Anda di halaman 1dari 173

KebudayaanMelayu;

Mewariskan Tradisi dan Merekonstruksi Masa Depan

Oleh:
Amrizal
Sri Kamaliasari

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


BENGKALIS
2020
2

KEBUDAYAAN MELAYU; SUATU TINJAUAN TEORETIS

A. Pengertian Kebudayaan

KEBUDAYAAN tak bisa dipisahkan dari manusia, karena manusia yang


menciptakannya dengan kekuatan akal pikiran yang dimilikinya. Itulah
sebabnyakebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau
akal. Hal ini sejalan dengan makna kebudayaan secara etimologisyang menurut
sebagian pakarberasal dari bahasa Sansekerta Buddhayah yang merupakan
bentuk jamak dari kata buddhiyang berarti budhi atau akal. Tapi pendapat ini
dibantah oleh JWM Bakker SJ yang menyatakan bahwa kata Buddhayah dalam
bahasa Sansekerta tidak dipakai untuk pengertian kebudayaan. Arti kata
Buddhayah itu sebenarnya akal-akalan ataupun kata jenaka. Kata yang paling
mungkin sebagai derivasi kebudayaan adalah Abhyudaya. Perubahan bentuk
kata itu menjadi budaya dapat dipertanggungjawabkan. Arti kataAbhyudaya
menegaskan hasil yang baik, kemajuan, kemakmuran yang serba lengkap yang
dipakai dalam kitab Dharmasutra1
Dalam pengertian yang lebih luas dan dalam, kebudayaan didefinisikan oleh
para ahlisangat beragam sesuai dengan sudut pandang mereka masing-masing.
E.B Taylor (1871), seorang profesor antropolog dari Inggris mendefinisikan
kebudayaan adalah: ......is that complex whole which includes knowledges,
belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by
man as a member of society2(kumpulan yang kompleks dari pengetahuan,
kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan setiap kemampuan
lainnyaatau kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat). Cifford Geertz (1973) meringkas definisi kebudayaan berdasarkan
pendapat Clyde Kulckhohn:

...In some twenty seven pages of his chapter on culture, Kulckhohn managed to
define culture in turn as: (1) the total way of life of the people; (2) the social legacy
the individual acquires from his group; (3) a way of thinking, feeling and believing;
(4) an abtraction from behavior; (5) theory on the part of anthropologist about the
way in which a group of people in fact behave; (6) a store house of pooled learning;
(7) a set of standardized orientations to recurrent problems: (8) learned behavior;
(9) a mechanism for the normative regulation of behavior; (10) a set of techniques

1
JWM Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Kanisius, 1984), h.32
2
Edward Burnett Taylor, Primitive Culture; Research into the Development of Mythology,
Philosophy, Religion, Language, Art and Custom, ( New York: Dover Publication, 2016), h.1
3

for adjusting both to external environment and to other men; (11) a precipitate of
history and turning perhaps in desperation, to similes, as a map, asieve, and as
matrix.3

Kebudayaan itu merupakan total cara hidup manusia, warisan sosial yang
diperoleh individu dari kelompoknya, cara berpikir, merasa dan berkeyakinan,
gambaran prilaku, teori yang pada bagian tertentu para antropolog menjelaskan
tentang cara sekelompok orang berprilaku sesungguhnya, seperti gudang
pengumpulan apa-apa yang dipelajari, seperangkat orientasi kehidupan yang
sudah distandarisasi berulang-ulang untuk menyelesaikan masalah, belajar
berprilaku, seperangkat teknik untuk menyesuaikan diri baik dengan lingkungan
eksternal maupun dengan orang lain, endapan sejarah, pemetaan prilaku,
saringan atau matriks.
Almaney dan Alwan (1982) menyebutkan bahwa kebudayaan mencakup tiga
kategori yang disebut dengan the ingredientsof culture:
A.J. Almaney and A.J. Alwan have suggested three primary ingredients to any
culture-artifacts, concepts, and behaviors.. An artifact is any physical object made
or modified by human that has utility or meaning such as a book, money. A concept
is any notion, idea, or construct such as religious beliefs, values, ideas of right and
rong, and ethics. A behavior is any physical action that refer to actual practice any
of the concepts of the culture, such as communicating with others, driving a car,
dancing.4
Unsur utama kebudayaan itu adalah artefak, konsep dan prilaku. Artefak
adalah benda yang dibuat atau dimodifikasi oleh manusia yang memiliki
kegunaan dan makna, seperti buku dan uang. Konsep adalah gagasan, ide atau
pemikiran, seperti kepercayaan, nilai, ide benar atau salah dan etika. Dan prilaku
adalah aktivitas fisik yang merujuk kepada praktek nyata dari konsep-konsep
kebudayaan.
Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. 5 Sedangkan Selo Soemardjan
(1964) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta
masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan
kebendaan (material culture) yang diperlukan manusia untuk menguasai alam
sekitarnya. Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah-kaedah
dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakat
dalam arti luas. Sedangkan cipta merupakan kemampuan mental (berpikir),
menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Cipta merupakan, baik yang
3
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures sebagaimana dikutip Martine Lejeune, Culture A
Philosophical Perspective, (Netherlands: Garant-Publisher, 2016), h.21
4
A.J. Almaney and A.J. Alwan, Communication with the Arabs sebagaimana dikutip Randy Fujishin,
Creating Communication, Exploring and expanding Your Fundamental Communications Skills
(Maryland: Acada Books, 200), h.65
5
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h.180
4

berwujud teori murni, maupun yang telah disusun untuk langsung diamalkan
dalam kehidupan masyarakat.6
Selain itu, Irwan Abdullah, yang mengutip pendapat Clifford Geertz,
memaknai kebudayaan itu adalah sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang
diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara itu manusia dapat
berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya
terhadap kehidupan.7 Lebih lanjut menurutnya kebudayaan merupakan blue
print yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidup manusia.Ia menjadi
pedoman dalam tingkah laku.
Sejalan dengan Koentjaraningrat, UU Hamidy menjelaskan kebudayaan itu
bisa dimaknai sebagai kata benda dan bisa juga sebagai kata kerja. Kebudayaan
sebagai kata benda dipahami bahwa kebudayaan itu berwujud benda-benda.
Dalam pengertian ini menurutnya, kebudayaan pada prinsipnya sebanding
dengan hasil tingkah laku binatang yang bisa menciptakan sarang, benang sutra,
madu, lilin, mutiara dan sebagainya.Pada tingkat kebudayaan yang bersifat
ruhaniah, seperti menyangkut solidaritas, kasih sayang, tanggung jawab dan
kepemimpinan, manusia juga belum tentu dapat dikatakan melebihi binatang.
Karena seekor induk ayam memilili tanggung jawab terhadap anaknya,
solidaritas bermacam kawanan binatang, seperti gajah, mesranya kawanan
semut dan kepemimpinan kawanan hewan. Manusia telah membuat bermacam-
macam peraturan dan undang-undang serta berbagai sanksi yang berat namun
tetap kandas mendapatkan masyarakat yang aman dan sejahtera. Sedangkan
kebudayaan yang dimaknai sebagai kata kerja terbuka peluang kepada manusia
untuk membentuk dirinya dan mengembangkan kemampuan jasmani dan
ruhaninya sehingga ia tampak sebagai makhluk yang kreatif yang berbeda
dengan binatang yang relatif tidak berubah oleh potensi dirinya, baik
berhadapan dengan ruang maupun waktu. Dengan kreatifitas atau tangan lasak
bersamaan dengan imajinasi yang kaya, maka manusia telah berubah ketika
berhadapan dengan ruang dan waktu. inilah yang telah membuat manusia
mempunyai sejarah yang tidak dimiliki oleh binatang. 8
Dari beberapa pengertian kebudayaan yang dikemukakan sebelumnya dapat
dipahami bahwa kebudayaan mencakup semuanya yang didapatkan atau
dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Ia terdiri dari segala
sesuatu yang dipelajari dari pola-pola prilaku yang normatif artinya mencakup
segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan, dan bertindak. Kebudayaan
merupakan hasil olah pikir, rasa dan fisik manusia yang melahirkan ide, gagasan
dan konsep, tingkah laku atau aktifitas yang terpola (terarah) dan benda-benda.
Dalam pengertian lain kebudayaan adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan manusia (masyarakat) yang meliputi aspek pengetahuan, kepercayaan,
keseniaan, teknologi, moral, hukum, adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang

6
Soerjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: RajaGrapindo Persada, 2006), h.151
7
Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.1
8
UU. Hamidy, Kebudayaan sebagai Amanah Tuhan, (Pekanbaru: UIR Press, 2009), h. 1-2
5

menjadi identitas suatu masyarakat dan menjadi acuan dalam perjalanan hidup
manusia.
Kebudayaan pada awalnya terbentuk sebagai hasil dari proses adaptasi dan
interaksi antara manusia dan alam. Tantangan-tantangan yang muncul dari alam
sekitar tempatmanusia tinggal membuat mereka harus berpikir keras untuk
menaklukannya atau melakukan penyesuaian dengannya. Selain itu, didorong
oleh semangat untuk melanjutkan kehidupan, manusia harus melakukan sesuatu
yang dengannya membuat mereka bisa bertahan. Tantangan dan kondisi alam
antara satu kelompok masyarakat dan kelompok masyarakat lainnya berbeda-
beda. Kenyataan ini membuat kebudayaan suatu masyarakat berbeda dengan
masyarakat lainnya. Meskipun demikian, kalau diamati lebih dalam lagi, ide-ide
besarnya memiliki kesamaan hanya tampilan budayanya saja yang tidak sama.
Kalau dilihat dari unsur-unsurnya, kebudayaan terdiri-dari peralatan dan
perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata, alat-alat produksi, transportasi dan sebagainya), mata pencahariaan
hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi,
sistem distribusi dan sebagainya), sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan,
organisai politik, sistem hukum, sistem perkawinan), bahasa (lisan maupun
tulisan), kesenian, sistem pengetahuan, religi (sistem kepercayaan).

B. Asal Usul dan Makna Melayu

MELAYU menurut UU. Hamidy (2011) berasal dari kata mala yang berarti
bermula dan yu yang berarti negeri seperti dinisbahkan kepada kata Ganggayu
yang berarti negeri Gangga. Pendapat ini dihubungkan dengan cerita rakyat
Melayu yang paling luas dikenal, yaitu cerita Si Kelambai atau Sang Kelambai.
Dalam cerita itu disebutkan berbagai negeri, patung, gua dan ukiran dan
sebagainya yang dihuni atau disentuh Si Kelambai semuanya akan mendapat
keajaiban. Ini memberikan petunjuk bahwa negeri yang mula-mula dihuni orang
Melayu pada zaman purba itu telah mempunyai peradaban yang cukup tinggi. 9
Ada juga yang berpendapat kata Melayu atau Melayurberasal dari bahasa Tamil
yang berarti tanah tinggi atau bukit, di samping kata Melayu yang berarti hujan.
Ini bersesuaian dengan negeri-negeri orang Melayu pada awalnya terletak pada
perbukitan, seperti tersebut dalam sejarah Melayu, Bukit Siguntang Mahameru.
Negeri ini dikenal sebagai negeri yang banyak mendapat hujan karena terletak
antara dua benua, yaitu Asia dan Australia. Selanjutnya dalam bahasa Jawa, kata
Melayu berarti lari atau berjalan cepat. Lalu dikenal pula ada sungai Melayu,
diantaranya dekat Johor dan Bangkahulu. Semua istilah dan perkataan itu dapat
dirangkum, sehingga Melayu dapat diartikan sebagai suatu negeri yang mula-
mula didiami, dan mendapat banyak hujan. 10Negeri itu dibangun di atas

9
UU. Hamidy, Jagad Melayu dalam Lintas Budaya di Riau, (Pekanbaru: Bilik Kreatif Press, 2011),
h.3
10
Maliha Aziz dan Asril, Sejarah Kebudayaan Melayu. (Pekanbaru: Cendekia Insani. 2007). h. 7
6

perbukitan, dilalui oleh sungai, yang diberi pula nama sungai Melayu. Mereka
membuat negeri di atas bukit karena ada pencairan es kutub Utara yang
menyebabkan sejumlah daratan atau pulau yang rendah jadi terendam oleh air.
Banjir dari es kutub Utara itu lebih dikenal dengan banjir atau topan Nabi Nuh.
Untuk menghindari banjir itu mereka berlarian mencari tempat yang tinggi
(bukit) lalu disitulah mereka membuat negeri.
Istilah Melayu itu baru dikenal sekitar tahun 644 Masehi, melalui tulisan Cina
yang menyebutnya dengan kata Mo-lo-yeu. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa
Mo-lo-yeu mengirimkan utusan ke Cina, membawa barang hasil bumi untuk
dipersembahkan kepada kaisar Cina. Jadi, kata Melayu menjadi nama sebuah
kerajaan dewasa itu. Perdebatanterjadi di kalangan para ahli mengenai
lokasikerajaan yang bernama Melayu itu. Tapi banyak yang berpendapat bahwa
kerajaan itu berada di Jambi sekarang ini.
Wiliam Marsden, F.R.S menyebut orang Malayo atau Melayu adalah
penduduk yang tinggal di pesisir semenanjung dan di pulau-pulau lainnya. lebih
lanjut Marsden menyatakan nama Melayu juga digunakan untuk pemeluk Islam
yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa utamanya serta para
keturunan kerajaan kuno Minangkabau di manapun mereka tinggal. Orang-orang
Melayu mendiami hampir semua hulu sungai yang bisa dilayari karena lebih
mempermudah cara hidup mereka sebagai pedagang. Patut diperhatikan bahwa
penyebutan umum istilah Melayu (Malay), seperti halnya Moor di Benua Hindia,
hampir serupa maknanya dengan kaum Muhammad. Ketika penduduk asli di
wilayah lain belajar membaca huruf Arab, melaksanakan khitan, dan
menjalankan upacara keagamaan, mereka lebih sering mengatakan sudah
menjadi Malayo (Melayu) daripada mengatakan kalimat yang lebih tepat, yaitu
sudah masuk Islam.11
Asal usul zuriat Melayu sebagaimana dikisahkan dalam cerita-cerita klasik
orang-orang Melayu berasal dari Raja Iskandar, anak Raja Darab, Rom
bangsanya, Makaduniah nama negerinya, Zul Karnain gelarannya. Ia menikah
dengan :Puteri Syahrul Bariyah, anak Raja Kida Hindi 12 tapi pendapat ini dianggap
tidak terlalu kuat dan diragukan validitasnya karena bersumberkan dari hikayat-
hikayat yang kental akan nuansa mitologisnya. Meskipun demikian hikayat ini
oleh masyarakat Melayu secara turun temurun tetap diangkat sebagai fakta dan
bahan rujukan dalam penulisan oleh penulis-penulis Melayu selanjutnya,
termasuk oleh penulis asing seperti Netscher.13
Kata “manusia” dan “orang” dalam percakapan sehari-hari, sering tak
dibedakan. Kata manusia sebenarnya ditujukan kepada tipe atau bentuk

11
Wiliam Marsden, F.R.S, Sejarah Sumatera, The History of Sumatra, terj (Yogyakarta: Indoliterasi,
2016) h.63
12
A.Samad Ahmad, Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1986), h. 4
13
Suwardi, MS, Dari Melayu ke Indonesia: Peranan Kebudayaan Melayu dalam Memperkokoh
Identitas dan Jati Diri Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.18
7

makhluk. Sedangkan kata orang ditujukan pada penampilan budaya. 14 Ketika kita
lihat suatu masyarakat berbeda budaya dengan kita, maka kita sebut orang
asing. Atas dasar itu kemudian dikenal sebutan orang Melayu, orang Jawa, orang
Aceh dan lain-lain. Sementara itu, masih ada kata puak yakni pecahan (bagian)
suku bangsa atau etnis, misalnya puak Melayu Riau, puak Melayu Kampar, puak
Melayu Indragiri dan sebagainya.15
Pengertian orang Melayu dapat dibedakan atas beberapa kategori atau
ketentuan, yaitu Melayu Tua (Proto Melayu) dan Melayu Muda (Deutro Melayu).
Disebut Melayu Tua (Proto Melayu) karena inilah gelombang perantau Melayu
pertama yang berasal dari Yunnan, Selatan China datang ke kepulauan Melayu
ini. Leluhur Melayu Tua ini diperkirakan tiba oleh para ahli arkeolog dan sejarah
sekitar tahun 3000-2500 SM. Mereka membawa kebudayaan Neolitik (batu
baru).Sedangkan Melayu Muda (Deutro Melayu) diperkirakan tiba antara 1500-
300 SM. Yang membawa kebudayaan logam. 16Pendapat lain mengatakan bahwa
penduduk asli Asia Tenggara adalah orang Australoid 17 dan Veddoid18. Kemudian
barulah datang orang negrito dan Melanesoid. Ketiga-tiga kelompok ini hidup
pada zaman Mesolitik. Kelompokterakhir yang datang pada zaman Neolitik kira-
kira antara tahun 2500 SM dan 1500 SM adalah orang Indonesia atau
Austronesia mereka yang berasal dari penduduk Indo-China dan Selatan China. 19
Pada masa kini pemakaian istilah Proto Melayu dan Deutro Melayu oleh ahli
antropologi fisik dianggap kurang relevan lagi. Melalui kajian biologi genetik.
Istilah yang paling sesuai digunakan terhadap mereka adalah Mongoloid Selatan.
Mereka datang ke rantau ini dari selatan China atau utara Asia Tenggara, hingga
mendesak penduduk asal dari golongan Australo-Melanesia dan Negrito.20
Keturunan Melayu Tua terkesan amat tradisional, karena mereka sangat
teguh sekali memegang adat dan tradisinya. Sementara itu, alam pikiran mereka
masih sederhana dan kehidupan mereka sangat ditentukan oleh faktor alam.
Perkampungan puak Melayu tua jauh terpencil di pedalaman. Sedangkan Melayu
Muda lebih suka mendiami daerah pantai yang ramai disinggahi perantau dan
daerah aliran sungai-sungai besar yang menjadi lalu lintas perdagangan. Karena
itu mereka bersifat lebih terbuka dari Melayu Tua. 21

14
UU Hamidy, Jagad Melayu dalam Lintas Budaya di Riau......, h.4
15
Ibid.
16
Abdul Rahman Hj. Abdullah, Membongkar Sejarah Pemerintahan Islam di Alam Melayu,
(Selangor: Hijjaz Records Publishing, 2019), h..17
17
Pernah dipakai dulu untuk menunjuk fenotipe umum dari sebagian besar penghuni bagian
selatan India, Sri Lanka, beberapa kelompok di Asia
Tenggara, Papua,kepulauan Melanesia dan Australiadengan ciri khas utama berambut keriting
hitam dan kulit hitam.https://id.wikipedia.org/wiki/Ras_Australoid
18
Ras ini dikabarkan berasal dari India bagian selatan yang memilki tubuh kecil, berkulit cokelat,
rambut hitam kasar dan berombak, hidung pesek dan muka kasarhttps://materiips.com/ciri-ciri-
ras-veddoid
19
Ibid., h. 18
20
Ibid.
21
Ibid.
8

Rumpun Melayu-Austronesia, Melayu-Polinesia, dan Melayu-Melanesia


sering disebut dalam pembahasan tentang konsep Melayu. Austronesia berasal
dari bahasa latin yang bermakna “Kepulauan Selatan”. Istilah ini dipakai untuk
menyebut rumpun bahasa yang pemakainya tersebar di Asia Tenggara, Oceania,
Madagaskar, Taiwan, Suriname, Tonga, New Zealand, Tahiti, hingga Hawaii.
Polinesia berasal dari bahasa Jerman yang bermakna “gugusan banyak pulau”
yang digunakan pertama kali oleh Wilhelm von Humbold pada tahun 1834. Istilah
ini dirujuk bagi para penuturnya yang tersebar dari Madagaskar di Barat, lalu ke
Kepulauan Melayu dan sebagian Asia Tenggara, sampai ke pulau Easter di Timur
(Pasifik). Melanesia berasal dari bahasa Yunani yang bermakna “pulau hitam”.
Istilah ini dipakai oleh penjajah Perancis, Jules Dument d’Urville pada tahun 1832
yang merujuk kepada kawasan dari Pasifik Barat hingga laut Arafura dan terus ke
Australia, Fiji, Papua New Guinea, Indonesia, Kepulauan Solomon, Vanuatu, New
Caledonia, Maluku dan Nusa Tenggara.22
Dari penjelasan terkait konsep Melayu sebelumnya, dipahami bahwa
batasan wilayah Melayu ternyata sangat luas;, tidak hanya meliputi Semenanjung
Melayu saja di kawasan Asia Tenggara tapi sampai ke Selandia Baru dan
Madagaskar. Hal ini dikarenakan sesuai dengan naluri masyarakat, apalagi
kecenderungan raja (penguasa) Melayuyang cenderung berlayar (melakukan
ekspansi) dan banyak melakukan persinggahan sehinggakomunitas Melayupun
berkembang dengan pesat sampai ke seantero dunia.
Setelah Islam masuk dan berkembang di kawasan Melayu, definisi Melayu
menjadi semakin spesifik tidak hanya meliputi aspek budaya saja tapi juga
agama. Islam menjadi identitas yang melekat pada diri orang-orang Melayu.
Sehubungan dengan itu, ciri orang Melayu itu adalah beragama Islam, beradat-
istiadat dan berbahasa Melayu.23 Atas dasar ini, Melayu bisa dimaknai dalam dua
pengertian, yaitu dalam arti suku dan dalam arti bangsa. Dalam arti suku, suku
Melayu berbeda dengan suku-suku lainnya yang ada dari sisi tampilan
budayanya. Sedangkan dalam arti bangsa (nation), Melayu merupakan suatu
bangsa yang diikat oleh identitas Islam. Ketika suatu bangsa beragama Islam,
maka mereka dianggap sebagai bagian dari bangsa Melayu.
Berdasarkan beberapa pengertian dan penjelasan tentang kebudayaan dan
asal muasal Melayu sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan kebudayaan Melayu adalah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat
Melayu yang meliputi aspek kepercayaan, pengetahuan dan teknologi, sistem
moral dan nilai, sistem hukum, sistem kemasyarakatan,sistem ekonomi, bahasa
dan kesusateraan, keseniaan, adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan dengan
Islam sebagai identitasnya.

C. Batasan Melayu

22
Ibid., h. x
23
Suwardi, MS, Dari Melayu ke Indonesia: Peranan Kebudayaan Melayu dalam Memperkokoh
Identitas dan Jati Diri Bangsa ....h.20
9

Melayu yang dimaksud dalam pembahasan buku ini adalah Melayu dalam
pengertian bangsa [nation] yang wilayahnya meliputi Semenanjung Melayu di
kawasan Asia Tenggara sampai ke Selandia Baru dan Madagaskar yang leluhur
mereka berasal dari negeri Yunnan, Selatan Chinadengan ciri utama adalah
beragama Islam, beradat-istiadat dan berbahasa Melayu.
Sehubungan dengan itu, tinjauan kebudayaan Melayu yang disajikan dalam
buku ini berangkat dari gambaran-gambaran mengenai kebudayaan masyarakat
Melayu secara umum terlebih dahulu kemudian baru dilihat kebudayaan
masyarakat Melayu dalam konteks lokal khususnya Riau. Pendekatan ini diambil
mengingat kebudayaan Melayu sebenarnya memiliki kesamaan dari aspek ide-
ide dan gagasan-gagasan universalnya. Nuansa perbedaan baru tampak pada
tampilan-tampilan kebudayaan masyarakat dalam konteks lokalnya.

PERIODESASI BUDAYA MELAYU

SEJARAH berjalan dari masa lalu ke masa kini dan melanjutkan


perjalanannya ke masa depan. Dalam perjalanan suatu fase sejarah selalu
mengalami pasang surut dalam interval yang berbeda-beda. Mempelajari sejarah
yang sudah berjalanan cukup panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan jika
tidak dibagi ke dalam beberapa periode. Setiap periode merupakan satu
komponen yang mempunyai ciri-ciri khusus dan merupakan satu kebulatan
untuk satu jangka waktu. Periodesasi sejarah dimaksudkan untuk memudahkan
dalam memahami tahapan sejarah dan keterkaitan serta perkembangannya.
Para pengkaji sejarah, ketika menjelaskan periodesasi sejarah manusia dan
kebudayaannya, menggunakan kategori yang bermacam-macam tergantung dari
sudut pandang keilmuannya. Para antropolog dan arkeolog misalnya lebih
tertarik untuk memotretsejarah dan kebudayaan manusia dari sudut pandang
pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan berupa artefak-artefak purbala.
Thomsen (1788-1865) seorang kurator Musium Denmark membagi periodesasi
ke dalam tiga zaman (three-age system), yaitu zaman batu, zaman logam, dan
zaman besi. Sedangkan Sir John Lubbock (1934) membagi kepada empat zaman,
yaitu zaman Paleolitik, zaman Neolitik, zaman Logam dan zaman Besi. Hodder
Westrop (1866) membagi kepada tiga zaman, yaitu zaman paleolitik, zaman
mesolitik dan zaman Kainolitik.24 Masing-masin periode zaman merefleksikan

24
Abdul Rahman Hj. Abdullah, Membongkar Sejarah Pemerintahan Islam di Alam Melayu...h. 4-6
10

kebudayaan yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan


teknologi yang dihasilkan.
Ada juga pakar yang melihat perkembangan sejarah manusia dan
kebudayaannya berdasarkan teori asal usul dan evolusi agamanya yang bermula
dari keyakinan animisme-dinamisme hingga sampai kepada monoteisme.
Diantaranya Edward .B. Taylor (1832-1917) yang menjelaskan perkembangan
masyarakat manusia ke dalam tiga kategori, yaitu Savageri, Barbarisme dan
Tamadun. Sejalan dengan Taylor, Lewis Henry Morgan (1818-1881) membagi ke
dalam tujuh zaman, yaitu Savageri rendah, Savageri pertengahan, Savageri tinggi,
Barbarisme rendah, barbarisme pertengahan, barbarisme tinggi dan tamadun. 25
Merujuk pada pandangan Edward .B. Taylor (1832-1917) dalam melihat
perkembangan manusia dan sejarah kebudayaannya, periodesasi sejarah
kebudayaan Melayu bisa dibagi dalam tiga zaman, yaitu era animisme dan
dinamisme, era Hindu-Budha dan era Islam.

A. Era Animisme dan Dinamisme

Era animisme dan dinamisme merupakan fase awal kehidupan orang-orang


Melayu sejak pertama kali datang ke wilayah nusantara sampai kedatangan
agama Hindu Budha. Fase ini ditandai dengan adanya sistem sosial yang
dibangun atas dasar kepercayaan yang muncul dengan sendirinya sebagai hasil
dari proses adaptasi dan interaksi dengan lingkungan (alam) dimana mereka
tinggal.
Masyarakat Melayu pada saat itu hidup dalam kesederhanaan dalam
berbagai aspek, baik aspek materi maupun aspek kepercayaan. Pada dasarnya
hidup mereka tergantung pada alam yang ada di sekitar mereka sebab alamlah
satu-satunya sumber kehidupan. Karena itu, bagi mereka alam merupakan faktor
yang sangat dominan. Namun, alam yang mereka dambakan itu kadang-kadang
tidak bersahabat. Air yang selama ini mereka anggap sangat bermanfaat bagi
kehidupan, tiba-tiba mendatangkan bencana, seperti banjir, yang menyebabkan
tanah longsor. Tanah yang selama ini menyuburkan tanaman, tiba-tiba
bergoyang dan menghancurkan harta benda bahkan tidak sedikit yang
merenggut nyawa manusia.
Hal seperti itulah yang menimbulkan suatu kepercayaan dalam diri mereka
bahwa alam memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan manusia. Kekuatan itu
tidak tampak dan liar, tetapi memiliki pengaruh dalam kehidupan mereka.
Kekuatan itu diasumsikan dengan roh. Untuk membujuk agar roh tersebut tidak
marah, maka dipersembahkan sesajian atau perngorbanan tertentu. 26
Kepercayaan yang disebutkan terakhir itu dinamakan animisme, yaitu
kepercayaan kepada roh atau jiwa. Dalam kepercayaan animis, semua alam
dipenuhi roh-roh yang tidak terhingga banyaknya, tidak saja manusia atau

25
Ibid., h. 7-8
26
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007 Hlm. 58
11

binatang, tetapi benda-benda yang tidak hidup juga memiliki roh, seperti tulang
dan batu.Dari sini kemudian muncul kepercayaan bahwa setiap benda yang ada
di sekeliling manusia mempunyai kekuatan misterius. Kekuatan misterius (gaib)
itu biasanya disebut mana. Dalam bahasa Indonesia disebut tuah. Inilah yang
disebutkan dengan kepercayaan dinamisme.
Mana ini mempunyai lima sifat, yaitu berkekuatan, tidak dapat dilihat, tidak
mempunyai tempat yang tetap, pada dasarnya tidak mesti baik dan tidak juga
buruk, serta terkadang bisa dikontrol, terkadang tidak bisa dikontrol. Mana
dengan demikian tidak bisa dilihat, yang bisa dilihat adalah efeknya. Mana tak
ubahnya seperti arus atau daya yang ada pada listrik. Arusnya tidak kelihatan,
tetapi efeknya jelas, yaitu cahaya.27
Mana terdapat dalam segala apa yang mempunyai efek besar dan yang
menarik perhatian. Kayu yang tidak bisa dibakar memiliki mana. Singa yang
mempunyai kekuatan luar biasa memiliki mana. Manusia juga memiliki mana,
seperti seorang perwira yang selalu menang dalam peperangan dan anak yang
genius. Orang-orang semacam ini memiliki mana sekaligus dihormati. Lagi pula,
orang yang di masa hidupnya memiliki mana, maka setelah dia mati, dia
disembah agar mana-nya bisa membantu si penyembah.
Kepercayaan animisme dan dinamisme ini kemudian melahirkan serangkaian
upacara ritual atau tradisi yang pada intinya berisi pemujaan sekaligus
permohonan kepada roh-roh atau makhluk halus yang ada di alam semesta agar
tidak mengganggu masyarakat sehingga mereka bisa menjalani kehidupan
dengan tenang dan aman. Upacara ritual tersebut biasanya dilaksanakan di
tempat-tempat tertentu pada waktu-waktu tertentu pula baik di daerah daratan
maupun di daerah lautan dengan mempersembahkan sesajian berupa benda-
benda tertentu atau penganan yang merupakan hasil bumi.
Yang memimpin ritual ini adalah tokoh-tokoh tradisi yang memiliki sebutan
yang berbeda-beda di sejumlah tempat, ada yang mengistilahkan bomo, ada
dukun, ada pawang, atau kemantan. Tokoh-tokoh tradisi ini dianggap sebagai
orang-orang yang bisa menjembatani masyarakat untuk berkomunikasi dengan
makhluk halus yang kasat mata. Mereka juga biasanya melakukan praktek
pengobatan bagi masyarakat yang menderita sakit. Dalam masyarakat
tradisional, penyakit selalu dimaknai sebagai akibat dari gangguan makhluk halus
atau roh-roh jahat sehingga pengobatannya harus ditangani oleh tokoh-tokoh
tradisi.
Dari uraian terdahulu, dipahami bahwa pada era animisme dan dinamisme
belum dikenal konsep ketuhanan yang jelas. Dalam bahasa Rahmat Subagya,
sebagaimana dikutip Alwi Shihab, sistem kepercayaan animisme dan dinamisme
itu merupakan agama asli yang berisi konsep-konsep ketuhanan dalam
masyarakat primitif yang secara internal tumbuh, berkembang, dan mencapai
kesempurnaannya sendiri tanpa imitasi atau pengaruh eksternal.28Agama tersebut
27
Ibid., h.59
28
Alwi Shihab, Islam Sufistik, Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 2001), hlm. I
12

menurutnya tidak jauh berbeda dengan agama-agama berhala yang melakukan


pemujaan atas dasar pandangan bersahaja terhadap penomena-penomena alam.
Para pengikut agama ini mempercayai adanya Ruh Tuhan yang mengalir dalam
setiap makhluk, kekuatan tubuh sesuai dengan kapasitas Ruh Tuhan yang
mengalir di dalamnya sehingga di antara mereka ada yang memuja dan
mengkultuskan leluhur atas dasar keyakinan bahwa ruh leluhur lebih kuat dari ruh
mereka sendiri. Bahkan ada yang menyembah binatang buas, di samping karena
rasa takut juga atas kepercayaan bahwa rasa takut itu merupakan indikasi adanya
Ruh Tuhan yang membuat tubuh binatang-binatang tersebut menakutkan.Menurut
penelitian Antony Reid, kepercayaan kepada roh-roh leluhur itu bersifat lokalistik
artinya roh-roh leluhur itu memiliki keterbatasan teritorial dalam memberikan
jaminan keamanan dan keselamatan bagi para pemujanya. 29 Kenyataan ini
mengakibatkan mereka merasa was-was dan khawatir di saat bepergian
meninggalkan kampung halaman mereka karena keamanan dan keselamatan
mereka tidak ada jaminan lagi.
Literatur tentang sejarah Melayu menyebut kepercayaan animisme dan
dinamisme ini dianut oleh baik gelombang perantau Melayu tua atau Proto
Melayu (3000-2500 SM) maupun gelombang perantau Melayu Muda atau
Deutro Melayu (1500-300 SM.). Hanya saja kultur mereka saja yang agak
berbeda. Keturunan Melayu tua terkesan sangat tradisional karena mereka
sangat teguh sekali memegang adat dan tradisi. Pemegang teraju adat Patih,
Batin dan Datuk Kaya, sangat besar sekali peranannya dalam mengatur lalu lintas
kehidupan. Sementara itu, alam pikiran yang masih sederhana dan kehidupan
yang sangat ditentukan oleh faktor alam, telah menyebabkan munculnya tokoh
tradisi seperti dukun, bomo, pawang dan kemantan. Para tokoh ini diharapkan
dapat membuat hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam.30
Perkampungan Melayu tua jauh terpencil di pedalaman. Ini barangkali
karena mereka ingin menjaga kelestarian adat dan resam (tradisi) mereka. sifat
mereka agak tertutup. Mata pencaharian mereka rata-rata berburu dan
bercocok tanam. Sedangkan Melayu muda kebanyakan tinggal dan menetap di
daerah pantai yang ramai disinggahi perantau dan daerah aliran sungai-sungai
besar yang menjadi lalu lintas perdagangan. Karena itu Melayu muda bersifat
lebih terbuka sehingga mudah terjadi pembauran dengan suku-suku lain
sehingga membuka peluang untuk menyerap nilai-nilai budaya luar. 31
Era Animisme dan dinamisme yang ditandai dengan kehidupan yang sangat
tergantung faktor alam dan sangat teguh memegang adat dan tradisi ini
berlangsung sangat lama sampai pada akhirnya kawasan nusantara ini disinggahi
oleh para perantau dari India yang menyebarkan agama Hindu-Budha.

