Anda di halaman 1dari 18

AMALIYAH YANG DIPERSEPSIKAN BID’AH SUNNAH

(Tawassul, Istighasah, Tabarruk, Siksa Kubur, Syafa’at)


Makalah:

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Tauhid

Dosen Pengampu:

Idris, M.TH.I

Disusun oleh:

Renanda Rezad Montifani (E05219033)

Ridho Arifullah (E05219034)

M. Sholahuddin Al-Ayubi (E95219088)

PROGRAM STUDI ILMU HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Alla>h SWT yang maha Pengasih lagi
maha Penyayang, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kita, shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi
Muhammad SAW.

Terimakasih atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan dosen


pengampu mata kuliah bapak Idris, M.TH.I, sehingga penulis dapat menulis
makalah ini dengan judul ” Amaliyah yang Dipersepsikan Bid’ah Sunnah” ini
dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulis berharap
semoga makalah ini mampu menambah ilmu pengetahuan bagi penulis dan
para pembacanya.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca, dan


penulis meminta maaf sebesar-besarnya atas kekurangan dalam penulisan
makalah ini, serta penulis meminta saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 18 April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................1
C. Tujuan....................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................3
PEMBAHASAN...............................................................................................3
A. TAWASSUL..........................................................................................3
B. ISTIGHASAH........................................................................................5
C. TABARRUK..........................................................................................7
D. SIKSA KUBUR.....................................................................................8
E. SYAFA’AT..........................................................................................10
BAB III...........................................................................................................13
PENUTUP.......................................................................................................13
A. Kesimpulan..........................................................................................13
B. Saran....................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam merupakan agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW, yang bertujuan untuk menyempurnakan agama-agama
yang sebelumnya. Alquran adalah kitabnya yang memuat berbagai
macam hukum-hukum dan aturan yang mengatur kehidupan manusia
dalam bidang sosial, politik, ibadah, dll. Demikian juga urusan manusia
dengan Tuhannya. Namun, sifat hukum Alquran yang sangat umum,
maka dalam penjelasannya, Nabi Muhammad SAW sendiri yang
mempraktekannya atau adanya suatu permasalahan dari suatu kaum yang
ada yang memunculkan suatu penjelasan dimana umat Islam wajib untuk
mematuhinya setelah Alquran, yaitu sunnah.
Namun, dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi
menjadikan banyaknya masalah baru yang tidak ada di dalam Alquran
dan juga sunnah. Sebagian orang berijtihad untuk menentukan aturan
baru, namun ada juga yang langsung mengatakan bahwa itu adalah
bid’ah. Adanya hal tersebut yang mengakibatkan sebuah perdebatan,
pertentangan, dan juga penolakan terhadap sesuatu yang baru. Bahkan
beberapa kebudayaan yang merupakan tradisi Indonesia asli pun juga
dinyatakan sebagai bid’ah dan keberadaannya hampir dilarang oleh
sebagian kelompok.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Tawassul?
2. Apa yang dimaksud dengan Istighasah?
3. Apa yang dimaksud dengan Tabarruk?
4. Apa yang dimaksud dengan Siksa Kubur?
5. Apa yang dimaksud dengan Syafa’at?

1
2

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami seputar Tawassul.
2. Untuk mengetahui dan memahami yang dimaksud dengan
istighasah.
3. Untuk mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan
tabarruk.
4. Untuk memahami dan mengetahui apa yang dimaksud siksa
kubur.
5. Untuk memahami dan mengetahui apa yang dimaksud dengan
syafa’at.
BAB II

PEMBAHASAN
A. TAWASSUL
Tawassul adalah kata yang berasal dari bahasa arab terdahulu,
disebutkan didalam Al-Qur’an, Hadis, tutur kata bangsa Arab, puisi, prosa,
yang artinya menginginkan sesuatu dengan penuh kemauan.

