Anda di halaman 1dari 124

BAB I

PENDAHULUAN

DEFINISI USHUL FIQH

.
. .
.

.

PENJELASAN DEFINISI USHUL FIQIH


1. Adillah Al Ijmaliyah (Dalil Ijmali ) = adalah dalil-dalil global
(bukan dalil-dalil tafshili), seperti Al Qur`an, As Sunnah,
Ijma, dll.
2. Qawaid (Kaidah-Kaidah ), meliputi dua macam kaidah :
a. Qawaid Fiqhiyah (kaidah fiqih), seperti kaidah Maa laa
yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib.

1
b. Qawaid Ushuliyah (Kaidah Ushul Fiqih), seperti kaidah
al ashlu fi al kalaam al haqiqah dan kaidah al aam
yabqaa ala umuumihi maa lam yarid dalil at takhsis.
3. Al Ilmu (pengetahuan) = adalah terwujudnya malakah
(hushulul malakah) yaitu suatu pemahaman mendalam pada
diri seorang faqih.
4. Al amaliyah = maksudnya, yang berhubungan dengan
perbuatan manusia (lahaa alaqah bi amaal al ibad), spt
sholat, jual beli, jihad, nashbul khalifah (mengangkat
khalifah), dll.
5. Al Mustafaadah = maksudnya, yang diambil dengan istinbath
atau tanpa istinbath.
6. Adillah Tafshiiliyah (dalil-dalil terperinci) = maksudnya
dalil-dalil juzi (parsial), yaitu sebuah ayat atau hadits
tertentu, atau bagian dari ayat atau hadits tertentu.

Ushul fiqih intinya adalah suatu minhaj (metode) yang ditempuh


mujtahid untuk mengistinbath hukum dari sumber-sumber
hukum (dalil syara).

2
OBJEK KAJIAN (maudhuu) USHUL FIQIH

:
.1 :
: , ,
, , ,
.

.2 : ,
, ( ,
, )

.3 :
.

.4

3
(1) Dalil-dalil Ijmali, atau disebut juga Dalil Syara (sumber
hukum), seperti Al Qur`an, As Sunnah, Ijma Shahabat, dll,
dibahas dari segi kehujjahannya dan kedudukannya dalam
istidlal.
(2) Hukum Syara, dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti
pembahasan apa itu hukum syara, macam-macam hukum
syara, rukun hukum (hakim, mahkum alahi, mahkum fiihi)
(3) Dalalah lafazh (pengertian yang ditunjukkan dalil) dari Al
Qur`an dan As Sunnah, atau disebut juga Fahmu Dalil
(pemahaman terhadap dalil), spt manthuq, mafhum, umum,
khusus, mutlak, muqayyad, dsb.
(4) Ijtihad dan Taqlid, spt pembahasan ttg definisi, hukum, dan
syarat Ijtihad atau Taqlid. Juga pembahasan ttg Taadul dan
Tarajih.

4
PERBEDAAN USHUL FIQIH DAN FIQIH

TUJUAN BELAJAR USHUL FIQIH


1) Untuk menetapkan (itsbat) secara pasti (qathi) bahwa suatu
dalil ijmali (misal Al Qur`an dan As Sunnah) adalah benar-
benar wahyu dari Allah SWT. Dalil ijmali / dalil syari
termasuk masalah masalah ushul (aqidah) yang wajib
ditetapkan berdasarkan dalil qathi, bukan dalil zhanni. (Lihat
QS Yunus : 36, QS Al Isra` : 36 dan M. Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 20-21)
2) Bagi mujtahid : untuk menerapkan kaidah-kaidah ushul fiqih
pada dalil-dalil tafshili untuk mengistinbath hukum syara

5
yang mutlak diperlukan oleh kaum muslimin dalam
kehidupan mereka.

Ini tujuan yg amat mulia, karena akan membantu manusia


beribadah, sbg tujuan diciptakannya manusia oleh Allah
SWT (QS Adzariyat : 56), yang tak mungkin ibadah itu
terlaksana tanpa mengetahui hukum syara. (M. Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 20-21).

3) Bagi muqallid : untuk memahami kaidah-kaidah yang


digunakan oleh mujtahid dalam mengistinbath hukum syara
dari dalil syara.

Ini penting, karena di samping menjadi satu tahapan


kompetensi pra ijtihad, juga untuk memantapkan hati bahwa
para mujtahid terdahulu adalah ulama yang layak untuk
diikuti dan pendapat mereka adalah hukum syara yang sahih.
(Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, hlm. 30).

6
BAB II
SEJARAH USHUL FIQH

Pokok Pembahasan:
1. Imam Syafii Peletak Dasar Ushul Fiqih
2. Ushul Fiqih Sebelum Masa Imam Syafii
3. Ushul Fiqih Sesudah Masa Imam Syafii :
a. Metode Mutakallimin
b. Metode Fuqoha
4. Kitab-kitab Ushul Fiqih Terpenting

IMAM SYAFII PELETAK USHUL FIQIH


Imam Syafii hidup 150 204 H. Termasuk generasi Tabiit
Tabiin. Berguru kepada Imam Malik di Madinah dan bertemu
dengan murid-murid Imam Abu Hanifah (w. 150 H), seperti
Muhammad bin Al Hasan di Baghdad.

Imam Syafii disebut peletak dasar ilmu Ushul Fiqih. Mengapa?


Karena beliau ulama pertama yang menulis kitab Ushul Fiqih
secara sistematis, berjudul Ar Risalah. Imam Ibnu Khaldun
dalam kitabnya Muqaddimah hlm. 455 ketika membahas ilmu
ushul fiqih berkata :

7


...
Orang pertama yang menulis dalam bidang itu [ushul fiqih]
adalah As Syafii RA, di dalamnya beliau mendiktekan kitab Ar
Risalah yang terkenal, di dalamnya beliau bicara tentang amar
dan nahi, bayan, khabar (hadits), nasakh, dan hukum illat yang
disebut dalam nash dalam Qiyas (M Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 28)

USHUL FIQIH PRA IMAM SYAFII


Pada masa Rasulullah SAW, shahabat, dan tabiin, ilmu ushul
fiqih belum ada, atau setidaknya belum tertulis. Ijtihad oleh
shahabat di masa Rasulullah SAW, juga masa shahabat dan masa
tabiin, dilakukan secara alamiah. Karena mereka menguasai
bahasa Arab, sebagai bahasa Al Qur`an dan As Sunnah. (M
Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 26)

8
Pada awal abad kedua Hijriyah, seiring dengan futuhat dan
perluasan Daulah Islamiyah, banyak bangsa non Arab masuk
Islam (Romawi, Persia, India, Barbar, dll).
Akibat interaksi bangsa Arab dan non Arab itu, kemampuan
bahasa Arab di kalangan muslim Arab mulai melemah karena
pengaruh bahasa dan lahjah (dialek) bangsa non Arab.
Maka dirasakan ada kebutuhan untuk menetapkan kaidah
(qawaid) dan norma (dhawabith) bahasa Arab untuk
mengistinbath hukum dari Al Qur`an dan As Sunnah. (M Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 26)

Dari sekumpulan kaidah (qawaid) dan norma (dhawabith)


bahasa Arab itulah, maka terbentuk disiplin ilmu bernama :
USHUL FIQIH. Ulama pertama yang menghimpun berbagai
kaidah dan norma tersebut, konon adalah Imam Abu Yusuf,
shahabat Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebut oleh Ibnu
Nadiim dalam kitabnya Al Fihris. (Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Al Fiqh, hlm. 17). Tapi sayang kitab beliau tidak sampai
kpd kita. Kitab pertama ttg ushul fiqih yang sampai kepada kita
adalah Ar Risalah karya Imam Syafii. (M Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 27)

9
USHUL FIQIH PASCA IMAM SYAFII
Meski Imam Syafii adalah penulis kitab ushul fiqih pertama,
tapi kitab ini belumlah sempurna dan menyeluruh. (M Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 28). Karena itu, para
ulama ada yang mendukung kitab Ar Risalah, ada yang
menambahkan kaidah-kaidah baru, dan ada yang menyalahi
kaidah2 yang dibuat Imam Syafii. Setelah berkembangnya
mazhab-mazhab fiqih, mereka mempunyai sikap masing-masing
terhadap kitab Ar Risalah.

SIKAP MAZHAB SYAFII


Mereka mendukung kitab Ar Risalah dan membuat berbagai
syarah (penjelasan / uraian) dari kitab Ar Risalah.
Mereka itu misalnya :
(1) Abu Bakar Muhammad As Shairafi (w. 330 H).
(2) Abu Muhammad Al Qaffaal As Syaasyi (w. 365)
(3) Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf Al Juwaini (w. 438).

SIKAP MAZHAB HANAFI


Mereka menambahkan dua dalil ijmali (sumber hukum) yaitu Al
Istihsan dan Urf.

10
Dua dalil ijmali itu menambah dalil-dalil ijmali dalam kitab Ar
Risalah yang terbatas pada empat saja : Al Qur`an, As Sunnah,
Ijma, dan Qiyas. Kitab ushul fiqih yang awal, misalnya Risalah
Al Karkhiy, karya Imam Al Karkhiy (w. 340 H). Juga kitab
Ushul Al Jashshash, karya Imam Al Jashshash (w. 370 H).

SIKAP MAZHAB MALIKI


Mereka menambahkan tiga dalil ijmali (sumber hukum) yaitu
Ijma Ahlil Madinah, Al Istihsan, dan Al Mashalih Al Mursalah.
Imam Syafii tidak setuju dengan tiga dalil ijmali tersebut.
Ulama Malikiyah juga memperluas pembahasan Saddudz
Dzaraa`i. Kitab ushul fiqih mazhab Maliki misalnya : At Tarif
wal Irsyad fi Tartib Thuruqil Ijtihad Karya Imam Qadhi Baqilani
(w. 403 H).

SIKAP MAZHAB HAMBALI


Mereka mengikuti pendapat Imam SyafiI, namun ada sedikit
perbedaan khususnya masalah Ijma. Imam Ahmad bin Hanbal
hanya mengambil Ijma Shahabat sebagai dalil syari. Sementara
Imam Syafii mengambil Ijma Mujtahidin Umat Islam. (lebih
umum). Namun ulama Hanabilah pasca Imam Ahmad ada yang
mengambil Ijma Mujtahidin Umat seperti pendapat Imam

11
Syafii. Misalnya : Imam Ibnu Qudamah (w. 630 H) dalam
kitabnya Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir.

SIKAP MAZHAB ZHAHIRI


Mereka tidak mengakui Qiyas, dan hanya berpegang dengan
zhahir nash. Pendiri mazhab Zhahiri adalah Imam Dawud Az
Zhahiri (w. 270 H). Ulama mazhab Zhahiri yang terkenal adalah
Imam Ibnu Hazm (w. 456 H), dengan karyanya Al Muhalla.

SIKAP MAZHAB SYIAH


Mereka menolak Qiyas, menolak hadits yang bertentangan dgn
paham mereka ttg Khilafah / Imamah, hanya mengakui ijtihad
imam2 mereka. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushu;l Al
Fiqh, hlm. 31).

DALAM PENYUSUNAN ILMU USHUL FIQIH, PARA


ULAMA MENEMPUH DUA METODE (THARIQAH) :

A. METODE MUTAKALLIMIN
Mutakallimin adalah istilah untuk menyebut ulama yang
menggunakan dalil akal untuk menetapkan ushuluddin (aqidah /
keimanan). Metode mutakallimin dalam ushul fiqih, adalah

12
menetapkan kaidah-kaidah (qawaid) ushul fiqih secara murni
lebih dahulu, tanpa terpengaruh oleh furu (hukum fiqih).
Substansi metode: qawaid mendahului furu (induk
mendahului cabang / anak). Contoh : ada satu qaidah ushuliyah
berbunyi Ijma Ahli Madinah bukanlah hujjah (dalil syara).
Kaidah tersebut ditetapkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya
Raudhatun Nazhir berdasarkan burhan (bukti) akal, misalnya :
(1) Bahwa penduduk Madinah tidak semuanya mendengar hadits
Nabi SAW.
(2) Bahwa Makkah lebih utama dari Madinah, tapi toh tidak ada
Ijma Ahli Makkah. Lihat M Husain Abdullah, Al Wadhih fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 33.
Metode mutakallimin dirintis oleh Imam Syafii dan
dilanjutkan oleh ulama-ulama pengikutnya selanjutnya. Yang
menggunakan metode mutakallimin antara lain ulama mazhab
Syafii, Maliki, dan Hambali. Ulama mazhab Hanafi
menggunakan metode lain, yaitu metode fuqoha.

B. METODE FUQOHA
Metode Fuqoha dalam ushul fiqih, adalah menetapkan kaidah-
kaidah (qawaid) ushul fiqih dengan dipengaruhi oleh furu
(hukum fiqih) yang sudah ada lebih dahulu. Substansi metode :

13
furu mendahului qawaid (cabang / anak mendahului induk).
Metode digunakan oleh para ulama pengikut Imam Abu Hanifah.
Contoh : ada satu qaidah ushuliyah berbunyi Al Ibrah bi
umumil lafzhi laa bi khusus as sababi. Artinya : yang menjadi
patokan adalah keumuman lafazh bukan kekhususan sebab.
Kaidah tersebut disimpulkan dari furu, yaitu hukum-hukum
fiqih yang sudah ada. Hukum2 tsb diamalkan oleh para shahabat
dan tabiin.
Hukum-hukum tersebut antara lain :
(1) Keumuman hukum sucinya kulit bangkai yang disamak,
meski sababul wurudnya adalah bangkai kambing milik
Maimunah.
(2) Keumuman hukum potong tangan bagi pencuri (QS 5:38),
meski sababun nuzulnya adalah tentang pencurian baju
milik Shofwan.
(3) Keumuman hukum lian antara suami isteri (QS 24 : 5-9),
meski sababun nuzulnya adalah tentang kasus lian Hilal
bin Umayyah.
Hukum-hukum furu tersebut, ternyata penerapannya tidak hanya
pada sebabnya yang khusus (sababun nuzul ayat atau sababul
wurud hadits), melainkan diterapkan secara umum pada kasus

14
lainnya. Dari hukum-hukum furu itulah disimpulkan kaidah
ushul Al Ibrah biumumil lafzhi dst.

KITAB USHUL FIQIH TERPENTING


Metode mutakallimin.
(1) Kitab Al Mutamad karya Abul Hasan Al Bashri (w. 463 H)
(2) Kitab Al Burhan karya Imam Al Haramain Al Juwaini (w.
487 H)
(3) Kitab Al Mustashfa karya Imam Ghazali (w. 505 H).
(4) Kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam karya Imam Al Amidi (w.
631 H), menghimpun 3 kitab sebelumnya.