B. Era Hindu Budha

29
Antony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta, 2004, h. 120
30
UU. Hamidy, Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau,.....h.4
31
Ibid., h. 5
13

Era Hindu-Budha dimulai sejak masuknya agama tersebut yang dibawa oleh
para pedagang India pada abad ke-3 S.M yang berhasil menyebarkannya di
kepulauan Nusantara, sehingga berdiri kerajaan Budha terbesar di Asia Tenggara,
yakni kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan yang wilayah kekuasaannya
meliputi Jawa, Sumatera, dan Melayu tempat terdapatnya Universitas Nalanda
yang terkenal memiliki reputasi dunia dalam Buddhisme dan dikunjungi
cendikiawan dan mahasiswa dari Asia. 32Menurut versi lain, penyebaran agama
Hindu-Budha juga dilakukan penduduk tempatan. Pendapat ini dipegang oleh J.C.
van Leur yang mendasarkan pada bukti arkeologi yang banyak menunjukkan
unsur local genius atau penyesuaian antara penerimaan pengaruh kebudayaan
India dan pelestarian tradisi sendiri.33
Hindu-Buddha mengalami perkembangan pesat hingga lahirnya negara-
negara di Sumatera dan Jawa sejak abad pertama dan kedua Hijriah, yang
memiliki keterkaitan dengan kedua agama itu. Peradaban Hindu tetap melaju
dalam kemajuan selama kurang lebih tujuh abad. Pada periode ini lahir seni
kreasi orang-orang Jawa-Indonesia yang berhasil membangun Candi Borobudur
yang indah dan berdiri kokoh di Magelang, Jawa Tengah, hingga kini sebagai
karya monumental orang-orang Budha di negeri ini.
Sejak dahulu bangsa Indonesia memiliki kecenderungan sinkretis, yaitu
menggabungkan agama Hindu dan Buddha sebagai agama yang kemudian
menjadi inspirasi berdirinya Kerajaan Majapahit (1293-1478 M). Raja
Kartanegara yang terkenal dari Kerajaan Singosari (1276-1292) disebut sebagai
agama Shiwa Buddha. Sebuah kerajaan yang terbilang paling besar dalam sejarah
Indonesia, bahkan kekuasaannya meluas hingga ke pulau-pulau Filipina,
Semenanjung Melayu, dan sebagian kecil Indo-Cina. Namun, dengan wafatnya
Raja Terakhir, Hayam Wuruk kerajaan mulai mengalami kemunduran untuk
kemudian hancur sama sekali.34
Kebudayaan Hindu-Budha yang eksis lebih kurang tujuh abad sangat
mempengaruhi kehidupan masyarakat di nusantara. Pengaruh itu meliputi
berbagai aspek, yaitu dalam bidang sosial, terjadi bentuk perubahan dalam tata
kehidupan sosial masyarakat yang menganut sistem kasta (kelas-kelas sosial).
Kasta Brahmana sebagai perlambang mulut ialah golongan para ahli agama dan
ilmu pengetahuan. Golongan ini paling dihormati dan biasanya menjadi
penasehat raja.Kasta Ksatria sebagai perlambang lengan ialah golongan ningrat
dan para prajurit. Golongan inilah yang memegang kekuasaan dan menjalankan
pemerintahan.Kasta Waisya sebagai perlambang paha ialah golongan
pengusaha, pedagang, dan petani. Mereka merupakan golongan yang berusaha,
mengeluarkan keringat untuk menghasilkan perbekalan yang diperlukan oleh
semua golongan.Kasta Sudra sebagai perlambang kaki terdiri atas orang-orang
dravida yang masuk kedalam masyarakat Aria dan berkedudukan sebagai hamba
sahaya. Dalam bidang budaya dan sastra ditandai dengan berkembangnya
32
Alwi Shihab, Islam Sufistik, Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia....., h. 3
33
Abdul Rahman Hj. Abdullah, Membongkar Sejarah Pemerintahan Islam di Alam Melayu...h.33
34
Ibid.
14

arsitektur bangunan yang megah berupa candi-candi dan berkembangnya karya


sastra seperti hikayat, babad dan wayang.Seperti yang terkenal kisah Ramayana
dan Mahabharata yang kebanyakan ide-ide ceritanya menurut Naquib al-attas
bercorak estetis yang kental mitologis. 35Selain itu, di bidang bahasa dikenalnya
aksara Sanskerta yang kemudian menjadi aksara jawa kuno, “kawi” selanjutnya
membentuk huruf abjad bahasa-bahasa yang berkembang dalam suku lainnya,
seperti bahasa Sunda, Madura dan lain-lain.
Kebudayaan Hindu yang berkembang di Asia Tenggara bercorak elitis.
Karena itu, dikatakan pengaruh kebudayaan India hanya terbatas pada
lingkungan istana saja sedangkan rakyat jelata umumnya tidak tersentuh dan
tetap kekal dengan kebudayaan asalnya. Dalam pengertian lain, pada lapisan
atas saja yang berubah kepada corak Hindu, sementara pada lapisan bawahnya
masih meneruskan tradisi pribumi. Keadaan yang sama juga terjadi pada agama
Budha, dimana tokoh-tokohnya dari kalangan tempatan telah mendalami
pengetahuan agama mereka dari India. Tetapi dari sisi pengaruhnya keadaannya
agak berbeda dimana penyebaran agama Budha di seluruh dunia lebih tertumpu
kepada rakyat jelata. Universitas Nalanda menjadi bukti bahwa agama Budha
memberikan ruang bagi masyarakat tempatan dari berbagai kawasan di Asia
Tenggara untuk mempelajari agama Budha.
Sifat elitisme Hindu dan sifat kerakyatan Budha itu kelihatan berbeda,
namun dalam prakteknya kedua-dua agama ini tidaklah bergerak sendirian
malahan saling berkerjasama dan bersatu hingga mewujudkan semacam agama
dan budaya sinkretis, yaitu agama atau budaya campuran unsur India dan juga
unsur tempatan.36
Sistem kepercayaan Hindu-Budha dalam batas-batas tertentu sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan sistem kepercayaan animisme-dinamisme yang
dianut oleh masyarakat pribumi sebelumnya. Keduanya sama-sama berakar pada
alam pikiran leluhur, yang kemudian diberi muatan mitos sehingga bermuatan
spiritual. Nuansa mitologis ini sangat terasa dalam kultur masyarakat Hindu-
Buddha sebagaimana tercermin dalam kesusastraan mereka, seperti hikayat,
babad, dan wayang. Kisah-kisah yang dituangkan di dalamnya selalu menyajikan
sosok-sosok manusia yang memiliki kekuatan atau kesaktian luar biasa yang bisa
melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan manusia pada umumnya.Meskipun
demikian, Hindu-Budha sudah memiliki konspe ketuhanan yang jelas tapi
bercorak poleteistik.
Tradisi Hindu-Buddha selalu mengasosiasikan raja sebagai sosok yang sakti
mandraguna. Ia memiliki divinity aura karena ia dianggap sebagai titisan dewa di
muka bumi. Kepercayaan ini menempatkan raja dan keturunannya sebagai
orang-orang yang memiliki kedudukan mulia dan terhormat.Perkembangan
ajaran Hindu semakin kental dan menguat di tanah Melayu pasca berdirinya
kerajaan-kerajaan Hindu. Kalau sebelumnya dalam masyarakat tradisional

35
Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1991), h. 76
36
Abdul Rahman Hj. Abdullah, Membongkar Sejarah Pemerintahan Islam di Alam Melayu...h.37
15

pribumi, sistem kekuasaan itu bersifat lokalistik dibawah kepemimpinan kepala


suku (batin) masing-masing puak, tapi setelah beridirinya kerajaan, sistem politik
sudah bersifat sentralistik dimana masing-masing puak takluk di bawah
kekuasaan raja.

C. Era Islam

Islam diperkirakan sampai ke kawasan Melayu nusantara menurut satu


pendapat pada abad VII M37, tepatnya pada tahun 30 H atau 651 M, yaitu pada
masa Khalifah Usman bin Affan. Khalifah pernah mengirim delegasi ke Cina untuk
memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang
memakan waktu empat tahun ini, para utusan Usman sempat singgah di
Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti
Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di Pantai Barat Sumatera. Inilah
perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan
pedagang Muslim terus berdatangan. Mereka membeli hasil bumi nusantara
sambil berdakwah.
Kemudian pada abad XI, Islam diperkirakan sudah memasuki wilayah pulau
Jawa. Yang dibuktikan dengan ditemukannya kompleks makam Islam di Gresik,
Jawa Timur yang salah satunya adalah Fatimah binti Maimun yang bertuliskan
angka 475 H/1082 M yang diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk
asli, melainkan para pedagang Arab.
Meskipun Islam diperkirakan sudah sampai jauh sebelumnya, perkembangan
secara massif baru terjadi pada abad 13 M yang ditandai dengan berdirinya
kesultanan Islam pertama di Indonesia, yaitu Samudera Pasai di Aceh
sebagaimana laporan perjalanan Marcopolo yang berkunjung ke wilayah ini
sebagai utusan imperium Cina tahun 1292 M dan juga Ibnu Batutah, pengembara
Muslim dari Maghribi yang ketika itu singgah di Aceh pada tahun 1345 M.
Sedangkan para pendakwah yangmenyebarkan Islam di Indonesia berasal
dari negeri yang beragam; pertama orang India, dengan argumentasi
kebudayaan India yang berakar dalam kehidupan masyarakat dan dinilai sebagai
kebudayaan pertama yang dikenal di wilayah ini. Jauh sebelum cahaya Islam
terpancar di Arab. Hubungan perdagangan dan maritim antara Indonesia dengan
India diperkirakan sudah terjalin sejak abad ke-2 yang tercermin dalam agama
Hindu. Snouck Hurgronje, Kern, Marrison berasumsi Islam tiba di Indonesia
dalam keadaan tidak murni lagi karena sudah dilakukan modifikasi di India.
Modifikasi itu menurut Johs masuknya unsur India-Persia atau unsur-unsur lokal
ke dalam ajaran-ajaran Islam. Coraknya bersifat mistik yang dianggap sesat dan
kepercayaan Syi’ah. Batu nisan di Indonesia seperti pada makam Maulana Malik
Ibrahim di Jawa Timur atau di Sumatera Utara semuanya mirip dengan buatan
Gujarat. Teori ini dibantah dengan argumentasi bahwa menentukan Gujarat

37
Saifullah, Sejarah & Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.
8
16

sebagai tempat asal Islam tidak tepat karena mazhab yang popular di Indonesia
Syafi’i padahal penduduk Malibar bermazhab Hanafi dan Syi’ah.
Kemudian orang Persia, dengan alasan di Sumatera Bagian Utara (Aceh)
terdapat perkampungan Persia sejak abad ke-15. Marrison menegaskan adanya
penggunaan suku kata bahasa Persia yang berkaitan dengan kehidupan Istana
dan raja-raja demikian pula halnya pada karya-karya kesusastraan dan cerita-
cerita rakyat. Di Samudera Pasai ada ulama, seperti Al-Qahdi Amir Sayyid Al-
syirazi yang asli Persia. Teori ini juga dikritik karena kontribusi pernyebaran itu
tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan dakwah yang dilakukan orang Arab.
Mengingat Persia sudah merupakan bagian dari kekhalifahan Islam. Muslim
Persia justru mempresentasikan peradaban Islam Arab.
Selanjutnya orang Arab, pendapat ini dipegang oleh van leur dengan
argumentasi ada perkampungan atau keluarga besar Arab di pantai barat
Sumatera sejak tahun 674 M. Teori Arab inilah yang banyak dipegang oleh para
Ahli Tamadun Islam termasuk Naquib al-Attas.Kemudian Cina, pendapat ini
berdasarkan bukti adanya perkampungan Muslim Cina di Semarang.
Terlepas adanya perbedaan pendapat tentang para pembawa Islam ke
nusantara, tak bisa dinafikan kesemuanya memiliki peran (sekecil apapun) dalam
penyebaran Islam di wilayah ini. Menurut Malik Bin Nabi, kebudayaan itu tidak
berdiri sendiri. Satu kebudayaan dipengaruhi oleh kebudayaan lainnya. Apalagi
pada waktu itu belum dikenal negara bangsa dan batas teritorial. Orang dapat
dengan mudah masuk dan keluar dari negara manapun. 38Karenanya kedua
pendapat tersebut bisa jadi ada benarnya. Pendapat yang mengatakan abad VII
barangkali Islam memang sudah sampai di kawasan ini tapi belum berkembang
luas. Baru kemudian pada abad XIII mengalami perkembangan yang diperkuat
lagi dengan keberadaan kesultanan Islam.
Perkembangan Islam di Indonesia mulai mencapai puncaknya di kawasan ini
pada abad ke-13 sampai abad ke-18 M. Hal ini ditandai dengan berdirinya
kesultanan-kesultanan Islam yang rata-rata merupakan konversi dari kerajaan-
kerajaan Hindu yang pernah ada sebelumnya.Di Indonesia kerajaan tersebut
dapat dibagi berdasarkan wilayah pusat pemerinntahannya, yaitu Sumatera,
Jawa, Maluku dan Sulawesi. Di Sumatera ada Kesultanan Samudera Pasai (abad
ke-13–abad ke-16), Kesultanan Aceh (Abad ke-16–Abad ke-20), Kesultanan
Inderapura (abad ke-16–abad ke-18), Kerajaan Melayu Jambi, Kesultanan Riau. Di
Jawa ada Kesultanan Demak (1500-1550), Kesultanan Banten (1524-1813),
Kesultanan Mataram (1586-1755) dan Kesultanan Cirebon ( sekitar abad ke-16).
Di Maluku ada Kesultanan Ternate (1257-....), Kesultanan Tidore (1110-1947),
Kesultanan Jailolo dan Kesultanan Bacan. Di Sulawesi ada Kesultanan Gowa (awal
abad ke-16 sampai 1667), Kesultanan Buton (1332-1911) dan Kesultanan Bone
(abad ke-17). Di Kalimantan ada Kesultanan Banjar (1526-1905) dan Kesultanan
Kutai Kartanegara ing Martapura.

38
Malik bin Nabi, Bayn al-Arrasyaa wa al-Tayyah,Musykilat al-Hadlarat, [Beirut: Dar al-Fikr, 2002],
h. 8
17

Kesultanan-kesultanan baru ini mengadopsi sepenuhnya sistem politik Islam


yang pada waktu itu berkiblat pada sistem politik yang ada pada Kesultanan Turki
Usmaniyah. Para ulama Islam memiliki peran yang sangat strategis dimana
mereka menempati posisi atau jabatan penting yang masuk dalam struktur
kekuasaan (pemerintahan). Jabatan itu diberinama Qadhi atau Mufti. Tugas dan
fungsi mereka adalah selaku penasehat spiritual raja dan menangani masalah-
masalah yang berkaitan dengan keagamaan yang ada di tengah-tengah
masyarakat.
Kekuatan politik tersebut mampu memperluas wilayah kekuasaan Islam ke
berbagai penjuru.Disamping itu, aktifitas dakwah Islamiyah berkembang pesat
dengan mengirimkan para ulama lokal ke daerah-daerah tertentu untuk
menyebarluaskan ajaran Islam. Kehadiran Islam mendapat sambutan luas dari
seluruh masyarakat yang pada perkembangan selanjutnya Islam menjadi
identitas budaya yang memiliki hubungan interkoneksi antara satu dan lainnya.

PENGARUH ISLAM TERHADAP KEBUDAYAAN MELAYU


18

PADA masa-masa awal sistem kemasyarakatan Melayu terbentuk dalam


lingkungan budaya yang sangat tradisional. Dimulai dari kehidupan keluarga yang
terbangun melalui sistem perkawinan yang terkesan sangat primitif. Dari sini
kemudian terciptalah puak-puak yang tinggal dan menetap secara terpisah di
satu kawasan. Puak-puak ini menyatu dalam satu ikatan kesukuan yang disebut
Melayu.
Masyarakat Melayu tradisional dipimpin oleh para pemimpin yang disebut
Patih, Batin atau Datuk. Mereka memiliki peran penting dalam mengatur lalu
lintas kehidupan dan menjaga adat dan tradisi mereka. Batin memiliki otoritas
penuh yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat baik menyangkut
urusan kepemimpinan, ritual, adat-istiadat dan urusan-urusan sosial
kemasyarakatan lainnya. Pemimpin tradisional ini dipilih atas dasar musyawarah
dan kesepakatan di kalangan mereka. Biasanya mereka yang dipilih adalah
orang-orang yang memiliki keberanian dan kelebihan tertentu. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa lingkungan tempat tinggal mereka sangat jauh
terpencil di belantara hutan yang sudah tentu banyak sekali tantangan yang
mengancam.
Sementara itu, alam pikiran yang masih sederhana dan kehidupan yang
sangat ditentukan oleh faktor alam, telah menyebabkan munculnya tokoh
tradisi, seperti dukun, bomo, pawang dan kemantan. Peran para tokoh ini
diharapkan dapat membuat hubungan yang harmonis antara manusia dengan
alam. Mereka percaya bahwa laut, tanjung, tanah, pohon, ikan, burung dan
binatang liar dihuni atau dikawal oleh makhluk halus yang kemampuannya
melebihi kemampuan manusia.
Kehidupan sosial mereka diatur berdasarkan sistem nilai yang dibangun oleh
para tetua mereka. Sistem nilai ini tidak hanya berkaitan dengan tata prilaku di
kalangan anggota masyarakat tapi juga berkaitan dengan hubungan manusia dan
alam sekitar. Dari sini kemudian muncul kearifan lokal atau pantang larang yang
harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat agar kehidupan mereka berjalan
dengan tertib, aman dan harmonis. Bagi yang melanggar sistem nilai ini akan
mendapat sanksi yang akan ditentukan oleh orang-orang patut di kalangan
mereka.
Kehadiran Hindu-Budha di tanah Melayu telah membawa perubahan
terhadap sistem kemasyarakatan dan pola kepemimpinan dalam masyarakat
Melayu tradisional. Kalau sebelumnya Batin, Patih atau Datuk memiliki hak
otonomi penuh untuk mengatur wilayah kesukuannya, di masa Hindu-Budha
kekuasaan mereka menjadi terbatas dan takluk pada kerajaan-kerajaan Hindu-
Budha. Langkah ini diambil oleh mereka demi jaminan keamanan dan
keselamatan bagi para anggota suku mereka.
Kehidupan masyarakat Melayu awal yang dipengaruhi oleh faktor alam
melahirkan sistem pengetahuan dan teknologi yang sangat bersifat tradisional.
Pengetahuan dan teknologi itu terbangun hasil dari proses adaptasi dan interaksi
dengan alam. Kebutuhan mereka akan tempat tinggal sebagai tempat berteduh
19

dari panas dan hujan membuat mereka mencari tahu bahan-bahan apa saja yang
bisa digunakan untuk membangun rumah-rumah mereka. Dari sini kemudian
mereka menciptakan alat-alat, seperti kapak gengam untuk menebang pohon
atau keperluan lainnya untuk membangun tempat tinggal mereka. Kebutuhan
akan makanan sebagai penyambung kehidupan mereka membuat mereka
mencari tahu makanan-makanan apa saja yang bisa mereka makan. Dari sini
kemudian mereka menciptakan alat-alat, seperti tombak untuk berburu
binatang, atau lukah untuk menangkap ikan. Kebutuhan untuk bercocok tanam
membuat mereka mencari tahu bagaimana cara mengolah tanah atau lahan
untuk berkebun.Dari sini kemudian mereka menciptakan alat-alat pertanian,
seperti cangkul, parang dan lainnya. Keperluan mereka untuk berpergian dari
satu tempat ke tempat lainnya melewati sungai atau laut membuat mereka
mencari tahu bagaimana cara menyeberangi sungai atau laut. Dari sini kemudian
mereka menciptakan alat-alat transportasi, seperti rakit, perahu dan kapal.
Pengetahuan dan teknologi ini terus berkembang dari masa ke masa
sehingga bentuknya mengalami peningkatan dan perubahan siqnifikasn.
Perkembangan ini terjadi sebagai hasil dari proses interaksi dan kontak dengan
kelompok masyarakat lainnya yang berasal dari lintas suku dan budaya. Proses
interaksi dan kontak dengan kelompok masyarakat lain tersebut membuat
mereka mendapatkan pengetahuan dan teknologi yang tidak mereka miliki
sebelumnya.
Kehadiran Islam di kawasan Melayubisa diterima dengan baik oleh
penduduk tempatan. Tidak ditemukan catatan konflik yang siqnifikan dalam
penyebaran Islam di wilayah ini. Padahal secara sosiologis, seperti dikemukakan
oleh Soejono Soekanto sistem kepercayaan, seperti ideologi, falsafah hidup dan
lain-lain adalah unsur kebudayaan yang sulit diterima oleh suatu masyarakat. 39
Karena sifat dasar dan karakteristik dari suatu masyarakat senantiasa akan
mencurigai ideologi asing yang masuk dalam kelompok mereka. Proses
penerimaan ideologi baru di suatu masyarakat pasti akan menimbulkan gesekan-
gesekan sosial meskipun terjadi dalam intensitas yang kecil.
Penerimaan Islam secara damai ini secara umum disebabkan oleh dua
faktor, yaitu faktor ajaran Islam dan faktor pendakwah Islam. Dari sisi ajaran,
Islam mengajarkan teologi yang bersifat universal. Berbeda dengan masyarakat
tempatan ketika itu menganut teologi yang bersifat lokalistik. Inilah yang menjadi
alasan bagi Antony Reid kenapa Islam diterima secara massif di nusantara.
Masyarakat pribumi pada waktu itu menganut teologi animisme-dinamisme, di
mana roh nenek moyang memiliki keterbatasan teritorial dalam memberikan
perlindungan dan keamanan kepada para penganutnya. Kehadiran Islam mampu
memberikan jawaban atas kekhawatiran dan ketakutan mereka terutama sekali
pada saat mereka bepergian meninggalkan kampung halaman. 40 Selain itu, ajaran
Islam tidak membeda-bedakan manusia dan menolak kelas-kelas sosial. Dalam
39
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, RajaGrafindo Persada, Ed. Baru, Jakarta, 2006,
h. 169
40
Antony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara........, h. 121
20

pandangan Islam semua manusia sama di hadapan Allah swt, yang membedakan
mereka adalah tingkat ketakwaan mereka. Ajaran ini membuat rakyat jelata yang
sudah lama hidup dalam kultur Hindu-Budha sangat tertarik karena selama ini
secara politik dan ekonomi, mereka termasuk kelas yang tidak beruntung.
Kemudian ajaran Islam menekankan tradisi intelektualisme daripada mitologis.
Tradisi intelektualisme Islam ini dicatat dengan baik oleh Azyumardi Azra yang
berhasil melacak ada jaringan intelektual antara ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara pada abad XVII dan XVIII.41 Selain itu tradisi sastra yang
berkembang di dunia Islam menggambarkan suatu corak intelektualisme yang
tinggi. Hal ini berbeda dengan sastra Hindu yang bercorak estetis yang kental
dengan mitologis.42 Selanjutnya, Islam dari sisi ajarannya tidak memberatkan
kepada pemeluknya dalam melaksanakan kewajiban. Mereka diberikan tanggung
jawab keagamaan sesuai dengan kemampuan mereka.
Dari sisi pendakwah Islam, para ulama yang datang ke wilayah nusantara
tidak membumi hanguskan semua adat dan tradisi masyarakat tempatan. Adat
dan tradisi tersebut ditapis; mana yang bersesuaian dengan Islam dipertahankan
dan mana yang bersalahan dibuang. Kenyataan ini membuat masyarakat
tempatan yang memeluk Islam ketika itu tidak merasa kehilangan identitas
budaya mereka.Kenyataan inilah yang mendasari kenapa dalam praktek
keagamaan muslim di nusantara ditemukan akulturasi antara nilai-nilai Islam dan
nilai-nilai budaya. Pada perkembangan berikutnya muncul sterotip negatif yang
menyatakan bahwa Islam di nusantara adalah “Islam Periferal” 43. Kesimpulan ini
diambil setelah dilakukan pengamatan ternyata praktek Islam yang ada di
kawasan nusantara dipandang telah menyimpang dari great tradition (tradisi
besar) yang berpusat di Timur Tengah. Praktek Islam di nusantara kental dengan
nuansa mitologis, klenik dan sinkretik. Banyak kemudian muncul hipotesis
absurd yang mendiskripsikan seolah-olah Islam tidak berhasil memberikan
pengaruh yang siqnifikan terhadap sistem kepercayaan dan budaya lokal. Dan
dalam sistem sosial masyarakat, dinilai yang paling menonjol sebenarnya adalah
kekuatan adat sementara Islam hanya merupakan unsur terkecil di dalamnya.
Ilmuwan Barat yang mengkaji Islam awal banyak yang sependapat dengan
kesimpulan di atas. Di antaranya London berpendapat bahwa Islam di Nusantara

41
Lebih lanjut baca Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994)
42
Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung:Mizan, Cet. III,
1984)h. 32
43
Islam Periferal adalah Islam pinggiran, Islam yang jauh dari bentuk “asli” yang terdapat dan
berkembang di Timur Tengah. Dengan kata lain Islam di Asia Tenggara bukanlah “Islam yang
sebenarnya” sebagaimana berkembang dan ditemukan di Timur Tengah. Islam Asia Tenggara
dalam pandangan ini, adalah Islam yang berkembang dengan sendirinya, bercampur baur dengan
dan didominasi oleh budaya dan sistem kepercayaan lokal, yang tak jarang tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Inti pandangan ini adalah bahwa “Islam sebenarnya” hanyalah Islam Timur Tengah,
atau lebih sempit lagi, Islam Arab, bukan Islam di Asia Tenggara, atau di wilayah-wilayah lain,
seperti di Asia Selatan atau Afrika. Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah
Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h.5
21

hanyalah lapisan tipis di atas kebudayaan lokal. Senada dengan London, Van Leur
menyatakan bahwa Islam di nusantara merupakan lapisan tipis yang mudah
mengelupas dalam timbunan budaya setempat. Tak cukup sampai disitu, Van
Leur menambahkan pendapatnya bahwa terhadap Indonesia, Islam tidak
membawa pembaruan sepotongpun ke tingkat perkembangan lebih tinggi, baik
secara sosial, ekonomi maupun pada dataran negara dan perdagangan.
Selanjutnya bagi Winstedt, pengaruh apapun yang ditanamkan Islam sangat
terbatas dan itupun sudah bercampur aduk dengan kepercayaan Hindu-Budha. 44
Pendapat-pendapat di atas disanggah dengan tegas oleh Naquib al-Attas
yang menyatakan filsafat agama Hindu tidak mempengaruhi masyarakat Melayu-
Indonesia, dan mereka yang berpendapat bahwa filsafat Hindu itu membawa
pengaruh yang mendalam terlalu berlebih-lebihan. Melayu-Indonesia lebih
cenderung kepada hal-hal yang bersifat seni dari filsafat.Mereka tidak mampu
merangkum kehalusan metafisika Hindu, ataupun dengan sengaja dan oleh
sebab bawaan dirinya, mengabaikan filsafat dan menuntut hanya hal-hal yang
sederhana untuk disesuaikan dengan kondisi jiwanya. Lebih lanjut al-Attas
menambahkan pengaruh Hindu hanya terbatas pada kelompok bangsawan,
masyarakat Melayu-Indonesia sebenarnya secara keseluruhan bukanlah
masyarakat Hindu. Kelompok Bangsawan tidak dapat pula dikatakan benar-benar
memahami ajaran-ajaran murni yang terkandung dalam filsafat Hindu asli.
Mereka hanya mementingkan hal-hal yang berkaitan dengan upacara serta
ajaran-ajaran yang membesarkan keagungan dewa-dewa bagi kepentingan
mereka sendiri sebagai penjelmaan dari dewa-dewa itu.45
Selain itu, keberhasilan dakwah Islam di nusantara dikarenakan para ulama
yang rata-rata menurut Alwi Shihab merupakan tokoh-tokoh tasawuf lebih
intensbergaul dengan kelompok-kelompok masyarakat dari rakyat kecil dan
menunjukkan keteladanan yang melambangkan puncak kesalehan dan
ketakwaan dengan memberikan pelayanan-pelayanan sosial, sumbangan, dan
bantuan dalam rangka kebersamaan dan rasa persaudaraan murni. Dengan
keteladanan ini, penduduk menjadi simpati dan memeluk Islam serta
mengakibatkan tersebarnya Islam di seluruh penjuru Indonesia sehingga negeri
ini terbebas dari animisme dan syirik.46 Satu hal yang sangat berkesan dalam
kaitannya dengan ini, para tokoh tasawuf merupakan ulama-ulama yang ”berisi”
secara spiritual, sehingga mereka acapkali memenuhi berbagai hajat masyarakat
tempatan termasuk mengobati penyakit-penyakit yang diderita mereka.
Kehadiran Islam di nusantara telah memberikan pengaruh siqnifikan
terhadap struktur kehidupan masyarakatMelayu, yang sebelumnya kebudayaan
mereka menurut M.B. Hooker,dikonstruksi berasaskan nilai filosofis pribumi dan

44
Ibid.
45
Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung:Mizan, Cet. III, 1984),
h.30
46
Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, Mizan,
Bandung, 2001, h.14
22

sumber-sumber India47Islam bukan hanya merupakan keyakinan bagi komunitas


Melayu, Ia juga menjadi salah satu landasan utama yang mendasari identitas
mereka. Islam dan identitas Melayu memiliki hubungan interkoneksi yang saling
terkait satu sama lainnya sehingga menjadi Melayu bisa diidentifikasi sebagai
Muslim.48
Pengaruh Islam terhadap kehidupan orang-orang Melayu sebagaimana
dijelaskan sebelumnyadapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain:

A. Aspek Religi

Setelah memeluk agama Islam, masyarakat Melayu menganut sistem


kepercayaan monoteistik (tauhid) yang dibangun atas dasar fondasi syahadat;
kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah swt dan Nabi Muhammad saw
utusan Allah swt. Kemudian diperkuat dan ditambah lagi dengan kepercayaan
terhadap pokok-pokok keimanan dalam Islam, yaitu beriman kepada Allah, para
malaikat, kitab-kitab, nabi dan rasul, hari kiamat dan qodho-qadar. Pokok-pokok
keimanan ini menjadi dasar yang fundamental dalam kehidupan keagamaan
orang-orang Melayu.
Selanjutnya mereka menjalankan kewajiban mereka sebagai muslim dalam
beribadah kepada Tuhan, seperti menunaikan sholat lima waktu, membayar
zakat, melaksanakan puasa di bulan Ramadan dan menunaikan ibadah haji bagi
yang memiliki kemampuan. Tidak hanya ibadah-ibadah yang bersifat wajib saja
yang dikerjakan tapi juga ibadah-ibadah sunat lainnya.Diantara sisi penting
dalam kaitannya dengan ini, orang-orang Melayu sangat menekankan kepada
generasinya agar bisa membaca (mengaji) al-Quran. Sehingga pandai mengaji (al-
Quran) menjadi identitas yang melekat pada diri orang-orang Melayu. Itulah
sebabnya dalam sebagian praktek tradisi Melayu tergambar akan pentingnya
kemampuan mengaji al-quran.
Selain ibadah, mereka juga mengikuti jalan hidup Islam lainnya dalam
kaitannya dengan hukum personal, keluarga, bertetangga, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Secara personal mereka mematuhi perintah-perintah
Allah swt dan meninggalkan larangannya baik menyangkut persoalan makan dan
minum, bekerja dalam memenuhi kebutuhan hidup, sikap dan prilaku
keseharian. Dalam berkeluarga mereka mengikuti aturan pernikahan menurut
Islam, menghindari zina, menjaga relasi yang baik antara suami isteri,
menunaikan tanggung jawab terhadap anak, berbakti kepada kedua orang tua.
Dalam hidup bertetangga, mereka selalu berbuat baik, saling peduli, saling
berbagi dan saling menghormati antara satu sama lain. Dalam konteks kehidupan
bermasayarakat, mereka saling menjaga sikap dan prilaku, tidak menyakiti antara
satu sama lain, tidak berbuat aniaya, tidak menimbulkan keresahan dan
ketidaknyamanan bagi orang lain dan tidak menebarkan permusuhan. Dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, mereka saling menjaga
47
M.B. Hooker (Ed), Islam in South-East Asia, E.J. Brill, Leiden, 1983, h. 2
48
Hussin Mutalib, Islam and Etnicity in Malay Politics, (terj), (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 55
23

persaudaraan dan persatuan, saling menghargai satu sama lain, selalu taat dan
patuh kepada pemimpin.

B. Aspek Politik dan Hukum

Setelah berdirinya kesultanan-kesultanan Islam pada abad XIII-XVIII yang


rata-rata merupakan konversi dari kerajaan-kerajaan Hindu sebelumnya, sistem
politik Islam diterapkan dalam pemerintahan. Bahasa dan konsep politik Islam
diadopsi. Entitas politik yang selama ini dikenal sebagai “kerajaan” secara resmi
disebut “kesultanan”. Gelar sultan juga diambil alih untuk digunakan, selain
sebutan lokal “raja”. Perubahan seperti ini tampaknya tidak mengandung
kesulitan apa-apa atau proses yang berbelit-belit. Memang kadang-kadang ada
resistensi dari penguasa lokal ketika para penyebar Islam mengajak mereka
masuk Islam. Tetapi, begitu mengucap dua kalimah syahadah, mereka pun
mengambil alih nama-nama muslim dan term-term politik Islam tanpa kesulitan
apa-apa.49
Para penguasa Muslim Melayu-Indonesia, dalam upaya meningkatkan
legitimasi dan aura kekuasaannya, tidak hanya menggunakan gelar sultan, tetapi
juga mengklaim diri sebagai “wakil” Tuhan (khalifat Allah). Kitab Undang-Undang
Melaka menyebutnya sebagai “Khalifat al-Mu’minin, Zhillu Allah fi al-Ardh”,
khalifah kaum muslimin, bayangan Tuhan di muka bumi. Sultan Mahmud
(w.1367) naik tahta dengan gelar resmi “Khalifat al-Mukminin”. Kemudian Kitab
Undang-Undang Pahang, disusun untuk Sultan Pahang, Abd al-Ghafur Muhay al-
Din Syah (berkuasa 1592-1614) juga mencatat berbagai upaya pihak kesultanan
menjadikan raja Melayu identik dengan “Khalifat Allah”. Gelar-gelar
sebagaimana dimaksud jelas bertujuan untuk mempertinggi sifat dan aura
devinty dalam kekuasaan raja-raja Melayu-Indonesia.
Upaya memberikan legitimasi kepada kekuasaan para penguasa Melayu-
Indonesia dalam memanfaatkan bahasa politik Islam tidak terbatas sampai disini.
Bahkan ayat-ayat al-Quran tertentu diterjemahkan atau ditafsirkan untuk lebih
meninggikan kekuasaan raja. Undang-undang Pahang, misalnya menerjemahkan
ayat al-Quran surah 11:30 bukan berbunyi: “Tuhan menempatkan Adam di muka
bumi sebagai wakil-Nya” tetapi “Tuhan menempatkan Raja di muka bumi sebagai
wakilnya”. Kenyataan bahwa para penguasa Melayu-Indonesia menggunakan
term politik semacam itu, juga dibenarkan oleh sumber-sumber Barat saat itu.
Sebuah catatan Portugis tentang Pasai pada abad ke-16 menyatakan bahwa raja
mereka (Muslim-Melayu) adalah “orang yang memerintah sebagai pengganti
Tuhan”50
Bahasa politik Islam di Kepulauan Nusantara menempatkan penguasa dalam
kedudukan yang amat tinggi vis a vis warganya. Seperti juga dalam entitas-
entitas politik muslim di Timur Tengah, warga masyarakat politik di dunia

49
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah dan Wacana, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 199) h.78
50
Ibid.
24

Melayu-Indonesia disebut ra’yat (rakyat) yang secara harfiah berarti “mereka


yang digembala” atau “dituntun” (penguasa). Secara variatif, rakyat vis a vis
penguasa menyebut diri mereka sebagai “patik”, “hamba” atau “abdi”, yang
berarti “sahaya” atau “budak”. Dengan demikian, penguasa adalah
“pengembala” atau “tuan” yang dipandang bertanggung jawab langsung kepada
Tuhan atas gembala mereka. Kekuasaan penguasa sebagai “penggembala”
rakyatnya diperkuat melalui konsep “daulat” yang dimaknai sebagai kekuatan
dan kekuasaan yang “tinggi” dan “besar’, mencakup lahir dan batin, yang setiap
saat berkembang. Dengan demikian, dalam konteks politik Muslim Melayu,
daulat adalah kekuatan dan kekuasaan mutlak raja yang bersumber dari kualitas
sakral sang raja dengan kekuatan-kekuatan gaib yang menjaganya dan dengan
keabadian kekuasaannya. Konsep raja biasanya dikaitkan dengan kekuasaan dan
kontrol raja terhadap dunia nonmaterial. Kepemilikan daulat adalah privilege raja
yang diperolehnya sejak lahir, yang tak bisa hilang dan dirampas. 51
Konsep “daulat” penguasa berkembang selaras dengan konsep “durhaka”
yang merupakan salah satu istilah penting dalam bahasa politik Melayu-
Indonesia. Kata “durhaka” bukan berasal dari bahasa Arab, persia dan Turki; ia
sepenuhnya merupakan istilah lokal. Menurut Omar, “durhaka” berarti
pengkhianatan kepada Tuhan, penguasa, dan kesultanan. Meskipun istilah
“durhaka” itu sendiri berasal dari bahasa lokal, implikasi konseptualnya diisi
sepenuhnya dengan konsep dan nilai Islami. Demikian, “durhaka” kepada raja
(sultan) dipandang sebagai salah satu dosa besar, yang akan membawa
pelakunya ke dalam kerusakan dan kebinasaan. Rakyat tidak boleh durhaka
kepada raja, karena mereka telah mengikat “janji setia” (bai’at) dengan raja.
Sulalat al-Salathin, misalnya, menyatakan:

[hendaklah] jangan segala hamba Melayu itu durhaka dan menitikan darahnya
ke bumi, jikalau mereka itu akan cedera berunduk hingga takluk negerinya
juga................barangsiapa hamba Melayu durhaka mengubahkan perjanjian [setia
dengan raja], diabaikan Allah bumbungan rumahnya ke bawah kaki ke atas. 52

Selain itu, dalam struktur pemerintahan kesultanan ada jabatan yang disebut
Mufti atau Qadhi. Jabatan ini biasanya diduduki oleh para ulama yang
terkemuka. Tugas mereka adalah memberikan nasehat dan pertimbangan
kepada sulthan serta menangani urusan-urusan yang berkaitan dengan agama
Islam. Peran Mufti atau Qadhi ini sangat besar baik dalam hubungannya dengan
sulthan dan pemerintahan maupun dengan masyarakat.Fungsi ganda ini selalu
dimainkan oleh para Mufti atau Qadhi sepanjang sejarah kesultanan Islam
Nusantara.
Ajaran Islam juga mewarnai sistem hukum yang diterapkan pada era
kesultanan. Pengaruh unsur-unsur hukum Islam khususnya yang berasal dari
Mazhab Syafi’i, misalnya bisa ditemukan dalam Undang-Undang Melaka(Qanun
51
Ibid., h.80
52
Ibid., h.81
25

Malaka) yang dipandang para pakar sebagai kitab hukum dan politik yang
pertama di dunia Melayu. Bagian-bagian tertentu dari Undang-Undang Melaka
hanya merupakan terjemahan dari kitab-kitab standar Mazhab Syafi’i, termasuk
kitab Fath al-Qarib karangan Abu Shuja’.
Undang-undang Melaka pada intinya meletakkan beberapa prinsip
pertemuan dan kesesuaian antara hukum Islam dan adat setempat. Pertama,
gagasan tentang kekuasaan dan sifat daulat ditentukan berdasarkan prinsip-
prinsip Islam. Kedua, pemeliharaan ketertiban umum dan penyelesaian perkara
hukum didasarkan pada ketentuan-ketentuan Islam dan adat. Ketiga, hukum
kekeluargaan pada umumnya didasarkan pada ketentuan fikih Islam. Keempat,
hukum dagang dirumuskan beredasarkan praktek perdagangan kaum muslimin.
Kelima, hukum yang berkaitan dengan kepemilikan tanah umumnya berdasarkan
adat. Dengan demikian, dalam perkembangan tradisi politik Melayu di nusantara,
pembinaan hukum dilakukan dengan mengambil prinsip-prinsip hukum Islam,
dan mempertahankan ketentuan-ketentuan adat yang dipandang tidak
bertentangan dengan hukum Islam.

