Anda di halaman 1dari 115

USHUL FIQH

Tim DSN-MUI INSTITUTE

2020 M
Ushul Fikih
1.Hakikat Ushul Fiqh
(Pengertian, Manfaat, dan Qawa`id Ushul serta Qawa`id Fiqhiyyah)

2. Hukum Syara’ (Pengertian, Hukum Taklifi, Hukum Wadh`i)

3. Sumber dan Dalil Hukum (a. Yang disepakati {al-qur’an, Hadis,


Ijma’ dan Qiyas}. b. Yang tidak disepakati.

4. Metode Istinbath Hukum (Kebahasaan, Maqashid Syariah, dan


Ta`arudh al-Adillah)

5. Ijtihad
(1)
Hakikat Ushul Fiqh
(Pengertian, Manfaat, dan Qawa`id
Ushul serta Qawa`id Fiqhiyyah)
Pengertian Ushul Fiqh

❑ Pengertian Ushul Fiqh secara Bahasa


➢ Ushul fiqh terdiri atas dua kata; yaitu ushul dan fiqh. Secara bahasa,
ushul (berasal dari kata al-ashl) yang berarti pokok, dasar, sumber, dan
fondasi; ulama berpendapat bahwa al-ashl (fondasi) berarti sesuatu
yang di atasnya sesuatu yang lain dibangun (ma buniya `alaih dzalika al-
syai`)
➢ Fiqh secara bahasa berarti pengetahuan/pemahaman (al-fahm); yaitu
pengetahuan subyek hukum (pakar) tentang hukum syariah yang
bersifat amali/praktek (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan)
berasarkan al-Qur’an dan sunah.

❑ Pengertian Ushul Fiqh secara Istilah


➢ Pengertian ushul fiqh secara terminologis seringkali disebut “Ilmu” Ushul
fiqh; yaitu seperangkat ilmu tentang kaidah atau metode-metode
memahami al-Qur’an dan sunnah dalam rangka mencapai kesimpulan
hukum (fiqh)
Obyek Kajian Ushul Fiqh

▪ Metodologi penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta kondisi


yang melatarbelakangi dalil-dalil hukum (itsbat al-ahkam);
Dalam rangka memperoleh kesimpulan hukum yang tepat, diperlukan
ilmu bantu; yaitu:
➢ Ilmu al-Qur’an dan ilmu tafsir (di antaranya ilmu asbab al-nuzul
dan pendekatan/metode penafsiran al-Qur’an); dll
➢ Ilmu Hadits (terutama terkait status hadits shahih, hasan, dan
dha`if [lemah]), dll
➢ DLL
▪ Metodologi penerapan hukum, pengetahuan subyek hukum terkait
sebab, syarat, dan sebab terhalangnya penerapan hukum (tanfidz al-
ahkam/tathbiqh al-ahkam).
Manfaat Ushul Fiqh

▪ Diketahuinya argumen ketetapan hukum baik kesimpulan hukum yang


disepakati (mutafaq `alaih) maupun yang diperselisihkan (mukhtalaf
fih);
▪ Diketahuinya ketetapan hukum yang bersifat tauqifi (ditetapkan Allah
dan Rasul secara langsung) dan yang bersifat ijtihadi (melalui proses
nalar logis dengan metodologi yang shahih);
▪ Diketahuinya cara berpikir yang digunakan pakar ushul fiqh;
sehingga memungkinkan bagi yang mempelajarinya menggunakan
metode-metode tersebut dalam rangka menetapkan hukum-hukum
kontemporer yang memerlukan kesimpulan hukum (waqi`i)
Sejarah Ushul Fiqh

▪ Ilmu ushul fiqh tumbuh bersama ilmu fiqh; ulama generasi awal (sahabat) telah
banyak berijtihad untuk mencari kesimpulan hukum; di antaranya Ali Ibn Abi
Talib telah menganalogikan ketentuan sanksi bagi pemabuk terhadap
sanksi qadzaf; dan Ibn Mas`ud telah menentukan `iddah bagi wanita hamil
yang ditinggal wafat suaminya.
▪ Pada masa tabi`in ushul fiqh semakin berkembang, karena banyaknya
waqi`iyyat yang memerlukan kesimpulan hukum; pada fase ini terkenal dua
aliran hukum; yaitu aliran Madinah (di antaranya Sa`id Ibn al-Musayyab) yang
banyak menggunakan hadits sebagai dalil dan menjadikan `amal ulama
Madinah sebagai dalil; dan ulama Irak (antara lain Ibrahim al-Nakha`i) yang
banyak menggunakan ra’y dalam mengambil kesimpulan hukum.
▪ Setelah periode tabi`in, ushul fiqh diupayakan lebih sistematis; generasi imam
Madzhab memulai mengukuhkan seperangkat metodologis sebagai paradigma
yang khas; Abu Hanifah sebagai ahli ra’y, Imam malik sebagai ahli hadits,
imam Syafi`i sebagai ahli qiyas, dan Daud al-Zhahiri memiliki metode al-
qadhaya al-mudarrajat (misal: urutan sahabat dari abu bakar kemudian umar,
maka abu bakar lebih utama dari umar)
Ushul Fiqh dan Qawa`id Fiqh

❑ Ushul fiqh merupakan metode-metode itsbat al-ahkam dan tanfiz al-


ahkam/tathbiq al-ahkam.
❑ Kaidah ushul (fiqh) pada umumnya berupa kesimpulan atau metode-
metode penetapan dan penerapan hukum baik terkait pendekatan
kebahasaan (bayani/dilalah/manthuq dan mafhum) maupun ra’y
(misalnya: al-ashl fi al-amr li al-wujub dan al-hukm yaduru ma`a `illatihi
wujudan wa `adaman).
❑ Qawa`id fiqh merupakan kaidah atau teori yang berupa kesimpulan
umum (teori) yang dihimpun atau diambil dari masalah-masalah
fiqhiyyah yang bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid
karena keserupaan dan persamaan-persamaan (misalnya: al-ashl fi al-
asyya’ al-ibahah).
(2)
Hukum Syara’
(Pengertian, Hukum Taklifi, Hukum Wadh`i)
Unsur-Unsur Hukum Syara’

No Unsur Penjelasan
01. Hukm Perintah Allah yang berkaitan dengan perbuatan
hamba (mukallaf/subyek hukum) dalam bentuk
tuntutan (iqtidha’), pilihan (al-takhyir), dan
hubungan sebab akibat (al-wadh`).
02. Hakim Allah (al-Qur’an), Rasul (sunah), dan ulama/
mujtahid/mufti (ijtihad).
03. Mahkum fih Perbuatan hamba yang cakap hukum (subyek
hukum/mukallaf)
04. Mahkum `Alaih Hamba yang sudah cakap hukum (subyek
hukum/mukallaf).
Hukum Syara’

• Hukum syara` merupakan buah (inti) dari ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh; ushul
fiqh merupakan ikhtiar penggalian hukum dari sumber-sumbernya (al-Qur’an
dan hadits), sedangkan ilmu fiqh mengkaji hasil penggalian hukum syara`
yang berhubungan dengan perbuatan subyek hukum (mukallaf).
• Bentuk hukum syara` terkait perbuatan mukallaf adalah:
➢ Iqtidha’; yaitu perintah/larangan Allah dan Rasul bagi mukallaf untuk
melakukan atau meninggalkan sesuatu.
➢ Takhyir; yaitu pilihan bagi mukallaf untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.
➢ Wadh`i; yaitu hubungan sebab-akibat dalam penerapan hukum.
• Hukum Syara` dibedakan menjadi dua;
➢ Hukum Taklifi.
➢ Hukum wadh`i.
Hukum Taklifi

• Mahmud Muhammad al-Thanthawi menjelaskan bahwa yang dimaksud


dengan hukum taklifi adalah tuntunan dari Allah kepada hamba untuk
mengerjakan/meningalkan sesuatu (iqtidha’), dan pilihan untuk
mengerjakan/meningalkan sesuatu (al-takhyir).
• Dalam pandangan jumhur ulama, hukum taklifi mencakup lima kategori;
yaitu:
➢ Wajib; perbuatan yang diberi pahala bagi yang melakukannya
dan disiksa bagi yang meninggalkannya;
➢ Sunah; perbuatan yang diberi pahala bagi yang melakukannya
dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya;
➢ Mubah; perbuatan yang tidak diberi pahala bagi yang
melakukannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya;
➢ Makruh; perbuatan yang dibenci bagi yang melakukannya;
➢ Haram; perbuatan yang diberi siksa bagi yang melakukannya.
Kerangka Hukum yang Lima Fiqh Muamalah Maliyah

