Dosen Pengampu:
Segala puji bagi Allah Swt. sebagai wujud rasa syukur atas karunia-karunia-
Nya. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan ke hadirat junjungan kita
Nabi Muhammad Saw., keluarga, dan para sahabatnya. Berkat pertolongan-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tradisi Seputar Bayi” ini
dengan baik tanpa halangan suatu apapun.
Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari pembaca untuk makalah ini,
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat kesalahan dan kekurangan pada makalah ini kami
mohon maaf.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ................................................................................................ 19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
1. Agar dapat memahami hukum mengumandangkan adzan dan iqamah
pada telinga bayi yang baru lahir
2. Agar dapat mengetahui hukum mengubur ari-ari
3. Agar dapat mempelajari ketentuan hukum dalam pelaksanaan aqiqah
2
BAB II
PEMBAHASAN
َويَ ُك ْو َن األَذَا ُن بِّلَ ْف ِّظ أَذَ ِّان،السنَّةُ أَ ْن يُ َؤِّذ َن ِِّف أُذُ ِّن الْ َم ْولُْوِّد عِّْن َد ِّوََل َدتِِّّه ذَ َكًرا َكا َن أ َْو أُنْثَى
ُّ
3
Disunnahkan mengadzani telinga bayi sebelah kanan dan mengiqamati
telinganya sebelah kiri, sebagaimana iqamat untuk shalat”.
• Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menuturkan:
.ب لِّلْ َم ْولُْوِّد ِّ َّ اض ِّع الَِِّّت ي نْ َدب ََلا ْاألَذَا ُن ِِّف غَ ِّْي
ُ فَيُنْ َد،الص ََلة ْ َ ُ ُ
ِّ ِِّف الْمو:مطْلَب
ََ ٌ َ
“Pembahasan tentang tempat-tempat yang disunnahkan
mengumandangkan adzan untuk selain (tujuan) shalat, maka
disunnahkan mengadzani telinga bayi”.
• Syekh Mansur Al-Bahuti dari mazhab Hanbali juga menuliskan:
4
ٌ ِّ َوَك ِّرهَ َمال:ص ِّر الْ ُم َد َّونَِّة
ك أَ ْن يُ َؤذَّ َن ِّ ِّ ْ اب
َ َاْلَام ِّع م ْن ُمُْت ِّ َال الشَّْي ُخ أَبو ُُمَ َّم ِّد بْ ِّن أَِِّب َزيْ ٍد ِِّف كِّت
ُ َ َق
ِّ ُالصِّ ِّب الْمول ِّ
ود ْ َ َّ ِِّف أُذُن
“Syekh Abu Muhammad bin Abi Zaid berkata dalam kitab Al-Jami’ min
Mukhtasharil Mudawwanah: Imam Malik menghukumi makruh
dikumandangkannya adzan pada telinga bayi yang baru dilahirkan”
Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang mensunnahkan
adzan pada bayi yang baru dilahirkan merupakan pendapat yang kuat, sebab
didukung oleh beberapa hadits, yaitu hadits riwayat Abu Rafi’:
ِّ ِّ ِّ ِّ َّ اَّللِّ صلَّى َ ََع ْن أَِِّب َرافِّ ٍع ق
َ اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أَذَّ َن ِِّف أُذُن ا ِْلَ َس ِّن بْ ِّن َعل ٍى ح
ُني َولَ َدتْه َ َّ ول
َ ت َر ُس
ُ ْ َرأَي:ال
.ِّلصَلَة ِّ َف
َّ اط َمةُ ِِّب
“Dari Abi Rafi, ia berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
mengadzani telinga Al-Hasan bin Ali ketika dilahirkan oleh Fatimah, dengan
adzan shalat” (HR. Abu Daud, At-Tirmizy dan Al-Hakim).
• Imam Al-Hakim menilai hadits tersebut sebagai hadits yang shahih.
