Anda di halaman 1dari 24

Tradisi Islam

Seputar Bayi
• Adzan dan iqomah di telinga bayi

• Mengubur ari-ari

• Aqiqoh
Kelompok 2
1. Erlangga Abiartha Nugraha 11422003
2. M. Bagas Audi Hidayatullah 11422022
3. Panji Permadani 11422029
4. Ahmad Alvin Ahsani 11422047
5. Adi Supriyanto 12422003
6. Zumrotul Hamidah 12422013
7. Mohammad Alqusairi 12422014
Adzan dan iqomah di telinga bayi
menurut 4 madzab
Para ulama bersepakat bahwa mengumandangkan adzan sebelum
melaksanakan shalat itu disyariatkan. Hanya saja, mereka berbeda
pendapat jika adzan tersebut ditujukan untuk selain shalat, seperti
adzan untuk bayi yang baru saja dilahirkan pada telinga kanannya, dan
iqamat pada telinga kirinya.

Kebiasaan ini bertujuan agar hal pertama yang didengar oleh bayi
adalah kalimat tauhid, di samping agar sang jabang bayi terhindar dari
berbagai pengaruh dan godaan setan.
Pertama, mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, ulama mazhab
Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, mengadzani bayi
hukumnya sunnah.
Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menuturkan:

.‫ َف ُيْن َد ُب ِلْلَم ْو ُلْو ِد‬،‫ ِفي اْلَم َو اِض ِع اَّلِتي ُيْن َد ُب َلَه ا اَأْلَذ اُن ِفي َغ ْي ِر الَّص اَل ِة‬: ‫َم ْط َلٌب‬
Artinya: Pembahasan tentang tempat-tempat yang disunnahkan mengumandangkan adzan untuk selain (tujuan)
shalat, maka disunnahkan mengadzani telinga bayi

Imam Nawawi, sebagai salah satu ikon ulama mazhab Syafi’i, menuliskan masalah ini di
dalam kitab fikihnya yang fenomenal, Al-Majmu’:

.‫ َو َيُكْو َن اَألَذ اُن ِبَلْف ِظ َأَذ اِن الَّص اَل ِة‬،‫الُّس َّنُة َأْن ُيَؤ ِّذَن ِفي ُأُذ ِن اْلَم ْو ُلْو ِد ِع ْن َد ِو اَل َدِتِه َذ َك ًرا َك اَن َأْو ُأْنَث ى‬
.‫ ُيْس َت َحُّب َأْن ُيَؤ ِّذَن ِفي ُأُذ ِنِه اْلُيْم َنى َو ُيِق ْي َم الَّص اَل َة ِفي ُأُذ ِنِه اْلُيْس َرى‬:‫َق اَل َجَم اَع ٌة ِم ْن َأْص َحاِبَنا‬

Artinya:Disunnahkan mengumandangkan adzan pada telinga bayi saat ia baru lahir, baik bayi
laki-laki maupun perempuan, dan adzan itu menggunakan lafadz adzan shalat. Sekelompok
sahabat kita berkata: Disunnahkan mengadzani telinga bayi sebelah kanan dan mengiqamati
telinganya sebelah kiri, sebagaimana iqamat untuk shalat
Syekh Mansur Al-Bahuti dari mazhab Hanbali juga menuliskan

