitahukan kepadanya tentang syariat-syariat Islam seluruhnya. Lalu
orang Arab gunung itu berkata, “Demi Allah yang telah memuliakan engkau, saya tidak akan menambah
sesuatu dan tidak akan mengurangi sedikitpun dari apa-apa yang telah diwajibkan oleh Allah kepada
saya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Pasti ia akan bahagia, jika benar. Atau pasti ia akan masuk surga
jika benar (ucapannya)”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 335]
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata : Diwajibkan shalat itu pada Nabi SAW pada malam Isra’, lima puluh
kali. Kemudian dikurangi sehingga menjadi lima kali, kemudian Nabi dipanggil, “Ya Muhammad,
sesungguhnya tidak diganti (diubah) ketetapan itu di sisi-Ku. Dan sesungguhnya lima kali itu sama
dengan lima puluh kali”. [HR. Ahmad, Nasai dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menshahihkannya, dalam Nailul
Authar juz 1, hal. 334]
Dari ‘Asy-Sya’bi bahwa ‘Aisyah RA pernah berkata : Sungguh telah difardlukan shalat itu dua rekaat dua
rekaat ketika di Makkah. Maka tatkala Rasulullah SAW tiba di Madinah (Allah) menambah pada masing-
masing dua rekaat itu dengan dua rekaat (lagi), kecuali shalat Maghrib, karena sesungguhnya shalat
Maghrib itu witirnya siang, dan pada shalat Fajar (Shubuh), karena panjangnya bacaannya”. Asy-Sya’bi
berkata, “Dan adalah Rasulullah SAW apabila bepergian (safar), beliau shalat sebagaimana pada awalnya
(dua rekaat)”. [HR. Ahmad 6 : 241]
C. Syarat-Syarat Shalat
Para ulama membagi syarat shalat menjadi dua macam, pertama syarat wajib, dan yang ke dua syarat
sah. Syarat wajib adalah sayarat yang menyebabkan seseorang wajib melaksanakan shalat. Sedangkan
syarat sah adalah syarat yang menjadikan shalat seseorang diterima secara syara’ di samping adanya
kriteria lain seperti rukun.
1. Islam, shalat diwajibkan terhadap orang muslim, baik laki-laki maupun perempuan, dan tidak
diwajibkan bagi orang kafir atau nin muslim. Orang kafir tidak dituntut untuk melaksanakan shalat,
namun mereka tetap menerima hukuman di akhirat. Walaupun demikian orang kafir apabila masuk
Islam tidak diwajibkan membayar shalat yang ditinggalkannya selama kafir, demikian menurut
kesepakatannya para ulama. Allah SWT berfirman: Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu[609]:
"Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa
mereka yang sudah lalu. (QS 8:38)
رو ا ه احمد و ا لطبرا نى و ا لبيهقي. ا ال سال م يجب ما قبله:عن عمر و بن عا ص ا ن ا لنبي صلو ا هلل عليه و سلم قا ل
Dari Amr bin Ash bahwa Nabi SAW bersabda: islam memutuskan apa yang sebelumnya (sebelum masuk
islam). HR Ahmad, Al-Thabrani dan Al-baihaqi).
2. Baligh, anak-anak kecil tidak dikenakan kewajiban shalat berdasarkan sabda Nabi SAW, yang
artinya:
Dari Ali r.a. bahwa Nabi SAW berkata: Diangkatkan pena ( tidak ditulis dosa) dalam tiga perkara: Orang
gila yang akalnya tidak berperan sampai ia sembuh, orang tidur sampai ia bangun dan dari anak-anak
sampai dia baligh. (HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim).
3. Berakal. Orang gila, orang kurang akal (ma’tuh) dan sejenisnya seperti penyakit sawan (ayan) yang
sedang kambuh tidak diwajibkan shalat, karena akal merupakan prinsip dalam menetapkan kewajiban
(taklif), demikian menurut pendapat jumhur ulama alasannya adalah hadits yang diterima dari Ali r.a.
yang artinya:
“dan dari orang gila yang tidak berperan akalnya sampai dia sembuh”
Namun demikian menurut Syafi’iyah disunatkan meng-qadha-nya apabila sudah senbuh. Akan tetapi
golongan Hanabilah berpendapat, bagi orang yang tertutup akalnya karena sakit atau sawan (ayan)
wajib mneg-qadha shalat. Hal ini diqiyaskan kepada puasa, Karena puasa tidak gugur disebabkan
penyakit tersebut.