C. Aspek Adat dan Istiadat

Pengaruh Islam juga tampak dalam adat istiadat Melayu. Islam menjadi
fondasi yang dibangun di atasnya adat istiadat Melayu.Selain itu, Islam juga
dijadikan sebagai penakar terhadapnya. Dalam adat istiadat Melayu, dikenal
prinsip “adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah”. Prinsip ini
mencerminkan bahwa adat istiadat dibangun dengan menjadikan syara’ yang
bersumberkan dari kitabullah (al-Quran) sebagai sandarannya. Selain itu juga,
“syara’ mengata, adat memakai”. Prinsip ini menggambarkan bahwa adat harus
mengikuti apa yang dikatakan syara’ dan tidak boleh berlawanan dengan syara’.
“apabila adat bertelikai dengan syara’, maka syara’ yang harus dimenangkan.
Prinsip-prinsip dalam beradat istiadat Melayu sebagaimana dijelaskan
sebelumnya menunjukan bahwa Islam menempati posisi yang tinggi dalam
praktek berbudaya masyarakat Melayu. Ia tidak hanya menjadi sumber yang
darinya dikonstruksi adat istiadat Melayu tapi juga menjadi penapis apabila ia
menyalahi prinsip dan ketentuan syara’. Bahkan apabila prinsip dan ketentuan
itu dilanggar, maka orang-orang Melayu akan dianggap telah kehilangan identitas
budayanya.
Masyarakat Melayu mengenal ada tiga jenis adat istiadat Melayu, yaitu:

A. Adat Sebenar Adat


Yang dimaksud dengan “adat sebenar adat” adalah prinsip adat Melayu
yang tidak dapat diubah-ubah. Prinsip tersebut tersimpul dalam “adat
bersendikan syara’”. Ketentuan-ketentuan adat yang bertentangan dengan
hukum syara’ tidak boleh dipakai lagi dan hukum syara’lah yang dominan.
Dalam ungkapan Melayudinyatakan:
26

Adat berwaris kepada Nabi


Adat berkhalifah kepada Adam
Adat berinduk ke ulama
Adat bersurat dalam kertas
Adat tersirat dalam sunah

Adat dikungkung kitabullah


Adat turun dari syarak
Dilihat dengan hukum syariat
Itulah pusaka turun-temurun
Warisan yang tak putus oleh cencang

Dari ungkapan di atas jelas terlihat betapa bersebatinya adat Melayu


dengan ajaran Islam. Dasar adat Melayu menghendaki sunah Nabi dan al-
Quran sebagai sandarannya. Prinsip itu tidak dapat diubah, tidak dapat
dibuang, apalagi dihilangkan, itulah yang disebut “adat sebenar adat”.

B. Adat yang Diadatkan


“Adat yang diadatkan” adalah adat yang dibuat oleh penguasa pada suatu
kurun waktu dan adat itu terus berlaku selama tidak diubah oleh penguasa
berikutnya. Adat ini dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan
perkembangan zaman, sehingga dapat disamakan dengan peraturan
pelaksanaan dari suatu ketentuan adat. Perubahan terjadi karena
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan perkembangan
pandangan pihak penguasa, seperti kata pepatah “Sekali air bah, sekali tepian
beralih”. Dalam ungkapanMelayu disebutkan:

Adat yang diadatkan


Adat yang turun dari raja
Adat yang datang dari datuk
Adat yang cucur dari penghulu
Adat yang dibuat kemudian
Putus mufakat adat berubah
Bulat kata adat berganti
Sepanjang hari ia lekang

C. Adat yang Teradat


Adat ini merupakan konsensus bersama yang dirasakan baik sebagai
pedoman dalam menentukan sikap dan tindakan dalam menghadapi setiap
peristiwa dan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Konsensus itu
dijadikan pegangan bersama, sehingga merupakan kebiasaan turun-temurun.
Oleh karena itu, “adat yang teradat” ini pun dapat berubah sesuai dengan
nilai-nilai baru yang berkembang. Tingkat adat dengan nilai-nilai baru yang
berkembang ini kemudian disebut sebagai tradisi. Dalam ungkapanMelayu
disebutkan:
Adat yang teradat
27

Datang tidak bercerita


Pergi tidak berkabar
Adat disarung tidak berjahit
Adat berkelindan tidak bersimpul
Adat berjarum tidak berbenang
Adat yang datang kemudian
Yang diseret jalan panjang
Yang betenggek di sampan lalu
Yang berlabuh tidak bersauh
Yang berakar berurat tunggang
Itulah adat sementara
Adat yang dapat dialih-alih
Adat yang dapat ditukar salin

Pelanggaran terhadap adat ini sanksinya tidak seberat kedua tingkat adat
yang disebutkan sebelumnya. Jika terjadi pelanggaran, maka orang yang
melanggar hanya ditegur atau dinasehati oleh pemangku adat atau orang-
orang yang dituakan dalam masyarakat. Namun, si pelanggar tetap dianggap
sebagai orang yang kurang adab atau tidak tahu adat. Ketentuan adat ini
biasanya tidak tertulis, sehingga pengukuhannya dilestarikan dalam ungkapan
yang disebut “pepatah adat” atau “undang adat”.

D. Aspek Bahasa dan Kesusasteraan

Pengaruh Islam dalam aspek bahasa tampak pada penggunaan aksara Arab-
Melayu, Arab Gundul, huruf jawi pada karya tulis Melayu. Karya tulis berupa
naskah Melayu yang ribuan banyaknya (6000-10.000) sudah tersebar ke seluruh
penjuru dunia. Naskah Melayu itu menyangkut kerajaan-kerajaan, seperti
kerajaan Samudra Pasai, Melaka, Banten, Demak, Mataram, Riau, Johor, Pahang
dan Lingga.
Bahasa Arab memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial
keagamaan kaum muslimin di nusantara. Mereka tidak hanya mengadopsi
peristilahan Arab, tetapi juga aksara Arab yang kemudian sedikit banyak
disesuaikan dengan kebutuhan lidah lokal. Dari aspek ini, kemunculan Islam dan
penerimaan aksara Arab merupakan langkah siqnifikan bagi sebagian penduduk
di nusantara untuk masuk ke dalam kebudayaan tulisan dan literasi.53
Salah satu bahasa lokal yang banyak menerima pengaruh Arab, khususnya
dalam peristilahan dan aksara, adalah bahasa Melayu, yang kemudian diangkat
menjadi bahasa nasional. banyak sekali kosa kata Arab yang diserap ke dalam
bahasa Melayu. Abdul Hamid Ahmad dalam Kamus Al-Hamidi mendaftar sekitar
2.000 kosakata Arab yang digunakan dalam bahasa Melayu-Indonesia.
Sedangkan Muhammad Said dalam Guguskata ArabMelayu mencatat sejumlah
1,725 kosakata Arab. Dankamus Istilah Islamiyah, susunan Muhammad Sanusi
ibn Haji Mahmood, mencatat lebih sedikit dari 2000 kosakata Arab. 54

53
Ibid., h.76
54
Ibid.
28

Bisa dipastikan, sebagian besar kosakata Arab yang diadopsi bahasa Melayu-
Indonesia berkaitan dengan konsep atau soal-soal keagamaan; ibadah, hukum
Islam, pendidikan, dan tradisi sosial atau adat. Sebagian lagi, di antara kosakata
itu menyangkut politik.55
Pengaruh ajaran Islam khusus tasawuf juga bisa ditemukan dalam
kesusastraan Melayuklasik. Apakah dalam bentuk syair, pantun, gurindam,
tunjuk ajar Melayudan lainnya yang sebagian besar isinya sangat terasa nuansa
keislamannya. Berikut ini akan dikutip beberapa contoh tunjuk ajar Melayu dan
Gurindam yang bermuatan ajaran-ajaran sufistik:

Wahai ananda hendaklah ingat,


hidup di dunia amatlah singkat
banyakkan amal serta ibadat
supaya selamat dunia akhirat

Wahai ananda dengarkan peri,


tunangan hidup adalah mati
carilah bekal ketika pagi
supaya tidak menyesal nanti56

Dua bait pertama tunjuk ajar ini mengingatkan manusia bahwa kehidupan di
dunia ini berlangsung singkat. Manusia pada saatnya nanti akan mengalami
kematian dan menuju alam akhirat. Oleh karena itu, persiapkanlah bekal
sebanyak-banyak dengan selalu beramal saleh agar selamat hidup di dunia dan di
akhirat.

wahai ananda dengarlah madah,


baikkan laku elokkan tingkah
banyakkan kerja yang berfaedah
supaya hidupmu beroleh berkah

wahai ananda dengarlah pesan


kuatkan hati teguhkan iman
jangan didengar bisikan setan
supaya dirimu diampuni tuhan57

Bait-bait berikut ini mengandung pesan agar manusia senantiasa


memperbaiki tingkah laku dan melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi orang
lain. Kedua hal itu merupakan prasyarat untuk memperoleh kehidupan yang
penuh keberkatan. Disamping itu, manusia harus memperteguh keimanan dan
menghindari bujuk rayuan setan dalam rangka memperoleh keampunan Tuhan.

55
Ibid.
56
Tenas Effendy, Tunjuk Ajar Melayu, (Pekanbaru: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya
Melayu, 2006), h. 37
57
Ibid., h. 39
29

Berikut ini akan dikemukakan pula petuah Melayu dalam bentuk gurindam:
Barangsiapa tiada memegang agama,
Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama
Barangsiapa mengenal yang empat,
Maka ia itulah orang yang makrifat
Barangsiapa mengenal Allah,
Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah
Barangsiapa mengenal diri,
Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri
Barangsiapa mengenal dunia,
Tahulah ia barang yang teperdaya
Barangsiapa mengenal akhirat,
Tahulah ia dunia mudarat58

Bait-bait gurindam ini secara eksplisit menggambarkan substansi dari materi


kajian-kajian sufistik yang berkembang di dunia Melayu Islam yang menjadi
sumber nilai prinsip dan pandangan hidup orang-orang Melayu. Secara umum
tema besarnya mengaju kepada empat persoalan utama, yaitu pengenalan
tentang hakekat Allah swt, hakekat diri (manusia), hakekat dunia dan hakekat
akhirat. Pengenalan tentang hakekat empat perkara tersebut secara baik dan
mendalam akan memberikan pengaruh terhadap sikap dan prilaku seorang
muslim dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Apabila terpelihara mata


Sedikitlah cita-cita
Apabila terpelihara kuping
Kabar yang jahat tiadalah damping
Apabila terpelihara lidah
Niscaya dapat daripadanya faedah
Bersungguh-sungguhlah engkau memelihara tangan
Daripada segala berat dan ringan
Apabila perut terlalu penuh
Keluarlah fi’il yang tiada senonoh
Anggota tengah hendaklah ingat
Disitulah banyak orang yang hilang semangat
Hendaklah peliharakan kaki
Daripada berjalan yang membawa rugi 59

Bait-bait gurindam ini mengandung pesan agar manusia senantiasa


memelihara panca indera dan anggota badan lainnya. Karena perbuatan buruk
yang dilakukan manusia biasanya berawal dari ketidakmampuan dalam menjaga
dan mengontrol pancaindera dan anggota badan lainnya.

58
Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas, (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2007), h.8
59
Ibid., h.10
30

Apabila banyak berkata-kata


Disitulah jalan masuk dusta
Apabila banyak berlebih-lebihan suka
Itulah tanda hampirkan duka
Apabila kita kurang siasat
Itulah tanda pekerjaan hendak sesat
Apabila anak tidak dilatih
Jika besar bapanya letih
Apabila banyak mencela (mencacat?) orang
Itulah tanda dirinya kurang
Apabila orang yang banyak tidur
Sia-sia sahajalah umur
Apabila mendengar akan khabar
Menerimanya itu hendaklah sabar
Apabila mendengar akan aduan
Membicarakannya itu hendaklah cemburuan
Apabila perkataan yang lemah lembut
Lekaslah segala orang mengikut
Apabila perkataan yang amat kasar
Lekaslah orang sekalian gusar
Apabila pekerjaan yang amat benar
Tidak boleh orang berbuat onar.60

Sejalan dengan gurindam sebelumnya, bait-bait gurindam ini mengingatkan


manusia bahwa baik atau buruknya hasil perbuatan manusia sangat ditentukan
oleh kepribadian yang dimilikinya dan cara mereka menyikapi sesuatu.
Kepribadian dan sikap yang baik akan berbuah kepada hasil yang baik, sementara
kepribadian dan sikap yang buruk akan bermuara kepada hasil yang buruk pula.
Dari beberapa kutipan tunjuk ajar Melayu dan gurindam di atas, tidak
berlebihan bila dikatakan bahwa pengaruh ajaran tasawuf sangat mewarnai
sikap dan pandangan hidup orang-orang Melayu. Gagasan-gagasan sufistik itu
dituangkan dalam bahasa-bahasa puitis dan artistik dan disajikan dalam redaksi-
redaksi kalimat yang indah dan menarik. Ini merupakan suatu kreatifitas yang
amat tinggi dimana orang-orang Melayu mampu mentransfer ajaran-ajaran
tasawuf dalam medium kesenian mereka sehingga mudah untuk disampaikan
dan dipahami maksud dan tujuannya.

E. Aspek Kesenian

Aspek kesenian yang berkembang di dunia Islam juga tak luput dari
pengaruh Islam. Hampir semua jenis seni,sepertiseni tari, seni musik, seni tenun,
seni ukir, seni lukis, seni bela diri, seni teater dan permainan rakyat, mengandung
pengetahuan, falsafah, gagasan, kepercayaan, nilai, norma dan lain-lain yang
bersumberkan dari ajaran Islam. Dalam bidang seni tari, Tarian Zapin Melayu
diketahui kaya akan nuansa keislamannya; tidak hanya dilihat dari asal usulnya
60
Ibid., h.15
31

tapi juga dari sisi pengaturan gerak-gerik dan pesan yang terkandung di
dalamnya. demikian pula seni musik, seperti rebana yang lirik-lirik lagunya
banyak berisi nasehat-nasehat dan pesan-pesan keagamaan, kompang yang
bacaan-bacaan pengiringnya berisi sholawat dan pujian-pujian untuk Nabi
Muhammad, dan barzanji yang rawi-rawinya berkisah tentang sejarah kelahiran
Rasulullah saw. Kemudian seni tenun khususnya pakaian Melayu tidak hanya
mengekpresikan keindahan tapi juga dibungkus oleh nilai-nilai keislaman.
Selanjutnya, seni ukir khususnya dalam bentuk arsitektur dan ornamen
bangunan masjid. Demikian pula seni bela diri, yang lazimnya diawali dengan
penanaman keyakinan yang kokoh kepada Allah swt dan rasulnya disusul dengan
praktek tawassul serta kewajiban untuk mematuhi perintah Allah swt dan
meninggalkan larangannya bagi orang-orang yang mempelajarinya. Seni teater
juga tak luput dari pengaruh Islam dari aspek kisah atau jalan ceritanya.

FAHAM DAN AMALIYAH KEAGAMAAN MASYARAKAT MELAYU

MAYORITASmasyarakatMelayu menganut agama Islam. Hampir tidak


ditemukan orang-orang Melayu menganut agama selain Islam. Ajaran Islam
bersumberkan dari al-Quran dan Sunnah. Al-Quran dan Sunnah berisi prinsip-
prinsip dan ajaran-ajaran yang masih bersifat umum dan universal. Untuk itu
diperlukan penjelasan dan tafsir dari para ulama untuk menguraikan maksud dari
keduanya serta merinci hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dalam
menafsirkan dan merinci hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Quran,
tidak jarang para ulama berbeda pendapat tentangnya. Perbedaan pendapat ini
pada perkembangannya kemudian melahirkan mazhab-mazhab [aliran-aliran]
dalam Islam. Orang-orang Muslim pada kenyataannya dari sisi faham dan
amaliyah keagamaan mereka terpolarisasi mengikuti mazhab-mazhab tersebut.
Dalam bidang teologi, ada aliran khawarij. Khawarij adalah suatu nama yang
mungkin diberikan kepadakelompok yang tidak mau menerima arbitrase dalam
pertempuran Shifin yang terjadi antara Ali dan Mu‟awiyah dalam upaya
32

penyelesaian persengketaan antara keduanya tentang masalah khalifah.Aliran ini


berpandangan bahwa kufur tidak hanya ditujukan kepada orang-orang di luar
Islam saja tapi juga kepada orang-orang Islam yang tidak mau menerapkan
hukum sesuai dengan hukum Allah swt.
Aliran ini terkesan agak ekstrem dan kaku dalam memahami ajaran
Islam.Mereka tidak jarang suka mengkafirkan orang-orang yang tidak sejalan
dengan paham mereka. Secara umum, konsep mereka tentang iman bukan
pembenaran dalam hati semata-mata. Pembenaran hati (al-tasdiq bi al-qabl)
menurut mereka, mestilah disempurnakan dengan menjalankan perintah agama.
Seseorang yang telah memercayai bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan
Muhammad itu utusan Allah, tapi ia tidak melakukan kewajiban agama, berarti
imannya tidak benar, maka ia akan menjadi kafir.61
Kemudian Syiah yang pada asalnya merupakan para pendukung khalifah Ali
bin Abi Thalib.Kemudian mereka berkembang menjadi aliran dalam Islam.
Mereka sangat mengagungkan ahl al-bait (keluarga rumah nabi). Menurut Syiah
yang dinamakan ahl al-bait itu adalah Fatimah, suaminya Ali, Hasan dan Husein
anak kandungnya, menantu dan cucu-cucu Nabi, sedang isteri-isteri nabi tidak
termasuk ahl al-bait.62 Diantara doktrin Syiah adalah kepala negara diangkat
dengan persetujuan rakyat melalui lembaga ahl al-hall wa al-‘aqd. Kepala negara
atau Imam berkuasa seumur hidup, bahkan mereka meyakini kekuasaan Imam
mereka ketika ghaibdan baru pada akhir zaman kembali kepada mereka. Kepala
negara (Imam) sebagai pemegang kekuasaan agama dan politik berdasarkan
petunjuk Allah dan wasiat Nabi. Kepala negara memegang otoritas sangat
tinggi63
Selanjutnya, aliran Jabariyah yang memiliki faham menghilangkan perbuatan
manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah,
Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan
terpaksa.64 Mereka menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah swt dan
menafikkan perbuatan manusia secara hakiki dan menisbatkan kepada Allah Swt
semata.65Menurut Harun Nasution, Jabariyah adalah paham yang menyebutkan
bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan
Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan oleh
manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan
dengan kehendaknya, disini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat
karena manusia tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa
Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya. 66

61
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 46-47
62
Chaerudji, Ilmu Kalam (Jakarta: Diadit Media, 2007), h.52
63
Nurcholish Madjij, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 147
64
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, (Surabaya: Bina Ilmu, 2006), h. 71.
65
Muhammad Maghfur, Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: Al-
Izzah, 2002), h.41.
66
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UIPress,
1986), h.31
33

Kemudian aliran Qodariyah, berbeda dengan Jabariyah aliran ini


mempercayai bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.
Aliran ini juga berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya.Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak
sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, Qodariyyah merupakan nama suatu
aliran yang memberikan penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia
dalam mewujudkan perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa kaum
Qodariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrat atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, akan tetapi bukan berarti manusia
terpaksa tunduk paada qudrat Tuhan. Kata qadar dipergunakan untuk
menamakan orang yang mengakui qadar digunakan untuk kebaikan dan
keburukan pada hakekatnya kepada Allah67
Selanjutnya Mu’tazilah, yang salah satu pandangannya bahwa orang yang
berdosa besar itu masih ada imannya tetapi tidak pula dapat dikatakan mukmin
karena ia telah berdosa besar. Orang yang serupa itu apabila meninggal dunia
maka ia akan kekal di dalam neraka, hanya azabnya saja yang lebih ringan
dibandingkan orang kafir68
Selain itu al-As’ariyah yaitu aliran teologi yang dinisbahkan kepada
pendirinya, yaitu Abu al-Hasan Ali ibn Islmail al-Asy’ari (260-324 H). Menurut
aliran Asyariyyah, Allah mempunyai beberapa sifat dan sifat-sifat itu bukan zat-
Nya dan bukan pula selain zat-Nya, namun ada pada zatNya. Meskipun
penjelasan Asy‟ariyyah itu mengandung kontradiksi, hanya dengan itulah aliran
tersebut dapat melepaskan diri dari paham ta’addud al-qudama (banyaknya
yang qadim) setidak-tidaknya menurut pemikiran mereka69
Kemudian Maturidiyyah yaitu aliran yang dinisbatkan kepada pendirinya Abu
Mansur Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi (w.944 M).Aliran Maturidiyyah,
yang dikatakan tampil sebagai reaksi terhadap pemikiran-pemikiran Mu’tazilah
yang rasional, tidak seluruhnya sejalan dengan pemikiran yang diberikan oleh al-
Asy‟ari. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pemikiran teologi al-Asy‟ari
sangat banyak menggunakan makna teks nash agama (Quran dan Sunnah), maka
Maturidiyyah dengan latar belakang mazhab Hanafi yang dianutnya banyak
menggunakan takwil.70
Ada lagi Murjiah. Murjiah berasal dari bahasa Arab irja artinya penundaan
atau penangguhan. Sekte yang berkembang pada masa awal Islam ini diistilahkan
dengan “orang-orang yang diam”. Mereka meyakini bahwa dosa besar
merupakan imbangan atau pelanggaran terhadap keimanan dan bahwa
hukuman atau dosa tidak berlaku selamanya. Oleh karena itu, ia menunda atau

67
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h.45
68
Ibn Rusyd, Perdebatan Utama dalam Teologi Islam (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 30
69
A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar, (Jakarta: Erlangga,
2006), h. 91
70
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran: Dari Khawarij Ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi,
(Jakarta: Kencana, 2004), h. 99
34

menahan pemutusan dan penghukuman pelaku dosa di dunia ini. Hal ini
mendorong mereka untuk tidak ikut campur masalah politik. Salah satu diantara
doktrin mereka adalah shalat berjamaah dengan seorang imam yang diragukan
keadilannya adalah sah. Doktrin ini diakui oleh kalangan Islam Sunni namun tidak
untuk kalangan Syiah71
Dalam bidang fiqih, ada empat mazhab yang populer, yaitu Hanafiyah yang
dinisbahkan kepadaNu'man bin Tsabit atau yang lebih terkenal dengan nama
Abu Hanifah Imam Abu Hanifah (703-767 M). Pemikiran hukumnya bercorak
rasional. Mazhab ini berasal dari Kufah, sebuah kota yang telah mencapai
kemajuan yang tinggi di Iraq. Persoalan-persoalan yang muncul banyak
dipecahkan melalui pendapat, analogi, dan qiyas khafi. Karyanya yang terkenal
adalah Fiqh Al-Akbar.Sumber-sumber hukum mazhab Hanafiyah adalah al-
Qur’an, Sunah, Ijma’ Sahabat, pendapat pribadi sahabat, Qiyas (deduksi:analogis)
Istihsan (preferensi), Urf (tradisi lokal).
Kemudian, Malikiyah dinisbahkan kepada Imam Malik (717-801 M),
Pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi sunnah yang cenderung tekstual. Imam
Malik juga termasuk periwayat hadist. Karyanya yang terkenal adalah al-
Muwattha', yaitu hadis yang bercorak fiqih. Imam Malik juga dikenal sebagai
seorang Mufti dalam kasus-kasus yang dihadapi. Salah satu fatwanya bahwa
baiat yang dipaksakan hukumnya tidak sah. Selain itu pemikirannya juga banyak
menggunakan tradisi penduduk Madinah. Sumber-sumber hukum Mazhab
Malikiyah adalah al-Qur’an, Sunah, Praktek masyarakat Madinah, Ijma’ sahabat
pendapat individu sahabat, Qiyas, Ishtilah (kemaslahatan), dan Urf (tradisi).
Selanjutnya Syafi’iyah yang dinisbahkan kepada Imam Syafi’i (769-820
M).Corak pemikirannya adalah konvergensi atau pertemuan antara rasionalis
dan tradisionalis. Selain berdasarkan pada al-Quran, Sunnah, dan Ijma, Imam
Syafl'i juga berpegang pada Qiyas. Beliau disebut juga sebagai orang pertama
yang membukukan ilmu Usul Fiqih. Karyanya yang terkenal adalah aI-Umm dan
al-Risalah. Pemikirannya yang cenderung moderat diperlihatkan dalam Qaul
Qadim-nya (pendapat yang lama) dan Qaul Jadid-nya (pendapat yang baru).
Sumber-sumber hukum mazhab Syafi’iyah adalah al-qur’an, sunah, ijma’,
pendapat individual sahabat, qiyas, dan istishab.
Setelah itu Hanabilah yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal
(778-855 M).Corak pemikirannya tradisionalis, selain berdasarkan pada al-quran,
sunnah, dan ijtihad, beliau juga menggunakan hadits Mursal dan Qiyas jika
terpaksa. Selain sebagai seorang ahli hukum, beliau juga seorang ahli hadist.
Karyanya yang terkenal adalah Musnad Ahmad, kumpulan hadis-hadis Nabi saw.
Sumber-sumber hukum Mazhab Hambali adalah al-Qur’an, Sunah, Ijma’ sahabat,
pendapat individu sahabat, Hadits dhoif, dan Qiyas.72

71
Muhammad Arifin Ilham, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, (Jakarta: Hikmah, 2009), h.
320
72
Wahbah Zuhaily dan Jamaludin Athiyah, Kontroversi Pembaruan Fiqih. Ahmad Mulyadi penj.,
(Surabaya: Erlangga. 2000), h. 18
35

Dalam bidang tasawuf, ada tasawuf akhlaki, yaituajaran tasawuf yang


membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada
pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat guna
mencapai kebahagiaan yang optimal. Diantara tokoh tasawuf akhlaki adalah
Hasan al-Bashri (21-110H), al-Muhasibi (165-243H) dan al-Ghazali (450 H).
Kemudian ada tasawuf amali, yaitu tasawuf yang membahas tentang bagaimana
cara mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dalam pengertian ini, tasawuf amali
berkonotasikan tarekat. Diantara tokoh-tokohnya Syekh Abdul Qadir Jailani (470-
561 H) dan Ahmad Abu Hasan al-Rifa’i (w.578 H). Selanjutnya tasawuf falsafi,
yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan rasional.
Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan
metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak bisa dikategorikan pada
tasawuf yang murni karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat. Menurut
al-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar
karena sering menggunakan ungkapan yang samar-samar yang mengakibatkan
kesalahpahaman pihak luar.73 Diantara tokohnya adalah Abu Yazid al-Busthami
(w.261 H) dan Al-Hallaj (244 H).

A. Faham Keagamaan MasyarakatMelayu.


Dari dinamika dan perkembangan aliran dan pemahaman dalam Islam
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam bidang teologi mayoritas orang-orang
Melayu berpegang pada pandangan al-Asy’ariyah dan Maturidiyyah yang dikenal
dengan pemahaman ahl al-Sunah wa al-Jamaah. Dalam memandang perbuatan
manusia dengan konsep al-Kasb dengan pengertian bahwa yang mewujudkan
perbuatan manusia adalah Allah Swt, namun manusia diberi daya dan pilihan
untuk berbuat atas kehendak Allah Swt. Manusia dalam perbuatannya banyak
bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Allah Swt. Dalam konteks ini
manusia tidak dianjurkan untuk pasrah sepenuhnya pada ketentuan Allah swt tapi
juga diharuskan berusaha.
Selanjutnya untuk menanamkan fondasi tauhid dan keimanan yang benar
kepada Allah swt, diformulasikan doktrin sifat dua puluh. Sifat dua puluh itu
diyakini merupakan sifat-sifat wajib bagi Allah swt yang terbagi dalam empat
bagian, yaituPertama, Sifat Nafsiah, yaitu Wujud. Kedua, Sifat Salbiyah, yaitu
Qidam, Baqa’, Mukholafatuhu li al-Hawadits, Qiyamuhu binafsihi dan
Wahdaniyat. Ketiga, Sifat Ma’ani, yaitu Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’,
Bashar, dan Kalam. Keempat, Sifat Ma’nawiyah, yaitu Qadiran, Muridan, Aliman,
Hayyan, Sami’an, Bashiran, Mutakalliman. Selain dua puluh sifat wajib, adalagi
sifat-sifat mustahil yang berjumlah sama dan merupakan lawan dari yang wajib
tersebut. Sedangkan sifat jaiz bagi Allah hanya satu, yaitu Allah menciptakan atau
tidak menciptakan sesuatu yang mungkin. Demikian pula dalam kaitannya dengan
keimanan kepada Rasul ini, dibahas juga sifat yang wajib bagi rasul ada empat,
yaitu Sidiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah. Kemudian sifat yang mustahil
baginya ada empat pula yang merupakan lawan dari empat sifat yang wajib; Kizb,
73
Amin Syukur dan Masharudin, Intelektualisme Tasawuf Cetakan I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), h. 47-48.
36

Khianat, Kitman dan Baladah. Selanjutnya sifat jaiz bagi rasul yaitu sifat-sifat
sebagai manusia biasa yang tidak merendahkan martabat mereka sebagai nabi dan
rasul.
Dalam bidang fiqih, orang-orang Melayu meskipun mengklaim berpegang
kepada pemahaman empat Imam Mazhab tapi mereka lebih dominan menganut
pendapat mazhab Syafi’iyah. Mazhab Syafi’iyah menjadi Mazhab dominan yang
dianut oleh orang-orang Melayu. Jika pemikiran aqidah [tauhid] menekankan
rukun iman, maka aspek fiqh menekankan rukun Islam. Diawali dengan ajaran
dua kalimah syahadah, diikuti hukum-hukum sholat, puasa, zakat, dan haji. Tidak
hanya menyangkut ibadah, tapi juga menyentuh aspek munakahat, mu’amalat dan
jinayat.
Selanjutnya dalam bidang tasawuf,orang-orang Melayu lebih condong kepada
tasawuf akhlaki dan amali yang dikenal dengan tasawuf sunni yang menekankan
keseimbangan antara syari’at dan hakikat. Meskipun tidak dinafikan, di dunia
Melayu juga berkembang tasawuf falsafi dengan jumlah pengikut yang terbatas.
Tasawuf sunni yang dikembangkan melalui jalur tarekat74 sangat berkembang di
dunia Melayu yang pengaruhnya bisa dirasakan sampai saat ini meskipun sudah
semakin berkurang pengikutnya.
Ajaran tarekat yang berkembang di dunia Melayu adalah Naqsyabandiyah,
Qadiriyah, Syatariyah, Rifa’iyah, ‘Alawiyah, Syaziliyah. Dari sekian banyak
Tarekat itu. Yang paling berpengaruh adalah Tarekat Naqsyabandiyah. Ajaran
tarekat yang paling banyak berkembang di dunia Melayu adalah Tarekat
Naqsyabandiyah. Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka
tasawuf terkenal yakni, Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-
Bukhari Naqsyabandi (717 H/1318 M-791 H/1389) yang lahir di Desa Qashrul
Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari. Ia berasal
dari keluarga dan lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar “Syah” yang
menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah
ia lahir segera dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi yang menerimanya
dengan gembira. Ia belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika berusia 18
tahun. Kemudian ia belajar ilmu tarekat pada seorang Quthb di Nasaf, yaitu Amir
Sayyid Kulal al-Bukhari (w.772/1371). Kulal adalah seorang khalifah Muhammad
Baba al-Samasi. Dari Kulal inilah ia pertama belajar tarekat yang didirikannya.
Selain itu, Naqsyabandi pernah juga belajar pada seorang arif bernama al-
Dikkirani selama sekitar satu tahun. Ia pun pernah bekerja untuk Khalil penguasa
Samarkand, kira-kira selama dua belas tahun. Ketika sang penguasa digulingkan
pada tahun 748/1347 M, ia pergi ke Ziwartun. Di sana ia mengembalakan
binatang ternak selama tujuh tahunan, dan tujuh tahun berikutnya dalam pekerjaan
74
Tarekat mengandung dua pengertian, yaitu pertama, jalan yang bersifat spiritual bagi seorang
salik (pengikut tarekat) yang di dalamnya berisi amalan ibadah dan lainnya yang bertemakan
menyebut nama Allah dan sifat-sifatnya disertai penghayatan yang mendalam. Amalan dalam
tarekat ini ditujukan untuk memperoleh hubungan sedekat mungkin (secara rohaniah) dengan
Tuhan. Kedua, tarekat mengandung arti organisasi yang mempunyai syaikh, upacara ritual dan
bentuk zikir tertentu. Lihat A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002), h.263, Mustafa Zahri, sebagaimana dikutip Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 270, Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme
dalamm Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.89
37

perbaikan jalan. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari pendidikan dan pembinaan
mistisnya untuk memperdalam sumber-sumber rasa kasih sayang dan cinta kepada
sesama manusia serta membangkitkan perasaan pengabdian dalam memasuki
lingkungan mistis.75
Mengenai Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah mengikuti garis Nabi Muhammad
saw; turun ke Abu Bakar al-Shiddiq, kemudian ke Salman Al-Farisi, lalu ke
Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar al-Shiddiq, terus ke Ja’ar al-Shadiq
(w.148/765), kemudian ke Abu Yazid Thaifur al-Bisthami (w.260/874), lalu ke
Abu Hasan al-Kharaqani (w.425/1034), terus ke Abu ‘Ali Al-Farmadzi
(w.477/1084), kemudian ke Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani (w.535/1140), lalu
ke ‘Abd al-Khaliq Al-Ghujdawani (w.617/1220), terus ke ‘Arif Al-Riwgari
(w.657/1259), kemudian ke Mahmud Anjir Faghnawi (w.643/1245 atau
670/1272), lalu ke ‘Azizan ‘Ali Al-Ramitani (w.705/1306 atau 721/1321), terus
ke Muhammad Baba Al-Samasi (w.740/1340 atau 755/1354), kemudian ke Amir
Sayyid Kulal Al-Bukhari (w.772/1371), lalu ke Muhammad Baha’ Al-Din
Naqsyaband (717-791/1318-1389)76
Mengenai perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia Menurut
Martin van Bruinessen ada beberapa tokoh yang berperan, yaitu Syekh Yusuf al-
Makassar, ‘Abd al-Ra’uf Singkili dan Ahmad Khatib ibn ‘Abd al-Ghaffar Sambas
yang bermukim dan Mengajar di Makkah pada pertengahan abad kesembilan
belas. Akan tetapi keberadaan tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia telah terjadi
penggabungan dengan unsur tarekat lainnya seperti yang dilakukan Syekh Yusuf
Makassar menggabungkan unsur-unsur Naqsyabandiyah dengan Khalwatiyah.
Atau Qadiriyah dan Naqsyabandiyah oleh Ahmad Khatib ibn ‘Abd al-Ghaffar
Sambas.77
Perkembangan tarekat Naqsyabandiyah di Riau tidak terlepas peran Syekh
Abdul Wahab dari Rokan (Sumatera Tengah) yang menjadikan Madrasah
Babussalam, Langkat Sumatera Utara sebagai pusat pengembangan Tarekat
Naqsyabandiyahnya. Selama hayatnya tercatat ia telah mengembangkan ajaran
tarekatnya sampai Kualuh, Panai, Bilah, Kota Pinang, Kabupaten Labuhan Batu,
Dumai, Bengkalis, Pekanbaru bahkan sampai ke Malaysia.78
B. Amaliyah KeagamaanMasyarakatMelayu
Sejalan dengan I’tiqad Ahlussunah Waljamaah, orang-orang Melayu memiliki
faham keagamaan yang bersifat washatiyah yaitu jalan tengah antara dua kutub
pemahaman yang ekstrem; antara Qadariyah yang terlalu dominan
menggunakan akal pikiran dan Jabariyah yang cenderung fatalistik. Faham Jalan
tengah ini tidak hanya dalam masalah-masalah keagamaan saja tapi juga dalam
masalah-masalah sosial kemasyarakatan lainnya. Sikap ini membuat orang-orang

75
K.A. Nizami, Syekh Hossein Nasir (Ed), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam; Manifestasi
sebagaimana dikutip Sri Mulyati, et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah
di Indonesia....h. 90
76
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996), h.50
77
Sri Mulyati, et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia...... h. 89
78
H.A. Fuad, Syekh Abdul Wahab, Tuan Guru Babussalam, (Medan: Pustaka Babussalam, 1991),
h.24
38

Melayu bisa menerima nilai-nilai baru selagi tidak bertentangan dengan syariat
Islam. Mereka pada prinsipnya berpegang pada perkara-perkara baik di masa lalu
dan mengambil perkara-perkara baru yang lebih baik.79
Dalam berijtihad menetapkan hukum atas suatu perkara, mereka berpegang
pada empat sumber hukum utama, yaitu al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Apabila mereka dihadapkan pada masalah-masalah hukum baru, mereka
merujuk terlebih dahulu kepada al-Quran. Kalau tidak menemukannya di dalam
al-Quran, mereka mencarinya di dalam hadits. Jikalau tidak mendapati dalam
keduanya, mereka lalu berijtihad dengan melakukan kesepakatan (Ijma’) atau
mencari timbangan atau padanan atas hukum yang ada pada Nabi Muhammad
saw (Qiyas). Ijtihad atas masalah-masalah hukum baru dalam pandangan
mereka tetap terbuka. Tapi ijtihad tersebut tetap menyandarkan pada pendapat-
pendapat hukum ulama-ulama terdahulu sebagaimana termaktub dalam kitab-
kitab yang mereka tulis; khususnya kitab-kitab ulama-ulama mazhab yang empat.
Amaliyah keagamaan orang-orang Melayu sebagian besar mengacu kepada
pendapat-pendapat ulama-ulama mazhab Syafi’i, seperti menganggap sunat
melafazkan niat dalam pelaksanaan ibadah, meskipun mereka meyakini tempat
niat itu di dalam hati, membasuh sebanyak 3 kali setiap anggota wudhu’,
bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram
membatalkan wudhu’, tidak boleh menyentuh dan membaca al-Quran dalam
keadaan hadats besar, membaca bismilah secara jahar (keras) sebelum membaca
al-Fatihah dalam sholat, berzikir dan berdoa bersama-sama setelah sholat
fardhu, membaca doa qunut dalam sholat subuh, mewajibkan qodho atas sholat
yang tertinggal baik disengaja atau tidak disengaja, azan dua kali dalam
pelaksanaan sholat jumat, berkhutbah dengan menggunakan tongkat, sholat
tarawih sebanyak 20 rakaat secara berjamaah, membayar zakat fitrah dengan
makanan pokok, mewajibkan niat puasa Ramadan setiap malam harinya,
membolehkan badal haji bagi orang yang telah meninggal dunia, menganjurkan
membaca talqin setelah penguburan jenazah, menghadiahkan pahala membaca
istighfar, al-Quran, dan sedekah kepada mayyit akan sampai kepadanya dan bisa
diambil manfaat olehnya, dan lain-lain.
Karateristik amaliyah keagamaan orang-orang Melayu lainnya adalah
menghormati dan menerima adat sebagai sumber hukum tambahan dalam
Islam. Adat dianggap juga memiliki kekuatan hukum yang mengikat selain syariat
[al-‘Adat al-Syari’at al-Muhakkamah]. Tentu saja yang dimaksud adalah adat-
adat yang sejalan dengan prinsip syariat. Sementara adat-adat yang bersalahan
dengan syariat wajib hukumnya untuk ditolak. Inilah yang menjadi alasan orang-
orang Melayu bisa menerima adat sebagai unsur yang menyatu dalam praktek
keagamaan mereka.

