Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

TRADISI SEPUTAR BAYI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


ASWAJA II

Oleh Kelompok II:

1. Erlangga Abiartha Nugraha (11422003)


2. M. Bagas Audi Hidayatullah (11422022)
3. Panji Permadani (11422029)
4. Ahmad Alvin Ahsani (11422047)
5. Adi Supriyanto (12422003)
6. Zumrotul Hamidah (12422013)
7. Mohammad Alqusairi (12422014)

Dosen Pengampu:

H. Abdul Khobir, M.Pd.I

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SIDOARJO
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. sebagai wujud rasa syukur atas karunia-karunia-
Nya. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan ke hadirat junjungan kita
Nabi Muhammad Saw., keluarga, dan para sahabatnya. Berkat pertolongan-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tradisi Seputar Bayi” ini
dengan baik tanpa halangan suatu apapun.

Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari pembaca untuk makalah ini,
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat kesalahan dan kekurangan pada makalah ini kami
mohon maaf.

Sidoarjo, 1 Desember 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1

1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

2.1 Adzan dan Iqamah di Telinga Bayi Baru Lahir........................................ 3

2.2 Mengubur Ari-Ari .................................................................................... 6

2.3 Tradisi Aqiqoh ........................................................................................ 11

BAB III PENUTUP.............................................................................................. 19

A. Kesimpulan ................................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak adalah titipan Ilahi. Anak merupakan amanah yang harus dijaga
dengan baik. Dalam upaya itulah seringkali orang tua berusaha sedemikian
rupa agar kelak anak-anaknya menjadi orang yang shaleh/sholehah berguna
bagi masyarakat dan agama. Dalam hal kesehatan jasmani, semenjak dalam
kandungan orang tua telah berusaha menjaga kesehatannya dengan berbagai
macam gizi yang dimakan oleh sang ibu. Begitu juga kesehatan mentalnya.
Semenjak dalam kandungan orang tua selalu rajin berdoa dan melakukan
bentuk ibadah tertentu dengan harapan amal ibadah tersebut mampu menjadi
wasilah kesuksesan calon si bayi.

Ketika dalam keadaan mengandung pasangan orang tua seringkali


melakukan riyadhoh untuk sang bayi. Misalkan puasa senin-kamis atau
membaca surat-surat tertentu seperti Surat Yusuf, Surat Maryam, al-Waqiah,
al-Mulk dan lain sebagainya. Semuanya dilakukan dengan tujuan tabarrukan
dan berdoa semoga si bayi menjadi seperti Nabi Yusuf bila lahir lelaki atau
seperti Siti Maryam bila perempuan dengan rizki yang melimpah dan dihormati
orang. Begitu pula ketika sang bayi telah lahir di dunia, do’a sang Ibu/Bapak
tidak pernah reda. Banyak tradisi islam seputar bayi yang dilakukan di
antaranya mengumandangkan adzan dan iqomah saat bayi baru lahir,
mengubur ari-ari dan aqiqah. Oleh karena itu, penulis akan mengulas lebih
dalam mengenai tradisi seputar bayi di dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana hukum mengumandangkan adzan dan iqamah pada telinga
bayi yang baru lahir?
2. Bagaimana hukum mengubur ari-ari?
3. Bagaimana ketentuan hukum dalam pelaksanaan aqiqah?

1
1.3 Tujuan
1. Agar dapat memahami hukum mengumandangkan adzan dan iqamah
pada telinga bayi yang baru lahir
2. Agar dapat mengetahui hukum mengubur ari-ari
3. Agar dapat mempelajari ketentuan hukum dalam pelaksanaan aqiqah

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Adzan dan Iqamah di Telinga Bayi Baru Lahir


Di antara tradisi yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam Indonesia,
dalam rangka menyambut kehadiran jabang bayi, adalah mengumandangkan
adzan pada telinga kanannya, dan iqamat pada telinga kirinya. Kebiasaan ini
bertujuan agar hal pertama yang didengar oleh bayi adalah kalimat tauhid dan
juga agar sang jabang bayi terhindar dari berbagai pengaruh dan godaan setan.
Meskipun demikian, sebagian umat Islam tidak melakukan tradisi tersebut,
dengan alasan tidak ada hadits shahih yang dapat dijadikan sebagai dalil
disyariatkannya adzan pada telinga bayi.

Para ulama bersepakat bahwa mengumandangkan adzan sebelum


melaksanakan shalat itu disyariatkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat
jika adzan tersebut ditujukan untuk selain shalat, seperti adzan untuk bayi yang
baru saja dilahirkan.

1. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanafi,


dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, mengadzani bayi hukumnya
sunnah.
• Imam Nawawi, sebagai salah satu icon ulama mazhab Syafi’i,
menuliskan masalah ini di dalam kitab fikihnya yang fenomenal, Al-
Majmu’:

‫ َويَ ُك ْو َن األَذَا ُن بِّلَ ْف ِّظ أَذَ ِّان‬،‫السنَّةُ أَ ْن يُ َؤِّذ َن ِِّف أُذُ ِّن الْ َم ْولُْوِّد عِّْن َد ِّوََل َدتِِّّه ذَ َكًرا َكا َن أ َْو أُنْثَى‬
ُّ

َّ ‫ب أَ ْن يُ َؤِّذ َن ِِّف أُذُنِِّّه الْيُ ْم ََن َويُِّقْي َم‬


‫الص ََلةَ ِِّف‬ ُّ ‫ يُ ْستَ َح‬:‫َص َحابِّنَا‬ ِّ ‫ال ََج‬
ْ ‫اعةٌ م ْن أ‬
ِّ َّ
َ َ َ َ‫ ق‬.‫الص ََلة‬
.‫أُذُنِِّّه الْيُ ْسَرى‬
“Disunnahkan mengumandangkan adzan pada telinga bayi saat ia baru
lahir, baik bayi laki-laki maupun perempuan, dan adzan itu
menggunakan lafadz adzan shalat. Sekelompok sahabat kita berkata:

3
Disunnahkan mengadzani telinga bayi sebelah kanan dan mengiqamati
telinganya sebelah kiri, sebagaimana iqamat untuk shalat”.
• Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menuturkan:

.‫ب لِّلْ َم ْولُْوِّد‬ ِّ َّ ‫اض ِّع الَِِّّت ي نْ َدب ََلا ْاألَذَا ُن ِِّف غَ ِّْي‬
ُ ‫ فَيُنْ َد‬،‫الص ََلة‬ ْ َ ُ ُ
ِّ ‫ ِِّف الْمو‬:‫مطْلَب‬
ََ ٌ َ
“Pembahasan tentang tempat-tempat yang disunnahkan
mengumandangkan adzan untuk selain (tujuan) shalat, maka
disunnahkan mengadzani telinga bayi”.
• Syekh Mansur Al-Bahuti dari mazhab Hanbali juga menuliskan:

‫ َوأَ ْن يُِّق َيم ِِّف‬،‫ني يُولَ ُد‬ ِّ ِّ ِّ


َ ‫ ح‬،‫ ذَ َكًرا َكا َن أ َْو أُنْثَى‬،‫َو ُس َّن أَ ْن يُ َؤذَّ َن ِِّف أُذُن الْ َم ْولُود الْيُ ْم ََن‬
‫اَّللُ َعلَْي ِّه َو َسلَّ َم أَذَّ َن ِِّف أُذُ ِّن ا ِْلَ َس ِّن‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّّ ‫ول‬
َ ‫اَّلل‬ َ َ‫يث أَِِّب َرافِّ ٍع ق‬
َ ‫ َرأَيْت َر ُس‬:‫ال‬ ِّ ‫ ِِّل ِّد‬،‫الْيسرى‬
َ َْ ُ
.ُ‫ص َّح َحاه‬ ُّ ‫الّتِّم ِّذ‬
َ ‫ي َو‬
ِّ ِّ ِّ ِّ
َ ‫بْ ِّن َعل ٍي ح‬
ْ ‫ َرَواهُ أَبُو َد ُاود َو‬.ُ‫ني َولَ َدتْهُ فَاط َمة‬
“Dan disunnahkan dikumandangkan adzan pada telinga bayi sebelah
kanan, baik laki-laki atau perempuan, ketika dilahirkan, dan
mengiqamatinya pada telinga sebelah kiri, karena hadits riwayat Abi
Rafi’ bahwa ia berkata: Saya melihat Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam mengadzani telinga Hasan bin Ali saat dilahirkan oleh
Fatimah. Hadis ini diriwayatkan dan dianggap shahih oleh Abu Dawud
dan Tirmidzi”.
2. Sebagian ulama mazhab Maliki menyatakan, mengadzani bayi setelah
dilahirkan hukumnya mubah (boleh).
Syekh Al-Hattab dari mazhab Maliki menyebutkan:

.‫س ِِّبلْ َع َم ِّل بِِّّه‬ ِّ ِّ ‫(قُلْت) وقَ ْد جرى عمل الن‬


َ ‫َّاس بِّ َذل‬
َ ْ‫ك فَ ََل ََب‬ ُ َ َ ََ َ ُ
“Saya berkata: Dan orang-orang telah terbiasa melakukan hal itu
(mengadzani dan mengiqamati bayi), maka tidak apa-apa dilaksanakan”.
3. Sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menegaskan, hukum mengadzani
bayi setelah dilahirkan adalah makruh.
Syekh Al-Hattab dari mazhab Maliki menulis:

4
ٌ ِّ‫ َوَك ِّرهَ َمال‬:‫ص ِّر الْ ُم َد َّونَِّة‬
‫ك أَ ْن يُ َؤذَّ َن‬ ِّ ِّ ْ ‫اب‬
َ َ‫اْلَام ِّع م ْن ُمُْت‬ ِّ َ‫ال الشَّْي ُخ أَبو ُُمَ َّم ِّد بْ ِّن أَِِّب َزيْ ٍد ِِّف كِّت‬
ُ َ َ‫ق‬
ِّ ُ‫الصِّ ِّب الْمول‬ ِّ
‫ود‬ ْ َ َّ ‫ِِّف أُذُن‬

“Syekh Abu Muhammad bin Abi Zaid berkata dalam kitab Al-Jami’ min
Mukhtasharil Mudawwanah: Imam Malik menghukumi makruh
dikumandangkannya adzan pada telinga bayi yang baru dilahirkan”
Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang mensunnahkan
adzan pada bayi yang baru dilahirkan merupakan pendapat yang kuat, sebab
didukung oleh beberapa hadits, yaitu hadits riwayat Abu Rafi’:
ِّ ِّ ِّ ِّ َّ ‫اَّللِّ صلَّى‬ َ َ‫َع ْن أَِِّب َرافِّ ٍع ق‬
َ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أَذَّ َن ِِّف أُذُن ا ِْلَ َس ِّن بْ ِّن َعل ٍى ح‬
ُ‫ني َولَ َدتْه‬ َ َّ ‫ول‬
َ ‫ت َر ُس‬
ُ ْ‫ َرأَي‬:‫ال‬
.ِّ‫لصَلَة‬ ِّ َ‫ف‬
َّ ‫اط َمةُ ِِّب‬
“Dari Abi Rafi, ia berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
mengadzani telinga Al-Hasan bin Ali ketika dilahirkan oleh Fatimah, dengan
adzan shalat” (HR. Abu Daud, At-Tirmizy dan Al-Hakim).
• Imam Al-Hakim menilai hadits tersebut sebagai hadits yang shahih.
• Sedangkan imam At-Tirmizy mengkategorikannya sebagai hadits yang
‘hasan shahih’. Jika imam At-Tirmizy menyebut kata ‘hasan shahih’, maka
ada dua kemungkinan:
1. Jika hadits tersebut memiliki dua sanad, maka salah satu sanadnya
dihukumi hasan, sedangkan sanad yang lain dihukumi shahih.
2. Jika hadits tersebut hanya memiliki satu sanad, maka artinya hadits itu
dihukumi hasan menurut sebagian ulama, dan dihukumi shahih
menurut sebagian ulama yang lain.
• Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i juga menshahihkan hadits ini,
sebagaimana tertuang dalam kitab Al-Majmu’.

Selain hadits di atas, pendapat ini juga diperkuat oleh hadits riwayat Husein
bin Ali

5
‫ َم ْن ُولِّ َد لَهُ فَأَذَّ َن ِِّف أُذُنِِّّه الْيُ ْم ََن َوأَقَ َام‬:‫اَّللُ َعلَْي ِّه َو َسلَّ َم‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّّ ‫ول‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬ ٍ ْ ‫َع ْن ُحس‬
َ َ‫ ق‬،‫ني‬ َ
ِّ
ِّ ‫الصب ي‬
.‫ان‬ ُ َ‫ ََلْ ت‬،‫ِِّف أُذُنِِّّه الْيُ ْسَرى‬
َ ْ ‫ضَّرهُ أ ُُّم‬

“Dari Husein, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:


Barangsiapa yang dilahirkan untuknya seorang bayi, lalu dia mengazani
telinganya sebelah kanan, dan mengiqamati telinganya sebelah kiri, maka ia
tidak akan celaka oleh Ummu Shibyan (jin pengganggu anak kecil)” (HR. Abu
Ya’la Al-Mushili). Mengomentari hadits tersebut, imam Al-Mubarakfuri
menerangkan, hadits ini bisa dijadikan sebagai penguat atau syahid dari hadits
riwayat Abi Rafi’ di atas (Haq, 2020).

