Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH AL-QUR’AN

HADIS

KEWAJIBAN BERDAKWAH

DISUSUN OLEH
RISMA APRIANI
NIS. ………..

KELAS XII AGAMA 2


SEMESTER GANJIL

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 INDRAGIRI


HILIR TEMBILAHAN TAHUN AJARAN

2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT kami panjatkan, karena berkat
Rahmat dan Karunianya saya bisa menyelesaikan tugas berupa makalah yang berjudul
“Kewajiban Berdakwah”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Karya Ilmiah Qurdis. Dan mohon maaf
apabila ada kesalahan yang pernah dilakukan selama menyusun makalah ini, baik yang
disengaja ataupun tidak disengaja.
Saya menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Saya mengharapkan kritik dan
saran untuk kesempurnaan makalah yang berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua dan khususnya bagi kami para penyusun. Atas perhatian semua pihak, kami
sampaikan terima kasih.

Tembilahan, 08 November 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Cover..............................................................................................................i

Kata Pengantar...............................................................................................ii

Daftar Isi........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang...................................................................................iv

Rumusan Masalah..............................................................................v

Tujuan................................................................................................v

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Dakwah......................................................................1
B. Kewajiban Berdakwah berdasarkan Hadits.................................2
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................9
B. Kritik dan saran............................................................................9
Daftar Pustaka................................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai kenyataan bahwa tata acara
memberikan suatu lebih penting dari sesuatu yang diberikan itu sendiri yang mana
kita ibaratkan semangkok teh pahit dan sepotong ubi goreng yang disajikan dengan
cara sopan, ramah, dan tanpa sikap yang dibuat-buat, akan lebih terasa enak
disantap ketimbang seporsi makanan lezat, mewah, dan mahal harganya, tetapi
disajikan dengan cara tidak baik, tidak sopan dan menyakitkan hati orang yang
menerimanya.
Gambaran diatas membersitkan ungkapan bahwa tata acara atau metode
lebih penting dari materi, yang dalam Bahasa arab dikenal dengan “Al-Thariqah
abammu min al-maddah”. Ungkapan ini sangat relevan dengan kegiatan dakwah.
Aktivitas dakwah pada awalnya hanyalah merupakan tugas sederhana yakni
kewajiban untuk menyampaikan apa yang diterima dari Rasulullah saw, walaupun
hanya satu ayat. Hal ini dapat dipahami sebagaimana yang ditegaskan oleh hadist
Rasulullah saw : “Balighu ‘anni walau ayat”. Inilah yang membuat kegiatan atau
aktivitas dakwah boleh dan harus dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai rasa
keterpanggilan untuk menyebarkan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu aktivitas dakwah
memang harus berangkat dari kesadaran pribadi yang dilakukan oleh orang per-
orang dengan kemampuan minimal dari siapa saja yang dapat melakukan dakwah.
Kegiatan dakwah digeluti oleh para da’i dan da’iyah secara tradisional secara lisan
dalam bentuk ceramah dan pengajian.
Yang mana para da’i berpindah dari satu majelis ke majelis lain nya. Akan
tetapi berkembangnya jaman dakwah sekarang ini tidak dilakukan secara tradisional.
Dakwah sekarang sudah menjadi profesi yang menutun skill, planning dan
manajemen handal.
Memahami esensi dari makna dakwah itu sendiri, kegiatan dakwah sering
dipahami sebagai upaya untuk memberikan solusi Islam terhadap berbagai masalah
dalam kehidupan.

B. Rumusan Masalah

iv
1. Apa arti dari dakwah?
2. Bagaimana kewajiban dakwah bagi setiap umat Islam berdasarkan hadist?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui arti dari dakwah.
2. Agar mengerti kewajiban berdakwah sesuai dengan hadist.