Ancaman Wajib
Perintah dan larangan dari Allah

Perintah

Kabar Gembira Sunah

Ma sakata
Mubah Halal
`anhu

Kabar Gembira Makruh


dan Rasul

Larangan Haram
Ancaman Haram
Hukum Wadh`i

• Abd al-Hamid Hakim dalam kitab al-Sullam menjelaskan bahwa yang


dimaksud hukum wadh`i adalah perintah Allah yang berkaitan dengan sebab,
syarat, dan larangan dalam merealisasikan perbuatan hukum.
• Sebab adalah sesuatu yang empirik (tampak secara lahir) yang oleh Syari`
ditentukan sebagai sebab wujudnya kewajiban untuk melaksankan hukum
(misal Azimah dan rukhshah).
• Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa syarat adalah sesuatu yang
menjadi tempat bergantung wujudnya akad; tidak adanya syarat
mengakibatkan tidak wujudnya hukum, meskipun adanya syarat tidak
memastikan adanya hukum; dikatakan bahwa syarat merupakan
penyempurna terhadap sebab dan akibat hukum. Ahli ushul membedakan
syarat menjadi dua:
➢ Syarat syar`iyyah (ditentukan Syari`); dan
➢ Syarat ja`liyyah (ditentukan `aqid)
• Mani`; yaitu sesuatu yang yang menjadi penghalang kebolehan perbuatan
hukum; (misal: adzan jumat menghalangi sesorang bertransaksi jual beli).
Mahkum `Alaih (Subyek Hukum)

❑ Cakap hukum (syarat subyektif); yaitu dewasa dan terhindar dari:


➢ Al-Junun (gila);
➢ Dha`f al-`aql (dungu; tidak bisa membedakan benar-salah);
➢ Al-safah (tolol; penggunaan harta yang menyalahi syariah misalnya
sikap boros [al-tabdzir] dan berlebihan [israf] );
➢ Al-sakar (mabuk; tidak menyadari perbuatan hukum yang
dilakukannya).
❑ Al-Ikrah (di bawah acaman [lawan dari sukarela/ridha).

Akad yang dilakukan oleh pihak yang tidak cakap hukum bersifat (mauquf);
keabsahan akad bergantung kepada izin wali/pengampu atau pihak lainnya
yang otoritatif. Jika diizinkan, berarti sah akadnya; dan jika tidak diizinkan,
kaka akadnya batal.
Sah, Fasad, dan Batal

Sah; Perbuatan hukum yang terpenuhi rukun dan syaratnya


baik syarat subyektif maupun syarat obyektifnya.

Fasad; rusaknya perbuatan hukum karena cacatnya


salah satu rukun akad (ulama Hanafiah)

Batal; perbuatan hukum yang tidak terpenuhi rukun dan


syaratnya baik syarat subyektif maupun syarat obyektifnya.
(3)
Sumber dan Dalil Hukum
Sumber dan Dalil Hukum

❑ Istilah sumber (mashdar) hukum dan dalil hukum memiliki dimensi


teologis.
❑ Dalam ilmu kalam dijelaskan mengenai dua bentuk firman Allah (al-
Qur’an); yiatu:
➢ Fiman Allah yang azali yang berada di Lauh al-Mahfuzh (tanpa
suara dan tanpa huruf);
➢ Fiman Allah yang tidak azali yang berada di bumi (yang
berbentuk suara dan huruf);
❑ Sumber hukum (mashdar al-hukm) adalah Allah dan Rasul (yang
menentukan dhawabith dan hudud untuk menentukan benar salah)
suatu perbuatan hukum.
❑ Dalil hukum adalah kitab al-Qur’an yang tidak azali yang bentuk
suara dan huruf; sedangkan madlul (yang ditunjuk) adalah firman
Allah yang azali yang tanpa suara dan tanpa huruf.
(A)
Sumber dan Dalil Hukum
Yang Disepakati
(al-Qur’an, Sunah, Ijma`, dan Qiyas)
Al-Qur’an sebagai Dalil Hukum

▪ Al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS al-Baqarah (2): 185


merupakan kitab petunjuk (huda) bagi manusia untuk membedakan
(al-furqan) antara yang haq dan yang batil.
ِ َ‫اس َوبَيِنَاتُ ِمنَُ ْاله َدىُ َو ْالف ْرق‬
ُ‫ان‬ ُ ِ َّ‫ل فِي ُِه ْالق ْرآنُ هدًى ِللن‬
َُ ‫ضانَُ الَّذِي أ ْن ِز‬
َ ‫ش ْهرُ َر َم‬
َ
▪ Al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS al-Qiyamah (75): 18-
19 harus diikuti dan ditaati.
َُّ ‫ ث َُّم ِإ‬.ُ‫فَإ ِ َذا قَ َرأْنَاهُ فَات َّ ِب ُْع ق ْرآنَه‬
ُ‫ن َعلَ ْينَا َب َيانَه‬ ▪
▪ Hadits riwayat imam al-Hakim dan al-Baihaqi dari Abi Hurairarah
yang menyampaikan bahwa Rasulullah Saw, memerintahkan agar
berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadits Rasulullah agar tidak
ُْ ِ‫ضلُ بِ ْع َده َما ِكتِابُ للاُِ َوسنَّت‬
sesat. (‫ي‬ ُْ َ‫ْن ل‬
ِ َ‫ن ت‬ َ ‫ )تَ َر ْكتُ فِيْك ُْم‬HR. Thabrani.
ُِ ‫ش ْيئَي‬
▪ Dalam al-Qur’an terkandung dhawabith dan hudud terkait:
❖ Ajaran tentang keyakinan (aqidah);
❖ Ajaran tentang akhlak dan etika; dan
❖ Ajaran tentang hukum (termasuk mu`amalah maliyyah).
Kandungan Hukum al-Qur’an (Abdul Wahhab Khallaf)

No Topik/Bidang Jumlah Ayat


01. Akidah 140 Ayat
02. Ibadah 140 Ayat
03. Hukum Keluarga 70 Ayat
04. Hukum iqtishadiyah 10 Ayat
05. Hukum Pidana 30 Ayat
06. Hubungan Muslim dengan Non-Muslim 25 Ayat
07. Hukum Acara 13 Ayat
08. Hubungan Kaya dan Miskin 10 Ayat
09. Hubungan Kenegaraan 25 Ayat
Beberapa buku tentang ayat-ayat ekonomi

1. Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syari’ah:


ayat-ayat al-Qur’an yang berdemensi ekonomi, (Bandung,
Rosdakarya, 2006).
2. Dwi Suwikno, Ayat-Ayat Ekonomi Islam (Kompilasi Tafsir),
(Yogayakarta: Pustaka Pelajar. 2010)
3. Mardani, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah, (Jakarta:
rajawali pres, 2011)
4. Mahmud Muhammad, Al-Ayat al-Qur’aniyah wa al-Ahadits
al-Nabawiyah fi al-Mal wa al-Iqtsihad wa al-Ta’amul al-Madi
wa al-Khuluqi, (Riyadh: Daar al-khan, 1996).
‫‪Contoh ayat ekonomi‬‬
‫واَُلُتَأْكلواُأ َ ُْم َوالَك ْمُبَ ْينَك ْمُ ِب ْالبَ ُِ‬
‫اط ِلُ ِإ ََّلُأ َ ْنُتَك َ‬
‫ونُ‬ ‫يَاُأَي َهاُالَّ ِذ َ‬
‫ينُآ َمن َ‬
‫انُ ِبك ْمُ‬ ‫سك ْمُُۚ ِإ َّن ََُّ‬
‫ُّللاُ َك َ‬ ‫ُۚو ََلُت َُْقتلواُأ َ ْنف َ‬‫ُم ْنك ْمُ َ‬
‫ع ْنُت َ َراض ِ‬
‫ارةًُ َ‬ ‫ِت َج َ‬
‫َر ِحي ًما‬
Al- Hadits sebagai Dalil Hukum

❑ Al-hadits atau al-sunnah merupakan sumber kedua hukum Islam;


kedudukannya merupakan penjelas (penafsir) terhadap ayat-ayat
al-Qur’an.
❑ Dalam al-Qur’an terdapat perintah untuk taat kepada Allah dan
Rasul (berarti harus menjadikan al-Qur’an danb sunah sebagai
petunjuk) (QS al-Nisa’ [4]: 59).
ُ‫ل َوأو ِلي ْاْل َ ْم ُِر ِم ْنكُ ْم‬ َّ ‫ّللا َوأ َ ِطيعوا‬
َُ ‫الرسو‬ ََُّ ‫يَا أَي َها الَّذِينَُ آ َمنوا أ َ ِطيعوا‬