6. Menutup aurat
8. Menghadap kiblat
Ø Mengetahui masuk waktu. Shalat tidak sah apabila seseorang yang melaksanakannya tidak
mengetahui secara pasti atau dengan persangkaan yang berat bahwa waktu telah masuk, sekalipun
ternyata dia shalat dalam waktunya. Demikian juga dengan orang yang ragu, shalatnya tidak sah. Allah
SWT berfirman: “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman”.(QS. An-Nisa:103).
Ø Suci dari hadas kecil dan hadas besar. Penyucian hadas kecil dengan wudu’ dan penyucian hadas
besar dengan mandi. Nabi Muhammad SAW bersabda, yang artinya: “Dari Umar r.a. bahwa Nabi SAW
bersabda: Allah tidak menerima shalat seseorang yang tidak suci. (HR. Al-Jama’ah kecuali Al-Bukhari).
“Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: Allah tidak menerima shalat seorang kamu apabila
berhadas hingga dia bersuci. (HR. Bukhari dan Muslim).
Ø Suci badan, pakaian dan tempat dari na’jis hakiki. Untuk keabsahan shalat disyariatkan suci badan,
pakaian dan tempat dari na’is yang tidak dimaafkan, demikian menurut pendapat jumhur ulama tetapi
menurut pendapat yang masyhur dari golongan Malikiyah adalah sunnah muakkad.
Ø Menutup aurat. Seseorang yang shalat disyaratkan menutup aurat, baik sendiri dalamkeadaan terang
maupun sendiri dalam gelap. Allah SWt berfirman: “pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid”(QS. 4:31).
Ø Menghadap kiblat. Ulama sepakat bahwa syarat sah shalat. Allah SWT berfirman: “Dan dari mana saja
kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian)
berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. (QS. 2:150)
Mengahadap kiblat dikecualikan bagi orang yag melaksanakan sholat Al-khauf dan sholat sunat diatas
kendaraan bagi orang musafir dalam perjalanan. Golongan Malikiyah mengaitkan dengan situasi aman
dari musuh, binatang buas dan ada kesanggupan. Oleh karena itu tudak wajib mengahadao kiblat
apabila ketakutan atau tidak sanggup (lemah) setiap orang sakit.
Ulama sepakat bagi orang yang menyaksikan ka’bah wajib menghadap ke ka’bah sendir secara tepat.
Akan tetapi bagi orang yang tidak menyaksikannya, karena jauh di luar kota makkah, hanya wajib
menghadapakan muka kea arah ka’bah, demikian pendapat junhur ulama. Sedangkan Imam Syafi’I
Berendapat mesti menghadapkan muka ke ka’bah itu sendiri sebagaimana halnya orang yang berada di
kota mekah. Caranya mesti di niatkan dalam hati bahwa menghadap itu tepat pada ka’bah.
Ø Niat. Golongan hanafiyah dan Hanabilah memandang niat sebagai syarat sah shalat, demikian juga
pendapat yang lebih kuat dari kalangan Malikiyah.
Menurut golongan Malikiyah cara-cara /rukun-rukun mengerjakan sholat adalah sebagai berikut:
Ø Niat
Ø Takbirtul Ihram
Ø Sujud
Ø Mengucapkan salam
E. Rukun Shalat
* Niat
* Takbiratul ihram
* Berdiri tegak, bagi yang kuasa ketika shalat fardhu. Boleh duduk,atau berbareng bagi yang sedang
sakit.
Shalat akan batal atau tidak sah apabila salah satu rukunnya tidak dilaksanakan atau ditinggalkan
dengan sengaja. Adapun hal-hal yang dapat membatalkan shalat adalah sebagai berikut :
Ø Berhadats
Ø Terbuka auratnya
Ø Membelakangi kiblat
Ø Menambah rukun yang berupa perbuatan, seperti menambah ruku’sujud atau lainnya dengan
sengaja
Ø Tertawa terbahak-bahak
Waktu mengerjakan shalat ada ,dua sunah, yaitu sunah Ab’adh dan sunah Hai’at.
1. Sunnah
a. Sunah Ab’adh
b. Sunah Hai’at
1) Mengangkat keduabelah tangan ketika takbiratul ikhram,ketika akan ruku’ dan ketika berdiri dari
ruku’.
