HUKUM SYAR'I
A. PENGERTIAN HUKUM SYAR’I
Hukum Syar‟i berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari 2 kata, yaitu Hukum
dan Syar‟i (Syari‟ah).
Kata “Syar‟i (Syari‟ah)” secara etimologi (bahasa) adalah “jalan yang ditempuh oleh
manusia atau ketetapan Allah untuk hamba-hambanya”.
2
2.Wajib Mudhayyaq atau Mi’yar adalah kewajiban pada waktu
tertentu tapi tidak memungkinkan mengerjakan yang semisalnya
atau Jika waktu yang ditetapkan oleh syari‟ hanya untuk kewajiban
itu saja tidak yang lain, misalnya waktu puasa Ramadan. Dalam
bulan ini seorang mukallaf tidak bisa menjalankan puasa lain selain
puasa Ramadan.
3.Wajib Dzasysyibhain (yang memiliki dua kesamaan) adalah
pekerjaan wajib, di satu sisi mempunyai waktu yang luas dan di sisi
lain mempunyai waktu yang sempit. Contoh : waktu haji (bulan-
bulan hari). Dari segi mukallaf, dia dapat menunaikan haji hanya
satu kali dalam setahun. Dari segi bahwa ibadah haji tidak
menghabiskan seluruh bulan-bulan hajji maka waktu itu menjadi
luas dan memuat hal-hal lain yang sejenisnya.
2) Wajib ditinjau dari segi ketentuannya dari syari‟, terbagi menjadi dua, yaitu:
a) Wajib Muhaddad atau Wajib Muhaddadul Miqdar (ketentuan yang
dibatasi) adalah suatu kewajiban yang ketentuannya ditentukan oleh syari‟
sehingga mukallaf tidak akan keluar dari tanggungan kewajiban itu kecuali
apabila ia telah melakukannya sebagaimana syari‟ telah menetapkannya atau
kewajiban yang sudah ditetapkan kadarnya atau ukurannya. Misalnya shalat
lima waktu. Shalat fardhu ini harus dilakukan sesuai dengan jumlah, rukun
dan syarat yang telah dibatasi oleh syari‟.
b) Wajib Ghoiru Muhaddad atau Wajib Ghair Muhaddad al Miqdar
(ketentuan yang tidak dibatasi) adalah suatu kewajiban yang ketentuannya
tidak dibatasi oleh syari‟ atau kewajiban yang tidak ditetapkan kadarnya atau
ukurannya. Misalnya infaq di jalan Allah, kadar nafkah, saling tolong
menolong pada kebaikan, dan memberi makan orang yang lapar. Tujuan
kewajiban ini tidaklah lain untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan ketentuan
yang dapat memenuhi kebutuhan itu tergantung yang dapat memenuhi
kebutuhan itu tergantung pada jenis kebutuhan.
3) Wajib ditinjau dari segi tuntunan penunainya, terbagi menjadi dua, yaitu:
a) Wajib ‘Aini (wajib ‘ain) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari‟ supaya
dilaksanakan oleh setiap mukallaf atau kewajiban yang berlaku untuk setiap
mukallaf, bukan sebagian saja dari mukallaf. Misalnya: shalat lima waktu,
zakat, puasa ramadhan, haji.
b) Wajib Kifa’i (wajib kifayah) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari‟
untuk dilaksanakan tanpa melihat siapa yang melaksanakannya atau kewajiban
yang jika sudah dilaksanakan oleh sebagian, gugur kewajiban sebagian lainnya
yang tidak mengerjakan. Jadi syari‟ hanya menuntut dari kelompok mukallaf,
jika seorang mukallaf telah melakukannya maka gugurlah dosa dari mukallaf
yang lain, tapi apabila tidak ada seorang mukallafpun yang melakukannya
maka semua mukallaf berdosa karena mengabaikan kewajiban itu. Misalnya
menjawab salam, amar ma‟ruf nahi munkar, menshalatkan orang yang
meninggal (shalat jenazah), menolong orang lain.