• Sedangkan imam At-Tirmizy mengkategorikannya sebagai hadits yang
‘hasan shahih’. Jika imam At-Tirmizy menyebut kata ‘hasan shahih’, maka
ada dua kemungkinan:
1. Jika hadits tersebut memiliki dua sanad, maka salah satu sanadnya
dihukumi hasan, sedangkan sanad yang lain dihukumi shahih.
2. Jika hadits tersebut hanya memiliki satu sanad, maka artinya hadits itu
dihukumi hasan menurut sebagian ulama, dan dihukumi shahih
menurut sebagian ulama yang lain.
• Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i juga menshahihkan hadits ini,
sebagaimana tertuang dalam kitab Al-Majmu’.
Selain hadits di atas, pendapat ini juga diperkuat oleh hadits riwayat Husein
bin Ali
5
َم ْن ُولِّ َد لَهُ فَأَذَّ َن ِِّف أُذُنِِّّه الْيُ ْم ََن َوأَقَ َام:اَّللُ َعلَْي ِّه َو َسلَّ َم
َّ صلَّى َِّّ ول
َ اَّلل ُ ال َر ُس
َ َ ق:ال ٍ ْ َع ْن ُحس
َ َ ق،ني َ
ِّ
ِّ الصب ي
.ان ُ َ ََلْ ت،ِِّف أُذُنِِّّه الْيُ ْسَرى
َ ْ ضَّرهُ أ ُُّم
ُُمَ َّمد بْن علي بْن إبراهيم بْن سلمة بْن حبر أبو إبراهيم بْن أِب اِلسن القطان ََِّس َع أ ََِبهُ ِِّف ُج ْزٍء
ُّ ِّالذ َهِّ ِّب َح َّدثَِِّن أَبُو ُُمَ َّم ٍد َسعِّي ُد بْ ُن َعْب ٍد الْ ِّف ْرَي
ِب َّ َْحَد بْن ُُمَ َّم ِّد بْ ِّن ا ِْلَس ِّن
َ ْ َرَواهُ عن أِب بكر أ
“Muhammad bin ‘Ali bin Ibrahim bin Salamah bin Bahr Abu Ibrahim bin
Abil Hasan mendengarkan ayahnya yang meriwayatkan hadis dari Abi Bakr
6
Ahmad bin Muhammad bin Hasan ad-Dahabi berkata: telah menceritakan
kepadaku Abu Sa’id bin Abdin al-Firyani, telah menceritakan kepada kami
Malik bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Daud bin Abdir Rahman
dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah, bahwasannya Nabi
Shallallahu ‘alahi Wasallam menyuruh untuk mengubur tujuh hal potongan
badan manusia yaitu rambut, kuku, darah, darah haid, gigi, ari-ari, dan
gumpalan darah”
Namun, pada hadis ini terdapat dua perawi yang terindikasi dhaif. Yang
pertama ialah Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hasan ad-Dahabi, ia
dihukumi dhaif oleh Imam Ibn Hajar al Asqalani. Dan yang kedua ialah Malik
bin Sulaiman, ia dihukumi dhaif oleh Imam Dar al Qutni. Oleh karena itu, dari
uraian di atas terdapat dua perawi yang dihukumi dhaif maka para ulama
menghukumi hadis ini adalah dhaif, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil
atau sumber penggalian hukum.
Lebih dari itu, dalam pandangan hukum Islam terjadi perbedaan pendapat
ulama. Akan tetapi ada sebagian ulama menganjurkan untuk mengubur bagian
tubuh yang terlepas sebagai bentuk memuliakan manusia, karena bagian dari
memuliakan manusia adalah mengubur bagian tubuh yang terlepas, salah
satunya ari-ari. Sebagaimana Imam Syamsudin ar-Ramli dalam kitab Nihayat
al Muhtaj juz 2 halaman 495 menerangkan:
“Dan disunnahkan mengubur bagian yang terpisah dari orang hidup yang
tidak mati seketika atau bagian tubuh yang terpisah dari orang yang diragukan
kematiannya, seperti potongan tangan pencuri, kuku, rambut, dan segumpal
darah serta darah yang keluar dari semacam bekam, sebagai bentuk
memuliakan pemilik potongan tubuh tersebut.”