Metode Fuqoha.
(1) Kitab Risalah Al Karkhi karya Imam Al Karkhi (w. 340 H)
(2) Kitab Ushul Al Jashshash karya Imam Al Jashshash (w. 370
H)
(3) Kitab Ushulul Sarakhsi karya Imam Sarakhsi (w. 483 H).
(4) Kitab Ushul Al Bazdawi karya Imam Al Bazdawi (w. 482 H).

15
BAB III
HUKUM SYARA

Pokok Pembahasan:
1. Pengertian Hukum Syara
2. Hukum Taklifi dan Hukum Wadhi
3. Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum Wadhi
4. Tiga Rukun Hukum Syara :
a. Al Hakim,
b. Mahkum alaihi (Mukallaf),
c. Mahkum fiihi.

DEFINISI HUKUM SYARA


Kata al hukmu menurut bahasa, artinya al manu, yakni
mencegah. Misalnya ungkapan :


Hakama al hishan, seseorang menghukum kuda, artinya, dia
mencegah kuda itu dari lari. M. Husain Abdullah, Al Wadhif fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 219; Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al
Islami, 1/37

16
Hukum syara menurut istilah ulama ushul fiqih :

:
.
Hukum syara adalah seruan / firman dari As Syari (Allah
sebagai Pembuat Hukum) yang terkait dengan perbuatan-
perbuatan hamba, baik berupa tuntutan, pemberian pilihan, atau
penetapan sesuatu sebagai pengatur hukum. (M. Husain
Abdullah, Al Wadhif fi Ushul Al Fiqh, hlm. 219; Atha bin Khalil,
Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 9)

Definisi lain :

:
.
Hukum syara adalah seruan / firman dari Allah yang terkait
dengan perbuatan-perbuatan para mukallaf, baik berupa tuntutan,
pemberian pilihan, atau penetapan sesuatu sebagai pengatur
hokum.
(Lihat: Wahbah Az Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz I hlm.
38.)

17
Penjelasan definisi :

: .

:
( )

:
.

: .

: - .

:


.
: 11 9
221

18
HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADHI
Dari definisi hukum syara yang terpilih, yaitu :

:
.
Maka hukum syara itu ada dua bagian :
Pertama, hukum taklifi, yaitu hukum untuk mengatur perbuatan
manusia, dengan hukum berupa tuntutan (thalab) dan pemberian
pilihan (takhyir).
Kedua, hukum wadhi, yaitu hukum untuk mengatur hukum
taklifi itu.

Hukum taklifi, meliputi :


(1) Tuntutan tegas (thalab jazim), yaitu haram dan wajib.
(2) Tuntutan tidak tegas (thalab ghairu jazim), yaitu sunnah
(mandub) dan makruh.
(3) Pemberian pilihan (takhyir), yaitu mubah.

Hukum wadhi, meliputi sebab, syarat, mani, azimah rukhsah,


serta sah batal fasad.

(Lihat: Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 9)

19
PERBEDAAN HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADHI
Terdapat dua perbedaan utama :
(1) Hukum taklifi merupakan hukum yang langsung mengatur
perbuatan manusia, contoh : sholat hukumnya wajib (hukum
taklifi). Sedang hukum wadhi, hukum yang mengatur
perbuatan manusia secara tidak langsung, contoh : Wudhu
adalah syarat sholat (hukum wadhi)
(2) Hukum taklifi berada dalam kuasa mukallaf (maqdur lil
mukallaf), misalnya: wudhu sebagai syarat sholat, mencuri
sebagai sebab hukum potong tangan, dll. Sedang hukum
wadhi, kadang dalam kuasa mukallaf seperti wudhu sbg
syarat sholat dan kadang tidak berada dalam kuasa manusia
seperti tergelincirnya matahari sebagai sebab sholat zhuhur
(QS Al Isra` : 78). (Lihat: M. Husain Abdullah, Al Wadhif fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 249-250).

PENGERTIAN RUKUN-RUKUN HUKUM SYARA


Yang dimaksud pembahasan Rukun-Rukun Hukum Syara
(Arkan al hukm as syari) adalah pembahasan tentang :
(1) Al Haakim, yaitu siapa yang berhak membuat hukum;
apakah Allah SWT ataukah manusia?

20
(2) Al Mahkum alaihi, yaitu membahas siapa yang menjadi
objek hukum (mukallaf).
(3) Al Mahkum fiihi, yaitu membahas apa yang dihukumi
(perbuatan manusia).

AL HAAKIM
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul, bahwa
al haakim hanyalah Allah SWT, bukan manusia.
Note : inilah perbedaan mendasar Islam dengan demokrasi, yang
menetapkan manusia sebagai pembuat hukum. Itulah yang
disebut prinsip kedaulatan di tangan rakyat (the soreignty
belongs to the people). Prinsip ini bertentangan dengan Aqidah
Islam (QS Al Anaam : 57).

Para ulama menetapkan bahwa al haakim hanyalah Allah SWT,


berdasarkan dua dalil :
Pertama, dalil akli, yaitu pembuktian berdasarkan akal bahwa
manusia tidak mungkin mampu menetapkan hukum untuk
mengatur manusia itu sendiri.
Kedua, dalil naqli, yaitu dalil-dalil nash Al Qur`an atau As
Sunnah yang mewajibkan manusia berhukum dengan hukum

21
Allah, atau yang mengharamkan manusia berhukum dengan
selain hukum Allah.
Bahwasanya manusia mempunyai jangkauan akal yang
terbatas. Akal manusia hanya mampu menjangkau fakta yang
dapat diindera (al waqi al mahsus). Definisi akal: Proses
pemindahan penginderaan terhadap fakta ke dalam otak melalui
panca indera, yang kemudian ditafsirkan dengan pengetahuan
sebelumnya. (Lihat kitab At Tafkir karya Taqiyuddin An
Nabhani). Berdasarkan definisi itu, maka akal manusia tidak
mungkin menjangkau suatu perbuatan dipuji Allah atau dicela
Allah. Bahwa sholat itu dipuji Allah, tidak dapat dijangkau oleh
akal manusia. Bahwa zina itu dicela Allah, juga tidak dapat
dijangkau oleh akal manusia. Pujian dan celaan Allah hanya
dapat diketahui lewat wahyu, tak mungkin diketahui oleh akal
secara langsung.
Banyak sekali nash Al Qur`an atau As Sunnah yang
mewajibkan manusia berhukum dengan hukum Allah, atau yang
mengharamkan manusia berhukum dengan selain hukum Allah.
QS An Nisaa` : 59, 65; An Nuur : 63, QS Al Anaam : 57; dll.
Sabda Rasulullah SAW, Barangsiapa melakukan perbuatan
yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu
tertolak. (HR Muslim).

22
AL MAHKUM ALAIHI
Mahkum alaihi adalah : orang yang perbuatannya terkait dengan
Khitaabus Syaari. Disebut dengan istilah : mukallaf. Mukallaf
sesungguhnya adalah seluruh manusia. Sebab Islam (baik aqidah
maupun syariahnya) adalah risalah untuk seluruh manusia tanpa
kecuali. Lihat QS Al Araaf : 158; Saba` : 28.

Syarat Mukallaf ada dua :


(1) Syarat umum mukallaf, maksudnya tidak ada bedanya untuk
muslim mapun kafir, yaitu ada 3 syarat : berakal, baligh, dan
mampu.
(2) Syarat khusus mukallaf, yaitu keislaman seseorang, missal:
untuk perbuatan-perbuatan tertentu yang ditetapkan syara ,
spt shalat, dll.

AL MAHKUM FIHI
Mahkum fiihi adalah : apa-apa yang terkait dengan Khithaabus
Syari. Apa-apa yang terkait dengan Khitaabus Syari adalah :
perbuatan manusia. (afaal). Juga benda-benda yang digunakan
manusia dalam memenuhi kebutuhannya (asy-yaa`).

23
BAB IV
HUKUM TAKLIFI

POKOK BAHASAN
(1) MACAM-MACAM HUKUM TAKLIFI :
Definisi 5 macam Hukum Taklifi dan Contohnya
Catatan Tentang Wajib, Mandub, Mubah, Makruh,
Haram
(2) QARINAH DAN MACAM-MACAMNYA :
Pengertian Qarinah
Macam-macam Qarinah

DEFINISI LIMA MACAM HUKUM TAKLIFI

) ( .1
:
) ( .2

:

24
) (.3
: .
.4
:
.5
:
(M. Husain Abdullah, Al Wadhif fi Ushul Al Fiqh, hlm. 221)

CATATAN TENTANG WAJIB


1) Wajib dan Fardhu menurut jumhur ulama (selain ulama
mazhab Hanafi) artinya sama. Menurut ulama Hanafiyah,
fardhu adalah apa-apa yang ditetapkan berdasarkan dalil
qathi (qathi tsubut dan qathi dalalah), seperti zakat.
Sedangkan wajib, adalah apa-apa yang ditetapkan
berdasarkan dalil zhanni, seperti zakat fitrah.

2) Wajib atau Fardhu dapat juga didefinisikan apa-apa yang


diberi pahala atau dipuji bagi yang melaksanakannya dan
yang akan disiksa dan dicela bagi yang meninggalkannya.

25
3) Macam-macam wajib menurut waktu pelaksanaannya :
Wajib mutlak = waktunya tidak tertentu. Misal : membayar
kaffarah atau nadzar yang bersifat mutlak, mengqadha puasa
Ramadhan (menurut Hanafiyah). Wajib muqayyad=waktunya
sudah tertentu, misal : sholat lima waktu, puasa Ramadhan,
dsb. Wajib muqayyad dibagi lagi menjadi dua:
a. Wajib muwassa = yaitu kewajiban pada waktu tertentu
tapi masih memungkinkan mengerjakan yang semisalnya,
misal sholat zhuhur.
b. Wajib mudhayyaq = kewajiban pada waktu tertentu tapi
tidak memungkinkan mengerjakan yang semisalnya,
misal puasa Ramadhan

4) Pembagian wajib berdasarkan tertentu tidaknya kewajiban:


Wajib muayyan = yaitu kewajiban yang sudah tertentu dan
tak bisa digantikan yang lain, misal ; sholat lima waktu, tak
bisa digantikan dengan qiraatul Qur`an. Wajib mukhayyar
atau wajib ghair muayyan = yaitu kewajiban yang tidak
tertentu dan bisa digantikan yang lain, misal : kaffarah
melanggar sumpah (QS Al Maidah : 89).

26
5) Pembagian wajib berdasarkan mukallaf pelakunya :
Wajib ain = yaitu kewajiban yang berlaku untuk setiap
mukallaf, bukan sebagian saja dari mukallaf, misal ; sholat
lima waktu, puasa ramadhan, dll. Wajib kifayah = yaitu
kewajiban yang jika sudah dilaksanakan oleh sebagian, gugur
kewajiban sebagian lainnya yang tidak mengerjakan, misal :
sholat jenazah.

6) Pembagian wajib berdasarkan penetapan kadarnya :


Wajib muhaddadul miqdar = yaitu kewajiban yang sudah
ditetapkan kadarnya atau ukurannya, misalnya sholat lima
waktu, sudah ditetapkan jumlah rekaatnya, dll. Wajib ghair
muhaddad al miqdar = yaitu kewajiban yang tidak ditetapkan
kadarnya atau ukurannya, misal : infaq fi sabilillah (jihad),
kadar nafkah.

Kaidah : Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa waajib.


Artinya : sesuatu dapat menjadi wajib jika tanpa sesuatu itu akan
mengakibatkan suatu kewajiban tidak terlaksana. Misal : belajar
bahasa Arab wajib, karena tak mungkin memahami Al Qur`an
dengan sempurna kecuali dengan bahasa Arab.

27
Misal : menegakkan Khilafah wajib, karena tak mungkin
menerapkan syariah secara kaffah kecuali dalam negara
Khilafah.

CATATAN TENTANG MANDUB


Mandub dapat juga didefinisikan apa-apa yang pelakunya dipuji
dan diberi pahala dan tidak dicela bagi yang tidak melakukannya.
Istilah lain dari mandub : sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu.
Walaupun tidak wajib, tapi muslim dianjurkan memperbanyak
yang mandub. Hikmah mengerjakan yang mandub, atara lain
menghapus dosa (QS Huud : 114).

Ada kalanya suatu perbuatan mandub bagi orang per orang, tapi
wajib bagi umat secara keseluruhan, seperti nikah.

CATATAN TENTANG HARAM


Haram dapat juga didefinisikan apa-apa yang pelakunya dicela
dan berhak mendapat siksa serta bagi yang meninggalkannya
mendapat pahala. Istilah lain dari haram : mahzhuur, atau hazhar.
Pembagian haram :
(1) Haram li dzatihi : yaitu haram pada sesuatu itu sendiri,
seperti zina, minum khamr.

28
(2) Haram li ghairihi : yaitu haram bukan pada dirinya sendiri,
tapi karena ada illat syariyah yang mengharamkannya.
Misal : jual beli saat adzan jumat.

Kaidah : al Wasilah ila al harami haram.


Artinya : segala perantaraan, baik berupa perbuatan atau benda,
yang hukum asalnya tidak haram, menjadi haram jika diduga
kuat akan mengantarkan kepada yg haram, misal : menyewakan
kamar bagi PSK, menjual anggur bagi pembuat khamr, dll.

CATATAN TENTANG MAKRUH


Makruh merupakan perbuatan yang jika ditinggalkan akan
mendapat pahala dan tidak disiksa jika dikerjakan. Contoh :
idhoatul maal (boros).
Menurut ulama Hanafiyah, makruh ada dua :
(1) Makruh tahriim = yaitu makruh yang pelakunya berhak
mendapat siksa.
(2) Makruh tanziih = yaitu makruh yang pelakunya tidak
mendapat siksa.
Jumhur ulama menetapkan bahwa perbuatan yang berhak
mendapat siksa lebih tepat digolongkan kepada haram, bukan
makruh.

29
CATATAN TENTANG MUBAH
Mubah itu bukan berarti sesuatu yang tidak ada dalilnya,
melainkan ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu
mubah. Kaidah tentang benda berbunyi : al Ashlu fil asy-yaa` al
ibaahah maa lam yarid dalil at tahrim. Artinya : Hukum asal
mengenai benda-benda adalah boleh, selama tak terdapat dalil
yang mengharamkan.