3
Wajib kifayah bisa menjadi wajib „ain apabila tidak ada yang bisa
melakukannya kecuali mukallaf itu. Contoh: ada seorang yang tenggelam, sedang
semua orang yang menyaksikan tidak ada yang pandai berenang kecuali satu orang,
maka wajib kifayah itu menjadi wajib „ain baginya. Atau contoh lain, dalam satu
negeri hanya terdapat satu dokter, maka menolong orang sakit yang seharusnya wajib
kifayah menjadi wajib „ain sehingga dokter itu harus menolong orang yang sakit.
4) Wajib ditinjau dari segi sifatnya, terbagi menjadi dua, yaitu:
a) Wajib Mu’ayyan (tertentu) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari‟
dengan sendirinya tanpa pilihan antara satu kewajiban dengan kewajiban
lainnya atau kewajiban yang sudah tertentu dan tak bisa digantikan yang lain.
Maksudnya mukallaf harus melaksanakan kewajiban itu sendiri tanpa memilih
yang lainnya. Seperti shalat, maka mukallaf harus melakukan kewajiban itu
dengan sendirinya, shalat lima waktu, tak bisa digantikan dengan qiraatul
Qur‟an.
b) Wajib Mukhayyar atau Wajib Ghair Mu’ayyan (pilihan) adalah sesuatu
yang diperintah oleh syari‟ secara samar yang mencakup semua perkara yang
ditentukan. Maksudnya, mukallaf diharuskan untuk memilih salah satu
diantara kewajiban itu, sehingga hilanglah tanggungannya dengan
melaksanakan salah satunya atau kewajiban yang tidak tertentu dan bisa
digantikan yang lain. Misalnya denda bagi orang yang melanggar sumpah.
Allah SWT mewajibkan kepada orang yang melanggar sumpah untuk
memberi makanan kepada sepuluh orang miskin, atau memberi mereka
pakaian, atau memerdekakan budak (Q.S. Al-Maidah (5): 89). Mukallaf bisa
memilih salah satu diantaranya.
Kaidah: Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa waajib. Artinya: sesuatu
dapat menjadi wajib jika tanpa sesuatu itu akan mengakibatkan suatu kewajiban tidak
terlaksana. Misalnya: belajar bahasa Arab wajib, karena tak mungkin memahami Al-
Qur‟an dengan sempurna kecuali dengan bahasa Arab.
Dalam melaksanakan kewajiban ini dikenal istilah-istilah, yaitu:
1) Al-Adaa’, yaitu melaksanakan kewajiban pada waktu yang sudah
ditentukan syara‟.
2) Al-Qadha, yaitu melaksanakan kewajiban setelah lewat waktu yang sudah
ditentukan.
3) Al-‘Iaadah, yaitu mengulang kembali melaksanakan kewajiban untuk
kedua kalinya pada waktu yang sama (yang sudah ditentukan) karena merasa kurang
sempurna pada kali pertama. Seperti seseorang dalam perjalanan shalat dengan
tayammum, setelah melanjutkan perjalanannya di jalan ketemu air, sedangkan waktu
shalat masih ada, maka dia mengulang kembali shalatnya dengan wudhu‟. Perbuatan
kedua disebut „Iaadah.
4
2. MANDUB (SUNNAH/NAFILAH/MUSTAHAB/TATHAWWU’)
،التطوع) ىو ما طلب الشارع فيو فعلو طلبا غري جازم
ُ املندوب (السنة أو النافلة أو املستحب أو
الصدقة:مثل
"Mandub (Sunnah/Nafilah/Mustahab/Tathawwu‟) adalah Tuntutan secara tidak pasti
dari Allah SWT yang hanya bersifat anjuran dan yang meninggalkannya tidak dikenai
hukuman, contohnya: sedekah (shadaqah)”.
Mandub dapat juga didefinisikan apa-apa yang pelakunya dipuji dan diberi
pahala dan tidak dicela bagi yang tidak melakukannya. Istilah lain dari mandub:
sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu‟. Walaupun tidak wajib, tapi muslim dianjurkan
memperbanyak yang mandub. Hikmah mengerjakan yang mandub, antara lain
menghapus dosa (Q.S. Hud (11): 114).
