Anda di halaman 1dari 105

Ushul Fikih

Tim DSN-MUI
DSN-MUI INSTITUTE

2022
MATERI
Ushul Fikih
1.Hakikat Ushul Fikih
1 (Pengertian, Manfaat, dan Qawa`id Ushul serta Qawa`id Fikihiyyah)

2 2. Hukum Syara’ (Pengertian, Hukum Taklifi, Hukum Wadh`i)

3. Sumber dan Dalil Hukum (A. Yang disepakati {al-qur’an, Sunnah, Ijma’ dan
3 Qiyas}. B. Yang tidak disepakati.

4 4. Metode Istinbath Hukum (Kebahasaan, Maqashid Syariah, dan Ta`arudh al-


Adillah)

5 5. Ijtihad
(1)
Hakikat Ushul Fikih
(Pengertian, Manfaat, dan Qawa`id
Ushul serta Qawa`id Fikihiyyah)
Pengertian Ushul Fikih

❑ Pengertian Ushul Fikih secara Bahasa


➢ Ushul Fikih terdiri atas dua kata; yaitu ushul dan Fikih.
• ushul (berasal dari kata al-ashl) yang berarti pokok, dasar, sumber,
dan fondasi; yang berarti sesuatu yang di atasnya sesuatu yang
lain dibangun (ma buniya `alaihi dzalika al-syai`)
• Fikih berarti pengetahuan/pemahaman (al-fahm); yaitu
pengetahuan pakar, tentang hukum syariah yang bersifat
amali/praktek (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan)
berasarkan al-Qur’an dan sunah.

❑ Pengertian Ushul Fikih secara Istilah:


➢ Secara terminologis seringkali disebut “Ilmu” Ushul Fikih; yaitu Ilmu yang
mengkaji tentang dalil fikih berupa kaedah untuk mengetahui cara
penggunaannnya, mengetahui keadaan orang yang menggunakan
dengan tujuan mengeluarkan hukum amali (perbuatan) dari dalil-dalil
secara terperinci dan jelas.
Obyek Kajian Ushul Fikih

1. Pembahasan mengenai hukum syara’, dan


hal-hal yang terkait dengannya: seperti:
hakim, mahkum fiih, dan mahkum ‘alaihi.
2. Tentang sumber-sumber dan dalil-dalil
hukum.
3. Tentang tatacara menggali dan menarik
keseimpulan hukum dari sumber-sumber tsbt.
4. Pembahasan tentang Ijtihad.
Manfaat Ushul Fikih

1. Diketahui hukum yang disepakati (mutafaq `alaih) maupun


yang diperselisihkan (mukhtalaf fih);
2. Diketahui ketetapan hukum yang bersifat tauqifi (ditetapkan
Allah dan Rasul secara langsung) dan yang bersifat ijtihadi
(melalui proses nalar logis dengan metodologi yang shahih);
3. Diketahui cara berpikir yang digunakan pakar ushul Fikih;
sehingga memungkinkan bagi yang mempelajarinya
menggunakan metode-metode tersebut dalam rangka
menetapkan hukum-hukum kontemporer yang memerlukan
kesimpulan hukum (waqi`i). (membantu para mujtahid dalam
melakukan iijtihad).
Sejarah Ushul Fikih
1. Masa Sahabat, telah berijtihad untuk mencari kesimpulan hukum; Seperti:
mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu Mushaf dengan metode istishlah (maslahah
mursalah). Dengan metode Qiyas: Umar ibn Khattab meminta pendapat tentang
ketentuan hukuman bagi peminum khamr. Menurut Ali ibn Abi Thalib atas dasar qiyas,
orang yang mengigau pembicaraannya tidak akan terkontrol, untuk itu hukumannya
sama dengan had qadhaf (orang yang menuduh berzina) yakni 80 kali dera.
2. Masa tabi`in ushul Fikih semakin berkembang, pada fase ini terkenal dua aliran
hukum; yaitu aliran Madinah (di antaranya Sa`id Ibn al-Musayyab) yang banyak
menggunakan hadits sebagai dalil dan menjadikan `amal ulama Madinah sebagai
dalil; dan ulama Irak (antara lain Ibrahim al-Nakha`i) yang banyak menggunakan
ra’y dalam mengambil kesimpulan hukum.
3. Setelah periode tabi`in, ushul Fikih diupayakan lebih sistematis; generasi imam
Madzhab memulai mengukuhkan seperangkat metodologis sebagai paradigma yang
khas; Abu Hanifah sebagai ahli ra’y, Imam malik sebagai ahli hadits, imam Syafi`i
sebagai ahli qiyas.
4. Kemudian muncul Aliran-aliran dalam Ushul Fikih: 1. Mutakallimin (aliran Jumhur
Ulama - aliran Syafiiyah), yaitu berpegang pada kaidah Ushul untuk menetapkan
hukum. 2. Aliran Hanafiyah/Fuqaha’, yaitu dengan cara istiqra’ (induksi) yaitu
banyak meyebutkan contoh furu’. 3. Aliran Campuran.
Perbedaan ilmu Fikih dan ilmu Ushul Fikih

❖ Ilmu Fikih:
1. Ilmu tentang hukum dari aspek perbuatan.
2. Fikih untuk menjawab pertanyaan, “Apa hukum Suatu
perbuatan”?.
❖ Ilmu Ushul Fikih:
1. Ilmu tentang metode dan proses bagaimana menemukan
hukum.
2. Ushul Fikih untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana
cara/proses menemukan hukum”?.
Ushul Fikih, Kaidah Ushuliyah dan
Qawa`id Fikhiyah

❑ Ushul Fikih merupakan metode-metode itsbat al-ahkam dan tanfidz al-


ahkam/tathbiq al-ahkam.
❑ Kaidah ushuliyah merupakan kesimpulan atau metode-metode
penetapan dan penerapan hukum baik terkait pendekatan kebahasaan
(bayani/dilalah/manthuq dan mafhum) maupun ra’y (misalnya: al-ashl fi
al-amr li al-wujub dan al-hukmu yaduru ma`a `illatihi wujudan wa
`adaman).
❑ Qawa`id Fikhiyah merupakan kaidah atau teori yang berupa
kesimpulan umum yang diambil dari masalah-masalah Fikih yang
bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid karena
keserupaan dan persamaan-persamaan (misalnya: al-ashl fi al-asyya’
al-ibahah).
(2)
Hukum Syara’
(Pengertian, Hukum Taklifi, Hukum Wadh`i)
UNSUR-UNSUR HUKUM SYAR’

Wajib, Mandub, Mubah,


TAKLIFI
Makruh, dan Haram

AL-HUKMU

Sebab, Syarat, Mani’,


WADH’I Rukhshah dan Azimah,
Shihah dan buthlan
HAKIM (Allah (al-Qur’an),
Rasul (sunah), dan ulama/
mujtahid/mufti (ijtihad))

HUKUM SYARA’

MAHKUM FIIH (perbuatan Ahliyatul Wujub (Kecakapan


Mukallaf) untuk dikenai hukum)

Ahliyatul Ada‘ (kecakapan


MAHKUM ‘ALAIHI (Mukallaf seseorang untuk
yang layak mendapat
Khithab) melaksanakan hak dan
kewajiban/tanggung jawab)

‘Awaridh (seperti Gila, mabuk


dll)
Unsur-Unsur Hukum Syara’

No Unsur Penjelasan
01. Hukm Khithab (ketentuan) Allah yang berkaitan dengan
perbuatan hamba (mukallaf/subyek hukum) dalam
bentuk tuntutan (iqtidha’), pilihan (al-takhyir), dan
hubungan sebab akibat (al-wadh`).

02. Hakim Allah (al-Qur’an), Rasul (sunah), dan ulama/


mujtahid/mufti (ijtihad).
(*Mujtahid sebagai hakim disebut sebagai
Muzhhirul hukmi bukan Munsyi’u al-hukmi)
03. Mahkum fih Perbuatan hamba yang cakap hukum (subyek
hukum/mukallaf)
04. Mahkum `Alaih Hamba yang sudah cakap hukum (subyek
hukum/mukallaf).
Bentuk Hukum Syara’

➢ Hukum Syara’: Khithab (ketentuan) Allah yang berkaitan dengan


perbuatan hamba (mukallaf/subyek hukum) dalam bentuk
tuntutan (iqtidha’), pilihan (al-takhyir), dan hubungan sebab
akibat (al-wadh`).
➢ Bentuk hukum syara` terkait perbuatan mukallaf adalah:
1. Iqtidha’; yaitu perintah/larangan Allah dan Rasul bagi
mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu.
2. Takhyir; yaitu pilihan bagi mukallaf untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu.
3. Wadh`i; yaitu hubungan sebab-akibat dalam penerapan
hukum.
➢ Hukum Syara` dibedakan menjadi dua;
1. Hukum Taklifi.
2. Hukum wadh`i.
Hukum Taklifi

• Mahmud Muhammad al-Thanthawi menjelaskan bahwa yang dimaksud


dengan hukum taklifi adalah tuntutan dari Allah kepada hamba untuk
mengerjakan/meningalkan sesuatu (iqtidha’), dan pilihan untuk
mengerjakan/meningalkan sesuatu (al-takhyir).
• Hukum taklifi mencakup lima kategori; yaitu:
➢ Al-Iijab; perbuatan yang diberi pahala bagi yang melakukannya
dan disiksa bagi yang meninggalkannya;
➢ Al-Nadb; perbuatan yang diberi pahala bagi yang melakukannya
dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya;
➢ Al-Ibahah; perbuatan yang tidak diberi pahala bagi yang
melakukannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya;
➢ Al-Karahah; perbuatan yang dibenci bagi yang melakukannya;
➢ Al-tahrim; perbuatan yang diberi siksa bagi yang melakukannya.
Kerangka Hukum yang Lima
Fikih Muamalah Maliyah