2.2 Mengubur Ari-Ari


Ari-ari/plasenta bayi sangat berfungsi untuk membantu perkembangan
jabang bayi saat berada dalam kandungan. Namun, setelah bayi lahir ari-ari
sudah tidak berfungsi lagi, yang kemudian dipotong dan dikuburkan.
Mengubur ari-ari setelah bayi lahir sering dilakukan oleh sebagian masyarakat
khususnya di Pulau Jawa, bahkan sudah menjadi tradisi turun temurun.

Hadis yang menerangkan mengubur ari-ari hanya terdapat sebagian kecil


dalam beberapa kitab hadis, seperti dalam kitab at Tadwin fi Akhbari al
Qozwin juz 1 halaman 455 yang disusun oleh Imam ar-Rofi’I di bawah ini

‫ُُمَ َّمد بْن علي بْن إبراهيم بْن سلمة بْن حبر أبو إبراهيم بْن أِب اِلسن القطان ََِّس َع أ ََِبهُ ِِّف ُج ْزٍء‬

ُّ ِّ‫الذ َهِّ ِّب َح َّدثَِِّن أَبُو ُُمَ َّم ٍد َسعِّي ُد بْ ُن َعْب ٍد الْ ِّف ْرَي‬
‫ِب‬ َّ ‫َْحَد بْن ُُمَ َّم ِّد بْ ِّن ا ِْلَس ِّن‬
َ ْ ‫َرَواهُ عن أِب بكر أ‬

‫الر ْْحَ ِّن َع ْن ِّه َش ِّام بْن عروة عن أبيه عن‬


َّ ‫ك بْ ُن سليمان هروي ثنا داؤد بْ ُن َعْب ِّد‬ ِّ
ُ ‫س ثَنَا َمال‬ ِّ
َ ‫ب َس ْر َخ‬
ِّ ِّ ‫ “ َكا َن َيْمر بِّ َدفْ ِّن سب عةَ أَ ْشي ٍاء ِّمن‬:‫اَّلل عليه وآله وسلَّم‬ َّ ‫َعائِّ َشةَ أ‬
‫َّع ُر‬
ْ ‫اإلنْ َسان الش‬ َ َ َ َْ ُُ َ َ ََ َُّ ‫صلَّى‬ َّ ِّ‫َن الن‬
َ ‫َّب‬

ُ‫َوالظُّْف ُر والدم واِليضة والسن واملشيعة َوالْ ُق ْل َفة‬

“Muhammad bin ‘Ali bin Ibrahim bin Salamah bin Bahr Abu Ibrahim bin
Abil Hasan mendengarkan ayahnya yang meriwayatkan hadis dari Abi Bakr

6
Ahmad bin Muhammad bin Hasan ad-Dahabi berkata: telah menceritakan
kepadaku Abu Sa’id bin Abdin al-Firyani, telah menceritakan kepada kami
Malik bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Daud bin Abdir Rahman
dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah, bahwasannya Nabi
Shallallahu ‘alahi Wasallam menyuruh untuk mengubur tujuh hal potongan
badan manusia yaitu rambut, kuku, darah, darah haid, gigi, ari-ari, dan
gumpalan darah”

Namun, pada hadis ini terdapat dua perawi yang terindikasi dhaif. Yang
pertama ialah Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hasan ad-Dahabi, ia
dihukumi dhaif oleh Imam Ibn Hajar al Asqalani. Dan yang kedua ialah Malik
bin Sulaiman, ia dihukumi dhaif oleh Imam Dar al Qutni. Oleh karena itu, dari
uraian di atas terdapat dua perawi yang dihukumi dhaif maka para ulama
menghukumi hadis ini adalah dhaif, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil
atau sumber penggalian hukum.

Lebih dari itu, dalam pandangan hukum Islam terjadi perbedaan pendapat
ulama. Akan tetapi ada sebagian ulama menganjurkan untuk mengubur bagian
tubuh yang terlepas sebagai bentuk memuliakan manusia, karena bagian dari
memuliakan manusia adalah mengubur bagian tubuh yang terlepas, salah
satunya ari-ari. Sebagaimana Imam Syamsudin ar-Ramli dalam kitab Nihayat
al Muhtaj juz 2 halaman 495 menerangkan:

،‫ارقٍَوظُْف ٍر َو َش ْع ٍر َو َعلَ َق ٍة‬ َّ ‫ت َح ًاَل أَْو ِِّم َّْن ُش‬


ِّ ‫ك ِِّف َم ْوتِِّّه َكيَ ِّد َس‬ ِّ ‫ويس ُّن دفْن ما انْ َف‬
ْ َُ‫ص َل م ْن َح ٍي ََلْ َي‬
َ َ ُ َ َ َُ
ِّ ‫ودِّم ََْن ِّو فَص ٍد إ ْكراما لِّص‬
‫احبِّ َها‬ َ ًَ ْ ََ

“Dan disunnahkan mengubur bagian yang terpisah dari orang hidup yang
tidak mati seketika atau bagian tubuh yang terpisah dari orang yang diragukan
kematiannya, seperti potongan tangan pencuri, kuku, rambut, dan segumpal
darah serta darah yang keluar dari semacam bekam, sebagai bentuk
memuliakan pemilik potongan tubuh tersebut.”

7
Dipertegas dengan ungkapan Imam al Barmawy dalam kitab Hasyiyah
Jamal juz II halaman 190 bahwa ari-ari termasuk bagian tubuh dari manusia.

ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ْ ‫ص فَ َك‬ ِّ ِّ ‫َوعِّبَ َارةُ الِّْ ِْبَم‬


ُ‫اْلُْزء؛ ألَ ََّّنَا تُ ْقطَ ُع م ْن الَْولَد فَ ِّه َي ُج ْزءٌ مْنه‬ ِّ ‫يمةُ الْ ُم َس َّماةُ ِِّب ْْلَََل‬
َ ‫او ِّي أ ََّما الْ َمش‬

“Ungkapan Imam al Barmawy, Masyimah (ari-ari) yang juga dikenal


dengan nama al Kholash maka seperti bagian tubuh seseorang. Karena ia
terpotong dari tubuh seorang anak maka ia bagian tubuhnya.”

Dalam ungkapan di atas, bahwa ari-ari itu pernah menjadi bagian dari
sang bayi saat dalam kandungan dan dianjurkan menguburnya sebagai bentuk
memuliakan kepada manusia.

Dan perlu diingat, dalam mengubur ari-ari tidak boleh memiliki


keyakinan kepada suatu hal yang menentukan nasib bagi sang bayi dengan
menambahkan barang-barang seperti cabai, pulpen, sisir, menyalakan lampu,
dan lain-lain yang nantinya dikhawatirkan hukumnya haram. Keharaman
tersebut dikarenakan perbuatan itu bisa menghantarkan kepada perbuatan
syirik kecil dan termasuk membuang-buang harta yang tidak ada manfaatnya
(tabdzir).

