Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah adalah kunci keselamatan
dari terjerumusnya kepada bid’ah dan kesesatan. Maka barang siapa yang berpaling dari Al-Qur’an
dan Sunnah pasti akan terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid’ah. Bid’ah adalah suatu
kebodohan terhadap hukum-hukum Ad-Dien, semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi
atsar-atsar risalah Islam, semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan. Sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam :
Artinya: Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari
semua hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada
(tersisa) seorangpun ulamapun, maka manusia mangangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh,
mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnya sesat dan menyesatkan.
Bid’ah juga sesuatu yang berpaling dari Al-qur’an dan Sunnah dan mengikuti hawa nafsu, firman Allah
dalam surah Al-Jatsiyah : 23 yang berbunyi :
َ َ َ َ َّ َ َ َّ َ َّ ْ َ َ َْ َ ‫غ َش َاوة َب‬
‫َصه َعل َو َج َع َل َوقل ِب ِه َس ْم ِع ِه َعل َوخت َم ِعلم َعل اّلل َوأضله ه َواه ِإل َٰ ََٰهه اتخذ َمن أف َرأ ْيت‬
ِ ِ
ْ‫اّلل َب ْعد م ْن َي ْهديه َف َمن‬ َّ َ َ َ َّ َ َ
ِ ِ ِ ِ ِ ۚ ‫تذكرون أفل‬

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai illahnya dan Allah
membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengarannya dan
hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)”.

Dan bid’ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata dari hawa nafsu yang diikuti. Ashabiyah
terhadap pendapat tertentu yaitu dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq. Inilah keadaan
orang-orang saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-
penyembah kubur. Apabila meraka diajak untuk mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah serta membuang
jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Qur’an dan Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan
madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka. Hal ini merupakan
penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid’ah yakni orang-orang yang menyerupai
orang-orang kafir. Hal-hal inilah yang menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin
telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid’ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari
kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau minggu untuk amalan tertentu, upacara keagamaan
dan peringatan-peringatan, mengadakan perkumpulan hari suka dan duka dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Bid’ah ?
2. Pengertian Bid’ah.
3. Contoh-contoh perbuatan Bid’ah.
4. Hukum melakukan perbuatan Bid’ah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Bid’ah diambil dari kata bida’ yaitu al ikhtira atau mengadakan sesuatu tanpa adanya contoh
sebelumnya atau sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi
Muhammad Shallallhu’alaihi wa sallam, tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang. Nabi
menilainya sebagai kesesatan dalam agama. Perbuatan yang dimaksud ialah perbuatan baru atau
penambahan dalam peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah) yaitu ibadah yang sudah
ditentukan syarat dan rukunnya.

Dalam kitab Shahih Muslim bi Sarah Imam Nawawi dijelaskan “Dan yang dimaksud bid’ah,
menurut ahli bahasa, dia ialah segala sesuatu amalan tanpa contoh terlebih dahulu”. Sedangkan jika
ditujukan dalam hal ibadah pengertian bid’ah yakni “Suatu jalan yang diada-adakan dalam agama yang
dimaksudkan untuk bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ umat terdahulu”.
Bid’ah adalah kebalikan dari sunnah dan bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma umat
terdahulu, baik keyakinannya atau peribadahannya atau ia bermakna lebih umum yaitu apa-apa yang
tidak di syariatkan oleh Allah maka yang demikian itu adalah bid’ah. Bid’ah dalam syari’ah adalah apa
yang diada-adakan yang tidak ada perintah Rasul Shallallahu’alaihi wa sallam. Membuat cara-cara
baru dengan tujuan agar orang lain mengikuti, sesuatu pekerjaan yang sebelumnya belum pernah
dikerjakan, itu disebut bid’ah. Terlebih lagi suatu perkara yang disandarkan pada urusan ibadah
(agama) tanpa adanya dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada contohnya (tidak
ditemukan perkara tersebut) pada zaman Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam.

Secara umum bid’ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama artinya mencipta sesuatu
yang baru dan disandarkan pada perkara agama atau ibadah. Maka inilah makna bid’ah yang
sesungguhnya. Bid’ah dalam agama juga mematikan sunnah. Pembuat bid’ah memandang agama
tidak lengkap dan bertujuan melengkapinya.