Menurut etimologi Bahasa Arab, kata Tawassul adalah bentuk kata


benda abstrak dari kata kerja “tawassala yatawassalu”, artinya mengambil
perantara yang bisa mengantarkan kepada yang dituju yaitu Allah SWT.
Makna asalnya yaitu meminta permohonan yang diinginkan. Tawassul adalah
mengambil perantara. Sedangkan wasilah itu adalah segala sesuatu yang
membantu agar keinginan bisa terpenuhi.1

Pengertian tawasul menurut istilah syara’ yaitu sebuah ibadah yang


dimaksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah SWT dan surga-Nya. Oleh
karena itu, kita dapat katakan bahwa semua jenis ibadah adalah wasilah
(perantara) untuk menyelamatkan diri dari siksa api neraka. 2 Sebagaimana
Fieman Allah dalam Surat Al-Isra’ ayat 57 :

ِ ِ ِ َّ ِ‫أُوٰلَئ‬
‫ك‬ َ ‫ب َو َي ْر ُج و َن َرمْح َتَهُۥ َوخَيَافُو َن َع َذابَهُٓۥ إِن ََّع َذ‬
َ ِّ‫اب َرب‬ ُ ‫ين يَ ْدعُو َن َيْبَتغُو َن إِىَل ٰ َرهِّب ُم ٱلْ َوس يلَةَ أَيُّ ُه ْم أَق َْر‬
َ ‫ك ٱلذ‬ َ

‫ورا‬
ً ‫َكا َن حَمْ ُذ‬

Artinya : Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan
kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat
(kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan

1
Abu Anas Ali bin Husain Abu Lauz, Kupas Tuntas Tentang Tawassul (Jakarta:
Darus Sunnah, n.d.).
2
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani & Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsmani, Shahih Tawassul (Akbar Media, n.d.).

3
4

azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus)


ditakuti.

Intinya Tawasul adalah salah satu jalan dari berbagai jalan tadzorru’
kepada Allah. Sedangkan Wasilah adalah setiap sesuatu yang dijadikan oleh
Allah SWT sebaga sabab untuk mendekatkan diri kepadanya.

Tawasul dibagi menjadi 2 macam, yaitu tawasul yang disyariatkan dan


tawasul yang dilarang.

1. Tawasul yang disyariatkan

Yaitu, tawasul yang mempergunakan wasilah yang ada


tuntunannya dalam syariat, dan hal tersebut dibagi menjadi beber
apa bentuk :

a. Bertawasul kepada Allah dengan Asmanya


b. Bertawasul kepada Allah dengan sifat-sifatnya
c. Bertawasul kepada Allah dengan perbuatannya
d. Bertawasul kepada Allah dengan beriman kepadaNya
e. Bertawasul kepada Allah dengan kondisi orang berdoa
f. Bertawasul kepada Allah dengan doa orang sholih yang
diharapkan doanya terkabul
g. Bertawasul kepada Allah dengan amal-amal sholih
2. Tawasul yang dilarang

Yaitu, tawasul yang menggunakan wasilah yang tidak ada


dalam syariat, hal ini dibagi menjadi dua bentuk :

a. Tawasul yang menggunakan wasilah yang tidak memenuhi


standart syariat
b. Tawasul orang-orang musyrik dengan berhala dan patung-
patung mereka, dan tawasul orang-orang bodoh dengan
wali-wali mereka.3
3
Ibid, hal.26
5

D. ISTIGHASAH
Kata “istighotsah” berasal dari “al-ghouts” yang berarti
pertolongan. Dalam tata bahasa Arab kalimat yang mengikuti pola
(wazan) “istaf’ala” atau “istif’al” menunjukkan arti pemintaan atau
pemohonan. Maka istighotsah berarti meminta pertolongan. Seperti kata
ghufron yang berarti ampunan ketika diikutkan pola istif’al menjadi
istighfar yang berarti memohon ampunan. Jadi istighotsah berarti
“thalabul ghouts” atau meminta pertolongan.4
Istighosah merupakan kumpulan doa-doa, Istighosah dibaca
dengan menghubungkan diri pribadi kepada Tuhan yang berisikan
kehendak dan permohonan kepada-Nya serta di dalamnya diminta
bantuan tokoh-tokoh populer dalam amal sholeh.5 Istighotsah adalah
meminta pertolongan ketika keadaan sukar dan sulit.
Istighosah adalah meminta pertolongan ketika keadaan sukar
dan sulit. Yang dimaksud dengan Istighosah dalam munjid fil lughoh
wa a’alam adalah mengharapkan pertolongan dan kemenangan.
Sedangkan menurut Barmawie Umari bahwa Istighosah adalah do’a-
do’a sufi yang dibaca dengan menghubungkan diri pribadi kepada
Tuhan yang berisikan kehendak dan permohonan yang didalamnya
diminta bantuan tokoh-tokoh yang populer dalam amal salehnya.6
Dalam surat Al-Anfal ayat 9 disebutkan:
ِ ِ ِ ِ ‫ْف ِم ن ال‬ ٍ ‫اس تَ ج اب لَ ُك مْ أَ يِّن مُمِ ُّد ُك مْ بِ أَل‬ َ ُ‫إِ ذْ تَ ْس تَ غِ يث‬
َ‫ْم اَل ئ َك ة ُم ْر د ف ني‬
َ َ َ َ ْ َ‫ون َر بَّ ُك مْ ف‬