Adapun tentang haramnya tabdzir sehubungan dengan menyertakan


segala benda di lingkungan terpendamnya ari-ari terdapat dalam buku
“Ahkamu al Fuqaha’ Solusi Problematika Umat” yang memuat hasil keputusan
Bahtsul Masail Nadlatul Ulama dari 1926-2010, yang diambil dari kitab
Hasyiyah al Bajuri

َ‫ارفِّ ِّه) َو ُه َو ُك ُّل َما َلَ يَعُ ْوُد نَ ْفعُهُ إِّلَْي ِّه َل‬ ِّ ِِّّ ‫املب ِّذر لِّمالِِّّه أَي بِّصرفِّ ِّه ِِّف َغ ِّْي مص‬
َ ‫ارفه (قَ ْولُهُ ِّ ِْف َغ ِّْْي َم‬
ِّ ‫ص‬ َ َ ْ ْ ْ َ ْ َ ُ َُ

َ‫الو ُج ْوهَ امل َح َّرَمةَ َواملك ُْرْوَهة‬ ِّ َ‫اجَلً وَل‬


‫آجَلً فَيَ ْش َم ُل‬ ِّ ‫ع‬
َ ُ ُ َ َ

“(Orang yang berbuat tabdzir kepada hartanya) ialah yang


menggunakannya di luar kewajarannya. (yang dimaksud ialah di luar
kewajarannya), yaitu segala sesuatu yang tidak berguna baginya, baik sekarang
(di dunia) maupun kelak (di akhirat), meliputi segala hal yang haram dan yang

8
makruh.” Namun seringkali penyalaan lilin ataupun alat penerang lainnya di
sekitar kuburan ari-ari dilakukan dengan tujuan menghindarkannya dari
serbuan binatang malam seperti tikus dan lain-lain. Maka jika demikian
hukumnya boleh saja.

Terdapat beberapa kasus salah satunya mengubur ari-ari disertai tulisan


surat Al-Fatihah. Hal ini identik dengan kasus hukum menulis menulis
bismillah atau doa-doa tertentu pada kafan mayit yang akan dikuburkan. Dalam
hal ini, ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan, tapi banyak yang
melarangnya. Ulama yang membolehkan karena berpandangan hal itu
dilakukan dalam rangka tabaruk dan semisalnya, sedangkan ulama yang
melarang memandang tulisan kalimat-kalimat mulia itu nanti akan terkena
najis dari jasad mayit saat membusuk di dalam kubur. Syekh Muhammad bin
Ali Al-Hashkafi dari mazhab Hanafi menyatakan:

ِّ ِّ َّ ‫ت أ َْو عِّ َم َامتِّ ِّه أ َْو َك َفنِّ ِّه َع ْه ُد ََن َم ْه يُْر َجى أَ ْن يَ ْغ ِّفَر‬
ِّ ِّ‫ُكتِّب علَى جب ه ِّة الْمي‬
َ ‫ أ َْو‬.‫اَّللُ للْ َميِّت‬
‫صى‬ َ َ َْ َ َ
‫ فَ ُفعِّ َل‬،‫الرِّحيم‬ َّ ِّ‫اَّلل‬
َّ ‫الر ْْحَن‬ َّ ‫ص ْد ِّرهِّ بِّ ْس ِّم‬ ِّ ِّ
َ ‫ب ِِّف َجْب َهته َو‬
َ َ‫ض ُه ْم أَ ْن يُكْت‬
ُ ‫بَ ْع‬

Artinya, “Bila di jidat mayit, sorban atau kafannya dituliskan doa 'ahdu
namah, maka diharapkan Allah akan mengampuni mayit. Sebagian ulama
berwasiat saat meninggal nanti agar di jidat dan di dadanya dituliskan
bismillahirrahmanirrahim, lalu hal itu dilakukan.”

Menanggapi hal ini, Syekh Ibnu Abidin menyatakan, hal itu dilakukan
untuk tabarruk dan semisalnya. Keterangan Syekh Muhammad bin Ali Al-
Hashkafi menunjukkan kebolehan atau kesunahannya. Hal seperti ini juga
diriwayatkan dari Imam As-Shaffar, dan bahkan Syekh Nushair tegas
membolehkannya.

Adapun ulama yang melarangnya karena alasan akan membuat najis


tulisan kalimat-kalimat mulia tersebut adalah para ulama Syafi'iyah yang di
antaranya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Imam Ibnus Shalah. Secara panjang
lebar Ibnu Hajar menegaskan:

9
‫صيَانَةً له عن‬ ِّ ‫وز كِّتَابةُ َشي ٍء من الْ ُقر‬
ِّ ‫آن على الْ َك َف ِّن‬ ِّ َّ ‫ام ابن‬ ِّْ ‫فَ َق ْد أَفْ ََت‬
ْ ْ َ ُ ُ‫الص ََل ِّح َبَنَّهُ ََل ََي‬ ُ ‫اإل َم‬
ِّ ِّ ِّ
َ ُ‫اب الْعُ ْه َدة يَنْ بَغِّي أَ ْن ََل ََي‬
‫وز َوأَقَ َّر ابن‬ ِّ ِّ ِّ
َ َ‫اب الذي يُ َس ُّمونَهُ كت‬
ُ َ‫صديد الْ َم ْوتَى َومثْ ُل ذلك الْكت‬ َ
‫اَّللِّ أو‬
َّ ‫اس ِّم‬ ِّ ِّ ِّ
ْ ‫اس ٍم ُم َعظٍَّم َك‬
ْ ‫الص ََل ِّح على ذلك ْاألَئ َّمةُ بَ ْع َدهُ وهو ظَاه ُر الْ َم ْع ََن جدًّا فإن الْ ُق ْرآ َن َوُك َّل‬
َّ
ِّ ِّ‫َن كِّتَاب تَه وجعلَه ِف َك َف ِّن الْمي‬ ِّ ِّ ِّ ‫اس ِّم نَِّ ٍب له ََِّيب‬
ُ‫ت فيه غَايَة‬ َ ُ ْ َ َ ُ َ َّ ‫ك أ‬ َّ ‫يمهُ َوََل َش‬
ُ ‫اح َّت ُامهُ َوتَ ْوقْيُهُ َوتَ ْعظ‬
ْ ُ ْ
ِّ ِّ‫َن ما ِف َك َف ِّن الْمي‬
‫ت ََل بُ َّد َوأَ ْن‬ َ َّ ‫ورةِّ أ‬ ِّ ِّ ‫اإل َهانَِّة ِِّبلتَّنْ ِّج‬
َ ‫يس َوََْن ُن نَ ْعلَ ُم ِبلض َُّر‬ ِّْ ‫اإل َهانَِّة له إ ْذ ََل َإهانَةَ َك‬
ِّْ

