Anda di halaman 1dari 11

MATERI 6

IJMA’ (‫)إمجاع‬

A. PENGERTIAN IJMA’
Ijma’ secara etimologi (bahasa), memiliki dua pengertian, yaitu:
1) Kesepakatan (‫)اتفاق‬, artinya suatu kelompok bisa dikatakan berijma’ jika mereka
bersepakat terhadap sesuatu, sebagaimana firman Allah SWT Q.S. Yusuf (12): 15:

             

    


“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur
(lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan
kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan
mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi" (Q.S. Yusuf (12): 15).
2) Berniat (‫ )العزم‬atau bermaksud, sebagaimana firman Allah SWT Q.S. Yunus (10):
71:

.....      .....


“Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan
(kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)” (Q.S. Yunus (10): 71).
Sedangkan Ijma’ secara terminologi (istilah) adalah:
1) Menurut Prof. Wahbah Al-Zuhaili:
‫اإلمجاع ىو اتفاق اجملتهدين من أمة دمحم ملسو هيلع هللا ىلص بعد وفاتو يف عصر من العصور على حكم شرعي‬
“Ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari umat Muhammad SAW setelah beliau
wafat dalam suatu masa terhadap hukum syara’”.
2) Menurut Imam Asy-Syaukani:
‫اإلمجاع ىو اتفاق جمتهدي أمة دمحم ملسو هيلع هللا ىلص بعد وفاتو يف عصر من األعصار على أمر من األمور‬
“Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat Muhammad SAW setelah beliau wafat
dalam suatu masa terhadap suatu masalah”.
3) Menurut Syeikh Abdul Wahhab Khallaf:
‫اإلمجاع ىو اتفاق مجيع اجملتهدين من ادلسلمني يف عصر من العصور بعد وفاة الرسول على حكم‬
‫شرعي يف واقعة‬
“Ijma’ adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa
setelah Rasulullah wafat terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian”.
B. DASAR HUKUM IJMA’
1) Al-Qur’an

             

              

 
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa’ (4): 59).

              

      


“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itudan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (Q.S. An-Nisa’ (4):
115).
2) Hadits Rasulullah SAW

)‫ال جتتمع أميت على اخلطأ (رواه أبو داود والرتمذي‬


“Umatku tidak akan melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan” (H.R. Abu
Daud dan Tirmidzi).
)‫ال جتتمع أميت على الضاللة (رواه ابن ماجو والطرباين‬
“Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan” (H.R. Ibnu
Majah dan Thabrani).

C. KEHUJJAHAN IJMA’
Ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa Ijma’ adalah merupakan hujjah yang
qathi’ dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syar’i setelah Al-Qur’an dan
Sunnah. Dasarnya adalah Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW yang
sebelumnya telah disebutkan sebagai Dasar Hukum Ijma’.

D. RUKUN IJMA’
Unsur Ijma’ (Rukun Ijma’) ada lima, yaitu:
1) Ada kesepakatan (ittifaq/‫ )اتفاق‬sejumlah mujtahid pada masa terjadinya
kasus. Maksudnya adalah semua mujtahid telah bersepakat tanpa ada seorang pun

