Anda di halaman 1dari 21

AKTUALISASI BID’AH HASANAH

Makalah Ini Disusun Guna untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata
Kuliah:
Ke’NU-an

Dosen Pembimbing :
M. Ayyub Mubtadik, M. Pd.

Disusun Oleh :
1. Ittiya Fina Akmala
2. Syahrus Sela Kamalul Haybati
3. Fitria Khofifah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA
NGLAWAK KERTOSONO NGANJUK
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, sebab karena rahmat dan
nikmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan sebuah tugas makalah Kewarganegaraan ini,
yang diberikan oleh Bapak M. Ayyub Mubtadik, M. Pd. selaku dosen ke’NU-an.

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas dari dosen yang
bersangkutan agar memenuhi tugas yang telah ditetapkan, dan juga agar setiap
mahasiswa dapat terlatih dalam pembuatan makalah. Makalah ini berjudul “Aktualisasi
Bidah Hasanah’’

Adapun sumber-sember dalam pembuatan makalah ini, didapatkan dari


beberapa buku yang membahas tentang materi yang berkaitan dan juga melalui media
internet. Kami sebagai penyusun makalah ini, sangat berterima kasih.

Kami menyadari bahwa setiap manusia memiliki keterbatasan, begitu pun


dengan kami yang masih seorang mahasiswa. Dalam pembuatan makalah ini mungkin
masih banyak sekali kekurangan-kekurang yang ditemukan, oleh karena itu kami
mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kami mangharapkan ada kritik dan
saran dari para pembaca sekalian dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembacanya.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....……………………………………………… i

DAFTAR ISI………………...………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah………………………………………... 1


B. Rumusan masalah……………………………………………... 2
C. Tujuan penelitian……………………………………………… 2
BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Definisi dan Pembagian Bidah..…………………………......... 3


B. Dalil Kelompok anti Bid’ah Hasanah ………………………....... 7
C. Macam-macam Bidah Hasanah Sejak Masa Rosulullah Hingga
Tabiin……….…………………................................................. 11
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………….………………………………………... 17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PEMBUKAAN

A. Latar Belakang
Islam memberikan tuntunan kepada manusia dalam hal pergaulan,bahwa
pergaulan itu hendaknya didasarkan atas moral atau budi pekerti yang
luhur,bukan atas dasar kemuliaan status sosial maupun materi dan
sesungguhnya dalam kehidupan ini sangat dibutuhkan adanya pengenalan
antara manusia yang satu dengan yang lain.
Selaras dengan ungkapan sebuah syair:”Aku mengenali kejelekan bukan
untuk kejelekan, namun agar berjaga-jaga darinya siapa yang tak kenal
kebaikan dari kejelekan, ia akan terjerumus ke dalamnya.”
Dengan demikian tidak cukup bagi seseorang dalam beribadah hanya
mengetahui sunnah saja, akan tetapi juga harus mengenali lawannya yakni
bid’ah, seperti dalam hal keimanan tidak cukup mengerti tauhid saja tanpa
mengetahui syirik. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengisyaratkan hal ini
dalam firmanNya (yang artinya), “Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
thoghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al Baqoroh: 256).
Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-
dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran: 31).
B. Rumusan Makalah
1. Apa Definisi dan Pembagian Bidah ?
2. Apa Dalil Kelompok anti Bid’ah Hasanah ?
3. Apa Macam-macam Bidah Hasanah Sejak Masa Rosulullah Hingga Tabiin ?

C. Tujuan Makalah
1. Mengerti Apa Definisi dan Pembagian Bid’ah.
2. Mengerti Apa Dalil Kelompok anti Bid’ah Hasanah.
3. Mengerti Apa Macam-macam Bidah Hasanah Sejak Masa Rosulullah Hingga
Tabi’in.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Pembagian Bidah

1. Definisi Bidah

a. Bidah secara Etimologi (bahasa)

Ibnu Manzhur berkata: “Bada‘asy syai-a, yabda‘uhu bad‘an wabtada‘ahu;


artinya menciptakan sesuatu atau mengawali penciptaan sesuatu. Badda‘ar
rakiyyah, artinya menggali sumur dan membuatnya. Al-Badii‘u dan al-bid‘u,
artinya sesuatu yang menjadi awal permulaan. Dalam al-Qur-an disebutkan: ‫قُ ْل‬
‫سل‬ ُّ َ‫َما ُكنتُ ِبدْعا ً ِ ِّمن‬
ُ ‫الر‬

“Katakanlah: ‘Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-Rasul”. (QS.