Setelah mengetahui bahwa begitu bahayanya bid’ah tersebut maka seharusnyalah kita
menghindari dari hal tersebut diatas. Maka dari itu tetaplah berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-
Sunnah dan Ijma sahabat. Firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 153:
َّ َ َ َ ِ ‫السب َل َت َّتبعوا َو َل ۖ َف َّاتبعوه م ْس َت ِقيما‬ ُّ ‫ۚ َسبيله َع ْن ب ُك ْم َف َت َف َّر َق‬
‫اط ه ََٰٰذا َوأن‬
ِِ ‫ِص‬ ِ ِ ِ ِِ ِ
ْ‫ون ل َع َّل ُك ْم به َو َّص ُاك ْم َذ ل ُكم‬
َ َّ َ
‫تتق‬
ِ ِِ
Artinya: Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia, dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (lainnya). Sebab jalan-jalan itu akan mencerai beraikan kau dari jalan-nya.
Demikianlah Allah berwasiat kepada kamu agar kamu bertaqwa.

B. Pendapat Para Ulama


Para ulama salaf memberikan beberapa definisi bid’ah. Definisi-definisi ini memiliki lafadz-
lafadz berbeda-beda namun sebenarnya memiliki kandungan makna yang sama.
Menurut al-Hawari, bid’ah adalah pendapat pikiran yang tidak ada padanya dari kitab (Al-Qur’an) dan
As-Sunnah.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyariatkan
oleh Allah dan Rasul-Nya yakni tidak diperintahkan dengan perintah wajib atau perintah sunnah.
Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah satu cara di dalam agama yang diada-adakan (baru)
menyerupai agama dan dimaksudkan dalam melakukannya untuk bersungguh-sungguh dalam
beribadah kepada Allah Ta’ala.

Ibnu Hajar al As-Qalani dalam Fathul Bari menjelaskan “setiap bid’ah adalah sesat”yakni apa
yang diadakan tanpa dalil padanya dari syariat baik dengan jalan khusus maupun jalan umum.
Menurut Ibnu Rajab yang dimaksudkan dengan bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada
dasarnya di dalam syariat. Menurut As-Suyuti, bid’ah adalah suatu ungkapan tentang perbuatan yang
bertentangan dengan syariat karena menyelisihi perbuatan yang menjadikannya adanya pengurangan
dan penambahan syariat.

Ulama sepakat bahwa dari beberapa pengertian bid’ah tersebut diatas yang paling mengena
pada maksud bid’ah adalah yang diartikan oleh Imam Syathibi. Dari definisi-definisi tersebut dapat
diambil pokok-pokok pengertian bid’ah sebagai berikut:

a. Bid’ah adalah sesuatu yang diadakan di dalam agama.

Maka tidak termasuk bid’ah sesuatu yang diadakan di luar agama untuk kemaslahatan dunia,
seperti pengadaan hasil-hasil industry dan alat-alat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia yang
bersifat duniawi.

b. Bid’ah tidak memiliki dasar yang menunjukkan dalam syariat.

Adapun hal-hal yang memiliki dasar-dasar syariat, maka bukan bid’ah meskipun tidak ada
dalilnya dalam syariat secara khusus. Contohnya pada zaman sekarang orang membuat alat-alat,
seperti pesawat, roket, tank, dan alin sebagainya, dari alat-alat perang modern dengan tujuan
persiapan memerangi orang-orang kafir dan membela kaum muslimin. Maka perbuatannya bukan
bid’ah meskipun syariat tidak menjelaskannya secara rinci, dan Rasulullah tidak menggunakan alat-
alat tersebut untuk memerangi orang-orang kafir. Tetapi membuatnya termasuk dalam firman Allah
secara umum,
ُّ ََ
‫ْاستط ْعت ْم َما له ْم َوأ ِعدوا‬
Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja”.(Al-Anfal:60).

Maka setiap sesuatu yang memiliki dasar dalam syara’, ia termasuk syariat dan bukanlah
bid’ah.
c. Bid’ah di dalam agama kadang dikurangi dan kadang ditambah.

Sebagaimana dijelaskan As-Suyuti meskipun perlu pembatasan bahwa sebab menguranginya