2
yang keluar dari kesepakatan tersebut. Jika masih ditemukan ada seorang yang
menyalahinya, maka tidak akan terjadi kesepakatan (Ijma’). Untuk melihat ada
atau tidaknya kesepakatan, dapat dilihat melalui tiga cara, yaitu:
a) Perkataan (qauli) yang jelas, seperti pengakuan para mujtahid yang
mengatakan pendapatnya tentang sebuah kasus. Misalnya, memberikan fatwa
terhadap sebuah kasus dan sebagainya.
b) Perbuatan (fi’li) yang nyata, seperti ketika tidak ada satu pun mujtahid yang
menentang dalam praktik. Misalnya, menjatuhkan suatu putusan hukum
terhadap sebuah kasus dan sebagainya.
c) Bersikap diam (sukuti), seperti ketika para mujtahid tidak menentang suatu
pendapat yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid atau beberapa orang dari
mereka.
2) Ada sejumlah orang-orang yang berijtihad (mujtahid/‫ )جمتهدين‬tentang suatu
kasus, sebab kesepakatan tidak mungkin terjadi tanpa adanya beberapa pandangan
atau pendapat yang masing-masing memiliki kesamaan atau kesesuaian. Jika pada
kenyataannya dalam suatu masa tidak ditemukan sejumlah mujtahid, maka tidak
mungkin terjadi kesepakatan (Ijma’). Oleh sebab itu, pada masa Nabi SAW masih
hidup, tidak ada kesepakatan (Ijma’), sebab beliau SAW sendiri yang menjadi
mujtahidnya. Mujtahid itu haru memenuhi 2 syarat, yaitu:
a) Harus terdiri dari umat Muhammad.
b) Harus beragama Islam, dewasa, berakal sehat, dan ahli dalam bidang istinbath
hukum.
3) Terjadinya kesepakatan para ahli setelah Nabi SAW wafat, sebab semasa
Nabi SAW hidup, beliaulah yang menjadi sumber hukum melalui wahyu yang
diberikan kepadanya, sehingga jika ada kesepakatan (Ijma’) maka jadilah
kesepakatan tersebut sebagai Sunnah Taqriri, dan jika di antara mereka ada yang
menyalahinya, maka hilanglah kesepakatan (Ijma’) tersebut.
4) Kesepakatan sejumlah mujtahid tersebut masih dalam satu generasi.
Maksudnya, jika ditemukan sejumlah mujtahid dalam satu generasi tetapi mereka
tidak bersepakat dalam menetapkan hukum suatu kasus, maka ini tidak bisa
dikatakan kesepakatan (Ijma’). Misalnya, terjadi perbedaan pendapat di antara
para mujtahid dari kalangan shahabat Nabi SAW dalam kasus-kasus seperti:
a) Kasus jad (kakek) dengan saudara mayat (akh) yang dikenal dengan kasus jad
ma’al ikhwah. Dalam hal ini, terjadi perbedaan terkait perolehan bagian waris
saudara, yaitu:
 Sebagian ulama mengatakan akh (saudara) tidak dapat bagian, sebab
dimahjub jad.
 Sebagian ulama lain mengatakan keduanya mendapatkan bagian waris.
b) Kasus hukum wajibnya niat dalam berwudhu, bertayammum, dan mandi.
Dalam hal ini, para ahli hukum berbeda pendapat:
 Sebagian ulama mengatakan, niat hanya wajib ketika bertayammum
sedangkan ketika berwudhu dan mandi tidak wajib.

3
 Sebagian ulama lain mengatakan bahwa niat itu wajib pada semuanya,
baik ketika berwudhu, bertayammum, maupun mandi.
5) Materi yang disepakati oleh sejumlah mujtahid adalah masalah-masalah
hukum syar’i, tanpa melihat domisili mereka masing-masing. Begitu juga
tidak melihat suku, budaya, dan sekte mereka. Akan tetapi, jika kesepakatan
tersebut terjadi hanya pada satu daerah, hal ini tidak bisa dinamakan kesepakatan
(Ijma’). Begitu juga jika terjadi hanya pada sebagian besar di antara mereka, ini
pun tidak bisa dikatakan sebagai kesepakatan (Ijma’). Jika yang tidak bersepakat
adalah kelompok minoritas, sedangkan yang bersepakat adalah kelompok
mayoritas, maka ini berarti masih terjadi perselisihan serta penilaian salah pada
satu pihak dan benar pada pihak lainnya.
Menurut Prof. Wahbah Al-Zuhaili, Unsur Ijma’ (Rukun Ijma’) hanya satu,
yaitu kesepakatan para mujtahid (‫اجملتهدين‬ ‫)اتفاق‬, kalau tidak ada kesepakatan maka
tidak dikatakan sebagai Ijma’.
Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf, Unsur Ijma’ (Rukun Ijma’) ada
empat, yaitu:
1) Semua mujtahid harus terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui
Ijma’. Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya
kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak bisa disebut Ijma’.
2) Yang melakukan kesepakatan itu harus semua mujtahid yang ada pada
masa tersebut dari berbagai belahan dunia.
3) Kesepakatan itu harus diawali dari pandangan masing-masing mujtahid, dan
kesepakatan tersebut harus dinyatakan secara tegas oleh masing-masing
mujtahid bahwa dia sependapat dengan mujtahid yang lain.
4) Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang berkaitan dengan
kasus yang bersifat aktual dan belum ada hukumnya secara rinci dalam Al-
Qur’an dan Sunnah.
Sedangkan Syarat-Syarat Ijma’ ada empat, yaitu:
1) Yang bersepakat adalah para mujtahid.
2) Harus dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
3) Anggotanya harus dari umat Muhammad SAW.
4) Kesepakatannya harus yang berhubungan dengan syari’ah Islam.