Ancaman Wajib
Perintah dan larangan dari Allah

Perintah

Kabar Gembira Sunah

Ma sakata
Mubah Halal
`anhu

Kabar Gembira Makruh


dan Rasul

Larangan Haram
Ancaman Haram
Hukum Wadh`i

• Hukum wadh`i adalah Hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab


atau syarat atau penghalang bagi suatu yang lain.
1. Sebab adalah sesuatu yang empirik (tampak secara lahir) yang oleh
Syari` ditentukan sebagai sebab wujudnya kewajiban untuk
melaksankan hukum. (Misal: Akad jual beli menjadi sebab
perpindahan hak milik)
2. Syarat adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya
hukum; tidak adanya syarat mengakibatkan tidak wujudnya hukum,
meskipun adanya syarat tidak memastikan adanya hukum; dikatakan
bahwa syarat merupakan penyempurna terhadap sebab dan akibat
hukum. (missal: Cakap Hukum menjadi syarat orang bertransaksi, beli
rumah dengan syarat ditinggali setahun.
3. Mani`; yaitu sesuatu yang yang menjadi penghalang kebolehan
perbuatan hukum; (misal: adzan jumat menghalangi sesorang
bertransaksi jual beli).
Sah, Fasad, dan Batal

Sah; Perbuatan hukum yang terpenuhi rukun dan syaratnya.

Fasad; rusaknya perbuatan hukum karena cacatnya


salah satu rukun akad (ulama Hanafiah). (jual beli yang
dilakukan oleh anak atau orang gila).

Batal; perbuatan hukum yang tidak terpenuhi rukun dan


syaratnya. (seperti: jual beli Malaqih atau madhamin, yaitu
jual beli anak dalam kandungan).
Mahkum `Alaih (Subyek Hukum)

❑ Cakap hukum (syarat subyektif); yaitu dewasa dan terhindar dari:


1. Al-Junun (gila);
2. Dha`f al-`aql (dungu; tidak bisa membedakan benar-salah);
3. Al-safah (tolol; penggunaan harta yang menyalahi syariah misalnya
sikap boros [al-tabdzir] dan berlebihan [israf] );
4. Al-sakar (mabuk; tidak menyadari perbuatan hukum yang
dilakukannya).
5. Al-Ikrah (di bawah acaman (lawan dari sukarela/ridha).
(3)
Sumber dan Dalil Hukum
Sumber dan Dalil Hukum

❑ Sumber hukum merupakan dalil-dalil syariah


atau dikenal juga mashadir al ahkam al-
Syar’iyah yaitu rujukan dalam menetapkan
hukum syara’.
(A)
Sumber dan Dalil Hukum
Yang Disepakati
(al-Qur’an, Sunah, Ijma`, dan Qiyas)
a. Al-Qur’an sebagai Dalil Hukum

▪ Al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS al-Baqarah (2): 185


merupakan kitab petunjuk (huda) bagi manusia untuk membedakan (al-
furqan) antara yang haq dan yang batil.
ِ َ‫َّاس وبُيِنَا ُ ِم ُن ا ْْل َدىُ والْفرق‬
ُ‫ان‬ ُِ ‫ن‬ ‫ل‬ِ‫شهرُ رمضا َُن الَّ ِذي أنْ ِزَُل فِ ُِيه الْقرآنُ ه ًدى ل‬
ْ َ َ َ َ ْ َ ََ ْ َ
▪ Al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS al-Qiyamah (75): 18-19 harus
diikuti dan ditaati.
‫ ُثَّ إِ َُّن َعلَْي نَا بَُيَانَُه‬.ُ‫فَِإ َذا قَ َرأْ ََنهُ فَاتَّبِ ُْع ق ْرآنَه‬ ▪

▪ Hadits riwayat imam al-Hakim bahwa Rasulullah Saw, memerintahkan agar


berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadits agar tidak sesat.
▪ ُ ِ ‫اّللِ َوسن‬
(‫َّت‬ َُ َ‫ كِت‬: ‫ضلُّوا بَ ْع َدُهَا‬
َُّ ‫اب‬ ِ َ‫يُ لَ ُن ت‬ ِ
ْ ِ ْ َ‫ )تََرْكتُ فيك ُْم َشْي ئ‬HR. Hakim.
▪ Dalam al-Qur’an terkandung dhawabith dan hudud terkait:
1. Aqidah;
2. Akhlak dan etika; dan
3. A’mal yaitu Hukum terkait perbuatan mukallaf (termasuk mu`amalah
maliyyah).
Kandungan Hukum al-Qur’an
(Abdul Wahhab Khallaf)
No Topik/Bidang Jumlah Ayat

01. Akidah 140 Ayat

02. Ibadah 140 Ayat

03. Hukum Keluarga 70 Ayat

04. Hukum iqtishadiyah 10 Ayat

05. Hukum Pidana 30 Ayat

06. Hubungan Muslim dengan Non-Muslim 25 Ayat

07. Hukum Acara 13 Ayat

08. Hubungan Kaya dan Miskin 10 Ayat

09. Hubungan Kenegaraan 25 Ayat


Beberapa buku tentang ayat-ayat ekonomi

1. Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi


Syari’ah: ayat-ayat al-Qur’an yang berdemensi ekonomi,
(Bandung, Rosdakarya, 2006).
2. Dwi Suwikno, Ayat-Ayat Ekonomi Islam (Kompilasi Tafsir),
(Yogayakarta: Pustaka Pelajar. 2010)
3. Mardani, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah, (Jakarta:
rajawali pres, 2011)
4. Mahmud Muhammad, Al-Ayat al-Qur’aniyah wa al-Ahadits
al-Nabawiyah fi al-Mal wa al-Iqtsihad wa al-Ta’amul al-Madi
wa al-Khuluqi, (Riyadh: Daar al-Khan, 1996).
5. Mundzir Qahf, Al-Nushush Al-Iqtishadiyah min Al-Qur’an wa
al-Sunnah.
‫‪Contoh ayat Muamalat‬‬

‫ُع ْنُ‬ ‫ة‬


‫ً‬‫ار‬ ‫ُِت‬ ‫ُِبلْب ِ‬
‫اط ِلُإََِّلُأَ ْنُُتَكو َن ِ‬ ‫ِ‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫ُ‬
‫م‬ ‫ك‬ ‫ل‬
‫َ‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫َم‬
‫أ‬ ‫اُ‬
‫و‬ ‫ل‬‫ك‬ ‫ْ‬
‫َُت‬
‫َ‬ ‫اَُل‬
‫َ‬ ‫و‬ ‫ن‬‫ُآم‬ ‫ين‬ ‫❖ َيُأَيُّهاُالَّ ِ‬
‫ذ‬
‫ََ َ‬ ‫ْ َ ْ َْ ْ َ‬‫َ‬ ‫َ َ‬ ‫َ َ‬
‫ُاّللَُ َكا َنُبِك ْم َُرِح ًيما‬
‫تَ َراض ُِمْنك ْمُ َُۚوََلُتَ ْقت لواُأَنْف َسك ْمُُُۚإِ َّن َّ‬

‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫۟‬ ‫ِ‬


‫ُم َس ىم ُفَك ْكت بُوهُ‬
‫ََل ُّ‬
‫َ‬ ‫أ‬‫ُ‬‫أ‬‫َ‬‫َ‬ ‫إ‬‫ُ‬ ‫ن‬‫❖ َأَيَيُّ َهاُٱلَّ َ َ َ أ َ َ َ َ ْ‬
‫ي‬ ‫ُ‬
‫د‬ ‫ب‬ ‫مُ‬ ‫نت‬‫اي‬‫د‬ ‫ت‬ ‫اُ‬‫ذ‬‫َ‬ ‫إ‬‫ُ‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫ن‬ ‫ام‬‫ُء‬ ‫ين‬ ‫ذ‬
b. Sunnah sebagai Dalil Hukum

❑ Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi SAW baik


perkataan, perbuatan atau pengakuan.
❑ Dalil kehujjahan sunnah:
• Al-Qur’an memerintahkan untuk mengikuti apa yang dibawa
oleh Rasul SAW. (QS Al-Hasyr: 7).
۟
‫ٱلرسولُ فَخذوهُ َوَما ََنَىك ُْم َعْنهُ فَكنتَ هوُا‬
َّ ُ‫َوَمُاأ ءَاتَىكم‬
• Hadits riwayat imam al-Hakim disebutkan bahwa Rasulullah
Saw, memerintahkan agar berpegang teguh pada al-
Qur’an dan hadits Rasul SAW, agar tidak sesat.
Fungsi dan bentuk Sunnah

Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an

Itsbat al-Hukm (seperti:


Bayan/tibyan sunnah membolehkan jual
beli salam).