Artinya : (Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada


Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan

4
Muhammad Asrori, Pengertian dan Bancaan Dalam Istighosah, Jurnal Tausyah,
Volume III, 2012. 1
5
Siti Rahma, Pengaruh Kegiatan Istighosah Terhadap Pembentukan Akhlak Siswa
Di SMP Darussalam Tambak Madu Surabaya, Surabaya: 2011. 15
6
Barmawie Umari, Sistematika Tasawwuf. Solo: Romadloni, 1993. 174
6

mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang


datang berturut-turut.
Ayat ini menjelaskan peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW
memohon bantuan dari Allah SWT, saat itu beliau berada di tengah
berkecamuknya perang badar dimana kekuatan musuh tiga kali lipat
lebih besar dari pasukan Islam. Kemudian Allah mengabulkan
permohonan Nabi dengan memberi bantuan pasukan tambahan berupa
seribu pasukan malaikat. Dalam surat Al-Ahqaf ayat 17 telah
disebutkan:
ْ‫ون ِم ن‬
ُ ‫ْق ُر‬ ْ ‫ُف لَ ُك َم ا أَتَ عِ َد انِ يِن أ‬
ِ َ‫َن أُخْ ر ج و قَ ْد خ ل‬
ُ ‫ت ال‬ ِ ‫ال لِ و الِ َد‬
ٍّ ‫يْه أ‬ ِ َّ
َ َ َ َ َ َ َ‫َو ال ذ ي ق‬
ُ ‫ْد اللَّ ِه َح ٌّق َف َي ُق‬
‫ول َم ا َٰه َذ ا إِ اَّل‬ ِ ‫ك‬
َ ‫آم ْن إِ َّن َو ع‬ ِ َ‫َق بْلِ ي و مُه ا ي ْس تَ غِ يث‬
َ َ‫ان اللَّ هَ َو يْل‬ َ َ َ
ِ ِ ‫أ‬
َ‫َس اط ريُ ا أْل َ َّو ل ني‬
َ
Artinya : Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis
bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku
bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa
umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan
kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah!
Sesungguhnya janji Allah adalah benar". Lalu dia berkata: "Ini tidak lain
hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka".
Maksud dari ayat di atas adalah Istighosah dalam hal ini adalah
memohon pertolongan Allah atas kedurhakaan sang anak dan
keengganannya meyakini hari kebangkitan, dan tidak ada cara lain yang
dapat ditempuh oleh keduanya untuk menyadarkan sang anak kecuali
memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dari kedua cuplikan ayat ini barangkali dapat disimpulkan bahwa
istighotsah adalah memohon pertolongan dari Allah SWT untuk
terwujudnya sebuah “keajaiban” atau sesuatu yang paling tidak dianggap
tidak mudah untuk diwujudkan. Istighotsah sebenarnya sama dengan
berdoa akan tetapi bila disebutkan kata istighotsah konotasinya lebih dari
7

sekedar berdoa, karena yang dimohon dalam istighotsah adalah bukan hal
yang biasa biasa saja. Oleh karena itu, istighotsah sering dilakukan secara
kolektif dan biasanya dimulai dengan wirid-wirid tertentu, terutama
istighfar, sehingga Allah SWT berkenan mengabulkan permohonan itu.