،‫ َو َأْن ُيِق يَم ِفي اْلُيْس َرى‬،‫ ِح يَن ُيوَلُد‬،‫ َذ َك ًرا َك اَن َأْو ُأْنَث ى‬،‫َوُس َّن َأْن ُيَؤ َّذ َن ِفي ُأُذ ِن اْلَم ْو ُلوِد اْلُيْم َنى‬
‫ِل‬ ‫ْل‬‫ا‬ ‫ُذ‬‫ُأ‬ ‫ِفي‬ ‫َن‬ ‫َّذ‬‫َأ‬ ‫َّل‬ ‫ِه‬ ‫َل‬ ‫ُهَّللا‬ ‫ىَّل‬ ‫ِهَّللا‬ ‫وَل‬ ‫ت‬ ‫َأ‬ ‫اَل‬ ‫َق‬ ‫اِف‬ ‫ي‬ ‫َأ‬ ‫ِدي‬ ‫ِل‬
‫ِن َحَس ِن ْبِن َع ٍّي‬ ‫َع ْي َوَس َم‬ ‫َص‬ ‫َر ْي َرُس‬ : ‫ٍع‬ ‫َر‬ ‫ِب‬ ‫ِث‬ ‫َح‬
.‫ َرَو اُه َأُبو َداُو د َو الِّتْر ِم ِذ ُّي َو َص َّحَحاُه‬. ‫ِح يَن َو َلَد ْتُه َف اِط َم ُة‬
,Dan disunnahkan dikumandangkan adzan pada telinga bayi sebelah kanan
baik laki-laki atau perempuan, ketika dilahirkan, dan mengiqamatinya pada
telinga sebelah kiri, karena hadits riwayat Abi Rafi’ bahwa ia berkata: Saya
melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengadzani telinga Hasan bin Ali
saat dilahirkan oleh Fatimah. Hadis ini diriwayatkan dan dianggap shahih oleh
Abu Dawud dan Tirmidzi
Kedua, sebagian ulama’ mazhab Maliki menyatakan, mengadzani bayi setelah dilahirkan
hukumnya mubah (boleh). Syekh Al-Hattab dari mazhab Maliki menyebutkan
‫(ُقْلُت ) َو َق ْد َجَرى َع َم ُل الَّناِس ِبَذ ِلَك َفاَل َبْأَس ِباْلَع َم ِل ِبِه‬
Saya berkata: Dan orang-orang telah terbiasa melakukan hal itu (mengadzani dan“
mengiqamati bayi), maka tidak apa-apa dilaksanakan
Ketiga, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menegaskan,
hukum mengadzani bayi setelah dilahirkan adalah makruh.
Syekh Al-Hattab dari mazhab Maliki menulis
‫َص‬ ‫َت‬ ‫ْخ‬ ‫ْن‬ ‫ِم‬ ‫اِم‬ ‫ْل‬‫ا‬ ‫ا‬ ‫َت‬ ‫ِك‬ ‫ِفي‬ ‫ٍد‬ ‫ْي‬ ‫َز‬ ‫ي‬ ‫َأ‬ ‫ْب‬ ‫ِد‬ ‫َحَّم‬ ‫و‬ ‫ُب‬‫َأ‬ ‫ُخ‬ ‫َّش‬‫ال‬ ‫اَل‬ ‫َق‬
‫ِر‬ ‫ُم‬ ‫ِع‬ ‫َج‬ ‫ِب‬ ‫ِب‬ ‫ِن‬ ‫ُم‬ ‫ْي‬
‫ُل‬ ‫ْل‬ ‫ُذ‬
‫ِفي ِن الَّص ِبِّي ا َم ْو وِد‬‫ُأ‬ ‫َن‬ ‫َّذ‬ ‫َؤ‬‫ُي‬ ‫ْن‬‫َأ‬ ‫ َو َك ِرَه َم اِلٌك‬: ‫اْلُم َد َّو َنِة‬

Syekh Abu Muhammad bin Abi Zaid berkata dalam kitab Al-“
Jami’ min Mukhtasharil Mudawwanah: Imam Malik
menghukumi makruh dikumandangkannya adzan pada telinga
bayi yang baru dilahirkan
2. Mengubur Ari-Ari
Ari-ari/plasenta bayi sangat berfungsi untuk membantu perkembangan jabang bayi saat
berada dalam kandungan. Namun, setelah bayi lahir ari-ari sudah tidak berfungsi lagi, yang
kemudian dipotong dan dikuburkan. Mengubur ari-ari setelah bayi lahir sering dilakukan
oleh sebagian masyarakat khususnya di Pulau Jawa, bahkan sudah menjadi tradisi turun
temurun.
Hadis yang menerangkan mengubur ari-ari hanya terdapat sebagian kecil dalam beberapa
kitab hadis, seperti dalam kitab at Tadwin fi Akhbari al Qozwin juz 1 halaman 455 yang
disusun oleh Imam ar-Rofi’I di bawah ini
‫ُم َحَّم د ْبن علي ْبن إبراهيم ْبن سلمة ْبن بحر أبو إبراهيم ْبن أبي الحسن القطان َس ِم َع َأَباُه ِفي ُجْز ٍء َرَو اُه عن أبي بكر َأْحَم د‬
‫ْبن ُم َحَّم ِد ْبِن اْلَحَس ِن الَّذ َه ِبِّي َحَّد َثِني َأُبو ُم َحَّم ٍد َس ِع يُد ْبُن َع ْب ٍد اْلِف ْر َياِبُّي ِبَس ْر َخَس َثَنا َم اِلُك ْبُن سليمان هروي ثنا داؤد‬
‫ “َك اَن َيْأُم ُر ِبَد ْف َس ْب َع َة‬: ‫ْبُن َع ْب ِد الَّرْحَم َع ْن ِه َش اِم ْبن عروة عن أبيه عن َع اِئَش َة َأَّن الَّنِب َص ىَّل ُهَّللا عليه وآله َوَس َّلَم‬
‫ِن‬ ‫َّي‬ ‫ِن‬
‫َأْش َي اٍء ِم َن اِإلْنَس ا الَّش ْع ُر َو الُّظ ْف ُر والدم والحيضة والسن والمشيعة َو اْلُق ْلَف ُة‬
‫ِن‬