Kaidah tentang perbuatan berbunyi : al Ashlu fil afaal at


taqayyudu bil hukmis syari. Artinya : hukum asal perbuatan
adalah terikat dengan hukum syara. Maksud dari kaidah ini,
bahwa setiap perbuatan manusia pasti ada hukumnya dalam
syariah Islam Sehingga tidak boleh seorang muslim melakukan
suatu perbuatan, kecuali setelah dia mengetahui hukumnya,
apakah itu wajib, mandub, mubah, makruh, atau haram. Tanda
mengamalkan kaidah tersebut, adalah bertanya hukum sebelum
berbuat.

30
PENGERTIAN QARINAH

Qarinah ( )dalam bahasa Arab berasal dari kata qarana,

yang artinya jamaa (menggabungkan atau mengumpulkan) atau


shaahaba (membarengi atau membersamai). Jadi qarinah
menurut pengertian bahasa Arab artinya adalah sesuatu yang
berkumpul atau membarengi sesuatu yang lain. (Atha bin
Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19; Nazar Maruf
Muhammad Jan Bantan, Al Qara`in wa Ahammiyatuhaa fi Bayan
Al Murad min Al Khithab Inda Al Ushuliyyin wa Al Fuqoha,
klm. 31-32).

Adapun menurut istilah ushul fiqih, qarinah adalah setiap apa-


apa yang memperjelas jenis tuntutan dan menentukan makna
tuntutan itu jika dia digabungkan atau dibarengkan dengan

tuntutan tersebut (
) . (Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al

Ushul, hlm. 19).

Qarinah ini tak dapat dilepaskan dari kaidah ushul fiqih (qaidah
ushuliyah) yang berbunyi : al ashlu fi mana al amr at thalab
(asal dari makna perintah adalah tuntutan). Artinya, jika terdapat

31
perintah (amr) dalam Al Qur`an atau As Sunnah, maka
pengertian dasar dari amr itu adalah tuntutan (thalab). Yang
menentukan jenis amr itu, apakah berupa amr yang jazm (tegas),
atau amr yang ghair jazm (tidak tegas), atau amr yang berupa
takhyir (piliihan), adalah qarinah .(Atha bin Khalil, Taysir
Wushul Ila Al Ushul, hlm. 13).

MACAM-MACAM QARINAH
Menurut Syaikh Atha bin Khalil dalam kitab beliau, Taysir
Wushul Ila Al Ushul terdapat 3 (tiga) macam qarinah, yaitu :
1. Qarinah yang menunjukkan jazim (hukum tegas), baik yang
menunjukkan hukum haram maupun hukum wajib.
2. Qarinah yang menunjukkan ghair jazim (hukum tidak tegas),
baik yang menunjukkan hukum mandub (sunnah) maupun
hukum makruh.
3. Qarinah yang menunjukkan istiwa` (hukum mubah), yaitu
qarinah yang menunjukkan kesamaan antara tuntutan
mengerjakan dengan tuntutan meninggalkan perbuatan.
(Atha bin Khalil, Taysir Wushul Ila Al Ushul, hlm. 19-28).

32
QARINAH YANG MENUNJUKKAN JAZIM
Qarinah yang menunjukkan jazm adalah qarinah yang
menunjukkan hukum wajib atau haram. Qarinah ini banyak
bentuknya. Antara lain adanya siksaan/hukuman di dunia atau di
akhirat, atau yang semakna dengan itu misalnya celaan keras,
terhadap suatu perbuatan yang dikerjakan, ataupun perbuatan
yang tidak dikerjakan.

CONTOH 1 : Qarinah yang menjelaskan adanya hukuman untuk


perbuatan yang dikerjakan, misalnya hukum potong tangan bagi
pencuri. Adanya hukuman yang berat untuk perbuatan mencuri
ini, merupakan qarinah bahwa perbuatan mencuri itu hukumnya
haram. Firman Allah SWT :





Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al Maidah [5] : 38).

33
CONTOH 2 : Qarinah yang menjelaskan adanya hukuman untuk
perbuatan yang tidak dikerjakan, misalnya siksaan di neraka
Saqar bagi orang yang tidak sholat. Adanya ancaman siksaan
ini, merupakan qarinah bahwa mengerjakan sholat hukumnya

wajib. Misalkan firman Allah SWT ( ) (QS An

Nuur : 56). Ini adalah tuntutan (thalab) kepada muslim untuk


sholat. Tuntutan ini ternyata disertai qarinah-qarinah yang
bersifat jazm (tegas), yaitu adanya ancaman siksa neraka bagi
yang tak sholat. Ini berarti sholat itu hukumnya wajib.
Qarinah itu antara lain firman Allah SWT :


Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?
Mereka menjawab,Kami dulu tidak termasuk orang-orang yang
mengerjakan shalat. (QS Al Muddatstsir [74] : 42-43).

CONTOH 3 : Qarinah yang berupa celaan yang keras terhadap


perbuatan yang tidak dilakukan. Misalnya predikat mati jahiliyah
bagi yang tidak mempunyai baiat kepada khalifah. Qarinah ini
menunjukkan bahwa baiat kepada seorang khalifah hukumnya
wajib. Sabda Rasulullah SAW :


34
Barangsiapa mati sedang di lehernya tidak ada baiat (kepada
seorang imam / khalifah) maka matinya mati jahiliyah. (HR
Muslim).

CONTOH 4 : Qarinah yang berupa celaan yang keras terhadap


perbuatan yang dilakukan, misal firman Allah SWT :


Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
(QS Al Isra` [17] : 32).
Ayat tersebut mengandung tuntutan (thalab), yaitu tuntutan
untuk meninggalkan perbuatan zina (wa laa taqrabuz zina). Pada
nash yg sama, terdapat qarinah berupa celaan keras bagi yg
berzina, maka zina hukumnya haram (innahu kaana fahisyatan
wa saa`a sabiila).

QARINAH YANG MENUNJUKKAN TIDAK JAZIM


Qarinah yang menunjukkan tidak jazim adalah qarinah yang
menunjukkan hukum mandub (sunnah) atau makruh. Qarinah ini
juga banyak bentuknya. Antara lain, adanya nash yang
menunjukkan tarjih, yaitu melakukannya lebih dikuatkan

35
daripada tak melakukannya, tetapi kosong dari qarinah-qarinah
yang menunjukkan jazm.
CONTOH 1 : Misal sabda Rasulullah SAW :


Senyummu di hadapan saudaramu, adalah sedekah. (HR
Tirmidzi).
Hadits tersebut menunjukkan adanya tarjih, yaitu
tersenyum itu lebih dikuatkan daripada tidak tersenyum, karena
ada pujian bahwa senyum kepada sesama muslim itu adalah
sedekah. Tapi nash ini tidak disertai qarinah yang menunjukkan
jazm, misalnya yang tidak tersenyum akan mati jahiliyah, atau
dianggap melakukan perbuatan keji, dsb. Maka tersenyum pada
saat berjumpa dengan sesama muslim hukumnya adalah sunnah
(mandub), bukan wajib.

Bentuk qarinah ghairu jazm lainnya adalah adanya larangan, tapi


masih ada toleransi bagi yang melakukannya.

CONTOH 2 : sabda Nabi SAW :

36
Barangsiapa sudah mampu menikah tapi dia tidak menikah,
maka dia tidak termasuk golongan kami. (HR Bukhari, Muslim,
dll)
Hadits tersebut berisi tuntutan untuk meninggalkan hidup
membujang bagi yang sudah mampu menikah. Sebab Nabi SAW
memberi predikat orang seperti itu sebagai orang yang bukan
golongan kami. Tapi Nabi SAW telah membiarkan sebagian
shahabatnya tidak menikah, padahal sudah mampu menikah.
Diamnya Nabi SAW ini merupakan qarinah bahwa larangan
hidup membujang bagi yang sudah mampu menikah adalah
larangan makruh, bukan larangan haram.

CONTOH 3 : terdapat larangan berobat dengan sesuatu yang


najis atau haram, sabda nabi SAW :



"Sesungguhnya Allah-lah yang menurunkan penyakit dan
obatnya, dan Dia menjadikan obat bagi setiap-tiap penyakit.
Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan
sesuatu yang haram." (HR Abu Dawud, no 3376).

37
Tapi Nabi SAW membolehkan orang-orang suku 'Ukl dan
Urainah yang sakit untuk meminum air susu unta dan air kencing
unta. (Sahih Bukhari, no 226). Dalam Musnad Imam Ahmad,
Nabi SAW pernah memberi rukhshash (keringanan) kepada
Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam untuk
mengenakan sutera karena keduanya menderita penyakit kulit.
(HR Ahmad, no. 13178). Kedua hadis ini adalah qarinah, bahwa
berobat dengan sesuatu yang najis (spt air kencing unta), dan
sesuatu yang haram (spt sutera) bukanlah haram, melainkan
makruh.

QARINAH YANG MENUNJUKKAN ISTIWA` (MUBAH)


Qarinah yang menunjukkan istiwa, adalah qarinah yang
menunjukkan kedudukan yang sama (istiwa`) antara
mengerjakan dan tidak mengerjakan. Dengan kata lain, qarinah
yang menunjukkan istiwa` adalah qarinah yang menunjukkan
MUBAH.
Qarinah ini banyak bentuknya. Misalnya adanya perintah
setelah larangan, yang dirumuskan dalam kaidah ushuliyah yang
berbunyi Al Amru bada an nahyi yufiidul ibaahah (perintah
setelah larangan menunjukkan hukum mubah).

38
Misalnya perintah berburu binatang setelah adanya larangan
berburu bagi yang berihram, jika jamaah haji sudah melakukan
tahallul. Allah SWT berfirman :


Dan apabila kamu sudah menyelesaikan ibadah haji
(bertahallul), maka berburulah. (QS Al Maaidah [5] : 2).
Perintah untuk berburu ini bukanlah berarti perintah
wajib, namun sekedar kebolehan berburu. karena sebelum selesai
beribadah haji, jamaah haji diharamkan untuk berburu. Yang
semisal itu adalah perintah untuk bertebaran di muka bumi
(intisyar fi al ardhi), seperti berjual beli (QS Al Jumuah : 10),
setelah sebelumnya ada larangan jual beli pada saat sholat Jumat
(QS Al Jumuah : 9). Perintah itu bukan berarti perintah wajib,
melainkan sekedar boleh.
Seperti itu pula adalah perintah untuk menggauli isteri
setelah isteri selesai dari haid (QS Al Baqarah : 222), setelah
sebelumnya ada larangan menggauli isteri pada saat haid (QS Al
Baqarah : 222). Perintah untuk menggauli isteri pasca haid juga
bukan perintah wajib atas suami, melainkan sekedar boleh.

39
BAB V
HUKUM WADHI

POKOK BAHASAN
Macam-Macam Hukum Wadhi
(a) Sebab
(b) Syarat
(c) Mani
(d) Azimah & Rukhshah
(e) Sah, Batal, Fasad

PENGERTIAN HUKUM WADHI

. :
.
Definisinya : hukum di mana as Syari (Allah SWT Sebagai
Pembuat Hukum) telah mengaitkan dua perkara di dalam satu
hukum. Artinya, hukum wadhi adalah hukum-hukum yang
mengatur hukum. (Tasbit Al Khawaja, Al Hukmus Syari,
Aqsamuhu wa Mashadiruhu, hlm. 16.)

40
DEFINISI SEBAB



.
Sebab adalah sifat yg jelas dan konsisten yg ditunjukkan oleh
dalil sami bhw sifat itu adalah tanda atau pengenal adanya
hukum (bukan tanda disyariatkannya hukum). Keberadaan sebab
memastikan adanya musabab (akibat hukum), dan tiadanya sebab
memastikan tiadanya musabab.

.
Atau ringkasnya, sebab itu adalah tanda akan adanya suatu
hukum syara. Contoh :
(1) Sebab adanya sholat zhuhur, adalah tergelincirnya matahari
(dulukis syamsi). (QS 17 : 78)
(2) Sebab adanya puasa Ramadhan adalah rukyatul hilal
(menyaksikan bulan sabit). (HR Muslim dll)

TANBIH (WARNING) : Tanda (dalil) wajibnya sholat/puasa


BUKAN tanda adanya sholat/puasa.

41
CONTOH SEBAB
Contoh-contoh sebab dan musabab (akibat hukumnya) :

DEFINISI SYARAT


.
Syarat adalah perkara yang kepadanya bergantung hukum.
Ketiadaan syarat memastikan ketiadaan hukum, tapi keberadaan
syarat tidak memastikan keberadaan hokum, missal : wudhu
adalah syarat sholat, tanpa wudhu tak akan ada sholat tapi adanya
wudhu tak memastikan adanya sholat. Contoh syarat dan
masyruuth (hukum yang memerlukan syarat itu) sebagai berikut:

42
DEFINISI MANI


.
Mani adalah apa-apa yang keberadaannya memastikan tiadanya
hukum, atau memastikan batalnya sebab. Mani adalah kebalikan
dari sebab. Contoh : haid dan nifas adalah mani dilakukannya
sholat bagi wanita. Hilangnya akal (tidur / gila) adalah mani
dilakukannya sholat, puasa, dll.

MACAM-MACAM MANI
Mani ada 2 (dua) macam :
(1) Mani yang tidak dapat bertemu dengan tholab (tuntutan
untuk melaksanakan suatu hukum syara). Disebut mani min

43
ath thalab wa al ada`. Artinya, mencegah dari tuntutan dan
pelaksanaan hukum. Contohnya adalah haid & nifas adalah
mani dilakukannya sholat bagi wanita. Artinya, pada saat
sedang haid atau nifas, wanita haram untuk sholat.
(2) Mani yang dapat bertemu dengan tholab (tuntutan untuk
melaksanakan suatu hukum syara). Disebut mani min ath
thalab laa min al ada`. Artinya, mencegah dari tuntutan, tapi
tak mencegah pelaksanaan hukum. Contohnya, keadaan jenis
kelamin perempuan adalah mani (pencegah) dilakukannya
sholat Jumat bagi wanita. Tapi kalau wanita mau sholat
Jumat, sah dan tidak dilarang. Contoh lain : kondisi belum
baligh terkait kewajiban sholat dan puasa.

CONTOH MANI

44
DEFINISI AZIMAH

:
.

.
Azimah adalah hukum syara yg disyariatkan scr umum dan
mewajibkan seorang hamba utk melaksanakannya, artinya,
azimah adalah apa yang disyaratkan Allah sbg hukum asal
berupa hukum umum yang tidak dikhususkan untuk kondisi
tertentu atau untuk mukallaf tertentu. Artinya, azimah adalah
hukum umum atau hukum asal.

DEFINISI RUKHSAH


:
. .
.
Rukhsah adalah hukum syara yg disyariatkan untuk
meringankan azimah karena suatu udzur (alasan) disertai
tetapnya hukum azimah. Tidak mewajibkan hamba untuk

45
melaksanakannya. Artinya, rukhsah adalah hukum yang
disyariatkan Allah sebagai keringanan bagi mukallaf dalam
kondisi-kondisi yang khusus.