adalah agar lebih mantap dalam beragama. Adapun jika sebab menguranginya bukan agar lebih
mantap dalam beragama, maka bukanlah bid’ah. Seperti meninggalkan perintah yang wajib tanpa
udzur. Itu disebut maksiat bukan bid’ah, begitu pula meninggalkan perkara sunnat tidak dianggap
bid’ah.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka bid’ah itu hanya ada dalam hal agama atau ibadah, ini sesuai
dengan sabda Raulullah Shallallahu’alaihi wa sallam:
َ َ َ َ َ
‫رد فه َو ا ْمرنا غ ْي عل ا ْمرا َصن َع َم ْن‬.َ (‫)احمد رواه‬
Artinya: “Siapa yang membuat hal baru dalam ajaran agama kami apa yang bukan bagian darinya,
maka perbuatannya itu tertolak”.
Dan dapat kita lihat keterkaitan antara hadits di atas dengan hadits di bawah yaitu mengenai niat
dalam beribadah:
َّ َْ ْ ِّ
‫لن َي ِة ِبا الع َمال ِان َما‬
Artinya: Sesungguhnya segala amalan ibadah itu tergantung dari niat.
Jadi ulama sepakat bahwa ciri amal ibadah agar diterima oleh Allah adalah:
1. Meniatkan amal perbuatan semata demi Allah Subhanahu wa ta’ala dan ikhlas kepada-Nya.
2. Amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.
Oleh karenanya saat Imam Al-Fudhail yang beliau adalah gurunya Imam Asy-Syafi’i, dan beliau juga
seorang faqih yang zhahid, ditanya tentang firman Allah:
…    …
”….Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya….” (Al-Mulk: 2).
Penanya: Amal apakah yang paling baik ? Beliau menjawab: yaitu amal ibadah yang paling ikhlas dan
paling benar. Penanya: Wahai Abu Ali (Al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah
yang paling ikhlas dan paling benar itu ? Beliau menjawab: Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan
dengan ikhlas, namun tidak benar maka amal itu tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kemudian meskipun amal ibadah ibadah itu benar namun dikerjakan dengan tidak ikhlas juga tidak
diterima oleh Allah. Amal ibadah baru diterima bila dikerjakan dengan ikhlas dan benar pula. Yang
dimaksud dengan ikhlas adalah dikerjakan semata untuk Allah dan yang dimaksud dengan benar
adalah dikerjakan sesuai dengan tuntunan sunnah.
Setelah hal tersebut diatas kemudian muncul lagi permasalahan baru yang disebut sebagai bid’ah
hasanah. Sebenarnya bid’ah hasanah ini muncul ketika Umar r.a mendapati kaum muslimin
melakukan shalat tarawih pada malam bulan Ramadhan dengan sendiri-sendiri dan ada yang
berjama’ah hanya dengan beberapa orang saja dan ada yang berjama’ah dengan jumlah besar.
Keadaan ini terus berlangsung hingga Amirul Mu’minin Umar r.a mengumpulkan mereka kepada
satu Imam, lalu beliau berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih secara
berjama’ah)”. Qiyamul lail merupakan sunnah Rasul, karena Rasul pernah melakukan qiyamul lail di
bulan Ramadhan dengan para sahabat selama tiga malam berturut-turut kemudian beliau tidak
melakukannya lagi pada malam berikutnya dan bersabda: “Sesungguhnya aku takut kalau shalat
tersebut diwajibkan atas kamu lalu kamu tidak akan sanggup melaksanakannya”.
Ada beberapa orang-orang terdahulu yang mengatakan bid’ah itu ada dua bagian, ada bid’ah
hasanah, ada bid’ah sayyi’ah. Bid’ah hasanah yaitu apa yang bersesuaian dengan sunnah itu bid’ah
hasanah, seperti shalat berjama’ah pada bulan Ramadhan, qiyamul lail, dzikir bersama dll.
Sedangkan bid’ah sayyi’ah yakni apa-apa yang bertentangan dengan sunnah, seperti yang sudah