“Muhammad bin ‘Ali bin Ibrahim bin Salamah bin Bahr Abu Ibrahim bin Abil Hasan mendengarkan
ayahnya yang meriwayatkan hadis dari Abi Bakr Ahmad bin Muhammad bin Hasan ad-Dahabi
berkata: telah menceritakan kepadaku Abu Sa’id bin Abdin al-Firyani, telah menceritakan kepada
kami Malik bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Daud bin Abdir Rahman dari Hisyam bin
Urwah dari ayahnya dari Aisyah, bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alahi Wasallam menyuruh untuk
mengubur tujuh hal potongan badan manusia yaitu rambut, kuku, darah, darah haid, gigi, ari-ari, dan
gumpalan darah”
Namun, pada hadis ini terdapat dua perawi yang terindikasi dhaif. Yang pertama ialah Abu Bakar
Ahmad bin Muhammad bin Hasan ad-Dahabi, ia dihukumi dhaif oleh Imam Ibn Hajar al Asqalani.
Dan yang kedua ialah Malik bin Sulaiman, ia dihukumi dhaif oleh Imam Dar al Qutni. Oleh karena itu,
dari uraian di atas terdapat dua perawi yang dihukumi dhaif maka para ulama menghukumi hadis ini
adalah dhaif, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil atau sumber penggalian hukum.

Lebih dari itu, dalam pandangan hukum Islam terjadi perbedaan pendapat ulama. Akan tetapi ada
sebagian ulama menganjurkan untuk mengubur bagian tubuh yang terlepas sebagai bentuk
memuliakan manusia, karena bagian dari memuliakan manusia adalah mengubur bagian tubuh yang
terlepas, salah satunya ari-ari. Sebagaimana Imam Syamsudin ar-Ramli dalam kitab Nihayat al Muhtaj
juz 2 halaman 495 menerangkan:
‫ َو َدِم َنْحِو َف ْص ٍد إْك َراًم ا‬، ‫َو ُيَس ُّن َد ْف ُن َم ا اْنَف َص َل ِم ْن َحٍّي َلْم َيُم ْت َحااًل َأْو ِم َّم ْن ُش َّك ِفي َم ْو ِتِه َك َي ِد َس اِرٍق َو ُظ ْف ٍر َو َش ْع ٍر َو َع َلَق ٍة‬
‫ِلَص اِح ِبَه ا‬
“Dan disunnahkan mengubur bagian yang terpisah dari orang hidup yang tidak mati seketika atau
bagian tubuh yang terpisah dari orang yang diragukan kematiannya, seperti potongan tangan
pencuri, kuku, rambut, dan segumpal darah serta darah yang keluar dari semacam bekam, sebagai
bentuk memuliakan pemilik potongan tubuh tersebut.”
Dipertegas dengan ungkapan Imam al Barmawy dalam kitab Hasyiyah Jamal juz II halaman 190
bahwa ari-ari termasuk bagian tubuh dari manusia.