CONTOH AZIMAH & RUKHSAH

DEFINISI SAH

.
.
.
Sah adalah sesuai dengan perintah as Syaari (Allah SWT). Sah
digunakan untuk menyebut akibat suatu perbuatan di dunia,
(lepas dari tuntutan peradilan). Juga digunakan untuk menyebut
akibat suatu perbuatan di akhirat (pahala). Contoh : sholat yg

46
sah, artinya pelakunya lepas dari tanggungan dan tak dapat
diadili (akibat dunia) dan ada harapan pahala (akibat akhirat)

DEFINISI BATAL


.
.
.

Batal adalah lawan dari sah, yaitu tidak sesuai dengan perintah as
Syari (Allah SWT). Batal digunakan untuk menyebut tiadanya
akibat suatu perbuatan di dunia, (lepas dari tuntutan peradilan)
Juga digunakan untuk menyebut akibat perbuatan di akhirat
(azab). Contoh : sholat yg tak memenuhi rukunnya disebut batal,
artinya pelakunya tak lepas dari tanggungan dan dapat diadili
(akibat dunia) dan tiada harapan pahala (akibat akhirat)

DEFINISI FASAD


.
47
Fasad adalah kondisi perbuatan yang pada asalnya sesuai syara,
tapi sifat dari perbuatan itu (di luar rukun dan syarat) membuat
cacat perbuatan asal tersebut, yaitu menyimpang dari perintah as
syaari. Fasad hanya ada pada muamalat, sedang dalam ibadah
yang ada hanya sah dan batal saja. Contohnya : orang kota
berjual beli dengan orang dusun yang tidak mengetahui harga
kota. Jual belinya secara asal adalah sah, tapi ada sifat dalam jual
beli itu, di luar rukun dan akad jual beli, yaitu pengetahuan ttg
harga yang hanya diketahui salah satu pihak, yang menyimpang
dari syara. Akad yg fasad tidak wajib diulang, tapi cukup
menyempurnakan apa yang dianggap cacat.

CONTOH SAH DAN BATAL


PERBUATAN HUKUM WADHI
Sholat memenuhi syarat dan
Sah
rukunnya
Jual beli memenuhi syarat dan
Sah
rukunnya
Sholat tanpa wudlu Batal
Jual beli, barangnya tidak ada Batal
Sholat tidakmembaca al-
Batal
faatihah
Nikah tidak ada ijaab qobuul Batal

48
CONTOH FASAD

CATATAN SEPUTAR SAH, BATAL, FASAD


Terdapat perbuatan-perbuatan yang sah, tak termasuk
fasad atau batal, tapi pelakunya berdosa. Misalnya : jual beli
pada saat adzan Jumat. Juga akad2 lain yang diqiyaskan dengan
contoh tsb, misalnya akad nikah pada saat adzan Jumat, atau
melakukan akad ijarah pada saat adzan Jumat. Contoh terkenal :
sholat di atas tanah rampasan, haji dengan harta yg haram.

49
BAB VI
KAIDAH USHUL FIQH

POKOK BAHASAN
1. Pengertian, Sifat, dan Contoh al-Qawaid al-Fiqhiyah
2. Perbedaan Kaidah Fiqih dan Kaidah Ushul Fiqih (al-
Qawaid Al Ushuliyah)
3. Pengamalan Kaidah Fiqih
4. Kitab-kitab Kaidah Fiqih

PENGERTIAN KAIDAH FIQIH


Kaidah fiqih dalam istilah Arab disebut dengan al-
Qawaid al-Fiqhiyyah. Istilah lainnya : al-Qawaid al-Kulliyyah
atau : Al-Qawaid Al Syariyyah. Ketiga istilah tsb walaupun
berbeda-beda sebutannya, tapi pengertian yg dimaksudkan sama.
Definisi Kaidah fiqih :



"Kaidah fikih adalah hukum syar'i yang bersifat menyeluruh
(kulliy) yang berlaku untuk bagian-bagiannya (juz`iyat).
(Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/444.)

50
MACAM-MACAM HUKUM SYARI
Hukum syari ada 2 macam :
1. Hukum kulli, yaitu hukum yang berlaku untuk banyak kasus
(juziyah/cabang).
2. Hukum juz`i, yaitu hukum yang hanya berlaku untuk satu
kasus saja.
(Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/444).

MACAM-MACAM HUKUM KULLI


Hukum Kulli ada 2 macam :
1. Qawaid fiqhiyyah, yaitu hukum berupa kaidah yang berlaku
untuk banyak kasus (cabang/juziyah)
2. Tarif syari (definisi secara syari), yaitu hukum berupa
definisi yang berlaku untuk banyak kasus.
(Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/444)

DUA SIFAT QAWAID FIQHIYAH


Pertama, hakikatnya adalah hukum syari, yang diistinbath dari
dalil-dalil syari. Jadi Qawaid Fiqhiyyah bukan dalil syari.
Kedua, merupakan hukum kulli, yakni hukum yang berlaku
untuk banyak kasus. Jadi Qawaid Fiqhiyyah tak hanya berlaku
untuk satu kasus saja.

51
QAWAID FIQHIYAH SBG HUKUM SYARI
1. Misalkan kaidah : al wasilah ilal haram haram diistinbath
dari QS Al Anaam [6] : 108
2. Misalkan kaidah : maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa
waajib, diistinbath dari QS Al Maa`idah [5] : 6
3. Misalkan kaidah : maa laa yudraku kulluhu laa yutraku
kulluhu, diistinbath dari sabda Rasulullah SAW :


Jika aku perintahkan kalian melakukan suatu perintah, maka
lakukan itu sekuat kemampuanmu. (HR Bukhari dan
Muslim).
4. Misalkan kaidah : kullu maa hurrima alal al ibaad fa
baiuhu haram, diistinbath dari sabda Rasulullah SAW :


Dan sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatu
kaum untuk memakan sesuatu, maka Allah haramkan pula
harga sesuatu itu. (HR Bukhari)

52
QAWAID FIQHIYAH SBG HUKUM KULLI
1. Misalkan kaidah : al wasilah ilal haram haram, dapat
diterapkan untuk banyak kasus, misalnya :
a. Menjual anggur kepada orang yang akan mengolah
anggur menjadi khamr
b. Menjual pisau kpd orang yang akan menggunakannya
dlm kejahatan
c. Haramnya menjual baju tidak menutup aurat (spt daster)
kpd prp yang akan menggunakannya di tempat umum

2. Misalkan kaidah : maa laa yatimmul waajibu dst, dapat


diterapkan untuk banyak kasus, misalnya :
a. Wajibnya belajar bahasa Arab untuk mempelajari Al
Qur`an.
b. Wajibnya Khilafah untuk menerapkan Syariah secara
kaaffah (menyeluruh).
c. Wajibnya kutlah (kelompok) untuk berjuang menegakkan
Khilafah.

53
PERBEDAAN KAIDAH FIQIH DAN KAIDAH USHUL FIQIH
FAKTOR KAIDAH USHUL
KAIDAH FIQIH
PEMBEDA FIQIH
Faktanya bukan hokum
Faktanya hukum syara tapi kaidah-kaidah
Segi Fakta
syara bahasa Arab (qawaid
lughawiyah)
Fungsinya untuk
Fungsinya untuk
menetapkan hukum
mengistinbath hukum
Segi Fungsi syara pada kasus
syara dari dalil syara (al
cabang (hukum
Qur`an dan As Sunnah)
pokok)
Nash-nash syara (dalil
Perbuatan mukallaf
Segi Obyek Kajian syara) untuk mengambil
dan halal-haram
hokum syara darinya.
Digunakan oleh
Digunakan oleh mujtahid
mujtahid dan selain
Segi Pengguna saja, muqollid tidak bisa
mujtahid
menggunakan.
(muqollid)
Muncul belakangan
Muncul lebih awal sejak
Segi Waktu Muncul seiring lahirnya
bahasa Arab ada.
Islam
Kaidah fiqih Kaidah ushul fiqih
Segi Pengecualian
diamalkan dengan diamalkan dengan tanpa
dalam pengamalan
perkecualian. perkecualian.

PENGAMALAN QAWAID FIQHIYAH


Meski pun Qawaid Fiqhiyyah bukan dalil syari, tapi
diamalkan seperti halnya dalil syari. Maksudnya, dapat menjadi
dasar bagi penetapan hukum-hukum syara baru. Hukum-hukum
syara baru ini bukan hukum yang sama sekali baru, melainkan

54
sekedar cabang hukum dari hukum pokoknya (yaitu kaidah fiqih
itu sendiri).
Syarat pengamalan kaidah fiqih tidak boleh bertentangan
dengan nash-nash syara dalam Al Qur`an dan As Sunnah. Jika
bertentangan dengan nash-nash syara, maka yang diamalkan
adalah nash syara sedangkan kaidah fiqihnya wajib diabaikan
(tidak boleh diamalkan). (Lihat: Taqiyuddin Nabhani, As
Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/449).

BEBERAPA KITAB QAWAID FIQHIYAH


1. Al Asybah wa An Nazhair karya Imam Suyuthi.
2. Al Asybah wa An Nazhair karya Imam Tajuddin As Subki.
3. Al Asybah wa An Nazhair karya Imam Ibnu Nujaim.
4. Ghamzu Uyunil Basha`ir Syarah Al Asybah wa An Nazhair
karya Imam Ibnu Nujaim.
5. Al Qawaid An Nuraniyyah karya Ibnu Taimiyah.
6. Al Qawaid Al Fiqhiyah karya Ibnu Rajab Al Hanbali
7. Al Mantsur fil Qawaid karya Imam Zarkasyi.
8. Maushuah Al Qawaid Al Fiqhiyah karya Muhammad Shidqi
Al Burnu.
9. Al Qawaid Al Fiqhiyah fi Al Madzahib Al Arbaah karya
Muhammad Az Zuhaili.

55
BAB VII
DALIL SYARA

POKOK BAHASAN
1. Pengertian Dalil Syari
2. Macam-Macam Dalil Syari
3. Penjelasan Pengertian Dalil Qathi dan Dalil Zhanni
4. Dalil Syari Wajib Bersifat Qathiy (didasarkan pada Dalil
Qathi)
5. Penjelasan Ttg Dalil Zhanni dalam Aqidah

POSISI PEMBAHASAN DALIL SYARI

56
PENGERTIAN DALIL SYARI
Dalil syari disebut juga dengan istilah :


Mashadirul Ahkam As Syariyyah.
Artinya : sumber-sumber hukum syara. (Lihat Wahbah Zuhaili,
Ushul Al Fiqh Al Islami, 1/417) atau disebut juga Ushulul Ahkam
As Syariyyah (pokok-pokok hukum syara). (Lihat Taqiyuddin
An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/66).

:
Dalil menurut makna bahasa artinya : Petunjuk kepada sesuatu
apapun baik sesuatu yang inderawi/dapat diindera (hissi) maupun
sesuatu yang maknawi (tak dapat diindera).
Misal :
(1) Asap adalah dalil adanya api (inderawi),
(2) Senyum adalah dalil adanya perasaan gembira (dalam hati)
(maknawi).

:

Dalil menurut istilah (terminologi) adalah : Segala sesuatu yang
(jika) dipertimbangkan dengan benar akan mengantarkan pada

57
suatu hukum syari yang amali. (Wahbah Zuhaili, Ushulul Fiqh
Al Islami, 1/417).



Dalil Syari adalah sesuatu yang dijadikan hujjah (alasan/dasar)
bahwa apa yang dibahas berdasarkan hujjah itu adalah hukum
syari. (Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah,
3/64).

Note : Dalil syari dalam pembahasan ushul fiqih adalah dalil


syari ijmali (dalil global), spt Al Kitab, As Sunnah, dll, bukan
dalil syari tafshili, spt ayat atau hadits tertentu sbg dasar hukum
tertentu.

MACAM-MACAM DALIL SYARI


Berdasarkan disepakati tidaknya oleh jumhur (mayoritas)
ulama, terdapat dua macam dalil syari : Pertama, dalil syari
yang disepakati oleh jumhur ulama (muttafaq alaiha baina
jumhur al ulama), ada 4 yaitu :
(1) Al Kitab (Al Qur`an),
(2) As Sunnah (Al Hadits),

58
(3) Al Ijma,
(4) Al Qiyas.
Kedua, dalil syari yang diperselisihkan oleh jumhur
ulama (mukhtalaf fiihaa baina jumhur al ulama), maksudnya,
sebagian ulama menjadikannya sbg hujjah, sebagian ulama
lainnya tidak. Yang paling termasyhur ada 7 yaitu :
(1) Al Istihsan,
(2) Al Mashalih Al Mursalah (Al Istishlah),
(3) Madzhab As Shahabi,
(4) Syaru Man Qablana,
(5) Al Istish-hab
(6) Al Urf
(7) Adz Dzara`i
(Wahbah Zuhaili, Ushulul Fiqh Al Islami, 1/417).

Dalam kajian Aqidah Islam, ada istilah dalil aqli dan dalil naqli/
dalil sami. Pengertian Dalil Aqli :



Dalil aqli adalah bukti yang dipergunakan oleh akal untuk
mencapai satu rukun di antara rukun-rukun Aqidah Islamiyah.

59
(M. Husain Abdullah, Dirasat fil Fikr Al Islami).

Contoh dalil aqli :


(1) Alam semesta, adalah dalil yang digunakan akal untuk
mencapai keimanan akan adanya Allah (wujudullah).
(2) Al Qur`an, adalah dalil yang digunakan akal untuk mencapai
keimanan akan kenabian Muhammad SAW dan bahwa Al
Qur`an adalah kalamullah.
Pengertian Dalil Naqli / Sami :



Dalil Naqli (sami) adalah berita (nash) yang pasti (qathi) yang
mengabarkan kepada kita mengenai satu rukun di antara rukun-
rukun Aqidah Islamiyah. (M. Husain Abdullah, Dirasat fil Fikr
Al Islami).

DALIL QATHI DAN DALIL ZHANNI


Dalil Al Quran atau As Sunnah, ditinjau dari segi datangnya /
bersumbernya dalil itu dari Rasulullah SAW, ada dua:

60
Pertama, dalil qathi tsubut, yaitu dalil yang secara pasti
bersumber dari Rasulullah SAW, yaitu Al Qur`an dan Hadits
Mutawatir.
Kedua, dalil zhanni tsubut, yaitu dalil yang secara dugaan kuat
bersumber dari Rasulullah SAW, yaitu Hadits Ahad.
Masing-masing dalil tersebut, ditinjau dari segi pasti tidaknya
dalalah (makna) yang ditunjukkan oleh dalil, ada dua:
Pertama, dalil qathi dalalah, yaitu dalil yang tidak mempunyai
makna kecuali satu makna saja.
Kedua, dalil zhanni dalalah, yaitu dalil yang mengandung
kemungkinan lebih dari satu makna.