ِ َّ ِك ِذ ْكرى ل ِ الص َال َة طَرَِيف النَّها ِر وُزلًَفا ِمن اللَّْي ِل إِ َّن ا ْحل
ِ ِ ِ َّ ات ي ْذ ِى ْب َّ ﴿ َوأَقِ ِم
َ لذاك ِر
﴾ين َ َ السيّئَات ذَل َ ُ َسن ََ َ َ َ َ
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat” (Q.S. Hud (11): 114).
Ada kalanya suatu perbuatan mandub bagi orang per orang, tapi wajib bagi
umat secara keseluruhan, seperti nikah.
Para Ulama Ushul Fiqh membagi Mandub atau Sunnah menjadi tiga macam,
yaitu:
a) Sunnah Muakkadah, yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat
pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa, tetapi yang meninggalkannya
mendapat celaan, seperti Shalat Sunnah Rawatib.
b) Sunnah Ghairu Muakkadah, yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan
mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa dan tidak pula mendapat
celaan, seperti Puasa Senin Kamis.
c) Sunnah Zaidah, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan untuk mengikuti
Rasulullah SAW, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak
dikerjakan tidak berdosa dan tidak pula dicela, seperti Mengikuti Cara Tidur
Rasul.
3. HARAM (MAHZUUR/HAZHAR)
الراب والزان: مثل،احلرام (ا﵀ظور أو احلظر) ىو ما طلب الشارع فيو تركو طلبا جازما
"Haram (Mahzhuur/Hazhar) adalah Tuntutan secara pasti dari Allah SWT untuk
meninggalkannya, contohnya: riba dan zina”.
Haram dapat juga didefinisikan apa-apa yang pelakunya dicela dan berhak
mendapat siksa serta bagi yang meninggalkannya mendapat pahala. Istilah lain dari
haram: mahzhuur, atau hazhar. Pembagian haram:
(1) Haram li dzatihi: yaitu haram pada sesuatu itu sendiri/karena zatnya atau esensi
dari pekerjaan tersebut, seperti memakan bangkai, babi, berjudi, membunuh, zina,
minum khamr, memakan harta anak yatim. Akibat dari Haram li dzatihi ini,
5
hukumnya menjadi batal, seperti memperjualbelikan minuman yang memabukkan
dengan berbagai merk, maka jual belinya batal.
(2) Haram li ghairihi: yaitu haram bukan pada dirinya sendiri/karena zatnya, tapi
karena ada illat syar‟iyah yang mengharamkannya, seperti melihat aurat perempuan
yang akan dapat membawa kepada perzinahan.
Kadang-kadang Haram li ghairihi disebut juga dengan Haram „ardhi atau
sampingan, yaitu sesuatu perbuatan menurut asalnya tidak haram, akan tetapi karena
dilakukan dalam suatu kondisi tertentu yang dilarang, maka menjadi haram, seperti
jual beli ketika khatib khutbah Jum‟at, jual beli sendiri hukumnya mubah, akan tetapi
karena dilakukan ketika khatib sedang khutbah Jum‟at, maka jual belinya menjadi
haram.
Kaidah: al-Wasilah ila al-harami haram. Artinya: segala perantaraan, baik
berupa perbuatan atau benda, yang hukum asalnya tidak haram, menjadi haram jika
diduga kuat akan mengantarkan kepada yang haram, misalnya: menyewakan kamar
bagi PSK, menjual anggur bagi pembuat khamr.
Larangan disebut Tahrim, akibat dari larangan tersebut disebut Hurmah, dan
perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan adalah Haram.
4. MAKRUH
احلديث يف احلمام والتداوي ابلنجاسات: مثل،املكروه ىو ما طلب الشارع فيو تركو طلبا غري جازم
وا﵀رمات
“Makruh adalah Tuntutan secara tidak pasti dari Allah SWT untuk meninggalkannya,
contohnya: berbicara di dalam kamar mandi, berobat dengan yang menajiskan dan
yang diharamkan”.
Makruh merupakan perbuatan yang jika ditinggalkan akan mendapat pahala
dan tidak disiksa jika dikerjakan. Contoh: idho‟atul maal (boros).
Menurut ulama Hanafiyah, makruh ada dua:
(1) Makruh Tahriim, yaitu makruh yang pelakunya berhak mendapat siksa
atau tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan secara pasti tetapi dalil yang
menunjukkannya bersifat zhanni. Contohnya: larangan memakai sutera dan perhiasan
emas bagi laki-laki.