79
Cara pandang ini berdasarkan pada kaedah ushul yang menyatakan al-Muhafadzat al-Qadim al-
Sholeh wa al-Akhzu bi al-Jadid al-Ashlah. Suatu prinsip yang tidak membuang tradisi (turats) dan
tidak menolak modernitas sepenuhnya.
39

Karena karateristik faham keagamaan orang-orang Melayu yang bisa


menerima adat sebagai sumber hukum tambahan dalam Islam, maka di kalangan
masyarakat Melayu berkembanglah tradisi-tradisi keagamaan yang pada
hakekatnya merupakan proses akulturasi antara Islam dan budaya Melayu atau
bisa juga hadir dalam bentuk ajaran Islam yang ditradisikan dimana unsur-unsur
adat tampak di dalamnya. Tradisi keagamaan itu terbentang dalam rentang
kehidupan orang-orang Melayu sejak masa kelahiran sampai kematian. Tradisi
itu direkonstruksi sebagai upaya untuk menguatkan jati diri orang-orang Melayu
yang identik dengan Islam. Prosesnya terbentuknya merupakan hasil ijtihad dari
ulama-ulama nusantara yang mengembangkan ajaran Islam di kawasan Melayu.
C. Perkembangan Sikap dan Pandangan Keagamaan Kekinian
Seiring dengan perkembangan zaman dan adanya kontak dengan orang-
orang lain yang berbeda latar belakang pemahaman dan budayanya, ditambah
lagi derasnya arus informasi yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat
melalui saluran media yang banyak, maka telah terjadi perubahan dalam cara
pandang dan pemahaman masyarakatMelayu dalam melihat agama mereka
terutama sekali di kalangan generasi muda. Akhirnya faham dan amaliyah yang
pada awalnya cenderung mengambil corak satu warna menjadi sangat beragam.
Keberagamaan faham dan amaliyah berkembang di kalangan masyarakatMelayu
hari ini.
Sebagian orang Melayu yang terdidik secara intelektual melakukan review
terhadap faham dan amaliyah yang selama ini dipraktekkan di masyarakat;
diantara mereka ada yang tidak sependapat dan menolak sama sekali, ada juga
yang memakai sebagian dan meninggalkan sebagian yang lainnya. Demikian pula
terhadap tradisi keagamaan; ada yang masih mau melaksanakannya dan adapula
yang meninggalkannya sama sekali dengan alasan-alasan tertentu.
Dalam bidang teologi, misalnya masyarakat Melayu modern tidak lagi terlalu
terikat oleh pemahaman al-‘Asy’ariyah dan al-Maturidiyah, tapi ada juga yang
mengadopsi pemahaman-pemahaman lainnya. Demikian pula dalam bidang fiqih
ibadah, mereka tidak terlalu terikat oleh pendapat-pendapat Syafi’iah tapi ada
juga juga memakai pendapat dari mazhab-mazhab lainnya. Kemudian juga dalam
bidang tasawuf, mereka tidak sepenuhnya mengadopsi pemahaman Imam al-
Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi, tapi bisa jadi juga mengambil
pemahaman-pemahaman tasawuf selainnya.
Realitas ini menyebabkan perkembangan sikap dan pandangan keagamaan
di kalangan orang-orang Melayu hari ini sangat dinamis. Dan kesemuanya
tumbuh dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Kenyataan ini tidak bisa ditolak
sebagai konsekuensi logis dari modernisasi yang menyebabkan masuk-masuknya
nilai-nilai baru dalam kehidupan bermasyarakat.
40

SISTEM NILAI DAN NORMA MASYARAKAT MELAYU


41

SECARA sederhana nilai dipahamisebagai ide-ide tentang apa yang baik,


benar dan adil. Nilai merupakan salah satu unsur dasar pembentukan orientasi
budaya. Nilai melibatkan konsep budaya yang menganggap sesuatu itu sebagai
baik atau buruk, benar atau salah, adil atau tidak adil, cantik atau jelek, bersih
atau kotor, berharga atau tidak berharga, cocok atau tidak, dan baik atau
kejam.80 Sedangkan norma adalah tata kelakuan yang dibangun agar hubungan
antar masyarakat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Tata kelakuan itu
berisi perintah atau larangan atas suatu perbuatan. Ia berfungsi memberikan
batas-batas pada prilaku individu, mengidentifikasi individu dengan kelompoknya
dan menjaga solidaritas antar anggota masyarakat. 81
Nilai-nilai budaya terbentuk melalui adaptasi dengan lingkungan, faktor-
faktor sejarah, evolusi sosial dan ekonomi, kontak dengan kelompok budaya lain,
pesan-pesan dalam keluarga kepada anak-anak, cerita rakyat tentang
kebudayaan, tekanan masyarakat melalui pemberian hukuman dan ganjaran,
pendidikan agama, pendidikan formal, dan kelompok inti. Selain itu ada
beberapa faktor penentu pembentukan nilai, yaitu stimuli kebudayaan dari luar
yang mencapai kesadaran kita dan penilaian kita tentang orang, objek dan
peristiwa yang ada di sekeliling kita.82
Menurut UU Hamidy, ada tiga sistem nilai yang hidup dan dipelihara orang-
orang Melayu; pertama, sistem nilai Islam, yaitu sistem nilai yang diberikan oleh
agama Islam. Sistem nilai ini merupakan sistem nilai yang dipandang mulia, tinggi
kualitasnya, paling elok dan ideal oleh masyarakat. Sistem nilai ini bersifat tidak
memerlukan komando atau perintah dari pihak manapun. Setiap pribadi atau
insan menyadari nilai yang agung ini sehingga dengan rela hati akan mengikuti
dan mematuhinya. Sistem nilai Islam dipandang sebagai sistem nilai yang vertikal
menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, makhluk dengan khalik Kedua,
sistem nilai adat, yaitu sistem nilai yang diberikan adat yang merupakan hasil
pemikiran yang mendalam dari datuk-datuk (para tetua) terdahulu tentang
bagaimana sebaiknya kehidupan masyarakat dapat diatur sehingga kehidupan
dapat berjalan dengan damai dan bahagia serta harmonis. Sistem nilai adat ini
merupakan sistem nilai yang bersifat horizontal yang memberikan keselarasan
hubungan antara manusia dengan manusia. Termasuk pula dalam kaitannya
dengan ini hubungan antara rakyat dengan penguasa atau raja. Sistem nilai adat
bersifat komando dan memiliki serangkaian kaedah beserta sanksi-sanksi yang
tegas. Ketiga, Sistem Nilai Tradisi. Kalau sistem nilai adat membangun
keselarasan hubungan manusia dengan alam, maka sisten nilai tradisi mencoba
membuat keharmonisan antara manusia dengan alam. Ketika sistem nilai agama
bersandar kokoh kepada wahyu Tuhan dan sistem nilai adat mengandalkan
kesejarahan pada datuk-datuk masa silam, maka sistem nilai tradisi memberikan
pembenaran kepada sistemnya melalui mitos-mitos. Dalam hal ini kadang-

80
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan, (Bandung: Nusa Media, 2014), h. 55
81
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1982),h.175-176
82
Ibid., h. 56
42

kadang alam dipandang sejajar dengan manusia, tetapi bisa pula dipandang lebih
tinggi dari manusia.83
Dari ketiga sistem nilai itu, sistem nilai tradisi adalah nilai-nilai yang paling
banyak mewarnai tingkah laku kehidupan sosial masyarakat. Hal ini dikarenakan
karena nilai-nilai tradisi relatif lebih mudah dan lebih dahulu dicerna oleh
anggota masyarakat karena nilai-nilai ini yang lebih awal diperkenalkan dalam
perkembangan hidup bermasyarakat. Perangkat nilai ini bersentuhan dengan
kehidupan mereka sehari-hari. Setelah itu, lahir nilai adat yang sering dianggap
sebagai jembatan untuk menyelaraskan hidup dengan masyarakat. Terakhir nilai
agama sebagai nilai yang paling ideal atau nilai yang suci yang menyelaraskan
hubungan antara manusia dan Tuhan.
Sistem nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat Melayu
tertuang dalam cerita-cerita yang diwariskan secara turun-temurun, tunjuk ajar
yang terdapat dalam pantun, syair, gurindam, pribahasa dan juga kearifan-
kearifan lokal mengenai berbagai hal dalam kehidupan. Nilai dan norma sosial itu
berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan dengan sesama
manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta.

A. Hubungan Manusia dengan Tuhan

Orang-orang Melayu sangat menekankan agar kehidupan ini dibangun atas


dasar fondasi keagamaan yang kokoh sehingga mereka tidak tersalah jalan di
dunia dan memperoleh keselamatan di akhirat.Hal ini sebagaimana dinyatakan
dalam bait gurindam berikut ini:

Barang siapa tiada memegang agama,


Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
Maka ia itulah orang yang ma’rifat
Barang siapa mengenal Allah,
Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri.
Barang siapa mengenal dunia,
Tahulah ia barang yang teperdaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
Tahulah ia dunia mudarat.

Masih dalam konteks yang sama di dalam tunjuk ajar yang berbentuk syair
dinyatakan:

Wahai ananda hendaklah ingat


Hidup di dunia amatlah singkat
Banyakkan amal serta ibadat

83
UU. Hamidy, Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau, ........ h. 49-51
43

Supaya selamat dunia akhirat


Wahai ananda dengarlah madah
Baikkan laku elokkan tingkah
Banyakkan kerja yang berfaedah
Supaya hidupmu beroleh berkah
Wahai ananda dengarlah pesan
Kuatkan hati teguhkan iman
Jangan didengar bisikan setan
Supaya dirimu diampuni Tuhan

Bait-bait syair ini kembali menegaskan akan pentingnya meneguhkan


keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan dan mengisi kehidupan ini dengan
banyak beramal dan beribadat agar memperoleh keselamatan di dunia dan
akhirat. selain itu agar hidup memperoleh berkah hendaknya memperelok
tingkah laku dan banyak melakukan perbuatan yang bermanfaat.
Di antara aspek keagamaan yang selalu mendapatkan penekanan oleh
orang-orang Melayu adalah menegakkan sembahyang lima waktu dan mengaji
al-quran. Dua perkara ini menjadi tolok ukur utama untuk menilai baik atau
tidaknya orang-orang Melayu. Orang-orang Melayu yang tidak pandai mengaji
dan tidak menegakkan sembahyang lima waktu akan dipandang miring secara
kultural. Nilai ini bisa ditangkap dalam bait pantun berikut ini:

Kemumu di dalam semak


Jatuh melayang selaranya
Meski ilmu setinggi tegak
Tidak sembahyang apa gunanya

Asam kandis asam gelugur


Ketiga asam riang-riang
Menangis di pintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang

Kemumu di tengah pekan


Dihembus angin jatuh ke bawah
Ilmu yang tidak diamalkan
Bagai pohon tidak berbuah

Dalam kaitannya dengan hubungan manusia dengan Tuhan ini, juga


ditekankan untuk memperbanyak rasa syukur. Pandai bersyukur atas nikmat dan
karunia Tuhan merupakan satu bentuk hubungan yang penting antara seorang
hamba dengan Tuhan-Nya. Nilai ini bisa ditangkap dalam kearifan lokal Melayu
dalam bentuk pantang larang berikut ini:

Saat menuai padi, semua padi harus diambil besar kecilnya, tak boleh meninggalkan
padi karena buahnya kecil, karena padi yang ditinggal akan menangis jika tidak
diambil.
44

Padi yang sudah dituai harus disimpan dengan baik, tak boleh ditaruh begitu saja di
lantai, sebab padi kedinginan dan akan menangis.

Padi tak mau ditaroh sembarangan, karena itu padi lebih baik dibuatkan
tempat/rumah yang kosong (kujuk).

Tangkai padi tak boleh sembarangan dipatah/diambil, melainkan harus terlebih


dahulu memanggil semangatnya (semangat padi), biar terus dapat keberkatan.

Makan tak boleh jatuh-jatuh nasinya, sebab tuah padi akan marah dan tak mau lagi
kasih rezeki.

Kemudian kearifan lokal orang-orang melayau juga tergambar dalam


pantang larang berkaitan denganpengajaran dalam pelaksanaan perintah agama,
di antaranya:

Tidak boleh melewati di depan orang yang lagi shalat, sebab itu sama dengan
melintasi api neraka.

Tidak boleh melangkah al-Qur`an, sebab dapat menyebabkan kembang perut


pelakunya.

Tidak boleh menangis di kuburan, membuat si mati sakit terendam air.

Tidak boleh melangkah atau menginjak makam, melangkah makam bisa


menyebabkan kembang perut.

Tidak boleh tidur menjelang waktu Maghrib, disusupi hantu (kesurupan).

Jendela tidak boleh dibiarkan terbuka pada waktu menjelang Maghrib dan setelah
Isya, hantu dan setan masuk ke dalam rumah.

Jangan mulai melangkah dengan kaki kiri.Langkah kaki kiri membuat perjalanan jadi
tidak bagus.

Kutipan kearifan lokal dalam bentuk pantang larang sebelum terkesan ada
sisi irrasionalnya tetapi seperti itulah cara orang-orang mengajar anak dan
kemanakan mereka agar menghindari perbuatan yang kurang terpuji dalam
kaitannya dengan agama.
B. Hubungan dengan Sesama Manusia

Di samping menekankan hubungan baik dengan Tuhan, nilai dan norma


sosial masyarakat Melayu juga mengharuskan untuk membangun hubungan baik
dengan manusia lainnya. Manusia lain di sini, yaitu orang tua, kaum kerabat,
sabahat, jiran dan tetangga, masyarakat, bangsa dan negara.
45

Orang-orang Melayu sangat menganjurkan agar selalu taat dan patuh


kepada kedua orang tua, senantiasa berbuat baik kepada mereka dan tidak
bersikap durhaka. Orang tua dianggap sebagai sumber keberkahan. Apabila
anak-anak selalu berbakti kepada orang tua akan mendatangkan kemaslahatan
bagi kehidupan mereka di kemudian hari dan kedurkaan kepada mereka akan
mendatangkan kemudharatan. Legenda-legenda Melayu klasik banyak yang
berkisah tentang akibat anak yang durhaka, seperti cerita Malin Kundang, Si
Tanggang dan Dedap Durhaka.
Keutamaan berbakti kepada orang tua ini juga dinukilkan dalam tunjuk ajar
Melayu seperti terdapat dalam pantun berikut ini:

Kalau angin bertiup di darat


Ambillah jala turunkan sampan
Kalau hidup hendak selamat
Ayah dan bunda kita muliakan

Kalau ingin membeli kopiah


Carilah jubah sepanjang kaki
Kalau ingin diberkahi Allah
Ayah dan bunda dijunjung tinggi

Kalau kuncup bunga di taman


Petik sekaki bawa ke beranda
Kalau hidup hendakkan nyaman
Berbaik hati ke ayah bunda84

Bait-bait pantun di atas sangat jelas menyatakan bahwa kehidupan yang


selamat dan diberkahi Tuhan serta mendatangkan ketenangan akan diperoleh
kalau seseorang mau memuliakan, menjunjung tinggi dan berbuat baik kepada
kedua orang tua.Hal senada juga diungkapkan dalam gurindam berikut ini:

Bila hidup hendak selamat,


Kepada ibu bapa hendaklah taat

Kalau hidup hendak selamat,


Kepada ibu bapa wajiblah hormat

Kalau hendak beroleh tuah,


Ibu dan bapa jangan dibantah

Dalam adat Melayu lama, anak-anak orang Melayu terutama sekali anak laki-
laki bungsu kalau sudah berkeluarga, mereka memilih untuk membangun rumah
tangga tidak jauh dari rumah kedua orang tuanya. Adat ini tidaklah
84
Marhalim Zaini, Mengenal Tunjuk Ajar Melayu dalam Pantun, Gurindam dan Syairu, (Jakarta:
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018),
h.26
46

menggambarkan bahwa orang Melayu itu tidak bisa hidup mandiri dan berdikari
tapi dimaksudkan sebagai wujud dari tanda bakti mereka kepada kedua orang
tua karena dengan bertempat tinggal tidak jauh dari rumah orang tua mereka
akan membuat mereka sewaktu-waktu bisa berbuat baik kepada mereka dan
bisa memberikan bantuan dengan segera kalau diperlukan.
Orang tua disini tidak hanya dimaksudkan orang tua biologis saja tapi juga
orang yang telah mengajarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup, dalam
hal ini adalah guru. Kepada guru juga adat Melayu mengharuskan untuk
memuliakannya. Hal ini seperti diungkap dalam tunjuk ajar Melayu yang
menyatakan:

Wahai ananda dengarlah amanat


Terhadap gurumu hendaklah hormat
Ilmunya banyak memberi manfaat
Menyelamatkan hidup dunia akhirat

Kepada guru hendaklah sopan


Tunjuk ajarnya ananda dengarkan
Penat letihnya jangan dilupakan
Supaya hidupmu dirahmati Tuhan

Kepada gurumu janganlah durhaka


Jangalah pula berburuk sangka
Tunjuk ajarnya ananda jaga
Supaya manfaatnya dapat dirasa

Kepada gurumu eloklah perangai


Apabila disuruhnya janganlah lalai
Tunjuk ajarnya selalu dipakai
Supaya hasratmu cepat tercapai

Apabila gurumu selalu kau tantang


Ditujuk diajar engkau membangkang
Akibatnya buruk bukan kepalang
Ilmu dituntut berkahnya hilang

Kutipan bait-bait syair tunjuk ajar ini berisi tuntunan agar bersikap baik
terhadap guru; selalu menghormatinya, mendengar tunjuk ajarnya, tidak
berburuk sangka kepadanya, mentaati perintahnya, dan tidak bersikap
menentangnya. Semua ini dimaksudkan agar ilmu yang didapat darinya memberi
manfaat, hidup memperoleh rahmat, hasrat segera tercapai dan ilmu yang
dituntut tidak hilang.
Kemudian dalam kaitannya dengan hubungan persahabatan, orang-orang
Melayu menekankan agar selalu dijaga dan tidak merusaknya. Hal ini
sebagaimana tergambar dalam beberapa pribahasa Melayu berikut ini:
47

Punya teman seribu orang masih kurang, punya satu musuh sudah terlalu
banyak.Menuhuk kawan seiring, menggunting dalam lipatan
Cerdik tak membuang kawan, gemuk tak membuang lemak.

Selanjutnya mengenai hubungan keluarga atau kekerabatan dingatkan dalam


pribahasa Melayu:
Tali terentang tidak putus, sangkutan tergantung tidak rekah.
Menghubung hendak panjang, menyebar hendak lebar.
Sedangkan lidah lagi tergigit, apalagi suami isteri.
Cincang air tidak putus, pancung abu tidak berbekas.
Batang air berhulu, batang pohon berakar.
Kaki tersepak, sakitnya sampai ke hati.
Kemudian mengenai hubungan di masyarakat, dipesankan dalam pribahasa
Melayu:
Ringan sama jinjing, berat sama dipikul.
Bagaikan air dengan tebing.
Bulat kata karena pembetung, bulat manusia karena mufakat.
Selanjutnya dalam pergaulan sosial di tangah-tengah masyarakat diingatkan:
Kepada yang tua sikap merendah,
Kepada yang muda berlaku ramah,
Kepada yang sebaya elokkan tingkah.

C. Hubungan Manusia dengan Alam

Tuhan memang telah menciptakan alam dengan segala isinya untuk


manusia. Akan tetapi itu tidaklah bermakna bahwa manusia boleh berbuat
semena-mena terhadap alam ciptaan-Nya. Alam adalah makhluk ciptaan-Nya
sebagaimana manusia. Kesombongan manusia yang berpotensi merusak alam
(hubungan dengan alam) sesungguhnya menjadi faktor utama menyebabkan
terjadinya bencana dan malapetaka bagi kehidupan diri manusia sendiri. Alam
dalam pikiran orang-orang Melayu tidak hanya dihuni makhluk yang tampak tapi
juga makhluk yang tidak tampak yang disebut makhluk halus. Terhadap
keduanya orang-orang Melayu dituntut untuk menjalin hubungan baik dengan
keduanya.
Keharusan untuk menjaga hubungan baik antara manusia dan malam ini
sebagaimana tercermin dalam kearifan lokal Melayu dalam upacara menetau
sewaktu akan menegakkan rumah atau membuka lahan perkebunan baru
dengan tujuan untuk keselamatan para pekerja, dan sekaligus untuk
keselamatan pemiliknya. Akan tetapi upacara menetau pada perkembangannya
kemudian sudah terjadi perubahan dari sisi pelaksanaannya dikarenakan sebab-
sebab tertentu dan diganti dengan upacara kenduri selamat. Selain itu, banyak
sekali pantang larang dalam kehidupan orang Melayu yang berkaitan dengan
pemeliharan lingkungan, diantaranya“tidak boleh kencing di sungai yang airnya
tidak mengalir, tidak boleh kencing di bawah pokok”.
48

Dalam hal menjaga hutan dan lahan, tunjuk ajar Melayu mengajarkan:
Tebang tidak merusakkan
Tebang tidak membinasakan
Tebang tidak menghabiskan
Tebang menutup aib malu
Tebang membuat rumah tangga
Membuat balai dengan istana
Membuat madrasah dengan alatnya

Tentang pantangan dalam menebang dikatakan:


Pantang menebang kayu tunggal
Pantang menebang kayu berbunga
Pantang menebang kayu berbuah
Pantang menebang kayu seminai
Pantang menebang induk gaharu
Pantang menebang induk kemenyan
Pantang menebang induk damar

Kalau menebang berhingga-hingga


Tengoklah kayu di rimba
Ada yang besar ada yang kecil
Ada yang lurus ada yang bengkok
Ada yang berpilin memanjat kawan
Ada yang dihimpit oleh kayu lain
Ada yang licin ada yang berbongkol
Ada yang tegak ada yang condong
Ada yang hidup ada yang mati
Ada yang berduri ada yang tidak
Ada yang bergetah ada yang tidak
Ada yang berbuah ada yang tidak
Beragam-ragam kayu di rimba
Beragam pula hidup manusia85

Dalam pemanfaatan alam, adat istiadat Melayu sangat tegas dan jelas
menata ruang. Pembagian ruang menurut orang Melayu:
1) Tanah Kampung, yaitu berarti tempat rumah tegak berjajar, tempat
masyarakat dan membuat perkampungan dan negerinya. Ungkapan adat
mengatakan :
Yang disebut tanah kampung
Tempat koto didirikan
Tempat rumah ditegakkan
Rumah besar berumah kecil
Rumah berpagar puding-puding
85
Husni Thamrin, Revitalisasi Kearifan Lokal Melayu dalam Menjaga Harmonisasi Lingkungan
Hidup, Jurnal Toleransi, Vol. 6, No.1 Edisi Januari-Juni 2014
49

Rumah elok berhalaman luas


Di sana rumah dicacak
Di sana darah tertumpah
Di sana adat ditegakkan
Di sana lembaga didirikan
Di situ ico pakaian dikekalkan
Di situ pendam pekuburan
Di situ rumah diatur
Di situ pusaka turun
Di situ tuan naik
Di situ harta bersalinan
Di situ anak dipinak
Disitu helat dengan jamu

Yang disebut tanah kampung


Tempat berkampung orang ramai
Tempat berkumpul sanak saudara
Tempat berhimpun dagang lalu
Tempat berundi bermufakat
Tempat beradat berpusaka
Tempat gelanggang didirikan
Yang disebut tanah kampung
Berkeliling tanah dusunnya
Berkeliling tanah ladangnya
Berkeliling rimba larangannya
Tanah bertentu pemakaiannya
Tanah bertentu letak gunanya

Kampung yang dibuat bukanlah kampung sembarangan, tetapi


ditentukan pula oleh adat penataannya. Sebagaimana dalam ungkapan
adatnya :

Apa tanda kampung halaman


Kampung ada susun aturnya
Rumah tegak menurut adat
Rumah bertiang bersusun anak
Rumah berselasar berumah induk

Rumah induk ada penanggahnya


Disusun letak dengan tempatnya
Ditentukan jalan orang lalu
Ditentukan tepian tempat mandinya
Ditentukan adat dan pusakanya

2) Tanah Dusun, yaitu tanah yang diperuntukkan bagi kebun tanaman keras,
yang nantinya dicadangkan pula untuk perluasan atau penambahan area
perkampungan. Ungkapan adat mengatakan :
50

Kampung ada dusunnya


Dusun tua dan dusun muda
Tempat tumbuh tanaman keras
Apalah tanda tanah dusun
Jalin berjalin batang pinang
Menghitam masaknya manggis
Memutih bunga buah keras
Mempelam bersabung buah
Buah pauh bertindih tangkai
Buah rambai masak ber ayun
Buah durian masak bergantung
Buah cempedak berlumutbatang
Buah macang mematah dahan

3) Tanah Peladangan, yaitu tanah yang disediakan sebagai tempat


berladang. Menurut adat dalam kawasan itulah mereka berladang
berpindah-pindah tetapi sangat dilarang berpindah keluar dari areal yang
disediakan. Dalam ungkapan adat dikatakan “walau ladang berpindah-
pindah, pindahnya ke situ juga”, maksudnya setiap tahun masyarakat
melakukan ladang berpindah tetapi dalam sirkulasi 5-10 tahun mereka
kembali lagi ke belukar lama (tempat berladang sebelumnya). Ungkapan
adat mengatakan:
Apalah tanda tanah peladangan
Rimbanya sudah disukat
Belukarnya sudah dijangka
Rimba tumbuh dari belukar
Belukar kecil belukar tua
Bukan rimba kepungan sialang
Bukan pula rimba simpanan

Apa tanda tanah peladangan


Tempat berladang orang banyak
Berladang menurut adatnya
Setahun sedikitnya
Tiga tahun naik panjatnya
Cukup musim awak beralih
Beralih ke belukar tua
Beralih tidak melanggar adat
Beralih tidak merusak lembaga
Tidak beralih membuka rimba
Tidak beralih ke tanah dusun
Walau beralih ke sana juga
Beralih menyusuk belukar tua
Beralih menyesap belukar muda

Apalah tanda tanah peladangan


51

Tempat berladang berbanjar-banjar


Bukan berladang pencil memencil
Bukan berladang bersuka hati
Bukan pula menurutkan selera
Berladang menurut undang adatnya
Yang disebut adat berladang86

Karena berladang merupakan mata pencaharian pokok masyarakat


Melayu, tata cara berladang diatur dengan sebaik dan secermat mungkin
yang disebut adat berladang.
4) Rimba Larangan, ialah rimba yang tidak boleh dirusak, wajib dipelihara
dengan sebaik mungkin pelestariannya. Rimba larangan ini terdiri dari
dua jenis, yakni “Rimba Kepungan Sialang” dan “Rimba Simpanan”. Rimba
Kepungan Sialang ialah rimba tempat pohon sialang tumbuh (yakni pohon
rimba tempat lebah bersarang), ungkapan adat mengatakan :
Apa tanda kepungan sialang
Tempat sialang rampak dahan
Tempat lebah meletakkan sarang
Rimba dijaga dan dipelihara
Rimba tak boleh ditebas tebang
Bila ditebas dimakan adat
Bila ditebang dimakan undang

Sedangkan Rimba Lebat/Rimba Simpanan tempat berbagai jenis


pepohonan dan binatang hutan hidup, ungkapan adat mengatakan :

Apa tanda rimba larangan


Rimba dikungkung dengan adat
Rimba dipelihara dengan lembaga
Tempat tumbuh kayu kayan
Tempat hidup binatang hutan
Tempat duduk saudara akuan
Tempat beramu dan berburu
Tempat buah bermusim-musim
Rimba tak boleh rusak binasa

Kesemua yang tersebut di atas, merupakan tanah mineral, sedangkan


tanah gambutbagi orang Melayu bukan untuk usaha-usaha tanaman
produktif, tetapi mereka mengambil produk-produk dari hutan itu yang
non-kayu seperti rotan dan lainnya.

86
Ibid.
52

PANDANGAN HIDUP DAN JATI DIRI ORANG MELAYU

KEHIDUPAN suatu masyarakat tidak bisa dilepaskan dari nilai dan norma
sosial yang melingkupinya. Ia biasanya tumbuh dan mengakar dalam masyarakat
dan diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya.Nilai dan norma sosial ini akan melahirkan apa yang disebut dengan
pandangan hidup yang menjadi acuan dan prinsip masyarakat dalam bersikap
dan berprilaku.
Pandangan hidup dimaknai sebagai konsep yang dimiliki seseorang atau
golongan masyarakat yang bermaksud menanggapi atau menerangkan suatu
masalah tertentu. Pandangan hidup mengandung nilai-nilai yang dianut dan
dipilih secara selektif oleh suatu masyarakat. Ia menjadi pedoman dan cita-cita
baik bagi perorangan, kelompok masyarakat dan bangsa yang diyakini
kebenarannya dan menimbulkan tekad yang kuat untuk mewujudkannya. 87
Habib Mustofa, sebagaimana dikutip Sarinah, membagi pandangan hidup
dalam tiga kategori, yaitu: (1) Pandangan hidup yang berasal dari norma-norma
agama, yang dinyatakan sebagai dogma, berisi perintah atau keharusan dan
larangan bagi segenap penganut agama yang bersangkutan; (2) Pandang hidup

87
Sarinah, Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Di Perguruan Tinggi), (Yogyakarta: Deepublish, 2019), h.16
53

yang bersumberkan dari ideologi negara, misalnya Pancasila sebagai pandangan


hidup bangsa Indonesia; (3) Pandangan hidup yang berasal dari renungan dan
falsafah hidup seorang individu. Kebenaran pandangan hidup ini bersifat relatif,
karena hanya sesuai dengan pribadi yang bersangkutan. 88
Selain pandangan hidup ada lagi yang disebut dengan jati diri. Jati Diri adalah
totalitas penampilan atau kepribadian seseorang yang akan mencerminkan
secara utuh pemikiran, sikap dan prilakunya. 89 Ia pada hakekatnya pengenalan
atau pengakuan terhadap seseorang yang termasuk dalam suatu golongan yang
dilakukan berdasarkan serangkaian ciri-cirinya yang merupakan suatu kesatuan
bulat (utuh) dan menyeluruh serta menandainya sehingga ia dapat dimasukkan
dalam golongan tersebut.90
A. Pandangan Hidup Orang Melayu
Gambaran tentang pandang hidup orang Melayu diungkap oleh UU. Hamidy
dalam bukunya Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau yang menulisada 14
macam pandangan hidup orang-orang Melayu, yaitu:
1. Sederhana dalam penampilan hidup; berusaha tidak melampaui norma-
norma yang berlaku. Para pelampau akan melahirkan sikap serakah,
egois, dan sombong sehingga merusak pergaulan sosial.
2. Hutang dianggap bukan hanya beban material, tetapi lebih-lebih lagi
sebagai beban moral. Sebab itu hutang bersifat negatif. Jika terpaksa
juga berhutang, maka hendaklah lansai semasa hidup, jangan mati
dalam keadaan berhutang.
3. Martabat atau harga diri berada di atas nilai kebendaan. Orang besar
adalah orang yang memelihara budi pekertinya. Inilah sebabnya orang
Melayu amat tabu sekali terhadap zina, judi dan minuman keras sebab
akan menjadi pangkal bala’ jatuhnya martabat.
4. Harta itu yang utama berkahnya, bukan jumlahnya. Harta yang
diperoleh dengan kekerasan dan merampas tidak akan memberi berkah
(keselamatan). Malahan diyakini akan mengundang malapetaka. Jika
tidak di dunia, akan diterima di akhirat.
5. Penyakit, disamping disebabkan oleh kuman, juga dapat disebabkan
oleh makhluk halus dan perbuatan manusia. Gangguan makhluk halus
sebagai wujud setan dapat mendatangkan malapetka. Tetapi perbuatan
dosa, juga dipercaya dapat mendatangkan penyakit.
6. Kejujuran adalah penampilan harga diri yang utama. Sebab sekali
lancung keujian, seumur hidup tak percaya.
7. Persaudaraan harus wujud dalam kebersamaan. Tanda persaudaraan ini
adalah harta, tenaga dan pikiran. Jika tak dapat menolong dengan harta,

88
Ibid., h. 17
89
Ibid., h.15
90
Baso Madiong, Zainudin Mustafa, Andi Gunawan Ratu Chakti, Pendidikan Kewarganegaraan,
Civic Education, h.86
54

tolonglah dengan tenaga. Jika tak dapat juga menolong dengan tenaga,
bantulah dengan pikiran.
8. Bahasa adalah lambang budi pekerti. Bahasa harus memperlihatkan
yang batin. Itulah sebabnya Raja Ali Haji sampai membuat gurindam, jika
hendak melihat orang yang berbangsa lihat kepada budi bahasa.
9. Keseimbangan lahir dan batin merupakan tajuk mahkota kehidupan.
Inilah hidup yang bernilai. Sebab berguna pada yang fana (dunia) dan
bermakna di alam yang baqa (akhirat). Jika yang zahir buruk
(penampilan fisik tak baik) imbangilah dengan batin (budi pekerti) yang
baik. Jika yang batin jauh lebih baik dari yang zahir, itulah manusia yang
mulia. Sebab yang batin itu lambang abadi, sebagaimana di akhirat akan
terbukti.
10. Kekuasaan, hendaklah terbagi atas beberapa teraju kehidupan; beraja di
hati dan bersultan di mata hanya akan mendatangkan malapetaka.
Itulah sebabnya kekuasaan raja-raja Melayu terbagi atas beberapa
kendali. Yang Dipertuan Besar dengan gelar Sultan adalah simbol
kerajaan sebagai pucuk pimpinan. Yang Dipertuan Muda dengan gelar
Raja adalah pelaksana amanah kerajaan. Sedangkan Qodi Kerajaan atau
Mufti yang memegang teraju mahkamah akan memberikan panduan
syariat, undang dan adat agar terpelihara keadilan dan kebenaran.
11. Perselisihan sedapat mungkin dihindarkan karena perselisihan pertama-
tama bukan hanya mengganggu ketentraman tetapi akhirnya akan
menjatuhkan martabat dan mendatangkan bencana.
12. Hidup dan waktu tidak dihubungkan dengan baik; hidup memang
berharga tetapi waktu sering diabaikan. Pengertian waktu hanya
merujuk kepada waktu sembahyang, tidak dilengkapi waktu untuk
bekerja. Padahal waktu dengan syariat (ibadah) hendaklah sejalan
dengan waktu dalam bekerja (beramal). Akibatnya waktu hanya dinilai
dari sudut ukhrawi, kurang bernilai dari sudut dunia. Sehingga nilai
ekonomi waktu menjadi rendah.
13. Menonjolkan diri dipandang sebagai akhlak yang tidak baik.
menonjolkan diri dipandang ada hubungan dengan kesombongan.
Akibatnya jika ada peluang, jarang orang Melayu yang mau
menampilkan dirinya meskipun sesungguhnya dia mampu. Ini ada
hubungannya dengan tanggung jawab dan sikap rendah hati yang
dipandang baik. Dia khawatir, jangan-jangan ada orang lain yang lebih
mampu darinya. Karena itu kata sepakatlah yang lebih disukai untuk
menunjuk seseorang, bukan permintaan diri sendiri.
14. Hukum yang terkandung dalam adat dan undang-undang yang dibuat
oleh kerajaan (negara) jangan dipermainkan. Sebab, bila hukum tidak
berada dalam pertimbangan yang adil dan hati nurani yang benar
niscaya merusak kehidupan masyarakat. Hukum yang digunakan untuk
menakut-nakuti orang disebut hukum beruk besar di hutan. Hukum
55

yang dipaksakan disebut hukum si girik panggang. Kedua cara


pemakaian hukum ini jangan dipakai. Hukum hendaknya kalau masih
dalam batas-batas pelanggaran yang ringan bukan pertama-tama untuk
menyiksa. Tapi sedapat mungkin mempunyai sentuhan peringatan,
sehingga dapat menimbulkan keinsyafan kepada yang bersalah. 91

Bila ditelusuri lebih dalam, sebagian pandangan hidup orang Melayutersebut


dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam terutama sekaliajaran-ajaran tasawuf seperti
qona’ah, yaitu sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang
diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidakpuasan dan perasaan
kurang. Orang yang memiliki sifat qana’ahmempunyai pendirian bahwa apa yang
diperoleh atau yang ada didirinya adalah kehendak Allah. Kemudian zuhud yaitu
keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Atau dalam pengertian lain
lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan
abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu.
Selanjutnya wara’ yang berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau
hal-hal yang tidak baik.92

B. Jati DiriOrang Melayu

Jati Diri orang Melayu secara implisit diungkap oleh Tenas Effendy dalam
bukunya Tunjuk Ajar Melayuyang merinci ada 29 sifat-sifat orang Melayu 93, yaitu:

1. Bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa


Sifat ini mencerminkan bahwa orang-orang Melayu menjalani kehidupan
di atas dunia ini atas dasar fondasi keimanan dan ketakwaan yang kokoh
kepada Allah swt.Sifat ini sebagaimana tergambar dalam tunjuk ajar
Melayuyang menyatakan:
Tahu asal mula kejadian
Tahu berpegang pada Yang Satu
Hamba tahu akan Tuhannya
Makhluk tahu akan Khaliknya
Yang agama berkokohan
Yang iman berteguhan
Yang sujud berkekalan
Yang amal berkepanjangan
Sesama manusia ia berguna
Sesama makhluk ianya elok
Di dunia ia bertuah
Di akhirat peroleh berkah
Apa tanda Melayu jati
Tahu asal kejadian diri
91
UU. Hamidy, Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau,......., h. 18-20
92
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 194
93
Tenas Effendy, Tunjuk Ajar Melayu, (Pekanbaru: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya
Melayu, 2006).
56

Tahu hidup akan mati


Tahu akhirat tempat berhenti
Tahu syahadat pangkat ibadat
Tahu iman jadi pegangan
Tahu Islam penyelamat alam
Tahu kaji sempurna budi

Tunjuk ajar Melayu ini mengajarkan orang-orang Melayu agar mengenal


hakekat dan asal usul dirinya sehingga melahirkan satu sifat yang
menyadarkannya bahwa dirinya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah
swt, menyadari dirinya sebagai hamba Allah. Kesadaran ini mendorongnya
untuk selalu taat kepada Allah swt dan melaksanakan perintahNya, menjauhi
semua laranganNya agar memperoleh keselamatan di dunia dan di akhirat.
Orang Melayusangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Dalam keseharian
mereka selalu menjalankan kewajiban mereka sebagai hamba Allah swt.
Pencirian yang paling tampak dalam kaitannya dengan ini adalah selalu
menegakkan sembahyang lima waktu dan pandai mengaji al-Quran. Orang
Melayu yang tidak menegakkan sembahyang lima waktu akan dipandang
miring oleh masyarakat Melayu. Itu sebabnya orang-orang tua Melayu sangat
marah kalau anak-anak mereka di waktu maghrib masih berada di jalanan
atau duduk-duduk di persimpangan. Karena waktu itu adalah saatnya pergi ke
surau untuk sembahyang dan mengaji al-Quran.
Orang-orang Melayu dahulu selalu keluar rumah dengan membawa kain
sarung. Ketika mereka berjalan atau bermain, kain sarung itu dililitkan di
bagian tengah tubuhnya seperti memakai kain sampin (tenun) pada pakaian
Melayu hari ini. Sedangkan ketika waktu sembahyang tiba, kain sarung
tersebut digunakan untuk sembahyang dan mengaji.
Dari paparan sebelumnya, tampak jelas bahwa ajaran Islam menjadi ciri
utama yang melekat pada diri orang-orang Melayu. Dalam kaitannya dengan
ini, tidak berlebih-lebihan bila dikatakan bahwa orang-orang Melayu yang
tidak mau berpegang teguh pada ajaran Islam, tidak mau menunaikan
sembahyang, tidak pandai mengaji al-Quran dan lain-lain berarti mereka telah
kehilangan jatidiri sebagai orang Melayu.