E. MACAM-MACAM IJMA’
Menurut Ulama Ushul Fiqh, Ijma’ berdasarkan cara menghasilkan hukumnya
terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Ijma’ Sharih (‫)إمجاع صريح‬
Maksudnya adalah semua mujtahid mengemukakan pendapat masing-masing,
lalu salah satu pendapat mereka disepakati bersama. Nama lain dari Ijma’ Sharih
(‫ )إمجاع صريح‬adalah Ijma’ Qauli (‫ )إمجاع قويل‬atau Ijma’ Hakiki (‫ )إمجاع حقيقي‬atau Ijma’
Bayani (‫)إمجاع بياين‬. Misalnya:

4
a) Sebuah kasus memerlukan ketetapan hukum pasti, lalu semua mujtahid
berkumpul di suatu majelis, kemudian mereka mengeluarkan pendapat mereka
masing-masing. Setelah itu, mereka menyepakati salah satu dari beberapa
pendapat yang tergelar dalam majelis tersebut.
b) Suatu kasus timbul, lalu seorang mujtahid memberikan fatwa tentang kasus
tersebut, kemudian mujtahid lain berfatwa sama dengan fatwa mujtahid
pertama, lalu mujtahid ketiga mengamalkan apa yang telah difatwakan oleh
kedua mujtahid tersebut, demikian seterusnya, sehingga semua mujtahid
menyepakati pendapat mujtahid pertama.
2) Ijma’ Sukuti (‫)إمجاع سكويت‬
Maksudnya adalah ketetapan hukum sebagian mujtahid tentang suatu kasus
yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tetapi mereka diam, dengan sikap tidak
jelas, apakah ketetapan tersebut diterima atau ditolak. Nama lain dari Ijma’ Iqrari
(‫)إمجاع إقراري‬. Ijma’ Sukuti (‫ )إمجاع سكويت‬bisa dikatakan sah, jika memeunhi tiga kriteria,
yaitu:
a) Diamnya para mujtahid tersebut benar-benar tidak menunjukkan sikap sepakat
atau menolak. Sekalipun demikian, jika ternyata ditemukan indikasi yang
menunjukkan adanya kesepakatan yang dilaukan oleh sebagian mujtahid,
maka ini tidak bisa dikatakan Ijma’ Sukuti (‫)إمجاع سكويت‬, tetapi Ijma’ Sharih
(‫)إمجاع صريح‬. Begitu juga jika ditemukan indikasi penolakan yang dikemukakan
oleh sebagian mujtahid, maka ini tidak bisa disebut Ijma’.
b) Masa diamnya para mujtahid terhitung lama, yang jika masa tersebut dipakai
untuk membahas persoalan cukuplah memadai.
c) Kasus yang difatwakan oleh sebagian mujtahid tersebut termasuk kasus yang
bersifat ijtihadiyyah yang bersumber dari dalil-dalil yang bersifat dzaniyyah.
Sedangkan menurut Ulama Ushul Fiqh, Ijma’ berdasarkan tempat waktunya
terbagi menjadi lima macam, yaitu:
1) Ijma’ Shahabah, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh para shahabat Rasulullah
SAW.
2) Ijma’ Khulafa Al-Rasyidin, yaitu Ijma’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat
dilakukan pada masa keempat orang itu hidup
3) Ijma’ Shaikhan (Ijma’ Abu Bakar dan Umar).
Mengenai terjadinya Ijma’ di masa Abu Bakar dapat diikuti riwayat Al-
Baghawi dan Ma’mar bin Mihram mengatakan: “Abu Bakar apabila mendapat sesuatu
perkara untuk diputuskan, mencari dasar pada Al-Qur’an, apabila terdapat dalam Al-
Qur’an untuk menyelesaikan masalah itu maka penyelesaiannya berdasarkan Al-
Qur’an. Apabila tidak mendapatinya maka ia mencarinya pada Sunnah dan
dihukumi dengan Sunnah, dan bila ia mendapat kesukaran dalam mendapatkan
informasi pada Sunnah, maka ia bertanya pada para shahabat kalau-kalau ada diantara
para shahabat yang mengetahui bahwa Nabi pernah memutuskan masalah seperti itu.
Bila tidak didapati, ia kumpulkan para shahabat untuk mengadakan musyawarah