(2) Makruh Tanziih, yaitu makruh yang pelakunya tidak mendapat siksa atau
tuntutan untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntutan tidak pasti. Contohnya: merokok
kalau dilakukan oleh orang yang sudah dewasa hanya makruh, akan tetapi bila
dilakukan oleh anak-anak di bawah umur maka hukumnya menjadi haram.
Jumhur ulama menetapkan bahwa perbuatan yang berhak mendapat siksa
lebih tepat digolongkan kepada haram, bukan makruh.
5. MUBAH
شرب املاء والشاي والقهوة: مثل،املباح ىو ما خري الشارع فيو بني لبفعل أو الرتك
“Mubah adalah Tuntutan Allah SWT yang redaksinya bersifat memilih antara berbuat
atau tidak, contohnya: minum air, teh, kopi”.
Mubah itu bukan berarti sesuatu yang tidak ada dalilnya, melainkan ada dalil
yang menunjukkan bahwa sesuatu itu mubah. Kaidah tentang benda berbunyi: al-
6
Ashlu fil asy-yaa’ al-ibaahah maa lam yarid dalil at-tahrim. Artinya: Hukum asal
mengenai benda-benda adalah boleh, selama tak terdapat dalil yang mengharamkan.
Kaidah tentang perbuatan berbunyi: al-Ashlu fil af’aal at-taqayyudu bil
hukmis syar’i. Artinya: hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara‟.
Maksud dari kaidah ini, bahwa setiap perbuatan manusia pasti ada hukumnya dalam
syariah Islam Sehingga tidak boleh seorang muslim melakukan suatu perbuatan,
kecuali setelah dia mengetahui hukumnya, apakah itu wajib, mandub, mubah,
makruh, atau haram. Tanda mengamalkan kaidah tersebut, adalah bertanya hukum
sebelum berbuat.
CONTOH SEBAB
Contoh-contoh sebab dan musabab (akibat hukumnya):
SEBAB MUSABAB (AKIBAT HUKUM)
KEKERABATAN WARIS
KETERPAKSAAN BOLEHNYA MEMAKAN
7
BANGKAI
PERJALANAN (SAFAR) BOLEH BERBUKA PUASA
AKAD NIKAH SAH PERGAULAN SUAMI ISTRI
AKAD NIKAH SAH SALING MEWARISI
PEMBUNUHAN QISHASH
ZINA HUDUD BAGI ZINA
PENYEMBELIHAN BOLEHNYA MEMANFAATKAN
SYAR‟I
2. SYARAT
وال يلزم من وجوده، ويلزم من عدمو عدم احلكم،الشرط ىو األمر الذي يتوقف عليو وجود احلكم
وجود احلكم
“Syarat adalah perkara yang kepadanya bergantung hukum. Ketiadaan syarat
memastikan ketiadaan hukum, tapi keberadaan syarat tidak memastikan keberadaan
hukum, misalnya: wudhu adalah syarat shalat, tanpa wudhu tak akan ada shalat tapi
adanya wudhu tak memastikan adanya shalat”.
Syarat terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a) Syarat Syar’i, yaitu syarat yang ditentukan oleh Syari‟ (pembuat hukum), seperti
syarat dalam pernikahan, syarat jual beli, hibah wasiat, syarat mendirikat shalat
lima waktu, syarat menunaikan zakat dan syarat untuk melakasanakan haji.
b) Syarat Ja’li, yaitu syarat yang dibuat oleh mukallaf, seperti syarat yang dibuat
oleh pasangan suami istri dalam berumah tangga.
CONTOH SYARAT
Contoh syarat dan masyruuth (hukum yang memerlukan syarat itu):
SYARAT MASYRUTH
SAKSI NIKAH
MUHSHONNYA PEZINA RAJAM ATAS PEZINA MUHSHON
HIDUPNYA AHLI WARIS AHLI WARIS
DUKHUL KEPADA HARAMNYA NIKAH DENGAN
PEREMPUAN ANAK GADIS DARI PEREMPUAN
TERSEBUT
HAUL WAJIBNYA ZAKAT MAL
MENGHADAP KIBLAT SHALAT
MENUTUP AURAT SHALAT
TERSIMPANNYA BARANG POTONG TANGAN PENCURI
3. MANI’ (PENGHALANG)
املانع ىو ما يلزم من وجوده عدم وجود احلكم أو بطالن السبب
“Mani‟ adalah apa-apa yang keberadaannya memastikan tiadanya hukum, atau
memastikan batalnya sebab. Mani‟ adalah kebalikan dari sebab”. Contoh: haid dan
nifas adalah mani‟ dilakukannya shalat bagi wanita. Hilangnya akal (tidur/gila) adalah
mani‟ dilakukannya shalat, puasa.