E. TABARRUK
Adalah mengambil berkah dari tempat-tempat tertentu, barang-
barang peninggalan, dan dari orang-orang baik yang masih hidup
ataupun yang sudah meninggal. Dan ini merupakan salah satu bentuk
dari watsaniyah (pengabdian terhadap mahluk) dan juga dijadikan
jaringan bisnis untuk mendapatkan uang dari orang-orang awam.
Tabarruk artinya memohon berkah dan berkah artinya tetapnya
dan bertambahnya kebaikan yang ada pada sesuatu. Dan memohon
tetap dan bertambahnya kebaikan tidaklah mungkin bisa diharapkan
kecuali dari yang memiliki dan mampu untuk itu dan dia adalah Allah
SWT. Allah-lah yang menurunkan berkah dan mengekalkannya.
Adapun mahluk, dia tidak mampu menetapkan dan mengekalkannya.
Maka, praktek tabarruk dari tempat-tempat tertentu, barang-barang
peninggalan dan orang-orang baik, baik yang hidup ataupun yang sudah
meninggal tidak boleh dilakukan karena praktek ini bisa termasuk syirik
bila ada keyakinan bahwa barang-barang tersebut dapat memberikan
berkah, atau termasuk media menuju syirik, bila ada keyakinan bahwa
menziarahi barang-barang tersebut, memegangnya dan mengusapnya
merupakan penyebab untuk mendapatkan berkah dari AllahSWT.
Adapun tabarruk yang dilakukan para sahabat dengan rambut,
ludah dan sesuatu yang terpisah/terlepas dari tubuh Rasulullah SAW,
sebagaimana disinggung terdahulu, hal tersebut hanya khusus
Rasulullah di masa hidup beliau dan saat beliau berada di antara mereka
dengan dalil bahwa para sahabat tidak bertabarruk dengan bekas kamar
dan kuburan beliau setelah wafat. Mereka juga tidak pergi ke tempat-
tempat shalat atau tempat-tempat duduk untuk bertabarruk, apalagi
kuburan-kuburan para wali. Mereka juga tidak ber-tabarruk dari orang-
8

orang shalih seperti Abu Bakar ra., Umar ra. dan yang lainnya dari para
sahabat yang mulia. Baik semasa hidup ataupun setelah meninggal.
Mereka tidak pergi ke Gua Hira untuk shalat dan berdo’a di situ, dan
tidak pula ke tempat-tempat lainnya, seperti gunung-gunung yang
katanya disana terdapat kuburan nabi-nabi dan lain sebagainya, tidak
pula ke tempat yang dibangun di atas peninggalan Nabi SAW.
Selain itu, tidak ada seorang pun dari ulama salaf yang
mengusap-ngusap dan mencium tempat-tempat shalat Nabi Muhammad
SAW, di Madinah ataupun di Makkah. Apabila tempat yang pernah di
injak kaki Rasulullah SAW yang mulia dan juga dipakai untuk shalat,
tidak ada syari’at yang mengajarkan umat beliau untuk mengusap-
ngusap atau menciuminya, maka bagaimana bisa dijadikan hujjah untuk
tabarruk, dengan mengatakan bahwa (si fulan yang wali) bukan lagi
Rasulullah SAW yang pernah shalat atau tidur disana ? Para ulama
telah mengetahui secara pasti berdasarkan dalil-dalil dari syariat Islam,
bahwa menciumi dan mengusap-ngusap sesuatu untuk ber-tabarruk
tidaklah termasuk syariat Rasulullah SAW”.7

F. SIKSA KUBUR
Ada tiga pemahaman umat Islam tentang siksa kubur:
1) Tidak mempercayainya, seperti dipahami golongan Mu’tazilah,
Khawarij, Hizbut Tahrir dan sebagian Ikhwan al-Muslimun
2) Mempercayainya sebagai bagian hari akhir dengan catatan menafikan
pertolongan orang lain termasuk syafaat Nabi, seperti dianut
kelompok Salafi.
3) mempercayainya sebagai pintu/fase sebelum kiamat, dengan catatan
meyakini adanya pertolongan orang lain seperti doa dan sedekah dari
anak dan keluarga, sanak famili serta syafaat Nabi. Pandangan ini
dipegang kelompok Sunni pada umumnya.

7
Nashir bin ’Abdurrahman bin Muhammad Al-Juda’i, Tabarruk Memburu Berkah
(Yogyakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, n.d.).
9

Kelompok pertama berdalil sesuai QS. Al-Baqarah: 28, Ghafur:


11 dan Yasiin: Menurut mereka manusia dihidupkan dua kali dan
dimatikan dua kali adalah sekali hidup di dunia dan sekali di akhirat.
Begitupun dimatikan dua kali maksudnya fase sebelum hidup di dunia
dan sesudah meninggalkan dunia. Oleh sebab itu mereka menolak
pandangan dibangkitkannya manusia untuk ditanyai malaikat Munkar-
Nakir serta menerima kenikmatan dan siksa di alam kubur.8