❑ Hadits riwayat imam al-Hakim dan al-Baihaqi dari Abi Hurairarah


yang menyampaikan bahwa Rasulullah Saw, memerintahkan agar
berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadits Rasulullah agar tidak
sesat.
❑ Dari segi bentuknya, hadits dapat berupa ucapan (qawli), perbuatan
(f`ili), dan ketetapan (taqrir) yang disandarkan kepada Rasul Saw.
❑ Kualitas hadits yang berkaitan dengan hukum adalah mutawatir dan
ahad; hadits ahad diklasifikasi menjadi shahih, hasan, dan dha`if.
Al- Ijma` sebagai Dalil Hukum

❖ Ijma` adalah kesepakatan ulama mujtahid pada suatu masa tertentu


tentang hukum syara` yang bersifat `amali (praktek) tertentu setelah
wafatnya Rasul Saw.
❖ Ijma` merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah al-Qur’an
dan sunah/hadits.
❖ Ijma` dari segi bentuknya dibedakan menjadi dua; yaitu:
➢ Ijma` sharih (umala mujtahid yang terlibat menyatakan menerima
pendapat yang disepakati), dan
➢ Ijma` sukuti; yaitu suatu pendapat tentang hukum syara’ yang
disampaikan oleh salah seorang mujtahid dan tidak ada mujtahid
yang sezaman dengannya yang mengingkarinya.
❖ Di samping itu, diakui pula ijma` dari segi periode, yaitu ijma`
shahabat; dan diakui pula ijma` berdasarkan lokasi: ijma` ulama
Madinah, dan ijma` ulama Kufah (Irak).
❖ Bolehnya transaksi muzara`ah didasarkan pada ijma` (Muhammad
Salam Madkur, Manahij al-Ijihad fi al-Islam: 236). (haramnya bunga
bank berdasarkan ijma’)
Al- Qiyas sebagai Metode Hukum

❑ Al-qiyas secara bahasa berarti mempersamakan (al-taswiyyah). Sedangkan


arti al-qiyas secara istilah sebagai dijelaskan Ibn Hajib adalah
mempersamakan sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya (al-far`u)
dengan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam nashsh (al-
Qur’an dan sunnah) karena adanya kesamaan `illat hukumnya.
❑ KH MA. Sahal Mahfudh dalam kitab ‫البيان الملمع عن الفاظ اللمع‬menjelaskan qiyas
adalah menyamakan cabang ( )‫ )فرع‬dengan asal )‫ )اصل‬dalam sebagian
hukumnya karena ada makna/ illat yang menggabungkan keduanya
(‫)القياس حمل فرع علي اصل في بعض احكامه بمعني يجمع بينهما‬
❑ Dalil; QS AL-Hasyr: 2: ‫” فاعتبروا ياْولي اَلبصار‬
❑ Umar Ibn Khaththab memerintahkan kepada Abu Musa al-Asy`ari untuk
menggunakan qiyas; yatiu “lihatlah hal-hal yang serupa danَ setara, َ maka
َ َ ْ ْ
َِ
qiyaskanlah hal-hal semacam itu.” (‫والنظائر ثمِ قس األمو ِر عند ذلك‬ ِ ‫ف األش‬
‫باه‬ ِ ِ ‫)اع ِر‬.
❑ Imam al-Syafi`i dikenal sebagai ulama yang banyak menggunakan qiyas;
sementara Daud al-Zhairi dikenal sebagai ulama yang menolak qiyas; di
antara alasannya QS al-Isra’ (17): 36).
َُ ‫ص َُر َو ْالف َؤا َُد كلُ أولَ ِئ‬
‫ك َكانَُ َع ْنهُ َم ْسئوَل‬ َ ‫س ْم َُع َو ْال َب‬ َُّ ‫ك ِب ُِه ِع ْلمُ ِإ‬
َّ ‫ن ال‬ َُ ‫َوَل ت َ ْقفُ َما لَي‬
َُ َ‫ْس ل‬
❑ Contoh: larangan melakukan semua aktifitas pada saat shalat jumat
diqiyaskan dengan jual beli.
Rukun Qiyas

‫الحكم‬
Dilarang

‫األصل‬ ‫الفرع‬
Jual beli pada Semua pekerjaan
waktu jumat

‫العلة‬
Melalaikan
(B)
Dalil Hukum yang tidak
disepakati
(Istihsan, Mashlahah [Mursalah], Istishhab,
`Urf, Qaul Sahabat, Syar` Man Qablana,
al-Dzari`ah)
(a)
Al-Istihsan
Al- Istihsan

❑ Al-istihsan secara bahasa berarti memandang baik terhadap sesuatu


(`add al-syai` hasan[an]); sesuatu yang dipandang baik oleh mujtahid
beradasrkan nalarnya (ma yastahsinuhu al-mujtahid bi `aqlih);
mengambil yang lebih mudah karena kesulitan merealisasikan yang
ideal (akhdz al-yusr li al-`ushr);
❑ Menurut Abu Hasan al-Kurkhi al-Hanafi, arti istihsan secara istilah
adalah mempersamakan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya melalui
kajian guna mendalami masalahnya karena adanya sebab yang lebih
kuat sehingga mendorong untuk berpegang pada persamaan itu.”
❑ Dalil al-istihsan adalah QS al-A`raf (7): 145; ‫يأخذوا باحسنها‬
❑ Hadits Nabi Saw, yang artinya: “apa yang baik menurut umat Islam,
baik pula menurut Allah.”
)‫(ما رأى المسلمون حسنا فهو عند للا حسن‬
Ragam Al- Istihsan

Di antara ulama berpendapat bahwa istihsan dapat dibedakan


menjadi beberapa macam; yaitu:
1. Istihsan bi al-nashsh; yaitu suatu pengecualian hukum dari kaidah
umum berdasarkan nashsh. Misal: Jaul beli salam, barangnya
belum ada. Menurut ketentuan umum (sandaran qiyas), jula belinya
tidak sah. Namun karena ada nash dari hadits yang membolehkan,
maka jual beli salam dibolehkan.
2. Istihsan bi al-ijma`; yaitu suatu pengecualian hukum dari kaidah
umum berdasarkan ijma`. Misal: ulama sepakat tentang bolehnya
ijarah atas pemandian umum meskipun gharar jumlah air yang
digunakan dan gharar pula jumlah air yang digunakan. Dan
bolehnya istishna’, secara qiyas dilarang, namun sudah berjalan
dimasyarakat tanpa adanya pengingkaran dari ulama’ (ijma’
ulama bolehnya istishna’).
Ragam Al- Istihsan

3. Istihsan bi al-qiyas al-khafi; yaitu istihsan berdasarkan qiyas


yang tersembunyi. Misal: IMFZ diqiyaskan ke jual beli salam
yang dibolehkan berdasar istihsan, maka IMFZ juga boleh
dengan istihsan bil qiyas.
4. Istihsan bi al-mashlahah; yaitu suatu pengecualian hukum dari
kaidah umum berdasarkan mashlahah. Misalnya: penerapan
reveneu sharing pada profit distribution, penerapan agunan
dalam pembiayaan di bank syariah.
Ragam Al- Istihsan

5. Istihsan bi al-`urf; yaitu suatu pengecualian hukum dari kaidah umum


berdasarkan `urf (kebiasaan yang baik). Misal: Jual beli mu’athah
dilarang karena secara qiyas jual beli tanpa ada ijab qabul, all you
can eat, jual beli sharf secara spot dengan masa dua hari.
6. Istihsan bi al-dharurah; dibolehkannya perbuatan yang dilarang
karena keadaan dharurat (al-hajat). Misal: Repo (Repuschase
Agreement) surat berharga (SBI, SBSN) oleh bank syariah yang
kesulitan likuiditas, bolehnya BPJS, dibolehkannya akad hawalah baik
hawalat al-haqq maupun hawalat al-dain karena al-hajah.
(b)
Al-Mashlahah
Al- Mashlahah

Al-Mashlalah secara bahasa berarti manfaat (al-manfa`ah); arti


mashlahah secara istilah dijelaskan dalam dua dimensi; yaitu al-
manfa`ah dan mafsadah (kerusakan); arti mashlahah secara
termenologis dalam pandangan al-Ghazali adalah mengambil
manfaat dan menolak kerusakan (jalb al-manfa`ah wa dar’u al-
mafasid) dalam memelihara tujuan-tujuan syara`.
Ragam al- Mashlahah