2) Meletakan telapak tangan yang kanan diatas pergelangan tangan kiri ketika sedekap,
6) Membaca surat Al-Qor’an pada dua raka’t permulaan sehabis membaca Fatihah,
7) Mengeraskan bacaan Fatihah dan surat pada raka’at pertama dan kedua, pada shalat magrib, isya’
dan subuh selain makmum.
10) Membaca “sami’allaahu liman hamidah” ketika bangkit dari ruku’ dan membaca “Rabbanaa lakal
Hamdu” ketika I’tidal,
11) Meletakan kedua telapak tangan diatas paha ketika duduk tasyahud awal dan tasyahud
akhir,dengan membentangkan yang kiri dan mengenggamkan yang kanan, kecuali jari telunjuk.
15) Memalingkan muka ke kanan dan ;kekiri ketika membaca salam pertama dan kedua
2. Makruh Shalat
a. Menaruh telapak tangan di dalam lengan bajunya ketika Takbiratul ikhram, ruku’ dan sujud.
c. Terbuka kepalanya,
d. Bertolak pinggang,
f. Memejamkan mata,
g. Menengadah ke langit,
h. Menahan hadats
i. Berludah,
LAKI-LAKI
1. Merenggangkan kedua siku tangannya dari kedua lambungnya waktu ruku’ dan sujud.
2. Merenggangkan kedua siku tangannya dari kedua lambungnya waktu ruku’ dan sujud.
3. Menyaringkan suaranya /bacaanya dikeraskan di tempatr keras.
4. Bila member tahu sesuatu Membaca Tasbih, yakni ‘Subhaanallah’
5. Auratnya barang antara Pusar dan lutut.
PEREMPUAN
Shalat Fardhu atau yang sering kita sebut dengan shalat wajib adalah sholat yang apabila dikerjakan
akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, dan apabila ditinggalkan akan mendapatkan dosa. Dengan
kata lain ibadah ini hukumnya wajib kita kerjakan, karena apabila kita satu waktu saja meninggalkannya,
maka kita akan mendapatkan dosa dari Allah SWT. Shalat fardhu sendiri juga dibedakan menjadi 2,
yaitu :
a. Fardhu Ain : Ini merupakan suatu kewajiban untuk menjalankan shalat bagi tiap-tiap umat muslim/
mukallaf dan tidak boleh ditinggalkan ataupun diwakilkan kepada orang lain.
1) Beragama islam
5) Menutup aurat
7) Menghadap kiblat
1) Niat diucapkan ketika kita telah berdiri tegak dan menghadap ke kiblat dan niat yang kita ucapkan
harus sesuai dengan shalat yang akan kita kerjakan, misalnya saja shalat subuh. Dan saat membaca niat,
sebaiknya dilakukan di dalam hati dengan bersungguh-sungguh. Untuk bacaan niat dari masing-masing
shalat akan dijabarkan selanjutnya.
2) Berdiri tegak: Bagi mereka yang sedang sakit, shalat bisa dilakukan sambil duduk atau berbaring
3) Takbiratul Ihram: adalah tindakan dengan mengangkat kedua belah tangan yang disertai dengan
bacaan takbir, yaitu :
هللا أَ ْك َبر
5) Pada setiap rakaat membaca Al-Fatihah: Setelah itu, dilanjutkan membaca surat-surat pendek,
misalnya Surat Al-Ikhlas, Surat An-Nas, dan lainnya.
7) I’tidal
8) Sujud sebanyak 2 kali
Yang tergolong jenis shalat fardhu yang hukumnya fardhu ain adalah :
1) Shalat lima waktu: Perintah untuk mengerjakan shalat lima waktu bermula dari peristiwa penting
isra’ dan mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad Sholallahu Alaihi Wassalam yang terjadi pada tanggal
27 Rajab 621 M, atau sekitar 3 tahun sebelum hijrah.
Dalam hal ini adalah sholat 5 waktu dalam sehari semalam, yaitu:
ُ : waktunya dari tergelincirnya matahari kearah barat sampai panjang bayangan dua kali
Ø Dzuhur ()الظ ْه ُر
lipat dari panjang benda aslinya
Ø 'Ashar ( )ال َعصْ ُر: waktunya dari panjang bayangan dua kali lipat dari panjang benda aslinya sampai
tenggelamnya matahari.
Ø Magrib ( ُ )ال َم ْغ ِرب: waktunya dari tenggelamnya matahari sampai hilangnya mendung merah dilangit.
Ø 'Isya' (* )ال ِع َشا ُء: waktunya dari hilangnya mendung merah dilangit sampai munculnya fajar shodiq.