Kelompok kedua berdalil menggunakan QS Ghafir: 46, QS al-


Buruuj: 10, QS. Al-Taubat: 101, dan QS. Nuuh: 25 . Dalam QS. al-
Buruuj: 10 disebut dua jenis siksa yakni Jahannam (di akhirat) dan hariq
(di kuburan) yang diperkuat dengan adanya dua siksa seperti dijelaskan
QS. Al-Taubat: 101. Dalam QS. Nuuh: 25 juga digunakan kalimat “lalu
dimasukkan neraka.” Kata “lalu” menunjukkan langsung sehingga orang
yang tak beriman dan banyak dosanya langsung dimasukkan neraka
tanpa menunggu hari kiamat. Dalam ayat itu juga dijelaskan bahwa
mereka tidak menemukan penolong, sehingga menurut kelompok Salafi
tidak ada yang dapat menolong terkecuali amalnya sendiri sewaktu hidup
di dunia.

Sedangkan kelompok ketiga berdalil seperti kelompok kedua.


Bedanya mereka meyakini masih ada pertolongan dan syafaat. Umumnya
mereka menggunakan dalil berupa hadis Rasulullah yang mutawatir.
Salah satunya adalah hadis yang menjelaskan pengalaman sahabat
bersama Rasulullah SAW ketika melewati dua kuburan yang sedang
disiksa penghuninya. Penghuni kuburan pertama disiksa sebab
kencingnya tidak tuntas sehingga mengotori pakaiannya untuk beribadah.
Satunya lagi karena suka mengadu domba. Lalu Rasulullah SAW
memintakan ampun kepada Allah seraya meletakkan pelepah kurma di

8
Ibnu Rajab Al-Hambali, Dahsyatnya Siksa Kubur (Yogyakarta: Pustaka at-Tazkia,
n.d.).
10

atas dua pusara itu. Menurut al-Qasthalani dalam kitab Irsyad al-Sari jilid
dua halaman 462 hadis serupa banyak dan mutawatir.

Bagi golongan ahlussunah wal Jamaah, iman terhadap


kenikmatan dan siksa kubur termasuk iman kepada segala sesuatu yang
gaib. Jadi, walaupun dalam rukun iman tidak tercantum, dan hanya
disebut iman kepada hari akhir, akan tetapi dalam QS. Al-Baqarah: 3
disebut ciri orang bertakwa yang pertama ialah iman kepada segala
sesuatu yang gaib.

Pertanyaan malaikat Munkar-Nakir, beserta kenikmatan dan siksa


kubur adalah urusan gaib. Mengaku manusia bertaqwa berarti harus
mengimaninya: Iman secara utuh sesuai yang diajarkan paham
Ahlussunah wal Jamaah.

G. SYAFA’AT
Secara harfiah, syafaat berarti pertolongan yang diberikan oleh
seseorang kepada orang lain yang mengharapkan pertolongannya usaha
dalam memberikan suatu manfaat dan mudharat bagi orang lain.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang
artinya,"Barangsiapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia
akan memperoleh bagian (pahala) daripadanya. Dan barangsiapa yang
memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa)
daripadanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS An Nisaa
[4]:85).
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-
Asy'aru dikatakan jika Nabi Muhammad SAW kedatangan seseorang
yang berhajat (berkepentingan), beliau berkata kepada para
sahabat,"Berilah syafaat (pertolongan) supaya kamu mendapat pahala
dan Allah akan memutuskan melalui lidah nabi-Nya apa yang Dia
kehendaki."
Istilah syafaat terkenal di kalangan ahli kalam. Dalam kalam,
syafaat berarti pertolongan yang diberikan Nabi SAW kepada umatnya
11