❑ Dari segi tingkatan, ulama membedakan mashlahah menjadi


tiga:
➢ Al-dharuriyyah (al-mashalih al-khamsah).
➢ Al-hajiyyah (bolehnya bai` al-salam, muzara’ah, dan
musaqah).
➢ Al-tahsiniyyah (larangan jual beli barang palsu).
❑ Dari segi skupnya, mashlahah dibedakan menjadi dua:
➢ mashlahah `ammah (larangan transaksi spekulasi valas demi
maslahah ‘aamah, bolehnya pemerintah menarik pajak
demi maslahah ‘aamah walupun secara nash dilarang
mengambil harta orang lain tanpa kerelaan hati); dan
➢ mashlahah khashah (bolehnya mengenakan denda bagi
nasabah mampu yang menunda pembayaran).
Ragam al- Mashlahah

❑ Dari segi keajegan, mashlahah dibedakan menjadi dua:


➢ Mashlahah Tsabitah; kemashlahatan yang ajeg (tidak pernah
berubah) seperti manfaat mencari rizki yang halal;
➢ Mashlahah Mutaghayyirah; kemashlahatan yang berubah
karena keadaan atau kondisi masyarakat yang berbeda dan
berubah, misala: penggunaan e-money dalam pembayaran
❑ Dari segi eksistensi di hadapan syara’, mashlahah dibedakan
menjadi tiga; yaitu:
➢ Mashlahah Mu`tabarah (misal larangan talaqi rukban);
➢ Mashlahah Mulghah (misal al-tas`ir);
➢ Mashlahah Mursalah (misalnya labelisasi halal).
(c)
Al-Istishhab
Al- Istishhab

▪ Al-istishhab berasal dari kata al-shuhbah (bersahabat); artinya


secara bahasa adalah meminta bersahabat, membandingkan
sesuatu dan mendekatkannya.
▪ Ibn Hazm al-Zhahiri menjelaskan bahwa arti al-istishhab secara
terminologis adalah berlakunya hukum asal yang ditetapkan
berdasarkan nashsh (al-Qur’an dan/atau hadits) sampai ada
(terbukti) adanya dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum
tersebut.
Ragam al- Istishhab

Al-istishhab dibedakan menjadi lima; yaitu:


1. Istishhab al-ibahah al-ashliyyah; Hukum asal segala sesuatu
adalah mubah. (misal: padadasarnya transaksi muamalat
dibolehkan, hutan menjadi milik bersama sebelum terbukti ada
pemiliknya [al-iqtha` dan Ihya’ al-mawat].
2. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah; pada dasarnya manusia
terbebas dari hukum sampai ada dalil yang menunjukkan.
Misalnya: Seseorang tidak wajib membayar hutang selama
tidak ada bukti bahwa dia telah berhutang)
Ragam al- Istishhab

3. Istishhab al-Hukmi, menetapkan hukum yang sudah berlaku


sampai sekarang sampai ada dalil yang merubahnya. Misalnya:
penguasaan atas barang menunjukkan penguasanya sebagai
pemiliknya, sebelum ada bukti lain yang menunjukkan bahwa
barang tersebut bukan miliknya.
4. Istishhab al-Washfi, didasarkan pada anggapan bahwa sifat
yang ada masih tetap ada sampai ada dalil yang merubahnya.
Misal: Orang yang mendapat pembiayaan dari Bank adalah
memiliki kemampuan, maka jika ternyata dikemudian hari dia
tidak mampu, harus dibuktikakan ketidakmampuannya tersebut .
Al- `Urf

▪ Al-`urf seakar dengan kata al-ma`rifah (pengetahuan [dikenal


atau terkenal]) dan al-ma`ruf (kebaikan). Al-`urf berhubungan
dengan adat (al-`adah).
▪ Adat adalah sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang
tanpa adanya hubungan rasional; sedangkan yang dimaksud
dengan al-`urf adalah kebiasaan mayoritas suatu masyarakat
baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
Ragam al- `Urf

`Urf Qauli `Urf `Amm `Urf Shahih

Bentuk Lingkup Syari`ah

`Urf `Amali `Urf Khash `Urf Fasid


Contoh penggunaan ‘urf dalam fatwa DSN-MUI:

1. Kebolehan jual beli emas secara tidak


tunai/murabahah, karena secara ‘urf bahwa
saat ini masyarakat telah menjadikan emas
sebagai komoditi bukan sebagai mata uang.
2. Penyelesaian transaksi selama 2x24 jam
dalam jual beli valas secara spot.
(e)
Qaul Shahabi
Qaul Shahabi

▪ Shahabat adalah orang-orang yang bertemu dan beriman


kepada Nabi Muhammad SAW serta hidup bersamanya dalam
waktu yang cukup lama.
▪ Qaul secara bahasa berarti ucapan dalam bentuk kalimat (al-
kalam). Arti qaul shabahat secara istilah adalah pendapat atau
madzhab shahabat tentang suatu hukum yang kemudian dinukil
oleh ulama sesudahnya.
Kehujjahan Qaul Shahabi

Ulama ushul terbagi dua dalam menyikapi qaul shahabat sebagai


dalil hukum:
▪ Imam Malik dan Ahmad Ibn Hanbal berpendapat bahwa qaul
shahabat dapat dijadikan hujjah hukum; terlebih ijma` shahabat
atau pendapat shahabat yang tidak ada yang mengingkarinya,
dapat dijadikan hujjah (alasan hukum).
▪ Ulama Syafi`iah, Jumhur Asy`ariyyah, Mu`tazilah dan Syi`ah
berpendapat bawa pendapat shahabat tidak dapat dijadikan
hujjah dalam menetapkan hukum.
Contoh:
• Umar RA: Kejahatan terhadap binatang
didenda sebesar ¼ harga binatang tersebut.
• Keharaman jual beli ‘inah karena ada riwayat
dari Aisyah mencela hal itu.
(f)
Syar` Man Qablana
Syar` Man Qablana

▪ Syar` Man Qablana adalah hukum-hukum yang berlaku bagi


suatu masyarakat sebelum Islam. Apakah hukum-hukum tersebut
berlaku juga bagi umat Islam?
▪ Sebelum pertanyaan tersebut dijawab, harus dijawab dulu
pertanyaan, apakah Rasulullah Saw sebelum diutus menjadi
Rasul terikat dengan hukum-hukum syari`at sebelum Islam?
Rasul dan Syar` Man Qablana

Apakah Rasulullah Saw sebelum diutus menjadi Rasul terikat


dengan hukum-hukum syari`at sebelum Islam? Pendapat ulama
sebagai berikut:
▪ Ulama Malikiah berpendapat bahwa Rasul sebelum ditetapkan
sebagai Rasul tidak terikat dengan syari`at sebelum Islam;
karena tidak ditemukan dalil yang menegaskan bahwa Rasul
terikat dengan syari`at sebelum Islam.
▪ Ulama Hanafiah, Hanabilah, Ibn al-Hajib (Malikiah), al-
Baidhawi (Syafi`iyah) berpendapat bahwa Rasul sebelum
ditetapkan sebagai Rasul terikat dengan syari`at sebelum
Islam; karena Rasul banyak melakukan perbuatan hukum baik
dalam domain ibadah (thawaf, umrah, dan mengagungkan
Ka`bah) maupun muamalah seperti menyembelih hewan,
syirkah, muzara’ah dll.
▪ Imam al-Ghazali bersikaf tawaqquf.
Rasul dan Syar` Man Qablana

Apakah hukum-hukum syari`at sebelum Islam mengikat bagi Rasulullah Saw


setelah beliau diutus menjadi Rasul? Pendapat ulama sebagai berikut:
▪ Ulama sepakat bahwa syar` man qablana yang tidak terdapat dalam al-
Qur’an dan sunah, tidak menjadi syari`at bagi Rasul dan umatnya.
▪ Ulama sepakat bahwa syar` man qablana yang terdapat ketegasan
berlakunya syariat tersebut bagi umat Islam dalam al-Qur’an dan sunah,
maka sepakat ulama bahwa hukum tersebut (syar` man qablana) berlaku
bagi umat Islam.
▪ Ulama Asy`ariyah, Mu`tazilah, Syi`ah, sebagian Syafi`iah dan Hanabilah,
Imam al-Ghazali, al-Amidi, Ibn Hazm al-Zhahiri, dan Fakhruddin al-Razi
berpendapat bahwa syar` man qablana tidak menjadi syariat bagi Rasul
dan umatnya. Alasannya hadits Mu`adz tentang ijtihad.
▪ Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwa apabila syar` man qablana
dinyatakan dengan dalil khusus yang menegaskan hanya berlaku khusus
bagi mereka, maka umat Islam tidak wajib mengikutinya; akan tetapi syar`
man qablana yang bersifat umum, maka hukumnya berlaku umum, termasuk
umat Nabi Muhammad Saw.
Contoh:
• Muzara’ah, Mukhabarah, salam, Musyarakah,
rahn, Qardh, ijarah dll, sudah ada sejak
sebelum Nabi Muhammad SAW.
(g)
Al-Dzari`ah: Sadd al-Dzari`ah dan
Fath al-Dzari`ah
Konsep dan Ragam Al-Dzari`ah

o Al-dzari`ah secara bahasa berarti media (al-wasilah) dan jalan


(al-thariq).
o Al-dzari`ah secara istilah berarti suatu media atau jalan menuju
kepada sesuatu (baik yang dibolehkan maupun yang dilarang).

