Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HADITS TARBAWI

“ HADITS-HADITS URGENSI MENGAMALKAN ILMU“


Disusun untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah hadits tarbawi.
Program Studi : Pendidikan Agama Islam.

Dosen Pengampu
Siti Rodiah

Disusun Oleh : Kelompok 7


-Piroh
-Nurbadriansyah
-Siti Hanna Syahidah
-Muhamad Alfi Husaeni
-Siti Humairoh Al Muzayanah
-Sri Wiranti

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


STAI NIDA ELADABI
2023-2024
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita ucapkan atas kehadirat Allah SWT tuhan semesta alam yang
mana atas limpahan rahmat dan juga karunia-Nya sehingga dapat tersusun makalah ini dengan
sebaik-baiknya tanpa kendala apapun.
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas perkelompok mata kuliah Studi Islam.
Makalah ini telah kami susun sebaik baik mungkin dan mendapatkan bantuan serta doa dari teman
dan dari beberapa pihak sehingga memudahkan kami untuk menyelesaikannya tanpa kendala
apapun. Untuk itu kami ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak yang ikut
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih ada kekurangan dari pembuatan makalah ini baik itu dari
segi susunan kalimat ataupun tata bahasa yang digunakan. Oleh karena itu kritik dan saran dari
pembaca sangat kami harapkan agar kiranya kami dapat memperbaiki kesalahan yang ada pada
makalah kami ini.
Semoga,dengan tersusunnya makalah kami ini dapat memberi sedikit pengetahuan lagi
kepada semua pembaca, terima kasih.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan ........................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Ugensi mengamalkan ilmu ........................................................................... 3
B. Ayat ayat al-quran yang menyatakanpentingnya mengamalkan ilmu .......... 3
C. Hadits-hadits tentang perintah mengamalkan ilmu ...................................... 5
D. Keutamaan mengamalkan ilmu .................................................................... 7
E. Hukum mengamalkan ilmu dan ancamannya ............................................... 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 10
B. Kritik dan Saran ........................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. latar belakang
Belajar atau menuntut ilmu merupakan hal yang sangat penting untuk mewujudkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Tanpa ilmu, manusia tidak dapat melakukan segala hal.
Untuk mencari nafkah perlu ilmu, beribadah perlu ilmu, bahkan makan dan minumpun perlu ilmu.
Dengan demikian belajar merupkan sebuah kemestian yang tidak dapat ditolak apalagi terkait
dengan kewajiban seorang sebagai hamba Allah swt. Jika seorang tidak mengetahui kewajibannya
sebagai hamba bagaimana bisa dia dapat memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat.
Islam merupakan agama yang punya perhatian besar kepada ilmu pengetahuan. Islam
sangat menekankan umatnya untuk terus menuntut ilmu karena ilmu bukan materi yang bisa
dihitung dengan nilai sehingga bisa diketahui besar kecilnya, tapi ilmu adalah lautan yang luas
yang bisa ditelusuri, lautan yang dalam yang bisa diselami apabila mempunyai keinginan dan
kesungguhan untuk mendapatkannya.
Di antara adab menuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang telah diketahui. Karena
ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diiringi dengan amal.Maka hendaknya orang yang
berilmu mengamalkan ilmunya. Karena orang yang berilmu besok pada hari kiamat akan
dimintai pertanggung jawabannya,apakah ilmu yang dimiliki telah diamalkan?
Diriwayatkan dari Abu Barzah Al-Aslami, Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda
ُ‫ِيم أا ْنفاقاه‬
‫مِن أايْنا ا ْكتا اس ابهُ اوف ا‬
ْ ‫ع ْن اما ِل ِه‬ ‫ع ْن ع ِْلمِ ِه ف ا‬
‫ِيم فا اع ال او ا‬ ‫ع ُم ِر ِه فِي اما أا ْفناا ُه او ا‬ ‫ع ْب ٍد اي ْو ام ْال ِق ايا ام ِة احتَّى يُ ْسأ ا ال ا‬
ُ ‫ع ْن‬ ‫اَل ت ُازو ُل قا اد اما ا‬
ُ‫ِيم أاب اَْله‬
‫ع ْن ِجسْمِ ِه ف ا‬
‫او ا‬
“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ditanya tentang
umurnya untuk apa ia gunakan, tentang ilmunya untuk apa ia amalkan, tentang hartanya dari
mana ia dapatkan dan untuk apa ia nafkahkan serta tentang badannya untuk apa ia gunakan.”
(HR. At-Tirmidzi, Abu Isa berkata, “Hadits ini hasan shahih)
Seorang muslim memang wajib menuntut ilmu. Namun ketika ilmu sudah diraih, maka ia
dituntut untuk mengamalkannya.