Al-Ahqaaf: 9). Maksudnya, aku (Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam)
bukanlah Rasul pertama yang diutus; melainkan banyak Rasul-Rasul sebelumku
yang telah diutus pula.

Terdapat ungkapan: ‘Fulaanun bid‘in fii hadzal ‘amri,’ yang artinya Fulan
yang pertama kali melakukan perkara ini, tidak ada seorang pun yang
mendahuluinya. Maka dari itu, kata abda‘a, ibtada‘a, maupun tabadda‘a
bermakna melakukan perbuatan bid‘ah. Pernyataan ini sesuai dengan firman
Allah Ta'ala : ‫َو َر ْهبَانِيَّةً ا ْبتَدَعُوهَا‬

‘Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah.’ (QS. Al-Hadiid: 27). Ru’bah


berkata dalam sya‘irnya: andaikata engkau benar bertakwa dan taat kepada
Allah maka tidaklah benar engkau ada-adakan perbuatan bid‘ah
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata
bada‘a adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya secara umum.
Dengan demikian, kata bid‘ah yaitu segala sesuatu yang diciptakan tanpa ada
contoh sebelumnya.

b. Bid‘ah Secara Terminologi (Syar'i)

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan bid‘ah menurut


terminologi syar‘i (istilah syari‘at). Ada yang menjadikannya sebagai lawan dari
sunnah; dan ada pula yang menjadikannya sebagai perkara umum, yang
mencakup semua perkara yang diada-adakan setelah zaman Rasul, baik yang
terpuji maupun yang tercela. Hal itu akan kami terangkan pada uraian berikut ini.
Pendapat pertama: Segala sesuatu yang diada-adakan setelah zaman Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam adalah bid‘ah, baik yang terpuji maupun yang
tercela.

Harmalah bin Yahya meriwayatkan bahwa ia mendengar Imam asy-Syafi‘i


berkata: “Bid‘ah itu ada dua, bid‘ah yang terpuji dan bid‘ah yang tercela. Yang
sesuai dengan sunnah Nabi itulah yang terpuji, sedangkan yang bertentangan
dengan sunnah Nabi itulah yang tercela.” Pendapat kedua: Kata bid‘ah hanya
digunakan untuk menyebut amalan-amalan yang bertentangan dengan sunnah
Nabi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dalam kaidah sunnah dan bid‘ah
telah kami tegaskan, bahwasanya bid‘ah dalam agama adalah amal ibadah yang
tidak disyari‘atkan Allah dan Rasul-Nya. Bid‘ah adalah amal ibadah yang tidak
diwajibkan dan tidak pula dianjurkan. Adapun amal ibadah yang diwajibkan atau
dianjurkan, yakni yang berdasarkan dalil syar‘i, maka amal tersebut termasuk
ajaran agama yang disyari‘atkan Allah, Adapun menurut ulama yang
menggolongkan perkara adat ke dalam bid‘ah, mereka berkata:
“Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya
menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah sama
dengan yang dimaksud dari penerapan syari‘at.”1

2. Pembagian Bid’ah

Ada baiknya kalau di sini di jelaskan klasifikasi bid’ah yang benar, yang
tidak bertentangan dengan sabda Nabi: “wa kullu bid’atin dholalah”. Yaitu
dengan meninjau dari segi hubungannya dengan syari’at, atau dari kadar
bahayanya. Ditinjau dari hubungannya dengan syari’at, bid’ah terbagi menjadi
dua:

1. Bid’ah Haqiqiyyah.
2. Bid’ah Idhafiyyah.

Dalam kitabnya yang sangat monumental, Imam Asy Syathiby


mendefinisikan bid’ah haqiqiyyah sebagai berikut:

‫سنَّ ٍة َوالَ ِإ ْج ََماٍٍ َوالَ ا ْس ِتدْالَ ٍل ُم ْْتَبَ ٍر‬


ُ َ‫ب َوال‬ ٍ ‫ي الَ ِم ْن ِكت َا‬ َ ‫ ه‬:ُ‫ا َ ْل ِبدْ َعةُ ال َح ِق ْي ِقيَّة‬
ٌّ ‫ِي الَّتِي لَ ْم َيد ُ َّل َعلَ ْي َها د َ ِل ْي ٌل ش َْر ِع‬
‫َي ِْر ِمََا ٍل‬ َ َ‫ل‬ َ ‫ع‬ َ ٌٍ‫ي ٌء ُم ْخت ََر‬ ْ ‫ش‬َ ‫عةً أل َ ِِنَّ َها‬
َ ْ‫ت بِد‬ ُ َ‫ َولذَلِك‬,‫ص ْي ِل‬
ْ َ‫س ِ َِّمي‬ ِ ‫ِع ْند َ أ َ ْه ِل ْال ِْ ْل ِم الَ فِي ْال ُج َْملَ ِة َوالَ فِي الت َّ ْف‬
.)17 ‫ ص‬,‫ق (مختصر االعتصام‬
ٍ ِ ‫س اب‬
َ

Bid’ah haqiqiyyah ialah bid’ah yang tidak ada dalil syar’inya sama sekali.
Baik dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, maupun istidlal yang mu’tabar menurut para
ulama. Ia sama sekali tak memiliki dalil baik secara umum maupun terperinci,
karenanya ia dinamakan bid’ah berangkat dari hakekatnya yang memang diada-
adakan tanpa ada contoh sebelumnya.

1
http://pustakaimamsyafii.com/menyoal-rutinitas-perayaan-bidah-sepanjang-tahun.html ,pada
tanggal 8 Mei 2019 pukul 10.27
Contoh bid’ah haqiqiyyah yang akrab dengan masyarakat Indonesia
misalnya: puasa mutih, puasa pati geni, padusan (mandi) menjelang datangnya
bulan Ramadhan, peringatan bagi orang yang telah meninggal; 7 hari, 40 hari,
100 hari, 1000 hari dan seterusnya

Sedangkan bid’ah idhafiyyah menurut Imam Asy Syathiby definisinya ialah:

‫ فَالَ ت َ ُكونُ ِم ْن تِ ْلكَ ْال ِج َه ِة‬,‫ لَ َها ِمنَ األ َ ِد َّل ِة ُمتََْلَّ ٌق‬:‫ إِ ْحدَاهُ ََما‬:‫َان‬ ِ ‫ِي الَّتِي لَ َها شَائِبَت‬ َ ‫ ه‬:ُ‫ضافِ َّية‬ ِ ُ ‫البِدْ َعة‬
َ ‫اإل‬
‫ أ َ َّن الد َّ ِل ْي َل‬:ََ‫ َو ْالفَ ْر ُق بَ ْينَ ُه ََما ِم ْن ِج َه ِة ْال ََم ْْن‬.‫س لَ َها ُمتََْلَّ ٌق إِالَّ ِمَْ َل َما ِل ْلبِدْ َع ِة ال َح ِق ْي ِقيَّ ِة‬ َ ‫ لَ ْي‬:‫ َواأل ُ ْخ َرى‬.ً‫بِدْ َعة‬
‫ َم َع أَنَّ َها ُمحْ تَا َجةٌ إِلَ ْي ِه‬,‫ص ْي ِل لَ ْم يَقُ ْم َعلَ ْي َها‬
ِ ‫ت أ َ ِو األ َ ْح َوا ِل أ َ ِو الت َّ ْف‬ ِ ‫ َو ِم ْن ِج َه ِة ْال َك ْي ِفيَّا‬,‫ص ِل قَائِ ٌم‬ْ َ ‫علَ ْي َها ِم ْن ِج َه ِة األ‬
َ
َ ‫ت ْال ََم ْح‬
)17 ‫ ص‬,‫ض ِة (مختصر االعتصام‬ ِ ‫ت الَ فِي ْالَْا ِديَّا‬ َ ‫ِأل َ َّن ْالغَا ِل‬
ُ ‫ب ُوقُ ْو‬
ِ ‫ع َها فِي التََّْبُّ ِديَّا‬

Bid’ah Idhafiyyah: ialah bid’ah yang mengandung dua unsur. Salah


satunya memiliki kaitan dengan dalil syar’i, sehingga dari sisi ini ia tidak
termasuk bid’ah. Sedang unsur kedua tidak ada kaitannya, namun persis seperti
bid’ah haqiqiyyah. Jadi beda antara kedua bid’ah tadi dari segi maknanya ialah:
bahwa (bid’ah idhafiyyah) asal-usulnya merupakan sesuatu yang dianjurkan
menurut dalil syar’i; akan tetapi dari segi cara pelaksanaan, keadaan, dan detail-
detailnya tidak bersandarkan pada dalil. Padahal hal-hal semacam ini amat
membutuhkan dalil, karena sebagian besar berkaitan dengan praktik ibadah dan
bukan sekedar adat kebiasaan (Mukhtasar Al I’tisham, hal 71).