‫َف َكاْلُجْز ِء؛ َأِلَّنَه ا ُتْق َط ُع ِم ْن اْلَو َلِد َف ِه َي ُجْز ٌء ِم ْن ُه‬ ‫َو ِع َباَرُة اْلِبْرَم اِو ِّي َأَّم ا اْلَم ِش يَم ُة اْلُم َس َّم اُة ِباْلَخاَل ِص‬
“Ungkapan Imam al Barmawy, Masyimah (ari-ari) yang juga dikenal dengan nama al Kholash maka
seperti bagian tubuh seseorang. Karena ia terpotong dari tubuh seorang anak maka ia bagian
tubuhnya.”
Dan perlu diingat, dalam mengubur ari-ari tidak boleh memiliki keyakinan kepada suatu hal yang
menentukan nasib bagi sang bayi dengan menambahkan barang-barang seperti cabai, pulpen, sisir,
menyalakan lampu, dan lain-lain yang nantinya dikhawatirkan hukumnya haram. Keharaman
tersebut dikarenakan perbuatan itu bisa menghantarkan kepada perbuatan syirik kecil dan termasuk
membuang-buang harta yang tidak ada manfaatnya (tabdzir).
Adapun tentang haramnya tabdzir sehubungan dengan menyertakan segala benda di lingkungan
terpendamnya ari-ari terdapat dalam buku “Ahkamu al Fuqaha’ Solusi Problematika Umat” yang
memuat hasil keputusan Bahtsul Masail Nadlatul Ulama dari 1926-2010, yang diambil dari kitab
Hasyiyah al Bajuri

‫الُم َبِّذ ُر ِلَم اِلِه َأْي ِبَص ْر ِفِه ِف ْي َغ ْي ِر َم َص اِرِفِه (َق ْو ُلُه ِف ْي َغ ْي ِر َم َص اِرِفِه ) َو ُه َو ُكُّل َم ا َال َيُع ْو ُد َنْف ُع ُه ِإَلْي ِه َال َع اِج ًال َو َال آِج ًال َف َي ْش َم ُل‬
‫الُو ُجْو َه الُم َحَّرَم َة َو الَم ْك ُرْو َه َة‬
“(Orang yang berbuat tabdzir kepada hartanya) ialah yang menggunakannya di luar kewajarannya.
(yang dimaksud ialah di luar kewajarannya), yaitu segala sesuatu yang tidak berguna baginya, baik
sekarang (di dunia) maupun kelak (di akhirat), meliputi segala hal yang haram dan yang makruh.”
Namun seringkali penyalaan lilin ataupun alat penerang lainnya di sekitar kuburan ari-ari dilakukan
dengan tujuan menghindarkannya dari serbuan binatang malam seperti tikus dan lain-lain. Maka jika
demikian hukumnya boleh saja.
3. Tradisi Aqiqah
Dalam tradisi umat Islam, khususnya Nahdliyin, kelahiran seorang anak ke dunia biasa dirayakan dengan aqiqah.
Aqiqahan ialah mengundang tetangga untuk membacakan ayat Al-Quran, zikir, atau maulid Barzanji yang kemudian
memotong sedikit rambut bayi oleh sejumlah undangan secara bergantian saat mahallul qiyam. Yang punya hajat lalu
meminta kiai setempat mendoakan si anak kelak menjadi orang punya manfaat dan kegunaan bagi masyarakat.
Sedangkan aqiqah secara harfiah yakni sebutan bagi rambut di kepala bayi. Bayi orang atau binatang, sama saja. Kata
ahli fiqih, aqiqah ialah hewan sembelihan yang dimasak gulai kemudian disedekahkan kepada orang fakir dan miskin.
Dimasak gulai dengan harapan akhlak si anak kelak manis dan enak dipandang mata seperti masakan gulai.
Sebagaimana dalam hadis Nabi SAW.
‫ ‌َو ُيْحَلُق‬،‫ ‌َو ُيَس َّم ى‬، ‫ ‌الُغ اَل ُم ‌ُم ْر َتَه ٌن ‌ِبَع ِق يَق ِتِه ‌ُيْذ َبُح ‌َع ْن ُه ‌َيْو َم ‌الَّس اِبِع‬: ‫ُهَّللا َع َلْي ِه َوَس َّلَم‬ ‫ َق اَل َرُس وُل ِهَّللا َص ىَّل‬: ‫َع ْن َس ُم َرَة َق اَل‬
‫‌َرْأُس ُه‬