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dakwah

1. Pengertian Dakwah Secara Bahasa dan Istilah

Dakwah berasal dari Bahasa arab “da’wah”. Da’wah mempunyai tiga huruf asal, yaitu dal, ‘ain,
dan wawu. Dari ketiga huruf asal ini terbentuk beberapa kata dan beragam makna. Makna tersebut
adalah memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, momohon, menamakan, menyuruh datang,
mendorong, menyebabkan, mendatangkan, mendoakan, menangisi, dan meratapi. Dalam Al Qur’an,
kata da’wah dan berbagai bentuk katanya ditemukan sebanyak 198 kali menurut hitungan
Muhammad Sulthon (2003: 4), 299 kali versi Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi’ (dalam A. Ilyas Isma’il,
2006: 144-145), atau 212 kali menurut Asep Muhiddin (2002: 40). Ini berarti, Al Qur’an
mengembangkan makna dari kata da’wah untuk berbagai penggunaan.

Dakwah menurut arti istilah adalah kegiatan menyeru kepada kebaikan yang dilakukan oleh
da’i (orang yang berdakwah) kepada mad’u (orang yang mendengarkan dakwah).

2. Definisi Dakwah Dari Para Ahli

a. Abu Bakar Zakaria (1962: 8) mengatakan da’wah adalah:

‫قياماعلماء والمسترين في الدين بتعليم الجمهور من العامة ما ينصرهم باموردينهم و دنياهم على قدر اطاقة‬

“usaha para ulama dan orang-orang yang memiliki pengetahuan agama islam untuk memberikan
pengajaran kepada khalayak umum sesuai dengan kemampuan yang dimiliki tentang hal-hal yang
mereka butuhkan dalam urusan dunia dan keagamaan.”

b. Syeikh Muhammad al-Rawi (1972: 12), dakwah adalah:

‫الضوابط الكاملة للسلوك االنساني وتقرير الحقوق والواجبات‬

“pandangan hidup yang sempurna untuk manusia beserta ketetapan hak dan kewajibannya.”

c. Syeikh Muhammad al-Ghazali (dalam al-Bayanuni, 1993: 15), dakwah adalah:

‫برنامج كامل يضم في اطوانة جميع المعارف التي يحتاج اليها الناس ليبصروا الغاية من محياهم وليستكشفوا معالم الطريقالتي تجمعهم راشدين‬

“Program sempurna yang menghimpun semua pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia di semua
bidang, agar ia dapat memahami tujuan hidupnya serta menyelidiki petunjuk jalan yang
mengarahkannya menjadi orang-orang yang mendapat petunjuk.”

d. Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni (1993: 17). dakwah adalah:


1
‫تبليغ االسالم للناس وتعليمهم اياهم وتطبيقه في واقع الحياة‬

“Menyampaikan dan mengajarkan agama islam kepada seluruh manusia dan mempraktikkannya
dalam kehidupan nyata.”

e. ‘Abd al-Karim Zaidan (1976: 5), dakwah adalah mengajak kepada Agama Allah S.W.T. yaitu
Islam.1

B. Kewajiban Berdakwah Menurut Hadits


Berdakwah dengan segala bentuknya adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim. Misalnya
amar ma’ruf, nahi anil munkar, berjihad, memberi nasehat dan sebagainya. Hal ini menunjukkan
bahwa syareat atau hukum Islam tidak mewajibkan bagi umatnya untuk selalu mendapatkan hasil
semaksimalnya, akan tetapi usahanyalah yang diwajibkan semaksimalnya sesuai dengan keahlian
dan kemampuannya. Adapun orang yang diajak, ikut ataupun tidak ikut itu urusan Allah sendiri. 2

Berikut hadits-hadits yang menganjurkan berdakwah:

1.