dipaparkan diatas tadi.
Namun, ada pula yang tidak sependapat dengan adanya dua bid’ah ini, mereka menganggap setiap
bid’ah itu sesat, yang sesuai dengan sabda Nabi:
َ
‫للا َرس ْول َوعظنا‬
ّ ْ ْ َ َْ ُْ ْ ْ َ ََ َ َْ ْ ْ َْ َ َ َ ْ َ َ َّ ْ ِّ َ
ِ ‫فقلنا العيون ِمنها وذرفت القلوب ِمنها و ِجلت َمو ِعظة وسلم عليه للا صل‬: ‫للا رسول يا‬ ِ ‫مودع َمو ِعظة كأنها‬
َ ْ َ َ َ ُْ ْ ُْ َ َْ َ َّ ْ ُ َ
َّ ‫ش ع ْبد تأ َّم َرعل ْيك ْم َوان َوالطاعة َو‬ َ َ َّ َ
ُّ ِ ‫ش َم ْن ف ِانه َح ْب‬ ْ ‫َف َعل ْي ُك ْم ك ِث ْيا اخ ِتلفا َو َس َ َيى ِمنك ْم َي ِع‬
ُ ْ َ ْ
‫فاو ِصنا‬. ‫قال‬: ‫للا ِبتقوى او ِصيكم‬ ِ ‫الس ْمع‬ ِ ِ ِ
َّ َّ َ َْ ْ ‫ا َلم ْهد ِّي‬.ْ ‫الن َواجذ َعل ْي َها َع ُّض ْوا‬ َّ ُ َ َ ْ َّ َ ُ ْ َ َ ُ َ َ
‫الر ِاش ِد ْي َن خلف ِاء َوسن ِة ِبسن ِت‬
َّ ‫ي‬ ِ ِ ِ ‫ب‬.ِ ‫ِ ْف لة ضل َوك َّل ضللة ِبد َعة ك َّل ف ِأن الم ْور َوم ْحدث ِان َوِا َّياك ْم‬
َّ
‫النار‬.(‫)واليمذى داود ابو رواه‬.
“Aku wasiatkan kepada kamu hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah dan dengarlah serta taatlah
sekalipun kepada budak Habsyi, karena sesungguhnya orang hidup diantaramu sesudahku
dikemudian hari maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka dari itu hendaklah kamu
sekalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah khalifah yang mendapat petunjuk dan lurus,
hendaklah kamu berpegang dengannya dan gigitlah dengan gigi gerahammu (berpegang teguh), dan
jauhilah oleh kamu sekalian akan perkara yang diada-adakan, maka sesungguhnya setiap yang diada-
adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.
Demikianlah nasihat Nabi Shallallahu’alahi wa sallam dan pendapat para generasi terbaik dari umat
ini mengenai bid’ah, maka selayaknya mereka itu semua dapat dijadikan panutan untuk kaum
muslimin zaman sekarang. Hal ini mereka lakukan demi murninya ajaran Islam dan tidak dikotori
oleh bid’ah yang menyesatkan. Ulama-ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam
sesudahnya, telah kita lihat kebaikannya pada abad-abad kemuliaan, dan mereka telah bersepakat
dalam mencela, memburukkan, menjauhi bid’ah dan pelakunya serta tidak ada keragu-raguan.
C. Pembagian Bid’ah
Bid’ah menurut golongan pertama (Ahli ushul), dan golongan kedua (Ahli fiqih):
1. Fi’liyah ialah membuat sesuatu perbuatan.
2. Tarkiyah ialah meninggalkan sesuatu perbuatan atau tuntunan agama, baik wajib maupun sunnat,
dengan memandang bahwa meninggalkan itu, agama. Jika ditinggalkan lantaran malas, tidak
dinamai bid’ah, hanya menyalhi suruh saja.
3. ‘Amaliyah yaitu bid’ah-bid’ah yang dikerjakan dengan anggota tubuh, dengan panca indra yang
lima, luar dan dalam, seperti: mengerjakan sesuatu yang tidak dikerjakn Nabi.
4. I’tiqadiyah yakni memegang sesuatu kepercayaan (I’tiqad) yang berlawanan dengan yang diterima
Rasul karena sesuatu kesamaran, seperti kepercayaan orang Syi’ah, wajib menyapu kaki, tak boleh
menyapu sepatu, dan seperti I’tiqad kaum musyabbihah, yang menyerupakan Tuhan dengan
makhluk.
5. Zamaniyah adalah meletakkan di masa tertentu.
6. Makaniyah ialah meletakkan esesuatu ibadat di tempat tertentu.
7. Haliyah yaitu meletakkan sesuatu ibadat dalam keadaan yang tertentu.
Jelasnya meletakkan sesuatu ibadat di masa tertentu atau di tempat tertentu, atau dalam keadaan
yang tertentu, missal: bid’ah yang terjadi dalam perayaan-perayaan hari-hari raya dan musim,