Bayan Tafsir (seperti: Bayan Taqrir (seperti: Wudhu


menjelaskan tatacara shalat ditegaskan Kembali dalam sunnah
secara detail) bahwa shalatharus dengan wudhu)

Bentuk-bentuk Sunnah

Qauli Fi’li Taqriiri Hammi


Ilmu Hadits

Hadits

Kuantitas Kualitas Sandaran

Ahad Mutawatir Maqbul Mardud Qudsi

Masyhur Hasan Dha’if


Lafdzi Shahih Marfu’
‘Azis Bersambung
Li Zatihi Li ghairihi Li Dzatihi Li Ghairihi Tercela Mauquf
Ma’nawi sanad/tidak
Gharib Rawi
Maqthu’
‘Amali

Mursal,
Munqathi’, Maudhu’,
Mu’dhal,, Matruk.
Mudallas, Munkar,
Mu’allaq, Mudraj,
Mu’allal Maqlub,
mudraj,
Mudhtharib,
Musahhaf,
Mubham,
Majhul,
Mastur,
Syadz,
Mukhtalit.
c. Al- Ijma` sebagai Dalil Hukum

❖ Ijma` adalah kesepakatan ulama mujtahid pada suatu masa setelah


wafatnya Rasul Saw, tentang hukum syara` yang bersifat `amali (praktek)
tertentu.
❖ Kehujjahan Ijma’:
ِ ‫ول ُِم ۢنُب ع ِدُماُتَب َّيُلَهُٱ ْْل َدىُوي تَّبِ ْع غَ ْي ِبِ ِٱ مُْْ ِِِْنِ َ ن ولِِهۦُماُتَوََُّونصُلِِهۦَُهنَّمُُوساأء ْ ُم‬
‫ص ًرا‬ َّ ‫َوَمنُي َشاقِ ِق‬
َ َ َ َ َ ََ ْ َ َ َ َ ‫م‬ َ َ ََ َ َ َ ْ َ َ ‫ُٱلرس‬
❖ Ijma` dari segi bentuknya dibedakan menjadi dua; yaitu:
➢ Ijma` sharih (ulama mujtahid yang terlibat menyatakan menerima
pendapat yang disepakati), dan
➢ Ijma` sukuti; yaitu suatu pendapat tentang hukum syara’ yang
disampaikan oleh salah seorang mujtahid dan tidak ada mujtahid yang
sezaman dengannya yang mengingkarinya.
❖ Ijma` dari segi periode, yaitu ijma` shahabat; dan diakui pula ijma`
berdasarkan lokasi: ijma` ulama Madinah, dan ijma` ulama Kufah (Irak).
❖ Contoh hasil Ijma’: Bolehnya transaksi muzara`ah didasarkan pada ijma`.
Ijma’ bolehnya khalifah mengatur Baitul maal. (Muhammad Salam Madkur,
Manahij al-Ijihad fi al-Islam: 236).
d. Al- Qiyas

❑ KH MA. Sahal Mahfudh menjelaskan qiyas adalah menyamakan cabang


(‫ )فرع‬dengan asal )‫ )أصل‬dalam sebagian hukumnya karena ada makna/
illat yang menggabungkan keduanya
ِ‫ص ُر‬ ِ ۟ ‫أ‬ ۟ ِ
❑ Dalil kehujjahan qiyas; QS AL-Hasyr: 2: َ ْ‫ٱلَب‬
ُْ َُ‫كعتَِبوُا ََيو‬
ْ َ‫ف‬
• Umar Ibn Khaththab memerintahkan kepada Abu Musa al-Asy`ari
untuk menggunakan qiyas; yatiu “lihatlah hal-hal yang serupa dan
setara, maka qiyaskanlah hal-hal semacam itu.”
‫األِور عند ذُك‬ ‫قس‬ ‫ث‬
ُ ‫النظائر‬
ُ ‫و‬ ُ
‫باه‬‫ش‬ْ ‫ل‬
َ ‫ا‬ ُ
‫ف‬ِ ِ
‫ر‬ ‫اَ ْع‬
َ َ َ
❑ Contoh penggunaan dalil Qiyas: larangan melakukan semua aktifitas
pada saat shalat jumat diqiyaskan dengan larang jual beli ketika mulai
adzan jumat.
Rukun Qiyas

‫الحكم‬
Dilarang

‫األصل‬
Jual beli pada ‫الفرع‬
Bekerja
waktu jumat

ّ
‫العلة‬
Melalaikan
ibadah
(B)
Dalil Hukum yang tidak
disepakati
(a. Istihsan, b. Mashlahah [Mursalah], c.
Istishhab, d. `Urf, e. Qaul Sahabat, f. Syar`
Man Qablana, g. al-Dzari`ah)
a.
Al- Istihsan

❑Al-istihsan adalah memberlakukan kemaslahatan


parsial ketika berhadapan dengan kaidah umum
atau mendahulukan maslahah mursalah daripada
qiyas. ;
❑Dalil al-istihsan:
• QS al-A`raf (7): 145; ‫َحسنِ َها‬ ْ ِ
‫ِب‬ ‫ا‬
‫و‬ ْ ‫ذ‬‫خ‬ْ
‫َي‬
َ
َ
• Hadits Nabi Saw, yang artinya: “apa yang
baik menurut umat Islam, baik pula menurut
Allah.”
)ُ‫حسن‬ ِ ‫(ما رأَى الْمسلِمو َُن حسنا فَه ُو ِعُْن َُد‬
ُ
‫للا‬
َ َ َ ً َ ْ ْ
َ َ َ
Ragam Al- Istihsan dan contohnya

Di antara ulama berpendapat bahwa istihsan dapat dibedakan menjadi


beberapa macam; yaitu:
1. Istihsan bi al-nashsh; yaitu suatu pengecualian hukum dari kaidah umum
berdasarkan nashsh. Misal: Jaul beli salam, jual beli yang barangnya
belum ada. Menurut ketentuan umum (sandaran qiyas), jula belinya
tidak sah. Namun karena ada nash dari hadits yang membolehkan,
maka jual beli salam dibolehkan.
2. Istihsan bi al-ijma`; yaitu suatu pengecualian hukum dari kaidah umum
berdasarkan ijma`. Misal: ulama sepakat tentang bolehnya ijarah atas
pemandian umum meskipun ada gharar pada jumlah air yang
digunakan. Dan bolehnya jual beli istishna’, secara qiyas dilarang,
namun sudah berjalan dimasyarakat tanpa adanya pengingkaran
dari ulama’ (ijma’ ulama bolehnya istishna’).
Ragam Al- Istihsan dan Contohnya

3. Istihsan bi al-qiyas; yaitu istihsan berdasarkan qiyas yang


tersembunyi. Misal: IMFZ diqiyaskan ke jual beli salam
yang dibolehkan berdasar istihsan, maka IMFZ juga
boleh dengan istihsan bil qiyas.
4. Istihsan bi al-mashlahah; yaitu suatu pengecualian hukum
dari kaidah umum berdasarkan mashlahah. Misal:
penerapan net reveneu sharing pada profit distribution.
penerapan agunan dalam pembiayaan di bank syariah.
Ragam Al- Istihsan dan Contohnya

5. Istihsan bi al-`urf; yaitu suatu pengecualian hukum dari kaidah


umum berdasarkan `urf (kebiasaan yang baik). Misal: Jual beli
mu’athah dilarang karena secara qiyas jual beli tanpa ada
ijab qabul, all you can eat, jual beli sharf secara spot dengan
masa dua hari.
6. Istihsan bi al-dharurah; dibolehkannya perbuatan yang dilarang
karena keadaan dharurat (al-hajat). Misal: Repo (Repuschase
Agreement) surat berharga (SBI, SBSN) oleh bank syariah
yang kesulitan likuiditas, bolehnya BPJS, dibolehkannya akad
hawalah baik hawalat al-haqq maupun hawalat al-dain karena
al-hajah.
b.
Mashlahah Mursalah

Mashlahah Mursalah adalah penetapan


hukum berdasarkan kemaslahatan yang
tidak didukung oleh dalil nash secara
terperinci (khsusus), namun didukung oleh
makna sejumlah nash. Jadi mashlahah
mursalah merupakan hasil induksi dari
logika sekumpulan nash, bukan nash parsial
sebagaimana dalam metode qiyas.
Ragam al- Mashlahah

❑ Dari segi tingkatan, ulama membedakan mashlahah menjadi


tiga:
➢ Al-dharuriyyah (al-mashalih al-khamsah).
➢ Al-hajiyyah (bolehnya bai` al-salam, muzara’ah, dan
musaqah).
➢ Al-tahsiniyyah (larangan jual beli barang palsu).
❑ Dari segi skupnya, mashlahah dibedakan menjadi dua:
➢ mashlahah `ammah (bolehnya pemerintah menarik pajak
demi maslahah ‘aamah walupun secara nash dilarang
mengambil harta orang lain tanpa kerelaan hati); dan
➢ mashlahah khashah (bolehnya mengenakan denda bagi
nasabah mampu yang menunda pembayaran).
Ragam al- Mashlahah

❑ Dari segi keajegan, mashlahah dibedakan menjadi dua:


➢ Mashlahah Tsabitah; kemashlahatan yang ajeg (tidak pernah
berubah) seperti manfaat mencari rizki yang halal;
➢ Mashlahah Mutaghayyirah; kemashlahatan yang berubah karena
keadaan atau kondisi masyarakat yang berbeda dan berubah,
misala: penggunaan e-money dalam pembayaran
❑ Dari segi eksistensi di hadapan syara’, mashlahah dibedakan menjadi
tiga; yaitu:
➢ Mashlahah Mu`tabarah (misal larangan talaqi rukban);
➢ Mashlahah Mulghah (misal al-tas`ir);
➢ Mashlahah Mursalah (misalnya labelisasi halal).
c.
Al- Istishhab