5
memecahkan masalah itu, lalu Abu Bakar memutuskan sesuatu dengan hasil
permusyawaratan itu (Ijma’)”. Khalifah Umar apabila menghadapi suatu persoalan
tidak didapati hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadits, beliau mencari keputusan Abu
Bakar, apakah Abu Bakar pernah memberi keputusan dalam hal itu, jika tidak didapati
maka beliau mengumpulkan tokoh-tokoh kaum muslimin. Apabila mereka sepakat
kepada sesuatu hukum, maka diputuskanlah dengan hukum yang telah mereka
sepakati itu (Ijma’ Umar bin Abu Bakar).
4) Ijma’ Ulama Madinah/Ijma’ Ahli Madinah
Pemimpin rakyat yang dikumpulkan oleh Abu Bakar di waktu terjadi peristiwa
tersebut di atas bukan dari seluruh kaum muslimin, tetapi dari kalangan rakyat
madinah sehinga disebut dengan Ijma’ Ulama Madinah/Ijma’ Ahli Madinah. Ijma’
Ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki,
tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam.
5) Ijma’ Ulama Kufah dan Basyrah
Mereka ulama kuffah dan basyrah bersatu untuk memutuskan sesuatu
persoalan sehingga menghasilkan ijtihad jama’i tetapi kalau tidak terjadi Ijma’ maka
mereka berijtihad secara pribadi, di antara tokoh-tokoh Ulama Kuffah seperti: Sya’id
bin Musayyab (W.94H), Amir bin Surahil as-shiby (W.104H) dan yang lainnya,
sedangkan di antara tokoh-tokoh Ulama Basyrah seperti Al-Qamah bin Wais An-
Naqai (W.62H), Ibrahim bin Yazid (W.95H) dan lain-lain. Ijma’ Ulama Kufah yaitu
Ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’
ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
6) Ijma’ Itrah (Ahli Bait Golongan Syi’ah)
Ijma’ ini adalah Ijma’ golongan pendukung Ali R.A. Menurut pendapat
mereka Ali dan keturunannya adalah paling berhak untuk memegang jabatan khalifah,
sebab Ali telah menerima wasiat jabatan tersebut dari Rasulullah. Golongan mereka
ini menolak Ijma’ dan fatwa para shahabat, tetapi hanya mau menerima Ijma’ dan
fatwa-fatwa imam mereka sendiri.
Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, Ijma’ terbagi
menjadi tiga macam, yaitu:
Pertama, Ijma’ Qauli (‫)إمجاع قويل‬. Misalnya, mereka berkata: hal ini boleh,
haram, sunnah, dan lain-lain.
Kedua, Ijma’ Fi’li (‫)إمجاع فعلي‬. Misalnya, para mujtahid melakukan pekerjaan
yang menunjukkan kebolehan pekerjaan tersebut. Jika tidak menunjukkan bolehnya
pekerjaan tersebut, maka para mujtahid itu sepakat pada kesesatan dan hal ini tidak
boleh, karena umat Nabi Muhammad dijaga bersepakat pada kesesatan.
Ketiga, Ijma’ Sukuti (‫)إمجاع سكويت‬, yaitu ijma’ di mana sebagian mujtahid
menyampaikan pendapat dan sebagian mujtahid melakukan suatu pekerjaan, yang
pendapat dan pekerjaan mujtahid tersebut menyebar kepada mujtahid yang lain dan
mujtahid yang lain diam dan tidak mengingkari setelah melakukan kajian dan analisis
mendalam dalam waktu yang cukup.