Artinya: Dari Samurah, ia berkata, Nabi bersabda: Seorang bayi itu digadaikan dengan (jaminan) aqiqahnya; aqiqah itu
disembelih pada hari ketujuh (dari hari kelahiran), (pada hari itu pula) si bayi diberi nama dan dipotong rambutnya (HR
Sunan al-Tirmidzi 4/101, dalam kitab Al-Adlaha bab Al-aqiqah).
Hukum aqiqah adalah sunah muakkad. Tetapi menjadi wajib kalau dinazarkan sebelumnya. Untuk bayi laki-laki,
sempurna minimal dua ekor kambing. Sedangkan bayi perempuan, dipotongkan seekor kambing. Tetapi pada
prinsipnya, seekor kambing cukup untuk mengaqiqahkan bayi laki-laki maupun perempuan. Sementara
sempurnanya, seorang wali tidak dibatasi menyembelih berapa ekor kambing, unta, sapi atau kerbau. Artinya,
silakan menyembelih berapa pun. Demikian kata Syekh Syarqowi dalam kitab Hasyiyatus Syarqowi ala Tuhfatit
Thullab bi Syarhit Tahrir.
Sejumlah ulama mengatakan, aqiqah berfaedah memberikan mandat kepada si anak untuk memberikan syafa’at
kelak kepada orang tuanya. Di lain pendapat, aqiqah bertujuan agar fisik dan akhlak si anak tumbuh dengan baik.

Masa penyembelihan itu disunahkan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Hari pertama keluarnya si bayi masuk
dalam hitungan. Kalau belum sempat di hari ketujuh karena beberapa uzur, boleh dilakukan pada hari keempat belas,
dua puluh satu, dan kelipatan tujuh berikutnya. Saat menyembelih yang disunahkan saat fajar menyingsing, dianjurkan
membaca doa berikut,
‫اسم هللا وهللا أكبر اللهم هذه منك وإليك اللهم هذه عقيقة فالن‬
Dana pembelian hewan aqiqah ditanggung oleh si wali dalam hal ini bapaknya. Yang jelas, pembelian hewan itu
tidak menggunakan harta orang lain termasuk istrinya atau anaknya. Karena, aqiqah ini merupakan sedekah.
Sedekah harus pakai uang sendiri, bukan orang lain. Juga jangan memaksakan diri hingga menghutang ke sana-ke
sini. Adapun aqiqah anak zina ditanggung oleh ibu dengan cara sembunyi agar tidak membuka aibnya.
Ketentuan aqiqah bagi anak-anak yang sudah balig atau bahkan dewasa, diterangkan Syekh Nawawi Banten dalam
kitab Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib berikut,

‫ولو مات المولود قبل السابع فال تفوت بموته وال تفوت العقيقة بالتأخير بعده أى بعد يوم السابع فإن تأخرت أى‬
‫الذبيحة للبلوغ سقط حكمها فى حق العاق عن المولود أى فال يخاطب بها بعده النقطاع تعلقه بالمولود حينئذ‬
,‫الستقالله أما هو أى المولود بعد بلوغه فمخير فى العق عن نفسه والترك فإما أن يعق عن نفسه أو يترك العقيقة‬
‫لكن األحسن أن يعق عن نفسه تداركا لما فات‬
“Andai si bayi wafat sebelum hari ketujuh, maka kesunahan aqiqah tidak gugur. Kesunahan aqiqah juga tidak luput
karena tertunda hingga hari ketujuh berlalu. Kalau penyembelihan aqiqah ditunda hingga si anak balig, maka hukum
kesunahannya gugur bagi si orang tua. Artinya mereka tidak lagi disunahkan mengaqiqahkan anaknya yang sudah
balig karena tanggung jawab aqiqah orang tua sudah terputus karena kemandirian si anak. Sementara agama
memberikan pilihan kepada seseorang yang sudah balig untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri atau tidak. Tetapi
baiknya, ia mengaqiqahkan dirinya sendiri untuk menyusul sunah aqiqah yang luput di waktu kecilnya.” Anak yang
sudah balig dihukumkan mandiri. Singkat kata, mereka menanggung sendiri kebutuhan hidupnya, dosa dan pahala
yang dilakukan, termasuk untung maupun rugi kalau berusaha. Aqiqah adalah sebutan binatang yang disembelih
pada hari ketujuh dari kelahiran bayi. Sebagaimana dalam hadits Nabi, hukum menyembelih aqiqah sunah
muakkadah.
Pada umumnya, binatang untuk aqiqah sama dengan ketentuan dalam kurban. Baik jenis, usia, dan keharusan tidak
cacatnya. Yang lebih sempurna (atau lebih utama menurut beberapa kitab fiqih) sebagai aqiqah adalah 2 ekor
kambing atau domba yang sepadan untuk bayi laki-laki.
Sedangkan untuk bayi perempuan cukup 1 ekor kambing atau domba. Jika kemampuan finansialnya hanya mampu
menyembelih seekor kambing untuk bayi laki-laki, maka penunaian sunah aqiqah sudah terpenuhi. Masing-masing
kambing ini adalah kambing yang memenuhi syarat sah yang dikurbankan.