Contoh kongkrit dari bid’ah idhafiyyah sangat banyak seperti yasinan,


tahlilan, shalawatan, membaca wirid bersama selepas shalat dengan dikomandoi
oleh Imam, membaca shalawat sebelum adzan dan iqamah, mengkhususkan
malam nisfu Sya’ban untuk melakukan ibadah tertentu, maulidan dan lain
sebagainya. Ditinjau dari kadar bahayanya, bid’ah juga terbagi menjadi dua:

1. Bid’ah Mukaffirah.
2. Bid’ah Ghairu Mukaffirah.
Bid’ah mukaffirah ialah setiap bid’ah yang menyebabkan pelakunya
menjadi kafir, keluar dari Islam. Bid’ah ini biasanya berkaitan dengan keyakinan;
seperti bid’ahnya orang-orang Jahmiyyah bid’ahnya Syi’ah Imamiyyah Al Itsna
‘Asyariah bid’ahnya mereka yang mengingkari takdir Allah (Qadariyyah) dan
lain-lain.

Sedangkan bid’ah ghairu mukaffirah, ialah bid’ah yang tidak menyebabkan


pelakunya menjadi kafir, akan tetapi terhitung berdosa. Dan tentunya dosa satu
bid’ah tidak sama dengan dosa bid’ah lainnya, akan tetapi tergantung dari bentuk
bid’ah itu sendiri dan keadaan pelakunya. Namun bagaimanapun juga bid’ahnya
tetap tertolak, meski orang tersebut melakukannya dengan ikhlas dan berangkat
dari kejahilan.2

B. Dalil Kelompok anti BIdah Hasanah

Argumen kelompok intoleran terhadap sesama muslim selalu tidak jauh dari
kelima hujjah berikut ini. Dalam memvonis bidah, syirik, atau meniru
(tasyabbuh) kaum kafir terhadap berbagai amalan dan tradisi umat islam, meskipun
mengajukan berbagai dalil dan argumen panjang lebar, pokok pemikiran hujah
mereka tidak lepas dari kelima tuduhan ini. Tuduhan tersebut juga dibumbui dengan
dalil yang diambil serampangan dan terkesan dipaksakan. Mari kita telaah satu per
satu.

2
Abdullah bin 'Abdul 'Aziz at-Tuwaijiri, Rutinitas Amalan Bidah Dalam Setahun, Jakarta: Pustaka
Imam Asy-Syafii, 2010, hlm. 19.
1. Menambah-nambahi Agama

“ …Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu …,” (QS Al-Maidah, 3)

Ayat tersebut merupakan dalil dari argumen “menambah-nambahi


syariat atau agama” yang dilontarkan kepada para pelaku maulid, tahlilan,
yasinan, zikir berjamaah dan sejenisnya. Menurut Wahabi, umat Islam yang
mengadakan acara tersebut telah “menganggap agama Islam ini masih kurang”
alias belum sempurna sehingga mereka tega “menambah-nambahi agama“.
Dengan begitu mereka juga telah menganggap Rasulullah Saw. berkhianat
dalam menyampaikan agama karena masih ada yang belum disampaikan.
Sebenarnya, kebajikan yang digagas oleh para ulama dan diformat sedemikian
rupa dalam bentuk acara-acara keagamaan, tradisi tertentu, tidak pernah diklaim
sebagai “tambahan atas kekurangan agama.” Itu hanyalah tuduhan tanpa bukti.
Sangat aneh jikalau zikir, baca Alquran, salawat, doa yag pada dasarnya
dianjurkan dan diajarkan, ketika dibentuk dalam format sedemikan rupa agar
orang tertarik dan senang melakukannya justru dianggap menambahi syariat.
Bukankah baca hal-hal itu sudah ada dasarnya?