Maka dari itu, berdasarkan penjelasan di atas, terdapat empat


macam dalil :
Pertama, dalil qathi tsubut dan qathI dalalah, yaitu dalil Al
Qur`an atau Hadits Mutawatir yang tidak mempunyai makna
kecuali satu makna saja. INILAH YANG DISEBUT SECARA
RINGKAS SEBAGAI : DALIL QATHI.
Kedua, dalil qathi tsubut dan zhanni dalalah, yaitu dalil Al
Qur`an atau Hadits Mutawatir yang mengandung lebih dari satu
makna.

61
Ketiga, dalil zhanni tsubut dan qathi dalalah, yakni dalil Hadits
Ahad yang tidak mempunyai makna kecuali satu makna saja.
Keempat, dalil zhanni tsubut dan zhanni dalalah, yakni dalil
Hadits Ahad yang mempunyai makna lebih dari satu makna.

Dalil pada macam yang kedua, ketiga, dan keempat di atas ,


secara ringkas disebut : DALIL ZHANNI.
Hukum syara yang dalilnya dalil qathi, adalah hukum syara
yang qathi, yang tidak boleh ada perbedaan pendapat
(khilafiyah), seperti wajibnya sholat, haramnya zina, haramnya
khamr, dll. Hukum syara yang dalilnya dalil zhanni, adalah
hukum syara yang zhanni, yang boleh ada perbedaan pendapat
(khilafiyah), seperti jumlah rakaat tarawih, dll.

DALIL SYARI WAJIB BERSIFAT QATHI


Imam Taqiyuddin An Nabhani merumuskan suatu kaidah ushul
fiqih sbb :


Dalil-dalil syari wajib bersifat qathi.
(Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/67.)

62
Ini adalah pendapat jumhur ulama. Dalil syari wajib bersifat
qathi, artinya adalah wajib ada dalil qathi (bukan dalil zhanni)
yang menunjukkan kehujjahan dalil syari. Kehujjahan dalil
syari, artinya kelayakan suatu dalil menjadi dalil syarI
(Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/68).

Mengapa dalil syari wajib bersifat qathi? Sebab dalil syari


yang layak menjadi hujjah wajib berupa wahyu Allah. Sedang
wahyu adalah persoalan Aqidah (Ushuluddin), yang dalilnya
wajib qathi, bukan persoalan hukum syara (furu), yang
dalilnya boleh dalil zhanni. Maka wajib ada dalil qathi (bukan
dalil zhanni) yang menunjukkan kehujjahan suatu dalil syari.

Mengapa dalam persoalan aqidah dalilnya wajib qathi, tidak


boleh zhanni? Sebab terdapat dalil yang mencela kita mengambil
dalil zhanni (persangkaan/dugaan) dalam persoalan Aqidah.

63
Dalilnya firman Allah SWT :


Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali
persangkaan/dugaan (zhann) saja. Sesungguhnya persangkaan itu
tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. (QS
Yunus [10] : 36)

Juga firman Allah SWT :



Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pemgetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya. (QS Al Isra` [17] : 36).
(Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/66.)

Berdasarkan kaidah ushuliyah :


Dalil-dalil syari wajib bersifat qathi.

64
Maka dalil-dalil syari yang memenuhi kriteria kaidah ushul tsb
hanya 4 saja, yaitu : Al Kitab, As Sunnah, Ijma Shahabat, dan
Qiyas.

CATATAN PENTING TENTANG DALIL ZHANNI DALAM


MASALAH AQIDAH
Tidak mengambil dalil zhanni dalam persoalan Aqidah bukan
berarti mengingkari dalil zhanni itu (misalnya Hadis Ahad),
melainkan sekedar tidak membenarkan secara pasti (adamul
jazm) thd dalil zhanni itu. Contoh Hadis Ahad : adzab kubur,
turunnya Dajjal, dan turunnya Nabi Isa AS di akhir jaman.

PENDIRIAN IMAM TAQIYUDDIN AN NABHANI


TERHADAP DALIL ZHANNI DALAM MASALAH AQIDAH
Pertama, haram mengitiqadkan, yakni membenarkan secara
pasti (jazim), terhadap dalil zhanni itu.

:

Dan apa saja yang tak terbukti melalui dua jalan ini, yaitu akal
dan nash Al Qur`an dan As Sunnah yang qathi, haram baginya
mengitiqadkannya, sebab masalah-masalah aqidah tidak

65
diambil, kecuali berdasarkan dalil yang yakin (qathi).
(Nizhamul Islam, hlm. 12). Dalil pengharaman QS 10:36; QS
17:36. (Syakhshiyyah Islamiyyah, 3/66).

Kedua, tidak mengingkari dalil zhanni itu (misalnya Hadis


Ahad). Lihat kitab beliau yg berjudul Malumaat lis Syabab,
hlm. 7, sbb :


Hanya saja (perlu dipahami), bahwa tidak mengitiqadkan itu
tidak berarti mengingkari, melainkan artinya hanyalah tidak
membenarkan secara pasti (adamul jazm).

Ketiga, boleh membenarkan dalil zhanni itu (misalnya Hadis


Ahad) dengan pembenaran yang bersifat dugaan (tashdiq
zhanni), bukan tashdiq jazim (pembenaran yang pasti). Lihat
kitab beliau yg berjudul Malumaat lis Syabab, hlm. 7, sbb :



...

66
Haramnya mengitiqadkan sesuatu yang bersifat zhann
(dugaan) bukan berarti menolak apa-apa yang terkandung dalam
hadits-hadits ini (Hadits Ahad) dan tidak membenarkannya,
melainkan hanya tidak memastikan apa-apa yang terkandung
dalam hadits-hadits ini. Akan tetapi boleh membenarkan dan
menerima hadits-hadits ini (Lihat juga As Syakhshiyyah Al
Islamiyyah, Juz I hlm. 193).

67
BAB VIII
MACAM-MACAM DALIL SYARI

POKOK BAHASAN
Dalil Syari Yang Disepakati Jumhur Ulama :
(a) Al Kitab,
(b) As Sunnah,
(c) Ijma,
(d) Qiyas

PENDAPAT ULAMA SEPUTAR DALIL SYARI


Dalil syari yang disepakati oleh seluruh ulama (tanpa
khilafiyah) ada dua :
(1) Al Kitab (Al Qur`an)
(2) As Sunnah (Al Hadits)
Dalil syari yang disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama ada
empat :
(1) Al Kitab,
(2) As Sunnah,
(3) Ijma,
(4) Qiyas

68
Sebagian ulama, yaitu ulama Zahiriyah, menolak Qiyas (mrk
disebut nufaatul Qiyas).

PENGERTIAN AL QUR`AN


" "

Al Qur`an adalah kalamullah yang diturunkan kepada rasul-Nya,
yaitu Muhammad SAW dengan perantaraan wahyu Jibril AS
secara lafal dan makna, yang bersifat mujizat, yang dianggap
ibadah membacanya, dan yang dinukilkan (diriwayatkan) kepada
kita secara mutawatir. (Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul, hlm.
55)

KEHUJJAHAN AL QUR`AN
Al Qur`an layak menjadi dalil syari, karena Al Qur`an
adalah wahyu Allah (kalamullah). Bukti Al Qur`an itu wahyu,
adalah dali aqli yang qathi yang membuktikan Al Qur`an adalah
kalamullah.
Pembuktiannya sebagai berikut, yaitu bahwa al Qur`an
adalah kitab berbahasa Arab, maka kemungkinan dari mana asal

69
Al Qur`an hanya 3 tidak lebih: dari orang Arab, dari Rasulullah
SAW atau dari Allah SWT.
Kemungkinan pertama, yakni dari orang Arab, batil.
Karena orang Arab telah ditantang untuk mendatangkan semisal
Al Qur`an tapi tidak mampu. Lihat Al Baqarah : 23; Yunus : 37
Kemungkinan kedua, yakni dari Rasulullah SAW, juga
batil, karena Rasulullah adalah bagian dari orang Arab, yang
terbukti tak mampu mendatangkan semisal Al Qur`an. Selain itu,
gaya ungkapan hadits berbeda dengan gaya ungkapan Al Qur`an.
Kemungkinan ketiga, yaitu Al Qur`an adalah dari Allah
SWT, adalah benar. Karena setelah kemungkinan pertama dan
kedua dibuktikan kebatilannya, maka berarti kemungkinan ketiga
saja yang benar. Kemungkinan ketiga itu sesuai dengan klaim Al
Qur`an sendiri, yaitu antara lain QS Fushshilat : 42 yang
menerangkan Al Qur`an diturunkan oleh Allah SWT. (tanziilun
min hakiim hamiid). (Lihat Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul,
hlm. 56-57).

KANDUNGAN HUKUM DALAM AL QUR`AN


Al Qur`an mengandung segala macam hukum yang
diperlukan manusia dalam seluruh aspek kehidupan. Lihat
dalilnya QS An Nahl : 89.

70
Macam-macam hukum Al Qur`an :
(1) Hukum yang mengatur hubungan Allah dengan manusia,
misal : aqidah (QS 4 : 136) dan ibadah (sholat, zakat, haji,
dll).
(2) Hukum yang yang mengatur hubungan manusia dgn dirinya
sendiri, misal : hukum makanan dan pakaian (QS 2 :168, QS
5:3; QS 24:31; QS 33:59. Juga hukum akhlaq : haramnya
berdusta (QS Mursalat : 19), dll
(3) Hukum yg mengatur manusia dengan manusia lainnya, misal:
hukum2 pemerintahan Islam (Khilafah), seperti :
(a) kewajiban menegakkan hukum Allah (QS 5:49)
(b) kewajiban pemerintahan Islam berbuat adil (QS 4:58)
(c) kewajiban rakyat mentaati pemerintahan Islam / ulil amri
(QS 4:59)
Misal lain : Hukum-hukum sistem ekonomi Islam, seperti
kepemilikan (QS 24:33; QS al hadid 57 : 7).

Misal lain : Hukum pergaulan pria dan wanita, misalnya


pernikahan (QS 30:21). (Lihat M Husain Abdullah, Al Wadhih fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 56-58).

71
PENGERTIAN AS SUNNAH

:


As Sunnah menurut ulama hadits : adalah apa-apa yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW baik itu perkataan,
perbuatan, atau taqrir, atau sifat akhlaq (washfin khuluqiyyin),
atau sifat fisik (washin khalqiyyin).

:

As Sunnah menurut ulama ushul fiqih : adalah apa-apa yang
berasal dari Rasulullah SAW baik itu perkataan, perbuatan,
maupun taqrir (persetujuan), baik taqrir terhadap perkataan, atau
perbuatan (shahabat). (Atha` bin Khalil, Taisir Wushul Ilal
Ushul, hlm. 73).

KEHUJJAHAN AS SUNNAH
As Sunnah adalah hujjah (dalil syari) karena terdapat dalil qathi
yang membuktikan As Sunnah sebagai wahyu Allah.

72
Dalil-dalil tersebut a.l. : QS An Najm : 3, QS Al Anam : 50; QS
Al Hasyr : 7, QS An Nisaa` : 59, QS Ali Imran : 31, dll

FUNGSI AS SUNNAH TERHADAP AL QUR`AN


(1) Sebagai tafshil (rincian) dari kemujmalan Al Qur`an, misal :
terdapat perintah mujmal (global) dlm Al Qur`an utk sholat
(QS 24:56) maka As Sunnah memberikan rincian (tafshil)
terhadap kemujmalan Al Qur`an tsb. Demikian juga yg spt
ini adalah dalam masalah zakat, haji, dan lain-lain.

(2) Sebagai takhsis (pengkhususan / pengecualian) dari


keumuman Al Qur`an, misal : terdapat perintah umum dalam
Al Qur`an untuk mencambuk pezina (QS 24:2). Maka As
Sunnah mengkhususkan bahwa hukuman cambuk tsb hanya
untuk yang belum menikah, sedang bagi yang sudah menikah
(muhshon) sanksinya bukan cambuk, melainkan rajam.

(3) Sebagai taqyiid (pembatasan / pensyaratan) dari kemutlakan


Al Qur`an, misal : terdapat perintah mutlak untuk memotong
tangan pencuri dalam Al Qur`an (QS 5:38) maka As Sunnah
memberikan taqyiid, bahwa pencuri yang dipotong tangannya

73
adalah jika memenuhi syarat tertentu, misalnya barang yg
dicuri nilainya dinar atau lebih, dst.

(4) Sebagai penambah (ilhaaq) hukum baru yang terdapat hukum


pokoknya dalam Al Qur`an, misal : terdapat ketentuan
haramnya menikahi dua orang perempuan bersaudara dalam
Al Qur`an (QS 4:23) maka As Sunnah memberikan tambahan
hukum, haram pula menikahi seorang perempuan bersama
dengan bibinya (ammah / khoolah).
Ammah = sdr prp ayah.
Khoolah = sdr prp ibu.

PENGERTIAN IJMA
Ijma menurut istilah adalah :


Ijma adalah kesepakatan atas hukum suatu peristiwa di antara
peristiwa-peristiwa yang ada, bahwa hukum itu adalah hukum
syari. (Atha bin Khalil, Taisir al Wushul ilal Ushul, hlm. 82).
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat mengenai ijma
siapakah yang layak menjadi dalil syari. Beberapa ijma paling
masyhur yang diadopsi ulama ushul fiqih adalah :

74
(1) Ijma shahabat
(2) Ijma ahlul madinah (penduduk madinah)
(3) Ijma Umat Islam
(4) Ijma mujtahidin
(5) Ijma ahlul bait (menurut Syiah).

KEHUJJAHAN IJMA SHAHABAT


Ijma shahabat adalah ijma yang paling kuat dalilnya.
Karena terdapat dalil qathi, yang mendasari kehujjahan ijma
shahabat.
Dalil-dalil qathi tsb adalah :
(1) Pujian Allah SWT dalam al-Qur`an kpd para shahabat, misal:
QS Al Fath : 29, QS at Taubah : 100.
(2) Penegasan Allah SWT bahwa Allah akan menjaga al-Qur`an
(QS Al Hijr : 9).