2) Shalat Jum’at
Shalat jum’at adalah shalat yang dikerjakan pada hari jum’at sebanyak 2 rakaat secara berjamaah. Shalat
ini dikerjakan setelah penyampaian khutbah yang dilakukan oleh khotib. Hukum shalat jum’at adalah
fardhu ain bagi setiap muslim / mukallah laki-laki yang sehat dan bermukim. Allah SWT telah berfirman :
َ صالَ ِة مِن َي ْو ِم ْال ُج ُم َع ِة َفاسْ َع ْوا إِلَى ذ ِْك ِر هَّللا ِ َو َذرُوا ْال َبي َْع َذلِ ُك ْم َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم إِن ُكن ُت ْم َتعْ لَم
ُون َ َيا أَ ُّي َها الَّذ
َّ ِين آ َم ُنوا إِ َذا ُنودِي لِل
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui” (Q.S. Al- Jum’ah ayat 9)
ْن مُسْ َت ْق ِب َل ْال ِق ْبلَ ِة اَدَا ًء َماْم ُْومًا هَّلِل ِ َت َعالَى َ ْصلِّيْ َفر
ِ ض ال ُجم َْع ِة َر ْك َع َتي َ ُا
Artinya: “Aku berniat melakukan shalat jum’at 2 rakaat, dengan menghadap qiblat, saat ini, menjadi
mamum, karena Allah ta’ala.”
b. Fardhu Kifayah: Ini merupakan suatu kewajiban bagi umat muslim / mukallaf yang telah dianggap
cukup atau sah meskipun dikerjakan oleh sebagin orang saja, dan apabila tidak ada satu orangpun yang
mengerkjakannya, maka akan menimbulkan dosa. Yang termasuk dalam shalat fardhu kifayah adalah :
1) Shalat Jenazah
· Sama halnya dengan shalat pada umumnya, dalam melaksanakan shalat jenazah seseorang harus
menutup aurat, suci dari hadast (baik hadast besar maupun kecil) dan najis baik badan, pakaian,
maupun tempat ibadah, serta dilakukan dengan menghadap ke arah kiblat
· Jenazah diletakkan di sebelah kiblat orang yang menyalatinya, kecuali apabila shalat tersebut
dilakukan di atas kubur atau shalat ghaib.
Ø Niat menyengaja melakukan shalat atas jenazah dengan empat kali takbir dan menghadap ke arah
kiblat yang dilakukan semata-mata karena Allah Ta’ala. Adapun niat adalah :
َ ُ هلل َت َعالَى أ
صلِّي َعلَى ِ ض ِك َفا َي ِة ٍ َه ِذ ِه ْال َم ْي َت ِة أَرْ َب َع َت ْك ِبي َْرا
َ ْت َفر
Artinya:“Aku berniat shalat atas mayit perempuan ini empat takbir fardhu kifayah karena Allah.”
Ø Setelah melakukan takbiratul ihram yang pertama diiringi dengan membaca surat Al-fatihah
Ø Membaca salam :
a. Shalat Wudhu,Yaitu shalat sunnah dua rakaat yang bisa dikerjakan setiap selesai wudhu, niatnya
:Ushalli sunnatal wudlu-I rak’ataini lillahi Ta’aalaa’ artinya : ‘aku niat shalat sunnah wudhu dua rakaat
karena Allah’
b. Shalat Tahiyatul Masjid, yaitu shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan ketika memasuki masjid,
sebelum duduk untuk menghormati masjid. Rasulullah bersabda: ‘Apabila seseorang diantara kamu
masuk masjid, maka janganlah hendak duduk sebelum shalat dua rakaat lebih dahulu’ (H.R. Bukhari dan
Muslim).
Niatnya : ‘Ushalli sunnatal Tahiyatul Masjidi rak’ataini lillahi Ta’aalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah
tahiyatul masjid dua rakaat karena Allah’
c. Shalat Dhuha. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan ketika matahari baru naik. Jumlah rakaatnya
minimal 2 maksimal 12. Dari Anas berkata Rasulullah ‘Barang siapa shalat Dhuha 12 rakaat, Allah akan
membuatkan untuknya istana disurga’ (H.R. Tarmiji dan Abu Majah).
Niatnya :‘Ushalli sunnatal Dhuha rak’ataini lillahi Ta’aalaa’ Artinya : ‘aku niat shalat sunnah dhuha dua
rakaat karena Allah.
d. Shalat Rawatib. Adalah shalat sunnah yang dikerjakan mengiringi shalat fardhu.
1) Qabliyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan sebelum shalat wajib. Waktunya : 2 rakaat
sebelum shalat subuh, 2 rakaat sebelum shalat Dzuhur, 2 atau 4 rakaat sebelum shalat Ashar, dan 2
rakaat sebelum shalat Isya’.
Niatnya: ‘Ushalli sunnatadh Dzuhri* rak’ataini Qibliyyatan lillahi Ta’aalaa’ * bisa diganti dengan shalat
wajib yang akan dikerjakan.
2) Ba’diyyah, adalah shalat sunnah rawatib yang dikerjakan setelah shalat fardhu. Waktunya : 2 atau 4
rakaat sesudah shalat Dzuhur, 2 rakaat sesudah shalat Magrib dan 2 rakaat sesudah shalat Isya.
e. Shalat Tahajud, adalah shalat sunnah pada waktu malam. Sebaiknya lewat tengah malam. Dan
setelah tidur. Minimal 2 rakaat maksimal sebatas kemampuan kita. Keutamaan shalat ini, diterangkan
dalam Al-Qur’an. ‘Dan pada sebagian malam hari bershalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah
tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ketempat yang terpuji’(Q.S. Al Isra : 79 ).
f. Shalat Istikharah, adalah shalat sunnah dua rakaat untuk meminta petunjuk yang baik, apabila kita
menghadapi dua pilihan, atau ragu dalam mengambil keputusan. Sebaiknya dikerjakan pada 2/3 malam
terakhir.
g. Shalat Hajat, adala shalat sunnah dua rakaat untuk memohon agar hajat kita dikabulkan atau
diperkenankan oleh Allah SWT. Minimal 2 rakaat maksimal 12 rakaat dengan salam setiap 2 rakaat.
i. Shalat Taubat, adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah merasa berbuat dosa kepada Allah
SWT, agar mendapat ampunan-Nya.
j. Shalat Tasbih, adalah shalat sunnah yang dianjurkan dikerjakan setiap malam, jika tidak bisa
seminggu sekali, atau paling tidak seumur hidup sekali. Shalat ini sebanyak empat rakaat, dengan
ketentuan jika dikerjakan pada siang hari cukup dengan satu salam, Jika dikerjakan pada malam hari
dengan dua salam. Cara mengerjakannya
Niatnya : ‘Ushalli sunnatan tasbihi raka’ataini lilllahi ta’aalaa’ artinya ‘aku niat shalat sunnah tasbih dua
rakaat karena Allah’
5) Usai membaa do’a duduk diantara dua sujud membaca tasbi 10 kali.
Jumlah keseluruhan tasbih yang dibaca pada setiap rakaatnya sebanyak 75 kali. Lafadz bacaan tasbih
yang dimaksud adalah sebagai berikut :
k. Shalat Tarawih, adalah shalat sunnah sesudah shalat Isya’pada bulan Ramadhan. Menegenai
bilangan rakaatnya disebutkan dalam hadis. ‘Yang dikerjakan oleh Rasulullah saw, baik pada bulan
ramadhan atau lainnya tidak lebih dari sebelas rakaat’ (H.R. Bukhari). Dari Jabir ‘Sesungguhnya Nabi saw
telah shallat bersama-sama mereka delapan rakaat, kemudian beliau shalat witir.’ (H.R. Ibnu Hiban)
Pada masa khalifah Umar bin Khathtab, shalat tarawih dikerjakan sebanyak 20 rakaat dan hal ini tidak
dibantah oleh para sahabat terkenal dan terkemuka. Kemudian pada zaman Umar bin Abdul Aziz
bilangannya dijadikan 36 rakaat. Dengan demikian bilangan rakaatnya tidak ditetapkan secara pasti
dalam syara’, jadi tergantung pada kemampuan kita masing-masing, asal tidak kurang dari 8 rakaat.