2. Membuat-buat Syariat
Selaras dengan tuduhan menambahi agama karena dianggap kurang
sempuna, tuduhan membuat-buat syariat juga dilontarkan kepada para pelaku
tahlilan dan sejenisnya. Dalilnya:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? ” (QS Asy-
Syuuraa, 21).
Padahal para ulama dan umat Islam tidak pernah menganggap acara
tahlilan, maulidan dan sejenisnya sebagai bagian syariat islam dan ibadah
murni. Acara tersebut hanyalah tradisi baik yang diisi amaliyah ajaran Islam.

Selain itu, ayat di atas terang sekali menyebut “sembahan-sembahan


selain Allah” yang menunjukkan adanya indikasi kelakuan “syirik”.
Sebenarnya memang ayat ini ditujukan kepada orang-orang musyrik
penyembah berhala yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan
mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.

3. “Beragama Tradisi” atau “Fanatik terhadap Tokoh Bidah”


Ketika ada orang yang tidak mengikuti ajakan Wahabi untuk
meninggalkan amalan yang menurut mereka bertentangan dengan Alquran dan
sunnah versi pemahaman mereka, maka orang tersebut dicap sebagai orang
yang beragama mengikuti nenek moyang yang sesat. Menolak ajaran Alquran
dan sunnah. Ayat yang dijadikan dalil adalah: “Dan apabila dikatakan kepada
mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab,
‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami’. (Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?” (QS Al-Baqarah, 170).
Padahal, ayat tersebut ditujukan kepada musyrikin penyembah berhala
yang menolak diajak untuk menyembah Allah. Penjelasan seperti ini ada dalam
semua tafsir. Hanya Wahabi yang menghantamkan ayat ini kepada orang islam
yang tak pada ajaran Wahabi. Kalaulah pengamal tahlilan mengatakan bahwa
mereka hanya megnikuti guru-guru dan para pendahulu, bukankah para
pendahulu dan guru-guru mereka adalah para ulama?
Bahkan, demi memuluskan tuduhannya, tak jarang amalan umat islam
difitnah sebagai tradisi warisan Yahudi. Tahlilan kematian warisan Hindu. Baca
Alquran dikuburan adalah tradisi yahudi. Kadang satu fitnah dan lainnya bisa
bertolak belakang.

4. Mendahului Allah dan Rasul-Nya


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui” (QS Al-Hujuraat, 1).
Ayat ini menjadi dalil untuk mengatakan bahwa pelaku tradisi islami dan
bidah hasanah adalah orang-orang yang lancang karena telah melakukan
amalan yang belum ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.
Penggunaan dalil di atas tampaknya tepat, padahal secara logika sangat
tidak bisa dibenarkan. Soalnya, bisakah disebut mendahului sedangkan yang
didahului sudah tidak ada lagi dan tidak akan pernah ada lagi sampai hari
Kiamat? Bukankah wahyu Alquran sudah tidak turun, dan Rasulullah Saw.
sudah wafat?
Banyak riwayat yang menyebutkan para sahabat melakukan amalan
sebelum dijelaskan anjurannya oleh Rasulullah. Mereka melakukan
berdasarkan apa yang mereka pahami dari ucapan Rasulullah secara umum.
Misalnya Bilal bin Rabbah yang selalu salat sunah usai wudhu, ada sahabat
yang menyusun iftitah dan doa iktidal yang berbeda dari Rasulullah.

5. Berlebihan dalam Urusan Agama


“Jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena
telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw (berlebihan)
di dalam agama,” (HR Ahmad dan Ibnu Majah). Hadis ini menjadi dalil untuk
mengatakan bahwa para pelaku bidah hasanah adala orang yang berlebih-
lebihan, mempersulit diri sendiri dalam beragama. Tidak mencukupkan dengan
apa yang diajarkan Rasulullah.
Padahal, ghuluw dalam hadis tersebut menurut ulama hadis maknaynya
adalah “bersikap keras atau melampaui batas.” Merupakan wujud bersikap
keras dan melampaui batas dalam hal mencari-cari sesuatu di balik perkara
agama yang sebenarnya mudah dipahami. Pengertian ini sesuai dengan riwayat
hadis di atas yang berkenaan dengan peristiwa melontar jamrah aqabah di Mina.
Rasulullah Saw. menyuruh Abdullah bin Abbas r.a. untuk mengambilkan batu
melontar. tanpa bertanya lagi tentang ukurannya, segera ia ambilkan batu
seukuran kerikil atau khadzaf (yang dapat dipegang dengan dua jari). Maka
Rasulullah Saw. berkata, “Dengan (batu) yang seperti ukuran inilah hendaknya
kalian melontar. Wahai sekalian manusia, jauhilah oleh kalian akan ghuluw
(berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian
dengan sebab ghuluw di dalam agama.“3

C. Macam-macam Bidah Hasanah Sejak Masa Rosulullah Hingga Tabiin

Bid’ah Hasanah pada Masa Rasulullah saw.