▪ Ibn Hazm al-Zhahiri menjelaskan bahwa arti al-istishhab


secara terminologis adalah berlakunya hukum asal yang
ditetapkan berdasarkan nashsh (al-Qur’an dan/atau
hadits) sampai ada (terbukti) adanya dalil lain yang
menunjukkan perubahan hukum tersebut.
▪ Jika suatu perkara sudah ditetapkan hukumnya, maka
ketetapan tersebut tetap berlaku sampai ada dalil baru
yang mengubahnya.
Ragam al- Istishhab

Al-istishhab dibedakan menjadi lima; yaitu:


1. Istishhab al-ibahah al-ashliyyah; Hukum asal segala
sesuatu adalah mubah. (misal: pada dasarnya transaksi
muamalat dibolehkan, hutan menjadi milik bersama
sebelum terbukti ada pemiliknya [al-iqtha` dan Ihya’ al-
mawat].
2. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah; pada dasarnya manusia
terbebas dari hukum sampai ada dalil yang
menunjukkan. Misal: Seseorang tidak wajib membayar
hutang selama tidak ada bukti bahwa dia telah
berhutang)
Ragam al- Istishhab

3. Istishhab al-Hukmi, menetapkan hukum yang sudah


berlaku sampai sekarang sampai ada dalil yang
merubahnya. Misal: penguasaan atas barang
menunjukkan penguasanya sebagai pemiliknya, sebelum
ada bukti lain yang menunjukkan bahwa barang
tersebut bukan miliknya.
4. Istishhab al-Washfi, didasarkan pada anggapan bahwa
sifat yang ada masih tetap ada sampai ada dalil yang
merubahnya. Misal: Orang yang mendapat pembiayaan
dari Bank adalah memiliki kemampuan, maka jika
ternyata dikemudian hari dia tidak mampu, harus
dibuktikakan ketidakmampuannya tersebut .
d.
Al- `Urf

▪ Adat adalah sesuatu yang dilakukan


secara berulang-ulang tanpa adanya
hubungan rasional;
▪ al-`urf adalah kebiasaan mayoritas suatu
masyarakat baik dalam bentuk ucapan
maupun perbuatan.
Ragam al- `Urf

`Urf `Amm
`Urf Qauli (misal: (misal: menjual
kata pinjam untuk mobil biasanya
dilengkapi
hutang di bank) peralatan `Urf Shahih
(donkrak dll)

Lingkup Syari`ah
Bentuk

`Urf `Amali `Urf Khash


(misal: setiap `Urf Fasid
(misal: jual beli
akad murabahah
mu’athah) disertai uang DP)
Contoh penggunaan ‘urf dalam fatwa
DSN-MUI:

1. Kebolehan jual beli emas secara tidak tunai,


karena secara ‘urf bahwa saat ini masyarakat telah
menjadikan emas sebagai komoditi bukan sebagai
mata uang.
2. Pengakuan keutungan murabah secara
proposional atau anuitas boleh dilakukan sesuai
dengan urf yang berlaku.
e.
Qaul Shahabi

▪ Shahabat adalah orang-orang yang bertemu dan


beriman kepada Nabi Muhammad SAW serta hidup
bersamanya dalam waktu yang cukup lama.
▪ Qaul secara bahasa berarti ucapan dalam bentuk
kalimat (al-kalam). Arti qaul shabahat secara istilah
adalah pendapat atau madzhab shahabat tentang suatu
hukum yang kemudian dinukil oleh ulama sesudahnya.
Kehujjahan Qaul Shahabi

Ulama ushul terbagi dua dalam menyikapi qaul shahabat


sebagai dalil hukum:
▪ Imam Malik dan Ahmad Ibn Hanbal berpendapat bahwa
qaul shahabat dapat dijadikan hujjah hukum; terlebih
ijma` shahabat atau pendapat shahabat yang tidak ada
yang mengingkarinya, dapat dijadikan hujjah (alasan
hukum).
▪ Ulama Syafi`iah, Jumhur Asy`ariyyah, Mu`tazilah dan
Syi`ah berpendapat bawa pendapat shahabat tidak
dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
Contoh penggunaan qaul shahabi:

•Umar RA: Kejahatan terhadap


binatang didenda sebesar ¼ harga
binatang tersebut.

•Umar RA: jika pembunuhan dilakukan


lebih dari 1 orang, maka semuanya
dihukum qishash.
f.
Syar` Man Qablana

▪ Syar` Man Qablana adalah hukum-hukum yang berlaku


bagi suatu masyarakat sebelum Islam. Apakah hukum-
hukum tersebut berlaku juga bagi umat Islam?
▪ Sebelum pertanyaan tersebut dijawab, harus dijawab
dulu pertanyaan, apakah Rasulullah Saw sebelum diutus
menjadi Rasul terikat dengan hukum-hukum syari`at
sebelum Islam?
Rasul dan Syar` Man Qablana

Apakah hukum-hukum syari`at sebelum Islam mengikat bagi Rasulullah Saw setelah
beliau diutus menjadi Rasul? Pendapat ulama sebagai berikut:
▪ Ulama sepakat bahwa syar` man qablana yang tidak terdapat dalam al-Qur’an
dan sunah, tidak menjadi syari`at bagi Rasul dan umatnya.
▪ Ulama sepakat bahwa syar` man qablana yang terdapat ketegasan berlakunya
syariat tersebut bagi umat Islam dalam al-Qur’an dan sunah, maka sepakat ulama
bahwa hukum tersebut (syar` man qablana) berlaku bagi umat Islam.
▪ Ulama Asy`ariyah, Mu`tazilah, Syi`ah, sebagian Syafi`iah dan Hanabilah, Imam al-
Ghazali, al-Amidi, Ibn Hazm al-Zhahiri, dan Fakhruddin al-Razi berpendapat
bahwa syar` man qablana tidak menjadi syariat bagi Rasul dan umatnya.
Alasannya hadits Mu`adz tentang ijtihad.
▪ Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwa apabila syar` man qablana
dinyatakan dengan dalil khusus yang menegaskan hanya berlaku khusus bagi
mereka, maka umat Islam tidak wajib mengikutinya; akan tetapi syar` man
qablana yang bersifat umum, maka hukumnya berlaku umum, termasuk umat Nabi
Muhammad Saw.
Contoh penggunaan syar’u man qablana:
1. Fatwa tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Wakalah. Dalam fatwa No. 95/DSN-
MUI/VII/2014 tentang SBSN Wakalah, DSN-MUI men-t a k y i f
SBSN tersebut sebagai wakalah bil istitsmar. Salah satu landasan
hukum yang dipakai dalam fatwa tersebut adalah kisah ashabul
kahfi yang dimuat dalam Al-Qur’an Surat al-Kahfi ayat 19.:
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ۟
َُ ‫َح َدكم ب َوِرقك ُْم َهذهۦأُ ُإ‬
‫َ ٱلْ َمدينَُة فَ ْليَنظ ُْر أَيُُّ َهُاأ أ َْزَك ُ طَ َع ًاما‬ َ ‫فَكبْ َعث أوُا أ‬
2. Fatwa tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah. Dalam
fatwa No. 64/DSN-MUI/XII/2007 tentang SBIS Ju’alah. , DSN
menggunakan syar’u man qablana sebagai salah satu dalilnya.
Yangmana dalil tersebut digunakan sebagai landasan hukum
akad ju’alahyang diterapkan pada Sertifikat Bank Indonesia
Syariah. Dalil yang dimaksud adalah surah Yusuf ayat 72.

ِ ِ ِ ۠ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ۟
ُ‫ۦُزعيم‬
َ ‫ۦُحْلُبَعر َُوأ َََنُبه‬
ُ ‫نَُاأءَُبه‬
َ ‫اعُٱلْ َملك َُول َم‬
َ ‫قَالواُنَ ْفقدُص َو‬
g.
Sadd al-Dzari`ah

Al-dzari`ah dapat dibedakan menjadi dua; yaitu:


❑ Sadd al-dzari`ah (prepentif); yaitu Mencegah sesuatu yang
menjadi jalan kerusakan, atau menutup jalan yang dapat
menyebabkan seseorang pada kerusakan/celaka.
❑ Fath al-dzari`ah; yaitu suatu media atau jalan diperintajkan
untuk dilakukan karena media tersebut berfungsi sebagai
penghubung terhadap tercapainya perbuatan yang
perintahkan dan mengandung kemmanfaatan.
❑ Dalil kehujjahan sadd al-dzari’ah:
ِ ِ ِ ۢ ۟ ِ ِ ِ ِ َّ ۟
ُ‫ٱّللَ َع ْد ًوا بغَ ُْر ع ْلم‬
َُّ ‫ٱّلل فَيَسُبُّوُا‬
َُّ ‫ون‬
ُ ‫ين يَ ْدعو َُن من د‬
َُ ‫َوََُل تَسبُّوُا ٱلذ‬
Sadd al-Dzari`ah sebagai Dalil
Pendapat ulama terkait sadd al-dzari`ah sebagai dalil
sebagai berikut:
❑ Ulama Hanafiah dan Syafi`iah menerima sadd al-dzari`ah
apabila kemafsadatan yang akan timbul bersifat pasti.
❑ Ulama Zhahiriah tidak menerima sadd al-dzari`ah sebagai
dalil.
Contoh penerapan Sadd al-Dzari’ah:

1. Sad al-dzar’ah:
• Larangan memberikan pembiayaan kepada orang di
daerah yang dikenal penipu.
• Larangan memasarkan produk dari konvensional.
2. Fath al-Dzari’ah:
• Boleh mendirikan pabrik senjata tajam untuk keperluan
pertanian.
4.
Metode Istinbath Hukum
(A. Kebahasaan, B. Maqashid
Syariah, dan C. Ta`arudh al-
Adillah)
Istinbath Hukum