Ayat diatas menunjukkan kebenaran ijma shahabat, sebab


dengan ijma shahabat sajalah al-Qur`an diriwayatkan hingga
sampai epada kita. Secara syari ijma shahabat terhindar dari
kesalahan. QS Fushshilat : 42 menjelaskan al-Qur`an tidak dapat
didatangi kebatilan. Padahal al-Qur`an itu diriwayatkan kepada
kita dengan ijma shahabat. Maka ayat di atas sekaligus dalil

75
bahwa Ijma shahabat adalah dalil syari. Ijma shahabat juga
telah mengungkapkan adanya dalil dari as Sunnah (yaksyifu an
dalilin minas sunnah), maka dalil kehujjahan as-Sunnah
sekaligus adalah dalil bagi kehujjahan Ijma Shahabat.

PENGERTIAN QIYAS
Qiyas menurut para ulama ushul fiqih adalah :

Qiyas adalah menyamakan suatu fakta yang tak ada nash akan
hukumnya, dengan fakta yang ada nash akan hukumnya, dalam
hal hukum syari, karena kesamaan dua fakta itu dalam illat
hukum, yaitu kesamaan dalam faktor pembangkit hukumnya.

Contoh Qiyas :
Menyamakan ijarah pada saat adzan Jumat dengan jual beli saat
adzan Jumat. Hukum ijarah saat adzan Jumat haram, karena
terdapat illat yang sama dengan haramnya jual beli saat adzan

76
Jumat (QS Al Jumuah : 9), yaitu melalaikan shalat Jumat (al
ilha` an sholat al jumuah). Haramnya jual beli saat adzan Jumat
dapat pula diqiyaskan pada masalah-masalah lain, spt haramnya
seminar atau akad nikah saat adzan Jumat, dll

RUKUN QIYAS
Ada 4 rukun Qiyas :
(1) Ashl (asal) : yaitu masalah pokok (misal jual beli saat adzan
Jumat)
(2) Hukum asal : misal Haram
(3) Faru : yaitu masalah cabang (misal ijarah saat adzan jumat)
(4) Illat : yaitu sesuatu yang menjadi alasan pensyariatan hukum
(misal melalaikan sholat Jumat).
Jika 4 rukun Qiyas itu ada, maka hasilnya adalah hukum masalah
cabang.

KEHUJJAHAN QIYAS
Qiyas adalah hujjah, karena landasan Qiyas adalah illat syari,
yaitu illat yang terdapat pada dalil-dalil syari, yaitu Al Qur`an,
As Sunnah, dan Ijma Shahabat, jadi kehujjahan Qiyas berasal
dari kehujjahan dalil-dalil syari, yang membawa illat syari.

77
Berarti dalil-dalil kehujjahan Al Qur`an, As Sunnah, dan Ijma
Shahabat, adalah dalil kehujjahan Qiyas. Inilah dalil qathI untuk
kehujjahan Qiyas.

CATATAN SEPUTAR QIYAS


Qiyas yang layak menjadi hujjah, adalah Qiyas syari, bukan
Qiyas Aqli. Qiyas aqli adalah mengqiyaskan sesuatu dengan
sesuatu yang lain sekedar adanya kemiripan menurut akal,
padahal tidak didasarkan pada dalil syari. Misal : mengqiyaskan
khamr dengan narkoba. Narkoba memang haram, tapi haramnya
adalah karena nash, bukan karena Qiyas. Bukan Qiyas,
menerapkan keumuman nash pada kasus-kasusnya.

78
BAB IX
PANDANGAN TERHADAP DALIL SYARI YANG
DIPERSELISIHKAN ULAMA

1. SYARA MAN QABLANA


a. Pengertian dan Contoh
b. Pandangan Ulama ttg Syara Man Qablana
c. Tarjih
2. MAZHAB SAHABAT
a. Pengertian dan Contoh
b. Pandangan Ulama ttg Madzhab Shahabat
c. Tarjih
3. ISTIHSAN
a. Pengertian dan Contoh
b. Pandangan Ulama ttg Istihsan
c. Tarjih
4. MASHALIH MURSALAH
a. Pengertian dan Contoh
b. Pandangan Ulama ttg Mashalih Mursalah
c. Tarjih

79
REVIEW MATERI SEBELUMNYA
Dalil syari (sumber hukum) wajib dibuktikan keabsahannya
sebagai sumber hukum dgn dalil qathi, bukan dalil zhanni.
Karena dalil syari wajib berupa wahyu, sedangkan sesuatu itu
wahyu atau bukan wahyu, adalah masalah Aqidah (ushul), bukan
masalah Syariah (furu).

Perkara-perkara dalam Aqidah Islam wajib didasarkan pada dalil


qathi, bukan dalil zhanni. Karena terdapat celaan (dzamm)
terhadap penggunaan dalil zhanni dalam masalah-masalah
Aqidah (QS Yunus : 36; QS Al Isra : 36).

PANDANGAN THD DALIL-DALIL YANG


DIPERSELISIHKAN
Telah dibahas sebelumnya, bahwa dalil-dalil syari yang
mutabar (kuat) hanya empat: al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma
Shahabat dan Qiyas. Lalu bagaimanakah pandangan terhadap
dalil-dalil syari lainnya? Ada dua prinsip pandangan terpenting
sebagai berikut :
Pertama, dalil-dalil syarI yang lain, seperti Syara Man
Qablana, Madzhab Shahabat, Istihsan, dan Mashalih Mursalah,
tidak dianggap dalil syari yang mutabar (dianggap kuat).

80
Sebab dalil-dalil syari yang lain tsb kehujjahannya hanya
didasarkan pada dalil zhanni, bukan dalil qathi. (Taqiyuddin An
Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/404; M. Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 135; Atha bin Khalil,
Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 112.)

Kedua,, namun hukum syara yang diistinbath


berdasarkan dalil-dalil syari yang lain itu, tetap dianggap hukum
syara. Sebab mempunyai syubhatud dalil. Syubhatud dalil
adalah dalil yang marjuh (lemah secara tarjih), baik syubhatud
dalil itu berupa dalil ijmali (sumber hukum) maupun dalil tafshili
(ayat/hadits tertentu). (Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah
Al Islamiyyah, 3/404; M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul
Al Fiqh, hlm. 135; Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul,
hlm. 112).

81
PENGERTIAN SYARA MAN QABLANA



Syara man Qablana (syariat sebelum kita) adalah hukum-hukum
yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi berbagai umat dan kaum
yang mendahului kita (sebelum Nabi Muhammad SAW) yang
diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya agar mereka
menyampaikan kepada kaumnya, contohnya seperti syariat Nabi
Ibrahim, Musa, dan Isa AS. (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 206).

CONTOH SYARA MAN QABLANA


(1) Dalam syariat Nabi Sulaiman AS, kalau binatang spt burung
berbuat kerusakan, maka binatang tersebut dijatuhi sanksi.
(QS An Naml : 20-21).
(2) Dalam syariat Nabi Zakaria AS, disyariatkan puasa bicara
selama 3 hari. (QS Maryam : 10).
(3) Dalam syariat Nabi Musa AS, haram hukumnya binatang
yang berkuku, juga lemak dari sapi dan domba (QS Al
Anam : 146).

82
(4) Dalam syariat Nabi Yusuf AS, hukuman untuk pencuri
adalah dijadikan budak (QS Yusuf : 75)
(5) Dalam syariat Nabi Yakub AS, makanan yang diharamkan
oleh Nabi Yakub adalah haram bagi kaumnya (Bani Israil)
(QS Ali Imran : 93). (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 210).

PANDANGAN ULAMA THD SYARA MAN QABLANA


A. Bahwa syara man qablana adalah syariat bagi kita (umat
Islam), selama terdapat dalam Syariat kita (syariat Islam)
tanpa dukungan atau pengingkaran. Ini adalah pendapat : (1)
mayoritas ulama Hanafiyyah, (2) mayoritas ulama
Malikiyyah, (3) sebagian ulama Safiiyyah, dan (4) Imam
Ahmad dalam salah satu riwayat darinya.

Dalil mereka a.l. QS Al Anam : 90; QS As Syuura : 13;


Firman Allah SWT :




Mereka itulah (para nabi sebelum Muhammad) orang-orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk

83
mereka... (QS Al Anam : 90) (M. Husain Abdullah, Al Wadhih
fi Ushul Al Fiqh, hlm. 208).
Firman Allah SWT :






Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu :tegakkanlah agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya... (QS Syuura : 13)
(Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 208).

B. Bahwa syara man qablana bukanlah syariat untuk kita


(umat Muhammad) meskipun terdapat dalam Al Qur`an. Ini
merupakan pendapat : (1) ulama al Asyaairah (penganut Al
Asyari), Mutazilah, Syiah, (2) Imam Ahmad dalam
riwayatnya yang lain, (3) Imam Ibnu Hazm, (4) sebagian
ulama Hanafiyyah, (5) mayoritas ulama Syafiiyyah (spt
Imam Ghazali, Amidi, Razi).

84
Dalil mereka a.l. QS Al Maidah : 48 (M. Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 209). Firman Allah SWT :





Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur`an dengan
membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan muhaiminan (batu ujian)
terhadap kitab-kitab yang lain itu. (QS Al Maidah : 48). (M.
Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 209).

Tarjih : Pandangan yang lebih kuat adalah pandangan kedua


bahwa syara man qablana bukanlah syariat untuk kita (umat
Muhammad) meskipun terdapat dalam Al Qur`an.
Dalilnya karena Allah SWT berfirman :





Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur`an dengan
membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan muhaiminan terhadap kitab-kitab
yang lain itu. (QS Al Maidah : 48).

85
Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan bahwa kata
Muhaiminan dalam ayat QS Al Maidah : 48 itu, artinya adalah
Naasikhan, yaitu menasakh atau menghapuskan. Walhasil, kitab
Al Qur`an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW telah
menasakh (menghapus) syariat umat-umat sebelumnya yang
terdapat dalam kitab-kitab nabi sebelumnya. (Imam Taqiyuddin
An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/408.)

PENGERTIAN MADZHAB SHAHABAT




Madzhab shahabat adalah kumpulan hukum-hukum syara yang
diistinbath oleh seorang shahabat, lalu dia fatwakan dan dia
gunakan untuk memutuskan hukum. (M. Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 198).

Contoh :
(1) Memberikan zakat kepada muallaf (pendapat Abu Bakar as
Shiddiq)
(2) Tidak memberikan zakat kepada muallaf (pendapat Umar bin
Khaththab)

86
(3) Tidak memotong tangan pencuri pada saat pencurinya
kelaparan (pendapat Umar bin Khaththab).
(4) Menjadikan diyat (tebusan) karena kasus pembunuhan tak
sengaja (dalam peperangan) sbg tanggungan prajurit2 yang
masih satu kelompok pasukan dengan si pembunuh.
(pendapat Umar bin Khaththab).
(5) Menjatuhkan talak sebanyak tiga kali, dalam satu majelis,
jatuh talak tiga (bukan talak satu). (pendapat Umar bin
Khaththab). (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al
Fiqh, hlm. 202).

PANDANGAN ULAMA THD MADZHAB SHAHABAT


Pendapat pertama, bahwa madzhab shahabat yang merupakan
hasil ijtihad shahabat adalah dalil syari (sumber hukum). Ini
pendapat : (1) Imam Malik, juga ulama Malikiyyah, (2)
mayoritas ulama Hanafiyyah, (3) Imam Razi, dan (4) Imam
Syatibi. Dalil mereka a.l. ayat-ayat yang memuji shahabat seperti
QS At Taubah : 100 (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al
Fiqh, hlm. 198-199), seperti QS At Taubah : 100

87




Orang-orang yg terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan orang-
orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada
mereka dan mereka pun ridho kepada Allah... (QS At Taubah :
100) (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm.
198-199).

Pendapat kedua, madzhab shahabat bukanlah dalil syari (sumber


hukum). Ini pendapat dari (1) Mutazilah, (2) Imam Syafii, (3)
Imam Ahmad, (4) Imam Amidi, dan (5) Imam Syaukani.
Alasannya : madzhab shahabat adalah ijtihad yang bisa salah bisa
benar. Jadi tak bisa dijadikan hujjah (dalil syari). (M. Husain
Abdullah, Al Wadhih, hlm. 198-199).

Tarjih : pendapat yang rajih adalah pendapat kedua yang tidak


menjadikan madzhab shahabat sebagai dalil syari. Imam
Taqiyuddin An Nabhani berkata madzhab shahabat tertolak
sebagai dalil karena firman Allah SWT :

88



Maka jika kamu berselisih dalam sesuatu, maka kembalikanlah
itu kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS An Nisaa` ; 59)

Imam Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan bahwa


tempat kembali ketika ada perselisihan hanyalah Allah dan
Rasul-Nya saja, maksudnya Al Qur`an dan As Sunnah saja,
bukan yang lain. Maka selain Qur`an dan As Sunnah, termasuk
madzhab Shahabat, tidak layak menjadi tempat kembali, yakni
tidak layak menjadi dalil syari. (Imam Taqiyuddin An Nabhani,
As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/416).

CATATAN PENTING TTG MADZHAB SHAHABAT :


Meskipun madzhab shahabat tidak mencapai derajat dalil syari
(sumber hukum), tetapi hukum-hukum syara yang diistinbath
oleh para shahabat menempati kedudukan tertinggi dalam fiqih
Islam. Boleh hukumnya mengikuti (ittiba) dan bertaqlid kepada
ijtihad para shahabat. (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul
Al Fiqh, hlm. 204).

89
PENGERTIAN ISTIHSAN
Menurut Syekh Muhammad Husain Abdullah, Istihsan ada dua
pengertian :
Pengertian pertama :



Istihsan adalah berpindah dari Qiyas Jalli (Qiyas yang jelas)
menuju Qiyas Khafi (Qiyas yang tersembunyi). Itulah yang
dinamakan Istihsan Qiyasi menurut mereka (ulama yang
menggunakan Istihsan sbg dalil). (M Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 136)

Contoh Istihsan Qiyasi :


Katakanlah ada dua orang (misal A dan B) membeli sebuah
mobil secara kredit/utang dari dua orang (misal C dan D),
misalnya seharga 100 juta. A dan B bersyirkah, sebagaimana C
dan D juga bersyirkah. Lalu salah satu penjual, misal C sudah
menerima sebagian harganya (uang cicilan), misalnya 50 juta,
kemudian uang 50 juta ini hilang, siapakah yang menanggung
hilangnya uang ini?

90
Apakah yang menanggung C saja? Ataukah C dan D secara
bersama?

Menurut Qiyas Jalli: yakni Qiyas yang shahih, yang menanggung


adalah C dan D secara bersama. Menurut Qiyas Khafi : yang
menanggung hanya C saja, D tidak menanggung kerugian. Jadi,
istihsan di sini : adalah menimpakan kerugian hanya pada C saja,
bukan C dan D, karena berpindah dari Qiyas Jalli menuju Qiyas
Khafi. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm.
136).