1. Hadis Shahabat Mua’dz bin Jabal
Abdurrahman bin Abi Laila berkata, “Pada masa Rasulullah saw
seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka
orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang
rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang
tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat jamaah bersama
mereka. Pada suatau hari Mua’dz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang
mengisyaratkan kepadanya jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, tetapi

3
http://pustakaimamsyafii.com/menyoal-rutinitas-perayaan-bidah-sepanjang-tahun.html , pada
tanggal 9 Mei 2019 pukul 13.31.
Mua’dz langsung masuk ke dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan
isyarat mereka, namun setelah Rasulullah saw selesai shalat, maka Mua’dz
segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah saw
selesai shalat mereka melaporkan perbuatan Mua’dz bin Jabal yang berbeda
dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau menjawab, “Mua’dz telah memulai cara
yang baik buat shalat kalian.” (HR. Imam Ahmad dan Abi Dawud).
Hadis ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti
shalat atau lainnya, senyampang sesuai dengan tuntunan syarak. Buktinya, Nabi
sendiri tidak menegur Mua’dz bin Jabal, bahkan beliau membenarkannya,
karena perbuatan Mua’dz sesuai dengan kaidah berjamaah, yaitu makmum
harus mengikuti imam.

2. Hadis Ali bin Abi Thalib ra


Sayidina Ali ra berkata, “Abu Bakar ra bila membaca al-Qur’an dengan
suara lirih. Sedangkan Umar ra dengan suara keras. Dan Ammar bila membaca
al-Qur’an bercampur surah ini dengan surah itu. Kemudian hal itu dilaporkan
kepada Nabi saw. sehingga beliau bertanya kepada Abu Bakar ra, “Mengapa
kamu membaca dengan suara lirih?” Ia menjawab, “Allah dapat mendengar
suaraku walaupun lirih”. Lalu bertanya kepada Umar ra, “Mengapa kamu
membaca dengan suara keras?” Umar menjawab, “Aku mengusir setan dan
menghilangkan kantuk”. Lalu beliau bertanya kepada Ammar ra, “Mengapa
kamu mencampur surah ini dengan surah itu?” Ammar menjawab, “Apakah
engkau pernah mendengarku mencampurnya dengan sesuatu selain al-Qur’an?”
Nabi menjawab, “Tidak”. Lalu beliau bersabda, “Semuanya baik”. (HR
Ahmad). Hadis ini menunjukkan bolehnya membuat bidah hasanah dalam
agama. Ketiga shahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri
berdasarkan ijtihadnya masing-masing, sehingga shahabat yang lain
melaporkan cara ibadah mereka yang berbeda-beda itu, dan ternyata Rasulullah
saw membenarkan dan menilai semuanya baik serta tidak ada yang buruk. Dari
sini dapat disimpulkan, tidak selamanya sesuatu yang belum diajarkan
Rasulullah saw pasti buruk dan keliru.