1
B. Rumusan masalah
1. Seberapa pentingnya ilmu harus di amalkan.
2. Apa hukuman bagi orang yang berilmu namun tidak di amalkan.
3. Apa saja dasar-dasar hadits tentang pengamalan ilmu.
4. Bagaimana keutamaan orang yang memiliki ilmu dan dapat
mengamalkannya.
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Pembaca dapat mengetahui tentang pentingnya ilmu dan mengamalkannya.
2. Pembaca dapat mengetahui hukuman bagi orang yang tidak mau
mengamalkan ilmu yang di milikinya.
3. Pembaca dapat mengetahu tentang hadits yang memerintahkan pentingnya
mengamalkan ilmu yang dimilikinya.
4. Pembaca dapat mengetahui keutamaan dalam mengamalkan ilmu yang di
milikinya.

2
BAB ll
PEMBAHASAN
A. Urgensi mengamalkan ilmu
Ilmu yang telah kita peroleh membutuhkan lahan agar ilmu tersebut dapat menjadi penolong
bagi kita, yaitu dengan cara mengamalkannya, baik dengan mengajarkannya maupun yang lainnya.
Hal ini merupakan fardhu ‘ain bagi setiap Muslim. Mengingat adanya ancaman-ancaman di dalam
al-Qur’an bagi orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya padahal ia mengetahui ilmu
tersebut.
B. Ayat-ayat al-quran yang menyatakan pentingnya mengamalkan ilmu
diantara ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan tentang pentingnya mengamalkan ilmu yang telah
kita peroleh :
1. Surat al-fatihah ayat 7

‫علا ْي ِه ْم او اَلال ا‬
) V ( ‫ضا ِليْنا‬ ِ ‫غي ِْرا ْل ام ْغض ُْو‬
‫ب ا‬ ‫علا ْي ِه ْم ا‬
‫ط الا ِذيْنا اا ْنعامْتا ا‬
‫ص ارا ا‬
ِ
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Penggalan “…..jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka,”
menafsirkan “ jalan yang lurus”. Orang-orang yang telah dianugerahi nikamat oleh Allah, mereka
yang dituturkan dalam surat An-Nisa’, “ Dan barangsiapa mentaatai Allah dan Rosul-(Nya),
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu
nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang yang soleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allahh cukup
mengetahui,” (an-Nisa: 89-70).
Adh-Dahhak menceritakan dari Ibnu Abbas,” jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat kepadanya karena menaati dan menyembah-Mu, yaitu dari kalangan para malaikat-Mu,
shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang soleh.” Hal ini sama dengan firman
Allah,’ “Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sam
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah.” (an-Nisa:69). “ Bukan (jalan) mereka
yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”, yaitu bukan jalan orang-orang yang
dimurkai. Mereka adalah orang-orang yang rusak kehendaknya; mereka mengetahui kehendaknya,
namun berpindah dari kebenaran tersebut. Dan, “ bukan ( pula) jalan mereka yang sesat”, yaitu
mereka tidak memiliki pengetahuan dan menggandrungi kesesatan.
Surat al-fatihah ayat ke-7 ini memberitahukan kepada kita bahwa ada 3 golongan yang
berbeda nasib:
1. Orang yang telah dianugerahkan nikmat kepada mereka. Merekalah orang yang beruntung karena
mereka mempunyai ilmu akan kebenaran dan pengamalannya dari ilmu tersebut.
2. Orang Yahudi, mereka adalah orang yang mempunyai ilmu tetapi tidak beramal dengannya
sehingga mereka berhak mendapat murka Allah.
3. Orang Nashroni, mereka adalah orang yang tidak mempunyai ilmu tetapi mereka beramal tanpa
ilmu, sehingga mereka diklaim sebagi orang yang sesat bahkan bias menyesatkan orang lain.
Bertumpu pada hal tersebut maka seyogianya kita sebagai seorang Muslim untuk mengikuti
langkah orang yang telah dianugerahkan nikmat kepada mereka, karena mereka mempunyai ilmu
3
dan beramal dengan ilmu tersebut. Bukan orang Yahudi karena mereka punya ilmu tetapi tidak
diamalkan. Ungkapan inilah yang memberitahukan kita akan pentingnya mengamalkan ilmu, agar
kita tidak seperti orang Yahudi yang mendapat murka Allah. [1]
4. Qur’an surat At-taubah ayat 122