Niat Shalat Tarawih : ‘Ushalli sunnatan Taraawiihi rak’ataini (Imamam / makmuman) lillahi ta’aallaa’
l. Shalat Witir,adalah shalat sunnat mu’akad (dianjurkan) yang biasanya dirangkaikan dengan shalat
tarawih, Bilangan shalat witir 1, 3, 5, 7 sampai 11 rakaat. Dari Abu Aiyub, berkata Rasulullah ‘Witir itu
hak, maka siapa yang suka mengerjakan lima, kerjakanlah. Siapa yang suka mengerjakan tiga,
kerjakanlah. Dan siapa yang suka satu maka kerjakanlah’(H.R. Abu Daud dan Nasai). Dari Aisyah : ‘Adalah
nabi saw. Shalat sebelas rakaat diantara shalat isya’ dan terbit fajar. Beliau memberi salam setiap dua
rakaatdan yang penghabisan satu rakaat’ (H.R. Bukhari dan Muslim)
Niatnya: ‘Ushalli sunnatal witri rak’atan lillahi ta’aalaa’artinya : ‘Aku niat shalat sunnat witir dua rakaat
karena Allah’
m. Shalat Hari Raya, adalah shalat Idul Fitri pada 1 Syawal dan Idul Adha pada 10 Dzulhijah. Hukumnya
sunat Mu’akad (dianjurkan).’Sesungguhnya kami telah memberi engkau (yaa Muhammad) akan
kebajikan yang banyak, sebab itu shalatlah engkau dan berqurbanlah karena Tuhanmu ‘ pada Idul Adha
– ‘(Q.S. Al Kautsar.1-2)Dari Ibnu Umar ‘Rasulullah, Abu Bakar, Umar pernah melakukan shalat pada dua
hari raya sebelum berkhutbah.’(H.R. Jama’ah).
Niat Shalat Idul Fitri : ‘Ushalli sunnatal li’iidil fitri rak’ataini (imamam / makmumam) lillahita’aalaa’.
Niat Shalat Idul Adha : ‘Ushalli sunnatal li’iidil Adha rak’ataini (imamam / makmumam) lillahita’aalaa’.
Waktu shalat hari raya adalah setelah terbit matahari sampai condongnya matahari. Syarat, rukun dan
sunnatnya sama seperti shalat yang lainnya. Hanya ditambah beberapa sunnat sebagai berikut:
1) Berjamaah
2) Takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakat kedua
4) Setelah takbir yang kedua sampai takbir yang terakhir membaca tasbih.
5) Membaca surat Qaf dirakaat pertama dan surat Al Qomar di rakaat kedua. Atau surat A’la dirakat
pertama dan surat Al Ghasiyah pada rakaat kedua.
8) Pada khutbah Idul Fitri memaparkan tentang zakat fitrah dan pada Idul Adha tentang hukum-
hukum Qurban.
10) Makan terlebih dahulu pada shalat Idul Fitri pada Shalat Idul Adha sebaliknya.
n. Shalat Khusuf, adalah shalat sunat sewaktu terjadi gerhana bulan atau matahari. Minimal dua
rakaat. Caranya mengerjakannya :
1) Shalat dua rakaat dengan 4 kali ruku’ yaitu pada rakaat pertama, setelah ruku’ dan I’tidal membaca
fatihah lagi kemudian ruku’ dan I’tidal kembali setelah itu sujud sebagaimana biasa. Begitu pula pada
rakaat kedua.
2) Disunatkan membaca surat yang panjang, sedang membacanya pada waktu gerhana bulan harus
nyaring sedangkan pada gerhana matahari sebaliknya. Niat shalat gerhana bulan : ‘Ushalli sunnatal
khusuufi rak’atain lillahita’aalaa’.
o. Shalat Istiqa’,adalah shalat sunat yang dikerjakan untuk memohon hujan kepada Allah SWT.
1) Tiga hari sebelumnya agar ulama memerintahkan umatnya bertaobat dengan berpusa dan
meninggalkan segala kedzaliman serta menganjurkan beramal shaleh. Sebab menumpuknya dosa itu
mengakibatkan hilangnya rejeki dan datangnya murka Allah. ‘Apabila kami hendak membinasakan suatu
negeri, maka lebih dulu kami perbanyak orang-orang yang fasik, sebab kefasikannyalah mereka disiksa,
lalu kami robohkan (hancurkan) negeri mereka sehancur-hancurnya’(Q.S. Al Isra’ : 16).
2) Pada hari keempat semua penduduk termasuk yang lemah dianjurkan pergi kelapangan dengan
pakaian sederana dan tanpa wangi-wangian untuk shalat Istisqa’
3) Usai shalat diadakan khutbah dua kali. Pada khutbah pertama hendaknya membaca istigfar 9 X dan
pada khutbah kedua 7 X.
§ Isi khutbah menganjurkan banyak beristigfar, dan berkeyakinan bahwa Allah SWT akan mengabulkan
permintaan mereka.