َ ْ‫و ُم ا َِذا قُم‬yْ ‫ك ْال َق‬y


ْ‫ت مِن‬ َ ‫ك ْال َق ْو ُم ِا َذاقُ ْم‬
َ ‫و َل َل‬yْ ُ‫ت مِنْ عِ ْن ِد ِه ْم َفا ْئ ِت ِه َفا ْنتظِ ُر الَّذِى َت ْك َرهُ اَنْ َيق‬ َ ‫ظرْ َمايُعْ ِجبُ ا ُ ُذ َن‬
َ َ‫ك اَنْ َيقُ ْو َل ل‬ ُ ‫ب ْال ُم ْن َك َر َوا ْن‬
ِ ‫ف َواجْ َت ِن‬ َ ‫ت ال َمعْ ر ُْو‬ ِ ‫ِا ْئ‬
y.‫عِ ْن ِد ِه ْم َفا جْ َت ِن ْب ُه‬

Artinya;

“Kerjakanlah yang ma’ruf dan jauhi yang munkar dan dengarlah perkataan yang menarik
pendengaranmu yang diucapkan suatu kaum kepadamu. Jika kau telah bangkit meninggalkan
mereka, lakukanlah kebaikan itu. Perhatikan pula perkataan yang kau benci yang diucapkan suatu
kaum kepadamu. Dan jika kau telah bangkit meninggalkan mereka. Jauhilah keburukan itu.”

Diriwayatkan oleh: Al Bukhari di dalam kitabnya “Al Adab”, oleh Ibnu Sa’ad di dalam “Mu’jam As
Sahabah”, oleh al Barudi di dalam “Ma’rifah As Shahabah” dan oleh Al Baihaqi di dalam “As Syu’ab”
dari Harmalah bin Abdullah bin Iyas.

Kata Al Hafizh Ibnu Hajar, Hadits Harmalah di dalam “Al Adabul Mufrad” oleh Al Bukhari dan
yang terdapat di dalam “Musnad At Thayalisi” dan yang lainnya, isnadnya hasan.

Sababul Wurud: Kata harmalah, dia telah bertanya kepada Rasulullah tentang perintah beliau yang
harus dikerjakannya. Jawab Rasulullah: “Kerjakan yang ma’ruf dan …….. dan seterusnya”.

1
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah Edisi Revisi, Cet 6 (Jakarta : KENCANA, 2017), hlm. 5-11.
2
Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, t.t) hlm. 27.
2
Keterangan: yang dimaksud dengan pekerjaan yang ma’ruf adalah pekerjaan yang diketahui dan
dibenarkan syara’. Sebaliknya pekerjaan yang munkar yaitu pekerjaan yang dibenci syara’. Maka
kerjakanlah yang ma’ruf itu, dan tinggalkanlah yang munkar, cintailah sanak saudara sebagaimana
mencintai diri sendiri, bergaulah dengan manusia dengan tutur kata dan perilaku yang baik. 3

2.

ْ‫ َتطِ ع‬y‫إِنْ لَ ْم َي ْس‬y‫ َف‬،ِ‫ ِده‬y‫راً َف ْلي َُغيِّرْ هُ ِب َي‬y‫ َمنْ َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َك‬: ‫و ُل‬yْ ُ‫لم َيق‬y‫ه وس‬y‫لى هللا علي‬y‫هللا ص‬ ُ ْ‫مِع‬y‫ َس‬: ‫ا َل‬y‫ ُه َق‬y‫َعنْ أَ ِبي َس ِعيْد ْال ُخ ْد ِري َرضِ َي هللاُ َع ْن‬
ِ ‫ ْو َل‬y‫ت َر ُس‬
‫ رواه مسلم‬.‫ان‬ ِ ‫ك أَضْ َعفُ ْاإلِ ْي َم‬ َ ِ‫ َفإِنْ لَ ْم َيسْ َتطِ عْ َف ِب َق ْل ِب ِه َو َذل‬،ِ‫َف ِبل َِسا ِنه‬

“Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa
sallam  bersabda: Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak
mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal
tersebut adalah selemah-lemahnya iman.”4(Riwayat Muslim).