Pengertian kedua:



Istihsan adalah mengecualikan masalah parsial (mas`alah
juz`iyyah) dari hukum pokok yang menyeluruh (al ashlu al
kulliy) menurut dalil yang dicenderungi mujtahid, yang menuntut
adanya pengecualian itu. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 137)

91
Contoh :
Misalkan penjual dan pembeli berselisih mengenai harga barang
setelah barang diserahterimakan penjual kepada pembeli,
misalnya penjual mengatakan harganya 50 juta, sementara
pembeli mengatakan harganya 40 juta, bagaimana hukumnya?
Menurut al ashlul al kulli (hukum pokok yang menyeluruh) :
Penjual wajib menunjukkan bukti (misal kuitansi or daftar
harga), sedang pembeli wajib bersumpah.
Hukum pokok tsb didasarkan pada hadits Nabi SAW :


Bukti wajib diajukan oleh orang yang menuntut (mendakwa),
sedang sumpah wajib diucapkan oleh orang yang mengingkari
dakwaan itu. (HR Baihaqi, sahih)

Mujtahid mengecualikan hukum pokok tersebut, atas dasar


Istihsan, yaitu yang bersumpah adalah penjual dan pembeli
sekaligus (bukan hanya pembeli).
Pengecualian ini dalilnya hadits Nabi SAW sbb :
Sabda Nabi SAW :

92
Jika berselisih penjual dan pembeli, sedang barang dagangan
masih ada dan tidak ada bukti dari salah satu dari keduanya,
maka hendaklah keduanya bersumpah. (HR As-habus Sunnah,
dan disahihkan oleh Al Haakim).

CATATAN :
Hukum yang dianggap Istihsan ini, sebenarnya adalah kembali
kepada al-Hadits, yaitu mentakhsis hukum pokok dgn hadits,
yang memang sah dalam Ushul Fiqih.

MACAM-MACAM ISTIHSAN
Istihsan ada 4 (empat) macam :
(1) Istihsan Qiyasi
(2) Istihsan Dharurah (Istihsan Maslahah)
(3) Istihsan Sunnah
(4) Istihsan Ijma

KETERANGAN :
(1) Istihsan Qiyasi adalah berpindah dari Qiyas Jalli (Qiyas
yang jelas) menuju Qiyas Khafi (Qiyas yang tersembunyi),
sebagaimana sudah diterangkan sebelumnya.

93
(2) Istihsan Dharurah (Istihsan Maslahah)



.
Istihsan dharurah/maslahah adalah hukum yang menyalahi
hukum Qiyas karena mempertimbangkan kedaruratan yang
mengharuskan atau kemaslahatan yang menuntut, untuk
memenuhi kebutuhan atau menolak kesulitan. M Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 139.

Contoh Istihsan Dharurah (Istihsan Maslahah) :


Hukum berdasar nash : seorang ajir khusus (misalnya penjahit
yang dibayar secara khusus untuk pelanggan tertentu), jika baju
yang dijahitnya rusak bukan karena kelalaian penjahit, maka
penjahit tidak menanggung kerugiannya. Alasannya, karena
tangan penjahit termasuk tangan amanah (yad amanah) yang tak
menanggung kerugian, sesuai dalil hadits Nabi SAW sbb :


Tidak ada kewajiban menanggung kerugian, atas orang yang
diberi amanah (mu`taman). (HR Ad Daruquthni).

94
Hukum berdasar Qiyas : seorang ajir umum (misalnya penjahit
yang bekerja kepada masyarakat secara umum), jika baju yang
dijahitnya rusak bukan karena kelalaian penjahit, maka penjahit
juga tidak menanggung kerugiannya, diqiyaskan kepada ajir
khusus. Hukum berdasar Istihsan Dharurah/ Maslahah adalah
sebagai berikut:
Ajir khusus tidak menanggung kerugian.
Ajir umum menanggung kerugian (ini menyalahi hukum
Qiyas di atas), dengan alasan agar ajir umum tidak
menerima pekerjaan di luar batas kemampuannya.
(M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm.
139).

(3) Istihsan Sunnah


.
Istihsan sunnah adalah adanya dalil As Sunnah yang
mengharuskan menolak Qiyas mengenai hukum untuk satu
peristiwa dari berbagai peristiwa yang ada. (M Husain Abdullah,
Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 138).

95
Contoh Istihsan sunnah : kasus kesaksian Khuzaimah RA.
Berdasarkan hukum qiyas : tidak diterima kesaksian satu orang
sahabat Nabi bernama Khuzaimah, diqiyaskan dengan hukum
tertolaknya kesaksian satu orang laki-laki. Kesaksian nishabnya
adalah dua orang laki-laki, namun berdasarkan hukum as-Sunnah
maka qiyas tersebut tertolak, karena ada dalil as-Sunnah yang
khusus ttg Khuzaimah sbb :Sabda Rasulullah SAW :


Barangsiapa yang Khuzaimah bersaksi untuknya, maka
cukuplah kesaksian itu. (HR Abu Dawud), dalam riwayat lain
menurut Imam Nasa`i :


Kesaksian Khuzaimah setara dengan kesaksian dua orang laki-
laki. (M Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm.
138).

(4) Istihsan Ijma

96
Istihsan Qiyas adalah meninggalkan Qiyas dalam satu masalah
karena adanya Ijma yang menyalahi Qiyas tersebut. (M Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 138).

Contoh Istihsan Ijma :


Berdasar hukum Qiyas : tidak boleh akad istishna (minta
dibuatkan barang), karena diqiyaskan dengan tidak bolehnya jual
beli barang yang tidak ada, sesuai hadis Nabi SAW :


Janganlah kamu menjual apa-apa yang tak ada di sisimu. (HR
Tirmidzi)
Hukum berdasar Ijma : membolehkan istishna.
Hukum Istihsan : membolehkan istishna, yakni meninggalkan
qiyas dan mengamalkan ijma. (Husain Abdullah, Al Wadhih fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 138).

KEHUJJAHAN ISTIHSAN
(1) Sebagian ulama menganggap Istihsan sebagai dalil syari,
yaitu ulama Hanafiyyah, Hanabilah, dan Malikiyyah.
(2) Sebagian ulama menolak Istihsan sebagai dalil syari, di
antaranya Imam Syafii, Ulama Zhahiriyah, Mutazilah, dan

97
Syiah. (Lihat Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, juz 2
hlm. 748).

Ulama yg menganggap Istihsan sebagai dalil syari, berdalil


dengan dalil-dalil sbb :
(1) Firman Allah SWT :


yaitu orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti
apa yang paling baik di antaranya. (QS Az Zumar [39] : 18).
(2) Firman Allah SWT :


Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu. (QS Az Zumar [39] : 55).
(3) Hadits Nabi SAW :


Apa yang dianggap baik oleh kaum muslim, maka ia di sisi
Allah juga baik.

TARJIH TENTANG ISTIHSAN


Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, dari keempat macam
Istihsan di atas ada yang diterima dan ada yang ditolak. Yang

98
disebut Istihsan Sunnah dan Istihsan Ijma, sebenarnya adalah
pentarjihan dalil-dalil (tarjiihu adillah), bukan Istihsan.

Ini dapat diterima.


Dalam masalah kesaksian Khuzaimah, terjadi pentarjihan as-
Sunnah atas Qiyas (as-Sunnah dianggap lebih kuat daripada
Qiyas). Dalam masalah istishsna, terjadi pentarjihan Ijma
Shahabat atas Qiyas. (Ijma Shahabat dianggap lebih kuat
daripada Qiyas).

Adapun yang disebut Istihsan Qiyasi dan Istihsan Maslahah (atau


Istihsan Dharurah), tidak dapat diterima, karena hakikatnya
adalah meninggalkan dalil dan menghukumi sesuatu berdasarkan
maslahah dan hawa nafsu. (Taqiyuddin An Nabhani,
Syakhshiyah, 3/425).

Menurut Syaikh M. Husain Abdullah, mengamalkan Istihsan


maslahah/dharurah tak dapat diterima, karena berarti merujuk
kepada maslahah dan dharurah, bukan merujuk kepada al-Kitab
dan as-Sunnah yang diperintahkan Al Qur`an (QS 4:59). (M
Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 144).

99
PENGERTIAN MASHALIH MURSALAH


.
Mashalih mursalah adalah kemaslahatan-kemaslahatan
(mashalih) yang tidak ada dari Musyarri suatu dalil yang khusus
tentangnya, dan tidak memberi kesaksian untuknya apakah
kemaslahatan itu disyariatkan atau tidak disyariatkan. (M. Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 152).

Mashalih adalah jamak dari mashlahah, yang berarti memperoleh


manfaat dan menolak mafsadat (jalbul manfaah wa daful
mafsadah). Mashalih ada tiga macam :
(1) Mashlahah mutabarah : kemashlatan yang diakui syariah,
seperti bolehnya jual beli.
(2) Maslahah mulghah : kemaslahatan yang dibatalkan syariah,
seperti riba.
(3) Maslahah mursalah : kemaslahatan yang dimutlakkan
(mursalah), yakni tidak ada pengakuan (itibaar) dan juga
tak ada pembatalan (ilghaa`) dari syariah.

100
CONTOH MASHALIH MURSALAH
Ulama yang menggunakan dalil Mashalih memberi contoh
Mashalih Mursalah sbb :
(1) Pengumpulan Al Qur`an dalam satu mushaf pada zaman
Khalifah Abu Bakar Shiddiq.
(2) Penggandaan mushaf Al Qur`an oleh Khalifah Utsman bin
Affan dan pembakaran mushaf-mushaf lainnya.
(3) Tindakan Umar bin Khaththab yang menumpahkan air susu
yang dicampur air putih yang dimiliki oleh seorang
pedagang di Madinah. (M. Husain Abdullah, Al Wadhih fi
Ushul Al Fiqh, hlm. 153).

PANDANGAN ULAMA TTG MASHALIH MURSALAH


(1) Sebagian ulama menggunakan Mashalih Mursalah sebagai
dalil syari, yaitu Imam Malik, ulama Malikiyyah, dan ulama
Hanabilah.
(2) Sementara ulama Hanafiyah dan Syafiiyyah tidak
menggunakan Mashalih Mursalah sebagai dalil syari tersendiri,
namun memasukkannya sebagai bagian dari Qiyas. (M. Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 155).

101
CATATAN :
Imam Malik menetapkan 4 (empat) syarat untuk kemaslahatan
yang akan diambil berdasarkan Mashalih Mursalah, sbb :
(1) kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan Maqashidus
Syariah (tujuan-tujuan Syariah), yaitu menjaga agama, akal,
jiwa, keturunan, dan harta.
(2) kemaslahatan itu rasional, dalam arti akan diterima oleh
orang yang berakal sehat.
(3) kemaslahatan itu diambil untuk menghilangkan kesulitan
(raful haraj), sesuai QS Al Hajj : 78.
(4) kemaslahatan itu bersifat umum untuk masyarakat umum,
bukan untuk golongan tertentu. (M. Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 157-158)

DALIL ULAMA PENGGUNA MASHALIH MURSALAH


(1) Para shahabat telah menetapkan hukum berdasarkan
maslahah, seperti pengumpulan mushaf pada masa Abu
Bakar, dll.
(2) Karena mengambil kemaslahatan yang sesuai dengan
Maqashidus Syariah, berarti mengambil sesuatu yang
diakui Syariah.

102
(3) Karena jika tidak mengambil Mashalih Mursalah, yang
sesuai syariah, manusia akan mengalami kesulitan (QS Al
Hajj :78; QS Al Baqarah : 185). (M. Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 156)

TARJIH TTG MASHALIH MURSALAH


Menurut Syaikh Muhammad Husain Abdullah, Mashalih
Mursalah tidak layak menjadi dalil syari dengan 4 alasan sbb :
(1) Mereka yang menggunakan dalil Mashalih Mursalah keliru
memposisikan maslahah. Mereka meletakkan maslahah
sebagai illat (alasan) penetapan hukum syara. Padahal yang
benar, maslahah adalah hasil (natiijah) dari penerapan
hukum syara.

(2) Sesungguhnya tidak tepat jika dikatakan bahwa illat (alasan)


penetapan hukum syara secara umum adalah maslahah
(memperoleh manfaat atau menolak mafsadat). Sebab illat
hukum syara bersifat unik (berbeda-beda) untuk setiap
hukum yang berillat syariyyah. Sebagai contoh :
a. Untuk kasus haramnya jual beli pada saat adzan Jumat
(QS Al Jumuah : 9), illatnya adalah karena jual beli itu

103
dapat melalaikan dari sholat Jumat (al ilha` an as
sholat), bukan karena maslahah.
b. Untuk kasus wajibnya qishah, illatnya adalah untuk
menjaga kehidupan masyarakat (QS Al Baqarah : 179) ,
bukan karena maslahah.

(3) Untuk contoh-contoh yang mereka sebut terjadi pada masa


shahabat, sebenarnya dalilnya bukan maslahah, melainkan
nash, keterangannya sebagai berikut :
a. Pada kasus pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar,
juga penggandaan mushaf pada masa Utsman, dalilnya
bukan maslahah, melainkan nash hadits laa dharara wa
laa dhiraara. (Tidak boleh ada bahaya bagi diri sendiri
maupun bagi orang lain). (HR Ahmad)
b. Pada kasus tindakan Umar menumpahkan susu yang
dicampur air, dalilnya bukan maslahah melainkan nash
hadits man ghasysyanaa laisa minna (barangsiapa
menipu kami, dia bukan golongan kami). (HR Muslim
dan Tirmidzi).

104
(4) Mengambil Mashalih Mursalah, berarti mengambil sesuatu
yang tidak diberikan Rasulullah SAW, ini jelas tidak boleh
(Lihat QS Al Hasyr : 7).

Berdasarkan 4 alasan di atas, maka Mashalih Mursalah tidak


memiliki kehujjahan sebagai dalil syari (sumber hukum)
Namun hukum-hukum yang diistinbath berdasarkan Mashalih
Mursalah, tetap dianggap sebagai hukum syara, meskipun tidak
mengikat / berlaku bagi mereka yang tidak menggunakan
Mashalih Mursalah sebagai dalil syari. (M. Husain Abdullah, Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hlm. 160-161).

105
BAB X
IJTIHAD

POSISI IJTIHAD DALAM KAJIAN USHUL FIQIH

POKOK BAHASAN
1. Pengertian Ijtihad
2. Mengapa harus ada ijtihad?
3. Hukum Ijtihad
4. Tiga Syarat Ijtihad
5. Tiga Langkah Ijtihad
6. Tiga Tingkatan Ijtihad

106
PENGERTIAN IJTIHAD


.
Ijtihad dlm pengertian bahasa adalah mengerahkan kesanggupan
dlm mewujudkan suatu perkara yg mengharuskan adanya beban
dan kesulitan.