‫ب‬ ِّ ْ ‫َّج َس ِّة الِت ِِّبَ ْوفِّ ِّه فَ َكا َن ََْت ِّرميُ َو‬ ِّ ‫يدهِّ أو غَ ِّْْيِِّهَا من ْاأل َْعي‬
ِّ ‫ان الن‬ ِّ ‫صيبه ب عض د ِّم ِّه أو ص ِّد‬ِّ
َ ‫ض ِّع ما ُكت‬ َ َ َ ُ ْ َ ُ َ ُ‫ي‬
ِّ ِّ ِّ
ُ ُّ‫اس ٌم ُم َعظَّ ٌم ِف َك َف ِّن الْ َميِّت ِمَّا ََل يَنْ بَغي الت ََّوق‬
‫ف فيه‬ ْ ‫فيه‬

Artinya, “Sungguh Imam Ibnus Shalah telah memfatwakan bahwa tidak


boleh menulis sesuatupun dari Al-Qur'an pada kafan karena menjaganya dari
nanah jenazah. Demikian pula menulis tulisan yang dinamakan Kitabul 'Ahdi
hendaknya tidak boleh. Para ulama yang hidup setelah Ibnus Shalah pun sudah
menetapkan persetujuan atas fatwanya. Ini sudah sangat jelas argumentasinya.
Karena Al-Qur'an dan setiap nama yang diagungkan, seperti nama Allah atau
nama nabi hukumnya wajib dimuliakan, dihormati dan diagungkan. Tidak ada
keraguan sama sekali bahwa menulisnya dan meletakkannya di kain kafan
merupakan penghinaan yang paling besar. Karena tidak ada penghinaan
sebagaimana penghinaan membuatnya terkena najis. Kita pasti tahu bahwa
tulisan yang ada di kafan mayit pasti akan terkena sebagian darah, nanah atau
najis lainnya dari tubuh mayit. Karenanya, meletakkan tulisan nama-nama
yang diagungkan di kafan mayit termasuk hal-hal yang hendaknya tidak
diragukan lagi keharamannya”.

Solusi permasalahan dengan melihat perbedaan pendapat di atas, Ibnu


Abidin mengutip pernyataan ulama lain yang dapat menjadi solusi. Tetap dapat
tabarruk dengan kalimat atau nama-nama mulia dan terhindar dari keharaman
menajiskannya. Ia berkata:

10
ٍ ِّ ِّ ِّ ِّ َّ ‫ن عم ن قل ب عض الْمح ِّشني عن فَوائِّ ِّد الشَّرِّج ِّي أ‬
ْ ‫ب َعلَى َجْب َهة الْ َميِّت بِّغَ ِّْْي م َداد ِِّب ْأل‬
‫ُصبُ ِّع‬ ُ َ‫َن ِمَّا يُكْت‬ ْ َ ْ َ َ َ ُ ُ ْ َ َ ََ ْ َ َ
ِّ
َ ‫ َوذَل‬، ِّ‫اَّلل‬
‫ك بَ ْع َد‬ َّ ‫ول‬ َّ ‫ َو َعلَى‬- ‫الرِّحيم‬
َّ ‫الص ْد ِّر ََل إلَهَ َّإَل‬
ُ ‫اَّللُ ُُمَ َّم ٌد َر ُس‬ َّ ِّ‫اَّلل‬
َّ ‫الر ْْحَن‬ َّ ‫ بِّ ْس ِّم‬- ‫الْ ُم َسبِّ َح ِّة‬
ِّ ‫الْغُس ِّل قَبل التَّك‬
ِّ ‫ْف‬
‫ني اه‬ َْ ْ

Artinya, “Ya seperti itu pendapat Ibnu Hajar. Tapi sebagian ulama
mengutip dari kitab Fawaidus Syarji bahwa di antara kalimat-kalimat mulia
yang ditulis di jidat mayit tanpa tinta yaitu hanya dengan jari telunjuk adalah
kalimat “bismillahirrahmanirrahim”, dan yang ditulis di dada mayit adalah “laa
ilaaha illallaahu muhammadurrasulullah”. Itu ditulis setelah mayit dimandikan
sebelum dikafani.”

Simpulan Bila dapat disepakati hukum mengubur ari-ari disertai tulisan


surat Al-Fatihah identik dengan kasus menulis bismillah atau doa-doa tertentu
pada kafan mayit yang akan dikuburkan, maka hukumnya adalah sebagai
berikut:

1. Haram bila mengikuti ulama yang mengharamkan menulis bismillah atau


doa-doa tertentu pada kafan mayit; dan
2. Boleh bila mengikuti ulama yang membolehkannya. Adapun cara yang
ideal bila mau menulis surat Al-Fatihah dan semisalnya dalam ari-ari yang
mau dikuburkan, maka caranya adalah menulisnya dengan jari tangan saja
tanpa tinta. Tujuan tabarukan atau mengambil keberkahannya dapat
dicapai, dan sekaligus terhindar dari keharaman menajiskannya.

2.3 Tradisi Aqiqoh


Dalam tradisi umat Islam, khususnya Nahdliyin, kelahiran seorang anak
ke dunia biasa dirayakan dengan aqiqah. Aqiqahan ialah mengundang tetangga
untuk membacakan ayat Al-Quran, zikir, atau maulid Barzanji yang kemudian
memotong sedikit rambut bayi oleh sejumlah undangan secara bergantian saat
mahallul qiyam. Yang punya hajat lalu meminta kiai setempat mendoakan si
anak kelak menjadi orang punya manfaat dan kegunaan bagi masyarakat.
Sedangkan aqiqah secara harfiah yakni sebutan bagi rambut di kepala bayi.
Bayi orang atau binatang, sama saja. Kata ahli fiqih, aqiqah ialah hewan

11
sembelihan yang dimasak gulai kemudian disedekahkan kepada orang fakir
dan miskin. Dimasak gulai dengan harapan akhlak si anak kelak manis dan
enak dipandang mata seperti masakan gulai. Sebagaimana dalam hadis Nabi
SAW.

َّ ‫ الغُ ََل ُم ُم ْرََتَ ٌن بِّ َع ِّقي َقتِّ ِّه يُ ْذبَ ُح َعْنهُ يَ ْوَم‬:‫اَّللُ َعلَْي ِّه َو َسلَّ َم‬
،‫السابِّ ِّع‬ َّ ‫صلَّى‬ َِّّ ‫ول‬
َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
َ َ‫َع ْن ََسَُرةَ ق‬

ُ‫ َوُُْيلَ ُق َرأْ ُسه‬،‫َويُ َس َّمى‬

Artinya: Dari Samurah, ia berkata, Nabi bersabda: Seorang bayi itu


digadaikan dengan (jaminan) aqiqahnya; aqiqah itu disembelih pada hari
ketujuh (dari hari kelahiran), (pada hari itu pula) si bayi diberi nama dan
dipotong rambutnya (HR Sunan al-Tirmidzi 4/101, dalam kitab Al-Adlaha bab
Al-aqiqah).