perhalatan, dan seperti bid’ah-bid’ah yang terjadi di mesjid-mesjid, di tempat-tempat kematian, di
kuburan dan seperti bid’ah yang terjadi dalam perjamuan dalam ibadat, dalam pergaulan dalam
beberapa adat dan kepercayaan.
8. Haqiqiyah ialah sesuatu pekerjaan yang semata-mata bid’ah, tidak ada sedikit juga perpautannya
dengan Syara’
9. Idlafiyah ialah sesuatu bid’ah yang terdapat padanya dua jihat. Apabila ditinjau dari jihat yang
pertama, ia bukan bid’ah. Apabila ditinjau dari jihat kedua, nyatalah kebid’ahannya. Bid’ah yang
serupa ini, dinamai bid’ah Idlafiyah (yakni dibid’ahkannya mengingat salah satu jihatnya). Tegasnya,
apabila dilihat kepada asal hukumnya, sunnah. Tetapi apabila dilihat kepada kaifiyatnya, kepada
kelakuan melaksanakannya, bid’ah.
10. Kulliyah yaitu yang mendatangkan kecederaan umum, seperti mengingkari hadits-hadits Nabi
lantaran mencukupi dangan Al-Qur’an saja.
11. Juz-iyah yaitu yang merusakkan sesuatu pekerjaan saja, seperti bid’ah mencederakan adzan,
berdiri sebelah kaki dalam sembahyang.
12. ‘Ibadiyah ialah yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yakni yang dijadikan ibadat.
13. ‘Adiyah yaitu yang dikerjakan bukan dengan maksud ibadah.
Pembagian khas
Pembagian ini dilakukan oleh Al Imam Al ‘Izz ibn Abdis Salam dan kemudian diteruskan oleh Al
Qalafy. Mula-mula mereka membagi kepada dua bagian:
a) Bid’ah Hasanah
b) Bid’ah Qabihah
Bid’ah hasanah mereka membaginya kepada: wajibah, mandubah, dan mubahah. Dan bid’ah
Qabihah, mereka membaginya kepada: muharramah dan makruhah.
Bid’ah wajibah, menurut segolongan para fuqaha, ialah pekerjaan yang masuk kepada qaedah wajib
dan masuk kedalam dalil agama. Seperti mengumpulkan Al-Qur’an dan membukukannya dalam
mushaf.
Bid’ah mandubah ialah pekerjaan yang diujudkan oleh qaedah-qaedah nadab (sunnat) dan dalil-
dalilnya, seperti mengerjakan tarawih berjamaah setiap malam bulan puasa, diimami oleh seorang
imam yang tertentu.
Bid’ah mubahah ialah pekerjaan yang diterima oleh dalil, seperti makan di atas meja dan
seumpamanya.
Bid’ah muharramah ialah pekerjaan yang massuk kedalam qaedah-qaedah haram dan dalil haram.
Bid’ah makruhah ialah pekerjaan-pekerjaan yang masuk ke dalam qaedah-qaedah makruh dan dalil-
dalil makruhah.
Pembagian tersebut dibantah keras oleh Asy Syathiby. Menurut Asy Syathiby, contoh-contoh yang
didatangkan untuk bid’ah wajibah, adalah pekerjaan yang dikehendaki maslahat mursalah.
Karenanya bukan bid’ah. Contoh-contoh bid’ah mandubah, menurut Asy Syathiby, memang sunnat.
Contoh-contoh bid’ah mubahah, dapat didasarkan kepada perbuatan-perbuatan Nabi. Conoth bid’ah
makruhah, diterimanya, dan contoh-contoh bid’ah muharramah, menurutnya memang haram.
Pendapat Al ‘Izz ibn Abdis Salam yang dituruti Al Qarafy dan beberapa ulama terkenal, seperti Az
Zarkasyi tak dapat ditolak mentah-mentah. Juga pendapat Asy Syathiby yang diikuti juga beberapa
ahli sunnah, seperti Asy Syaukany, tak dapat ditolak bulat-bulat.
Sesudah kita pelajari apa yang dikatakan Al Qarafy dan apa yang dikatakan Asy Syathiby, nyatalah
bahwa beliau-beliau itu hanya berselisih pada member nama pekerjaan bukan pada menetapkan
hukum pekerjaan. Mengumpulkan Al-Qur’an, menurut Al Qarafy adalah bid’ah wajibah, tapi perlu
dilaksanakan. Menurut Asy Syathiby, maslahat mursalah, perlunjuga dikerjakan.