Muslim meriwayatkan Hadits ini dari jalan Thariq bin Syihab, ia berkata : Orang yang pertama
kali mendahulukan khutbah pada hari raya sebelum shalat adalah Marwan. Lalu seorang laki-laki
datang kepadanya, kemudian berkata : “Shalat sebelum khutbah?”. Lalu (laki-laki tersebut) berkata :
“Orang itu (Marwan) telah meninggalkan yang ada di sana (Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam)”. Abu Sa’id berkata : “Adapun dalam hal semacam ini telah ada ketentuannya. Saya
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : ‘Barang siapa di antaramu melihat
kemungkaran hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika ia
tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jika tak sanggup juga, maka dengan
hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman’ “.
Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan semacam itu belum pernah dilakukan oleh siapa pun
sebelum Marwan.
Jika ada yang bertanya : “Mengapa Abu Sa’id terlambat mencegah kemungkaran ini, sampai
laki-laki tersebut mencegahnya?” Ada yang menjawab : “Mungkin Abu Sa’id belum hadir ketika
Marwan berkhutbah sebelum shalat. Lelaki itu tidak menyetujui perbuatan tersebut, lalu Abu Sa’id
datang ketika kedua orang tersebut sedang berdebat. Atau mungkin Abu Sa’id sudah hadir tetapi ia
merasa takut untuk mencegahnya, karena khawatir timbul fitnah akibat pencegahannya itu, sehingga
tidak dilakukan. Atau mungkin Abu Sa’id sudah berniat mencegah, tetapi lelaki itu mendahuluinya,
kemudian Abu Sa’id mendukungnya”. Wallaahu a’lam.

3
Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi Ad Damsyiqi, Asbabul wurud, Cet 12 (Jakarta: KALAM MULIA, 2011) hlm. 9-10.
4
Kustadi Suhandang, Ilmu Dakwah, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2013)
3
Pada Hadits lain yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam Bab Shalat Hari Raya,
disebutkan bahwa Abu Sa’id menarik tangan Marwan ketika ia hendak naik ke atas mimbar. Ketika
keduanya berhadapan, Marwan menolak peringatan Abu Sa’id sebagaimana penolakannya terhadap
seorang laki-laki seperti yang dikisahkan pada Hadits di atas, atau mungkin kasus ini terjadinya
berlainan waktu.
Kalimat “hendaklah ia merubahnya (mencegahnya)” dipahami sebagai perintah wajib oleh
segenap kaum muslim. Dalam Al Qur’an dan Sunnah telah ditetapkan kewajiban amar ma’ruf dan
nahi mungkar. Ini termasuk nasihat dan merupakan urusan agama. Adapun firman Allah :

“Jagalah diri kamu sekalian, tidaklah merugikan kamu orang yang sesat, jika kamu telah
mendapat petunjuk”. (QS. Al Maidah : 105) tidaklah bertentangan dengan apa yang telah kami
jelaskan, karena paham yang benar menurut para ulama ahli tahqiq adalah bahwa makna ayat
tersebut ialah jika kamu sekalian melaksanakan apa yang dibebankan kepadamu, maka kamu tidak
akan menjadi rugi bila orang lain menyalahi kamu.

‫َبلِّ ُغوا َع ِّنى َولَ ْو آ َي ًة‬

“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari).5

Seputar perawi hadits :

Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin
Sa’ad bin Sahm As Sahmiy. Nama kunyah beliau Abu Muhammad, atau Abu Abdirrahman menurut
pendapat lain. Beliau adalah salah satu diantara Al ‘Abaadilah (para shahabat yang bernama
Abdullah, seperti ‘Abdullah Ibn Umar, ‘Abdullah ibn Abbas, dan sebagainya –pent) yang pertama kali
memeluk Islam, dan seorang di antara fuqaha’ dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada bulan
Dzulhijjah pada peperangan Al Harrah, atau menurut pendapat yang lebih kuat, beliau meninggal di
Tha’if.

Poin kandungan hadits :

Pertama:

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau,
karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi
manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah
kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al
Maidah : 3). Tentang sabda beliau, “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”, Al Ma’afi An
5
Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, t.t) hlm. 28.
4
Nahrawani mengatakan, “Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya
agar nukilan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan
seluruhnya.” Hal ini sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang hadir
menyampaikan pada yang tidak hadir”. Bentuk perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu
kifayah.