8
Secara umum Mani‟ ada 2 (dua) macam, yaitu:
(1) Mani‟ yang tidak dapat bertemu dengan tholab (tuntutan untuk
melaksanakan suatu hukum syara‟). Disebut mani’ min ath-thalab wa al-ada’.
Artinya: mencegah dari tuntutan dan pelaksanaan hukum. Contohnya adalah haid dan
nifas adalah mani‟ dilakukannya shalat bagi wanita. Artinya: pada saat sedang haid
atau nifas, wanita haram untuk shalat.
(2) Mani‟ yang dapat bertemu dengan tholab (tuntutan untuk melaksanakan
suatu hukum syara‟). Disebut mani’ min ath-thalab laa min al-ada’. Artinya:
mencegah dari tuntutan, tapi tak mencegah pelaksanaan hukum. Contohnya adalah
keadaan jenis kelamin perempuan adalah mani‟ (pencegah) dilakukannya shalat Jumat
bagi wanita. Tapi kalau wanita mau shalat Jumat, sah dan tidak dilarang. Contoh lain:
kondisi belum baligh terkait kewajiban shalat dan puasa.
Ulama Hanafiyyah membagi Mani‟ kepada lima macam, yaitu:
a) Mani’ yang menghalangi sahnya sebab, seperti menjual manusia tidak sah,
karena manusia bukan harta yang boleh untuk diperjualbelikan, jual beli menjadi
sebab perpindahan milik, dengan membeli maka harta dapat dikuasai dan diambil
manfaatnya oleh pembeli.
b) Mani’ yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap yang tidak
melakukan akad, seperti seseorang menjual harta orang lain tanpa sepengetahuan
orang yang punya harta tersebut, maka jual beli seperti ini tidak sah, karena ada
mani‟ dimana ia menjual harta yang bukan miliknya.
c) Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum, seperti penjual memberikan
khiyar syarat kepada pembeli, seperti penjual mengatakan kepada pembeli: barang
ini saya jual kepadamu dengan syarat saya diperbolehkan berpikir selama tiga
hari, jika dalam tiga hari ini saya berubah pendirian maka jual beli barang ini
batal, syarat yang dibuat oleh penjual ini disebut khiyar syarat, selama tiga hari
syarat itu menghalangi si pembeli untuk memiliki barang yang dibelinya tersebut .
d) Mani’ yang menghalangi sempurnanya hukum, seperti dalam khiyar ru‟yah,
khiyar ini tidak menghalangi untuk memiliki barang yang dibeli, namun belum
sempurna sebelum barang yang dibeli tersebut dilihat oleh si pembeli.
e) Mani’ yang menghalangi kepastian hukum, seperti khiyar „aib, si pembeli
punya wewenang untuk memeriksa barang yang akan dibelinya apakah barang
tersebut cacat atau tidak, jika si pembeli mendapatkan cacat pada barang yang
dibelinya maka ia punya hak untuk membatalkan jual beli, dan masa tempo khiyar
„aib berlaku selama tiga hari.
9
AYAH TERSEBUT MEMBUNUH
ANAKNYA)
SYUBHAT HUDUD
SAKIT SHALAT JUM‟AT
MARAH MENGADILI (BAGI HAKIM)
KONDISI MASIH KECIL IBADAH HAJI
4. ‘AZIMAH
أي ما شرعو هللا أصالة من،العزمية ىي ما شرِع من األحكام تشريعا عاما وأُل ِزم العبد ابلعمل بو
أي ىي حكم عام وىي احلكم،األحكام العامة اليت ختتص حبال دون حال وال مبكلف دون مكلف
األصلي
“Azimah adalah hukum syara‟ yang disyariatkan secara umum dan mewajibkan
seorang hamba untuk melaksanakannya, artinya, azimah adalah apa yang disyaratkan
Allah sebagai hukum asal berupa hukum umum yang tidak dikhususkan untuk kondisi
tertentu atau untuk mukallaf tertentu. Artinya, azimah adalah hukum umum atau
hukum asal”.