‫طائِقاةٌ ِلياتافاقا ُه ْوا فِى ال ِدي ِْن او ِليُ ْنذ ُِر ْوا قا ْو ام ُه ْم‬
‫مِن كُ ِل ف ِْرقا ٍة مِ ْن ُه ْم ا‬ ‫او اما اكانا ا ْل ُمؤْ مِ نُ ْونا ِليا ْنف ُِر ْواكاافاةًفالا ْو ا‬
ْ ‫َلناف اار‬
. ‫ار اج ُع ْون إلا ْي ِه ْم لا اعلا ُه ْم ايحْ ذا ُر ْونا‬
‫اِذا ا‬

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi
dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Ayat ini merupakan penjelasan dari Allah Ta’ala bagi berbagai golongan penduduk Arab yang
hendak berangkat bersama Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam ke perang Tabuk.
Sesungguhnya ada segolongan ulama salaf yang berpendapat bahwa setiap muslim wajib
berangkat untuk berperang, apabila Rasulallah pun berangkat. Oleh karena itu, Allah Ta’ala
berfiraman,” Maka, pergilah kamu semua dengan ringan maupun berat.” (At-Taubah:41).
Surat at-taubah di atas dinasakh oleh firman Allah “ tidak sepatutnya bagi penduduk Madinah
dan orang-orang arab yang berdiam di sekitar mereka tidak turut menyertai Rasulallah.” (at-
taubah;120).
Pendapat lain mengatakan: semua golongan dari penduduk Arab yang muslim wajib berangkat
perang. Kemudian, dari sekian golongan itu harus ada yang menyertai Rasulallah sholallahu ‘alaihi
wasallam guna memahami agama lewat wahyu yang diturunkan kepadanya, kemudian mereka
dapat memperingatkan kaumnya apabila mereka telah kembali, yaitu ihwal persoalan musuh. Jadi,
dalam pasukan itu ada dua kelompok: kelompok yang berjihad dan kelompok yang memperdalam
agama melalui Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam.
Sehubungan dengan ayat ini, Al-Aufi meriwayatkan dari dari Ibnu Abbas, dia berkata: Dari
setiap penduduk Arab, ada sekelompok orang yang menemui Rasululloh sholallohu ‘alaihi
wasallam. Mereka menanyakan kepada beliau berbagai persoalan agama yang mereka kehendaki
dan mendalaminya. Mereka berkata,” Wahai Rasululloh , apa yang engkau perintahkan kepada
kami yang harus kami lakukan dan bertahukan kepada keluarga kami yang bila kami kembali?”
Ibnu Abbas berkata: maka Nabi, menyuruh mereka menaati Rasululloh, menyampaikan berita
kepada kaumnya ihwal kewajiban mendirikan sholat dan zakat.
Jika golongan ini telah sampai kepada kaumnya, mereka berkata: “ Barangsiapa masuk Islam,
maka dia termasuk kelompok kami.” Mereka memberi peringatan sehingga ada seseorang yang
berpisah dengan ayah dan ibunya. Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam memberitahukan
kaumnya jika mereka telah kembali ke kampung halamannya: memperingtkan dengan neraka dan
menggembirakan dengan surga.[2]
Ayat ini menerangkan tentang kewajiban seluruh kaum muslimin arab untuk mengikuti perang
bersama Rasululloh. Kemudia dari sekian golongan itu harus ada yang berdiam diri untuk
menimba ilmu dari Rasullulloh, kemudian memperingatkan kaumnya perihal musuh. Hal ini
dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, bersumber dari Ikrimah, bahwa

4
ketika turun ayat “illa tanfiru yuadzibkum adzaban alima” (Q.S. at-Taubah:39),” ada beberapa
orang yang jauh dari kota dan tidak ikut perang karena mereka mengajar kaumnya.
Maka jelaslah pentingnya orang yang menuntut ilmu kemudian mengamalkan ilmunya tersebut
dengan cara mengajarkannya (memberi peringatan) kepada kaumnya. Sehingga ilmu tersebut bisa
berguna bagi dirinya dan orang lain. [3]
C. Hadits tentang perintah mengamalkan ilmu
Di antara adab menuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang telah diketahui. Karena ilmu
yang bermanfaat adalah ilmu yang diiringi dengan amal. Maka hendaknya orang yang berilmu
mengamalkan ilmunya. Karena orang yang berilmu besok pada hari kiamat akan dimintai
pertanggung jawabannya,apakah ilmu yang dimiliki telah diamalkan?
Diriwayatkan dari Abu Barzah Al-Aslami, Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda

‫مِن أايْنا‬
ْ ‫ع ْن اما ِل ِه‬ ‫ع ْن ِع ْلمِ ِه ف ا‬
‫ِيم فا اع ال او ا‬ ‫ع ُم ِر ِه فِي اما أا ْفناا ُه او ا‬ ‫ع ْب ٍد اي ْو ام ا ْل ِق ايا ام ِة احتَّى ُي ْسأ ا ال ا‬
ُ ‫ع ْن‬ ‫اَل ت ُازو ُل قا اد اما ا‬
ُ‫ِيم أاب اَْله‬
‫ع ْن ِجسْمِ ِه ف ا‬ ‫ِيم أا ْنفاقاهُ او ا‬ ‫ا ْكتا ا‬
‫سباهُ اوف ا‬