Al-dzari`ah dapat dibedakan menjadi dua; yaitu:


• Sadd al-dzari`ah (prepentif); yaitu suatu media atau jalan
dilarang dilakukan karena media tersebut berfungsi sebagai
penghubung terhadap tercapainya perbuatan yang dilarang
dan mengandung kemudharatan.
• Fath al-dzari`ah; yaitu suatu media atau jalan diperintajkan
untuk dilakukan karena media tersebut berfungsi sebagai
penghubung terhadap tercapainya perbuatan yang
perintahkan dan mengandung kemmanfaatan.
Ragam Sadd al-Dzari`ah

Sadd al-dzari`ah pada umumnya lebih banyak dijelaskan pakar


daripada fath al-dzari`ah.
o Al-dzari`ah merupakan perbuatan hukum yang dapat
melahirkan kemafsadatan secara pasti (qath`i).
o Al-dzari`ah merupakan perbuatan hukum yang kemungkinan
besar (zhann al-ghalib) melahirkan kemafsadatan.
o Al-dzari`ah merupakan perbuatan hukum yang jarang
melahirkan kemafsadatan.
o Al-dzari`ah merupakan perbuatan hukum yang yang sangat
kecil potensi melahirkan kemudharatannya.
Sadd al-Dzari`ah sebagai Dalil

Pendapat ulama terkait sadd al-dzari`ah sebagai dalil sebagai


berikut:
❑ Ulama Hanafiah dan Syafi`iah menerima sadd al-dzari`ah
apabila kemafsadatan yang akan timbul bersifat pasti.
❑ Ulama Zhahiriah tidak menerima sadd al-dzari`ah sebagai dalil.
Contoh:
1. Sad al-dzar’ah:
Larangan memberikan pembiayaan kepada orang yang
tidak memiliki kemampuan.
Larangan memasarkan produk dari konvensional.
2. Fath al-Dzari’ah:
Boleh jual beli senjata dalam kondisi aman.
Boleh mendirikan pabrik senjata tajam untuk keperluan
pertanian.
Metode Istinbath Hukum
(Kebahasaan,Maqashid Syariah,
dan Ta`arudh al-Adillah)
Istinbath Hukum

Istinbath hukum (istinbath al-ahkam) merupakan terminologi yang


digunakan untuk menunjukkan ikhtiar yang dilakukan ulama dalam
rangka memahami dan mengkaji dalil hukum (al-Qur’an dan al-
sunnah) untuk mencapai kesimpulan hukum tertentu.
(a)
Perintah dan Larangan
(al-Amr wa al-nahy)
Konsep Perintah dan Larangan

Dalam menjelaskan perintah dan larangan yang terdapat


daalam al-Qur’an dan Sunnah dapat dilakukan dua
pendeakatan: pendekatan bentuk (kata) dan pendekatan
substansi.
▪ Dalam Bahasa Arab, terdapat kata yang berbentuk fi`l (kata
kerja) dan kata benda (mashdar). Kata kerjada dibedakan
menjadi tiga:
➢ Fi`l al-madhi (past tense); kata kerja yang menunjukkan
perbuatan yang sudah terjadi.
➢ Fi`al l-mudhari; kata kerja yang menunjukkan perbuatan
yang sedang berlangsung atau akan dilakukan (future).
➢ Fi`l al-amr; kata kerja yang menunjukkan perintah
▪ Perintah (al-amr) pada awalnya mulai dari bentuk kerja; akan
tetapi, ada juga perintah untuk tidak melalukan sesuatu
(secara substansi adalah larangan al-nahy)
Bentuk Perintah dan Larangan

▪ Secara konseptual, perintah (al-amr) merupakan bentuk kata


yang menunjukkan perintah; dan larangan (al-nahy) merupakan
bentuk kata yang menunjukkan larangan.
▪ Di samping bentuk kata (fi`l al-amr), perintah juga dibuat
menggunakan kata yang menunjukkan perintah (misalnya kata
kutiba atau amara) dan kata yang digunakan menunjukkan
larangan (misalnya kata harama/hurima).
Sifat Perintah dan Larangan

▪ Perintah dan larangan saling berkelid jika dihubungkan


dengan substansi perintah dan larangan. Misalnya:
➢ Larangan berlaku zhulm berarti perintah untuk berlaku adil.
➢ Larangan transaksi riba berarti larangan transaksi riba.
➢ Perintah untuk ikhtiar (kasab) berarti larangan malas (al-
kasal).
▪ Sifat perintah bergantung pada qarinah; dapat melahirkan
hukum wajib dan mandub (sunah).
▪ Sifat larangan bergantung pada qarinah; dapat melahirkan
hukum haram dan makruh.
▪ Sesuatu yang tidak diperintahkan juga tidak dilarang,
melahirkan hukum mubah (boleh).
‫‪Contoh:‬‬
‫‪1.al-Baqarah :‬‬
‫س ًّمى فَا ْكتبوه‬ ‫يا أَي َهاُالَّ ِذ َ‬
‫ينُآ َمنواُ ِإذَاُت َ َدايَنتمُُِب َديْنُ ِإلَىُأ َ َجلُم َ‬
‫‪2. An-Nisa: 29‬‬
‫اط ُِ‬
‫ل‬ ‫واَُلُتَأْكلواُأ َ ُْم َوالَكمُبَ ْينَكمُ ِب ْالبَ ِ‬
‫ينُآ َمن َ‬‫يَاُأَي َهاُالَّ ِذ َ‬
(b)
Lafazh Umum dan Khusus
(al-`Amm wa al-Khashsh)
Konsep Umum dan Khusus

▪ Al-`amm merupakan ungkapan kata yang menunjukkan makna


umum; dan al-khashsh merupakan ungkapan kata yang
menunjukkan makna khusus.
▪ Di antara kata-kata yang menunjukkan sifat al-`amm adalah
mu`asyir (seluruh), kull (semua), jami` (semua), `ammah/kaffah
(utuh/sempurna), kata jamak yang menggunakan alif lam, kata
tunggal yang menggunakan alif lam, nama-nama penyambung
(ma, man alladzi), nama-nama syarat (ay, ayna), nama-nama
istifham (mata dan madza)
▪ Lafazh `amm yang tidak ditakhshih berlaku umum; dan lafazh
`amm yang di-takhshish, berlaku makna khusus.
‫‪Contoh:‬‬
‫‪1. lafadh ‘aam:‬‬
‫ُربًا‬ ‫كــــلُ قَ ْرضُ َج َّرُ َم ْنفَعَةُفَه َو ِ‬
‫ُمنَ ْ‬
‫ُال َم ِ ُ‬
‫س‬ ‫طان ُِ‬ ‫اَُلُيَقومونَ ُ ِإ ََّلُ َك َماُيَقُومُالَّذِيُيَت َ َخبَّطهُال َّ‬
‫ش ْي َ‬ ‫ُالربَ َ‬ ‫الَّذِينَُ يَأْكلونَ ِ‬
(c)
Muthlaq dan Muqayyad
Konsep Muthlaq dan Muqayyad

Al-muqayyad merupakan ungkapan kata yang menunjukkan


makna terbatas/terikat; dan al-muthlaq merupakan ungkapan
kata yang menunjukkan makna umum. Para ahli menyampaikan
penjelasan berikut (www.alkautsarkalebi):
❖ Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi
petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup
tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
❖ Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk
terhadap maudhu’nya tanpa memandang kepada satu, banyak,
atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu
menurut apa adanya.
❖ Menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah
lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa
ikatan apa-apa.
Ragam Muthlaq dan Muqayyad