7
Dipertegas dengan ungkapan Imam al Barmawy dalam kitab Hasyiyah
Jamal juz II halaman 190 bahwa ari-ari termasuk bagian tubuh dari manusia.
Dalam ungkapan di atas, bahwa ari-ari itu pernah menjadi bagian dari
sang bayi saat dalam kandungan dan dianjurkan menguburnya sebagai bentuk
memuliakan kepada manusia.
َارفِّ ِّه) َو ُه َو ُك ُّل َما َلَ يَعُ ْوُد نَ ْفعُهُ إِّلَْي ِّه َل ِّ ِِّّ املب ِّذر لِّمالِِّّه أَي بِّصرفِّ ِّه ِِّف َغ ِّْي مص
َ ارفه (قَ ْولُهُ ِّ ِْف َغ ِّْْي َم
ِّ ص َ َ ْ ْ ْ َ ْ َ ُ َُ
8
makruh.” Namun seringkali penyalaan lilin ataupun alat penerang lainnya di
sekitar kuburan ari-ari dilakukan dengan tujuan menghindarkannya dari
serbuan binatang malam seperti tikus dan lain-lain. Maka jika demikian
hukumnya boleh saja.
ِّ ِّ َّ ت أ َْو عِّ َم َامتِّ ِّه أ َْو َك َفنِّ ِّه َع ْه ُد ََن َم ْه يُْر َجى أَ ْن يَ ْغ ِّفَر
ِّ ُِّكتِّب علَى جب ه ِّة الْمي
َ أ َْو.اَّللُ للْ َميِّت
صى َ َ َْ َ َ
فَ ُفعِّ َل،الرِّحيم َّ ِّاَّلل
َّ الر ْْحَن َّ ص ْد ِّرهِّ بِّ ْس ِّم ِّ ِّ
َ ب ِِّف َجْب َهته َو
َ َض ُه ْم أَ ْن يُكْت
ُ بَ ْع
Artinya, “Bila di jidat mayit, sorban atau kafannya dituliskan doa 'ahdu
namah, maka diharapkan Allah akan mengampuni mayit. Sebagian ulama
berwasiat saat meninggal nanti agar di jidat dan di dadanya dituliskan
bismillahirrahmanirrahim, lalu hal itu dilakukan.”
Menanggapi hal ini, Syekh Ibnu Abidin menyatakan, hal itu dilakukan
untuk tabarruk dan semisalnya. Keterangan Syekh Muhammad bin Ali Al-
Hashkafi menunjukkan kebolehan atau kesunahannya. Hal seperti ini juga
diriwayatkan dari Imam As-Shaffar, dan bahkan Syekh Nushair tegas
membolehkannya.