Hanya yang kita sesali ialah sikap kebanyakan Mutafaqqihin sekarang, yang apabila kita bid’ahkan
sesuatu pekerjaannya, mereka langsung berprisai dengan “bid’ah itu terbagi” dan perbuatanku ini
bid’ah hasanah!
Hanya di sini perlu ditegaskan bahwa: “Sesuatu ibadat yang tiada dikerjakan Nabi dan tidak
termasuk ke dalam qaedah agama, baik oleh yang membagi bid’ah kepada lima, maupun oleh yang
tidak membaginya kepada lima, menetapkan ketiadaan bolehnya kita beribadat yang semacam itu.”
Membagi bid’ah kepada lima ataupun sepuluh, tidak dapat dijadikan alasan untuk membaguskan
pekerjaan yang dikerjakan sebagai ibadat, jika tidak mempunyai dalil-dalil yang menunjuk kepada
tersuruhnya.
D. Pemahaman Para Ulama Terhadap Hadits “Kullu Bid’atin Dhalalah”
Golongan yang menta’rifkan bid’ah dengan ta’rif Asy Sythiby dan Asy Syamany, berpendapat: yang
diada-adakan disini, tertentu dengan kejadian-kejadian yang tercela saja yang menyalahi kitab dan
sunnah, atau dijadikan yang diada-adakan itu, sebagai sunnah yang diterima dari Nabi sendiri.
Mereka menetapkan hadits ini atas keumumannya.
Golongan yang menta’rifkan bid’ah dengan ta’rif Al ‘Izz yakni yang diada-adakan sesudah Nabi,
walaupun baik, ibadat atau adat, mentakhsiskan umum hadits ini dengan mengatakan bahwa bid’ah
yang dipandang sesat hanyalah bid’ah yang tercela yang tidak mendapat kebenaran dari Rasul, tidak
masuk ke dalam Syara’. Adapun kejadian yang diada-adakan sesudah Nabi, tapi ada asal atau
pokoknya dari Syara’, maka bid’ah yang semacam ini, keluarlah dari umum bid’ah.
Syubhat pertama: Sembahyang tarawih dan sembahyang malam di bulan Ramadhan. Golongan
pemangku bid’ah mengatakan: betapa tuan-tuan mencela-cela segala bid’ah, padahal kita dapati
orang-orang salaf mengerjakan pekerjaan yang tidak dikerjakan Nabi, seperti: sembahyang tarawih
dengan diimami oleh seorang imam tertentu. Menjamaahkan sembahyang tarawih telah di ijma’kan
oleh segenap umat Islam. Tuan-tuan mengatakan Segala bid’ah sesat, padahal menjamaahkan
tarawih, bukan kesesatan.
Menjamaahkan tarawih bukan suatu bid’ah, bukan suatu pekerjaan yang tiada dikerjakan Nabi.
Menjamaahkan tarawih, suatu sunnah, Nabi pernah mengerjakannya, diikuti para sahabat,
sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud dan At Turmudzy dalam dalam satu hadits yang hasan
shahih. Akan tetapi, karena Rasul takut dijadikan fardhu atas para umat, beliau tiada meneruskan
pekerjaan menjamaahkan tarawih itu.
Dengan demikian, menjadilah pengertian bid’ah dalam perkataan ‘Umar: “Sebaik-baik bid’ah adalah
jamaah tarawih”, bid’ah lughawiyah, sebagaimana yang telah ditegaskan juga oleh Ibnu Hajar Al
Haitamy. Dinamakannya bid’ah, adalah dengan pandangan bahwa perbuatan itu tidak dilazimi Nabi,
tidak dibangun dimasa Abu Bakar. Dizaman ‘Umar baru digerakkan dengan secara resmi.
Syubhat kedua: Adzan ‘Ustman, kata pemangku bid’ah: di masa Rasul, adzan hari jum’at hanya
dilaksanakan sekali saja, diucapkan dipintu mesjid, muadzin berdiri bertentangan dengan tempat
khatib duduk. Keadaan ini berjalan terus di masa Abu Bakar dan ‘Umar. Setelah kendali
pemerintahan dipegang khalifah ‘Utsman, barulah beliau menyuruh orang melaksanakan sekali lagi
adzan pada hari jum’at diucapkan di atas Zauraa. Sebenarnya begini adzan ‘Utsman tiada keluar dari