6
F. PRODUK HUKUM YANG BERDASARKAN IJMA’
1) Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk shalat jum'at, yang diprakarsai
oleh sahabat Utsman bin Affan R.A. pada masa kekhalifahan beliau, para sahabat
lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau tersebut dan
diamnya para sahabat lainnya adalahtanda menerimanya mereka atas prakarsa
tersebut. Contoh tersebut merupakan ijma’ sukuti.
2) Saudara-saudara seibu-sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan (banu al-a’yan
wa al-a’lat) terhalang dari menerima warisan oleh bapak. Hal ini ditetapkan
dengan ijma’.
3) Upaya pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar Ash-
Shiddiq R.A.
4) Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah shalat isya’ sampai waktu fajar.
Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat. Umar
bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bin Khaththab ini
disepakati oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rasyidin.
5) Para sahabat di zaman Umar bin Khattab bersepakat menjadikan hukuman
dera/cambuk sebanyak 80 kali bagi orang yang meminum-minuman keras. Ijma’
tersebut termasuk dzanni.

G. KHILAF ULAMA TENTANG IJMA’


Tentang kehujjahan Ijma’ Sharih (‫)إمجاع صريح‬, para ahli hukum berbeda
pendapat, yaitu:
1) Jumhur Ulama, seperti Imam Al-Amidy (W.631H), Imam Al-Bazdawiy
(W.730H), dan Imam Ibn Al-Hajib (W.646H) berpendapat bahwa Ijma’ Sharih
(‫ )إمجاع صريح‬dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan oleh semua kaum muslimin
mukallaf. Dasarnya:
a) Al-Qur’an, yaitu Q.S. Al-Baqarah (2): 143 dan Q.S. Ali Imran (3): 110:

          

.....  

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu....” (Q.S. Al-Baqarah (2): 143).
Dalam menanggapi ayat ini, Al-Amidiy berpendapat bahwa kehujjahan ayat
tersebut adalah keadilan para mujtahid yang menjadi hujjah bagi manusia untuk
menerima pendapat mereka, sebagaimana halnya menjadi Rasulullah SAW sebagai
hujjah dengan cara menerima sabdanya. Jadi, pendapat mereka merupakan hujjah bagi
yang lainnya.

7
          

            