“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ditanya tentang umurnya
untuk apa ia gunakan, tentang ilmunya untuk apa ia amalkan, tentang hartanya dari mana ia
dapatkan dan untuk apa ia nafkahkan serta tentang badannya untuk apa ia gunakan.” (HR. At-
Tirmidzi, Abu Isa berkata, “Hadits ini hasan shahih)

Muhammad Ali bin Muhammad bin Alan Al-Bakri Ash-Shadiqi menjelaskan, bahwa
maksud dari kalimat, untuk apa ilmunya ia amalkan adalah apakah ia beramal (dengan ilmunya)
ikhlas karena Allah sehingga ia akan mendapat pahala, atau ia beramal karena riya’ sehingga Allah
mengadzabnya, jika Allah menghendaki.”(Dalilul Falihin, Li Thuruqil Riyadhush Shalihin,
IV/140)
Seorang muslim memang wajib menuntut ilmu. Namun ketika ilmu sudah diraih, maka ia
dituntut untuk mengamalkannya. Fudhail bin Iyadh berkata

‫ع ِل ُم ْوا فاعالا ْي ِه ُم ْالعا ام ُل‬


‫اس أا ْن ياتاعالَّ ُم ْوا فاإِذاا ا‬
ِ َّ‫علاى الن‬
‫ا‬

Wajib bagi manusia untuk belajar. Jika telah berilmu maka wajib bagi mereka untuk
mengamalkannya.” (Al-Khatib Al-Baghdadi, Iqtidha’ul Ilmi Al-Amal, hal. 37)

Hingga para salaf pun enggan menambah ilmu sampai mereka betul-betul telah mengamalkannya.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud beliau berkata

‫آن لا ْم ناتا اعلَّ ْم مِنا ْال اع ْش ِر الَّتِى نازا لاتْ اب ْعداهاا احتَّى نا ْعلا ام اما‬
ِ ْ‫ت مِنا ْالقُر‬ ‫ ا‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫كُنَّا ِإذاا تا اعلَّ ْمناا مِنا النَّ ِب ِى‬
ٍ ‫ع ْش ار آ ايا‬
.‫ مِنا ْالعا ام ِل قاا ال ناعا ْم‬:ُ‫ قِي ال لاه‬.ِ‫فِيه‬

“Kami jika belajar sepuluh ayat Al Qur’an dari Nabi, kami tidak akan belajar sepuluh ayat yang
turun berikutnya hinga kami mengetahui isinya. Kemudian ditanyakan, “Maksudnya
mengamalkannya? Ia menjawab, “Iya.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Al-Hakim).

5
Ubai bin Ka’ab juga berkata, “Sesungguhnya Rasulullah membaca Al-Qur’an kepada
mereka (para shahabat) sepuluh ayat dari Al-Qur’an. Beliau tidak akan menambah sepuluh ayat
yang lain hingga mereka benar-benar belajar untuk mengamalkannya. Para shahabat berkata,
“Kami belajar Al-Qur’an dan mengamalkannya secara bersamaan.” (Syarh Al Mukhalilat,
I/22).Maka hendaknya setiap pencari ilmu merasa takut jika tidak bisa mengamalkan ilmunya.
Karena ilmu yang dipelajari dan dikuasai akan dimintai pertanggung-jawaban di hadapan Allah.