❑ Tidak berbeda (sama) hukum dan sebabnya. Dalam hal ini


Mutlak harus bibawa kepada muqayyad, artinya muqayyad
menjadi penjelasan terhadap mutlak.
❑ Berbeda hukum dan sebabnya; dalam hal ini masing-masing
mutlak dan muqayyad tidak menjadi penjelasan mutlak.
❑ Berbeda hukum tetapi sebabnya sama dalam hal ini masing-
masing Mutlak dan Muqayyad tetap pada tempatnya sediri.
❑ Berisi hukum yang sama, tetapi berlainan sebabnya.
Contoh:
1. Contoh ayat Muthlaq: seseorang mengatakan
.‫• وقفت على اوالدي‬
Kalimat ini adalah muthlaq untuk semua
anaknya. Jika dia tambah ucapan, yang laki-laki,
maka menjadi meqayyad.
2. Contoh ayat Muqayyad:
ُۖ ‫نُر َجا ِلك ْم‬
ِ ‫ُم‬ َ ُ‫َوا ْستَ ْش ِهدوا‬
ِ ‫ش ِهي َدي ِْن‬
Kata saksi adalah muthlaq. Namun menjadi Muqayyad setelah ditambah 2
orang laki laki.
(d)
Manthuq dan Mafhum
Konsep Manthuq dan mafhum

Manthuq adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu kata yang


diucapkan/ditulis (tersurat), sedangkan mafhum adalah sesuatu yang
ditunjukkan oleh suatu kata yang tidak terucapkan/tidak ditulis
(tersirat).
Ragam Manthuq

Manthuq dibedakan menjadi dua macam; yaitu:


1. Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di
ta’wilkan lagi, seperti firman Allah SWT:
َ ‫ام َرأَتَان ِم َّمن تَ ْر‬
ُِ ‫ض ْونَُ ِمنَُ الش َه َد‬
‫اء‬ ُِ ‫فَإِن لَّ ُْم يَكونَا َرجلَي‬
ْ ‫ْن فَ َر ُجل َو‬
(Q.S Al-Baqarah [2]: 282), lafadh rajulun wamraatani, tidak mungkin
ditakwil lagi.
Ragam Manthuq

2. Zhahir, menurut Al-Sarakhsi Dzahir adalah :


.‫ماُيعرفُالمرادُمنهُبنفسُالسامعُمنُغيرُتأمل‬
“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu
sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.
. Seperti firman Allah SWT:
ۡ َ‫ُمن‬ َّ ‫َُلُيَقومونَ ُ ِإ ََّلُ َك َماُيَقُومُٱلَّذِيُيَتَ َخبَّطهُٱل‬ ۡ
ُ‫سُ َذ ِل َكُبِأَنَّه ۡم‬
ۚ ِ ‫ُٱل َم‬ َ ‫ش ۡي‬
ُِ ‫طن‬ ِ َ‫الَّذِينَ ُيَأكلون‬
َ ْ‫ُٱلربَوا‬
.ُ‫ُٱلربَو‬ ۡ ۡ َّ َ ْ ْۗ ‫ُم ۡثلُٱلربو‬ ۡ ‫قَال ٓواُْ ِإنَّ َم‬
ِ ‫اُٱلبَ ۡيع‬
ِ ‫ُو َح َّر َم‬
َ َ‫ع‬ ‫ي‬ َ ‫ب‬ ‫ُٱل‬ ُ
‫ُٱّلل‬
َّ ‫ل‬ ‫ح‬َ ‫أ‬‫ُو‬ ‫ا‬
َ َ ِ
Ayat ini datang, menurut konteks kalimatnya, untuk mengharamkan
riba dan untuk menjelaskan perbedaan antara riba dan jual beli.
Akan tetapi, dari zhahir lafazhnya mengandung pengertian
diperbolehkannya jual beli
Ragam Mafhum

❑ Mafhum dibedakan menjadi dua macam; yaitu:


➢ Mafhum Muwafaqah; yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama
dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz.
➢ Mafhum Mukhalafah; yaitu pengertian yang dipahami berbeda
daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi
(meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan.
❑ Mafhum muwafaqah dibedakan menjadi dua macam; yaitu:
➢ Fahwal Khitab; yaitu sesuatu yang tersirat lebih utama hukumnya
daripada yang diucapkan/dituliskan. Seperti memukul orang tua
tidak boleh hukumnya, dari pada berkata ah (menyakiti).
➢ Lahnul Khitab; yaitu sesuatu yang tersirat sama atau setara
dengan ketentuan tertulis. Misalnya QS al-Nisa’ (4): 10; dilarang
memakan harta yatim dipsersamakan dengan larangan untuk
melenyapkannya (membakar).
Ragam Mafhum

Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni:

2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda


daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi
(meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan. Seperti firman
Allah SWT:
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli
dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum
azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at.
Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah.
Ragam Mafhum
Mukhalafah

Ragam mafhum mukhalafah adalah:


o Mafhum Shifat; yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada salah
satu sifatnya.
o Mafhum ’illat; yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut
’illatnya. Misalnya mengharamkan minuman keras karena
memabukkan.
o Mafhum ’adad; yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada
bilangan tertentu.
o Mafhum ghayah; yaitu kata yang menunjukkan hukum sampai
kepada ghayah (batasan, hinggaan).
o Mafhum hadd; yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu
batas di antara batas-batasnya.
o Mafhum Laqab; yaitu menggantungkan hukum kepada nama alam
atau nama pelaku, seperti sabda Nabi SAW.
1. Contoh ayat mantuq:
‫• وأحل هللا البيع وحرم الربا‬
2. Contoh Ayat Mafhum:
‫َللا َوذَ ُروا‬ ْ ‫ص ََلة من يَ ْوم ا ْل ُج ُمعَة فَا‬
َّ ‫سعَ ْوا إلَ ٰى ذ ْكر‬ َ ‫• إذَا نُود‬
َّ ‫ي لل‬
‫ا ْلبَ ْيع‬
• Mafhumnya: jika belum adzan dan jika shalat
sudah selesai, maka boleh berdagang.
(e)
Wadhih dan Ghair Wadhih
Konsep wadhih dan Ghair Wadhih

Kata atau kalimat wadhih adalah makna yang ditunjukkan oleh


bentuk nashsh itu sendiri tanpa memperhatikan faktor luar; kata
ghairu wadhih adalah nashsh yang tidak jelas dalalah-nya
(penunjukkan artinya).
Ragam Wadhih

Muhkam:
‫ُالر َبا‬
ِ َُ‫ُمن‬
ِ ‫ي‬َ ‫َو َذرواُ َماُ َب ِق‬

Mufassar:
........‫ إَلُأنُتكونُتجارة حاضرة‬.
QS. Al-Baqarah 282

Al-zhahir: :‫ُالربَا‬
ِ ‫ح َّر َم‬
َُ ‫ُو‬ ْ ‫ُّللا‬
َ ‫ُالبَ ْي َع‬ َّ ‫ُْۗوأ َ َح َّل‬
َ ُ‫ُمثْلُال ِربَا‬ ْ ‫َذلِكَ ُ ِبأَنَّه ْمُقَالواُ ِإنَّ َم‬
ِ ‫اُالبَيْع‬
Dhahirnya ayat ini menjelaskan bahwa jual beli itu dibolehkan
dan riba diharamkan.

Al-nashsh:‫ُالربَا‬ َ ‫ُّللا ْالبَ ْي َع‬


ِ ‫ُو َح َّر َم‬ َُّ ‫ُْۗوأ َ َح َّل‬ ِ ‫ُمثْل‬
َ ُ‫ُالربَا‬ ْ ‫َذلِكَ ُبِأَنَّه ْمُقَالواُإِنَّ َم‬
ِ ‫اُالبَيْع‬
Secara nash ayat ini sebagai bantahan bagi orang yang mengatakan bahwa
riba dan jual beli itu adalah sama, lalu dijelaskan ‫ُالربَا‬
ِ ‫ُو َح َُّر َم‬ ْ ‫ُّللا‬
َ ‫ُالبَ ْي َع‬ َّ ‫َوأ َ َح َّل‬
Ragam Wadhih

Kata wadhih dibedakan menjadi empat; yaitu:


▪ Al-nashsh; yaitu munculnya segala sesuatu yang nampak; kedudukan
nashsh sama dengan zhahir; yaitu wajib diamalkan petunjuknya
atau dilalahnya sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan,
mentakshsis atau menasakhnya.
▪ Al-zhahir; yaitu suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas
maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk kata itu sendiri.
▪ Mufassar; yaitu kata yang menunjukkan suatu hukum dengan
petunjuk yang jelas dan tegas, sehingga petunjuknya itu tidak
mungkin ditakwil atau ditakhsis, namun pada masa Rasulullah masih
bisa dinasakh.
▪ Muhkam; yaitu kata yang menunjukkan makna dengan dilalah tegas
dan jelas secara qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan ditakwil,
ditakshsis dan di-nash meskipun pada masa Nabi, lebih-lebih
setelah masa Nabi.
Ragam Ghair Wadhih