2. Taat kepada Ibu Bapak


Taat kepada Ibu Bapak menjadi ciri utama orang Melayu pada umumnya.
Sepanjang hidup, mereka akan selalu berupaya untuk berbuat baik kepada
kedua orang tua karena asal usul mereka datang dari keduanya.hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam tunjuk ajar Melayu berikut ini:
Apa tanda Melayu jati
Kepada ibu bapa ia berbakti
Apa tanda Melayu jati
Mentaati ibu bapa sepenuh hati
Apa tanda Melayu jati
57

Ibu bapanya dijunjung tinggi


Apa tanda Melayu berbudi
Membela ibu bapa sampai mati
Apa tanda Melayu beradat
Kepada bapak ibu ia berkhidmat
Wahai ananda kekasih bunda
Janganlah durhaka kepada ibu bapa
Tunjuk ajarnya janganlah lupa
Supaya hidup aman sentosa
Wahai ananda dengarlah madah
Ibu dan bapak jangan disanggah
Dosanya besar azab terdedah
Dunia akhirat mendapat susah

Tunjuk ajar Melayu ini menggambarkan sifat orang Melayu yang selalu
berbakti dan berkhidmat kepada kedua orang tua. Ketaataan kepadanya
dilakukan dengan sepenuh hati dan sampai mereka meninggal dunia. Tunjuk
ajar dan nasehatnya selalu didengar dan dipatuhi. Kemudian tidak
mendurhaka kepada keduanya karena perbuatan tersebut diyakini akan
berdampak buruk bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat.
Orang Melayu sangat menghormati kedua orang tua. Orang tua dianggap
sebagai sumber kebajikan dan keberkatan dalam kehidupan mereka. Sedapat
mungkin mereka berupaya untuk selalu berbuat baik kepada keduanya dan
menyenangkan hati (perasaan) mereka serta sangat takut untuk bersikap
durhaka terhadap mereka. Seorang anak yang durhaka kepada orang tua akan
dipandang miring (buruk) oleh masyarakat Melayu.Banyak cerita-cerita
legenda dalam masyarakat Melayu yang mengisahkan akibat buruk yang akan
diterima bagi seorang anak yang durhaka kepada orang tua, seperti Kisah
Malin Kundang, Si Tanggang, Dedap Durhaka dan lain-lain. Cerita-cerita
legenda ini menyiratkan pesan yang berharga bagi orang-orang Melayu agar
mereka jangan sampai lupa daratan dalam kehidupan sehingga mereka tidak
lagi mengenang atau tidak menghargai jasa dan perngorbanan orang tua atas
diri mereka.
Ada satu tradisi pada sebagian masyarakat Melayu, yaitu anak yang sudah
berumah tangga selalu berpikir untuk membangun rumah baru mereka tidak
jauh dari rumah orang tua mereka. Hal ini dilakukan dengan maksud agar
mereka bisa dekat dengan orang tua mereka dan sewaktu-waktu bisa
merawat dan menjaga orang tua mereka kalau sudah memasuki usia
senja.Ketaatan orang Melayu kepada orang tua ini membuat mereka akan
selalu mengorbankan apa saja yang dimilikinya untuk kepentingan orang tua
mereka. Mereka akan sangat menyesal bila mereka tidak bisa membalas jasa
dan budi baik yang telah diberikan orang tua mereka kepada mereka.
Ketaatan kepada orang tua ini tidak hanya dimaksudkan kedua ibu bapak
saja tapi“orang tua” bisa juga diartikan orang tua pada umumnya meskipun
tidak ada hubungan darah sekalipun. Dalam pergaulan sehari-hari, orang
58

Melayu sangat menghormati orang-orang tua, selalu menjaga adab ketika


berbicara dengan mereka, senantiasa menjaga sikap dan prilaku dalam
berhubungan dengan mereka dan sering meminta pendapat mereka ketika
ingin merencanakan atau melakukan sesuatu. Hal ini dikarenakan orang tua
dipandang sebagai orang yang sudah banyak “makan asam garam” ketimbang
orang-orang muda. Mereka dianggap lebih banyak memiliki pengalaman
dibandingkan anak-anak muda yang selalu diqiyaskan baru memiliki umur
“setahun jagung”.
Para tetua tidak pernah ditinggalkan dalam perundingan mereka untuk
memutuskan suatu perkara . Bagi orang Melayu, pandangan (pendapat) orang
tua sangat dibutuhkan. Karena pandangan orang tua dinilai lebih halus dan
tajam ketimbang pandang orang muda. Mereka tidak mau dianggap
memandai-mandai atau kurang ajar apalagi kalau tingkah laku mereka
dipandang miring karena “melangkahi’ orang-orang tua.

3. Taat kepada Pemimpin


Pemimpin dalam pandangan orangMelayu adalah orang yang menempati
posisi yang terhormat dan mempunyai kedudukan mulia dalam masyarakat.
Karena itu dia harus dipatuhi dan ditaati serta tidak boleh bersikap durhaka
kepadanya. Hal ini sebagaimana diungkap dalam tunjuk ajar Melayu berikut
ini:
Wahai ananda dengarlah madah
Terhadap pemimpin jangan menyalah
Tunjuk ajarnya jadikan petuah
Supaya hidupmu beroleh berkah

Wahai ananda dengarlah pesan


Terhadap pemimpin hendak lah sopan
Tunjuk ajarnya wajib kau simpan
Supaya hidupmu dirahmati Tuhan

Wahai ananda dengarlah amanah


Terhadap pemimpin elokkan tingkah
Tunjuk ajarnya usah disanggah
Supaya hidupmu diridhai Allah

Wahai ananda cahaya mata


Terhadap pemimpin taat setia
Tunjuk ajarnya engaku pelihara
Supaya hidupmu selamat sejahtera

Tunjuk ajar Melayudi atas mendorong orang Melayu agar selalu taat setia
kepada para pemimpin mereka, memegang teguh tunjuk ajarnya, bersikap
sopan, tidak berbuat menyalah dan menentangnya. Ketaatan kepada
pemimpin menjadi sumber kebaikan atas rakyat. Sebaliknya kedurhakaan
kepadanya akan mendatangkan mudharat.
59

Para pemimpin memikul amanah dan tanggung yang sangat berat untuk
mengurus rakyatnya. Mereka adalah orang-orang yang dituakan, didahulukan
selangkah, ditinggikan seranting, dikemukakan orang banyak. Oleh karena itu,
ketaatan kepada mereka harus ditunjukkan, tidak boleh membuat malu
pemimpin di hadapan khalayak. Jikalau mereka didapati melakukan perbuatan
yang menyalah, maka dibolehkan untuk menyampaikan nasehat kepadanya
tapi tidak merendahkan harkat dan martabatnya. Hal ini sebagaimana
dikatakan dalam pepatah Melayu:

Raja adil, Raja disembah


Raja zalim, Raja disanggah

Ungkapan ini menunjukkan bahwa menyampaikan nasehat kepada


pemimpin dibolehkan asal menggunakan cara-cara yang santun dan beradab.
Tidak boleh menghujat dan memberi malu kepadanya di hadapan khalayak.

4. Bersatu, Bergotong Royong dan Tenggang Rasa


Di antara sifat yang paling menonjol dari orang Melayu adalah selalu
bersatu padu, saling bekerjasama dan bertenggang rasa. Dalam banyak hal,
mereka memilih untuk mengihindari perselisihan (sengketa) karena hal itu
akan merusak hubungan persaudaraan. Selain itu, mereka selalu bergotong-
royong dan bertenggang rasa serta saling peduli dalam menjalani kehidupan
di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sebagaimana terdapat dalam tunjuk ajar
Melayu berikut ini:

Tahu unjuk dengan beri


Tahu menjalin gelegar patah
Tahu menjirat lantai terjungkat,
Tahu menampal liang dinding
Tahu menenggang hati orang
Tahu menimbang perasaan orang
Tahu menjaga aib malu orang
Tahu menutupi kekurangan orang
Hidup sedusun tuntun menuntun
Hidup sebanjar ajar mengajar
Hidup sekampung tolong menolong
Hidup sedesa rasa merasa
Hidup senegeri beri memberi
Hidup bersuku bantu membantu
Hidup berbangsa bertenggang rasa

Yang searang sama dibagi


Yang sekuku sama dibelah
Yang secebis sama dicebis
Yang secelis sama dicelis
60

Kalau makan tidak sendiri


Kalau senang tidak seorang

Tunjuk ajar di atas menggambarkansifat orang Melayu yang pemurah,


dermawan, setia membela dan membantu orang, tidak serakah dan tamak,
tidak mementingkan diri sendiri, penuh tenggangrasa dan kesetiakawanan,
ikhlas dalam menolong, rela berkorban, dan kokoh dalam memelihara
persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
OrangMelayu dalam kesehariannya tidak bersifat individualis atau
mementingkan urusan sendiri. Mereka memiliki rasa kepedulian sosial yang
cukup tinggi. Bahkan kadang-kadangterkesan selalu “ingin tahu hal orang lain”
(dalam pengertian positif) dengan maksud mana tahumereka sewaktu-waktu
bisa membantunya. Mereka tak segan-segan akan mengorbankan apa saja
demi menolong kerabat dan tetangganya apabila memerlukan bantuan.

5. Adil dan Benar


Bersikap adil dan benar menjadi karakter orang Melayu pada umumnya.
Keadilan dikedepankan dalam memutuskan perkara, menyelesaikan masalah
dan juga dalam berbagi (materi). Kebenaran ditunjukan dalam sikap dan
perbuatan yang berpihak kepada yang haq dan tidak membela yang batil.
Mengenai sikap adil dan benar orang Melayu ini sebagaimana diungkapkan
dalam tunjuk ajar Melayu berikut ini:
Bila menimbang sama beratnya
Bila menyukat sama penuhnya
Bila membelah sama baginya
Bila mengukur sama panjangnya
Sesuai sukat dengan timbangnya
Sesuai belah dengan ukurnya
Sesuai peluh dengan upahnya
Sesuai penat dengan dapatnya
Sesuai hukum dengan salahnya
Sesuai alur dengan patutnya
Tingginya tidak menimpa
Kuatnya tidak mematah
Besarnya tidak melendan
Menangnya tidak melenjin
Duduknya pada yang hak
Tegaknya pada yang benar
Kasihnya tidak memilih
Sayangnya tidak berbilang

Tunjuk ajar Melayuini menjelaskan karakter orang Melayuyang tidak


berat sebelah dalam menimbang setiap perkara (permasalahan), dan
bertindak sesuai dengan alur patutnya. Yang benar dibenarkan dan yang salah
61

disalahkan. Tidak ada pilih kasih dalam mengadili. Sikap ini tercermin dalam
perkataan para tetua dahulu lainnya:

Menjunjung adil menegakkan yang benar


Adilnya tidak memandang bulu, benarnya tidak memilih kasih

Orang Melayu teguh pendirian dalam memegang prinsip. Mereka tidak


bisa dipengaruhi oleh siapapun dalam pengambilan keputusan dalam
menegakkan keadilan dan kebenaran. Hal ini menyangkut kepercayaan orang
lain terhadap mereka. Prinsip ini sebagaimana tercermin dalam pepatah
Melayu lainnya yang menyatakan: “sekali orang tak percaya kepada kita,
seumur hidup orang tak akan pernah percaya”. Karena itu orang-orang
Melayu selalu berhati-hati dalam memutuskan perkara dan bertindak supaya
kepercayaan orang selalu diperolehnya.

6. Suka Menuntut Ilmu


Sifat orangMelayu selanjutnya adalah suka menuntut ilmu atau dalam
istilah lain suka belajar. Mereka selalu berupaya mencari guru atau “orang
tua” yang darinya mereka bisa menimba ilmu baik ilmu agama maupun ilmu
dunia. Sifat ini sebagaimana tercermin dalam tunjuk ajar Melayu berikut ini:
Apa tanda Melayu jati
Belajarnya tekun sampai mati
Apa tanda Melayu jati
Belajar dengan sepenuh hati
Apa tanda Melayu jati
Berguru tidak membilang hari

Wahai anak dengarlah madah


Menuntut ilmu janganlah lengah
Supaya kelak hidup tak susah
Kepada Allah mohonkan berkah

Wahai ananda harapan bunda


Tuntutlah ilmu selagi muda
Carilah guru di mana saja
Supaya hidupmu tiada sia-sia

Wahai ananda seri permata


Tuntutlah ilmu di desa di kota
Manfaatnya besar tiada terhingga
Dunia akhirat dirimu terpelihara

Tunjuk ajar Melayudi atas menggambarkan jati diri orang Melayu yang
selalu tekun dan sepenuh hati dalam belajar dan menuntut ilmu. Ilmu dalam
pandangan orang Melayu dianggap sebagai jalan untuk mendapatkan
62

kesenangan dan berkah dalam kehidupannya.OrangMelayu selalu merasa


bahwa pengetahuan, pengalaman dan kemampuan yang dimilikinya selalu
belum memadai alias masih kurang sempurna. Karena itu,mereka selalu mau
belajar dan menuntut ilmu kepada siapa saja yang dianggapnya memiliki
kelebihan, selalu bertanya dan meminta tunjuk ajar dari orang lain.
OrangMelayu tidak suka merasa bahwa diri mereka lebih dari orang lain
dalam hal pengetahuan, pengalaman dan kemampuan. Sifat merasa lebih
pandai dari orang lain dianggap kurang elok. Di saat ingin melakukan atau
memutuskan sesuatu, mereka terlebih dahulu meminta pendapat atau
pertimbangan dari orang lain terutama sekali para tetua yang dianggap
menguasai permasalahan.

7. Ikhlas dan Rela Berkorban


Ikhlas dan rela berkorban merupakan ciri khas orang-orang Melayu pada
umumnya. Mereka memiliki karakter yang tulus baik dalam pergaulan sosial
maupun menolong orang. Selain itu pula mereka senang mengorbankan apa
saja yang dimiliki untuk membantu orang lain. bantuan itu diberikan tanpa
mengharapkan imbalan. Ciri khas ini sebagaimana tertuang dalam tunjuk ajar
Melayu berikut ini:

Apa tanda Melayu sejati,


Tulus ikhlas di dalam hati
Apa tanda Melayu sejati,
tulus dan ikhlas pakaian diri
Apa tanda Melayu sejati,
Rela berkorban sampai mati
Apa tanda Melayu sejati,
berkorban tidak mengharap ganti
Apa tanda Melayu beradat,
Ikhlas bergaul sesama umat
Berkorban pantang diingat-ingat,
Menolong orang tiada mengumpat
Apa tanda Melayu beradat
Tulus ikhlas menjadi sifat
Berkorban tidak memilih tempat
Apa tanda Melayu beriman,
Tulus dan ikhlas jadi pegangan
Apa tanda Melayu beriman,
Hidup dan mati rela berkorban

Tunjuk ajar Melayudi atas memperkuatkarakter orang Melayu yang tulus


ikhlas. Mereka sanggup mengorbankan apa saja atau “tahan berhabis” untuk
mewujudkan tujuan-tujuan yang mulia. Mereka tidak berhitung akan nilai
yang sudah diberikan dan tidak mengharapkan ganti (imbalan) dari
63

pengorbanannya. Pengorbanan itu terus dilakukan hingga sampai ke akhir


hayatnya.
Terkait dengan pengorbanan, orang Melayu tidak mau mengingat-ngingat
dan menyebut-nyebutkannya. Selain itu juga,mereka tidak mau mengumpat-
ngumpat atas kebaikannya. Bagi mereka keinginan untuk berkorban adalah
sifat mulia dan akan mendapat ganjaran kebaikan dari Tuhan sedangkan
mengingat-ngingat atau mengumpat-ngumpat atasnya akan merusak nilai
pengorbanannya. Kemudian pengorbanan orang Melayu tidak memandang
orang dan tidak memilih tempat. Siapa saja yang membutuhkan pertolongan,
mereka selalu menyiapkan waktu dan tenaga untuknya dan mau menyisihkan
sebagian harta benda apabila memang diperlukan.

8. Bekerja Keras, Rajin dan Tekun


Tipikal orang-orang Melayu berikutnya adalah suka bekerja keras, rajin
dan tekun. Mereka tidak suka menghabiskan waktu dengan melakukan hal-hal
yang sia-sia atau tak berfaedah. Mereka sanggup membanting tulang, tak
peduli hujan panas untuk mencari nafkah. Mereka sanggup melakukan apa
saja demi memenuhi kebutuhan hidupnya yang penting halal karena halal ada
kaitannya dengan keberkahan. Kemudian dalam bekerja, mereka tidak suka
menunda-nundanya dan sebelum pekerjaannya selesai mereka tidak mau
berhenti. Tipikal ini sebagaimana digambarkan dalam tunjuk ajar Melayu
berikut ini:
Apa tanda Melayu Jati
Bekerja tekun sampai ke mati
Apa tanda Melayu jati
bekerja dengan sepenuh hati

Wahai ananda dengarkan amanah


Bekerja keras janganlah lengah
Supaya hidupmu beroleh berkah
Dunia akhirat mendapat faedah

Wahai ananda dengarlah pesan


Terhadap bekerja janganlah segan
Supaya dapat melepaskan beban
Supaya hidupmu diberkahi Tuhan

Tunjuk ajar Melayuini pula menggambarkan karakter orang Melayu yang


tekun dan rajin dalam bekerja. Dalam bekerja, mereka tidak lalai dan lupa diri
yang menyebabkan mereka sampai melakukan hal-hal yang kurang terpuji.
Bagi mereka, harta itu yang diutamakan bukan jumlahnya tapi berkahnya
sehingga membawa faedah di dunia dan di akhirat. Selain itu, orangMelayu
tidak malu dalam bekerja dan tidak suka memilih pekerjaan, yang penting
mereka memperoleh hasil yangbaik darinya.
64

Ada sterotipenegatif selama ini yang dialamatkan kepada orang-orang


Melayu, yaitu orang Melayu identik dengan orang pemalas. Persepsi ini tentu
saja tidak benar bahkan tidak etis bila ditujukan kepada orang Melayu karena
malas sebenarnya tidak bisa dikaitkan dengan suku atau etnis. Sifat pemalas itu
lebih bersifat personal atau orang perorangan. Pada setiap komunitas tidak
hanya suku Melayu saja tapi juga suku-suku lainnya tak bisa dinafikan ada
sebagian kecil orang yang memiliki sifat pemalas. Oleh karena itu sifat
pemalas tidak tepat bila diperuntukkan kepada suku tertentu saja.
Sifat orang Melayu yang selalu bekerja keras dan rajin dalam kehidupan
mereka juga tergambar dalamtunjuk ajar Melayu berikut ini:
Mau manampin tahan berlenjin,
Mau bersakit tahan bersempit,
Mau berteruk tahan terpuruk,
Mau berhimpit tahan berlengit,
Mau bersusah tahan berlelah,
Mau berpenat tahan bertenat,
Mau berkubang tahan bergumbang,
Mau bertungkus lumus tahan tertumus,
Mau ke tengah tahan menepi,
Mau terfitnah tahan terkeji,
Mau memberi tahan berbagi,
dan mau bersusah tahan merugi”
Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Melayu selalu mengerahkan
segala kemampuannya dalam bekerja dan mereka siap menanggung kesulitan
yang dihadapinya dalam membela kepentingan orang-orang yang menjadi
tanggungan mereka. Orang Melayu juga mempunyai keteguhan hati dan
bersifat ksatria sehingga mereka tidak mudah berputus asa, pantang menyerah
dan selalu bersemangat.
Selanjutnya ketekunan orang Melayu itu sebagaimana terungkap dalam
tunjuk ajar berikut:
Yang menjemput sekali tiba,
Yang mengantar sekali sampai,
Yang menggantung tinggi-tinggi,
Yang membuang jauh-jauh,
Yang menahan dalam-dalam
Ungkapan di atas menjelaskan bahawa orang Melayu bersungguh-sungguh
dalam melakukan sesuatu. Mereka tidak berkerja setengah hati melainkan
sepenuh hati. Hati dan pikiran mereka tidak akan bisa tenang sebelum
pekerjaan mereka selesai. Bahkan mereka akan sangat kecewa kalau hasil
pekerjaan mereka tidak memuaskan orang lain. sebab tugasnya meliputi
kepentingan orang banyak. Dalam bahasa kekinian tidak berlebih-lebihan bila
dikatakan bahwa orang Melayu mempunyai etos kerja yang cukup tinggi.
Sangkin tingginya etos kerja orang Melayu ini sampai-sampai kadang-
kadang satu dua pekerjaan bisa diselesaikan dalam satu waktu. Hal ini
sebagaimana terungkap dalam pepatah Melayu yang menyatakan:
65

Sambil menyelam, minum air


Sekali berlayar, dua tiga pulau terlampaui
Bahkan tipikal orang Melayu sebagai pekerja keras dan tekun tersebut
tersirat dalam lagu lancang kuning yang populer itu dimana orang
Melayuselalu berlayar di malam hari bukan di siang hari karena berlayar di
malam hari itu jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan berlayar di siang hari.
Selanjutnya berlayarnya itu ke laut dalam bukan ke laut dangkal (dengkat)
artinya orang Melayu sanggup menerpa badai dan gelombang di tengah laut.
Dan hal ini dikuatkan lagi dengan pepatah lainnya;”sekali layar terkembang
pantang surut ke belakang” artinya orang Melayu itu siap menanggung resiko
apapun atas perbuatan (pekerjaan) yang dilakukannya.

9. Mandiri dan Percaya diri


Salah satu watak orang Melayuadalah mandiri dan percaya diri. Mereka
selalu mengandalkan kemampuan diri sendiri dalam bekerja dan berusaha.
Mereka tidak akan meminta bantuan dari orang lain kecuali kalau memang
dibutuhkan atau terdesak. Selain itu, mereka juga penuh dengan
kepercayaan diri dalam melakukan sesuatu. Sifat mandiri dan percaya diri ini
sebagaimana tergambar dalam tunjuk ajar Melayu berikut ini:

Apa tanda Melayu jati


Di kaki sendiri ia berdiri
Apa tanda Melayu jati
Percaya teguh ke diri sendiri
Apa tanda Melayu jati
Percaya pada kemampuan diri

Wahai ananda dengarlah madah


Hidup di dunia tidaklah mudah
Kuatkan kakimu dalam melangkah
Teguhkan hati jangan menyerah

Wahai ananda dengarlah madah


Hidup di dunia bersusah payah
Kokohkan tegak janganlah goyah
Bulatkan hati jangan terbelah

Tunjuk ajar Melayudi atas menjelaskan jati diri orang Melayu yang selalu
bersikap mandiri dalam hidupnya. Mereka percaya dengan kemampuan dan
kekuatan yang dimilikinya. Kesulitan dan kesusahan hidup di atas dunia tidak
membuat mereka menyerah dan berputus asa. Mereka selalu penuh
semangat dan kerja keras dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Orang Melayu berpantang mengantungkan hidup mereka kepada orang
lain. Mereka sanggup tegak di kaki sendiri untuk mencari nafkah.
Menggantungkan hidup kepada orang lain dipandang sebagai sifat yang
66

kurang terpuji dan akan menghilangkan marwah. Itulah sebabnya orang-


orang Melayu akan merasa malu kalau mereka harus meminta tolong
kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya kecuali kalau dalam
keadaan terpaksa.Mereka lebih memilih untuk hidup bersusah payah
dengan hasil peras keringat sendiri ketimbang harus menggantungkan hidup
pada orang lain.

10. Bertanam Budi dan Membalas Budi


Suka bertanam budi dan membalas budi menjadi sifat umum
orangMelayu. Mereka selalu ingin berbuat baik dan berjasa kepada orang
lain sesuai dengan kemampuan mereka. Sebaliknya tatkala ada orang lain
yang berbuat baik kepadanya, mereka selalu ingat dan berupaya pula untuk
membalasnya. Sifat ini sebagaimana terangkai dalam tunjuk ajar Melayu
berikut ini:

Apa tanda Melayu jati,


Bertanam budi sebelum mati
Termakan budi ianya mati
Apa tanda Melayu jati,
Hidup ikhlas menanam budi
Apa tanda Melayu jati,
Elok perangai mulia pekerti
Sakit senang menanam budi
Apa tanda Melayu jati,
Hidupnya tahu membalas budi
Apa tanda Melayu jati,
Membalas budi sampailah mati
Apa tanda Melayu jati,
Karena budi berani mati
Apa tanda Melayu terpilih,
Bertanam budi tiada memilih
Apa tanda Melayu pilihan
Termakan budi ia elakkan
Bertanam budi ia galakkan
Apa tanda Melayu beradat,
Berteman budi ia bertempat
Apa tanda Melayu beradart,
Budi orang ianya ingat

Tunjuk ajar Melayu ini menggambarkan bahwabertanam budi dan


membalas budi termasuk perangai yang elok dan mulia. Bertanam budi
dilakukan sepanjang hayat dan dalam keadaan apapun baik senang maupun
susah. Selain itu juga, tidak memilih dan memilah dalam melakukannya.
Kepada siapapun, budi itu selalu ditanamkan, baik keluarga, kerabat dan
tetangga.
67

Tidak hanya bertanam budi, membalas budi juga selalu dikedepankan.


Tahu membalas budi dipandang sebagai orang yang arif dan bijaksana.
Namun, termakan budi termasuk perbuatan yang harus dihindarkan karena
hal itu mengandung konotasi yang kurang baik. Termakan budi mengandung
maksud berhutang budi. Berhutang budi akan cenderung membuat
seseorang itu sulit untuk mengambil sikap dan keberpihakannya cenderung
menjadi buta.

11. Penuh Rasa Tanggung Jawab


Sifat orangMelayu selanjutnya adalah penuh rasa tanggung jawab baik
terhadap diri, keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negaranya. Rasa
tanggung jawab tinggi akan membuat mereka dihormati dan dihargai
masyarakat. Sebaliknya, orang-orang yang tidak bertanggung jawab akan
direndahkan, dilecehkan, bahan diejek oleh masyarakat. Sifat penuh rasa
tanggung jawab ini sebagaimana terdapat dalam tunjuk ajar Melayu berikut
ini:
Apa tanda Melayu jati
Bertanggung jawab sampai kemati
Terhadap tanggung jawab tiada lari
Bertanggung jawab sepenuh hati
Bertanggung jawab ketengah ketepi
Bertanggung jawab pakaian diri
 
Apa tanda Melayu terbilang
Bertanggung jawab muka belakang
Melepaskan tanggung jawab ia pantang
Bertanggung jawab sakit dan senang
 
Apa tanda Melayu pilihan
Bertanggung jawab memikul beban
Melepaskan tanggung jawab ia pantangkan
Bertanggung jawab berat dan ringan
Terhadap tanggung jawab tiada menyeman
 
Apa tanda Melayu bertuah
Terhadap tanggung jawab tiada menyalah
Bertanggung jawab senang dan susah
Bertanggung jawab menahan lapah
Terhadap tanggung jawab tidak berkilah
Karena tanggung jawab mau dilapah
Karena tanggung jawab mau bersusah
Tanggung jawabnya tiada berbelah

Apa tanda Melayu beradat


Bertanggung jawab dalam berbuat
Terhadap tanggung jawab hatinya bulat
68

Bertanggung jawab ke laut ke darat


Terhadap tanggung jawab ianya ingat
Karena tanggung jawab tahan di kebat

Apa tanda Melayu berakal


Karena tanggung jawab tahan dipenggal
Bertanggung jawab ujung dan pangkal
Apa tanda Melayu semenggah
Bertanggung jawab ianya gagah
Apa tanda Melayu bijak
Bertanggung jawab pantang mengelak
Karena tanggung jawab tahan dipijak
Karena tanggung jawab mau tercampak
 
Apa tanda Melayu beriman
Haram baginya melempar batu bersembunyi tangan
Haram baginya meninggalkan beban
Haram baginya berlepas tangan
Sifat tanggung jawab ia kekalkan
Sakit senang ia tahankan
Kepalanya siap memikul beban

Tunjuk ajar Melayu di atas menunjukan secara eksplisit bahwa orang-


orang Melayu selalu bertanggung jawab atas perkataan yang diucapkan,
perbuatan yang sudah dilakukan dan keputusan yang sudah diambil. Mereka
selalu memegang amanah, siap menanggung akibat (resiko) atas
perbuatannya dan tidak mau melarikan diri dari masalah. Sifat ini tergambar
dalam ungkapan orang-orang tuaMelayu lainnya, yaitu “tangan mencincang
bahu memikul” artinya kalau sudah berbuat, siap dengan konsekuensinya.
Orang Melayu tidak suka melemparkan tanggung jawab kepada orang lain
atas perbuatan yang dilakukannya. Karena perbuatan tersebut dipandang
miring seperti tergambar dalam peribahasa Melayu,’lempar batu sembunyi
tangan”. Dia yang berbuat, orang lain yang menanggung akibatnya. Orang
Melayu sangat menolak sikap dan prilaku yang mengabaikan tanggung
jawab karena sikap dan perbuatan tersebut akan merugikan orang
lain,”orang yang makan nangka, awak yang kena getahnya”.
Tanggung jawab sebagai jatidiri orang Melayu ini berkaitan erat dengan
kepercayaan orang lain terhadap mereka. Pengabaian terhadap tanggung
jawab akan membuat mereka tidak dipercayai untuk selamanya. Akibatnya
keberadaan mereka akan sulit diterima lagi dalam relasi sosial orang-orang
Melayu. Karena itu, orang Melayu tahan bersusah payah dalam hidup
mereka demi menegakkan tanggung jawab. Mereka tidak disilaukan oleh
materi karena orang Melayu memandang harta itu yang utama berkahnya,
bukan jumlahnya. Hutang bagi mereka dianggap bukan hanya sebatas beban
material, tetapi lebih-lebih lagi sebagai beban moral. Selagi hutang itu belum
69

dilunasi, selama itu pula mereka akan terbebani secara moral dan sepertinya
mereka tak sanggup bertemu dengan orang yang memberikan piutang
kepada mereka.

12. Pemalu
Sifat malu menjadi pakaian batin sehari-hari orang Melayu. Sifat ini
menjadi penghalang bagi mereka untuk melakukan perbuatan yang tercela
yang akan merusak nama baik dan marwah mereka. Sifat ini sebagaimana
tergambar dalam tunjuk ajar berikut ini:

Yang disebut sifat malu,


Malu membuka aib orang
Malu menyingkap baju dibadan
Malu mencoreng arang dikening
Malu melanggar pada syarak
Malu terlanda pada adat
Malu tertarung pada lembaga
Malu merusak nama baik
Malu memutus tali darah
Malu hidup menanggung malu
Malu mati tidak bermalu
Apa tanda Melayu jati,
Malu berbuat yang tidak terpuji
Apa tanda Melayu jati,
Memelihara malu sepenuh hati
Apa tanda Melayu jati,
Malu bersifat dengki mendengki
Malu bersifat iri mengiri
Malu bersifat khianat mengkhianati
Malu bersifat caci mencaci
Malu menyombong berbesar hati
Malu mungkir menyalahi janji
Malu makan kenyang sendiri

Tunjuk ajar Melayu ini menjelaskan bahwa sifat malu itu berkaitan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang buruk, perbuatan tidak senonoh,
pelanggaran terhadap syara’ dan adat, pemutusan hubungan keluarga
(pertalian darah), merusak nama baik orang dan membuka aib (keburukan)
orang lain, berbuat aniaya dan mengkhianati amanah.
Sifat malu inilah yang membuat orang Melayu selalu hati-hati dalam
bersikap dan bertindak dalam keseharian mereka. Telancang dalam berkata-
kata, telajak dalam berbuat mengakibatkan mereka akan dinilai buruk oleh
orang-orang lain. Penilaian yang buruk akan membuat mereka kehilangan
kepercayaan dari orang lain.
70

13. Pengasih
Sifat pengasih menjadi ciri orang Melayu. Kasih sayang ditunjukan
terhadap ahli keluarga, jiran dan tetangga, teman dan masyarakat pada
umumnya. Kasih sayang itu diwujudkan dalam bentuk penuh
perhatian,kepedulian, mau hidup berbagi dan suka menolong. Sifat pengasih
ini sebagaimana diungkap dalam tunjuk ajar Melayu berikut ini:
Wahai Ananda Intan dikarang
Hiduplah engkau berkasih sayang
Janganlah suka memusuhi orang
Sifat yang buruk hendaklah buang
Wahai ananda dengar madah
Berkasih sayang besarlah faedah
Dalam bergaul engkau merendah
Supaya aibmu tidak terdedah

Tunjuk ajar Melayu ini menyiratkan pesan agar orang Melayu menjalani
kehidupan mereka dengan saling berkasih sayang, tidak saling bermusuhan
antara satu sama lain. Suka bermusuhan adalah sifat yang buruk karena itu
harus ditinggalkan. Hidup berkasih sayang sangat besar sekali manfaatnya, di
antaranya akan terjalin hubungan mesra di antara sesama manusia,
mengokohkan persaudaraan dan menguatkan persatuan dan kesatuan.
Sebaliknya sikap permusuhan akan meretakkan hubungan sesama manusia,
menciptakan pertikaian dan sengketa dan mengundang bencana atas
kehidupan manusia.