Dalam hadist pun di jelaskan

.‫الدي ِْن‬
ِ ‫خيرا يُف ِاق ْههُ فِي‬
ً ‫من ي ُِر ِد هللاُ به‬
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan membuat dia faqih
(paham) tentang ilmu agama.”
Abdullah bin Mas’ud rodhiyallohu anhu berkata “Bagaimana jadinya jika para pembaca
sangat banyak, tetapi yang memahaminya sedikit?” Jika seorang mengetahui syariat Alloh, akan
tetapi ia tidak mengamalkannya, maka orang seperti itu bukanlah seorang yang fakih (memahami
isi agamanya), sekalipun ia hafal dan memahami isi kitab fikih paling besar diluar kepala. Ia hanya
dinamakan seorang qori saja. Orang fakih adalah orang yang mengamalkan ilmunya.[4]
Dalam hadits tersebut memberitahukan kepada kita bahwa orang yang Allah kehendaki
suatu kebaikan maka dia akan difaqihkan dalam agamanya. Wajhu dilalah dalam hadits ini adalah
‫الدي ِْن‬
ِ ‫ ُيف ِاق ْههُ فِي‬. Berkenaan dengan hal tersebut ada sebuah perkataan dari Ibnu Mas’ud tentang orang
faqih. Ia mengatakan bahwa orang faqih itu adalah orang yang mengamalkan ilmunya. Dia tidak
dikatakan faqih sebelum ia mengamalkan ilmunya, meskipun dia hafal kitab fiqih yang sangat
banyak. Dari sinilah kejelasan informasi yang disampaikan oleh Ibnu Mas’ud yang hendak
memberitahukan kepada kita tentang pentingnya mengamalkan ilmu yang telah kita perolah.
Sehingga kita menjadi orang yang dikatakan faqih dalam hadits tersebut, bukan seorang Qori yang
hanya membaca saja tanpa ada amal yang ia lakukan dari ilmu tersebut.
Dari Abu Musa Rodiyallohu ‘anhu ia berkata: Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam
bersabda.,” Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku bawa seperti hujan deras yang diurunkan
ke bumi. Di antaranya ada tanah yang bagus (subur) yang menyerap air lalu menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan dan banyak rerumputan. Dan sebagian tanah ada yang keras yang mampu
menampung air sehingga bermanfaat untuk semua orang. Sehingga semua orang bisa
meminumnya, menyirami tanaman dan bercocok tanam. Ada pula hujan yang ditumpahkan ke
bagian tanah yang keras dan kering. Tidak menahan air dan tidak juga menumbuhkan rerumputan.
Demikianlah perumpamaan seseorang yang memahami agama Alloh dan memberikan manfaat
kepada dirinya sehingga ia mengerti dan mengjarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak
mendapatkan semua itu adalah seseorang yang tidak menerima petunjuk Alloh yang aku bawa.
(muttafaq alaih) Tanah akan subur setelah mendapatkan siraman air, begitu pula dengan hati. Hati
akan menjadi hidup setelah mendapatkan siraman wahyu. Wahyu laksana air hujan, akan tetapi
seperti yang diumpamakan oleh Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bahwa lapisan tanah ketika
di sirami air hujan terbagi kepada tiga macam. Pertama, Lapisan tanah yang menyerap air hujan

6
sehingga menumbuhkan banyak tumbuh-tumbuhan yang sangat bermanfaat bagi manusia. Kedua,
Lapisan tanah yang keras dan kering yang tidak bisa menumbuhkan apa-apa. Akan tetapi lapisan
tanah ini mampu menampung air sehingga banyak orang mengambil air minum darinya sampai
puas untuk bercocok tanam. Ketiga, Lapisan tanah yang kering dan menyerap banyak air tetapi
tidak menumbuhkan apa-apa.
D. Keutamaan mengamalkan ilmu
Di dalam kitab Tanqih al-Qoul al-Hatsits bi Syarh Lubab al-hadits karya Imam Nawawi
halaman 8, terdapat hadis tentang keutamaan orang yang berilmu, yaitu:

‫مِن أا ْلفِ ا‬
ٍ ‫عابِ ٍد ُمجْ تا ِه ٍد اجا ِه ٍل او ِار‬
‫ع‬ ْ ‫ان‬ِ ‫ط‬ ‫وقال صلى هللا عليه وسلم فا ِق ْيهٌ اواحِ دٌ ُمت ااو ِارعٌ أا اشدُّ ا‬
‫علاى ال َّش ْي ا‬

Nabi Saw. Bersabda: Seorang faqih (alim dalam ilmu agama), wira’i (menjaga diri dari hal-hal
yang diharamkan) adalah lebih berat (sulit) bagi syaitan dibanding seribu ahli ibadah yang
bersungguh-sungguh, (tapi) bodoh, (meskipun) wira’i.

‫ب‬
ِ ‫لى اسائ ِِر الك ااوا ِك‬
‫ع ا‬‫ض ِل القا ام ِر لا ْيلاةا الباد ِْر ا‬
ْ ‫لى ال اعا ِب ِد اكفا‬
‫ع ا‬ ْ ‫وقال صلى هللا عليه وسلم فا‬
‫ض ُل ال اعال ِِم ا‬

Nabi saw. bersabda, “Keutamaan orang yang berilmu (yang mengamalkan ilmunya) atas orang
yang ahli ibadah adalah seperti utamanya bulan di malam purnama atas semua bintang-bintang
lainnya.”