Pendistribusian Daging Aqiqah


Dalam literatur-literatur fiqih Syafiiyah, terdapat pemaparan panjang lebar mengenai masalah pendistribusian ini;
Jika aqiqahnya bukan kategori wajib (nadzar), maka harus disedekahkan kepada tetangga tanpa memandang status
ekonomi (meskipun bukan fakir-miskin) dan sisanya bisa dikonsumsi sendiri maupun oleh orang lain. Sedangkan jika
aqiqahnya wajib, maka semuanya harus disedekahkan.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pengaqiqah. Yakni, bagian aqiqah tidak boleh menjadi obyek
transaksi ekonomi, misalnya diperjual belikan. Untuk itu, ada beberapa hal dalam penanganan daging dan
pendistribusiannya, antara lain:

1.Disunahkan untuk tidak mematahkan tulangnya. Tetapi hendaknya daging tersebut dipotong pada tiap ruas atau
persendian tulang. Hal ini sebagai simbol keselamatan anggota tubuh anak yang diaqiqahi.

2. Menyedekahkan daging aqiqah yang telah dimasak, lalu diantarkan pada fakir miskin. Sebab hal ini lebih
disunahkan daripada menyedekahkannya dalam keadaan mentah, dan daripada mengundang kaum fakir-miskin
untuk menerima pembagian daging tersebut. Sedangkan daging kurban harus diberikan dalam keadaan mentah
(segar).
Oleh sebagian orang, daging ini dimanfaatkan sebagai sajian walimah. Jadi yang dilakukan adalah melakukan
aqiqah sekaligus walimah, di mana daging aqiqahnya dimasak dan dijadikan sajian untuk orang-orang yang
menghadiri walimah.
Menjadikan masakan daging aqiqah sebagai sajian walimah memang nampaknya lebih efektif dan efesien. Pasalnya
shahibul hajat (yang memiliki hajat) tidak perlu susah payah mengantarkan masakan daging aqiqah. Para tamu akan
datang sendiri dengan undangan walimah sehingga tercapailah dua hal sekaligus yakni aqiqah dan walimah. Namun
demikian, aqiqah merupakan ibadah yang hukumnya sunah muakkad dan mempunyai ketentuan-ketentuan
tersendiri. Di antara ketentuannya adalah mensedekahkan daging aqiqah setelah dimasak, kemudian membagikan
atau mengirimkannya kepada orang-orang fakir. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari (wafat
987 H) yang bermadzhab Syafi'i dalam kitabnya, Fathul Mu'in sebagai berikut:
‫ أحب من ندائهمإليها ومن التصدق نيئا‬:‫والتصدق بمطبوخ يبعثه إىل الفقراء‬

Artinya: "Mensedekahkan daging aqiqah setelah dimasak kemudian mengirimkannya kepada orang-orang fakir lebih
disukai daripada mengundang mereka (untuk hadir ke rumah hal ini berdasarkan perkataan Aisyah Ra bahwasanya
hal ini hukumnya sunah), dan lebih baik daripada mensedekahkan daging mentah."