Istinbath hukum (istinbath al-ahkam) merupakan terminologi


yang digunakan untuk menunjukkan ikhtiar yang dilakukan
ulama dalam rangka memahami dan mengkaji dalil hukum
(al-Qur’an dan al-sunnah) untuk mencapai kesimpulan
hukum tertentu.
A. Kebahasaan

(a)
Perintah dan Larangan
(al-Amr wa al-nahy)
Konsep Perintah dan Larangan

Dalam menjelaskan perintah dan larangan yang terdapat dalam al-


Qur’an dan Sunnah dapat dilakukan dua pendekatan: pendekatan
bentuk (kata) dan pendekatan substansi.
▪ Dalam Bahasa Arab, terdapat kata yang berbentuk fi`l (kata kerja)
dan kata benda (mashdar). Kata kerja dibedakan menjadi tiga:
➢ Fi`l al-madhi (past tense); kata kerja yang menunjukkan
perbuatan yang sudah terjadi.
➢ Fi`al l-mudhari; kata kerja yang menunjukkan perbuatan yang
sedang berlangsung atau akan dilakukan (future).
➢ Fi`l al-amr; kata kerja yang menunjukkan perintah
▪ Perintah (al-amr) pada awalnya mulai dari bentuk kerja; akan
tetapi, ada juga perintah untuk tidak melalukan sesuatu (secara
substansi adalah larangan al-nahy)
Bentuk Perintah dan Larangan

▪ Secara konseptual, perintah (al-amr) merupakan


bentuk kata yang menunjukkan perintah; dan
larangan (al-nahy) merupakan bentuk kata yang
menunjukkan larangan.
▪ Di samping bentuk kata (fi`l al-amr), perintah
juga dibuat menggunakan kata yang
menunjukkan perintah (misalnya kata kutiba atau
amara) dan kata yang digunakan menunjukkan
larangan (misalnya kata harama/hurima).
Sifat Perintah dan Larangan

▪ Perintah dan larangan saling berkelid jika dihubungkan


dengan substansi perintah dan larangan. Misalnya:
➢ Larangan berlaku zhulm berarti perintah untuk
berlaku adil.
➢ Larangan transaksi riba berarti larangan transaksi
riba.
➢ Perintah untuk ikhtiar (kasab) berarti larangan malas
(al-kasal).
▪ Sifat perintah bergantung pada qarinah; dapat
melahirkan hukum wajib dan mandub (sunah).
▪ Sifat larangan bergantung pada qarinah; dapat
melahirkan hukum haram dan makruh.
▪ Sesuatu yang tidak diperintahkan juga tidak dilarang,
melahirkan hukum mubah (boleh).
Contoh perintah dan larangan dalam al-Qur’an:

1.al-Baqarah :282 :
‫ُم َس ىم ُفَا ْكت بوه‬‫ل‬ََ‫أ‬ ُ َ ِ
‫إ‬ ‫ن‬
ُ ‫ي‬ ‫د‬ِ
‫ب‬ ُ‫م‬ ‫نت‬‫اي‬‫د‬ ‫ت‬ ُ‫ا‬‫ذ‬ ِ
‫إ‬ ُ‫ا‬
‫و‬ ‫ن‬‫ُآم‬ ِ َّ
ُّ َ َ َْ َ َ َ َ َ َ ‫َي أَيُّ َهاُال‬
‫ين‬‫ذ‬
Ayat di atas menujukkan adanya bentuk fiil amr yaitu
mengandung perintah.
2. An-Nisa: 29
ِ ‫مُِبلْب‬
ُ‫اط ِل‬ ِ ‫ك‬‫ن‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫م‬ ‫ك‬‫ل‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫َم‬
‫أ‬ ُ‫ا‬
‫و‬ ‫ل‬‫ك‬ْ
‫َُت‬ ‫اَُل‬
‫و‬ ‫ن‬‫ُآم‬ ِ َّ
َ َ َْ َ ْ َ َ َ َ َ ‫ََيُأَيُّ َهاُال‬
‫ين‬‫ذ‬
Ayat ini mengandung fiil nahi, yatiu larangan memakan harta
dengan cara bathil.
(b)
Lafazh Umum dan Khusus
(al-`Amm wa al-Khashsh)

Konsep Umum dan Khusus

▪ Al-`amm merupakan ungkapan kata yang menunjukkan makna


umum; dan al-khashsh merupakan ungkapan kata yang
menunjukkan makna khusus.
▪ Di antara kata-kata yang menunjukkan sifat al-`amm adalah
mu`asyir (seluruh), kull (semua), jami` (semua), `ammah/kaffah
(utuh/sempurna), kata jamak yang menggunakan alif lam, kata
tunggal yang menggunakan alif lam, nama-nama penyambung
(ma, man alladzi), nama-nama syarat (ay, ayna), nama-nama
istifham (mata dan madza)
▪ Lafazh `amm yang tidak ditakhshih berlaku umum; dan lafazh
`amm yang di-takhshish, berlaku makna khusus.
Contoh lafazh ‘aam, khash dan penerapan takhshih al-’Am:

Lafaz ‘Aam: ‫ار‬ ِ


1. َ ‫ض َرَر َولَ ض َر‬
َ َ‫ل‬. Isim nakirah didahului nafi, maka mengandung
pengertian umum, yaitu segala kemudharatan.
ِ ِ ۟ ِ َّ‫ أَيَيُّها ٱل‬: lafzh Aamanu adalah khash.
Lafzh khas: ُ‫ين ءامن أوُا إ َذا تَ َداينتم ُب َديْن‬
ُ ‫ذ‬ َ َ
2.
َ ََ َ
3. Penerapan Takhshish al-’Aam.

Ayat ‘Aam pada surat al-Baqarah 275:

ِ ‫ُاّللُالْبَ ْي َع َُو َحَّرَم‬


ُۚ‫ُالرَِب‬ َّ ‫َح َّل‬
َ ‫َوأ‬
Ayat teserbut dipahami bahwa seluruh bentuk jual beli adalah halal. Lalu ada hadis
yang men takhshish ayat tersebut, yaitu hadis-hadis tentang jual beli yang dilarang,
seperti jual beli gharar, jual beli dalam kandungan.
ْ ‫ي َوالْ َمالَقِْي ُِح َو َحبَ ُِل‬
ُ‫اْلَبَ لَ ِة‬ ُِ ْ ‫ض ِام‬
َ ‫أَنَّهُ ََنَ َع ُِن الْ َم‬
Hadis ini mentakhshish ayat di atas.
(c)
Muthlaq dan Muqayyad

Konsep Muthlaq dan Muqayyad

❑ Muthlaq: lafazh yang menunjukkan atas suatu hakikat


tanpa Batasan.
❑ Muqayyadh: Lafazh yang menunjukkan pada hakikat
lafazh tersebut dengan dibatasi oleh sifat, keadaan, dan
syarat tertentu.
Contoh pemahaman Muthlaq dan Muqayyadh:

1. Contoh ayat Muthlaq: seseorang mengatakan


.‫• وقفتُعل ُأوَلدي‬
Kalimat ini adalah muthlaq untuk semua anaknya. Jika dia tambah
ucapan, yang laki-laki, maka menjadi muqayyad.

2. Contoh QS. Al-Maidah 3:


ُ‫ُعلَْيكمُٱلْ َمْي تَة َُوٱلدَّم‬
َ ‫ت‬ْ ‫ح ِرَم‬
Kata Dam/darah adalah muthlak semua darah. Lalu di ayat yang dilain diberi sifat daman
masfuhan.

ً ‫…إََِّلأُأَنُيَكو َن َُمْي تَةًُأ َْوُ َد ًِا َِّ ْس مف‬


‫وحا‬
Maka ayat ini menjadi menjelaskan bahwa darah tersebut adalah darang yang
mengalir. Sehingga hati yang termasuk darang, tidak haram.
(d)
Manthuq dan Mafhum

❑ Manthuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu kata


yang diucapkan/ditulis (tersurat).

❑ Mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu kata


yang tidak terucapkan/tidak ditulis (tersirat).
Nash
Manthuq
Zhahir

Fahwa al-
Khithab
Lafazh Muwafaqah
Lahn al-
Khithab
Mafhum
Laqab
Mafhum
Mafhum
hadd

Mafhum
ghayah
Mukhalafah
Mafhum
’adad

Mafhum ’illat

Mafhum
Shifat
Ragam Manthuq

Manthuq dibedakan menjadi dua macam; yaitu:


1. Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di
ta’wilkan lagi, seperti firman Allah SWT:
ُ‫ُّه َد ِاء‬
‫الش‬ ُ
‫ن‬ ِ ‫ي فَ رجٱ واِرأ ََت ِن ِِمَّن تَرضو َُن‬
‫م‬ ِ
ُ ‫ل‬ َ‫ر‬ َّ ِ
َ َ ْ ْ َ ْ
َ َ ‫َم‬ ْ َ َ َ ْ َ‫ف‬
ُ
‫وَن‬
َ ‫ك‬‫ي‬ ُ
‫ّل‬ ‫ن‬‫إ‬
(Q.S Al-Baqarah [2]: 282), lafadh rajulun wamraatani, tidak
mungkin ditakwil lagi.
Ragam Manthuq