Bid’ah Hasanah pada Masa Shahabat ra


1. Penghimpunan al-Qur’an dalam Mushaf
Sayidina Umar ra mendatangi Khalifah Abu Bakar ra dan berkata, “Wahai
Khalifah Rasulullah saw, saya melihat pembunuhan dalam peperangan
Yamamah telah mengorbankan para penghafal al-Qur’an, bagaimana kalau
Anda menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf?” Khalifah menjawab,
“Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh
Rasulullah saw?” Umar berkata, “Demi Allah, ini baik”. Umar terus
meyakinkan Abu Bakar, sehingga akhinya ia menerima uluslan Umar.
Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit ra, dan menyampaikan rencana
mereka kepada Zaid. Ia menjawab, “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu
yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah saw?” Keduanya menjawab,
“Demi Allah, ini baik”. Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya
Allah swt melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangakan dada Abu
Bakar dan Umar ra dalam rencana ini”. (HR. Al-Bukhari).
2. ShalatTarawih
Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata, “Suatu malam pada bulan
Ramadan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-
orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat
sendirian. Ada yang menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar ra berkata, “Aku
berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan
lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka kepada Ubay bin Ka’ab.
Malam berikutnya aku ke masjid lagi bersama Umar, dan mereka melaksanakan
shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan itu, Umar ra berkata,
“Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Tetapi, menunaikan shalat di akhir malam
lebih bair daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan
shalat tarawih di awal malam”. (HR al-Bukhari). Kedua Hadis di atas
menunjukkan bolehnya berkreasi dan membuat hal-hal baru yang belum pernah
terjadi di masa Rasulullah saw. Rasulullah saw tidak pernah memerintahkan
para shahabatnya untuk menghimpun al-Qur’an dalam mushaf dan shalat
tarawih berjamaah. Akan tetapi, shahabat melakukan hal itu karena melihat ada
maslahat yang lebih besar, serta untuk menolak mudarrat yang lebih besar pula.
Bid’ah Hasanah Pasca Generasi Shahabat
1. Pemberian Titik dalam Penulisan Mushaf
Mulai masa Rasulullah saw sampai pada masa shahabat dan bahkan
sampai al-Qur’an dihimpun dalam satu mushaf pada masa Sayidina Utsman,
penulisan mushaf al-Qur’an tanpa pemberian titik terhadap huruf-hurufnya
semisal ba’, ta’ dan sebagainya. Pemberian titik pada mushaf al-Qur’an baru
dimulai oleh seorang ulama tabiin, Yahya bin Ya’mur (w 100 H/19 M). Al-
Imam Ibnu Abi Dawud al-Sijistani meriwayatkan, “Harun bin Musa berkata,
“Orang pertama kali memberi titik pada mushaf al-Qur’an adalah Yahya bin
Ya’mur”. (al-Mashahif, 158). Setelah Yahya bin Ya’mur memberi titik pada
Mushaf, para ulama tidak ada yang mentangnya, meskipun Nabi saw belum
pernah memerintahkan pemberian titik pada Mushaf.

2. Bid’ah Hasana Imam Ahmad bin Hanbal


Salah satu ulama mujtahid yang mengakui bid’ah hasanah adalah Imam
Ahmad bin Hanbal. Adalah mendoakan gurunya dalam shalat, bid’ah hasanah
yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz al-Baihaqi
meriwayatkan, “Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Saya mendoakan Imam
as-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah
ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris as-Syafi’i.”
(Manaqib al-Imam as-Syafi’i, 2/254). Tentu, apa yang dilakukan Imam Ahmad
bin Hanbal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, para shahabat dan
tabiin. Akan tetapi, Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat
puluh tahun.
Dari analisis historis di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa:
pertama, konsep bid’ah hasanah yang diikuti oleh kaum Muslim di berbagai
belahan dunia, termasuk di Indonesia, memiliki dasar-dasar yang sangat kuat
dari Hadis-Hadis shahih, perilaku para shahabat dan pradigma pemikiran ulama
salaf. Kedua, tidak semua bid’ah itu pasti jelek atau sesat sebagaimana yang
dituduhkan oleh sebagian kalangan. Karena, kreasi (membuat hal baru) dalam
agama itu boleh dilakukan, asalkan terdapat maslahat dan tidak
menyalahi qanûn asy-syar’i. Ketiga, hal tersebut menunjukkan bahwa agama
Islam itu dinamis, tidak stagnan dan statis. Sebab, yang menjadi standar dalam
penetapan hukum dalam syariat Islam adalah maslahat.
Sayid Alawi al-Maliki mengatakan, “Mungkin saja makna yang tidak
diunggulkan saat ini (al-ma’na al-marjuh), suatu saat mesti diunggulkan,
karena ada tuntutan maslahat.” Wallahu A’lam.4

BID’AH HASANAH PASCA GENERASI TABIIN

Setelah generasi sahabat punah, dari waktu ke waktu kaum Muslimin jiga
masih melakukan kreasi-kreasi yang diperlukan dan dibutuhkan oleh umat, sesuai
dengan perkembangan zaman yang harus diikuti dengan kecekatan dalam bertindak.
Beberapa kreasi kaum Muslimin setelah generasi sahabat dan diakui sebagai bid’ah
hasanah, diantaranya adalah :
1. Pemberian titik dalam Penulisan Mushaf
Pada masa Rasulullah Saw., penulisan Mushaf al-Qur’an yang dilakukan
oleh para sahabat tanpa pemberian titik terhadap huruf-hurufnya seperti BA, TA