syara’ yaitu memberitahukan sembahyang. Beliau menyuruh orang membaca adzan di atas Zauraa
sebelum adzan yang telah ditetapkan Nabi, yaitu yang dibaca dikala khatib telah naik ke mimbar,
dipintu mesjid, bertentangan berdiri muadzin dengan tempat duduk khatib, adalah dengan maksud
menarik perhatian penduduk pasar yang telah sangat ramai dimasanya, untuk pergi ke mesjid. Beliau
tidak menambah barang sesuatu lafadz adzan dan bukan pula adzan itu untuk sesuatu maksud yang
tidak dimaksudkan syara’, karenanya tiadalah, dapat kita pandang penambahan yang diadakan
‘Utsman itu, bid’ah yang sesat. Jadi, ‘Utsman menambah satu adzan itu, adalah dengan maksud
mengingatkan penduduk pasar dan menarik perhatian mereka kepada menyegerakan datang ke
mesjid, dengan tidak memandangnya suatu ibadat yang ditambah.
Syubhat ketiga ialah mafhum yang didapati dari memahami hadits:
َّ َ َ َ ْ َ َ َ ُ َ َّ َ َ َ ْ ْ
‫ش ْيأ اج ْور ِه ْم ِم ْن ذ ِلك ل َينقص ِب َها َع ِم َل َم ْن َوا ْجر ا ْجرها له كان َح َسنة سنة َس َّن َم ْن‬. ‫َووزر وزرها َعل ْي ِه كان َس ِّيئة سنة َس َّن َو َم ْن‬
ْ َ َ َ َ َ
‫ش ْيأ ا ْوزار ِه ْم ِم ْن ذ ِلك ل َينقص ِب َها َع ِم َل َم ْن‬. (‫)مسلم رواه‬.
“Barang siapa membuat suatu sunnah yang baik, ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang
mengerjakannya dengan tidak dikurangi pahala yang diberikan kepada yang mengerjakan sendiri.
Barang siapa membuat sunnah yang buruk, ditimpakanlah atas dirinya dosa bid’ahnya dan dosa
bid’ahnya itu, sedikitpun tiada dikurangi”. (H.R.Muslim).
Hadits ini menyandarkan sunnah kepada kita mukallaf sendiri. Difahamkan dari perkataan “barang
siapa membuat sesuatu sunnah”, dibolehkan kita membuat-buat sesuatu sunnah baru. Sekiranya
dimaksud hanya mengerjakan telah ditetapkan Syara’, tentulah dikatakan: “barang siapa
menghidupkan, atau barang siapa mengamalkan".
Syubhat ini dijawab Asy Syathiby dengan dua jawaban, pertama: Dikehendaki dengan membuat
sunnahdi sini, bukan mengada-adakan, atau mengikhtira’kannya, hanya menghidupakn atau
mengamalkan. Ma’na ini ditunjuk oleh sebab wurud (datang)nya hadits sendiri. Yang kedua:
Dikehendaki membuat sunnah di sini ialah membuatnya dalam urusan keduniaan, dengan syarat
tiada terbentur dengan pokok Agama dan maksu-maksudnya.
Syubhat yang keempat: mafhum yang difahamkan dari hadits:
َ ْ َ َْ
‫للا ِعند فه َو َح َسنا الم ْس ِلم ْون َرآه َما‬ ِ ‫ح َسن‬
َ
“Sesuatu yang dipandang baik oleh orang Islam, dipandang baik pula oleh Allah”.
Lahir perkataan ini ialah sesuatu yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, Allah memandangnya
baik juga. Tegasnya, manusia dapat memandang baik sesuatu, dapat memandang buruk sesuatu
dengan tudak berdasar Syara’. Syubaht ini dijawab dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Hadits ini bukan hadits yang marfu’ yang diterima dari Nabi, hanya paling baik ia dipandang satu
atsar yang diterima dari Ibnu Mas’ud. Dengan demikian tidak dapat dijadikan hujjahh.
b. Jika kita terima juga hadits ini, maka ma’nanya ialah: “segala yang disepakati oelh ahli ijma’ dari
urusan-urusan yang diserahkan kepada mereka, itulah yang dipandang baiknya oleh Allah”.
Jadi, hadits ini memaksudkan putusan ijma’ (kata bulat dari ahli ijma’), dalam soal-soal yang tak ada
padanya nash Al-Qur’an dan nash hadits, tidak berlawanan pula dengan sesuatu qaedah yang
lengkap.