di hari kiamat untuk mendapatkan keringanan atau kebebasan dari


hukuman Allah SWT. Syafaat itu hanya akan berhasil apabila Allah
SWT memberikannya akan mengizinkannya.
Allah SWT berfirman yang artinya,"...siapakah yang dapat
memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya." (QS Al-Baqarah [2]:255)
"Pada hari itu (hari kiamat) tidak berguna syafaat, kecuali
(syafaat) orang yang Allah Yang Maha Pemurah telah memberikan
memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya." (QS
Thaha [20]:109) dan, "Katakanlah, hanya kepunyaan Allah syafaat itu
semuanya.."(QS Az-Zumar [39]:44).
Izin yang diberikan Allah kepada Rasulullah untuk memberikan
syafaat kepada siapa yang dikehendaki-Nya itu telah diyakini oleh umat
Islam. Imam Nawawi berpendapat bahwa hal ini telah menjadi keyakinan
mazhab ahlusunah wal jamaah karena dapat diterima oleh akal dan
berdasar nash yang jelas.
Lebih jauh, Imam Nawawi mengatakan ada lima macam syafaat,
yaitu:
(1). Syafaat yang khusus bagi Nabi Muhammad SAW yakni adanya
kelapangan di hari kiamat dan segera diadakannya perhitungan (hisab)
bagi umatnya.
(2). Syafaat berupa masuknya suatu kaum ke dalam surga tanpa
perhitungan.
(3). Syafaat yang diberikan pada mereka yang seharusnya masuk neraka,
tetapi karena syafaat Nabi SAW dengan izin Allah, mereka selamat.
(4). Syafaat bagi mereka yang berdosa dan telah masuk dalam neraka,
namun karena syafaat dari Nabi SAW mereka dikeluarkan dari sana, dan
(5). Syafaat berupa peningkatan derajat bagi penghuni surga.9

9
Syaikh Ja’lar Subhani, Adakah Syafa’at Dalam Islam? Antara Pro Dan Kontra
(Pustaka Hidayah, 2012).
12
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Tawassul adalah kata yang berasal dari bahasa arab terdahulu,
disebutkan didalam Al-Qur’an, Hadis, tutur kata bangsa Arab, puisi,
prosa, yang artinya menginginkan sesuatu dengan penuh kemauan.
Istighosah merupakan kumpulan doa-doa, Istighosah dibaca
dengan menghubungkan diri pribadi kepada Tuhan yang berisikan
kehendak dan permohonan kepada-Nya serta di dalamnya diminta
bantuan tokoh-tokoh populer dalam amal sholeh.
Tabarruk adalah mengambil berkah dari tempat-tempat tertentu,
barang-barang peninggalan, dan dari orang-orang baik yang masih
hidup ataupun yang sudah meninggal. Dan ini merupakan salah satu
bentuk dari watsaniyah (pengabdian terhadap mahluk) dan juga
dijadikan jaringan bisnis untuk mendapatkan uang dari orang-orang
awam.

golongan ahlussunah wal Jamaah, iman terhadap kenikmatan dan


siksa kubur termasuk iman kepada segala sesuatu yang gaib. Jadi,
walaupun dalam rukun iman tidak tercantum, dan hanya disebut iman
kepada hari akhir, akan tetapi dalam QS. Al-Baqarah: 3 disebut ciri orang
bertakwa yang pertama ialah iman kepada segala sesuatu yang gaib.

Syafa’at secara harfiah, syafaat berarti pertolongan yang


diberikan oleh seseorang kepada orang lain yang mengharapkan
pertolongannya usaha dalam memberikan suatu manfaat dan mudharat
bagi orang lain.

13
14

H. Saran
Dalam penyusunan makalah ini penulis berharap kepada pembaca
untuk memberi motivasi kepada penulis dalam bentuk apapun, agar
dilain waktu penulis dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan pada
makalah ini. Untuk makalah selanjutnya penulis dapat membuat dan
merikan makalah yang lebih baik lagi agar pembaca mendapat inspirasi
dan pengetahuan dari makalah yang disusun penulis sebagaimana
semestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hambali, Ibnu Rajab. Dahsyatnya Siksa Kubur. Yogyakarta: Pustaka at-
Tazkia, n.d.

Al-Juda’i, Nashir bin ’Abdurrahman bin Muhammad. Tabarruk Memburu


Berkah. Yogyakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, n.d.

Al-Utsmani, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani & Syaikh


Muhammad bin Shalih. Shahih Tawassul. Akbar Media, n.d.

Lauz, Abu Anas Ali bin Husain Abu. Kupas Tuntas Tentang Tawassul.
Jakarta: Darus Sunnah, n.d.

Subhani, Syaikh Ja’lar. Adakah Syafa’at Dalam Islam? Antara Pro Dan
Kontra. Pustaka Hidayah, 2012.

Asrori Muhammad. Pengertian dan Bancaan Dalam Istighosah. Jurnal


Tausyah. Volume III, 2012.
Rahma Siti. Pengaruh Kegiatan Istighosah Terhadap Pembentukan Akhlak
Siswa Di SMP Darussalam Tambak Madu Surabaya. Surabaya:
2011.
Umari Barmawie. Sistematika Tasawwuf. Solo: Romadloni, 1993.

15

Anda mungkin juga menyukai