Mutasyabih

Mujmal

Musykil

Khafi
Ragam Ghair Wadhih

Kata yang ghair wadhih dibedakan menjadi empat; yaitu:


➢ Khafi; yaitu kata yang maknanya menjadi tidak jelas karena hal baru
yang ada di luar kata itu sendiri sehingga arti kata itu perlu diteliti
secara mendalam.
➢ Musykil; yaitu kata yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidakjelasan
itu disebabkan oleh kata untuk beberapa pengertian yang berbeda
sehingga untuk mengetahui pengertian mana yang dimaksud dalam
sebuah redaksi memerlukan indikasi atau dalil dari luar seperti kata
musytarak (kata yang diciptakan untuk beberapa pengertian yang
berbeda hakikatnya).
➢ Mujmal; kata yang bentuknya tidak dapat menunjukkan pengertian yang
dikandung olehnya dan tidak terdapat petunjuk-petunjuk kata atau
keadaan yang dapat menjelaskannya.
➢ Mutasyabih; yaitu kata yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud
oleh kata itu sendiri, sehingga tidak ada di luar kata yang dipergunakan
untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak
menerangkan tentang artinya.
‫‪Contoh:‬‬
‫‪Ayat Wadhih :‬‬
‫واُال َك ْي َلُ ِإذَاُ ِك ْلت ْمُ‬
‫• َوأ َ ْوف ْ‬

‫‪Ayat Ghairu wadhih:‬‬


‫سنًا‬
‫ح َ‬
‫ضا َُ‬ ‫• َم ْنُذَاُالَّ ِذيُي ْق ِرض َّ َ‬
‫ُّللاُقَ ْر ً‬
‫• فَا ْبعَثواُأ َ َح َدك ْمُب َورق ُك ْم َه ِذُِه‬
(f)
Penggunaan Kata:
Haqiqi dan Majazi
Konsep Haqiqi dan Majazi

Hakikat menurut ahli bahasa adalah arti yang


senyatanya/sesungguhnya bukan kiasan. Dalam istilah ahli, hakikat
adalah susunan kata yang digunakan pada asal peletakannya.
▪ Abd al-Rahman al-Ahdari mengatakan bahwa hakikat adalah
kata yang digunakan menurut arti sebagaimana mestinya.
▪ Menurut wahbah Zuhaili, hakikat adalah setiap kata yang
menghendaki makna ashalnya karena sesuatu yang diketahui.
▪ Mustafa al-Zinny berpendapat bahwa hakikat adalah sesuatu
yang telah mapan dalam penggunaan berdasar asal
pembentukannya dalam bahasa.
Ragam Majaz

Muhammad Salam Madkur menjelaskan bahwa yang dimaksud


dengan hakikat adalah penggunaan kata yang menunjukkan pada
arti yang dibuat (sejak) awal tanpa memerlukan qarinah tertentu;
sedangkan majaz adalah penggunaan kata yang menunjukkan
pada arti selain arti yang awal.
Amir Badisyah dalam kitab Taisir al-Tahrir membedakan majaz
menjadi lima; yaitu:
o Majaz lughawi.
o Majaz Syar`i.
o Majaz `urfi.
o Majaz `amm.
o Majaz Khasshsh.
Konsep Haqiqi dan Majazi

Wadhi` al-
Kongres Ahli Bahasa
Lughah

Al-haqiqah wa al-Majaz Musta`mil


al-Lughhah

Hamil al-
Lughah Mufassir/al-Qari’
Ketentuan Haqiqi dan Majazi

Ahli ushul fiqh menjelaskan hakikat dan majaz adalah sebagai


berikut:
o Sebuah kata tidak disipati dengan hakikat dan majaz sebelum
digunakan dengan makna yang dikaitkan terhadap kehendak
pembicara.
o Ketika dikehendaki makna majaz maka harus adanya qarinah
dan `alaqah (penghubung/pertalian).
o Harus adanya qarinah yang menunjukkan terhadap dicegahnya
kata dari mendatangkan makna hakiki (yang sebenarnya)
o Ketika kata disifati hakikat atau majaz, maka harus dihubungkan
dengan wadhi` al-lughah (pembuatnya).
‫‪Contoh:‬‬
‫‪Ayat Haqiqi:‬‬
‫ع ْنُ ِذ ْك ِر َّ ِ‬
‫ُّللاُ‬ ‫َُلُت ْل ِهي ِه ْمُت َج َ‬
‫ارة َو ََلُبَُْيعُ َ‬ ‫• ِر َجال َ‬

‫‪Ayat Majazi:‬‬
‫عذَابُأ َ ِليمُ‬ ‫علَىُت َج َ‬
‫ارة ت ْن ِجيك ْم ُِ‬
‫ُم ْنُ َ‬ ‫• يَاُأَي َهاُالَّ ِذ َ‬
‫ينُآ َمنواُ َه ْلُأَدلك ُْم َ‬
(g)
Al-Ta’wil
Konsep Ta’wil

❑ Arti al-ta’wil secara bahasa adalah memalingkan (al-iltifath).


❑ Arti al-ta’wil secara istilah dalam penjelasan Muhammad Abu
Zahrah adalah memalingkan kata dari arti awal ke arti lain yang
masih dalam cakupannya (tetapi tidak zhahir).

Syarat-syarat Ta’wil

▪ Dalam kata atau lafazh tersebut terkandung makna lain meskipun


sangat jauh.
▪ Harus ada faktor yang mendorong (memaksa) untuk diterapkannya
ta’wil.
▪ Harus memiliki sandaran (sanad) atau dalil yang dijadikan alasan.
Ragam Ta’wil

Muhammad Abu Zahrah membedakan ta’wil menjadi dua, yaitu:


➢ Ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang dapat
menimbulkan al-tasybih (penyerupaan Khaliq dengan makhluq).
➢ Ta’wil yang khusus berkenaan dengan hukum taklif; karena secara
zhahir terdapat pertentangan antara ayat yang satu dengan ayat
yang lain, atau ada pertentangan antara hadits yang satu dengan
hadits yang lain.
Contoh:
ُ‫ُر ْزقك ْم‬
ِ ‫اء‬
ِ ‫س َم‬
َّ ‫• َو ِفيُال‬
• Dita’wilkan bahwa bisnis yang paling
membawa keuntungan yang besar adalah
melalui langit.
(h)
Maqashid al-Syari`ah
Konsep Maqashid al-Syariah

Konsep maqashid al-syari`ah (tujuan syariah) diperkenalkan oleh al-


Ghazali dan diperkaya wacananya oleh Imam al-Syathibi dalam
kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. Tujuan syariah menurut
pakar usuhul fikih adalah:
▪ Hifzh al-din (memelihara agama).
▪ Hifzh al-nafs (memelihara jiwa/nyawa).
▪ Hifzh al-`aql (memelihara akal).
▪ Hifzh al-nasl (memelihara keturunan).
▪ Hifzh al-mal (memelihara harta).
Maqashid al-Syari`ah

Hifzh al-Din Hifzh al-Nafs Hifzh al-`Aql Hifzh al-Nasl Hifzh al-Mal

Cegahan murtad (QS al-


Baqarah [2]: 217)

Cegahan membunuh (QS al-Nisa [4]: 29)

Cegahan konsumsi khamr atau minuman yang memabukkan (QS


al-Baqarah [2]: 219; QS al-Ma’idah [5]: 90; al-Nisa’ [4]: 43).

Perintah untuk menikah (QS al-Nisa’ [4]: 3); cegahan berzina (QS al-Nur [24]: 2-3); dan cegahan
bagi wali menikahkan orang yang berada di bawah kewaliannya, kepada laki-laki
nonmuslim/musyrik (QS al-Baqarah [2]: 221).