5. RUKHSHAH
وال يلزم العباد العمل،الرخصة ىي ما شرِع من األحكام ختفيفا للعزمية لعذر مع بقاء حكم العزمية
أي ما شرعو هللا من األحكام ختفيفا على املكلف يف حاالت خاصة،هبا
“Rukhshah adalah hukum syara‟ yg disyariatkan untuk meringankan azimah karena
suatu udzur (alasan) disertai tetapnya hukum azimah. Tidak mewajibkan hamba untuk
melaksanakannya. Artinya: rukhsah adalah hukum yang disyariatkan Allah sebagai
keringanan bagi mukallaf dalam kondisi-kondisi yang khusus”.
10
6. SAH
كما وتطلق ويراد هبا، وتطلق ويراد هبا ترتُّب آاثر العمل يف الدنيا،الصحة ىي موافقة أمر الشارع
ترتُّب آاثر العمل يف اآلخرة
“Sah adalah sesuai dengan perintah Asy-Syaari‟ (Allah SWT). Sah digunakan untuk
menyebut akibat suatu perbuatan di dunia, (lepas dari tuntutan peradilan). Juga
digunakan untuk menyebut akibat suatu perbuatan di akhirat (pahala)”. Contoh: shalat
yang sah, artinya: pelakunya lepas dari tanggungan dan tak dapat diadili (akibat
dunia) dan ada harapan pahala (akibat akhirat).
7. BATAL
ويطلق ويراد بو عدم ترتُّب آاثر، وىو عدم موافقة أمر الشارع،البطالن ىو ما يقابل الصحة متاما
مبعىن أن يكون العمل غري جمزئي ومربئي للذمة وال مسقط،العمل يف الدنيا والعقاب عليو يف اآلخرة
للقضاء
“Batal adalah lawan dari sah, yaitu tidak sesuai dengan perintah Asy-Syaari‟ (Allah
SWT). Batal digunakan untuk menyebut tiadanya akibat suatu perbuatan di dunia,
(lepas dari tuntutan peradilan). Juga digunakan untuk menyebut akibat perbuatan di
akhirat (azab)”. Contoh: shalat yang tak memenuhi rukunnya disebut batal, artinya
pelakunya tak lepas dari tanggungan dan dapat diadili (akibat dunia) dan tiada
harapan pahala (akibat akhirat).
8. FASAD
ولكن وصفو املُ ِخل ابألصل ىو املخالف ألمر الشارع،الفساد ىو أن يكون أصلو موافقا للشرع
“Fasad adalah kondisi perbuatan yang pada asalnya sesuai syara‟, tapi sifat dari
perbuatan itu (di luar rukun dan syarat) membuat cacat perbuatan asal tersebut, yaitu
menyimpang dari perintah asy-syaari”. Fasad hanya ada pada muamalat, sedang
dalam ibadah yang ada hanya sah dan batal saja. Contohnya: orang kota berjual beli
dengan orang dusun yang tidak mengetahui harga kota. Jual belinya secara asal adalah
sah, tapi ada sifat dalam jual beli itu, di luar rukun dan akad jual beli, yaitu
pengetahuan tentang harga yang hanya diketahui salah satu pihak, yang menyimpang
dari syara. Akad yg fasad tidak wajib diulang, tapi cukup menyempurnakan apa yang
dianggap cacat.
11
CONTOH FASAD
PERBUATAN HUKUM WADH’I
Jual Beli dengan harga tidak diketahui Fasad
Akad nikah tanpa saksi Fasad
Orang kota berjual beli dengan orang dusun Fasad
Membeli barang yang sudah ditawar orang lain Fasad
Nikahnya muhallil Fasad
Nikah dengan perempuan sebagai istri kelima Fasad
Perempuan dinikah sebagai istri baru, Fasad
mensyaratkan suami menceraikan istri lama
12