Saat berdo’a pada khutbah kedua, khatib hendaknya menghadap kiblat membelakangi makmumnya
a. Sholat Tathowwu' Muthlaq ( )ال َّت َط ُّو ُع الم ُْطلَ َق ُة: Yaitu sholat sunnah yang batas dan ketentuannya tidak
ditentukan oleh syara', dikerjakan dua roka'at-dua roka'at, baik dikerjakan pada siang hari atau malam
hari. Akan tetapi, hendaklah sholat tathowwu' ini tidak dilakukan terus menerus seperti sunnah rowatib
serta tidak mengarah kepada bid'ah atau serupa dengan pelakunya.
b. Sholat Tathowwu' Muqoyyad ( )ال َّت َط* ُّو ُع ال ُم َق َّي ُد.: Yaitu sholat yang batas dan ketentuannya telah
ditentukan oleh syara'. Dalam hal ini antara lain, sholat-sholat sunnah rowatib, yaitu:
2) Sholat Rotibah Dzuhur yaitu sholat 2 atau 4 rokaat sebelum ataupun sesudah Zuhur.
Ibnu Umar rodhiallohu anhuma berkata: "Aku mengahafal 10 rokaat (sholat) dari Nabi sholallohu alaihi
wa sallam. 2 rokaat sebelum Dzuhur dan 2 rokaat sesudahnya, 2 rokaat setelah maghrib dirumahnya, 2
rokaat setelah isya' dirumahnya, dan 2 rokaat sebelum shubuh disaat Nabi sholallohu alaihi wa sallam
tidak boleh dimasuki orang lain". (HR. Bukhori: 118, dan Muslim: 729) Rosululloh sholallohu alaihi wa
sallam bersabda:
َ ٍ " َمنْ َحا َف َظ َعلَى أَرْ َب ِع َر َك َعا
ُّ ت َق ْب َل
ِ الظه ِْر َو أرْ َب ٍع َبعْ َد َها َحرَّ َم ُه هللاُ َعلَى ال َّن
"ار
"Barangsiapa yang menjaga 4 rokaat sebelum dzuhur dan 4 rokaat sesudahnya, maka Alloh akan
mengaharamkan api neraka baginya". (HR. Ibnu Majah: 1160, dishohihkan Al-Bani di Shohih Ibnu Majah:
1/191) Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam bersabda:
"dua rokaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya".(HR. Muslim). Sholat-sholat lain yang disyari'atkan
dalam bagian ini, antara lain ialah:
1) Sholat Malam/ Tahajjud/ Tarawih dibulan Romadhon dan witir: 'Aisyah rodhiallohu anha berkata:
"Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam sholat antara selesai sholat 'Isya hingga fajar 11 rokaat dengan
salam setiap dua rokaat dan witir 1 roka'at". (HR. Muslim: 736)
2) Sholat Dhuha 2 rokaat sampai dengan 12 rokaat. Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam bersabda:
"صاَل ةُ األَ َّو ِابي َْن َ صاَل ِة الض َُّحى إِاَّل أَ َّوابٌ َوه
َ ِي ُ "اَل ي َُحاف
َ ِظ َعلَى
"Tidak ada yang selalu menjaga sholat dhuha kecuali orang-orang yang bertaubat. Itulah Awwabin". (HR.
Ibnu Khuzaimah: 2/228. lihat Al-'Ahadits Ash-Shohihah: 1994). Diriwayatkan dari Anas bin malik
rodhiallohu ‘anhu berkata: “Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: barangsiapa sholat dhuha
12 roka’at, Alloh bangun baginya sebuah istana dari emas didalam jannah”. (HR. Tirmidzi: 435)
1. Niat : semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah
diminta. (Mughniyah; 2001)
Ibnu Qayyim berpendapat dalam bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid
pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi Muhammad saw bila
menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar” dan beliau tidak mengucapkan apa-
apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali. (Mughniyah; 2001)
2. Takbiratul Ihram : shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw : (Mughniyah; 2001)
“Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-
perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.”
Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh
menggunakan kata-kata lainnya. (Mughniyah; 2001) Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan
”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. (Mughniyah; 2001) Hanafi : boleh
dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-
A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah; 2001)
Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun
orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). (Mughniyah; 2001) Hanafi : Sah
mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab. (Mughniyah;
2001) Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam
shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus
didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.