14. Hak dan Milik


Sifat orang Melayu selanjutnya adalah tahu mana yang menjadi haknya
dan mana yang menjadi milik orang lain. Apa yang menjadi haknya, mereka
selalu membelanya dan bersikap hati-hati. Dan apa yang menjadi milik orang
lain, mereka selalu menghargainya. Sifat ini sebagaimana tersurat dalam
tunjuk ajar Melayu berikut ini:

Adat hak ada berpunya,


Adat menjemput mengantarkan,
Adat meminjam memulangkan,
Adat mengantar sampai-sampai,
Adat memulangkan elok-elok,
Hak orang sama dipandang,
Harta orang sama dijaga,
Milik orang sama dipelihara,
Yang pinjam sepanjang boleh,
Yang memulangkan sebelum sudah.
Apa tanda Melayu jati,
Hak miliknya ia cermati,
71

Hak milik orang lain ia hormati,


Apa tanda Malayu jati,
Terhadap hak milik berhati-hati,
Apa tanda Malayu jati,
Membela yang hak berani mati,
Membela hak milik menahan cemeti”

Tunjuk ajar Melayu ini menggambarkan bahwa orang Melayu


sebenarnya pandai memilah-milah mana yang menjadi hak mereka dan
mana yang menjadi milik orang lain. Mereka saling menghormati,
menghargai dan memelihara hak-hak orang lain, dan bertanggung jawab
atas hak orang lain yang dipakai atau dipinjamnya dan juga yang
dipercayakan kepadanya.
Orang Melayu dalam bermuamalat sesama manusia hanya mau
mengambil apa yang menjadi haknya dan tidak mau mengambil milik orang
lain. Di saat meminjam sesuatu, mereka akan mengembalikannya, di saat
berhutang, mereka akan melunasinya, di saat diberi amanah, mereka akan
tetap menjaganya. Mengambil sesuatu yang bukan haknya, dianggap
sebagai perbuatan yang buruk karena akan merugikan orang lain. Orang
Melayu sangat berhati-hati dalam persoalan makan minum, karena sesuatu
yang bukan hak mereka kalau termakan dan terminum akan dipertanggung
jawabkan di hadapan Allah swt kelak.

15. Suka Bermusyawarah dan Mufakat


Sifat orang Melayulainnya adalah suka bermusyawarah dan bermufakat.
Musyarawah dikedepankan tatkala memutuskan suatu perkara atau
menyelesaikan suatu masalah. Kemudian mufakat bersama yang dicari, tidak
mengambil keputusan sendiri tapi melibatkan banyak orang. Sifat ini
sebagaimana terdapat dalam tunjuk ajar Melayu berikut ini:
Wahai ananda dengar amanat
Jangan sekali meninggalkan mufakat
Elok berunding sebelum berbuat
Supaya kerjamu jadi selamat

Wahai ananda dengarlah syair


Duduk musyawarah pantang menyindir
Mufakatkan akal gunakan fikir
Supaya kerja tidak Mubazir

Tunjuk ajar Melayu ini menyiratkan pesan agar orang Melayu selalu
berunding sebelum berbuat dan tidak meninggalkan mufakat. Perundingan
dan mufakat akan mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi kehidupan
manusia. Selain itu, musyawarah dan mufakat dijadikan acuan dan landasan
agar rasa kebersamaan, saling hormat-menghormati, saling isimengisi, saling
72

menunjuk ajari dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya. 94Ungkapan adat


mengatakan:

Di dalam musyawarah banyak faedah


Di dalam muafakat banyak manfaat
Duduk musyawarah membawa berkat
Duduk muafakat membawa rahmat

Tatkala bermusyarah dalam bermufakat, harus mengedepankan pikiran-


pikiran yang jernih dan menggunakan bahasa-bahasa yang santun. Tidak
boleh saling menjatuhkan, saling menyudutkan, saling menyindir antara satu
sama lain karena sikap itu akan membuat pekerjaan menjadi mubazir dan
perundingan akan menjadi sia-sia bahkan menciptakan pertengkaran yang
panjang. Seperti dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu lainnya:

Apa tanda orang bermaruah,


Santun dan hormat dalam musyawarah.
Apa tanda orang beradat,
Tahu diri dalam muafakat.

16. Berani
Jati diri orang Melayu selanjutnya adalah pemberani, gigih dan pantang
menyerah, tidak gentar menghadapi cabaran, tangguh menghadapi musuh,
tahan menghadapi cobaan, berani menghadapi mati dan rela berkorban
untuk membela kepentingan agama, masyarakat, bangsa dan negaranya,
serta bertanggung jawab atas perbuatannya. Hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam tunjuk ajar Melayu berikut ini:

Tahan menentang matahari


Tahan menepis mata pedang
Tahan menyilang mata keris
Tahan asak dengan banding
Tahan capak dengan ugut
Tahan bergelang tali terap
Tahan berbedak dengan arang
Tahan berbantal dengan tumang
Yang berani pada haknya
Yang kuat pada patutnya
Yang keras pada adilnya
Duduknya di tikar sendiri
Tegaknya di tanah sendiri
Hidupnya di negeri sendiri
Matinya di pekuburan sendiri

94
Al-Azhar, Nilai-Nilai Asas Jati Diri Melayu sebagai Perekat Persatuan dan Kesatuan Bangsa
(Ceramah Arif Budiman 11), 14 Februari 2015.
73

Apa tanda Melayu jati,


di jalan Allah berani mati
Apa tanda Melayu jati,
negakkan keadilan berani mati
Apa tanda Melayu jati,
Membela yang hak lupakan mati
Apa tanda Melayu jati,
menebus malu tak ingat mati
Apa tanda Melayu jati,
Membela negeri sampai ke mati
Apa tanda Melayu jati,
Pada yang benar tempatnya mati

Tunjuk ajar Melayu ini melukiskan jiwa patriot orang Melayu dalam
berbuat, berjuang, membela kebenaran (keadilan), dan mempertahankan
negeri. Karakter ini juga sebagaimana tersirat dalam pepatahMelayu lainnya:
Esa hilang dua terbilang, pantang Melayu berbalik belakang
Sekali masuk gelanggang, kalau tak berjaya nama yang pulang.
Mereka pantang menyerah (tangguh), tidak merasa lemah terhadap
sesuatu yang terjadi dan menimpanya. Keberanian orang Melayu ini sampai-
sampai membuat mereka sanggup menghadapi kematian. Kematian dalam
membela agama, menegakkan keadilan, menebus malu, membela negeri,
dipandang sebagai kematian yang mulia dan terhormat. Sebaliknya sifat
pecundang atau pengkhianat dianggap sebagai sifat yang buruk, tercela dan
dikecam dalam masyarakat Melayu.

17. Jujur
Kejujuran menjadi ciri khas orang Melayu. Jikalau berkata, selalu lurus
dan jikalau bercakap, selalu benar, sesuai kulit dengan isi, sesuai cakap
dengan buat, sesuai janji dengan bukti, sesuai akad dengan buat, sesuai
sumpah dengan karenahnya, dan seterusnya. Sifat ini sebagaimana tersirat
dalam tunjuk ajar Melayu berikut ini:

Lurus bagai benang arang,


Lurusnya menahan bidik jujurnya menahan uji,
Sepadan takah dengan tokohnya
Sepadan lenggang dengan langkahnya,
Sepadan ilmu dengan amalnya
Sepadan laku dengan buatnya,
Sepadan cakap dengan perangainya
Sesuai kulit dengan isinya
Sesuai lahir dengan batinnya,
Pepat di luar pepat di dalam
Runcing di luar runcing di dalam,
74

Putih di luar putih di dalam”

Apa tanda Melayu jati


Lurus dan jujur sampai ke hati
Apa tanda Melayu jati
Jujurnya tidak berbelah bagi
Apa tanda Melayu jati
Hidupnya jujur sampailah mati
Apa tanda Melayu jati
Lidahnya jujur hatinya suci
Apa tanda Melayu jati
Jujur di mulut jujur di hati”

Tunjuk ajar Melayu ini mendeskripsikan tipikal orang Melayu yang jujur
dalam kepribadian mereka. Kejujuran tersebut tercermin dalam kelurusan
sikap dan kesesuaian antara ilmu dan amal mereka, antara laku dan buat
mereka, antara cakap dan perangai mereka, antara mulut dan hati mereka.
Kejujuran orangMelayu tidak berbelah bagi dan sampai ke mati.
Orang Melayu memandang kejujuran adalah penampilan harga diri yang
utama. Mereka selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam prilaku
keseharian mereka. Prinsip mereka tidak mudah goyah dan tidak akan mau
menebus kejujuran dengan materi karena hal itu akan merendahkan harkat
dan martabat mereka di hadapan banyak orang. Ketika harkat dan martabat
mereka jatuh, mereka akan merasa malu dan kehilangan muka di hadapan
orang ramai.
Kejujuran orang Melayu itu tercermin dalam perkataan, sikap dan
perbuatan mereka. Perkataan mereka selalu benar alias tidak bohong (palsu).
Antara kata dan laku selalu sejalan alias tidak bertolak belakang. Sikap
mereka selalu berpihak kepada yang hak dan menolak yang batil. Yang hak
akan dibela mati-matian dan yang batil akan ditolak habis-habisan. Mereka
tidak memegang prinsip hidup yang selalu berusaha mencari aman (selamat)
demi mengejar kesenangan pribadi semata-mata sementara orang lain
menjadi teraniaya. OrangMelayu selalu menepati janji mereka. Selagi janji itu
belum terpenuhi, selagi itu pula ia akan menjadi beban moral bagi mereka.
Apabila diberi amanah, mereka tidak akan mengkhianatinya. Mereka selalu
memegang perinsip, sekali saja mengkhianati orang, seumur hidup orang
akan tetap ingat dan orang tidak akan memberikan kepercayaan untuk yang
kedua kalinya.
Orang Melayu sangat mengecam prilaku munafik karena prilaku itu akan
menodai arti dan makna kejujuran yang selalu dijunjung tinggi. Ada sejumlah
ungkapan dalam pribahasa Melayu yang menggambarkan kecaman terhadap
kemunafikan, diantaranya:

Telunjuk lurus, kelinggking berkait


Ibarat menggunting dalam lipatan
Lain di depan dan lain pula di belakang
Kalau menikam itu biarlah dari depan, jangan dari belakang.
75

Selain jujur, orang Melayu selalu bertanggung jawab atas perkataan dan
perbuatan mereka. Cakap mereka bisa dipegang, perkataan mereka selalu
terbukti, harapan orang selalu berusaha untuk dipenuhi. Orang Melayu selalu
memegang amanah, siap menanggung akibat (resiko) atas perbuatannya dan
tidak mau melarikan diri dari masalah. Hal ini seperti tergambar dalam
ungkapan orang-orang tua, yaitu “tangan mencincang, bahu memikul” artinya
kalau sudah berbuat, siap dengan konsekuensinya. Orang Melayu tidak suka
melemparkan tanggung jawab kepada orang lain atas perbuatan yang
dilakukannya. Karena perbuatan tersebut dipandang miring seeperti
tergambar dalam peribahasa Melayu,’lempar batu, sembunyi tangan”. Dia
yang berbuat orang lain yang menanggung akibatnya. Orang Melayu sangat
menolak sikap dan prilaku yang mengabaikan tanggung jawab karena sikap
dan perbuatan tersebut akan merugikan orang lain,”orang yang makan
nangka, awak yang kena getahnya”.
Kejujuran dan tanggung jawab sebagai jatidiri orang Melayu ini
berkaitan erat dengan kepercayaan orang lain terhadap mereka. Kebohongan
dan khianat akan membuat mereka tidak dipercayai untuk selamanya.
Akibatnya keberadaan mereka akan sulit diterima lagi dalam relasi sosial
orang-orang Melayu. Karena itu, orang Melayu tahan bersusah payah dalam
hidup mereka demi menegakkan kejujuran dan tanggung jawab.

18. Hemat dan Cermat


Sifat orang-orang Melayu selanjutnya adalah hemat dan cermat. Hemat
dalam kaitannya dengan kepemilikan harta benda dan cermat dalam
kaitannya dengan sikap dalam bertindak. Kata kuncinya adalah sikap
berpada-pada dalam segala hal. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam
tunjuk ajar Melayu berikut ini:
Yang disebut sifat berpada-pada,
Mengejar pangkat berkira-kira,
Mengejar harta berhingga-hingga,
Mengejar kedudukan berjaga-jaga.
Yang disebut sifat berpada-pada,
Mencari pangkat berhemat cermat,
Mencari harta berjimat-jimat,
Mencari kedudukan beringat-ingat.
Yang disebut sifat berpada-pada,
Mengejar pangkat pada derajatnya,
Mengejar harta pada patutnya,
Mengejar kedudukan pada layaknya.
Pangkat jangan membawa mudarat,
Harta jangan membawa nista,
Kedudukan jangan membinasakan,
Selera jangan dimanjakan,
Nafsu jangan diturutkan,
76

Dunia jangan membutakan,


Ukur bayang-bayang sepanjang badan,
Ukur ilmu dengan kemampuan,
Elok memakai pada yang sesuai,
Elok berdiri pada yang serasi,
Elok duduk pada yang seronok,
Elok berjalan pada yang sepadan,
Elok makan pada yang tertelan.

Tunjuk ajar Melayu ini menjelaskan sifat orang Melayuyang tidak suka
kepada perbuatan ataupun tindakan yang terlalu berlebih-lebihan, tidak
rakus terhadap harta, tidak serakah kepada pangkat dan kedudukan, tidak iri
dan dengki kepada kelebihan dan kekayaan orang lain, tidak mabuk dunia
dan lupa diri, tidak menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan, dan
sebagainya.
Sifat ini juga tergambar dalam perkataan orang-orang tua dahulu:
Tahu mengukur bayang-bayang sepanjang badan
Adat hidup berpada-pada,
Mencari harta berhingga-hingga,
Mengejar pangkat berkira-kira,
Mensyukuri nikmat berlapang dada.
Sikap berlebih-lebihan dalam kehidupan merupakan sikap yang tidak
terpuji karena lebih mengarah pada sikap dan perbuatan serta perilaku
serakah. Serakah merupakan suatu sikap tidak puas dengan yang menjadi
hak atau miliknya, sehingga berupaya meraih yang bukan haknya. Sikap
serakah dapat mendorong orang mencari harta sebanyak-banyaknya dan
jabatan setinggi-tingginya, tanpa menghiraukan cara halal atau haram.
Keserakahan juga dapat membuat seseorang bersikap kikir dan tidak peduli
akan nasib orang lain. Sikap serakah juga selalu dikaitkan dengan sikap
tamak, tidak pernah merasa puas dengan hasil yang sudah didapatkan. Sikap
tamak mengarah seseorang pula pada hubb al-dunia atau terlalu cinta dan
senang terhadap hal-hal keduniaan dan tujuan utama bagi dirinya adalah
kebutuhandan terpenuhinya nafsu syahwat. Ini semua merupakan penyakit
hati yang harus dihindarkan dan dijauhi.

19. Rendah Hati


Ciri khas orang Melayu berikutnya adalah rendah hati. Rendah hati
adalah sikap merendahkan diri di hadapan orang dan sopan santun terhadap
sesama. Sikap rendah hati orang Melayu ini tercermin dalam ucapan atau
perkataan mereka yang selalu merendah dan tidak suka meninggi alias
sombong. Sifat ini sebagaimana tergambar dalam tunjuk ajar Melayu berikut
ini:

Apa tanda Melayu jati


77

Budi halus dan rendah hati


Lemah lembut sebarang pekerti
Sesama umat ia hormati
Pantang baginya membesarkan diri
Sifatnya tidak tinggi hati
Lidahnya lunak pantang meninggi
 
Apa tanda Melayu terbilang
Hatinya rendah dadanya lapang
Sopan santun menghadap orang
Budinya halus tidak temberang
 
Apa tanda Melayu bertuah
Berkata merendah-rendah
Muka manis, hati pun rendah
Sombong menyombong ia tak pernah
Hati lembut, cakap merendah
Tahu memelihara kaki dan lidah
Apa tanda Melayu beriman
Cakapnya halus, lakunya sopan
Apa tanda Melayu berilmu
Membesarkan dirinya ianya malu
Apa tanda Melayu beradat
Hatinya rendah, lakunya khidmat
Hatinya rendah mensyukuri nikmat

Tunjuk ajar Melayu ini menyiratkan sifatorang Melayu yang selalu


menghormati dan menghargai orang lain, tidak suka meremehkan orang, tidak
suka merasa benar sendiri, selalu mau mendengar nasehat dan tunjuk ajar dari
orang lain dan selalu mengakui kekurangan atau kelemahannya.
Kerendahan hati orang Melayu juga tergambar dalam kepribadian
mereka yang tak suka terlalu menonjol-nonjolkan diri. Meskipun sebenarnya
mereka memiliki kemampuan atau keahlian untuk melakukan sesuatu.
Mereka lebih mendahulukan orang lain terutama orang tua (orang yang
berpengalaman) ketimbang dirinya. Kecuali kalau orang lain memberikan
kepercayaan (amanah) kepada mereka. Barulah kemudian mereka akan
mengerahkan segala kemampuan atau keahlian mereka tapi tetap meminta
pendapat (tunjuk ajar) dari orang-orang tua.
Orang Melayu menganggap sifat yang suka menonjol-nonjolkan diri
adalah sifat yang kurang baik karena terkesan merasa lebih hebat dari orang
lain. Orang-orang tua Melayu dahulu menyindir orang yang memiliki sifat
seperti ini dalam ungkapan yang menyatakan:“hidung tak mancung pipi
tesorong-sorong”. Maksudnya orang yang sebenarnya tidak memiliki
kemampuan tapi ia merasa mampu melakukannya. Ungkapan ini juga
mengandung makna orang yang terkesan suka ikut campur dalam urusan
orang lain yang sebenarnya ia tidak tahu duduk permasalahannya.Kerendahan
hati orang Melayu ini membuat mereka senantiasa disegani, dihormati dan
78

dimuliaakan karena mereka tahu menempatkan diri dalam pergaulan sehari-


hari dengan orang lain.

20. Bersangka Baik dengan Makhluk


Sifat orang Melayulainnya adalah suka berbaik sangka dengan makhluk.
Dalam pergaulan sesama manusia, mereka tidak pernah menaruh curiga dan
berprasangka buruk. Prasangka buruk akan merusak hubungan silaturahim.
Persaudaraan dan pertemanan benar-benar dibangun atas dasar ketulusan
dan saling pengertian. Sifat ini sebagaimana diungkap dalam tunjuk ajar
Melayu berikut ini:
Adapun sifat berbaik sangka,
Menghujat mengeji ia tak suka,
Bergaul dengan bermanis muka,
Siapa datang ia terima,
Siapa bercakap ia percaya.

Apa tanda Melayu jati,


Bersangka baik berlurus hati.
Apa tanda Melayu jati,
Bersangka buruk ia dijauhi.
Apa tanda Melayu bertuah,
Bersangaka baik pada manusia.
Apa tanda Melayu bertuah,
Berbaik sangka pada makhluk Allah.
Apa tanda Malayu terbilang,
Berbaik sangka pada orang.
Apa tanda Melayu terbilang,
Baik sangka muka belakang.
Apa tanda Melayu beradat,
Berbaik sangka pada umat.
Apa tanda Melayu beradat,
Berbaik sangka jauh dan dekat
Tunjuk ajar Melayu ini menggambarkan bahwa berbaik sangka adalah
sifat yang melekat pada diri orang Melayu. Mereka selalu bermanis muka
kepada semua orang yang datang kepada mereka, menerima dengan senang
hati dan mempercayai apa yang dikatakannya. Sangka baik orang
Melayutidak hanya di depan tapi juga di belakang.
Orang Melayu beranggapan bahwa dengan selalu berpasangka baik
terhadap orang lain, kemana pergi orang akan senang kepada mereka.
Sebaliknya, selalu berprasangka buruk akan membuat orang lain semakin
menjauh dari mereka dan akan merusak pergaulan. Hal seperti seperti
dinyatakan dalam perkataan orang-orang tua dahulu:
Apabila selalu berbaik sangka, kemana pergi orang ‘kan suka
Apabila suka bersangka buruk, mudanya rusak tuanya teruk
79

21. Perajuk
Ciri khas orang Melayu selanjutnya perajuk. Perajuk di sini mengandung
dua konotasi; bisa positif dan bisa pula negatif. Merajuk yang berkonotasi
positif artinyasifat inidimaknai memilih untuk mendiamkan dan
meninggalkan suatu masalah yang ada dihadapannya. Sikap itu diambil
supaya tidak terjadi perselisihan dan pertarungan fisik. Merajuk dalam
pengertian inimenjadi semacam teknik menahan diri agar pertikaian tidak
terjadi. Mencari kemenangan sepihak dalam berselisih dianggap tidak baik.
Ungkapan Melayu mengatakan “menang jadi abu kalah jadi arang”.Dan
merajuk mengandung kontasi negatif artinya sifat ini merupakan cerminan
dari sifat lemah semangat, rendah diri, berpikiran sempit, pemalu, cepat putus
asa, dan tidak memiliki keberanian serta harga diri.
Tentang sifat perajuk yang seperti ini sebaiknya dihindarkan
sebagaimana diungkap dalam tunjuk ajar Melayu berikut ini:
Apa tanda Melayu jati,
Dari pada merajuk eloklah mati,
Apa tanda Melayu jati,
Sifat perajuk ia jauhi,
Apa tanda Melayu budiman,
Sifat merajuk ia haramkan.
Apa tanda Melayu budiman,
Dari pada merajuk biar tak makan,
Apa tanda Melayu beriman,
Dari pada merajuk biar terhumban
Berdasarkan tunjuk ajar Melayu di atas, sifat perajuk sebaiknya dihindari
karena lebih banyak mudharatnya, di antaranya akan membuat seseorang
tersingkir dari kehidupan masyarakat. Ada ungkapan lainnya yang
mengatakan “orang perajuk mati jauh”. Namun dibalik sifat yang suka
menghindar dan merajuk, orang Melayu juga punya sifat yang tegas yang
disebut aruk dan amuk. Kedua sifat ini akan muncul ketika harga diri orang
Melayu direndahkan, ketika adat dan agamanya dilecehkan. Orang Melayu
siap mempertaruhkan nyawanya demi membela kehormatannya, menjaga
tuah dan marwah adat lembaga serta agama. “Biarlah mati anak dari pada
mati adat”. Dalam ungkapan adat lainnya dinyatakan:
Walaupun Melayu suka berdamai
Hidup rukun beramai-ramai
Tetapi jangan ia digulai
Membunuh orang pun Melayu pandai

Walaupun Melayu pantang mendurhaka


Kepada pemimpin taat setia
Tetapi jangan meraka dianiaya
Melayu pun berani menyabung nyawa

22. Tahu Diri


80

Tahu diri merupakan sifat bijaksana yang melekat pada diri orang
Melayu pada umumnya. Tahu diri ini terkait dengan asal usul, tujuan hidup,
martabat, kedudukan, peraturan, adat istiadat, kebiasaan, kelebihan dan
kekurangan, dan sebagainya. Terhadap semua itu, orang Melayu pandai
menempatkan diri mereka. Hal ini sebagaimana tergambar dalam tunjuk ajar
Melayu berikut ini:

Tahu diri dengan perinya


Tahu hidup dengan matinya
Tahu marwah dengan tuahnya
Tahu alur dengan patutnya
Tahu sifat dengan kiatnya
Tahu salah dengan silihnya
Tahu gelanggang tempat bermain
Tahu pangkalan tempat berlabuh
Tahu teluk timbunan kapar
Tahu tanjung pumpunan angin
Tahu pasang menyentak naik
Tahu surut menyentak turun
Tahu rumah ada adatnya
Tahu negeri ada undangnya
Tahu tepian ada bahasanya
Tahu galas bersandaran,
Tahu dagang bertepatan
Tahu asal mula datangnya
Tahu ujung tempat baliknya”

Tunjuk ajar Melayu ini menyiratkan sifat tahu diri orang Melayuyang
berawal darikesadaran sepenuhnya akan hakikat hidup dan kehidupan di
dunia dan di akhirat. Kemudian tahu siapa diri mereka, tahu dari mana asal
mereka, tahu untuk apa hidup di dunia dan kemana akhir hidup mereka,tahu
alur dengan patutnya, tahu membawa diri mereka di dalam pergaulan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tahu memahami hak dan
kewajibanmereka, tahu menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka
dan sebagainya.
Sifat tahu diri ini menunjukkan kearifan orang Melayudalam bersikap
dan berprilaku dalam interaksi sosial mereka. Kearifan ini membuat mereka
disegani dan dihormati. Orang-orang Melayu menganggap buruk sikap yang
tak tahu diri karena sikap itu akan merendahkan harkat dan martabat
manusia sebagai orang yang beradab.

23. Terbuka

Orang Melayu memiliki sifat terbuka kepada semua pihak yang datang
ke daerahnya, mereka menyambutnya dengan “muka yang jernih” dan “hati
81

yang lapang”, kemudian mempersilakannya untuk hidup dan berusaha, serta


memberikan untuk menetap dan berketurunan. Jalinan hubungan yang
mesra inilah yang selalu bermuara kepada ikatan perkawinan sehingga
wujudlah kekerabatan yang kekal. Selain itu, adat Melayu memberi peluang
kepada siapa saja yang ikhlas untuk mengikat tali persaudaraan melalui
upacara adat yang disebut “begito”, yakni mengaku bersaudara dunia
akhirat.95

Tunjuk ajar Melayu menyatakan:


Yang hidup bertenggangan,
Sama saudara berbaik-baikan,
Sama sebangsa pelihara memeliharakan,
Sama sekaum jaga menjagakan,
Sesama makhluk bertenggang-tenggan,
Yang mati berpegangan,
Berpegang ke tali Allah,
Berpegang ke Kitabullah,
Berpegang ke Sunnah Nabi.
Adat hidup menjadi manusia,
Pahit manis sama dicecah.
Adat hidup berkaum bangsa,
Sakit senang sama dirasa.
Adat hidup di atas dunia,
Mencari kawan serta saudara.
Adat hidup berkaum bangsa,
Tolong menolong rasa merasa.

Tunjuk ajar Melayu di atas jelas mennggambarkan sifat Orang Melayu


yang sangat bertenggangan dalam hidup terhadap sesama saudara,
sebangsa, dan sekaum. Sesama manusia harus sama-sama merasakan pahit
dan manis, sesama bangsa harus sama-sama merasakan sakit dan senang.
Selain itu, harus memperbanyak kawan dan saudara dan saling tolong-
menolong antara satu sama lain.

24. Pemaaf dan Pemurah


Karakter orang-orang Melayu lainnya adalah pemaaf dan pemurah.
Mereka suka memaafkan kesalahan orang lain dan membantu orang lain,
meskipun hidup mereka dalam kesusahan. Hal ini sebagaimana diungkapkan
dalam tunjuk ajar Melayu berikut ini:

Sifat lapang terbuka tangan,


Hatinya bersih berpalut iman,
Kesalahan orang ia lupakan,
95
Al-Azhar, Nilai-Nilai Asas Jati Diri Melayu sebagai Perekat Persatuan dan Kesatuan Bangsa
(Ceramah Arif Budiman 11), 14 Februari 2015.
82

Kesusahan orang ia rasakan,


Dendam kesumat ia jauhkan,
Sifat orang berdada lapang,
Tahu merasa bijak menenggang,
Tahu menjaga aib malu orang,
Tahu menghapus muka berarang,
Sifat orang terbuka tangan,
Cepat kaki ringan tangan,
Tahu menolong orang berbeban,
Bijak membantu dalam kesempitan.

Apalah tanda Melayu bertuah,


Pertama pemaaf, kedua pemurah.
Apalah tanda Melayu bermarwah,
Memberi maaf ia pemurah.
Apalah tanda Melayu beradat,
Pantang hidup berdendam kesumat,
Apalah tanda Melayu beriman,
Hati pemaaf pemurah tangan.

Tunjuk ajar Melayu ini menggambarrkan sifat orang Melayu yang suka
berlapang dada dalam menyikapi kesalahan dan kekhilafan orang lain
terhadap mereka. Mereka dengan mudah melupakannya dan memaklumi
kesusahan orang lain serta menjauhi sifat dendam kesumat. Orang-orang
tua menyatakan:
Apabila hidup dendam mendendam, ke darat sesat ke laut karam.
Apabila hidup berdendam kesumat, kemana pergi takkan selamat”.
Selain itu pula, orang Melayu senang meringankan beban dan
penderitaan orang lain. Tangannya selalu terbuka untuk menolong orang.Tak
pedulikehidupan mereka yang tengah dihimpit kesusahan. Kalau mengetahui
saudara atau teman mereka berada dalam kesulitan, mereka dengan segera
akan ikut mengatasinya, cepat kakidan ringan tangan mereka.

25. Amanah
Sifat orang Melayulainnya adalah amanah. Amanah artinya bisa
dipercaya dan bertanggung jawab. Sifat amanah ini berkaitan dengan urusan
agama, hukum, sumpah, janji, kewajiban (tugas) dan lain-lain. Sifat mulia ini
sebagaimana tertuang dalam tunjuk ajar Melayu berikut ini:

Yang disebut hidup memegang amanah


Taat setia kepada agama
Taat setia kepada amanah
Taat setia kepada sumpah
Mau mati memegang janji
Mau binasa memegang petuah
83

Mau melarat memegang amanat


Cakapnya dapat dipegang janjinya boleh disandang
Apa tanda Melayu jati,
Memegang amanah sampai mati
Apa tanda Melayu jati,
Karena amanah berani mati
Apa tanda Melayu jati,
Amanah melekat di dalam hati
Apa tanda Melayu jati,
Sifat amanah pakaian diri
Apa tanda Melayu terbilang,
Membela amanah berputih tulang
Apa tanda Melayu terbilang,
Amanah melekat sampai ke tulang
Apa tanda Melayu terbilang,
Taat memegang amanah orang

Tunjuk ajar Melayu ini menggambarkan sifat orang Melayu yang selalu
setia memegang amanah, kokoh menjunjung sumpah, teguh memegang janji,
tekun menjalankan tugas dan kewajiban, patuh menjalankan hukum dan
undang-undang, taat menjalankan agama. Apabila mereka diberikan tugas
dan tanggung jawab, mereka tidak akan mengkhianatinya.Berkhianat
dianggap perbuatan tercela.
Selain itu, sedemikian teguhnya dalam membela amanah, orang Melayu
bahkan sanggup mengorbankan harta dan nyawanya. Hal itu dilakukan demi
menjaga kepercayaan orang lain atas mereka. Dalam bahasa tunjuk ajar
sebelumnya dikatakan, “Karena amanah berani mati, Membela amanah berputih
tulang, Amanah melekat sampai ke tulang”.

26. Memanfaatkan waktu


Waktu bagi orang-orang Melayu sangat berharga sekali. Karena itu,
mereka selalu menghargai dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya,
disiplin, pantang berlengah-lengah dan pantang bermalas-malas. Sifat selalu
memanfaatkan waktu ini sebagaimana tergambar dalam tunjuk ajar Melayu
berikut ini:
Apa tanda Melayu jati
Terhadap waktu berhati-hati
Apa tanda Melayu terbilang
Pantang baginya waktu terbuang
Apa tanda Melayu beradat
Menggunakan waktu secara tepat

Wahai ananda kekasih ibu


Janganlah engkau membuang waktu
Memanfaatkan masa hendaklah tahu
84

Supaya kelak selamat hidupmu

Wahai ananda kekasih ayah


Terhadap waktu jangan berlengah
Manfaatkan umur selagi muda
Supaya kelak hidupmu sentosa

Tunjuk ajar Melayu ini menggambarkan bahwa orang Melayu tidak suka
menyianyiakan waktu. Menyia-nyiakan waktu akan membuat mereka binasa
dan merugi di kemudian hari. Orang yang pada masa mudanya banyak
membuang-buang waktu, maka masa tuanya akan menyesal dan menderita.
Sementara penyesalan di kemudian hari dianggap tiada berguna.
Menghargai waktu artinya menggunakan waktu yang dimiliki untuk
melakukan hal-hal yang bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun untuk
orang lain. Orang Melayu, dalam pengertian lain, bisa mengelola waktu
dengan sebaik-baiknya; ada waktunya mereka untuk berkerja atau berusaha,
ada waktunya mereka beribadah, ada waktunya mereka bermain dan
bersenang-senang, ada waktunya mereka berkumpul dengan keluarga, ada
waktunya mereka belajar dan ada waktunya mereka melakukan hal-hal yang
berguna lainnya. Pemanfaatan waktu dengan baik dan tepat inilah menjadi
langkah awal untuk memperoleh kesuksesan di masa depan.

27. Berpandangan Jauh ke Depan

Sifat orang Melayu berikutnya adalah berpandangan jauh ke depan.


Kehidupan dalam persfektif orang-orang Melayu tidak hanya menyangkut
masa silam dan hari ini saja tapi juga yang tak kalah pentingnya adalah masa
depan. Orang Melayu tidak hanya memikirkan kehidupan saat ini saja tapi
juga memikirkan tentang masa yang akan datang. Tunjuk ajar Melayu
menyatakan:
Apa tanda Melayu terbilang,
Dada lapang pandangan panjang.
Apa tanda Melayu terbilang,
Jauh memandang ke masa depan.
Apa tanda Melayu bertuah,
Tahu berguru pada yang sudah,
Berpijak pada yang nyata,
Tahu memandang jauh ke muka.

Yang disebut berpikiran panjang,


Menuntut ilmu tak pernah kenyang,
Tunjuk dan ajar tiada kurang,
Petuah amanah tiada berkelang,
Nasihat amanat tiada hilang,
Hatinya lurus dadanya lapang,
85

Bijak menghitung masa mendatang,


Bijak mengira masa belakang.

Tunjuk ajar Melayu di atas membahasakan bahwa orang Melayu


memandang jauh ke depan dan berpikiran lapang. Tidak hanya itu saja tapi
juga bijak dalam menghitung masa mendatang dan mengira masa yang telah
lalu. Mereka selalu memandang ke belakang dan menoleh ke depan. Masa
lalu dijadikan rujukan untuk mengambil iktibar dan hikmah untuk
merencanakan masa depan yang lebih baik.
Orang Melayu tidak berpikiran sempit dan pendek akalnya karena hal itu
akan mendatangkan kerugian pada mereka. Hal ini sebagaimana dinyatakan
dalam tunjuk ajar Melayu lainnya:
Apa tanda orang yang sesat
Hati sempit pikiran singkat
Siapa berpikiran singkat
Lambat laun akan terjerat
Siapa berpikiran sempit
Lambat laun akan terjepit

28. Bersyukur atas Nikmat Allah


Bersyukur atas nikmat Allah swt merupakan kepribadian orang
Melayulainnya. Mereka menyadari bahwa berbagai kenikmatan yang
mereka peroleh dalam kehidupan di dunia pada hakekatnya pemberian Yang
Maha Kuasa. Untuk itu, mereka berupaya untuk selalu mensyukurinya, baik
dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Sebaliknya, mereka menjauhkan
diri dari sifat kufur nikmat, karena sifat ini akan membawa kebinasaan atas
kehidupan mereka. Sifat selalu bersyukur atas nikmat Allah swt ini
digambarkan dalam tunjuk ajar Melayu berikut ini:

Wahai ananda dengarlah pesan,


Mensyukuri nikmat jangan lupakan,
Kalau terlupa binasalah badan
Hidup dan mati dalam sesalan

Apa tanda Melayu jati,


Nikmat Allah ia syukuri
Apa tanda Melayu jati,
Nikmat yang ada ia syukuri
Apa tanda Melayu jati,
Mensyukuri nikmat sepenuh hati

Tunjuk ajar Melayu di atasmenggambarkan karakter orang Melayu


sebenarnya yang mau mensyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah kepada
mereka. Dengan mensyukuri nikmat,maka mereka akan terhindar dari sifat
loba dan tamak, jauh dari sifat serakah dan kufur nikmat, serta terhindar
dari keburukan lainnya.
86

29. Hidup Sederhana


Kesederhanaan menjadi ciri khas orang Melayu. Mereka tidak suka
hidup berlebih-lebihan dan bermewah-mewah dalam kaitannya dengan hal-
hal yang bersifat duniawi. Sikap yang suka berlebih-lebihan dan bermewah-
mewah dalam hidup dianggap sebagai sikap yang kurang patut dan kurang
elok. Tunjuk ajar Melayu menyatakan:
Tahu makan sesuap jadi,
Tahu minum seteguk hati,
Makan tidak menghabiskan,
Minum tidak mengeringkan

Orang Melayu, dalam kaitannya dengan kesederhanaan, memilih sikap


berpada-pada, yakni suatu sikap penuh kehati-hatian dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan duniawiyah. Sikap berpada-pada ini dikedepankan
agar mereka terhindar dari hal-hal buruk yang akan menerpa kehidupan
mereka. sikap ini digambarkan dalam tunjuk ajara Melayu lainnya:

Yang disebut sifat berpada-pada,


Mengejar pangkat berkira-kira,
Mengejar harta berhingga-hingga,
Mengejar kedudukan berjaga-jaga.
Yang disebut sifat berpada-pada,
Mencari pangkat berhemat cermat,
Mencari harta berjimat-jimat,
Mencari kedudukan beringat-ingat.
Yang disebut sifat berpada-pada,
Mengejar pangkat pada derajatnya,
Mengejar harta pada patutnya,
Mengejar kedudukan pada layaknya.
Pangkat jangan membawa mudarat,
Harta jangan membawa nista,
Kedudukan jangan membinasakan,
Selera jangan dimanjakan,
Nafsu jangan diturutkan,
Dunia jangan membutakan

Kesederhanaan ini bukan berarti identik dengan kemiskinan atau


kemelaratan tapi menyangkut pola hidup yang lebih berpikir fungsional dan
mengedepankan kearifan. Meskipun barangkali orang-orang Melayu
berkecukupan dari sisi materi, tapi mereka tidak suka menampakan kekayaan,
kemewahan dan kehebatan mereka di hadapan orang ramai karena sikap itu
hanya akan mengundang persepsi buruk orang lain terhadap mereka. Orang-
orang Melayu selalu pandai menenggang bijak menimbang; menenggang hati
orang, menenggang perasaan orang dan menenggang apa kata orang.
87

Sifat kesederhanaan ini juga berpangkal dari sifat tahu diri dan sadar diri.
Orang Melayu sadar bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, segala isi
dunia adalah milik Tuhan, hidup yang berlebihan tidak akan membuat hidup
bahagia, dan hidup bahagia bukan pada harta, tetapi tertanam dalam hati.
Pandangan hidup seperti itulah menyebabkan orang Melayu tenang, tidak
tergesa-gesa, tidak tamak, tidak serakah, serta tidak berlomba-lomba mencari
harta dan kedudukan.
Ungkapan adat menyatakan:
Jangan banyak pikir-memikir
Takdir tak dapat dimungkir
Nasib nak miskin tentulah fakir
Bolehlah tadbir menyalahi takdir
Rezeki secupak sudah terbentang
Ke mana dikejar tak dapat digantang
Nasib berhutang mesti berhutang
Janji nak malang, malanglah datang
88

ADAT ISTIADAT DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MELAYU

ADAT merupakan kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dalam


suatu masyarakat dan dibangun atas dasar kesadaran kolektif sebuah
masyarakat96 Menurut Soerjono Soekanto, adat adalah perbuatan yang
dilakukan berulang-ulang di dalam bentuk yang sama 97 Lebih lanjut adat
dimaknai sebagai suatu kebiasaan yang teraplikasikan secara terus menerus
dengan berbagai simbol dan aturan yang berlaku pada sebuah komunitas.
Berdasarkan beberapa pengertian ini dapat dipahami bahwa adat adalah suatu
kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama dan telah menjadi bagian dari
kehidupan suatu kelompok masyarakat yang diwariskan secara turun temurun
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Adat merupakan inti dari peradabanmanusia. Ia telah ada sejak
adanyamanusia. Adat selalu dikaitkan dengan bagaimana manusia mengelola
dirinya, kelompok, serta hubungan manusia dengan alam (baik alam nyata
maupun gaib atau supernatural), dan hubungan manusia dengan Sang
Pencipta.Atas dasar pengertian ini, adat memiliki kesamaan makna dengan
kebudayaan.
Adat merupakan peraturan yang dilaksanakan (diamalkan) secara turun-
temurun dalam sebuah masyarakat, hingga menjadi hukum dan peraturan yang
harus dipatuhi. Sementara istiadat adalah peraturan atau cara melakukan sesuatu
yang diterima sebagai adat. Adat dan istiadat memiliki hubungan yang erat, dan
dipandang sebagai alat yang berupaya mengatur kehidupan masyarakat, yang
tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan dan kerukunan hidup. Adat-
istiadat membentuk budaya, yang kemudian mengangkat martabat masyarakat
yang mengamalkannya.