 
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (Q.S. Ali Imran (3):
110).
Dalam menanggapi ayat ini, Al-Baidhawiy (W.691H) berpendapat bahwa
kesepakatan mereka merupakan suatu yang haq atau benar, sebab dalam ayat ini
ditemukan petunjuk bahwa Allah SAW telah memberikan keutamaan kepada mereka
dengan menggunakan isim tafdhil, sebab arti khair sama dengan tafdhil.
b) Hadits tentang terjaganya Ijma’ Islam dari kesalahan jika sudah terjadi
kesepakatan terhadap suatu masalah:
)‫ال جتتمع أميت على اخلطأ (رواه أبو داود والرتمذي‬
“Umatku tidak akan melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan” (H.R. Abu
Daud dan Tirmidzi).
)‫ال جتتمع أميت على الضاللة (رواه ابن ماجو والطرباين‬
“Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan” (H.R. Ibnu
Majah dan Thabrani).
)‫يد هللا مع اجلماعة (رواه والرتمذي‬
“Kekuatan (pertolongan) Allah itu berada pada jama’ah” (H.R. Tirmidzi).
)‫ فإن الشيطان مع الفذ وىو من اإلثنني (رواه والرتمذي‬،‫أال فمن سره حبجة اجلنة فاليلزم اجلماعة‬
“Ingatlah, siapa saja yang menginginkan kenikmatan surga, hendaklah selalu bersama
jama’ah, sebab setan itu selalu bersama orang yang menyendiri. Dari dua orang saja,
dia lebih menjauh” (H.R. Tirmidzi).
Semua Nash-Nash (Teks-Teks) di atas, baik ayat Al-Qur’an maupun Hadits,
dapat dijadikan pegangan kuat atas dipakainya Ijma’ untuk berhujjah dalam
beristinbath hukum, sebab semua Hadits di atas diriwayatkan oleh para perawi yang
tsiqqah. Meskipun ada sebagian Hadits Ahad, namun bisa dikategorikan sebagai
Hadits Mutawatir, dalam arti menjaga kesepakatan (Ijma’) Islam dari berlaku salah.
2) Kelompok Syi’ah, Khawarij, dan Ibrahim Al-Nidzam dari Mu’tazilah
berpendapat bahwa Ijma’ Sharih (‫ )إمجاع صريح‬tidak bisa dijadikan hujjah dalam
beristinbath hukum. Dasarnya:
a) Q.S. An-Nisa’ (4): 59

8
             

              

 
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa’ (4): 59).
Sebab yang dimaksud ‫( فردوه إىل هللا‬mengembalikan kepada Allah) pada ayat ini

adalah kembali kepada Al-Qur’an. Kalimat ‫والرسول‬ (kembali kepada Rasul) adalah
mengembalikan kepada diri Rasul pada saat beliau masih hidup dan kepada Hadits
setelah beliau wafat, bukan kepada Ijma’ mujtahid. Oleh sebab itulah, Ijma’ mereka
tidak memiliki pengaruh apa-apa dan tidak boleh dijadikan hujjah dalam beristinbath
hukum.
b) Hadits Riwayat Imam Tirmidzi tentang Mu’adz bin Jabal saat Rasulullah
SAW mengutusnya ke Yaman untuk menjadi seorang hakim:
‫ أقضى‬:‫ فإن مل جتد يف كتاب هللا؟ قال‬:‫ قال‬.‫ مبا يف كتاب هللا‬:‫ مبا تقضى؟ قال‬:‫قال رسول هللا دلعاذ‬
‫ احلمد هلل‬:‫ قال‬.‫ أجتهد رأيي‬:‫ فإن مل جتد فيما قضى بو رسول هللا؟ قال‬:‫ قال‬.‫مبا قضى بو رسول هللا‬
)‫الذي وفق رسول رسولو (رواه الرتمذي‬
“Rasulullah bertanya kepada shahabat Mu’adz: Dengan apa kamu menghukumi? Dia
menjawabnya: Dengan apa-apa yang ada dalam Kitab Allah, lalu bertanya lagi: Jika
tidak ditemukan dalam Kitab Allah tersebut? Dia menjawabnya: Dengan apa-apa
yang telah diputuskan oleh Rasulullah. Beliau bertanya lagi: Dengan apa jika tidak
ditemukan dalam ketetapan Rasulullah? Dia menjawabnya: Aku berijtihad dengan
pendapatku. Lalu Rasul bersabda: Aku bersyukur kepada Allah yang telah
menyepakati utusan Rasulullah” (H.R. Tirmidzi).
Dalam Hadits ini, ketika Rasulullah SAW bertanya tentang dalil yang akan
dijadikan sandaran, beliau tidak menyebut-nyebut Ijma’, jika memang Ijma’ ada tentu
Rasul SAW akan menegaskannya.