9
صيَانَةً له عن ِّ وز كِّتَابةُ َشي ٍء من الْ ُقر
ِّ آن على الْ َك َف ِّن ِّ َّ ام ابن ِّْ فَ َق ْد أَفْ ََت
ْ ْ َ ُ ُالص ََل ِّح َبَنَّهُ ََل ََي ُ اإل َم
ِّ ِّ ِّ
َ ُاب الْعُ ْه َدة يَنْ بَغِّي أَ ْن ََل ََي
وز َوأَقَ َّر ابن ِّ ِّ ِّ
َ َاب الذي يُ َس ُّمونَهُ كت
ُ َصديد الْ َم ْوتَى َومثْ ُل ذلك الْكت َ
اَّللِّ أو
َّ اس ِّم ِّ ِّ ِّ
ْ اس ٍم ُم َعظٍَّم َك
ْ الص ََل ِّح على ذلك ْاألَئ َّمةُ بَ ْع َدهُ وهو ظَاه ُر الْ َم ْع ََن جدًّا فإن الْ ُق ْرآ َن َوُك َّل
َّ
ِّ َِّن كِّتَاب تَه وجعلَه ِف َك َف ِّن الْمي ِّ ِّ ِّ اس ِّم نَِّ ٍب له ََِّيب
ُت فيه غَايَة َ ُ ْ َ َ ُ َ َّ ك أ َّ يمهُ َوََل َش
ُ اح َّت ُامهُ َوتَ ْوقْيُهُ َوتَ ْعظ
ْ ُ ْ
ِّ َِّن ما ِف َك َف ِّن الْمي
ت ََل بُ َّد َوأَ ْن َ َّ ورةِّ أ ِّ ِّ اإل َهانَِّة ِِّبلتَّنْ ِّج
َ يس َوََْن ُن نَ ْعلَ ُم ِبلض َُّر ِّْ اإل َهانَِّة له إ ْذ ََل َإهانَةَ َك
ِّْ
ب ِّ ْ َّج َس ِّة الِت ِِّبَ ْوفِّ ِّه فَ َكا َن ََْت ِّرميُ َو ِّ يدهِّ أو غَ ِّْْيِِّهَا من ْاأل َْعي
ِّ ان الن ِّ صيبه ب عض د ِّم ِّه أو ص ِّدِّ
َ ض ِّع ما ُكت َ َ َ ُ ْ َ ُ َ ُي
ِّ ِّ ِّ
ُ ُّاس ٌم ُم َعظَّ ٌم ِف َك َف ِّن الْ َميِّت ِمَّا ََل يَنْ بَغي الت ََّوق
ف فيه ْ فيه
10
ٍ ِّ ِّ ِّ ِّ َّ ن عم ن قل ب عض الْمح ِّشني عن فَوائِّ ِّد الشَّرِّج ِّي أ
ْ ب َعلَى َجْب َهة الْ َميِّت بِّغَ ِّْْي م َداد ِِّب ْأل
ُصبُ ِّع ُ ََن ِمَّا يُكْت ْ َ ْ َ َ َ ُ ُ ْ َ َ ََ ْ َ َ
ِّ
َ َوذَل، ِّاَّلل
ك بَ ْع َد َّ ول َّ َو َعلَى- الرِّحيم
َّ الص ْد ِّر ََل إلَهَ َّإَل
ُ اَّللُ ُُمَ َّم ٌد َر ُس َّ ِّاَّلل
َّ الر ْْحَن َّ بِّ ْس ِّم- الْ ُم َسبِّ َح ِّة
ِّ الْغُس ِّل قَبل التَّك
ِّ ْف
ني اه َْ ْ
Artinya, “Ya seperti itu pendapat Ibnu Hajar. Tapi sebagian ulama
mengutip dari kitab Fawaidus Syarji bahwa di antara kalimat-kalimat mulia
yang ditulis di jidat mayit tanpa tinta yaitu hanya dengan jari telunjuk adalah
kalimat “bismillahirrahmanirrahim”, dan yang ditulis di dada mayit adalah “laa
ilaaha illallaahu muhammadurrasulullah”. Itu ditulis setelah mayit dimandikan
sebelum dikafani.”
11
sembelihan yang dimasak gulai kemudian disedekahkan kepada orang fakir
dan miskin. Dimasak gulai dengan harapan akhlak si anak kelak manis dan
enak dipandang mata seperti masakan gulai. Sebagaimana dalam hadis Nabi
SAW.
َّ الغُ ََل ُم ُم ْرََتَ ٌن بِّ َع ِّقي َقتِّ ِّه يُ ْذبَ ُح َعْنهُ يَ ْوَم:اَّللُ َعلَْي ِّه َو َسلَّ َم
،السابِّ ِّع َّ صلَّى َِّّ ول
َ اَّلل ُ ال َر ُس
َ َ ق:ال
َ ََع ْن ََسَُرةَ ق
12
ِبسم هللا وهللا أكِب اللهم هذه منك وإليك اللهم هذه عقيقة فَلن
Dana pembelian hewan aqiqah ditanggung oleh si wali dalam hal ini
bapaknya. Yang jelas, pembelian hewan itu tidak menggunakan harta orang
lain termasuk istrinya atau anaknya. Karena, aqiqah ini merupakan sedekah.