Hukum aqiqah adalah sunah muakkad. Tetapi menjadi wajib kalau


dinazarkan sebelumnya. Untuk bayi laki-laki, sempurna minimal dua ekor
kambing. Sedangkan bayi perempuan, dipotongkan seekor kambing. Tetapi
pada prinsipnya, seekor kambing cukup untuk mengaqiqahkan bayi laki-laki
maupun perempuan. Sementara sempurnanya, seorang wali tidak dibatasi
menyembelih berapa ekor kambing, unta, sapi atau kerbau. Artinya, silakan
menyembelih berapa pun. Demikian kata Syekh Syarqowi dalam kitab
Hasyiyatus Syarqowi ala Tuhfatit Thullab bi Syarhit Tahrir.

Sejumlah ulama mengatakan, aqiqah berfaedah memberikan mandat


kepada si anak untuk memberikan syafa’at kelak kepada orang tuanya. Di lain
pendapat, aqiqah bertujuan agar fisik dan akhlak si anak tumbuh dengan baik.
Yang pasti, sedekah aqiqahan terlaksana.

Masa penyembelihan itu disunahkan pada hari ketujuh setelah kelahiran


bayi. Hari pertama keluarnya si bayi masuk dalam hitungan. Kalau belum
sempat di hari ketujuh karena beberapa uzur, boleh dilakukan pada hari
keempat belas, dua puluh satu, dan kelipatan tujuh berikutnya. Saat
menyembelih yang disunahkan saat fajar menyingsing, dianjurkan membaca
doa berikut,

12
‫ِبسم هللا وهللا أكِب اللهم هذه منك وإليك اللهم هذه عقيقة فَلن‬

Dana pembelian hewan aqiqah ditanggung oleh si wali dalam hal ini
bapaknya. Yang jelas, pembelian hewan itu tidak menggunakan harta orang
lain termasuk istrinya atau anaknya. Karena, aqiqah ini merupakan sedekah.
Sedekah harus pakai uang sendiri, bukan orang lain. Juga jangan memaksakan
diri hingga menghutang ke sana-ke sini. Adapun aqiqah anak zina ditanggung
oleh ibu dengan cara sembunyi agar tidak membuka aibnya.

Ketentuan aqiqah bagi anak-anak yang sudah balig atau bahkan dewasa,
diterangkan Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tausyih ala Fathil Qaribil
Mujib berikut,

‫ولو مات املولود قبل السابع فَل تفوت مبوته وَل تفوت العقيقة ِبلتأخْي بعده أى بعد يوم السابع‬

‫فإن أتخرت أى الذبيحة للبلوغ سقط حكمها ِف حق العاق عن املولود أى فَل خياطب هبا بعده‬

‫َلنقطاع تعلقه ِبملولود حينئذ َلستقَلله أما هو أى املولود بعد بلوغه فمخْي ِف العق عن نفسه‬

‫ لكن األحسن أن يعق عن نفسه تداركا ملا فات‬,‫والّتك فإما أن يعق عن نفسه أو يّتك العقيقة‬

“Andai si bayi wafat sebelum hari ketujuh, maka kesunahan aqiqah tidak
gugur. Kesunahan aqiqah juga tidak luput karena tertunda hingga hari ketujuh
berlalu. Kalau penyembelihan aqiqah ditunda hingga si anak balig, maka
hukum kesunahannya gugur bagi si orang tua. Artinya mereka tidak lagi
disunahkan mengaqiqahkan anaknya yang sudah balig karena tanggung jawab
aqiqah orang tua sudah terputus karena kemandirian si anak. Sementara agama
memberikan pilihan kepada seseorang yang sudah balig untuk mengaqiqahkan
dirinya sendiri atau tidak. Tetapi baiknya, ia mengaqiqahkan dirinya sendiri
untuk menyusul sunah aqiqah yang luput di waktu kecilnya.” Anak yang sudah
balig dihukumkan mandiri. Singkat kata, mereka menanggung sendiri
kebutuhan hidupnya, dosa dan pahala yang dilakukan, termasuk untung
maupun rugi kalau berusaha. Aqiqah adalah sebutan binatang yang disembelih

13
pada hari ketujuh dari kelahiran bayi. Sebagaimana dalam hadits Nabi, hukum
menyembelih aqiqah sunah muakkadah.

Pada umumnya, binatang untuk aqiqah sama dengan ketentuan dalam


kurban. Baik jenis, usia, dan keharusan tidak cacatnya. Yang lebih sempurna
(atau lebih utama menurut beberapa kitab fiqih) sebagai aqiqah adalah 2 ekor
kambing atau domba yang sepadan untuk bayi laki-laki.

Sedangkan untuk bayi perempuan cukup 1 ekor kambing atau domba.


Jika kemampuan finansialnya hanya mampu menyembelih seekor kambing
untuk bayi laki-laki, maka penunaian sunah aqiqah sudah terpenuhi. Masing-
masing kambing ini adalah kambing yang memenuhi syarat sah yang
dikurbankan.

• Pendistribusian Daging Aqiqah

Dalam literatur-literatur fiqih Syafiiyah, terdapat pemaparan panjang


lebar mengenai masalah pendistribusian ini; Jika aqiqahnya bukan kategori
wajib (nadzar), maka harus disedekahkan kepada tetangga tanpa memandang
status ekonomi (meskipun bukan fakir-miskin) dan sisanya bisa dikonsumsi
sendiri maupun oleh orang lain. Sedangkan jika aqiqahnya wajib, maka
semuanya harus disedekahkan.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pengaqiqah. Yakni,


bagian aqiqah tidak boleh menjadi obyek transaksi ekonomi, misalnya
diperjual belikan. Untuk itu, ada beberapa hal dalam penanganan daging dan
pendistribusiannya, antara lain:

1. Disunahkan untuk tidak mematahkan tulangnya. Tetapi hendaknya daging


tersebut dipotong pada tiap ruas atau persendian tulang. Hal ini sebagai
simbol keselamatan anggota tubuh anak yang diaqiqahi.
2. Menyedekahkan daging aqiqah yang telah dimasak, lalu diantarkan pada
fakir miskin. Sebab hal ini lebih disunahkan daripada menyedekahkannya
dalam keadaan mentah, dan daripada mengundang kaum fakir-miskin
untuk menerima pembagian daging tersebut. Sedangkan daging kurban
harus diberikan dalam keadaan mentah (segar).

14
Pada dasarnya hukum aqiqah dan kurban adalah sama. Mulai dari niat,
jenis hewan, umur, kesehatan, dan lain sebagainnya. Di antara perbedaan dari
keduanya adalah terkait dengan kesunahan mensedekahkan daging aqiqah
setelah dimasak dan waktu pelaksanaaannya. Oleh sebagian orang, daging ini
dimanfaatkan sebagai sajian walimah. Jadi yang dilakukan adalah melakukan
aqiqah sekaligus walimah, di mana daging aqiqahnya dimasak dan dijadikan
sajian untuk orang-orang yang menghadiri walimah.