Cegahan mencuri (QS al-Ma’idah [5]: 38; cegahan konsumsi harta secara batil (QS al-Baqarah [2]:
188; dan cegahan tasharruf secara riba (QS Ali Imran [3]: 230); cegahan israf (QS al-A`raf [7]:
38); dan perintah untuk konsumsi secara halal dan baik (QS al-Ma’idah [5]: 88).
Mashlahah

Manfa`ah Mafsadah

Dharurat/`Umum al-Balwa
Dharuriyyah
Maqashid al-syari`ah

Hajiyyah Al-hajjah

Tahsiniyyah ???
(i)
Ta`arudh al-Adillah
Konsep Ta`arud al-Adillah

❑ Ta`arudh al-adillah yang dimaksud dalam ilmu ushul fiqh


adalah pertentangan atau perbedaannya dalil dalam
menentukan suatu hukum.
❑ Di antaranya perbedaan ulama Indonesia dalam menentukan
masuk tidaknya bulan baru untuk menentukan awal ramdhan
dan awal syawwal. Muhammadiyah berpegang pada QS al-
Baqarah (2): 185 dengan bermusyahadah secara sains;
sedangkan NU dan MUI yang pada umumnya dijadikan dasar
oleh Negara, berpegang pada hadits secara tekstual tentang
ru’yat al-hilal.
Langkah-langkah dalam Hal Ta`arud al-Adillah

Apabila terdapat pertentangan dalil-dalil mengenai suatu ketentuan hukum,


maka wajib dilakukan ijtihad dengan menempuh langkah-langkat berikut
(Khallaf, `Ilm Ushul al-Fiqh: 22):
❑ Al-jam` wa al-taufiq; menggabungkannya dan mencari kesimpulan
tanpa mengabaikan salah satunya; misalnya ketentuan `iddah wafat
dan `iddah hamil.
❑ Al-tarjih; mencari dalil yang lebih kuat sehingga ada dalil yang
digunakan (al-rajih) dan ada dalil yang diabaikan (al-marjuh).
❑ Al-naskh; apabila diketahui tarikh-nya, boleh dialkukan pendekatan
al-naskh; yaitu ayat al-Qur’an atau hadits yang (belakangan/akhir)
menaskh ayat atau hadits yang ada sebelumnya; dalil yang akhir
disebut nasikh; sedangkan dalil yang belakangan disebut mansukh.
❑ Al-Tawaqquf (berhenti); apabila tidak bisa dilakukan cara-cara di
atas, maka dilakukan tawaquf; tidak mengamalkan dalil-dalil tersebut
sebelum didapatkan dalil yang lebih unggul (arjah).
Al-Ijtihad
Pengertian Ijtihad

▪ Kata ijtihad berasal dari al-juhd yang secara harfiah berarti


sungguh-sungguh; Oleh karena itu, ijtihad secara harfiah
berarti pengerahan segenap kemampuan untuk mengerjakan
sesuatu yang sulit.
▪ Arti ijtihad secara terminologis sebagaimana dijelaskan Abd
al-Wahab Khallaf adalah mengerahkan daya kemampuan
untuk menghasilkan hukum syara` dari dari dalil-dalil syara`
yang rinci.
▪ Khudhari Byk menjelaskan bahwa arti ijtihad secara istilah
adalah pengerahan kemampuan nalar seorang faqih
(mujtahid) dalam mencari hukum-hukum syar`i.
‫‪Dasar Hukum Ijtihad‬‬

‫‪▪ Di antara dasar hukum ijtihad adalah QS al-Ra`d: 4, al-Rum: 21,‬‬


‫‪dan al-Zumar: 42.‬‬
‫ك َأل َياتِ ل َق ْومِ َي َت َفك ُر ْو ِنَ‬
‫إنِ في َذل َِ‬
‫ِ‬ ‫ِ ِ ِ‬
‫‪▪ QS al-Hasyr: 2.‬‬
‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ َْ ُ ْ َ ُْ َْ‬
‫فاعت ِبروا يا أو ِلي األبص ِِ‬
‫ار‪.‬‬
‫▪‬ ‫‪Hadits riwayat Abu Daud tentang Mu`adz Ibn Jabal:‬‬
‫ض لك‬ ‫ن معاذ بن جبل قال؛ قال رسولِ هللا صلى هللا وسلم‪ :‬كيف تقض ي إذا ُِع ِر َ ِ‬ ‫َع ْ ِ‬
‫قضاء؟ قال‪ :‬أقض ي بكتاب هللا‪ .‬قال‪ :‬فإن لم تجد في كتاب هللا؟ قال‪ :‬فبسنة رسو ِل هللا‪.‬‬
‫قال‪ :‬فإن لم تجد في سنة رسولِ هللا وال في كتاب هللا؟ أجتهد رأيي وال ألوا‪ .‬فضرب‬
‫رسولِ هللا صلى هللا عليه وسلم بيده على صدره وقال‪ :‬الحمد هلل الذي وفِق رسو َِل‬
‫رسو ِ ِل هللا ملا يرض ى رسو ُِل هللا (رواه أبو داود)‪.‬‬
‫‪Dasar Hukum Ijtihad‬‬

‫▪‬ ‫‪Hadits riwayat Imam Muslim dan Ahmad tentang Qadhi yang‬‬
‫‪diutus ke Yaman:‬‬
‫عمروِ بن العاص رض ي هللا عنه أنه سمع رسو َلِ هللا صلى هللا وسلم يقولِ‪ :‬إذا حكم‬ ‫ِ‬
‫ن‬ ‫َع ْ‬
‫ِ‬
‫الحاكم فاجتهد ثمِ أصاب فله أجران؛ و إذا حكم فاجتهد ثمِ أخطاء فله أجر ( ِرواه‬
‫مسلم و أحمد)‪.‬‬
Ragam Ijtihad dan Tingkatan Mujtahidnya

Ijtihad Muthlaq Mustaqill; ijtihad yang dilakukan dengan cara


menciptakan norma hukum dan kaidah istinbath yang menjadi
metode bagi setiap pihak yang hendak berijtihad.

Ijtihad Muthlaq Muntashib; ijtihad yang dilakukan dengan


menggunakan metode istinbath yang dibuat oleh mujtahid
muthlaq mustaqil.

Ijtihad Tarjih; ijtihad seseorang dalam memberikan fatwa atau


keputusan hukum tentang suatu masalah dengan
menyandarkannya pada salah satu dari madzhab-madzhab
kalisik.
Ragam Ijtihad versi Muhammad Ma`ruf
al-Dawalibi

Al-ijtihad al-Bayani; yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum


syari`ah dari nashsh/nushush syar`i.

Al-Ijtihad al-Qiyasi; yaitu meletakkan (wadh`) hukum-hukum


syari`ah untuk kejadian atau peristiwa yang tidak terdapat
dalam al-Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan
qiyas atas apa yang terdapat dalam nushush syar`i.

Al-ijtihad al-Isthishlahi: yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah


untuk peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al-
Qur`an dan Sunnah, menggunakan al-ra`y yang disandarkan
atas isthishlah.
Ijtihad dan Konsep Terkait Lainnya

• Menggali hukum dari sumbernya dengan


Ijtihad menggunakan metode istinbath hukum
tertentu.

• Mengikuti pendapat mujtahid


Ittiba` dengan mengetahui argumen yang
digunakanan.

• Mengikuti pendapat mujtahid


Taqlid tanpa mengetahui argumen
yang digunakanan.
Lapangan (Majal) Ijtihad

❑ Topik yang diijtihadi tidak termasuk mujma` `alaih wa ma`lum min al-
din bi al-dharurah (sesuatu yang pengertiannya sudah jelas baik
secara konsep maupun praktek) dan bersifat qath`iy al-dalalah; di
antaranya wajibnya shalat, puasa ramadhan, haji, berbakti kepada
orang tua, membantu mustadh`afin, larangan zina, mencuri, dan
membunuh.
❑ Hukum yang dikandung oleh nashsh zhanniy baik dari segi wurud
maupun dalalah-nya.
❑ Hukum yang dikandung oleh nashsh qath`iy tapi zhanniy dari segi
dalalah-nya.
❑ Hukum yang dikandung oleh nashsh zhanniy tapi qath`iy dari segi
dalalah-nya.
❑ Hukum yang tidak dikandung dalam nashsh dan ijma` (al-waqi`iyyat).
Syarat-syarat Mujtahid

Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat, yaitu:


➢ Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di
dalam hal-hal yang syara dan mendahulukan yang wajib.
➢ Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan
(`adalah).
Menurut Wahbah al-Zuhaili, seorang mujtahid mempunyai dua syarat
yang harus dimiliki, yaitu:
➢ mengetahui apa yang ada pada Tuhan; dan
➢ mengetahui atau percaya adanya Rasul dan apa yang dibawanya
juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat Allah.
Al-Syatibi berpendapat bahwa mujtahid hendaknya sekurang-
kurangnya memiliki tiga syarat; yaitu:
➢ memiliki pengetahuan tentang al Qur’an, Sunnah, dan Ijma’
sebelumnya.
➢ memiliki pengetahuan tentang ushul fikih
➢ menguasai ilmu bahasa.
Hukum Islam?

Prosesnya disebut Ijtihad

Tafaqquh Istifta Taqdhi Taqnin

Fikih Fatwa Qadha Qanun

Fuqaha’ Mufti Qadhi Qanuni

Anda mungkin juga menyukai