.
Menurut istilah ulama ushul fiqih, ijtihad adalah mengerahkan
segala kesanggupan dalam mencari hukum syara yang zhanni
(bersifat dugaan) sampai batas dia merasa tak mampu lagi
menambah kesanggupannya. (Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul
Ilal Ushul, hlm. 257).
Berdasarkan definisi ijtihad diatas, Imam Taqiyuddin
Nabhani menegaskan bahwa dalam aktivitas ijtihad harus ada 3
hal: Ada upaya maksimal mengerahkan segala kesanggupan,
hasil ijtihad berupa hukum syara yang bersifat zhanni dan
sumber ijtihad adalah nash-nash syariah (al-Qur`an & as-
Sunnah).

107
MENGAPA HARUS ADA IJTIHAD?
Sebab banyak masalah-masalah baru yang tidak ada nash-
nya dalam al-Qur`an dan as-Sunnah, misalnya : kloning, bayi
tabung, dll. Padahal manusia wajib terikat dengan hukum syara
dalam segala perbuatannya, termasuk dalam masalah-masalah
baru. Dalil-dalil wajibnya terikat dengan hukum syara QS 5:49;
QS 4:65, dll. Maka ijtihad menjadi wajib, berdasarkan kaidah
maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib (kewajiban yang
tak terlaksana kecuali dgn sesuatu, maka sesuatu itu menjadi
wajib pula hukumnya).
Maka ijtihad itu wajib, sebab tanpa ijtihad tak mungkin
seseorang terikat dengan hukum syara pada masalah-masalah
baru. (Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 260)

HUKUM IJTIHAD
Ijtihad hukumnya adalah fardhu (wajib), namun bukan
fardhu ain, melainkan fardhu kifayah. Artinya, jika sudah ada
sebagian kaum muslimin yang telah melaksanakannya (yaitu
berijtihad), maka gugurlah kewajiban sebagian yang lainnya
(Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 260)

108
Ijtihad telah disyariatkan berdasarkan dalil as-Sunnah :
(1) Sunnah Qauliyah :

.


Jika seorang hakim menghukumi lalu beritihad dan benar
maka dia mendapat dua pahala, dan jika dia menghukumi
lalu berijtihad dan salah, maka dia mendapat satu pahala.
(HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi).
(Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 262)

(2) Sunnah Taqriiriyyah :

(:
.)
: :
.

Setelah selesai Perang Khandaq, Nabi SAW memerintahkan
kaum muslimin mengejar Yahudi hingga ke Bani Quraizhah.
Maka Nabi SAW bersabda,Janganlah seorangpun shalat Ashar

109
hingga dia sampai di Bani Quraizhah. Sebagian memahami
sabda itu apa adanya dan shalat Ashar di kampung Bani
Quraizhah meski sudah masuk maghrib. Sebagian memahami
sabda itu maksudnya hanya untuk mempercepat kaum muslimin
sampai di kampung Bani Quraizhah dan shalat Ashar di jalan
pada waktunya. Kedua versi pemahaman ini (ijtihad) dibenarkan
oleh Rasulullah SAW (HR Bukhari 3893 dan Muslim). (Atha
bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 262)

Sunnah Taqriiriyah lainnya :






".
:" "

"
.
" "
" . : "



.

Sunnah Taqriiriyah lainnya :


Nabi SAW mengutus Muadz bin Jabal RA ke Yaman dan
bertanya,Dengan apa kamu menghukumi?
Muadz menjawab,Dengan Kitabullah.

110
Nabi SAW bertanya,Kalau tidak ada?
Muadz menjawab,Dengan Sunnah Rasulullah.
Nabi SAW bertanya,Kalau tidak ada?
Muadz menjawab,Aku akan berijtihad dengan pendapatku.
Nabi SAW bersabda,Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufik kepada utusan Rasulullah. (HR Ahmad, Abu Dawud,
Tirmidzi 1342). (Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul,
hlm. 262)

TIGA SYARAT IJTIHAD


Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkiir syarat
ijtihad ada 3 (tiga), yaitu :
1. Memahami fakta masalah yang akan dihukumi.
2. Memiliki al maaarif al lughawiyah (pengetahuan bahasa
Arab) spt nahwu, sharaf, dll
3. Memiliki al maaarif al syariyah (pengetahuan syariah) spt
Ushul Fiqih, Ulumul Qur`an, Mustholah Hadits, dll

TIGA LANGKAH IJTIHAD


Menurut Syekh Atha bin Khalil, ada tiga langkah dalam
berijtihad :
1. Memahami fakta masalah yang akan dihukumi

111
2. Mengkaji nash-nash syara yang terkait dengan masalah tsb
3. Mengistinbath hukum syara dari nash-nash syara tsb.
(Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 264-265)

TIGA TINGKATAN IJTIHAD


Orang yang mampu berijtihad disebut mujtahid. Mujtahid ada 3
(tiga) tingkatan : Mujtahid Mutlak, Mujtahid Mazhab, Mujtahid
Masalah.
1. Mujtahid Mutlak = mujtahid yang mengistinbath kaidah
ushul fiqih dan hukum syara.
2. Mujtahid Mazhab = mujtahid yang mengistinbath hukum
syara, tapi mengikuti kaidah ushul fiqih mujtahid mutlak
(Imam mazhab) yang diikutinya.
3. Mujtahid Masalah = mujtahid yang mengistinbath hukum
syara dalam satu masalah tertentu.

112
BAB XI
TAQLID

POKOK BAHASAN
1. Pengertian Taqlid
2. Hukum Taqlid
3. Macam-Macam Muqallid
4. Macam-macam Cara Bertaqlid

1. PENGERTIAN TAQLID


Taqlid dalam pengertian bahasa artinya mengikuti orang lain
tanpa ada perhatian / telaah (ta`aamul).




Taqlid menurut syariah adalah mengamalkan pendapat orang lain
tanpa hujjah yang mengikat (mulzimah), seperti seorang
muqallid aammi yang mengambil pendapat seorang mujtahid,
atau seorang mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain
seperti dirinya. (Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al
Islamiyyah, 1/218).

113




Jika Anda mengajukan dalil, dan mengetahui segi istinbath
hukumnya dari dalil itu... Maka hujjah yang menjadi sandaran
hukum itu berarti telah mengikat bagi Anda (mulzimah).
Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 1/221.

2. HUKUM TAQLID

.


:
(
)171 :

:


( .)114 :

114
.
: ( )43 :
:

.
.


:
.

115
:162 2 :
)1881(
Terdapat riwayat shahih dari Syabi (seorang tabiin) bahwa ada
6 orang shahabat Nabi yang memberi fatwa kepada masyarakat,
yaitu Ibnu Masud, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib,
Zaid bin Tsabit, Ubay bin Kaab, dan Abu Musa,
Saat itu 3 orang meninggalkan pendapatnya sendiri untuk
mengikuti 3 pendapat lainnya.

Abdullah (Ibnu Masud) meninggalkan pendapatnya sendiri


untuk mengikuti pendapat Umar, Abu Musa meninggalkan
pendapatnya sendiri untuk mengikuti pendapat Ali, dan Zaid
meninggalkan pendapatnya sendiri untuk mengikuti pendapat
Ubay bin Kaab. (HR Ahmad, dalam kitab Al Ilal wa
Marifatur Rijal, 2/162) (Taqiyuddin Nabhani, Syakhshiyyah,
1/219).

Kesimpulan : berdasarkan dalil al-Qur`an dan as-Sunnah, juga


amal para shahabat, maka bertaqlid dalam persoalan hukum-
hukum syara adalah boleh (ja`iz). (Taqiyuddin Nabhani,
Syakhshiyyah, 1/221).

116
3. MACAM-MACAM MUQALLID
Orang yang bertaqlid disebut muqallid. Dari segi tahu tidaknya
dalil, muqallid ada 2 (dua) macam :
(1) Muqallid aammy : yaitu muqallid yang mengamalkan suatu
hukum dan tidak mengetahui dalilnya.
(2) Muqallid muttabi : muqallid yang yang mengamalkan suatu
hukum dan mengetahui dalilnya.

Dari segi mujtahid atau bukan mujtahid, muqallid itu ada 2 (dua)
macam :
(1) Muqallid yang mujtahid, yaitu seorang muqallid yang
mempunyai kemampuan ijtihad
(2) Muqallid yang bukan mujtahid, yaitu seorang muqallid yang
tidak mempunyai kemampuan ijtihad

Jadi muqallid ada kalanya seorang mujtahid, ada kalanya bukan


mujtahid. Artinya, bisa jadi seorang mujtahid bertaqlid kepada
mujtahid lain dalam satu hukum syara. Bisa jadi yang bertaqlid
kepada seorang mujtahid itu adalah memang bukan mujtahid.

117
Jadi dalam satu hukum, bisa jadi yang bertaqlid adalah dua
macam muqallid, yaitu mujtahid dan bukan mujtahid.

Atau pada diri satu orang, bisa jadi dia mujtahid pada satu
hukum, namun bisa jadi dia muqallid pada hukum yang lain.
Jadi taqlid itu ada 2 (dua) macam (dilihat dari segi pelakunya) :
(1) Taqlid yang dilakukan oleh mujtahid
(2) Taqlid yang dilakukan oleh bukan mujtahid

4. MACAM-MACAM CARA BERTAQLID


(1) Taqlid oleh mujtahid
Jika seorang mujtahid belum berijtihad, sedang mujtahid lain
sudah berijtihad, maka boleh dia bertaqlid kepada mujtahid
lainnya itu, sebab ijtihad hukumnya fardhu kifayah.
Adapun jika seorang mujtahid telah berijtihad, tidak boleh dia
bertaqlid kepada mujtahid lainnya, kecuali dalam 4 keadaan sbb :

Pertama, jika terbukti pendapatnya lemah dan pendapat mujtahid


lain lebih kuat, wajib dia meninggalkan pendapatnya guna
mengikuti pendapat lain yang lebih kuat.

118
Kedua, jika terbukti bahwa mujtahid lain mempunyai ilmu yang
lebih luas daripada dirinya, boleh dia meninggalkan pendapatnya
guna mengikuti mujtahid lain.

Ketiga, jika khalifah telah mengadopsi (men-tabanni) suatu


hukum syara yang berbeda dengan hukum hasil ijtihadnya,
wajib dia meninggalkan pengamalan pendapatnya guna
mengamalkan pendapat yang ditabanni khalifah.

Keempat, jika dikehendaki untuk menyatukan kaum muslimin,


boleh dia meninggalkan pendapatnya guna mengikuti pendapat
mujtahid lain. (Taqiyuddin Nabhani, Syakhshiyyah, 1/222-224).

(2) Taqlid oleh bukan mujtahid


Jika seorang itu bukan mujtahid (yaitu muqallid), wajib baginya
bertanya suatu hukum syara kepada orang lain yang mengetahui
hukum syara. (QS An nahl : 43) Jika seorang muqallid bertaqlid
kepada seorang mujtahid (misal Imam Syafii) dalam satu
masalah (misal sholat), bolehkah muqallid itu bertaklid kepada
mujtahid lainnya (misal Imam Abu Hanifah)?

119
Jawabannya ada rincian (tafshiil) sebagai berikut:
Pertama, jika muqallid itu sudah mengamalkan pendapat
mujtahid yang ditaklidinya dalam satu masalah, tidak boleh
muqallid itu mengikuti pendapat mujtahid lainnya.
Jadi, kalau seseorang sudah mengamalkan masalah sholat
menurut madzhab Imam Syafii, tidak boleh dia bertaklid dalam
masalah sholat menurut madzhab Imam Abu Hanifah.

Kedua, jika muqallid itu belum mengamalkan pendapat mujtahid


yang ditaklidinya dalam satu masalah, maka dia boleh mengikuti
pendapat mujtahid lainnya dalam masalah itu.
Misalkan orang yang mengikuti madzhab Syafii belum naik
haji, maka boleh baginya pada saat dia naik haji mengikuti
madzhab lain dalam masalah haji, seperti madzhab Abu Hanifah
atau Ahmad bin Hanbal. (Taqiyuddin An Nabhani, Nizhamul
Islam, hlm. 77; Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 1/234-235; Atha
Abu Rasytah, Taisir Al Wushul Ila Al Ushul, hlm. 272).

Jika muqallid menghadapi khilafiyah (perbedaan pendapat),


bagaimanakah sikap yang harus diambil?

120
Jawabannya : Seorang bukan mujtahid (muqallid) tidak boleh
pilih-pilih hukum sesuka hatinya jika ada perbedaan pendapat
(khilafiyah).

Mengikuti salah satu pendapat yang ada khilafiyah padanya


berdasarkan hawa nafsu, sama saja dengan mengikuti hawa
nafsu. Yang demikian itu dicela oleh Allah SWT :



Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. (QS An Nisaa` :
135).

Jika seorang muqallid menghadapi pendapat-pendapat yang


berbeda dalam satu masalah, wajib atasnya melakukan tarjih,
bukan memilih pendapat secara suka-suka berdasarkan hawa
nafsu. Melaksanakan kewajiban tarjih adalah mengikuti perintah
Allah dan Rasul-Nya dalam kondisi adanya perselisihan
pendapat (QS An Nisaa` ; 59).

Tarjih adalah memilih pendapat yag paling kuat dalilnya di


antara beberapa pendapat yang berbeda dalam satu masalah.

121
Cara muqallid melakukan tarjih :
(1) Bagi muqallid yang tidak mampu menilai dalil, maka
murajjih (faktor pentarjih) yang harus dipertimbangkan adalah
sosok MUJTAHID-nya. Dua kriteria untuk mentarjih mujtahid
yang satu atas mujtahid lainnya adalah :
Pertama, ilmu, yaitu siapa mujtahid yang dinilai lebih paham
atau lebih berilmu.
Kedua, adalah (keadilan), yaitu mujtahid yang diikuti wajib
mempunyai sifat adalah.

Kriteria adalah (keadilan), ialah tidak melakukan dosa-dosa


besar (kaba`ir), tidak terus menerus melakukan dosa kecil
(shagha`ir), dan tidak melakukan perbuatan yang merusak
kepatutan (muru`ah).

(2) Bagi muqallid yang mampu menilai dalil, maka murajjih


(faktor pentarjih) yang harus dipertimbangkan adalah DALIL-
nya, bukan sosok MUJTAHID-nya. Misal hadits shahih/hasan
lebih kuat dari hadits dhaif, dsb.

122
CATATAN-CATATAN:

123
CATATAN-CATATAN:

124

Anda mungkin juga menyukai