2. Zhahir, menurut Al-Sarakhsi adalah :


“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri
tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.
Seperti firman Allah SWT:
ُۚ‫س‬ ۡ ِ ۡ ِ ۡ ِ
َُّ ‫ُٱلربَواْ ََُلُيَقومو َنُإََِّلُْۗ َك َُماُيَقومُٱلَّذ ۡيُيَتَ َخبَّطه‬
ِ ‫ُٱلشيطَنُم َنُٱل َم‬ ِ ‫َُيكلو َن‬ َ ‫ين‬
َ ‫ذ‬ َّ‫ال‬
ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ
ِ ‫ُِب َََّنمُقَالواُْإََِّّنَاُٱلب يع‬ ِ‫َذل‬
ِ‫مَّللم مُبَ َع َو َح َّرََ ب‬
.‫مُرََو‬ َّ ‫َح َّٱ‬‫أ‬‫و‬
َ َ َُْ‫و‬
‫ا‬ ‫ر‬
‫ب‬ِ ‫ُٱل‬ ‫ل‬ ‫ث‬ ‫ُم‬ ‫أ‬ ِ ‫ك‬َ
َ
Ayat ini, menurut konteks kalimatnya, untuk mengharamkan riba dan
untuk menjelaskan perbedaan antara riba dan jual beli. Akan tetapi,
dari zhahir lafazhnya mengandung pengertian diperbolehkannya jual
beli
Ragam Mafhum

❑ Mafhum dibedakan menjadi dua macam; yaitu:


➢ Mafhum Muwafaqah; yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama
dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafazh.
➢ Mafhum Mukhalafah; yaitu pengertian yang dipahami berbeda
daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi
(meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan.
1. Mafhum muwafaqah dibedakan menjadi dua macam; yaitu:
✓ Fahwal Khitab; yaitu sesuatu yang tersirat lebih utama
hukumnya daripada yang diucapkan/dituliskan. Seperti
memukul orang tua tidak boleh hukumnya, dari pada
berkata ah (menyakiti).
✓ Lahnul Khitab; yaitu sesuatu yang tersirat sama atau setara
dengan ketentuan tertulis. Misalnya QS al-Nisa’ (4): 10;
dilarang memakan harta yatim disersamakan dengan
larangan untuk melenyapkannya (membakar).
2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami
berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat
(menetapkan) maupun Nafi (meniadakkan).. Seperti firman
Allah SWT:
۟ ِ ِ ِ ِ۟ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ۟ ِ َّ‫أَيَيُّها ٱل‬
‫ٱّلل َو َذروُا ٱلْبَ ْي َُع‬
َُّ ‫َ ذ ْك ُر‬
َُ ‫كس َع ْوُا إ‬َ
ْ َ‫ف‬ ُ
‫ة‬ ‫ع‬‫م‬‫ٱْل‬
ْ ُ
‫م‬‫و‬ ُ
‫ي‬
َْ ‫ن‬ ‫م‬ ُ
‫ة‬‫و‬‫ل‬
َ ‫لص‬
َّ ‫ل‬ ُ
‫ى‬
َ ‫ود‬‫ن‬ ‫ا‬‫ذ‬َ ‫إ‬ ُ
‫ا‬
‫و‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫ام‬‫ء‬
ََ َُ
‫ين‬ ‫ذ‬ َ َ
Dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at
sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan
shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum
mukhalafah.
Ragam Mafhum Mukhalafah

Ragam mafhum mukhalafah adalah:


1. Mafhum Shifat; yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada salah
satu sifatnya.
2. Mafhum ’illat; yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ’illatnya.
Misalnya mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
3. Mafhum ’adad; yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada
bilangan tertentu.
4. Mafhum ghayah; yaitu kata yang menunjukkan hukum sampai kepada
ghayah (batasan, hinggaan).
5. Mafhum hadd; yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu batas
di antara batas-batasnya.
6. Mafhum Laqab; yaitu menggantungkan hukum kepada nama alam
atau nama pelaku.
Contoh Manthuq dan Mafhum:

1. Ayat Manthuq:

ِ ِ ِ ۟ ِ ِ ِ ۟ ۟ ۟ ِ َّ‫• أَيَيُّهاُٱل‬
ُّ ‫ُماُبَق َ ُم َنُٱلربَ أواُإنُكنت‬
َُ ‫مُم ْؤمن‬
‫ي‬ ‫ا‬
‫و‬
َ ََ ‫ر‬‫ذ‬
َُ ‫ُو‬ ‫ُٱّلل‬
َّ ‫ا‬
‫و‬ ‫ق‬ َّ
‫ُٱت‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫ن‬‫ام‬‫ُء‬
ََ َ‫ين‬‫ذ‬ َ َ
2. Ayat Mafhum:
َِّ ‫ُذ ْك ِر‬
‫ُاّلل َُو َذرواُالْبَ ْيع‬ َِ َُ ِ‫اس َع ْواُإ‬َ‫ف‬ ِ ‫ُاْلمع‬
ُ
‫ة‬ ْ ِ‫لص َالُِة ِمن ي و‬
‫م‬ َّ ِ‫وديُل‬
ِ ‫• إِ َذاُن‬
ْ َ َْ َ

• Mafhumnya: jika belum adzan dan jika shalat sudah


selesai, maka boleh berdagang.
(e)
Wadhih dan Ghair Wadhih

❑ Kata atau kalimat wadhih adalah makna yang


ditunjukkan oleh bentuk nashsh itu sendiri tanpa
memperhatikan faktor luar.

❑ Ghairu wadhih adalah nashsh yang tidak jelas dalalah-


nya (penunjukkan artinya).
Ragam Wadhih

Kata wadhih dibedakan menjadi empat; yaitu:


▪ Al-nashsh; yaitu munculnya segala sesuatu yang nampak; kedudukan
nashsh sama dengan zhahir; yaitu wajib diamalkan petunjuknya atau
dilalahnya sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakshsis
atau menasakhnya.
▪ Al-zhahir; yaitu suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas
maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk kata itu sendiri.
▪ Mufassar; yaitu kata yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk
yang jelas dan tegas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil
atau ditakhsis, namun pada masa Rasulullah masih bisa dinasakh.
▪ Muhkam; yaitu kata yang menunjukkan makna dengan dilalah tegas
dan jelas secara qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan ditakwil,
ditakshsis dan di-nash meskipun pada masa Nabi, lebih-lebih setelah
masa Nabi.
Ragam Wadhih

Muhkam:
ِ ‫اُماُبَِق ُي ِم َن‬
ُ‫ُالرَِب‬ َ َ ‫َو َذرو‬

Mufassar:
........‫ إَلُأنُتكونُجتارة حاضرة‬.

ِ ‫ُاّللُالْبَُْي َع َُو َحَّرَم‬


Al-zhahir: :‫ُالرَُِب‬ َّ ‫َح َّل‬ ِ ‫كُ ِِب َََّن ْمُقَالواُإََِّّنَاُالْبَ ْيع ُِمُثْل‬ ِ
َ ‫ُالرَِبُ َُْۗوأ‬ َ ‫ذَل‬
Dhahirnya ayat ini menjelaskan bahwa jual beli itu dibolehkan
dan riba diharamkan.

ِ ‫ُاّللُالْبَ ْي َع َُو َحَّرَم‬


Al-nashsh:‫ُالرَُِب‬ َّ ‫َح َُّل‬ ِ ‫ُِب َََّن ْمُقَالواُإََِّّنَاُالْبَ ْيع ُِمثْل‬
ِ‫ك‬ ِ
َ ‫ُالرَِبُ َُْۗوأ‬ َ ‫َذل‬
Secara nash ayat ini sebagai bantahan bagi orang yang mengatakan bahwa riba
ُِ ‫ُاّللُالْبَ ْي َع َُو َحَّرَم‬
dan jual beli itu adalah sama, lalu dijelaskan ‫ُالرَُِب‬ َّ ‫َح َّل‬
َ ‫َوأ‬
Ragam Ghair Wadhih
Ghair wadhih dibedakan menjadi empat; yaitu:
➢ Khafi; yaitu kata yang maknanya menjadi tidak jelas karena hal baru
yang ada di luar kata itu sendiri sehingga arti kata itu perlu diteliti
secara mendalam.
➢ Musykil; yaitu kata yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidakjelasan
itu disebabkan oleh kata untuk beberapa pengertian yang berbeda
sehingga untuk mengetahui pengertian mana yang dimaksud dalam
sebuah redaksi memerlukan indikasi atau dalil dari luar, seperti kata
musytarak (kata yang diciptakan untuk beberapa pengertian yang
berbeda hakikatnya).
➢ Mujmal; kata yang bentuknya tidak dapat menunjukkan pengertian yang
dikandung olehnya dan tidak terdapat petunjuk-petunjuk kata atau
keadaan yang dapat menjelaskannya.
➢ Mutasyabih; yaitu kata yang petunjuknya memberikan arti yang
dimaksud oleh kata itu sendiri, sehingga tidak ada di luar kata yang
dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan juga
syara’ tidak menerangkan tentang artinya.
Ragam Ghair Wadhih

Mutasyabih
Lafazh seperti Yad, wajh
dll

Mujmal
‫الصالة‬
Lafazh shalah bisa diartika doa atau shalat

Musykil
‫ثالثةُقروء‬
Makna Quru’ bisa berarti haidh dan bisa berarti suci.