Menjadikan masakan daging aqiqah sebagai sajian walimah memang


nampaknya lebih efektif dan efesien. Pasalnya shahibul hajat (yang memiliki
hajat) tidak perlu susah payah mengantarkan masakan daging aqiqah. Para
tamu akan datang sendiri dengan undangan walimah sehingga tercapailah dua
hal sekaligus yakni aqiqah dan walimah. Namun demikian, aqiqah merupakan
ibadah yang hukumnya sunah muakkad dan mempunyai ketentuan-ketentuan
tersendiri. Di antara ketentuannya adalah mensedekahkan daging aqiqah
setelah dimasak, kemudian membagikan atau mengirimkannya kepada orang-
orang fakir. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari (wafat
987 H) yang bermadzhab Syafi'i dalam kitabnya, Fathul Mu'in sebagai berikut:

‫ أحب من ندائهم إليها ومن التصدق نيئا‬:‫والتصدق مبطبوخ يبعثه إىل الفقراء‬

Artinya: "Mensedekahkan daging aqiqah setelah dimasak kemudian


mengirimkannya kepada orang-orang fakir lebih disukai daripada
mengundang mereka (untuk hadir ke rumah hal ini berdasarkan perkataan
Aisyah Ra bahwasanya hal ini hukumnya sunah), dan lebih baik daripada
mensedekahkan daging mentah."

Penjelasan ini menyatakan bahwa mensedekahkan daging aqiqah setelah


dimasak dan mengirimkan kepada masing-masing penerimanya lebih disukai.
Ibaroh ini tidak menyebutkan secara jelas hukum mengundang penerima
daging aqiqah ke rumah. Dalam penjelasan tersebut hanya menyebutkan lebih
disukai (ahabu) mengantar masakan daging aqiqah daripada mengundang
orang-orang untuk memakan masakan aqiqah.

15
Sementara seorang ulama bermazhab Maliki, Syihabuddin an-Nafrawi
(wafat 1126 H) menjelaskan dengan jelas hukum mengundang orang-orang
untuk memakan masakan aqiqah dan menjadikanya sebagai sajian walimah
seperti walimatul ursy. Dalam kitabnya, Al-Fawakih ad-Dawani ia
menjelaskan:

‫ص َّد ُق) ِّمنْ َها بَ ْع َد الطَّْب ِّخ‬


َ َ‫(ويُت‬
ِّْ ‫ت و‬
َ ‫اْل َْيا ُن‬
ِّ ِّ
َ ‫َي يُطْ َع َم (منْ َها) أ َْه ُل الْبَ ْي‬
ْ ‫ب أَ ْن (يُ ْؤَك َل) أ‬
ُّ ‫(و) يُ ْستَ َح‬
َ
ِّ ِّ ‫ ويكْره جعلُها ولِّيمةً وي ْدعو ََلا النَّاس َكما تَ ْفعلُه الن‬،‫وقَب لَه‬
َ‫ َوإََِّّّنَا ُك ِّره‬،‫َّاس م ْن َج ْعل ِّه ْم ََلَا َكالْعُْر ِّس‬
ُ ُ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ ْ َ َُ ُ َ ُ ْ َ
‫ فَلَ ْو‬،‫َح ٍد ِِّف َُمَلِّ ِّه‬
َ ‫ام ُك ِّل أ‬ ُ ُ‫ بَ ْل الْ َمطْل‬،ِّ‫اخَرة‬
ُ ‫وب إطْ َع‬ َ ‫اهاة َوالْ ُم َف‬
ِّ ِّ
ِّ ‫ف الْمب‬
َ َ ُ ‫ َوْلَْو‬،‫ف‬ َّ ‫لِّ ُم َخالََف ِّة فِّ ْع ِّل‬
ُ َ‫السل‬
‫ َواَ ََّّللُ أ َْعلَ ُم‬،‫ب ِِّبِّ َع َاد َِّتَا‬ ِّ
ْ ‫ َوإِّ ْن ُك ِّرَه‬،‫َت‬
ُ َ‫ َوََل يُطَال‬،‫ت‬ ْ ‫َجَزأ‬
ْ ‫يمةً أ‬
َ ‫َوقَ َع َع َملُ َها َول‬

Artinya, "Disunahkan untuk memberi makan keluarga dan tetangga dari


daging aqiqah dan untuk mensedekahkannya setelah dimasak dan sebelumnya.
Dimakruhkan menjadikan daging aqiqah sebagai sajian walimah dan
mengundang masyarakat sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang
menjadikan daging aqiqah sebagai sajian walimah seperti walimatul ursy. Hal
ini, dimakruhkan karena menyelisihi perbuatan ulama salaf, dan karena
ditakutkan timbulnya rasa membanggakan diri dan sombong. Akan tetapi yang
dituntut adalah memberi makan kepada setiap orang yang berada di
tempatnya. Apabila menjadikan aqiqah sebagai walimah maka hal itu tetap
mencukupi sekalipun hal tersebut dimakruhkan dan ia tidak dituntut untuk
mengulangi akikahnya. Wallahu a'lam”.

• Penjelasan mengenai perbedaan aqiqah antara laki-laki dan


perempuan

Aqiqah bagi anak laki-laki disunnahkan dua ekor kambing, sedangkan


bagi anak perempuan disunnahkan satu ekor kambing. Hal ini didasarkan
kepada riwayat Ummu Kurz al-Ka’biyyah ra yang bertanya kepada Rasulullah
saw tentang aqiqah. Rasul pun menjelaskan bahwa untuk anak laki-laki
dianjurkan dua ekor kambing yang sama, dan untuk anak perempuan satu ekor
kambing.

16
ِّ ‫ول‬ ِّ
‫هللا‬ َ ‫ت َر ُس‬
ُ ْ‫ت َسأَل‬ ْ ‫اريَِّة َشاةٌ ل َما َرَو‬
ْ َ‫ت أ ُُّم ُك ْرٍز قَال‬ ِّ َ‫اْل‬ ِّ ْ َ‫السنَّةُ أَ ْن يُ ْذبَ َح َع ِّن الْغُ ََلِّم َشات‬
ْ ‫ني َو َع ِّن‬ ُّ ‫َو‬

ٌ‫اريَِّة َشاة‬ ِّ َ‫اَت ِّن م َكافِّئَ ت‬


ِّ َ‫ان َو َع ِّن ا ْْل‬ ِّ ِّ َ ‫صلَّى هللا َعلَْي ِّه وسلَّم َع ِّن الْ َع ِّقي َق ِّة فَ َق‬
ُ َ ‫ال للْغُ ََلم َش‬ َ ََ ُ َ

“Sunnah untuk disembelih (beraqiqah) dua ekor kambing yang sama bagi anak
laki-laki dan satu ekor kambing bagi anak perempuan karena didasarkan
kepada riwayat Ummu Kurz ra, ia bertanya kepada Rasulullah saw tentang
aqiqah, lantas Rasul pun menjawab, ‘Bagi anak laki-laki dua ekor kambing
yang sama, dan bagi anak perempuan satu ekor kambing” (Abu Ishaq as-
Sirazi., al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz,
1, h. 241).