96
Johanes Mardimin. Jangan Tangisi Tradisi . (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 12
97
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar . (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 181
89

Kebiasaan dan ketetapan corak kehidupan kelompok manusia tidak hanya


ditentukan oleh sifat saling respon sesama mereka saja, tetapi juga ditentukan oleh
kesatuan dengan alam atau sikap terhadap alam di tempat manusia itu tinggal dan
berusaha mencari kehidupan. Setiap hari, secara tetap manusia mencari rezeki dari
sumber-sumber alam (dan juga jasa), baik siang maupun malam, juga  menurut
perjalanan matahari dan bulan, turun naik dan pasang surut air laut, dan juga
ketetapan perubahan musim hujan, panas, dan angin. Di daerah-daerah di luar
khatulistiwa, bahkan dikenal empat musim, yaitu: panas, daun gugur, dingin, dan
semi.  Sifat alam yang sangat tetap ini menetapkan pula prilaku manusia, yang
berhubungan dengan keadaan alamnya untuk dapat menetukan jadwal kerja dan
mencari sumber kehidupan mereka.98
Sebagai respon terhadap kondisi alam, kelompok manusia terpaksa harus
menyusun sistem sosial dan budaya yang mengatur hubungan mereka. Tanpa
upaya bertindak bersama dan secara tersusun secara sistemik ini, maka manusia
akan menghadapi masalah kehidupan. Oleh karena itu, muncullah kelakuan yang
menjadi kebiasaan, dan hubungan sosiologis berupa pengelompokkan. Semua ini
melahirkan norma, adat, dan undang-undang untuk mengawal, mengatur, serta
menyelaraskan kekuasaan semua individu yang terlibat dalam kegiatan kelompok
masyarakat manusia tersebut.
Dari uraian sebelumnya dipahami bahwa adat dipengaruhi oleh keadaan alam
lingkungan manusia mereka sendiri, yang berbeda dari satu kelompok manusia
dengan kelompok manusia lainnya. Dalam masyarakat yang tinggal di kawasan
laut, pastilah mereka menumpukan kehidupannya pada ekosistem laut. Sehingga
kebudayaan yang dihasilkan mereka adalah kebudayaan maritim.Sedangkan, bagi
mereka yang tinggal di wilayah daratan, maka kegiatan-kegiatan dalam rangka
kehidupan mereka selalu berkait erat dengan wilayah darat. Demikian pula yang
tinggal di wilayah pegunungan dan selainnya. Hal senada juga diungkap oleh Hari
Poerwanto bahwa kondisi suatu lingkungan amat berperan dalam membentuk
kebudayaan suku-bangsa.99
Wujud dari adat istiadat itu ada tiga, yaitu pertama, dalam bentuk ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, dalam
bentuk aktivitas atau tingkah laku yang berpola. Dan ketiga, dalam bentuk simbol
atau benda-benda. Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan, sifatnya
abstrak dan biasanya bersifat tidak tertulis. Wujud kedua adalah wujud
kebudayaan yang disebut sistem sosial mengenai tindakan yang berpola dari
manusia. Dan wujud ketiga berupa kebudayaan fisik yang konkret merupakan
hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya manusia. 100

A. Hakekat Adat Istiadat Melayu

98
Zainal Kling, “Adat Melayu.” di dalam Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin (ed.),
2004. KepimpinanAdat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka.
99
Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Persfektif Antropologi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), H.80
100
Endang Komara, Teori Sosiologi Antropologi, (Bandung: Refika Aditama, 2019) h.101 lihat juga
Harsojo, Pengantar Antropologi, (Bandung: Binacipta, 1984), h.92
90

 Konsep adat dalam masyarakat Melayumemancarkan hubungan mendalam


dan bermakna di antara manusia dengan manusia, juga manusia dengan alam
sekitarnya, termasuk bumi dan segala isinya, alam sosial budaya, dan alam gaib.
Setiap hubungan itu disebut dengan adat, diberi bentuk tegas dan khas, yang
diekspresikan melalui sikap, aktivitas, dan upacara-upacara. Adat ditujukan
maknanya kepada seluruh kompleks hubungan itu, baik dalam arti intisari
eksistensi sesuatu, dasar ukuran buruk dan baik, peraturan hidup seluruh
masyarakat, maupun tata cara perbuatan serta perjalanan setiap kelompok
institusi.
Adat muncul sebagai struktur dasar dari seluruh kehidupan dan
menggambarkan ciri kepribadian suatu masyarakat. Oleh karena itu, adat biasanya
memiliki cerita atau mitos suci, watak-watak asal-usul yang gagah dan unggul,
serta memberikan dasar makna terhadap setiap peristiwa dalam siklus hidup
manusia, serta eksistensi institusi dalam masyarakatnya. Dengan demikian, dalam
masyarakat tradisional, adat memiliki kedudukan suci hingga mencapai
martabatnya; dipancarkan oleh kelakuan yang benar serta halus; sebuah ciri
kehidupan yang menyerap sistem kepercayaan, hukuman, dan denda. Setiap
individu yang melanggar, menyelewengkan, melebihi, mengurangi, atau
menafikannya, akan menerima balasan dan hukuman, baik melalui pemegang
kekuasaan adat itu sendiri maupun Tuhan dalam kepercayaan mereka. Sebaliknya,
setiap yang berhasil melaksanakan adat, akan berkuasa, berwibawa, juga
memegang, menjalankan, dan patuh kepada adat.
Dengan demikian, adat memberi makna konfigurasi yang mendalam, serta
makna kestrukturan dalam sebuah masyarakat dan kebudayaannya. Adat
merupakan identitas yang berfungsi untuk mengintegrasikan seluruh masyarakat
dan kelompok kecil masyarakat tersebut. Setiap kelompok akan dikenali oleh
kelompok lain dengan perbedaan adatnya. Dalam rangka ini, adat juga menjadi
identitas subkultur tertentu, seperti masyarakat Melayudari masyarakat lainnya.
Demikian pula konsep yang sama dipergunakan untuk membedakan atau
mengenali orang asing di luar konteks masyarakat Melayu.
Kegagalan kultural orang bukan Melayu, dalam rangka  mengikuti cara orang
Melayu duduk, makan, atau bersalaman pada upacara perkawinan, misalnya
adalah karena adat yang mereka gunakan berbeda dengan adat Melayu. Jika
kesalahan adat ini berlaku sesama masyarakat Melayu, maka dengan sendirinya ia
akan mendatangkan hukuman atau sanksi. Paling tidak seseorang itu dilarang
berbuat atau menyebut sesuatu, kalau pun tidak dimarahi dengan hukuman “tidak
tahu adat”  atau “tidak beradat”. Dengan demikian, adat memiliki fungsi
(pengenalan) dan juga normatif (hukuman). Kedua fungsi ini berlaku dalam
rangka hubungan manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam
(baik alam kasat mata maupun alam gaib).
Menurut Tenas Effendy salah satu yang dihindari oleh orang Melayu adalah
“ia tidak tahu adat” atau “tidak beradat”. Pernyataan ini bukan hanya sekedar
hinaan, yang dimaknai secara budaya adalah kasar, liar, tidak bersopan santun,
tidak berbudi—tetapi juga “ia tidak beragama”, karena adat Melayu adalah
berdasar pada agama. Jadi “tidak beradat sinonim maknanya dengan tidak
91

beragama”101 
     Ungkapan adat Melayu yang menyatakan “biar mati anak, jangan mati
adat” mencerminkan betapa pentingnya eksistensi adat dalam kehidupan
masyarakat Melayu. Dalam konsep etnosains Melayu, dikatakan bahwa “mati
anak duka sekampung, mati adat duka senegeri”, yang menegaskan keutamaan
adat yang menjadi anutan seluruh lapisan masyarakat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari sisi lain, makna ungkapan
adat “biar mati anak jangan mati adat” mengandung makna bahwa adat (hukum
adat) wajib ditegakkan, walaupun harus mengorbankan keluarga sendiri.
Maknanya adalah adat merupakan aspek mendasar dalam menjaga harmoni dan
konsistensi internal budaya, yang menjaga keberlangsungan struktur sosial dan
kesinambungan kebudayaan secara umum. Jika adat mati maka mati pula
peradaban masyarakat pendukung adat tersebut.
B. Fungsi dan Bentuk Adat Istiadat Melayu

Adat istiadat Melayu memiliki fungsi dalam kebudayaannya. Tenas Effendy


merinci fungsi-fungsi adat istiadat Melayu lebih lanjut,antara lain:
1. Menjabarkan nilai-nilai dasar Islam. Tidak dapat dipungkiri bahwa adat
Melayu pada hakekatnya adalah penjabaaran nilai-nilai agama Islam, yang
dianut masyarakatnya. Melalui adat dan kelembagaan adat inilah beragam
nilai yang Islami dikembangkan, kemudian disebarkan ke tengah
masyarakat. Nilai ini kemudian dijadikan identitas keMelayuan yang
bersebati dengan Islam. Dari sini, muncul pendapat yang menyatakan
bahwa keMelayuan seseorang tidak hanya ditentukan oleh etnisitas saja
tetapi juga melalui agama yang dianut yaitu Islam, beradat Melayu, dan
berbahasa Melayu. Dengan demikian keMelayuan seseorang menjadi luas,
yang terwujud dari berbagai latar belakang suku dan puak.
2. Menjadi identitas yang Islami. Adat Melayu yang berakar dari agama
Islam ini kemudian menjadi identitas keMelayuan, sehingga tidak dapat
dipisahkan dari semua aspek kehidupan mereka. Oleh karena itu seorang
yang bukan beragama Islam kemudian menganut agama Islam, sejak
dahulu disebut sebagai “masuk Melayu”. Sebaliknya jika seorang Melayu
keluar dari agama Islam ia disebut dengan “keluar dari Melayu”, dan
gugurlah  hak-haknya sebagai orang Melayu, dan adat keMelayuannya.
3. Menjadi perekat persebatian dalam konteks kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Fungsi utama institusi adat adalah sebagai
perekat persebatian (integrasi) masyarakaat dalam kehidupan sosialnya.
Fungsi ini amat penting karena masyarakat Melayu di nusantara ini hidup
dalam komunitas yang heterogen. Kemajemukan ini memerlukan simpai
dan perekat yang dapat menyatukan masyarakat yang beragam itu daalam
tatanan kehidupan yang aman dan damai, saling hormat-menghormati,
saling bantu-membantu, dan lainnya. Hal ini diungkapkan dalam
adat “senasib sepenanggungan, seaib, dan semalu”.102
101
Tenas Effendy, Pemakaian Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Orang Melayu. (Yogyakarta:
Balai Kajiandan Pengembangan Budaya Melayu, 2004), h.57
102
Ibid., h. 66-67
92

Adat-istiadat dalam realitas kehidupan masyarakat Melayu pada umumnya


dapat dibagikanke dalam beberapa kategori, yaitu:
A. Adat istiadat yang berkaitan dengan siklus kehidupan;
1. Adat bersalin, yaitu melenggang perut, menempah mak bidan, mandi
sampat, potong tali pusat, naik buaian (mengayun anak), dan turun
tanah.
2. Adat semasa anak-anak, yaitu bercukur, berkhitan, belajar mengaji,
berkhatam al-quran, bertindik (bagi anak perempuan).
3. Adat Perkawinan, yaitu merisik, meminang, mengantar tanda, antaran
belanja,menggantung, berinai curi, berandam, akad nikah, berkhatam
al-quran, bersanding, mandi damai, mengasah gigi, dan menyembah.
4. Adat Kematian, kenduri 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari dan seterusnya.
B. Adat Istiadat yang berkaitan dengan pertanian dan maritim
1. Adat istiadat membuka tanah (menetau)
2. Adat istiadat bercocok tanam
3. Adat istiadat turun perahu
4. Adat istiadat bersih atau membele kampung
5. Adat istiadat menjamu laut
C. Adat Istiadat Pengobatan
D. Adat Olahraga Tradisi dan Seni Pertunjukan
1. Bersilat, yaitu membuka gelanggang, menghadap guru dan tamat silat
2. Pertunjukan, musik, tari dan teater, yaitu buka panggung, pertunjukan,
dan tamat panggung.
E. Adat Makan atau Jamuan, yaitu makan minum, menghidang, sebelum
makan (bersirih puan), kenduri dan sebagainya.
F. Adat PengukuhanPengurus Adat
G. Adat dalam Komunikasi Budi Bahasa, yaitu berbahasa dan bertegur sapa
H. Adat menurut kalender Islam, yaitu menyambut awal Muharam, Hari
Asyura 10 Muharam, Mandi Shafar, Maulid Nabi, Kenduri Arwah
(Sya’ban), Puasa (Ramadan), Idul Fitri, Idul Adha dan lainnya.
93

SISTEM KEKERABATAN DAN KEMASYARAKATAN MELAYU

SISTEM Kekerabatan dimaknai sebagai serangkaian aturan yang mengatur


penggolongan orang-orang sekerabat. Hal ini menyangkut berbagai tingkat hak
dan kewajiban di antara orang-orang sekerabat yang membedakan hubungan
mereka dengan orang-orang yang tidak tergolong sebagai kerabat. Kelompok
kekerabatan yang terkecil adalah sejumlah orang yang dapat dihubungkan satu
sama lainnya melalui hubungan darah yang bersumber dari orang tua atau
leluhur yang sama. Orang-orang yang seketurunan ini disebut dengan kelompok
Consanguine. Di samping itu, adapula orang-orang yang mempunyai hubungan
sekerabat karena adanya hubungan perkawinan. Orang-orang yang seketurunan
ini disebut dengan kelompok Effine.103
Sistem kekerabatan ini lebih lanjut melahirkan sistem kemasyarakatan.
Setiap orang hidup bersama dalam suatu sistem kemasyarakatan dimana ia
tinggal. Di dalam setiap masyarakat selalu terdapat tujuan dan prinsip dasar
tertentu.Sebagian anggota masyarakat menganggap serta menerimanya sebagai
suatu hal yang mutlak benar. Sistem ini tidak saja merupakan sumber yang
menyebabkan berkembangnya integrasi sosial, tapi sekaligus juga merupakan
unsur yang menstabilisasikan sistem sosial budaya itu sendiri.
Sistem kemasyarakatan (sosial) menurut Talcott Parsons, sebagaimana
dikutip Endang Komara, adalah suatu proses interaksi di antara para pelaku
sosial, yang merupakan struktur sistem sosial adalah struktur relasi antara para
pelaku sebagaimana yang terlibat dalam proses interaksi, dan yang dimaksud

103
Simanjutak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Fajar Interpratama Mandiri, 2017), h.160
94

dengan sistem itu adalah suatu jaringan relasi tersebut. 104Sistem sosial juga
dimaknai sebagai suatu sistem kemasyarakatan sebagai wadah kehidupan
bersama manusia yang berproses dapat berdiri atas beberapa subsistem, yaitu
subsistem politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan lain
sebagainya.Berdasarkan pengertian ini, sistem sosial dipahami sebagai suatu
totalitas dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan, saling
mempengaruhi, yang berada dalam suatu kesatuan.Yang dimaksud dengan
bagian-bagian atau unsur-unsur itu ialah unsur-unsur dari kehidupan sosial yang
lazimnya disebut masyarakat.
Kehidupan sosial adalah kehidupan bersama manusia atau kesatuan
manusia yang hidup bersama di dalam pergaulan sehingga kehidupan sosial itu
ditandai oleh adanya manusia yang hidup bersama, manusia tersebut bergaul
dan hidup bersama dalam waktu lama, dan adanya kesadaran bahwa mereka
merupakan kesatuan, dan akhirnya menjadi sistem kehidupan bersama (sistem
sosial).105
Berdasarkan penjelasan sebelumnya dipahami bahwa sistem
kemasyarakatan adalahjaringan terpola dari hubungan yang membentuk
keseluruhan yang koheren, yang ada antara individu, kelompok, dan institusi.Ia
adalah struktur formal dari peran dan status yang dapat terbentuk dalam
kelompok kecil yang stabil. Seorang individu dapat menjadi bagian dari banyak
sistem sosial secara bersamaan, contohnya sistem sosial meliputi unit keluarga
inti, komunitas, kota, negara, kampus perguruan tinggi, korporasi, dan industri.
Organisasi dan definisi kelompok dalam sistem sosial bergantung pada berbagai
karakteristik bersama, seperti lokasi, status sosial ekonomi, ras, agama, fungsi
sosial, atau fitur lain yang berbeda.

A. Sistem Kekerabatan Orang Melayu


Sistem kekerabatan orang Melayu sebagaimana pada umumnyaterbentuk
melalui ikatan darah dan perkawinan. Insitusi perkawinan dalam masyarakat
Melayu dibangun mengikut peraturan dan undang-undang perkawinan Islam.
Keabsahan perkawinannya dibuktikan melalui akad antara wali perempuan
(calon isteri) dan laki-laki (calon suami) yang disaksikan oleh dua orang saksi
dalam satu majelis. Ketika sudah diijab qabulkan, maka resmilah keduanya
menjadi pasangan suami isteri yang sah menurut syariat Islam.
Orang Melayu melakukan perkawinan monogami dan poligami. Bentuk
perkawinan endogami (pipit sama pipit, enggang sama enggang), eksogami juga
terjadi, malah di sebagian tempat diutamakan. Perkawinan campur juga ada.
Dari segi kekeluargaan, masyarakat Melayu dibagikan kepada dua kelompok,
yaitupertama, menerapkan sistem kekeluargaan dwisisi (bilateral).
Kedua,menerapkan sistem kekeluargaan nasab ibu (matrilineal), yang digunakan
oleh orang Minangkabau dan Malaysia.Tetapi disebabkan kedua-dua kelompok
104
Talcott Parsons, sebagaimana dikutip Endang Komara, Teori Sosiologi dan Antropologi,
(Bandung:Refika Aditama, 2019)
105
Ibid.
95

tersebut menganut agama Islam, maka sistem kekeluargaan Melayu itu banyak
dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan Islam.
Masyarakat Melayu hidup berkelompok-kelompok berdasarkan hubungan
kekerabatan. Dengan demikian, terdapat sistem sosial yang berdasarkan asas
kekeluargan sehingga apabila terjadi suatu pekerjaan besar, seperti helat, pesta
dan keramaian, maka masyarakat akan melakukannya dengan suka rela tanpa ada
gaji atau upah. Masyarakat Melayu bergotong royong bersama-sama dalam
menghadapi pekerjaan-pekerjaan sosial kemasyarakatan.
Kedudukan ayah dalam kehidupan keluarga menempati posisi yang paling
tinggi. Ia merupakan kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk
kelangsungan hidup berkeluarga. Ayah merupakan sumber kehidupan keluarga
karena ayah mempunyai tugas dan kewajiban untuk memberikan nafkah dan
keperluan pendidikan serta melindungi anak-anak. Atas dasar ini, ayah sering
disebut sebagai “tulang punggung” keluarga.Sedangkan ibu adalah tumpuan
segala-galanya dalam sebuah keluarga. Tentang perasaan seorang ibu dalam
keluarganya, adat Melayu merunjuk kepada sabda Rasulullah Saw yang artinya
“surga di bawah telapak kaki ibu”.Peranan seorang ibu dalam membentuk pribadi
anak sangat dominan mulai dari kandungan sampai dewasa.Ibu tidak lalai dengan
tugas-tugasnya, yaitu mengasuh anak-anak, menyediakan segala kebutuhan
mereka, dan mendidik anak-anak.
Sistem kekeluargaan Melayu memiliki aturan dalam hal tutur sapa ketika
berinteraksi dengan kerabat terdekat. Ada sejumlah sapaan atau panggilan akrab
yang ditujukan kepada anggota keluarga sesuai dengan kedudukan mereka.
Sapaan atau panggilan akrab dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan,
lambang tradisi, tanda kasih sayang dan pembeda antara sanak saudara serta
kepentingan lainnya.
Dalam keluarga kecil yang mempunyai anak satu sampai tiga orang pak
saudara atau mak saudara, panggilan keluargacuma ada“pak unggal” dan “mak
unggal” atau “pak cik”dan “mak cik”. Dalam keluarga menengah yang
mempunyai anak tiga sampai lima orang pak saudaranya terdiri dari:
1. Pak long106 dan mak long
2. Pak andak dan mak andak
3. Pak ngah107 dan mak ngah
4. Pak cik dan mak cik
5. Pak usu108 dan mak usu

Dalam keluarga besar yang mempunyai anak lima sampai sepuluh orang pak
saudara atau mak saudara terdiri dari:
1. Pak long dan mak long
2. Pak anjang dan mak anjang
3. Pak andak dan mak andak
4. Pak ngah dan mak ngah

106
Panggilan terhadap anak sulung
107
Panggilan terhadap anak tengah
108
Panggilan anak yang paling kecil atau bungsu.
96

5. Pak itam dan mak itam


6. Pak oteh mak oteh
7. Pak cik mak cik
8. Pak ude109 dan mak ude
9. Pak alang dan mak lang
10.Pak usu dan mak usu

Selain sapaan dalam lingkup keluarga di atas, ada juga sapaan lainnya dalam
interaksi sosial masyarakat Melayu, yaitu “Atan”, “Awing/Awang”, “Ajak”,
“Amad”, yang ditujukan untuk anak atau orang lelaki secara umum.Sedangkan
“Siti”, “Lela”, “Laila”, “Nong”, “Nur”,yang ditujukan untuk anak perempuan
Melayu secara umum.Ada lagi panggilan “Wak” ditujukan kepada orang yang
telah terbiasa dipanggil oleh kemanakan yang berarti paman atau om / tante/ bibi,
sehingga menjadi “Wak Atan”, “Wak Amad”, “Wak Siti”, “Wak Lela”, dan
lainya. Kemudian panggilan“Mak”ditujukan kepada perempuanMelayu yang telah
berumur, misalnya “Mak Ucu”, “Mak Uteh”, “Mak Ude”, “Mak Njang”, dan
sebagainya.Selanjutnya panggilan “Cik”yang berasal dari gelar kebangsawanan
bagi keturunan cina, misalnya“Cik Awing/Awang” atau “Cik Siti”. Seterusnya
panggilan“Ucu”yangditujukan kepada anak yang paling kecil atau
bungsu.Panggilan “Uteh”yangditujukan kepada orang yang berkulit
putih.Panggilan “Itam”yang ditujukan kepada orang yang berkulit hitam.Panggilan
“Njang” atau “Anjang”yangditujukan kepada orang yang tinggi.
Panggilan“Iting”yangditujukan kepada orang yang berambut kriting.
Panggilan“Yek” yang umumnya digunakan dalam sebutan diawal nama panggilan
kebiasaan bagi kalangan bugis Melayu, misalnya “Yek Long”, “Yek Ucu”, “Yek
Ngah”, dan sebagainya.
B. Sistem Kemasyarakatan Orang Melayu

Sistem kemasyarakatan terbentuk berawal dari sistem kekeluargaan atau


kekerabatan karena keluarga pada hakekatnya merupakan unit terkecil dari
masyarakat. Dari keluarga terbentuklah puak (bagian terkecil dari suku). Dari
puak lalu terbentuklah suku. Kekerabatan lahir dari institusi perkawinan yang
membenarkan hubungan seks antara laki-laki dan perempuan sehingga anak
yang lahir tersebut diterima oleh masyarakat, tidak dianggap anak zina atau anak
haram.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat menyangkut hubungan antara
manusia dan tuhan, manusia dengan manusia lainnya dan manusia dengan alam,
masyarakat Melayu diikat oleh sistem nilai yang dikontruksi berdasarkan nilai
Islam, adat dan tradisi. Implementasinya diatur oleh para pemimpin di
masyarakat. Untuk urusan pemerintahan berada di bawah kendali penghulu.
Penghulu memiliki otoritas penuh dalam mengatur urusan-urusan yang berkaitan
dengan kemasyarakatan secara umum termasuk menyelesaikan sengketa-sengketa
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Untuk urusan adat dan tradisi berada
dibawah kendali para tetua adat (datuk-datuk). Sedangkan untuk urusan-urusan
109
Panggilan terhadap anak yang paling muda ataupun nomor kedua muda.
97

keagamaan dibawah kendali tokoh agama (ulama) yang biasa dipanggil“Tok


Imam”. Ketiga komponen kepemimpinan dalam masyarakat Melayu ini disebut
dengan “tali berpilin tiga” atau “tiga tunggu sejarangan”. Ketiga pemimpin itu
saling bekerjasama sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Kehidupan bermasyarakat dibangun atas dasar prinsip gotong-royong dan
tolong menolong. Prinsip ini tercermin, misalnya dalam kegiatan pertanian atau
perkebunan mulai dari membuka hutan (lahan), menebas, menggarap lahan,
menanam benih, dan memanen. Semuanya dikerjakan secara bersama-sama
dengan seluruh penduduk kampung.110Kegotong-royongan dan tolong menolong
juga terlihat dalam kegiatan menangkap ikan di rawa-rawa dan sungai-sungai
kecil, membangun rumah atau memindahkan rumah, melaksanakan upacara
perkawinan; meminjamkan peralatan-peralatan yang diperlukan, membantu
bahan-bahan makanan atau pendanaan, mencari kayu di hutan, menegakkan
bangsal, menghias ruangan. Kerjasama juga tampak dalam kegiatan perayaan
hari-hari Besar Islam.111

KEPEMIMPINAN DALAM PERSFEKTIF ORANG MELAYU

KEPEMIMPINAN pada hakekatnya merupakan proses memotivasi orang lain


untuk mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 112
Kepemimpinan itu ada yang bersifat formal dalam satu organisasi, adapula yang
bersifat informal untuk memimpin orang lain sebagai pengikutnya dalam suatu
kelompok. Untuk mencapai tujuan kelompok maupun organisasi, pemimpin
formal dan informal mempunyai peran yang sama-sama pentingnya untuk
menuju keberhasilan kelompok maupun tujuan organisasi.113
Inti kepemimpinan adalah fungsi pemimpin, pengikut, sistem sosial dalam
organisasi, variabel situasional lainnya di mana seseorang berusaha
memperngaruhi prilaku orang lain atau kelompok untuk mencapai tujuan dalam
organisasi dunia usaha, lembaga pendidikan, rumah sakit, organisasi politik,
organisasi pemerintahan, organisasi kemasyarakatan, atau keluarga dan
110
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan,
h.88
111
Ibid., h.100
112
Sutarto Wijono, Kepemimpinan dalam Persfektif Organisasi, (Jakarta: PrenadaMedia Group,
2018), h.1
113
Ibid.
98

organisasi lainnya. Ketika seseorang berusaha mempengaruhi prilaku orang lain


atau kelompok untuk mencapai tujuan organisasi, maka ia sedang menjalankan
proses kepemimpinan.114
Berdasarkan pengertian kepemimpinan yang dikemukakan sebelumnya
dipahami bahwa kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi seseorang
atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Bentuknya ada
yang bersifat formal dan adapula yang bersifat informal. Baik pemimpin formal
maupun pemimpin informal memiliki peran yang sama-sama pentingnya untuk
mencapai keberhasilan organisasi yang dipimpinnya.

A. Keberadaan Pemimpin bagi Orang Melayu


Keberadaan pemimpin, dalam kaitannya dengan sistem-sistem nilai yang
mengatur kehidupan masyarakat Melayu, menjadi faktor yang sangat penting.
Pemegang teraju kepemimpinan Melayu terdiri dari pemangku adat (sebagai
pemimpin formal), tokoh tradisi, seperti dukun, bomo, pawang kemantan, guru
silat (pemimpin informal), pemegang kendali kerajaan (pemerintahan) dan
ulama. Mereka semua ini diistilahkan dengan orang patut. Disebut demikian
karena mereka dipandang patut dan layak dalam bidang kehidupan yang
dipimpinnnya.115
Dari sini kemudian dikenal istilah kepemimpinan kolektif dengan filsafat,
“Tali Tiga Sepilin” atau “Tali Berpilin Tiga”. Maksudnya bahwa setelah negeri ini
tidak lagi beraja, maka masyarakatnya mengandalkan peranan tiga komponen
pemimpin, yaitu ulama, umara dan pemangku adat. Keputusan diambil
berdasarkan hasil musyawarah untuk mufakat. Selanjutnya peranan ketiga
komponen ini secara tersirat diakui adanya tokoh masyarakat itu sebagai
pemimpin informal. Hanya saja peranannya untuk mengambil keputusan tidak
ada. Sejak reformasi dan ditetapkannya UU tentang Pemerintah Daerah
(otonomi) barulah disinggung tentang peranan pemuka adat.
Para pemimpin diberikan kekuasaan untuk memimpin, membimbing, dan
mengelola masyarakat ke arah kemajuan. Kekuasaan yang diberikan kepada
pemimpin mesti digunakan mereka untuk kepentingan kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat. Mereka sepatutnya lebih mendahulukan kepentingan
masyarakat daripada kepentingan pribadi. Selain itu, pemimpin mesti
mempunyai kemampuan kepemimpinandalam menjalankan tugas dan perannya.
Sejalan dengan itu,kepemimpinan lebih dimaknai sebagai kemampuan untuk
memimpin dan menentukan secara benar kewajiban-kewajiban yang harus
dilakukan.
Setiap masyarakat menginginkan pemimpin yang arif dan bijaksana. Bahkan
masyarakat tampaknya menginginkan pemimpinnya bersifat “sempurna” agar
semua perbuatan dan tugas pemimpin itu dapat memberikan manfaat bagi

114
Syaiful Sagala, Pendekatan dan Model Kepemimpinan, (Jakarta: Prenamedia Group, 2018), h.57
115
UU. Hamidy, Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau..... h.25
99

kepentingan masyarakat. Keinginan masyarakat terhadap pemimpin yang arif


dan bijaksana dapat dilihat dari pesan moral yang terdapat dalam kebudayaan.
Pesan moral tentang kepemimpinan dalam kebudayaan Melayudapat dilihat
dalam tradisi tunjuk ajar Melayu. Tunjuk ajar Melayu adalah petuah, petunjuk,
nasihat, amanah, pengajaran, dan contoh teladan yang disampaikan oleh orang
Melayu. Tunjuk ajar ini bertujuan untuk membawa manusia ke jalan yang lurus
dan diridhoi Allah. Dengan kata lain, tunjuk ajar bertujuan untuk menciptakan
keseimbangan atau equlbilirium dalam kehidupan manusia sehingga manusia
boleh hidup dengan selamat di dunia dan akhirat. Keberadaan tunjuk ajar
diharapkan pula menjadi panduan bagi orang Melayu dalam menjalani
kehidupan ini.

B. Kedudukan Pemimpin di Masyarakat


Orang Melayu telah memberikan tempat yang khusus kepada pemimpin
sebab pemimpin telah diberikan kuasa dan amanah untuk mengatur masyarakat.
Dalam tunjuk ajar Melayu diungkapkan:
Yang dinamakan pemimpin
Didahulukan selangkah
Ditinggikan seranting

Tunjuk ajar ini menunjukkan bahawa kedudukan pemimpin dibedakan


dengan rakyat. Ungkapan “didahulukan selangkah” bermakna bahawa pemimpin
diberikan tempat yang istimewa sehingga ia lebih didahulukan daripada rakyat.
Ungkapan “ditinggikan seranting” juga memberikan penegasan terhadap
perlunya memberikan tempat yang khusus kepada pemimpin. Pemberian tempat
yang khusus kepada pemimpin menandakan bahawa orang Melayu sangat
menghormati pemimpinnya sebab tugas yang diberikan kepada pemimpin sangat
berat dan sangat mulia dalam memimpin rakyat. Dalam ungkapan lain
dinyatakan pula:
Dituakan oleh orang banyak
Dikemuka kan oleh orang ramai

Kedudukan pemimpin yang dituakan dan didahulukan oleh rakyat bermakna


bahawa pemimpin itu disegani sebagai orang yang mempunyai kemampuan
khusus dalam menyelesaikan permasalahan. Dalam ungkapan di atas tersirat
makna bahawa pemimpin itu tidak selalu tua tetapi pemimpin mesti “dituakan”.
Kata “dituakan” menandakan bahawa pemimpin mesti menjadi contoh bagi
masyarakat. Dengan kata lain, prilaku dan perkataan pemimpin mesti selalu
terjaga kerana ia akan dijadikan model oleh masyarakat. Diberikannya
kedudukan yang khusus kepada pemimpin oleh rakyat menunjukkan bahwa
rakyat sangat menghargai para pemimpin. Namun demikian, dibalik penghargaan
itu, rakyat sebenarnya menginginkan pemimpin itu dapat berbuat baik dan
amanah sehingga rakyat boleh meniru pemimpin itu. Selanjutnya dikatakan pula:
100

Diangkat menurut patutnya


Dikukuhkan menurut lembaga

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa pemimpin diangkat menjadi


pemimpin berdasarkan kepada kebenaran yang ada. Ini menandakan bahawa
rakyat mengangkat pemimpin mesti berdasarkan alasan-alasan yang logis dan
kemampuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin itu. Apabila calon pemimpin
telah mempunyai kepatutan menurut pandangan rakyat, maka langkah
selanjutnya barulah pemimpin itu dikukuhkan oleh rakyat. Pengukuhannya pun
mesti pula berlandaskan lembaga rasmi yang dibentuk oleh rakyat. Perlunya
pengukuhan oleh lembaga menandakan bahawa pemimpin mesti mendapat
legitimasi atau pengakuan secara formal oleh rakyat melalui mekanisme
perlembagaan rakyat.
Dalam ungkapan di atas ditemukan pula kedudukan seorang pemimpin
sebagai penyelesai masalah. Posisi sebagai problem solver yang terdapat dalam
masyarakat sangat penting sebab seorang pemimpin selalu berhadapan dengan
banyak masalah. Dengan kata lain, pemimpin diberikan posisi sebagai penengah
terhadap konflik yang melibatkan masyarakat. Ungkapan adat lainnya
menyatakan:

Tempat kusut diselesaikan


Tempat keruh dijernihkan
Tempat sengketa disudahkan
Tempat hukum dijalankan
Tempat adat ditegakkan
Tempat syarak didirikan
Tempat lembaga dituangkan
Tempat undang diundangkan
Tempat memberi kata putus

Ungkapan ini menunjukkan bahawa seorang pemimpin mesti mempunyai


kompetensi untuk menyelesaikan masalah sehingga pertikaian dan konflik yang
terjadi dalam masyarakat dapat diselesaikan dengan baik dan adil. Seorang
pemimpindituntut mempunyai kompetensi dalam bidang hukum, adat, dan
syarak sebab penyelesaian pertikaian mesti mengacu pada ketiga ketentuan
tersebut agar penyelesaian itu dapat dilaksanakan dengan pertimbangan
keadilan. Selanjutnya ditegaskan lagi bahawa seorang pemimpin mesti mampu
menegakkan hukum dan perundangan yang berlaku supaya keadilan yang
diharapkan oleh semua masyarakat dapat ditegakkan. Ditambahkan pula seorang
pemimpin harus berani membuat suatu keputusan agar adanya kepastian hukum
dalam masyarakat.