‫وقال النبي صلى هللا عليه وسلم ن ْاو ُم العاال ِِم أا ْف ا‬


ْ ‫ض ُل‬
‫مِن ِعبااداةِ ال اجا ِه ِل‬

Nabi saw. bersabda, “Tidurnya seorang yang berilmu (yakni orang alim yang memelihara adab
ilmu) lebih utama dari pada ibadahnya orang yang bodoh (yang tidak memperhatikan adabnya
beribadah).”
Dalam hal ini kita dapat mengetahui keutamaan-keutamaan orang yang berilmu serta
mengamalkannya yaitu sebagai berikut;
1. orang yang berilmu serta mengamalkan ilmu yang di milikinya itu lebih berat bagi syaitan untuk
menggodanya dibandingkan seribu orang ahli ibadah yang bersungguh-sungguh tapi bodoh.
2. tidurnya seorang yang berilmu itu lebih baik di bandingkan orang yang beribadah tetapi dengan
keadaan bodoh.
3. Untuk menambah bahan semangat dalam menuntut ilmu. Sehingga setiap apa yang kita dapatkan,
dapat bermanfaat pula untuk orang lain.
4. sebagai bentuk ajakan untuk diri kita sendiri dalam meluruskan niat menuntut ilmu. Sebaiknya
tujuan utama kita menuntut ilmu adalah agar bisa diamalkan kembali.
5. sebagai jalan untuk mendapatkan ilmu baru. Sebagaimana janji Allah, barang siapa yang
mengamalkan ilmu yang telah didapatnya, maka Allah akan berikan ilmu yang belum
diketahuinya.

6. sebagai bentuk jihad. Mengamalkan ilmu termasuk salah satu bentuk jihad, yakni jihad tafkiriy.
Sebagaimana disebutkan dalam hadis: “Orang-orang yang menganggap pergi dan pulang menuntut
ilmu bukan termasuk jihad, berarti akal pikirannya telah berkurang

7
7. Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dan mengamalkannya. Sebagaimana
Allah berfirman dalam Q.S. Al-Mujadilah ayat 11 yang artinya: “Allah akan meninggikan derajat
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Beberapa perkataan para sahabat mengenai keutamaan orang yang berilmu, sebagaimana
dinukil oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adab Ta’lim wa al-Muta’allim halaman 20,
sebagai berikut:

Mu’adz bin Jabal ra. Berkata:

ٌ‫صداقاة‬
‫ع ْنهُ ِج اهادٌ اوباذْلُهُ قُرْ باةٌ اوتا ْع ِل ْي امهُ ِل ام ْن اَل يا ْعلا ُمهُ ا‬ ُ ‫طلاباهُ ِعبااداة ٌ او ُمذااك اارتاهُ تا ْسبِ ْي ٌح او ْالبا‬
‫حْث ا‬ ‫تاعالَّ ُم ْوا ْالع ِْل ام فاإِنَّ تاعالُّ امهُ اح اسناةٌ او ا‬

“Belajarlah ilmu, sesungguhnya mempelajari ilmu adalah suatu kebaikan, mencari ilmu adalah
ibadah, mengingatnya adalah tasbih, membahas suatu ilmu adalah jihad, bersungguh-sungguh
terhadao ilmu adalah pengorbanan, mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak memiliki
pengatahuan adalah sedekah”

Sufyan bin ‘Uyainah ra. Berkata:

ْ ‫اس ِع ْندا ّللا ام ْن ِزلاةً ام ْن كاانا بايْنا ّللاِ اوبايْنا ِعباا ِد ِه اوهُ ْم األ ا ْن ِب ِيا ُء‬
‫والعُلا اما ُء‬ ِ َّ‫أارْ فا ُع الن‬

“Kedudukan tertinggi manusia di sisi Allah adalah para Nabi dan ‘Ulama (orang yang berilmu”

Sebagaimana penjelasan di atas, dapat diketahui betapa luhur kedudukan orang yang berilmu.
Maka tidak heran, para ulama terdahulu menghabiskan sebagian besar waktunya demi
melestarikan ilmu, terutama ilmu syari’at Islam. Bahkan, di antara mereka ada yang rela tidak
berkeluargan demi mengabdikan diri sepenuhnya untuk ilmu. Misalnya, Ibnu Jarir at-Thobari
seorang mufasir (ahli tafsir) dan sejarahwan, Zamakhsyari seorang mufasir dan teolog, Imam
Yahya bin Syarof ad-Din an-Nawawi seorang ahli hadits (muhaddits), Ibnu Taimiyah dan
sebagainya. Mereka mendedikasikan dan mengabdikan diri untuk melestarikan ilmu. Sehingga
sejarah mencatatkan sebagai orang-orang alim yang mempengaruhi dunia Islam.