4
https://muslim.or.id/7376-ini-dalilnya-8-pembagian-bidah-yang-tepat.html, pada tanggal 9 Mei
2019 pukul 15.11.
dan lain-lainnya.Bahkan ketika Khalifah Utsman menyalin Mushaf menjadi 6
alinan, yang 5 salinan dikirimnya ke berbagai kota negara Islam seperti Basrah,
Mekah, dan lain-lain dan satu salinan untuk beliau pribadi, dalam rangka
penyatuaan bacaan kaum Muslimin, yang dihukumi bid’ah hasanah wajibah oelh
seluruhulama, juga tanpa pemberiaan titik terhadap huruf-hurufnya. Pemberian
titik pada Mushaf al-Qur’an baru dimulai oelh seorang ulama tabi’in, Yahya bin
Ya’mur (wafat sebelum tahun 100 H / 19 M). Al-Imam Ibn Abi Dawud al-Sijistani
meriwayatkan : “Harun bin Musa berkata : “orang yang pertama kali memberi titik
pada Mushaf adalah Yahya bin Ya’mur.” (Al Imam Ibn Abi Dawud al-Sijistani,
al-Mashahif, hal 158). Setelah beliau memberikan titik pada Mushaf, para ulama
tidak menolaknya, meskipun Nabi Saw belum pernah memerintahkan pemberiaan
titik pada Mushshaf.

2. Penulisan Salallahu ‘alaihi wassalm ketika menulis Nama Nabi Salallahu ‘alaihi
wassalam
3. Perkembangan Ilmu hadits, seperti istilah hadits shahih, hasan, dha’if, maudhu’,
munkar, marfu’ , mashur, mutawatir dan lain-lainnya5

5
https://aswajacentreku.wordpress.com/2014/10/14/bidah-hasanah-setelah-generasi-sahabat/,
pada tanggal 9 Mei 2019 pukul 19.07.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya
menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah sama dengan
yang dimaksud dari penerapan syari‘at.

Dalam memvonis bidah, syirik, atau meniru (tasyabbuh) kaum kafir


terhadap berbagai amalan dan tradisi umat islam, meskipun mengajukan berbagai
dalil dan argumen panjang lebar, pokok pemikiran hujah mereka tidak lepas dari
kelima tuduhan ini. Tuduhan tersebut juga dibumbui dengan dalil yang diambil
serampangan dan terkesan dipaksakan. Pengelompokan bid’ah hasanah:
Menambah-nambahi Agama, Membuat-buat Syariat, Beragama Tradisi atau
Fanatik terhadap Tokoh Bidah, Mendahului Allah dan Rasul-Nya, Berlebihan
dalam Urusan Agama.

Macam-macam Bidah Hasanah Sejak Masa Rosulullah Hingga Tabiin.


Bid’ah Hasanah pada Masa Rasulullah saw.: Hadis Shahabat Mua’dz bin Jabal,
Hadis Ali bin Abi Thalib ra. Bid’ah Hasanah pada Masa Shahabat ra:
Penghimpunan al-Qur’an dalam Mushaf, ShalatTarawih. Bid’ah Hasanah pada
Masa Shahabat ra: Penghimpunan al-Qur’an dalam Mushaf, ShalatTarawih.
Bid’ah Hasanah Pasca Generasi Shahabat: Pemberian Titik dalam Penulisan
Mushaf, Bid’ah Hasana Imam Ahmad bin Hanbal.
DAFTAR PUSTAKA

http://pustakaimamsyafii.com/menyoal-rutinitas-perayaan-bidah-sepanjang-
tahun.html ,pada tanggal 8 Mei 2019

Abdullah bin 'Abdul 'Aziz at-Tuwaijiri, Rutinitas Amalan Bidah Dalam Setahun,
Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafii, 2010, hlm. 19.

http://pustakaimamsyafii.com/menyoal-rutinitas-perayaan-bidah-sepanjang-
tahun.html , pada tanggal 9 Mei 2019

https://muslim.or.id/7376-ini-dalilnya-8-pembagian-bidah-yang-tepat.html,
pada tanggal 9 Mei 2019

https://aswajacentreku.wordpress.com/2014/10/14/bidah-hasanah-setelah-
generasi-sahabat/, pada tanggal 9 Mei 2019

Anda mungkin juga menyukai