C. Contoh-contoh bid’ah

5 Shalawa Nariyah
Shalawat ini
mengandung beberapa penyimpangan syariat yang sangat jelas,
di antaranya;
a. Shalawat ini dibaca ketika terjadi musibah. Ini merupakan
cara mengada
-
ada membuat sebab dalam melakukanibadah.
b. Jumlah bacaannya ditentukan 4444 kali. Inipun jumlah
yang
dibuat
-
buat dalam melakukan ibadah.
4
c. Membacanya dilakukan secara berjamaah. Ini juga
merupakan cara mengada
-
ada dalam teknik membacanya
dalam ibadah.
D. Di dalamnya terdapat penyimpangan syariat dan syirik
serta sikap berlebih
-
lebihan terhadap Nabi shall
allahu alaihi wa
sallam serta menyandarkan perbuatan kepadanya yang tidak
boleh diberikan kecuali kepada Allah Ta'ala, seperti memenuhi
berbagai keinginan, menyelesaikan problem, meraih keinginan,
husnul khotimah. Padahal Allah telah memerintahkan Nabi
-
Nya
untuk berkata, "Katakanlah, sungguh aku tidak memiliki bahaya
dan petunjuk bagi kalian."
E. Padanya terdapat tindakan meninggalkan syariat
kemudian mengada
-
ada shalawat dan doa dari dirinya sendiri.
Sikap ini mengandung tuduhan terhadap Nabi shallallahu a
laihi
wa sallam lalai menjelaskan apa yang dibutuhkan manusia. Hal
ini berarti menambah syariatnya.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam, "Siapa yang mengada
-
ada
dalam perkara (agama) kami yang tidak bersumber darinya,
maka dia tertolak."
(HR. Bukhari, no. 25
50, Muslim, no. 1718. Dalam riwayat
Muslim, no. 1718 disebutkan, 'Siapa melakukan amalan yang
tidak bersumber dari ajaran kami, maka dia tertolak.')
Ibnu Rajab Hambali rahimahullah berkata, "Ini merupakan
salah satu prinsip Islam yang sangat agung. Dia bag
aikan
barometer untuk menetapkan amal secara zahir, sebagaimana
hadits 'Setiap amal ditentukan berdasarkan niat' merupakan
barometer untuk menentukan amal secara batin. Maka
sebagaimana amal yang tidak ditujukan karena Allah, maka
pelakunya tidak mendapatk
an pahala, begitupula amal yang
dilakukan tidak berdasarkan ajaran dari Allah dan Rasul
-
Nya,
maka dia tertolak dari pelakunya. Semua yang mengada
-
ada
dalam agama dengan sesuatu yang tidak Allah dan Rasul
-
Nya
5
ajarkan, maka dia bukan termasuk agama sama seka
li." (Jami
Al
-
Ulum wal Hikam, 1/180)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Hadits ini merupakan
salah satu landasan Islam yang sangat agung. Dia termasuk
Jawamiul Kalim Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (ucapan
yang sedikit namun mengandung makna yang d
alam) Karena di
dalamnya mengandung penegasan yang menolak segala bidah
dan tindakan mengada
-
ada. Dalam riwayat kedua terdapat
tambahan. Maksudnya, boleh jadi seseorang melakukan bidah
yang sudah dilakukan sebelumnya. Maka jika disampaikan
kepadanya dalil
"Siapa yang mengada
-
ada..." (
‫من‬
‫أحدث‬
...) dia
akan berkata, "Saya tidak mengada
-
ada perbuatan (karena
sudah ada yang melakukannya sebelumnya). Maka orang
seperti ini diberikan dalil, "Siapa yang berbuat...." (
‫من‬
‫ل‬
‫د‬
‫ع‬
...)
yang padanya terdapat penegasan menolak s
emua bentuk
bid'ah, apakah pencetusnya orang tersebut atau telah ada
sebelumnya orang yang melakukannya. Hadits ini layak dihafal
dan digunakan untuk membantah kemungkaran dan sering
-
sering berdalil dengannya." (Syarh Muslim, 12/16)

BAB III
KESIMPULAN

Bid’ah merupakan sesuatu yang dianggap baru dan tidak ada contoh sebelumya atau dalam syariah
ialah sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa
sallam. Perbuatan yang dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya
dengan peribadahan. Bid’ah adalah kebalikan dari sunnah dan bertentangan dengan Al-Qur’an, As-
Sunnah, Ijma umat terdahulu, baik keyakinannya maupun peribadahannya. Dan segala sesatu yang
tidak disyariatkan oleh Allah maka yang demikian adalah bid’ah.
Bid’ah dikatakan sesat dikarenakan dalam pengertiannya menjelaskan bahwa bid’ah ialah suatu
perbuatan penambahan atau pengurangan dalam peribadahan yang tidak ada contoh, syariat,
rukun, dan perintah terlebih dahulu. Dan juga dengan adanya bid’ah umat semakin terpecah belah
satu sama lain karena masing-masing mempunyai bid’ah-bid’ah yang mereka yakini kebenarannya.
Juga sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam, yang artinya: “ Setiap bid’ah itu
sesat”.

DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Rajawali Pers. Jakarta. 2001
Said Al-Khin, Mustofa. Larangan Berbuat Bid’ah, jilid I. Musasah
Ar-Risalah Dirut. Jakarta. 2005
Shalih Al-Munajid, M. Sunnah dan Bid’ah Tahunan. Aquam. Jakarta. 2009
Thalib M. 25 Ciri Zaman Edan dan 20 Langkah Menghadapinya. Irsyad Baitus
Salam. Bandung. 2000
Yahya, Imam. Syarah Hadits Arba’in. Trigenda Karya. Bandung. 1995

Anda mungkin juga menyukai