Jawaban atas permasalahan ini juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi
sosial orang Arab dan dasar pemikiran mereka ketika itu. Di mana kehadiran
anak laki-laki lebih mereka harapkan ketimbang anak perempuan. Dengan
kata lain, kebahagian mereka ketika mendapatkan anak laki-laki melebihi dari
mendapatkan anak perempuan. Karenanya, aqiqah untuk anak laki-laki lebih
banyak ketimbang anak perempuan.

َّ ( ‫ور ِِّبلْغُ ََلِّم أَ ْكثَر فَ َكا َن‬


‫الذبْ ُح َعْنهُ ) أَ ْكثَ َر‬ ُ ُ ‫الس ُر‬
ِّ َ‫ور ِِّبلْمول‬
ُّ ‫ود َو‬ ْ َ ِّ ‫لس ُر‬ُّ ِّ‫ع ل‬
َ ‫َوَِّلَنَّهُ إََِّّّنَا ُش ِّر‬

“Aqiqah disyariatkan perwujudan riil rasa bahagia dengan kehadiran seorang


anak, sedangkan kebahagian dengan kehadiran seorang anak laki-laki itu lebih
besar. Karenanya, aqiqah untuk anak laki-laki lebih banyak.”(al-Muhadzdzab
fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, juz, 1, h. 241).

Lebih lanjut jika aqiqah baik untuk laki-laki maupun perempuan itu
disamakan, satu ekor kambing untuk laki-laki begitu juga untuk anak
perempuan, menurut Abu Ishaq as-Sirazi, hal ini tentunya diperbolehkan,
karena Rasulullah SAW sendiri menurut riwayat Ibnu Abbas RA mengaqiqahi
cucunya, yaitu Hasan ra dan Husain masing-masing satu kambing gibas.

ِّ‫ول هللا‬ ِّ ‫اس ر‬ ِّ ِّ ٍ ِّ ِّ ِّ


ُ ‫ال َع َّق َر ُس‬
َ َ‫ض َي هللاُ َعنْهُ ق‬ َ ٍ َّ‫َوإ ْن ذُب َح َع ْن ُك ِّل َواحد منْ ُه َما َشاةٌ َج َاز ل َما َرَوى ابْ ُن َعب‬

َّ ‫ني َعلَْي ِّه َما‬


ِّ ْ ‫اِلَس ِّن َوا ِْلُس‬ َّ ِّ َّ َ
‫السَلَُم َكْب ًشا َكْب ًشا‬ َ َ ْ ‫صلى هللاُ َعلَْيه َو َسل َم َع ِّن‬

17
“Jika masing-masing anak baik laki-laki maupun perempuan diaqiqahi dengan
satu ekor kambing maka itu boleh karena ada riwayat dari Ibnu Abbas ra yang
menyatakan bahwa Rasulullah saw mengaqiqahi Hasan ra dan Husain ra
masing-masing satu kambing gibas (domba jantan)” (al-Muhadzdzab fi Fiqh
al-Imam asy-Syafi’i, juz, 1, h. 241).

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengadzani bayi. Mayoritas
ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, ulama mazhab Syaf’i, dan ulama
mazhab Hanbali menghukuminya sunnah. Sebagian ulama mazhab Maliki
menghukuminya mubah. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang
lain menganggapnya makruh. Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya
pendapat yang mensunnahkan adzan pada bayi yang baru dilahirkan
merupakan pendapat yang kuat, sebab didukung oleh beberapa hadits,
yaitu hadits riwayat Abu Rafi’.
2. Mengubur ari-ari (masyimah) itu hukumnya sunah. Adapun menyalakan
lilin dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu hukumnya haram karena
dianggap sebagai tindakan membuang-buang harta (tabdzir) yang tak ada
manfaatnya. Namun seringkali penyalaan lilin ataupun alat penerang
lainnya di sekitar kuburan ari-ari dilakukan dengan tujuan
menghindarkannya dari serbuan binatang malam seperti tikus dan lain-
lain. Maka jika demikian hukumnya boleh saja.
3. Hukum aqiqah adalah sunah muakkad. Tetapi menjadi wajib kalau
dinazarkan sebelumnya. Untuk bayi laki-laki, sempurna minimal dua ekor
kambing. Sedangkan bayi perempuan, dipotongkan seekor kambing.
Tetapi pada prinsipnya, seekor kambing cukup untuk mengaqiqahkan bayi
laki-laki maupun perempuan. Sementara sempurnanya, seorang wali tidak
dibatasi menyembelih berapa ekor kambing, unta, sapi atau kerbau.
Artinya, silakan menyembelih berapa pun.

19
DAFTAR PUSTAKA

Anam, A. K. (2015). Kenapa Aqiqah Laki-Laki dan Perempuan Beda? NU Online


https://m.nu.or.id/bahtsul-masail/kenapa-aqiqah-laki-laki-dan-perempuan-
beda-9QfdE [Diakses pada tanggal 1 Desember 2023]

Hadrawi, U. (2012). Kepercayaan dan Cara Menguburkan Ari-Ari. NU Online


https://islam.nu.or.id/syariah/kepercayaan-dan-cara-menguburkan-ari-ari-
0Hnpk [Diakses pada tanggal 1 Desember 2023]

Haq, H. (2020). Hukum Mengadzani Bayi Menurut Madzhab Empat. NU Online.


https://islam.nu.or.id/fiqih-perbandingan/hukum-mengadzani-bayi-menurut-
mazhab-empat-tLybi [Diakses pada tanggal 1 Desember 2023]

Kurniawan. (2014). Buat Yang Belum Aqiqah. NU Online


https://nu.or.id/syariah/buat-yang-belum-aqiqah-kFiaU [Diakses pada
tanggal 1 Desember 2023]

Muntaha, A. (2022). Hukum Mengubur Ari-Ari Bayi Beserta Tulisan Surat Al-
Fatihah. NU Online https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-mengubur-
ari-ari-bayi-beserta-tulisan-surat-al-fatihah-63ZXm [Diakses pada tanggal 1
Desember 2023]

Rahman, M. H. (2023). Hukum Daging Aqiqah Untuk Sajian Walimah. NU Online


https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-daging-aqiqah-untuk-sajian-walimah-
NoMb0 [Diakses pada tanggal 1 Desember 2023]

Rosyidin, M. A. (2018). Mengubur Ari-Ari Bayi, Sunahkah?


https://tebuireng.online/mengubur-ari-ari-bayi-sunahkah/ [Diakses pada
tanggal 10 Desember 2023]

20

Anda mungkin juga menyukai