Sedekah harus pakai uang sendiri, bukan orang lain. Juga jangan memaksakan
diri hingga menghutang ke sana-ke sini. Adapun aqiqah anak zina ditanggung
oleh ibu dengan cara sembunyi agar tidak membuka aibnya.
Ketentuan aqiqah bagi anak-anak yang sudah balig atau bahkan dewasa,
diterangkan Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tausyih ala Fathil Qaribil
Mujib berikut,
ولو مات املولود قبل السابع فَل تفوت مبوته وَل تفوت العقيقة ِبلتأخْي بعده أى بعد يوم السابع
فإن أتخرت أى الذبيحة للبلوغ سقط حكمها ِف حق العاق عن املولود أى فَل خياطب هبا بعده
َلنقطاع تعلقه ِبملولود حينئذ َلستقَلله أما هو أى املولود بعد بلوغه فمخْي ِف العق عن نفسه
لكن األحسن أن يعق عن نفسه تداركا ملا فات,والّتك فإما أن يعق عن نفسه أو يّتك العقيقة
“Andai si bayi wafat sebelum hari ketujuh, maka kesunahan aqiqah tidak
gugur. Kesunahan aqiqah juga tidak luput karena tertunda hingga hari ketujuh
berlalu. Kalau penyembelihan aqiqah ditunda hingga si anak balig, maka
hukum kesunahannya gugur bagi si orang tua. Artinya mereka tidak lagi
disunahkan mengaqiqahkan anaknya yang sudah balig karena tanggung jawab
aqiqah orang tua sudah terputus karena kemandirian si anak. Sementara agama
memberikan pilihan kepada seseorang yang sudah balig untuk mengaqiqahkan
dirinya sendiri atau tidak. Tetapi baiknya, ia mengaqiqahkan dirinya sendiri
untuk menyusul sunah aqiqah yang luput di waktu kecilnya.” Anak yang sudah
balig dihukumkan mandiri. Singkat kata, mereka menanggung sendiri
kebutuhan hidupnya, dosa dan pahala yang dilakukan, termasuk untung
maupun rugi kalau berusaha. Aqiqah adalah sebutan binatang yang disembelih
13
pada hari ketujuh dari kelahiran bayi. Sebagaimana dalam hadits Nabi, hukum
menyembelih aqiqah sunah muakkadah.
14
Pada dasarnya hukum aqiqah dan kurban adalah sama. Mulai dari niat,
jenis hewan, umur, kesehatan, dan lain sebagainnya. Di antara perbedaan dari
keduanya adalah terkait dengan kesunahan mensedekahkan daging aqiqah
setelah dimasak dan waktu pelaksanaaannya. Oleh sebagian orang, daging ini
dimanfaatkan sebagai sajian walimah. Jadi yang dilakukan adalah melakukan
aqiqah sekaligus walimah, di mana daging aqiqahnya dimasak dan dijadikan
sajian untuk orang-orang yang menghadiri walimah.
أحب من ندائهم إليها ومن التصدق نيئا:والتصدق مبطبوخ يبعثه إىل الفقراء
15
Sementara seorang ulama bermazhab Maliki, Syihabuddin an-Nafrawi
(wafat 1126 H) menjelaskan dengan jelas hukum mengundang orang-orang
untuk memakan masakan aqiqah dan menjadikanya sebagai sajian walimah
seperti walimatul ursy. Dalam kitabnya, Al-Fawakih ad-Dawani ia
menjelaskan:
16
ِّ ول ِّ
هللا َ ت َر ُس
ُ ْت َسأَل ْ اريَِّة َشاةٌ ل َما َرَو
ْ َت أ ُُّم ُك ْرٍز قَال ِّ َاْل ِّ ْ َالسنَّةُ أَ ْن يُ ْذبَ َح َع ِّن الْغُ ََلِّم َشات
ْ ني َو َع ِّن ُّ َو
“Sunnah untuk disembelih (beraqiqah) dua ekor kambing yang sama bagi anak
laki-laki dan satu ekor kambing bagi anak perempuan karena didasarkan
kepada riwayat Ummu Kurz ra, ia bertanya kepada Rasulullah saw tentang
aqiqah, lantas Rasul pun menjawab, ‘Bagi anak laki-laki dua ekor kambing
yang sama, dan bagi anak perempuan satu ekor kambing” (Abu Ishaq as-
Sirazi., al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz,
1, h. 241).