Penjelasan ini menyatakan bahwa mensedekahkan daging aqiqah setelah dimasak dan mengirimkan kepada
masing-masing penerimanya lebih disukai. Ibaroh ini tidak menyebutkan secara jelas hukum mengundang penerima
daging aqiqah ke rumah. Dalam penjelasan tersebut hanya menyebutkan lebih disukai (ahabu) mengantar masakan
daging aqiqah daripada mengundang orang-orang untuk memakan masakan aqiqah.

Sementara seorang ulama bermazhab Maliki, Syihabuddin an-Nafrawi (wafat 1126 H) menjelaskan dengan jelas
hukum mengundang orang-orang untuk memakan masakan aqiqah dan menjadikanya sebagai sajian walimah seperti
walimatul ursy. Dalam kitabnya, Al-Fawakih ad-Dawani ia menjelaskan:
‫ َو ُيْك َرُه َجْع ُلَه ا َو ِليَم ًة‬، ‫(َو ) ُيْس َت َحُّب َأْن (ُيْؤَك َل ) َأ ُيْط َع َم (ِم ْن َه ا) َأْه ُل اْلَبْي ِت َو اْلِج يَراُن (َو ُيَت َص َّد ُق ) ِم ْن َه ا َبْع َد الَّط ْب َو َق ْب َلُه‬
‫ِخ‬ ‫ْي‬
‫ َو ِلَخْو ِف اْلُم َباَهاِة‬، ‫ َو ِإَّنَم ا ُكِرَه ِلُم َخاَلَف ِة ِف ْع ِل الَّس َلُف‬، ‫َو َيْد ُع و َلَه ا الَّناَس َك َم ا َتْف َع ُلُه الَّناُس ِم ْن َجْع ِلِه ْم َلَه ا َك اْلُع ْر ِس‬
،‫ َو اَل ُيَط اَلُب ِبِإَع اَدِتَه ا‬، ‫ َو ِإْن ُكِرَه ْت‬، ‫ َفَلْو َو َق َع َع َم ُلَه ا َو ِليَم ًة َأْج َزَأْت‬، ‫ َبْل اْلَم ْط ُلوُب إْط َع اُم ُكِّل َأَحٍد ِفي َم َحِّلِه‬،‫َو اْلُم َف اَخَرِة‬
‫َل‬ ‫َأ‬
‫َو ُهَّللَا ُم‬
‫ْع‬
Artinya, "Disunahkan untuk memberi makan keluarga dan tetangga dari daging aqiqah dan untuk
mensedekahkannya setelah dimasak dan sebelumnya. Dimakruhkan menjadikan daging aqiqah sebagai sajian
walimah dan mengundang masyarakat sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang menjadikan daging aqiqah
sebagai sajian walimah seperti walimatul ursy. Hal ini, dimakruhkan karena menyelisihi perbuatan ulama salaf, dan
karena ditakutkan timbulnya rasa membanggakan diri dan sombong. Akan tetapi yang dituntut adalah memberi
makan kepada setiap orang yang berada di tempatnya. Apabila menjadikan aqiqah sebagai walimah maka hal itu
tetap mencukupi sekalipun hal tersebut dimakruhkan dan ia tidak dituntut untuk mengulangi akikahnya. Wallahu
a'lam”.
·Penjelasan mengenai perbedaan aqiqah antara laki-laki dan perempuan
Aqiqah bagi anak laki-laki disunnahkan dua ekor kambing, sedangkan bagi anak perempuan disunnahkan satu ekor
kambing. Hal ini didasarkan kepada riwayat Ummu Kurz al-Ka’biyyah ra yang bertanya kepada Rasulullah saw
tentang aqiqah. Rasul pun menjelaskan bahwa untuk anak laki-laki dianjurkan dua ekor kambing yang sama, dan
untuk anak perempuan satu ekor kambing.