H. IJMA’ SUKUTI DAN KHILAF ULAMA TENTANG KEHUJJAHANNYA


Dalam menanggapi masalah kehujjahan Ijma’ Sukuti (‫)إمجاع سكويت‬, para ahli
berbeda pandangan, yaitu:
1) Pengikut Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa Ijma’ Sukuti ( ‫إمجاع‬
‫ )سكويت‬tidak termasuk Ijma’, sebab dengan diamnya sebagian mujtahid, sangat

9
mungkin berarti hanya menyepakati sebagian atau bahkan tidak menyepakati
sama sekali secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a) Sikap pribadi mujtahid yang menjumpai satu kasus namun tidak mau
melakukan ijtihad sama sekali tentangnya.
b) Sikap pribadi mujtahid yang takut mengemukakan pendapatnya.
Dari kenyataan seperti itu, mmaka kesepakatan mereka terhadap mujtahid
lainnya tidak dapat ditetapkan secara pasti. Jika demikian, maka kesepakatan
keseluruhan mujtahid dianggap tidak ada. Ini tidak bisa disebut Ijma’ dan tidak bisa
pula dijadikan hujjah dalam beristinbath hukum.
2) Mayoritas kelompok Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat
bahwa Ijma’ Sukuti (‫ )إمجاع سكويت‬dapat dijadikan hujjah yang bersifat qathi’,
sebagaimana halnya Ijma’ Sharih (‫)إمجاع صريح‬. Diamnya sebagian mujtahid
terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lain, selama sudh
memenuhumi persyaratan adanya Ijma’ Sukuti (‫)إمجاع سكويت‬, dapat dijadikan dalil
atau dasar tentang adanya kesepakatan mereka terhadap hukum sehingga dapat
pula dijadikan hujjah qathi’.
Sekalipun demikian, Imam Al-Karkhyi (W.340H) (kelompok Hanafi) dan Al-
Amidyi (W.631H) (kelompok Syafi’i) mengatakan bobot kehujjahan Ijma’ Sukuti
(‫ )إمجاع سكويت‬hanyalah dzanni, sebab dengan diamnya sebagian mujtahid tidak bisa
dikatakan bahwa sebuah Ijma’ dengan para mujtahid lainnya telah tercapai. Diamnya
mereka berada pada posisinya di antara sepakat dan tidak sepakat, sebagaimana ulama
Salaf.
Contoh:
a) Kasus Mu’adz tentang sanksi bagi wanita hamil yang berzina:
Shahabat Mu’adz melapor kepada Nabi Muhammad SAW tentang
keinginannya menghukum wanita hamil yang berzina, dia berkata: Seandainya Allah
menjadikan kepadamu suatu keselamatan pada punggungnya (wanita), maka kamu
tidak akan menjadikan bayi wanita itu sebagai jalan keselamatan. Lalu Umar bin
Khaththab berkata: Kalau (yang berkata itu) bukan Mu’adz, maka aku akan
memarahinya.
b) Kasus Umar tentang besar kecilnya mas kawin:
Ada seorang wanita mengadu kepada Umar dengan mengatakan bahwa ia
mendengar kaum muslimin tentang hukum tidak bolehnya memberi mas kawin yang
nilainya melebihi 400 dirham dan mengharuskan memasukkan selebihnya ke Baitu
Mal. Padahal pendapatnya itu bertentangan dengan Nash (Teks) yang
membolehkannya, sehingga wanita tersebut memperingatkan Umar bin Khaththab
dengan mengajukan pertanyaan kepadanya: “Bagaimana ini, Allah telah
membolehkan kita, sedang Umar melarangnya”. Lalu Umar berkata: “Kapan Allah
membolehkan?” Kemudian wanita tersebut berkata demikian:

10
           

      


“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata ?” (Q.S. An-Nisa’ (4): 20).
Lalu Umar mencabut kembali perintahnya tersebut.

11

Anda mungkin juga menyukai