(Mughniyah; 2001)
Berdiri : semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari
takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak
mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di
liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain
Hanafi. Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap
kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat.
(Mughniyah; 2001)
Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat terlentang dan
kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau
dengan kelopak matanya. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya
ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang
menghalanginya. (Mughniyah; 2001) Maliki : bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat
terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya. (Mughniyah; 2001) Syafi’i dan Hambali : shalat itu
tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak
matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan
dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus
menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi.
(Mughniyah; 2001)
Hanafi : membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari
Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 : (Mughniyah; 2001)
”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul
Sya’rani, dalam bab shifatus shalah). Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian
dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia
boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang
lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya.
Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan aalah
sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di
atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama
adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat
pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu
merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca
dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain
rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pad shlat subuh disunnahkan membaca qunut setelah
mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-
Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua
tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah
meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya
tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)
Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus pada setipa rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat
pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah,
sebagaimana pendapat
Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama.
Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan
menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta
qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan
untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah; 2001)
Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat
Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat
maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat,
tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir
bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan
wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang
telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar. (Mughniyah; 2001).
Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001) ”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi
’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
4. Ruku’ : semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka
berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’
semua anggota badan harus diam, tidak bergerak. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib
thuma’ninah. Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang
shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak bergerak)
ketika ruku’. (Mughniyah; 2001) Syafi’i, Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya
disunnahkan saja mengucapkan : (Mughniyah; 2001) Subhaana rabbiyal ’adziim ”Maha Suci Tuhanku
Yang Maha Agung”
Hambali : membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. (Mughniyah; 2001)Kalimatnya menurut Hambali :
Subhaana rabbiyal ’adziim ”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri). (Mughniyah;
2001) Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Mazhab-mazhab yang lain : wajib
mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan :
Sami’allahuliman hamidah ”Allah mendengar orang yang memuji-Nya”
5. Sujud : semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setipa rakaat.
Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. (Mughniyah; 2001)
Maliki, Syafi’i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah
sunnah. (Mughniyah; 2001) Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak
tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga
menjadi delapan. (Mughniyah; 2001)
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka
mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak
diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud.
(Mughniyah; 2001)
6. Tahiyyat : tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat yang terjadi
setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan
salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga,
atau empat rakaat. (Mughniyah; 2001)
Hambali : tahiyyat pertama itu wajib. Mazhab-mazhab lain : hanya sunnah. Syafi’i, dan Hambali :
tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib. (Mughniyah; 2001)
Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi : Attahiyatu lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera” ’alaika ayyuhannabiyyu
warahmatullahi wabarakaatuh ”Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya” Assalaamu’alainaa wa
’alaa ’ibaadillahishshoolihiin ”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba
Allah yang saleh” Asyhadu anlaa ilaaha illallah ”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh ”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah
hamba-Nya dan rasul-Nya” Menurut Hambali : (Mughniyah; 2001) Attahiyyatu lillahi washsholawaatu
waththoyyibaatu ”Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan”
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya” Waasyhadu anna
muhammadan ’abduhu warosuuluh ”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-
Nya” Allahumma sholli ’alaa Muhammad ”Ya Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad”
Syafi’i, Maliki, dan Hambali : mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid,
Jilid I, halaman 126). Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu Assalaamu’alaikum
warahmatullaah ”Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian” Hambali : wajib
mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib.
(Mughniyah; 2001)
8. Tertib
Diwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari bacaan Al-
Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib didahulukan dari ruku’, dan ruku’
didahulukan daru sujud, begitu seterusnya. (Mughniyah; 2001)
9. Berturut-turut
Diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung, juga antara satu bagian
dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung setelah bertakbir tanpa ada selingan.
Dan mulai ruku’ setelah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga
tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf. (Mughniyah; 2001)
1. Niat : 1 kali
2. Takbiratul ihram : 5 kali
3. Membaca surat al-Fatihah : 5 kali
4. Ruku’ : 3 kali
5. Bangun dari ruku’ dan I’tidal : 2 kali
6. Sujud : 3 kali
7. Duduk diantara dua sujud : 1 kali
8. Tasyahhud awal : 5 kali
9. Tasyahhud akhir : 16 kali
10. Salam : 2 kali
Total kita menyebut Allah sholat 5 waktu dalam sehari adalah 549 kali, belum termasuk
ayat yang kita baca, zikir, dan doa yang dibaca selesai sholat.