Jawaban atas permasalahan ini juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi
sosial orang Arab dan dasar pemikiran mereka ketika itu. Di mana kehadiran
anak laki-laki lebih mereka harapkan ketimbang anak perempuan. Dengan
kata lain, kebahagian mereka ketika mendapatkan anak laki-laki melebihi dari
mendapatkan anak perempuan. Karenanya, aqiqah untuk anak laki-laki lebih
banyak ketimbang anak perempuan.
Lebih lanjut jika aqiqah baik untuk laki-laki maupun perempuan itu
disamakan, satu ekor kambing untuk laki-laki begitu juga untuk anak
perempuan, menurut Abu Ishaq as-Sirazi, hal ini tentunya diperbolehkan,
karena Rasulullah SAW sendiri menurut riwayat Ibnu Abbas RA mengaqiqahi
cucunya, yaitu Hasan ra dan Husain masing-masing satu kambing gibas.
17
“Jika masing-masing anak baik laki-laki maupun perempuan diaqiqahi dengan
satu ekor kambing maka itu boleh karena ada riwayat dari Ibnu Abbas ra yang
menyatakan bahwa Rasulullah saw mengaqiqahi Hasan ra dan Husain ra
masing-masing satu kambing gibas (domba jantan)” (al-Muhadzdzab fi Fiqh
al-Imam asy-Syafi’i, juz, 1, h. 241).
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengadzani bayi. Mayoritas
ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, ulama mazhab Syaf’i, dan ulama
mazhab Hanbali menghukuminya sunnah. Sebagian ulama mazhab Maliki
menghukuminya mubah. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang
lain menganggapnya makruh. Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya
pendapat yang mensunnahkan adzan pada bayi yang baru dilahirkan
merupakan pendapat yang kuat, sebab didukung oleh beberapa hadits,
yaitu hadits riwayat Abu Rafi’.
2. Mengubur ari-ari (masyimah) itu hukumnya sunah. Adapun menyalakan
lilin dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu hukumnya haram karena
dianggap sebagai tindakan membuang-buang harta (tabdzir) yang tak ada
manfaatnya. Namun seringkali penyalaan lilin ataupun alat penerang
lainnya di sekitar kuburan ari-ari dilakukan dengan tujuan
menghindarkannya dari serbuan binatang malam seperti tikus dan lain-
lain. Maka jika demikian hukumnya boleh saja.
3. Hukum aqiqah adalah sunah muakkad. Tetapi menjadi wajib kalau
dinazarkan sebelumnya. Untuk bayi laki-laki, sempurna minimal dua ekor
kambing. Sedangkan bayi perempuan, dipotongkan seekor kambing.
Tetapi pada prinsipnya, seekor kambing cukup untuk mengaqiqahkan bayi
laki-laki maupun perempuan. Sementara sempurnanya, seorang wali tidak
dibatasi menyembelih berapa ekor kambing, unta, sapi atau kerbau.
Artinya, silakan menyembelih berapa pun.
19
DAFTAR PUSTAKA
Muntaha, A. (2022). Hukum Mengubur Ari-Ari Bayi Beserta Tulisan Surat Al-
Fatihah. NU Online https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-mengubur-
ari-ari-bayi-beserta-tulisan-surat-al-fatihah-63ZXm [Diakses pada tanggal 1
Desember 2023]
20