Kedua:

Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi dalam dua
bentuk :

1. Menyampaikan dalil dari Al Qur’an atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik sunnah yang
berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun persetujuan (taqririyah), dan
segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cara
penyampaian seperti ini membutuhkan hafalan yang bagus dan mantap. Juga cara dakwah
seperti ini haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa) dan memiliki
sikap ‘adalah (sholeh, tidak sering melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi
hal-hal yang mengurangi harga diri/ muru’ah, ed).
2. Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada. Orang yang
menyampaikan ilmu seperti ini butuh capabilitas dan legalitas tersendiri yang diperoleh dari
banyak menggali ilmu dan bisa pula dengan mendapatkan persaksian atau izin dari para
ulama. Hal ini dikarenakan memahami nash-nash membutuhkan ilmu-ilmu lainnya, di
antaranya bahasa, ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul, musthalah, dan
membutuhkan penelaahan terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu, mengetahui ikhtilaf
(perbedaan) maupun kesepakatan yang terjadi di kalangan mereka, hingga ia mengetahui
mana pendapat yang paling mendekati dalil dalam suatu masalah khilafiyah. Dengan bekal-
bekal ilmu tersebut akhirnya ia tidak terjerumus menganut pendapat yang ‘nyleneh’.

Ketiga:

Sebagian orang yang mengaku sebagai da’i, pemberi wejangan, dan pengisi ta’lim, padahal nyatanya
ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mumpuni) dalam agama, berdalil dengan hadits “Sampaikan
dariku walau hanya satu ayat”. Mereka beranggapan bahwasanya tidak dibutuhkan ilmu yang banyak
untuk berdakwah (asalkan hafal ayat atau hadits, boleh menyampaikan semau pemahamannya).
Bahkan mereka berkata bahwasanya barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut
sebagai pendakwah, dengan dalil hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Menurut

5
mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi
pendakwah.

Pernyataan di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang yang
dianugerahi ilmu oleh Allah. Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang mereka maksudkan,
melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang
baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja. Apabila seorang pendakwah hanya memiliki
hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar.
Adapun apabila ia termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus),
ia dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki. Demikianlah sabda
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari
yang mendengar secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang
yang faqih (bagus dalam pemahaman)”. Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak paham agama untuk mengajarkan
berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan (padahal ia hanya sekedar hafal dan tidak paham,
Semoga Allah melindungi kita dari kerusakan semacam ini.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dakwah merupakan kegiatan menyeru ataupun mengajak kedalam kebaikan yang dilakukan
da’i kepada mad’u. dakwah juga bisa dikatakan sebagai kegiatan yang bertujuan perubahan positif
dalam diri manusia.
Hukum berdakwah adalah wajib bagi setiap muslim. Dakwah tidak harus disampaikan melalui
lisan dan dilakukan di atas mimbar. Tetapi dakwah juga bisa dilakukan dengan perbuatan positif.
Perbuatan positif itu nantinya akan ditiru oleh mad’u.

B. Kritik dan Saran

Untuk mengakhiri penyusunan makalah ini, kami sebagai penyusun menyarankan kepada
pembaca, khususnya kepada rekan rekan seperjuangan dan kepada semua umumnya, bila terdapat
kesalahan dan kekhilafan baik disengaja maupun tidak disengaja di dalam penyusunan makalah ini
tidak ada kata lain yang sepantas penyusun ucapkan hanyalah minta maaf sedalamnya. Mudah-
mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun sendiri dan kita semua.

7
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Moh. Ali. Ilmu Dakwah Edisi Revisi. Cet VI. Jakarta: Kencana, 2017.
Damsyiqi, Ibnu Hamzah Al Hanafi Ad. Asbabul Wurud. Cet 12. Jakarta: KALAM MULIA, 2011.

Suhandang, Kustadi. Ilmu Dakwah. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA, 2013.

Syukir, Asmuni. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al Ikhlas, t.t.

Anda mungkin juga menyukai