E. Hukum mengamalkan ilmu dan ancamannya


Dalam sebuah hadits di jelaskan bahwasanya
‫هللا ِبع ِْلمِ ه‬
ُ ُ‫عا ِل ٌم ََل يَ ْنفَ ُعه‬
َ ‫عذَابًا يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِة‬ َ َ‫أ‬
ِ َّ‫ش ُّد الن‬
َ ‫اس‬
"Manusia yang paling berat mendapatkan siksa di hari kiamat, yaitu orang yang mempunyai
ilmu, yang Allah tidak memberi manfaat atas ilmunya."
Imam Al Ghazali kepada muridnya menyampaikan bahwa memberi nasihat itu mudah,
yang sulit adalah menerima nasihat. Karena nasihat bagi orang yang menuruti hawa nafsunya
terasa pahit, karena hal-hal yang dilarang dicintai oleh hatinya.Orang-orang yang mencari ilmu
hanya untuk pengetahuan, sementara mereka sibuk mementingkan diri sendiri, nafsunya dan
keindahan dunia. Mereka mengira ilmu tanpa amal akan bisa menyelematkan dan mendatangkan
kebahagiaan. Bahkan menyangka ilmu itu tidak butuh diamalkan. Yang demikian itu adalah

8
keyakinan para filsuf (yang keliru). Mereka tidak tahu saat mereka mendapatkan ilmu tanpa
diamalkan akan membahayakan dirinya. Dalam sebuah riwayat juga djelaskan

Dari Usamah bin Zaid, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

‫ف ياجْ تامِ ُع‬ ‫ ا‬، ُ‫ار ِب ار احاه‬ ُ ‫ور ا ْلحِ ام‬ ُ ‫ فاياد‬، ‫ار‬
ُ ُ‫ُور اك اما ياد‬ ِ َّ‫ فاتا ْندالِق ُ أا ْقتاابُهُ فِى الن‬، ‫ار‬
ِ َّ‫الر ُج ِل يا ْو ام ا ْل ِقياا ام ِة فايُ ْلقاى فِى الن‬
َّ ‫يُ اجا ُء ِب‬
ْ
ُ‫ع ِن ال ُم ْنكار ِ قاا ال كُ ْنت‬ ْ ْ
‫ْس كُ ْنتا تاأ ُم ُرناا ِبال ام ْع ُروفِ اوتا ْن اهى ا‬ ‫ا‬ ْ
‫ اما شاأن ُكا ألاي ا‬، ‫ى فَُلا ُن‬ ‫ا‬
ْ ‫ فاياقُولُونا أ‬، ‫علا ْي ِه‬ ‫ار ا‬ ِ َّ‫أا ْه ُل الن‬
‫ع ِن ال ْ ُم ْنك ِار اوآتِي ِه‬‫ اوأا ْن اهاكُ ْم ا‬، ‫َل آتِي ِه‬
‫آ ُم ُركُ ْم ِبا ْل ام ْع ُروفِ او ا‬

“ Ada seseorang yang datang pada hari berhenti lalu ia dilemparkan ke dalam neraka. Usus-
ususnya pun terburai di dalam neraka. Lalu dia berputar-putar seperti memutari penggilingannya.
Lalu penghuni neraka berkumpul di sekitarnya lalu mereka bertanya, “Wahai fulan, ada apa
denganmu? Bukankah kamu dahulu memerintahkan kami kepada yang baik dan yang melarang
kami dari kemungkaran?” Dia menjawab, “Memang benar, aku dulu memerintahkan kalian untuk
berbuat baik tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya. Dan aku dulu melarang kalian dari
kemungkaran tapi aku sendiri yang mengerjakannya. (HR. Bukhari no. 3267 dan Muslim no. 2989)

Mengamalkan ilmu merupakan suatu kewajiban pokok setiap Muslim. Seorang ‘alim tetap
dikatakan jahil sebelum ia mengamalkan ilmunya, jika ia mengamalkannya maka barulah ia
dikatakan seorang alim. Ucapan ini mengandung makna yang dalam. Seseorang mempunyai ilmu
namun tidak diamalkan maka ia tetap dikatakan jahil (bodoh). Mengapa? Karena tidak ada yang
membedakan antara dirinya dengan orang yang jahil (bodoh) jika dia memiliki ilmu tapi dia tidak
mengamalkan ilmunya. Seseorang yang berlimu tidak dikatakan ‘alim / ulama yang tulen kecuali jika ia
mengamalkan ilmunya.
Adapun meninggalkannya memilki konsekuensi yang beragam, tergantung hukum dari
amalan yang ditinggalkan, hukumnya bisa jadi kufur, maksiat, makruh, atau mubah.
1. Meninggalkan beramal dengan ilmu yang merupakan kekufuran, seperti meninggalkan untuk
mengamalkan tauhid. Seseorang mengetahui bahwasanya wajib mentauhidkan Allah dalam ibadah
dan tidak boleh berbuat syirik, tetapi dia meninggalkan tauhid ini dengan melakukan perbuatan
syirik, Maka dengan demikian dia telah terjatuh dalam kekufuran.
2. Meninggalkan beramal dengan ilmu yang merupakan maksiat, seperti melanggar salah satu
larangan Allah. Seseorang mengetahui bahwasanya khamr itu diharamkan. Tetapi dia malah
meminumnya atau menjualnya. Maka orang ini telah jatuh dalam keharaman dan telah berbuat
maksiat.
3. Meninggalkan beramal dengan ilmu yang merupakan perbuatan makruh, seperti menyelisihi
tuntunan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah tatacara ibadah. Seseorang telah
mengetahui bahwasanya Rasulullah melakukan shalat dengan cara tertentu kemudian dia
menyelisihinya, maka dengan penyelisihannya itu dia telah jatuh dalam perkara yang makruh.
4. Meninggalkan beramal dengan ilmu bisa jadi mubah. Seperti tidak mengikuti Rasulullah dalam
perkara-perkara yang merupakan kebiasaan Rasulullah yang tidak disunnahkan atau diwajibkan
bagi kita untuk menirunya, seperti tatacara berjalan, warna suara dan semisalnya.