Khafi
‫ٱلسا ِرقَة‬
َّ ‫ٱلسا ِرق َُو‬
َّ ‫َو‬
Apakah pencopet termasuk sariq?
‫‪Contoh wadhih dan Ghairu wadhih:‬‬

‫‪1. Ayat Wadhih :‬‬


‫• َوأ َْوفواُالْ َكْي َلُإِ َذاُكِ ْلت ْمُ‬
‫‪2. Ayat‬‬ ‫‪Ghairu wadhih:‬‬
‫ضا َُح َسنًا‬ ‫ر‬
‫َ ْ ً‬ ‫ق‬
‫َ‬ ‫ُ‬ ‫ُاّلل‬
‫َّ‬ ‫ض‬ ‫ِ‬
‫ر‬ ‫ق‬ ‫يُي‬ ‫ِ‬
‫• َم ْنُ َذاُالَّ ْ‬
‫ذ‬
‫َح َدك ْمََُِوِرقِ مك ْم َه ِذُِه‬
‫• فَابْ َعثواُأ َ‬
(f)
Penggunaan Kata:
Haqiqi dan Majazi

❑Hakikat adalah setiap kata yang menghendaki


makna ashalnya karena sesuatu yang diketahui.

❑Majaz adalah Setiap kata yang maknanya beralih


kepada makna lainnhya.
Ketentuan Haqiqi dan Majazi

Ahli ushul Fikih menjelaskan hakikat dan majaz adalah sebagai berikut:
1. Sebuah kata tidak disifati dengan hakikat dan majaz sebelum
digunakan dengan makna yang dikaitkan terhadap kehendak
pembicara.
2. Ketika dikehendaki makna majaz maka harus adanya qarinah dan
`alaqah (penghubung/pertalian).
3. Harus adanya qarinah yang menunjukkan terhadap dicegahnya
kata dari mendatangkan makna hakiki (yang sebenarnya)
4. Ketika kata disifati hakikat atau majaz, maka harus dihubungkan
dengan wadhi` al-lughah (pembuatnya).
‫‪Contoh ayat Haqiqi dan Majazi:‬‬

‫‪1. Ayat Haqiqi:‬‬


‫ُذ ْك ِر َِّ‬
‫ُاّللُ‬ ‫ُعن ِ‬‫ُ‬ ‫ع‬‫ي‬ ‫ُب‬‫َل‬
‫و‬
‫َ‬ ‫ة‬‫ار‬‫• ِرَال ََُلُت ْل ِهي ِهمُ َِ‬
‫جت‬
‫ْ َ َ َْ َ ْ‬ ‫َ‬
‫‪2. Ayat Majazi:‬‬
‫ُع َُذابُأَلِ ُ‬
‫يم‬ ‫ن‬
‫ْ ْ َ‬
‫• يَاُأَيُّهاُالَّ ِذينُآمنواُهلُأَدلُّكمُعلَ ُ ِجتَارة ت ْن ِجيكم ِ‬
‫ُم‬ ‫َ‬ ‫ْ َ‬ ‫َ َ َْ‬ ‫َ َ‬
(g)
Al-Ta’wil
(g)
Al-Ta’wil

Konsep Ta’wil

❑ Secara bahasa adalah memalingkan (al-iltifath).


❑ Secara istilah adalah memalingkan kata dari arti awal ke arti lain
yang masih dalam cakupannya (tetapi tidak zhahir).

Syarat-syarat Ta’wil
1. Dalam kata atau lafazh tersebut terkandung makna lain meskipun
sangat jauh.
2. Harus ada faktor yang mendorong (memaksa) untuk
diterapkannya ta’wil.
3. Harus memiliki sandaran (sanad) atau dalil yang dijadikan alasan.
Ragam Ta’wil

Muhammad Abu Zahrah membedakan ta’wil menjadi dua,


yaitu:
1. Ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang
dapat menimbulkan al-tasybih (penyerupaan Khaliq
dengan makhluq).
2. Ta’wil yang khusus berkenaan dengan hukum taklif; karena
secara zhahir terdapat pertentangan antara ayat yang
satu dengan ayat yang lain, atau ada pertentangan
antara hadits yang satu dengan hadits yang lain.
Contoh penerapan ta’wil:
1. Surat al-Baqarah 282:
ِ ِ ِ ۟ ِ َّ‫أَيَيُّهاُٱل‬
‫ُم َس ىم ُفَٱ ْكتم بموهم‬ َ
ُّ ‫ينُءَ َامن أواُإ َذاُتَ َدايَنتمُب َديْنُإ ََأُُأ ََل‬
َ ‫ذ‬ َ َ
Ayat diatas menunjukkan perintah mencatat utang piutang adalah hukumnya
wajib. Kemudian ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang mengalihkannya
menjadi sunnah yaitu pada ayat selanjutnya QS. Al-Baqarah: 283.
ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ۟ ِ ِ‫وإ‬
ُ‫ضاُفَ ْلي َؤدُٱل ُذى‬ ً ‫وضةُُفَإ ْنُأَم َنُبَ ْعضُكمُبَِْع‬ َ ‫ُم ْقب‬ َ ْ‫ُس َفر َُوَّل‬
َّ ‫ُِتدواُ َكاتبًاُفَُرَ۟هن‬ َ ‫ل‬
َ ‫ُع‬
َ ‫م‬ ‫نت‬
ْ َِ ‫نُك‬
ِ
ُ‫ُبَا‬
ُ ‫ٱّلل‬َّ ‫َّه َد َةُ َُۚوَمنُيَ ْكت ْم َهاُُفَِإنَّأهۥُءَاثُقَُْلبهۥُ َُْۗو‬ َّ ‫ۥُولْيَ ت َِّق‬
َ ‫ُٱّللَ َُربَّهۥُ َُْۗوََُل تَ ْكتمواُٱلش‬ َ ِ‫ْٱؤُت َنُأ ََمنَ تَه‬
ُ‫ُعليم‬َ ‫تَ ْع َملو َن‬
B.
Maqashid al-Syari`ah
B.
Maqashid al-Syari`ah

Konsep maqashid al-syari`ah (tujuan syariah) diperkenalkan


oleh al-Ghazali dan diperkaya wacananya oleh Imam al-
Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah.
Tujuan syariah menurut pakar usuhul fikih adalah:
▪ Hifzh al-din (memelihara agama).
▪ Hifzh al-nafs (memelihara jiwa/nyawa).
▪ Hifzh al-`aql (memelihara akal).
▪ Hifzh al-nasl (memelihara keturunan).
▪ Hifzh al-mal (memelihara harta).
Maqashid al-Syari`ah

Hifzh al-Din Hifzh al-Nafs Hifzh al-`Aql Hifzh al-Nasl Hifzh al-Mal

Perintah shalat, Larangan murtad


(QS al-Baqarah [2]: 217)

Larangan membunuh (QS al-Nisa [4]: 29), orang yang


makan riba seperti orang kesurupan (Qs. Al- Baqarah 275)

Larangan konsumsi khamr atau minuman yang memabukkan (QS


al-Baqarah [2]: 219; QS al-Ma’idah [5]: 90; al-Nisa’ [4]: 43).

Perintah untuk menikah (QS al-Nisa’ [4]: 3); Larangan berzina (QS al-Nur [24]: 2-3); dan
larangan bagi wali menikahkan orang yang berada di bawah kewaliannya, kepada laki-laki
nonmuslim/musyrik (QS al-Baqarah [2]: 221).

Larangan mencuri (QS al-Ma’idah [5]: 38; Larangan konsumsi harta secara batil (QS al-Baqarah
[2]: 188; dan Larangan tasharruf secara riba (QS Ali Imran [3]: 230); Larangan israf (QS al-A`raf
[7]: 38); dan perintah untuk konsumsi secara halal dan baik (QS al-Ma’idah [5]: 88).
C.
Ta`arudh al-Adillah
C.
Ta`arudh al-Adillah

❑ Ta`arudh al-adillah yang dimaksud dalam ilmu ushul Fikih


adalah pertentangan atau perbedaannya dalil dalam
menentukan suatu hukum.
❑ Jadi Ta’arudh al-Adillah adalah Suatu dalil menentukan
hukum tertentu terhadap satu persoalan sedangkan dalil
lain menentukan hukum yang berbeda dengan itu.
Langkah-langkah dalam Hal Ta`arud al-Adillah

Apabila terdapat pertentangan dalil-dalil mengenai suatu ketentuan hukum, maka


wajib dilakukan ijtihad dengan menempuh langkah-langkat berikut (Khallaf, `Ilm
Ushul al-Fikih: 22):
1. Al-jam` wa al-taufiq; menggabungkannya dan mencari kesimpulan tanpa
mengabaikan salah satunya; misalnya ketentuan `iddah wafat dan `iddah
hamil.
2. Al-tarjih; mencari dalil yang lebih kuat sehingga ada dalil yang digunakan
(al-rajih) dan ada dalil yang diabaikan (al-marjuh).
3. Al-naskh; apabila diketahui tarikh-nya, boleh dialkukan pendekatan al-
naskh; yaitu ayat al-Qur’an atau hadits yang (belakangan/akhir) menaskh
ayat atau hadits yang ada sebelumnya; dalil yang akhir disebut nasikh;
sedangkan dalil yang belakangan disebut mansukh.
4. Tasaquth al-Dalilaini; apabila tidak bisa dilakukan cara-cara di atas, maka
meninggalkan dalil-dalil yang bertentangan dan beralih pada dalil yang
lebih rendah derajatnya.
Contoh ta’arudh al-Adillah:

Hadis Riwayat Bukhari:


ِ ‫ُإَلُيفُالن‬
.ُ‫َّسيئَ ِة‬ َّ ‫َلُ ِرَِب‬
Hadis ini (seolah-olah) bertentangan dengan hadis lain
tentang riba Fadhl, yaitu hadits Muslim berikut.
َّ ‫ضةُ ِِبلْ ِف‬
ُ‫ض ُِة َوالْ ُُِّب ِِبلْ ُِِب َوالشَّعِرُ ُِِبلشَّعِ ُِر َوالت َّْمرُ ِِبلت َّْم ِر‬ َّ ‫ب َوالْ ِف‬ ُِ ‫الذ َهبُ ِِب َّلذ َه‬َّ
ِ ‫ب‬
ُ‫اآلخذ‬ َُ‫استَ َز َُاد فَ َق ُْد أ َْر‬ ِ
ُ
‫و‬ َ
‫أ‬ ُ
‫اد‬‫ز‬ ُ
‫ن‬ ‫م‬ ‫ف‬
َ ‫د‬
ُ ُ
‫ي‬ِ‫ب‬ ‫ا‬ ‫د‬
ً ‫ي‬ ‫ل‬
ُ ‫ث‬
ْ ِِ‫الً ب‬
ُ ‫ث‬
ْ ‫م‬ِ ‫والْ ِم ْلحُ ِِبلْ ِم ْل ُِح‬
ْ ََ َْ َ َ َ
ِ ِ ِ
ُ‫َوالْم ْعط ف ُيه َس َواء‬
Imam Nawawi berkomentar bahwa hadis Bukhari telah
di nasakh.
5.
Al-Ijtihad
Pengertian Ijtihad

❑ Kata ijtihad berasal dari al-juhd yang secara harfiah


berarti sungguh-sungguh; Oleh karena itu, ijtihad
secara harfiah berarti pengerahan segenap
kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.
❑ Arti ijtihad secara terminologis menurt Abu Zahrah:
Daya upaya ahli hukum Islam semaksimal mungkin
dalam mengistinbathkan hukum praktis dari dalil-
dalilnya yang terperinci.
‫‪Dasar Hukum Ijtihad‬‬

‫‪▪ Di antara dasar hukum ijtihad adalah :‬‬


‫‪1.‬‬ ‫‪QS al-Ra`d: 4, al-Rum: 21, dan al-Zumar: 42.‬‬
‫يف َذلِ َُ‬
‫ك ل َََي ُ لَِق ْومُ يَتَ َف َّكرْو َُن‬ ‫إِ َُّن ِ ُ‬
‫‪2.‬‬ ‫‪QS al-Hasyr: 2.‬‬
‫صا ُِر‪.‬‬ ‫َب‬‫ال‬ ‫ُ‬
‫ل‬ ‫ِ‬
‫و‬ ‫ِ‬
‫َ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫اعتَ ْ َ ْ‬
‫أ‬ ‫ُ‬
‫َي‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫ِب‬ ‫فَ ْ‬
‫‪3.‬‬ ‫‪Hadits riwayat Abu Daud tentang Mu`adz Ibn Jabal:‬‬
‫ك قضاءُ ؟ قال‬ ‫يبعث معا ًذا إَ اليم ُِن قال له ‪ :‬كيف تَ ِ‬
‫قضي إذا غلبَ َُ‬ ‫أنَّه صلَّ للاُ عليه وسلَّم ملا أر َُاد أن َُ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ َّ‬ ‫‪ِ :‬‬
‫للا ‪ ،‬قال ‪ :‬فإن ّل ِت ُْد ؟ قال‬
‫سول ُ‬
‫للا ؟ قال ‪ :‬بسن َُّة ُر ُ‬
‫كتاب ُ‬
‫ُ‬ ‫للا قال ‪ :‬فإ ُْن ّل ِت ُْد يف‬‫بكتاب ُ‬
‫ُ‬ ‫أقضي‬
‫للا صلَّ للاُ عليه‬‫رسول ُِ‬
‫رسول ُِ‬ ‫صدرهُ ‪ ،‬وقال ‪ :‬اْلمدُ ُِ‬
‫لل الَّذي وفَّ َُق َُ‬ ‫فضرب َ‬ ‫َُ‬ ‫‪ :‬أَتهدُ برأيي وَل آَلو ‪،‬‬
‫للا‪( .‬رواه أبو داود)‪.‬‬ ‫وسلَّم ملا يرضاهُ رسولُ ُِ‬
‫‪4.‬‬ ‫‪Hadits riwayat Imam Muslim tentang Qadhi yang diutus ke Yaman:‬‬
‫أصاب فَلَهُ ِ‬ ‫ِ‬
‫أخطَُأَ فَلَهُ ْ‬
‫أَرُ‪.‬‬ ‫اَتَ َه َُد ُثَّ ْ‬
‫أَران‪ ،‬وإذا َح َك َُم ف ْ‬
‫ْ‬ ‫َُ‬ ‫فاَتَ َه َُد ُثَّ‬
‫إذا َح َك َُم اْلاكمُ ْ‬
Ragam Ijtihad berdasarkan jumlah mujtahid:

Jama’i
(Ijtihad yang dilakukan secara bersama
atau musyawarah terhadap suatu
masalah dan pengamalan hasilnya
menjadi tanggung jawab bersama).

Ijtihad
Fardi
(Ijtihad yang dilakukan secara mandiri
oleh seseorang yang mempunyai
keahlian dan hasil ijtihadnya belum
mendapat persetujuan dari ulama atau
mujtahid lain.)
Ragam Ijtihad berdasarkan dalil yang dijadikan pedoman:

Al-ijtihad al-Bayani; yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum


syari`ah dari nashsh/nushush syar`i. (Misal: menjelaskan malna
quru’ dalam al qur’an)

Al-Ijtihad al-Qiyasi; yaitu meletakkan (wadh`) hukum-hukum


syari`ah untuk kejadian atau peristiwa yang tidak terdapat
dalam al-Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan
qiyas atas apa yang terdapat dalam nushush syar`i. (Misal:
mengqiyaskan Beras dengan gandum)

Al-ijtihad al-Isthishlahi: yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah


untuk peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al-
Qur`an dan Sunnah, menggunakan al-ra`y yang disandarkan
atas isthishlah. (missal: Fatwa DSN MUI bahwa Wa’d mulzim).
Ragam Ijtihad dan Tingkatan Mujtahidnya
Ijtihad Muthlaq (Mustaqill); ijtihad yang dilakukan dengan cara
menciptakan norma hukum dan kaidah istinbath yang menjadi
metode bagi setiap pihak yang hendak berijtihad.

Ijtihad Muntashib; ijtihad yang dilakukan dengan


menggunakan metode istinbath yang dibuat oleh mujtahid
muthlaq mustaqil.

Ijtihad madzhab; ijtihad yang dilakukan dengan mengikuti imamnya, baik


ushul dan furunya. Disini hanya memberikan rincian dan ulasan yang
sudah dibahas imam madzhab.

Ijtihad Tarjih; ijtihad seseorang dalam memberikan fatwa atau keputusan


hukum tentang suatu masalah dengan menyandarkannya pada salah satu
dari madzhab-madzhab kalisik.
Ijtihad dan Konsep Terkait Lainnya

• Menggali hukum dari sumbernya


Ijtihad dengan menggunakan metode istinbath
hukum tertentu.
• Mengikuti pendapat mujtahid
Ittiba` dengan mengetahui
yang digunakanan.
argumen

• Mengikuti pendapat
mujtahid tanpa
Taqlid mengetahui argumen yang
digunakanan.
Lapangan (Majal) Ijtihad

❑ Topik yang diijtihadi tidak termasuk mujma` `alaih wa ma`lum min al-
din bi al-dharurah (sesuatu yang pengertiannya sudah jelas baik
secara konsep maupun praktek) dan bersifat qath`iy al-dalalah; di
antaranya wajibnya shalat, puasa ramadhan, haji, berbakti kepada
orang tua, membantu mustadh`afin, larangan zina, mencuri, dan
membunuh.
❑ Hukum yang dikandung oleh nashsh zhanniy baik dari segi wurud
maupun dalalah-nya.
❑ Hukum yang dikandung oleh nashsh qath`iy tapi zhanniy dari segi
dalalah-nya.
❑ Hukum yang dikandung oleh nashsh zhanniy tapi qath`iy dari segi
dalalah-nya.
❑ Hukum yang tidak dikandung dalam nashsh dan ijma` (al-waqi`iyyat).
Syarat-syarat Mujtahid

❑ Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua


syarat, yaitu:
1. Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu
melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang syara dan
mendahulukan yang wajib.
2. Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan
sikap keadilan (`adalah).

❑ Al-Syatibi berpendapat bahwa mujtahid hendaknya


sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat; yaitu:
1. memiliki pengetahuan tentang al Qur’an, Sunnah, dan
Ijma’ sebelumnya.
2. memiliki pengetahuan tentang ushul fikih
3. menguasai ilmu bahasa.
Hukum
Islam? Prosesnya disebut Ijtihad

Tafaqquh Istifta Taqdhi Taqnin

Fikih Fatwa Qadha Qanun

Fuqaha’ Mufti Qadhi Qanuni


RANGKUMAN

MAQASHI
D SYARIAH IJTIHAD

ISTISHLAHI Ta’lily BayanIy

1. Amar, Nahy, Takhyir


‘URF ISTIHSAN QIYAS
2. Am dan Khash
3. Muthlaq @ Muqayyad
SADD 4. Mantuq & Mafhum
Mashlahah
AL-DZARIAH 5. Wadhih & Ghair Wadhih
6. Musytarak
SYAR’U MAN
ISTISHAB
QABLANA

MAZHAB
SHAHABI
‫وهللا أعلم‬

Anda mungkin juga menyukai