‫َع‬ ‫َم‬‫َّل‬ ‫ِه‬ ‫َل‬ ‫َع‬ ‫ُهللا‬ ‫ىَّل‬ ‫َص‬ ‫ِهللا‬ ‫وَل‬ ‫ُت‬ ‫ْل‬‫َأ‬ ‫ْت‬‫َل‬‫ا‬ ‫َق‬ ‫ُك‬ ‫ُأ‬
‫ُّم‬ ‫ْت‬ ‫ا‬ ‫َم‬‫ِل‬ ‫ٌة‬‫ا‬ ‫َش‬ ‫ِة‬‫َي‬ ‫ا‬ ‫ْل‬ ‫ا‬ ‫َع‬ ‫َت‬‫ا‬ ‫َش‬ ‫ِم‬ ‫اَل‬ ‫ُغ‬ ‫ْل‬ ‫ا‬ ‫َع‬ ‫َبَح‬ ‫ْذ‬‫ُي‬ ‫ْن‬‫َأ‬ ‫ُة‬ ‫َو الُّس َّن‬
‫ِن‬ ‫َوَس‬ ‫ْي‬ ‫ُس‬ ‫َر‬ ‫َس‬ ‫ٍز‬ ‫ْر‬ ‫َرَو‬ ‫ِر‬ ‫َج‬ ‫َو‬
‫ْي ِن ِن‬ ‫ِن‬
‫اْلَع ِق يَق ِة َف َق اَل ِلْلُغ اَل ِم َش اَتاِن ُم َكاِف َئَت اِن َو َع ِن اْلَجاِرَيِة َش اٌة‬
“Sunnah untuk disembelih (beraqiqah) dua ekor kambing yang sama bagi anak laki-laki dan satu ekor kambing bagi
anak perempuan karena didasarkan kepada riwayat Ummu Kurz ra, ia bertanya kepada Rasulullah saw tentang
aqiqah, lantas Rasul pun menjawab, ‘Bagi anak laki-laki dua ekor kambing yang sama, dan bagi anak perempuan satu
ekor kambing” (Abu Ishaq as-Sirazi., al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 241).
Jawaban atas permasalahan ini juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial orang Arab dan dasar pemikiran
mereka ketika itu. Di mana kehadiran anak laki-laki lebih mereka harapkan ketimbang anak perempuan. Dengan
kata lain, kebahagian mereka ketika mendapatkan anak laki-laki melebihi dari mendapatkan anak perempuan.
Karenanya, aqiqah untuk anak laki-laki lebih banyak ketimbang anak perempuan.
‫َأ‬ ‫َأ‬
‫َو َاِلَّنُه ِإَّنَم ا ُش ِرَع ِللُّس ُروِر ِباْلَم ْو َلوِد َو الُّس ُروُر ِباْلُغ اَل ِم ْكَث ُر َف َكاَن ( الَّذ ْبُح َع ْن ُه ) ْكَث َر‬
“Aqiqah disyariatkan perwujudan riil rasa bahagia dengan kehadiran seorang anak, sedangkan kebahagian dengan
kehadiran seorang anak laki-laki itu lebih besar. Karenanya, aqiqah untuk anak laki-laki lebih banyak.”(al-
Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, juz, 1, h. 241).
Lebih lanjut jika aqiqah baik untuk laki-laki maupun perempuan itu disamakan, satu ekor kambing untuk laki-laki
begitu juga untuk anak perempuan, menurut Abu Ishaq as-Sirazi, hal ini tentunya diperbolehkan, karena Rasulullah
SAW sendiri menurut riwayat Ibnu Abbas RA mengaqiqahi cucunya, yaitu Hasan ra dan Husain masing-masing satu
kambing gibas.

‫َو ِإْن ُذ ِبَح َع ْن ُكِّل َو اِح ٍد ِم ْن ُه َم ا َش اٌة َجاَز ِلَم ا َرَو ى اْبُن َع َّباٍس َرِض َي ُهللا َع ْن ُه َق اَل َع َّق َرُس وُل ِهللا َص ىَّل ُهللا َع َلْي ِه َوَس َّلَم َع ِن‬
‫اْلَحَس ِن َو اْلُحَس ْي ِن َع َلْي ِه َم ا الَّس َالمُ َك ْب ًش ا َك ْب ًش ا‬
“Jika masing-masing anak baik laki-laki maupun perempuan diaqiqahi dengan satu ekor kambing maka itu boleh
karena ada riwayat dari Ibnu Abbas ra yang menyatakan bahwa Rasulullah saw mengaqiqahi Hasan ra dan Husain ra
masing-masing satu kambing gibas (domba jantan)” (al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, juz, 1, h. 241).
Terima kasih atas
perhatiannya, semoga
bermanfaat.
Apa ada yang ingin
ditanyakan?

Anda mungkin juga menyukai