9
10
BAB II
PENUTUP

A.Kesimpulan
1. Urgensi mengamalkan ilmu Mengamalkan ilmu merupakan fardhu ‘ain bagi setiap Muslim.
Mengingat adanya ancaman-ancaman di dalam al-Qur’an bagi orang-orang yang tidak
mengamalkan ilmunya padahal ia mengetahui ilmu tersebut.
2. Ayat-Ayat yang Menyatakan Pentingnya Mengamalkan Ilmu
a. Surat Al-Fatihah ayat 7
b. Surat At-Taubah ayat 12
3. Hukun orang yang tidak mengamalkan ilmu Meninggalkannya memilki konsekuensi yang
beragam, tergantung hukum dari amalan yang ditinggalkan, hukumnya bisa jadi kufur, maksiat,
makruh, atau mubah.
4. Keutamaan mengamalkan ilmu
1. Untuk menambah bahan semangat dalam menuntut ilmu. Sehingga setiap apa yang kita
dapatkan, dapat bermanfaat pula untuk orang lain.
2. sebagai bentuk ajakan untuk diri kita sendiri dalam meluruskan niat menuntut ilmu. Sebaiknya
tujuan utama kita menuntut ilmu adalah agar bisa diamalkan kembali.
3. sebagai jalan untuk mendapatkan ilmu baru. Sebagaimana janji Allah, barang siapa yang
mengamalkan ilmu yang telah didapatnya, maka Allah akan berikan ilmu yang belum
diketahuinya.
4. sebagai bentuk jihad. Mengamalkan ilmu termasuk salah satu bentuk jihad, yakni jihad tafkiriy.
Sebagaimana disebutkan dalam hadis: “Orang-orang yang menganggap pergi dan pulang
menuntut ilmu bukan termasuk jihad, berarti akal pikirannya telah berkurang
5. Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dan mengamalkannya. Sebagaimana
Allah berfirman dalam Q.S. Al-Mujadilah ayat 11 yang artinya: “Allah akan meninggikan
derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

B. Kritik Dan Saran


Kami menyadari bahwa masih ada kekurangan dari pembuatan makalah ini baik itu dari segi
susunan kalimat ataupun tata bahasa yang digunakan. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat
kami harapkan agar kiranya kami dapat memperbaiki kesalahan yang ada pada makalah kami ini.
Semoga,dengan tersusunnya makalah kami ini dapat memberi sedikit pengetahuan lagi kepada
semua pembaca, terima kasih.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Prees, Cet. 1 hal 55.

Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Bogor, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004, jilid 8. Hal. 536

Al-Utsaimin, Muhammad bin Sholih, Syarah rhiyadhus sholihin, Jakarta: Darus sunah. Jilid 4 Hal 41

https://www.darusyahadah.com/mengamalkan-ilmu/
Asy’ari, Hasyim. (1994). Adab at-Ta’lim wa al-Muta’allim. Jombang: Maktabah Turost al Islamy.
Al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali. (1971). Adab ad-Duna wa ad-Din. Lebanon: DKI.
Harori, Muhammad al-Amin. (2001). Tafsir Hadaiq ar-Rouh wa ar-Roihan, Makkah: Dar Thouq an-
Najah.
An-Nawawi. (1935). Tanqih al-Qoul al-hatsits bi Syarh Lubbabul Hadis, Mesir: Musthofa Muhammad.
https://rumaysho.com/7260-ancaman-tidak-mengamalkan-ilmu.html

12

Anda mungkin juga menyukai