C. Kemampuan Pemimpin
101

Dalam mengangkat seorang pemimpin, orang Melayu memberikan


perhatian kepada kemampuan atau kualitas diri yang dimiliki pemimpin.
Mengetahui kemampuan diri seorang pemimpin sangat penting sebab pemimpin
itu diharapkan boleh menjalankan amanah dan kekuasaan yang telah diberikan
kepadanya untuk memajukan masyarakat. Dalam tujuk ajar Melayu diungkapan
beberapa kualitas diri yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin:
A. Menjunjung Tinggi Kebenaran
Orang Melayu menginginkan seorang pemimpin yang benar-benar
menjunjung tinggi kebenaran dalam segala perbuatannya.
Yang dikatakan pemimpin :
Berkata lidahnya masin
Bercakap pintanya kabul
Melenggang tangannya berisi
Menyuruh sekali pergi
Menghimbau sekali datang
Melarang sekali sudah

Ungkapan “berkata lidahnya masin” menunjukkan bahwa perkataan


seorang pemimpin mengandung nilai kebenaran sehingga apa-apa yang
dikatakannya itu dapat menjadi kenyataan dan memberikan manfaat kepada
orang kebanyakan. Ungkapan ini sebenarnya menyiratkan bahwa ketika
seorang pemimpin mengatakan sesuatu ia mesti mempunyai pengetahuan
atau kemampuan tentang apa yang disampaikannya. Dengan kata lain, apa
yang dikatakannya bukan omong kosong belaka. Ia mesti mengatakan
sesuatu dengan ilmu. Dengan demikin, dapat dinyatakan bahawa seorang
pemimpin itu harus memiliki kompetensi ”berilmu”. Seorang pemimpin juga
mesti cerdas agar ia mampu memimpin rakyatnya.
Ungkapan”bercakap lidahnya kabul” juga menegaskan bahwa perkataan
seorang pemimpin dapat dipercayai kebenarannya dan dapat menjadi
kenyataan. Ungkapan ”melenggang tangannya berisi” bermakna bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh pemimpin itu benar adanya dan memberikan
manfaatkan bagi rakyat. Ini menandakan bahawa perbuatan pemimpin itu
harus sesuai dengan amanah yang telah diberikan kepadanya untuk
mensejahterakan rakyat. Ungkapan ini juga menegaskan bahawa seorang
pemimpin mesti mempunyai pemahaman yang benar dalam menjalankan
tugasnya.
Selanjutnya ungkapan ”menyuruh sekali pergi”, ”menghimbau sekali
datang” dan ”melarang sekali sudah” bermakna seorang pemimpin harus
mempunyai kompetensi manajerial sehingga segala sesuatu yang
diperintahnya dapat diikuti oleh orang lain. Dengan kompetensi manejerial
itu, masyarakat dapat dengan mudah memahami dan melaksanakan
perintah yang disampaikan oleh seorang pemimpin.
102

Pentingnya kejujuran bagi seorang pemimpin juga disampaikan dalam


tunjuk ajar Melayu.
Yang dikatakan pemimpin,
Berkata lurus bercakap benar
Lurusnya tahan dibidik
Benarnya menahan asak
Kejujuran memang sangat diperlukan bagi seorang pemimpin sebab
hanya dengan kejujuran seorang pemimpin dapat dipercayai oleh rakyatnya.
Tanpa adanya kejujuran, rakyat tidak akan patuh kepada pemimpin. Dengan
kata lain, amanah yang telah diberikan kepada pemimpin mesti benar-benar
dipegang oleh pemimpin dengan kejujuran.
Dalam ungkapan yang lain juga disampaikan gagasan tentang kejujuran
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin:
Lurus hati lurus akalnya
Lurus niat lurus buatnya
Lurus lidah lurus tingkahnya
Lurus lahir lurus batinnya

Ungkapan ini menjelaskan bahawa hati dan akal pemimpin harus


sejalan. Kekuatan hati berada dalam bathin manusia yang berfungsi untuk
merasakan nilai-nilai kebenaran yang terdapat dalam diri manusia.
Sedangkan potensi akal merupakan hasil daripada kemampuan manusia
dalam memikirkan sesuatu. Kekuatan hati dan akal pemimpin harus
seimbang untuk menghasilkan suatu perbuatan yang berguna. Semua
perbuatan yang dilakukan oleh manusia akan diawali dengan niat yang
berasal dari dalam diri manusia. Oleh kerana itu, niat seorang pemimpin
harus pula sesuai dengan perbuatannya. Dengan kata lain, niat baik harus
dilaksanakan dengan perbuatan yang baik pula. Selain itu, lidah atau
perkataan seorang pemimpin harus sesuai pula dengan perbuatannya.
Seorang pemimpin tidak hanya boleh berbicara tetapi ia juga harus mampu
mewujudkan atau membuktikan apa-apa yang telah disampaikannya.
Dengan kata lain, sesuai perkataan dengan perbuatan. Selanjutnya
disampaikan pula perlunya keseimbangan potensi lahir dan batin seorang
pemimpin sebab keseimbangan itu akan memberikan pengaruh kepada
pandangan masyarakat terhadap pemimpin itu.

B. Memiliki Kekuatan dan Semangat


Dalam tunjuk ajar Melayu dijelaskan pula perlunya kompetensi seorang
pemimpin yang mempunyai kekuatan dalam masyarakat. Dengan kata lain,
seorang pemimpin perlu mempunyai karakter yang kuat sehingga ia dapat
memimpin rakyatnya dengan penuh kepercayaan diri.

Bagaikan kayu di tengah padang


103

Tempat beramu besar dan kecil


Rimbun daun tempat berteduh
Kuat dahannya tempat bergantung
Besar batang tempat bersandar
Kokoh uratnya tempat bersilang

Dalam ungkapan di atas seorang pemimpin dianalogikan sebagai


sebatang kayu yang dapat mengayomi semua kepentingan rakyat. Ungkapan
”rimbun daun tempat berteduh” bermakna bahwa dengan kekuatan yang
dimilikinya, seorang pemimpin juga diharapkan dapat memberikan
perlindungan kepada rakyat. Ungkapan ”kuat dahannya tempat bergantung”
bermakna bahwa kekuatan seorang pemimpin dapat membela kepentingan
rakyat sedangkan ungkapan ”besar batang tempat bersandar” bermakna
bahwa kekuatan seorang pemimpin dapat memberikan jaminan keamanan
dan keselamatan bagi rakyat. Selanjutnya ungkapan ”kokoh uratnya tempat
bersilang” bermakna bahwa kekuatan seorang pemimpin dapat mewadahi
atau mempertemukan perbedaan yang terdapat dalam masyarakat. Seorang
pemimpin mesti mampu mengelola perbedaan itu sebagai kekuatan besar
untuk membangun masyarakat. Perbedaan tidak boleh dianggap sebagai
ancaman tetapi mesti dikelola untuk kemajuan bersama.
Perlunya kekuatan seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya
dapat ditemukan dalam ungkapan berikut:
Mau manampin tahan berlenjin
Mau bersakit tahan bersempit
Mau berteruk tahan terpuruk
Mau berhimpit tahan berlengit
Mau bersusah tahan berlelah
Mau berpenat tahan bertenat
Mau berkubang tahan bergumbang
Mau bertungkus lumus tahan tertumus
Mau ke tengah tahan menepi
Mau terfitnah tahan terkeji
Mau memberi tahan berbagi
Mau bersusah tahan merugi

Ungkapan ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin mesti bekerja


keras dengan segala kemampuannya dan ia harus mampu menanggung
kesulitan yang dihadapinya dalam membela kepentingan rakyat. Dengan
kata lain, seorang pemimpin mesti mempunyai keteguhan hati dan bersifat
ksatria sehingga ia tidak mudah berputus asa. Kekuatan atau semangat
pantang menyerah sangat penting bagi pemimpin sebab semangat seorang
pemimpin dapat memberikan dorongan kepada rakyat untuk tetap memiliki
semangat dalam kehidupan ini. Sebaliknya, bila pemimpinnya lemah atau
tidak bersemangat akan membawa dampak negatif bagi rakyatnya.
104

Kemudian disampaikan pula bagaimana ketekunan seorang pemimpin


dalam menjalankan tugasnya.

Yang menjemput sekali tiba


Yang mengantar sekali sampai
Yang menggantung tinggi-tinggi
Yang membuang jauh-jauh
Yang menahan dalam-dalam

Ungkapan di atas menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus tekun


dan bersungguh-sungguh membela kepentingan rakyat. Seorang pemimpin
tidak boleh berkerja setengah hati sebab tugasnya meliputi kepentingan
orang banyak. Dengan kata lain, seorang pemimpin mesti mempunyai etos
kerja yang tinggi dalam memimpin rakyat. Tanpa adanya etos kerja yang
tinggi, seorang pemimpin tidak akan berhasil memimpin rakyatnya.
Selanjutnya disampaikan pula kompetensi yang perlu dimiliki oleh
seorang pemimpin dalam memimpin rakyatnya.
Yang dikatakan pemimpin:
Memakai sifat yang bersifat
Memakai syarak dengan sunnah
Memakai adat dengan lembaga
Memakai hukum dengan undangnya
Memakai ico dengan pakaiannya

Ungkapan di atas menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus


mempunyai karakter yang baik. Ini disebabkan prilaku seorang pemimpin
akan ditiru oleh orang banyak. Selain itu, seorang pemimpin harus juga
memahami dan menerapkan nilai adat dan agama sekaligus sebab dalam
pandangan orang Melayu adat dan agama harus sejalan diterapkan. Dengan
kata lain, seorang pemimpin harus benar-benar memahami bagaimana
hubungan adat dan agama dalam kehidupan orang Melayu. Orang Melayu
sering dikaitkan dengan nilai-nilai Islam sebab nilai-nilai Islam itu merupakan
asas utama dari budaya Melayu.
Seorang pemimpin dalam menerapkan adat mesti menempatkannya
sesuai dengan kepatutan yang berlaku dalam masyarakat adat itu. Dalam
penerapan hukumpun, ia mesti berlandaskan kepada undang-undang yang
berlaku dalam masyarakat. Sejalan ungkapan di atas, pemimpin itu
diumpamakan”memakai ico dengan pakaiannya”. Ini bermakna bahawa
seorang pemimpin perlu memahami konsep keserasian, ketepatan,
keseimbangan, ketaatan dan kepatutan dalam menjalankan tugasnya agar
tugas yang diberikannya itu membawa manfaat bagi rakyatnya.

C. Bersifat Bijaksana dan Adil


Seorang pemimpin dalam membuat suatu keputusan harus bersifat
bijaksana supaya segala sesuatu yang diputuskannya dapat memberikan
105

kepercayaan kapada masyarakat. Oleh kerana itu, seorang pemimpin harus


mempertimbangkan segala sesuatunya sebelum membuat keputusan. Hal ini
seperti yang disampaikan dalam ungkapan berikut:

Yang genting diputuskannya


Yang membiang ditempukkannya
Yang bulat sepenggoleknya
Yang tipis selayangannya

Tunjuk ajar ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin mesti mampu


melihat hakekat persoalan yang sebenarnya supaya ia tidak salah dalam
membuat keputusan. Selain itu dalam ungkapan lainnya dinyatakan:
Yang dikatakan pemimpin,
Pandai menenggang bijak menimbang
Menenggang hati orang
Menenggang perasaan orang
Menenggang pendapat orang
Menenggang hak milik orang
Menenggang harta pusaka orang
Menenggang anak bini orang
Menenggang saudara mara orang
Menenggang aib malu orang
Menenggang adat lembaga orang
Menenggang ico pakaian orang
Menenggang petuah amanah orang
Menenggang budi bahasa orang
Menenggang tegur sapa orang

Selanjutnya disampaikan pula kompetensi keadilan seorang pemimpin


dalam menjalankan tugasnya:
Yang menimbang sama berat
Yang menyukat sama pepas
Yang mengukur sama panjang
Yang menakar sama penuh
Yang menyimpul sama mati
Yang menyimpai sama kuat
Yang mengikat sama-sama kokoh

Kemudian bagaimana sebaiknya seorang pemimpin menjalankan tugas


yang telah diamanatkan rakyat kepadanya, dituangkan dalam tunjuk ajar
berikut ini:
Yang berbongkol diratakannya
Yang kesat diampelasnya
Yang menjungkat diratakannya
Yang miang dikikisnya
106

Yang melintang diluruskannya


Yang menyalah dibetulkannya
Yang tidur dijagakannya
Yang lupa diingatkannya
Yang sesat diunutnya
Yang hilang disawangnya

Dalam ungkapan lain juga terlihat pandangan orang Melayu terhadap


seorang pemimpin yang perlu mempunyai kearifan dalam menjalankan
tugasnya. Kearifan sangat penting dimiliki oleh seorang pemimpin sebab
semua perbuatan pemimpin akan memberikan pengaruh kepada pandangan
rakyat yang dipimpinnya:
Yang berumah dalam musyawarah
Yang bertempat dalam mufakat
Yang berdiri dalam budi
Yang tegak dalam syarak
Yang duduk dalam khusyuk
Yang memandang dengan undang
Yang melihat dengan adat
Yang melihat dengan tunjuk ajar
Yang berkata dengan sunnah
Yang berlaku dengan ilmu
Yang berjalan dengan iman
Yang melangkah dengan petuah

Kearifan seorang pemimpin dalam berkata dan bertindak juga


diungkapkan dalam tunjuk ajar lainnya:
Yang dikatakan pemimpin,
Dada lapang fikiran panjang
Dalam sempit ia berlapang
Sebelum berkata berkira-kira
Sebelum tegak mengagak-agak
Sebelum duduk menengok-nengok
Sebelum melangkah berpelangkah

Konsep keseimbangan dalam diri seoarang pemimpin juga terlihat


dalam ungkapan berikut:
Benar dimulut benar dihati
Benar menurut syarak dan sunnah
Benar berdiri di jalan Allah
Benar tegak menurut adat
Benar berjalan kepada hukumnya
Benar melangkah pada undangnya
Benar tidak alih beralih
107

Tunjuk ajar ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus jujur


dalam menyampaikan sesuatu. Dengan kata lain, harus sesuai apa terasa
dihati dengan apa yang dikatakan.

D. Pemimpin sebagai Panutan dan Sosok Ideal


Dalam tunjuk ajar Melayu diungkapkan bahwa seorang pemimpin mesti
dapat dipercaya dan prilakunya pun dapat menjadi panutan:

Yang ilmunya boleh berguru


Yang kajinya boleh mengaji
Yang cakapnya boleh dikakap
Yang mulutnya boleh diikut
Yang perangainya boleh dipakai
Yang temoohnya boleh dicontoh
Yang hatinya boleh diuji
Yang lakunya boleh ditiru
Yang taatnya menahan pahat
Yang setianya menahan coba
Yang ikhlasnya menahan kipas
Yang tawakalnya menahan penggal
Yang tunggangnya menahan pedang
Yang teguhnya menahan sunuh
Orang Melayu benar-benar menginginkan pemimpin yang ideal, yaitu
orang yang baik secara zahir dan batin. Hal ini seperti yang disampaikan
dalam ungkapan berikut:
Yang dikatakan pemimpin
Elok lahir sempurna batin
Eloknya boleh ditengok
Sempurnanya boleh dirasa
Elok duduk dengan tegaknya
Elok tingkah dengan lakunya
Elok budi dengan bahasanya
Elok tegur dengan sapanya
Elok tutur dengan katanya
Elok langkah dengan lenggangnya

Harapan orang Melayu sangat ideal terhadap seorang pemimpin. Orang


Melayu mengharapkan pemimpin yang sempurna supaya pemimpin itu
benar-benar memberikan manfaat bagi rakyat. Ungkapan berikut
menunjukkan harapan orang Melayu kepada pemimpinnya:
Sempurna iman dengan takwanya
Sempurna akal dengan fikirnya
Sempurna ilmu dengan amalnya
Sempurna hati dengan pekertinya
108

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin mesti benar-


benar bertakwa kepada Allah agar ia dapat menyelamatkan rakyatnya.
Keimanan dan ketakwaan seorang pemimpin sangat diperlukan sebab ia
mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menyelamatkan rakyatnya di
dunia mahupun akhirat. Orang Melayu adalah masyarakat bercirikan agama
Islam sehingga aspek keimanan dan ketakwaan sangat dipertimbangan bagi
seorang pemimpin.
Selain keimanan dan ketakwaan, orang Melayu juga menginginkan
seorang pemimpin yang mempunyai akal dan fikiran yang cerdas.
Kecerdasan sangat diperlukan sebab tugas seorang pemimpin meliputi
banyak aspek dan banyak kepentingan dalam kehidupan ini. Seorang
pemimpin akan berhadapan dengan perbedaan pendapat sehingga hanya
dengan kecerdasan seorang pemimpin dapat mengelola realitas perbedaan
yang terdapat dalam masyarakat. Kesempurnaan akal dan fikiran seorang
pemimpin didukung pula oleh kompetensi keilmuan yang dimiliki agar
semua tindakannya lebih terarah. Dengan bekal keilmuan yang memadai
seorang pemimpin akan lebih mudah mengelola rakyat yang dipimpinnya.
Orang Melayu juga mengharapkan seorang pemimpin yang hati yang bersih
dan pekerti yang baik.
E. Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan dalam persfektif orang Melayu sebenarnya tidak mesti
menjadi hak mutlak kaum laki-laki, sejarah Melayu mencatat bahwa di kerajaan
Aceh pernah ada empat Sultanah yang memimpin yaitu Sultanah Tajul Alam
Safiatuddin Syah (1641-1675), Sultanah Nur Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678),
Sultanah Inayat Zakiatuddin Syah (1678-188) dan Sultanah Kamalat Zainatuddin
Syah (1688-1699)116 Keberadaan mereka sebagai pemimpin kerajaan bisa
diterima dengan baik tidak hanya dari kalangan aristokratik (orang-orang kaya)
tapi juga dari kalangan ulama.Tidak hanya di Kerajaan Aceh, Kerajaan Patani di
Selatan Thailand juga pernah dipimpin empat orang sultanah(1584-1600). 117
Selain itu juga di Sukadana (1608-1622), di Jambi (1630-1655) dan di Solor (1650-
1670)118.
Tampilnya pemimpin perempuan sebagai sultanah ini menunjukkan
keterbukaan dan moderasi para elit politik dan tokoh agama kerajaan-kerajaan
Melayu di Asia Tenggara dalam memandang hubungan perempuan dan
kekuasaan yang serupa sulit ditemukan pada kerajaan-kerajaan lainnya di dunia
Islam karena mayoritas para elit mereka memandang bahwa kekuasaan itu
merupakan hak mutlak kaum laki-laki. Hal ini bukan berarti menafikan
perdebatan tentang kepemimpinan perempuan di kalangan pembesar istana

116
Arndt Graf, Susane Schroter, Edwin Wieringa, Aceh; Histori, Politics and Culture, (Singapore:
ISEAS Publishing, 2010), h..4
117
Max L. Gross, A Muslim Archipelago, Islam dan Politics in South East Asia, (National Defense
Intelligence College), h.60
118
Arndt Graf, Susane Schroter, Edwin Wieringa, Aceh; Histori, Politics and Culture,...h.5
109

kerajaan-kerajaan Melayu tapi perdebatan tersebut bisa diakhiri berkat


pandangan ulama-ulama yang bijaksana, seperti Tengku Abdurrauf al-Singkili
misalnya di kerajaan Aceh yang yang menyarankan pemisahan antara masalah
agama dengan pemerintahan.
Peran kepemimpinan perempuan juga dimainkan oleh Engku Puteri Raja
Hamidah meskipun tidak sebagai Sultanah tapi sebagai permaisuri Sultan
Mahmud. Ia adalah seorang perempuan sangat istimewa dalam sejarah Melayu.
Ia adalah pemilik pulau Penyengat yang menjadi pusat pemerintahan dari
kerajaan Riau-Lingga dan taklukannya (Riau-Lingga-Johor dan Pahang). Engku
Puteri merupakan perempuan yang paling disegani dan sangat dihormati. Beliau
memegang kendali pemerintahan sekaligus pemegang regalia atau alat-alat
kebesaran kerajaan Riau Lingga yang biasanya digunakan dalam penobatan raja-
raja.119 Engku Puteri tercatat banyak mendorong dilakukannya kegiatan-kegiatan
intelektual dan budaya, termasuk yang terpenting menulisa karya-karya
sejarah.120
Tak jauh berbeda dengan Engku Puteri Raja Hamidah, di Kerajaan Siak Sri
Indrapura, ada Syarifah Latifah (Tengku Agung) permaisuri Sultan Syarif Kasim II
yang banyak berperan dalam pemberdayaan kaum perempuan. Beliau
mendirikan sebuah sekolah yang bertujuan mendidik, mencerdaskan dan
memajukan kaum perempuan yang ada di Siak Sri Indrapura.121

119
Hasan Yunus, Engku Puteri Raja Hamidah; Pemegang Regalia Kerajaan Riau (Riau: UNRI Press,
2002), h. 32
120
Jajat Burhanudin, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 213
121
Ahmad Yusuf, et. al., Sultan Syarif Kasim II, Raja Terakhir Kerajaan Siak Sri Indrapura;
Pemerintahan, Perjuangan, Warisan, (Pekanbaru: Pemerintah Daerah Propinsi Riau, 1992), h.169
110

10

SISTEM HUKUM DALAM MASYARAKAT MELAYU

SEBAGAI makhluk sosial, manusia mempunyai kebutuhan untuk


berhubungan sosial atau berkerjasama dengan manusia lainnya.Dalam hubungan
sosial ini tidak tertutup kemungkinan terjadinya perselisihan-perselisihan atau
pertentangan-pertentangan antara sesama manusia, mengingat beragamnya
kebutuhan manusia dan banyaknya jumlah manusia yang sama-sama menuntut
kebutuhan tersebut. Lebih-lebih mengingat manusia sebagai makhluk individu,
mereka lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya sendiri
tanpa menghiraukan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan orang
lain. Apabila hal ini terjadi, maka dapat menimbulkan kekacauan-kekacauan dan
pertentangan-pertentangan di antara sesama manusia sehingga ketertiban dan
keteraturan dalam masyarakat tidak dapat terwujud.
Agar hal tersebut bisa dihindari, maka diperlukan adanya serangkaian
petunjuk yang berisi pedoman-pedoman tentang bagaimana seseorang berbuat
terhadap orang lain atau bagaimana manusia bertingkah laku dalam masyarakat.
111

Serangkaianpetunjuk yang berisi pedoman-pedoman itu disebut dengan norma


atau kaedah sosial.122 Norma atau kaedah sosial ini memberikan informasi
kepada setiap orang sebagai anggota masyarakat tentang apa yang seharusnya
dilakukan dan tidak boleh dilakukan terhadap orang lain. Dengan demikian,
manusia yang semula berbuat bebas sekehendak hatinya menjadi tidak bebas
lagi karena terikat dengan ketentuan norma dan kaedah sosial tersebut. 123
Norma atau kaedah sosial yang menjadi pedoman manusia dalam bertingkah
laku di masyarakat, yaitu norma agama, normakesusilaan, norma kebiasaan dan
norma hukum. Norma agama datangnya dari Tuhan,norma kesusilaan berasal
dari bisikan hatinurani manusia,norma kebiasaan berasal dari kebiasaan-
kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat dan diterima oleh kesadaran hukum
masyarakat, norma hukum merupakan petunjuk yang berisi pedoman-pedoman
prilaku manusia di masyarakat yang sengaja dibuat oleh badan perlengkapan
masyarakat yang ditugasi untuk itu dengan tujuan menciptakan ketertiban,
ketentraman dan kedamaian dalam masyarakat. 124Berbeda dengannorma atau
kaedah agama, norma kesusilaan dan kebiasaan yang bertumpu pada unsur
idealnya saja atau unsur kenyataannya saja, norma hukum bertumpu pada unsur
ideal dan unsur kenyataannya. Hukum terikat pada dunia ideal dan dunia
kenyataan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa norma atau kaedah
hukum meramu kedua unsur; unsur ideal dan unsur kenyataan secara seimbang.
Artinya hukum tidak boleh terlalu ideal sehingga sulit dilaksanakan oleh anggota
masyarakat, dan juga jangan terlalu mengabaikan unsur ideal sehingga tidak
dapat menciptakan keteraturan, ketentraman dan kedamaian dalam masyarakat.
Sistem hukum adalah sebuah tatanan hukum yang terdiri dari beberapa
subsistem hukum yang memiliki fungsi yang berbeda namun saling berkaitan
antara subsistem hukum yang satu dengan yang lain untuk mencapai sebuah
tujuan yang sama, yaitu terwujudnya keamanan, ketertiban, dan keadilan dalam
masyarakat.125Berdasarkan pengertian ini bisa dipahami bahwa sistem hukum
adalah semua aturan hukum yang telah disusun secara tersistem dan terpadu
berdasarkan atas asas-asas tertentu. Ia merupakan susunan dari aturan-aturan
hidup yang keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama
lain.
Dilihat dari bentuknya, sistem hukum itu terbagi dua, yaitu pertama, hukum
tertulis merupakan hukum yang tercantum dalam berbagai peraturan
perundang-undangan dan secara resmi telah diumumkan berlakunya oleh
pemerintah. Hukum tertulis ini ada yang sudah dikodifikasi dan ada pula yang
belum dikodifikasi. Kedua, hukum tidak tertulis merupakan hukum yang hidup
dan ada tetapi tidak dalam wujud peraturan tertulis, melainkan ada dalam

122
M.Bakri, Pengantar Hukum Indonesia, (Malang: UB Press, 2013),H.3-4
123
Ibid.
124
Ibid., h.7
125
Hendri Raharjo, Sistem Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2016), h.25
112

pengetahuan, keyakinan dan kesadaran hati masyarakat dan keberlakuannya


ditaati sebagai kaedah hukum.126
Ada beberapas sistem hukum yang berlaku di dunia saat ini, di antaranya:
1. Sistem Hukum Eropa Kontinental. Sistem hukum ini berkembang di
negara-negara Eropa daratan, seperti Jerman, Belanda, Perancis, Italia,
Amerika Latin dan Asia (termasuk Indonesia para masa penjajahan
Belanda). Di antara ciri-cirinya adalah prinsip utamanya hukum itu
memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang
berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam
kodifikasi, tujuan hukum adalah kepastian hukum, adagiumnya yang
terkenal “tidak ada hukum selain undang-undang”, hakim tidak bebas
dalam menciptakan hukum baru, dan sumber hukum utamanya adalah
undang-undang yang dibentuk oleh badan legislatif.
2. Sistem Hukum Anglo Saxon (Anglo Amerika). Sistem hukum ini mula-mula
berkembang di Inggris, dan dikenal dengan istilah Rule of Law atau
Common Law atau Unwritten Law. Kemudian berkembang ke negara-
negara persemakmuran Inggris, Amerika Utara, Kanada dan Amerika
Serikat. Di antara ciri-cirinya adalahsumber hukum utamanya adalah
putusan-putusan hakim atau putusan pengadilan atau yurisprudensi,
melalui putusan-putusan hakim, prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah
hukum dibentuk dan mengikat umum, hakim memiliki wewenang yang
luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan
prinsip-prinsip hukum baru yang berguna bagi hakim-hakim lain dalam
memutuskan perkara sejenis.
3. Sistem hukum Adat. Sistem hukum ini terdapat dan berkembang di
lingkungan kehidupan sosial di Indonesia, Cina, India, Jepang dan negara
lainnya. Di antara ciri-cirinya adalah sumber utamanya adalah hukum
tidak tertulis atau kebiasaan, bersifat tradisional dengan berpangkal pada
kehendak nenek moyang, yang berperan dalam menjalankannya adalah
para pemuka adat. Sistem hukum adat di Indonesia dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu hukum adat mengenai tata negara, hukum adat
mengenai warga dan hukum adat mengenai delik (hukum pidana).
4. Sistem Hukum Islam. Sistem hukum ini berasal dari Arab, kemudian
berkembang ke negara-negara lainnya seperti Asia, Afrika, Eropa, Amerika
secara individual maupun kelompok. Di antara ciri-cirinya adalah
bersumberkan dari al-Quran, Sunnah dan Ijtihad, Ketentuan didasarkan
pada akhlak dan agama, sanksi terhadap pelanggarnya rangkap, yakni
sanksi di dunia dan di akhirat dan tujuannya agar masyarakat tenteram di
dunia dan di akhirat.127

126
M.Bakri et. al, Pengantar Hukum Indonesia, Pembidangan dan Asas-Asas Hukum (Malang: UB
Press, 2015),h.3
127
Hendri Raharjo, Sistem Hukum Indonesia......, h.29-31
113

Pada awalnya sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat Melayu bersifat
tradisional yang disusun dan dirumuskan oleh para tertua adat yang sifatnya
tidak tertulis. Namun pada perkembangannya kemudian proses kodifikasi
dilakukan untuk memudahkan penyelesaian perkara dalam masyarakat yang
lebih kompleks terutama sekali di era kesultanan Melayu Islam.

A. Struktur Masyarakat

Masyarakat hukum adat Melayu dibangun berdasarkan beberapa struktur,


yaitu:
1. Berdasarkan asas keturunan (geneologis). Atas dasar ini anggota-anggota
masyarakat Melayu merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan
kepercayaan bahwa mereka semua berasal satu keturunan yang sama.
Ada empat macam pertalian keturunan, yaitu:
a. Patrilineal, yaitu susunan masyarakat yang menarik garis keturunan
dalam hubungan diri dengan orang lain melalui garis laki-
laki,contohnya perkawinan jujur dan ciri-ciri perkawinan jujur adalah
eksogami dan petrilokal. Eksogami adalah perkawinan jujur yang ideal
jika jodoh diambil dari luar suku sendiri. Patrilokal adalah tempat
tinggal bersama yang ideal di tempat tinggal suami.
b. Matrilineal, yaitu struktur masyarakat yang menarik garis keturunan
dengan mengabungkan diri dengan orang lain melalui garis
perempuan, contohnya, perkawinan semendo dan ciri-ciri perkawinan
semendo adalah endogami dan matrilokal. Endogami adalah
perkawinan yang ideal jika jodoh diambil dalam kalangan suku sendiri.
Matrilokal adalah tempat tinggal bersama yang ideal ditempat tinggal
istri.
c. Patrilineal Beralih-alih, yaitu struktur masyarakat yang menarik garis
keturunan secara bergiliran atau berganti-ganti sesuai dengan bentuk
perkawinan yang dialami oleh orang tua, yaitu bergiliran kawin jujur,
kawin semendo maupun kawin semendo rajo-rajo.
d. Parental atau Bilateral, yaitu pertalian keturunan yang ditarik secara
garis keturunan melalui garis ayah maupun garis ibu. Pada masyarakat
terstruktur secara bilateral tidak ada perkawinan khusus, begitu juga
dengan tempat tinggal dalam perkawinan tidak ditentukan dengan
jelas.128
2. Berdasarkan teritorial (asal daerah). Atas dasar ini masyarakat hukum
adat disusun berasaskan lingkungan daerah.Para anggotanya merasa
bersatu dan bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum adat
daerah yang bersangkutan. Masing-masing anggota masyarakat merasa
terikat dengan tanah tempat tinggal mereka yang didiami sejak
kelahirannnya, yang didiami oleh orang tuanya, yang didiami oleh
neneknya, yang dialami oleh nenek moyangnya, secara turun-temurun.
128
Yulia, Buku Ajar Hukum Adat, (Lhokseumawe, Unimal Press: 2016), h.22
114

Meninggalkan tempat tinggal bersama, lingkungan daerah untuk


sementara waktu, tidaklah membawa hilangnya keanggotaan
masyarakat. Sebaliknya, orang asing orang yang berasal dan datang dari
luar lingkungan daerah tidak dengan begitu saja diterima dan diangkat
menurut hukum adat menjadi anggota masyarakat hukum adat. Mereka
akan menjadi teman segolongan, teman hidup sedesa, seraya mempunyai
hak dan kewajiban sebagai anggota sepenuhnya, misalnya berhak ikut
serta dalam rukun desa. Supaya dapat menjadi anggota penuh
masyarakat hukum adat, maka orang asing berstatus sebagai pendatang.
Di dalam kehidupan nyata sehari-hari di desa, perbedaan antara
penduduk inti dan pendatang kelihatan dengan terang, biarpun dalam
suasana desa yang sudah modern. Perbedaan tersebut makin lama makin
lenyap sesuai dengan keadaan sosial struktur desa. Dalam hal ini ada tiga
jenis masyarakat dalam struktur ini, yaitu:
a. Masyarakat Hukum Desa. Masyarakat hukum desa adalah segolongan
atau sekumpulan orang yang hidup bersama berasaskan pandangan
hidup, cara hidup dan sistem kepercayaan yang sama, yang menetap
pada suatu tempat kediaman bersama, merupakan satu kesatuan tata
susunan yang tertentu, baik keluar maupun kedalam. Masyarakat
hukum desa tersebut,struktur masyarakatnya melingkupi pula
kesatuan-kesatuan yang kecil yang terletak di luar wilayah desa yang
sebenarnya, yang lazim disebut “teratak” atau “dukuh”. Akan tetapi,
mereka tunduk pada penjabat kekuasaan desa dan juga sebagai pusat
kediaman.
b. Masyarakat Hukum Wilayah. Masyarakat inimerupakan suatu
kesatuan sosial yang teritorialnya melingkupi beberapa masyarakat
hukum desa yang masing-masingnya tetap merupakan kesatuan-
kesatuan yang berdiri tersendiri. Masyarakat hukum desa yang
tergabung dalam masyarakat hukum wilayah itu masing-masing
mempunyai tata susunan dan pengurus sendiri-sendiri, namun masih
juga masyarakat hukum wilayah tersebut merupakan bagian yang tak
terpisah dari keseluruhan, yaitu merupakan bagian yang tak terpisah
dari masyarakat hukum wilayah sebagai kesatuan sosial teritorial yang
lebih tinggi. Oleh karena itu, masyarakat hukum wilayah itu
merupakan masyarakat hukum bawahan yang juga memiliki harta
benda, menguasai hutan dan rimba yang terletak di antara masing-
masing kesatuan yang tergabung dalam masyarakat hukum wilayah
dan tanah. Harta benda tersebut baik yang tergabung dalam
masyarakat hukum wilayah dan tanah, yang ditanami maupun yang
ditinggalkan atau yang belum dikerjakan. Masyarakat hukum wilayah
melingkupi beberapa dusun. Desa merupakan suatu masyarakat
hukum adat yang disebut Gemeinschaft, dan berbeda dengan
kampung yang merupakan suatu Gesellschaft. Kampung di kota-kota
115

besar bukanlah masyarakat hukum, karena tidak mempunyai tata


susunan yang wajar, dan di antara penduduk-penduduk kampung
tidak ada ikatan batin.
c. Masyarakat Hukum Serikat Desa. Masyarakat inimerupakan suatu
kesatuan sosial yang teritorial selalu dibentuk atas dasar kerjasama
diberbagai lapangan demi kepentingan bersama masyarakat hukum
desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa tersebut.
Kerjasama tersebut dimungkinkan karena secara kebetulan
berdekatan letaknya dengan masyarakat hukum desa yang bersama-
sama membentuk masyarakat hukum serikat desa. Masyarakat
hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa
itu secara kebetulan masih juga kerjasama tersebut bersifat
tradisional. Dalam menjalankan kerjasama, mempunyai pengurus
bersama yang biasanya menyangkutpengurusan pengairan,
penyelesaian perkara-perkara delik adat, pengurusan hal-hal yang
bersangkut paut dengan keamanan bersama, dan kadang-kadang
kerjasama ini diadakan karena ada struktur masyarakatketurunan
yang sama.

Berdasarkan tiga jenis masyarakat hukum adat teritorial tersebut di


atas, maka yang merupakan pusat pergaulan sehari-hari adalah desa,
hutan dan dusun. Hal ini ditinjau dari baik segi organisasi sosial maupun
dari perasaaan perikatan yang bersifat tradisional. Segala aktifitas
masyarakat hukum desa dipusatkan dalam tangan kepala desa, yang
menjadi bapak masyarakat desa dan yang dianggap mengetahui segala
peraturan-peraturan adat dan hukum adat masyarakat hukum adat yang
dipimpinnya, sehingga kepala desa adalah juga kepala adat-istiadat. 129

B. Sistem Perkawinan

Dalam kaitannya dengan perkawinan, perkawinan dianggap bukan


merupakan urusan pribadi dari orang yang melakukan perkawinan, tetapi juga
menjadi urusan keluarga, suku, dan masyarakat. Perkawinan berarti pemisahan
dari orang tuanya dan untuk seterusnya melanjutkan garis hidup orang tuanya.
Dalam suku, perkawinan merupakan suatu usaha yang menyebabkan terus
berlangsungnya suku tersebut dengan tertibnya. Dalam masyarakat persekutuan,
perkawinan merupakan sutu peristiwa penting yang mengakibatkan masuknya
warga baru yang ikut mempunyai tanggung jawab penuh terhadap
persekutuannya.
Perkawinan memiliki arti yang penting bagi masyarakat karena itu harus
disertai dengan upacara-upacara adat, agar kedua mempelai bahagia
mengarungi hidup berkeluarga sampai akhir hayatnya. Upacara-upacara yang
dilakukan melambangkan adanya perubahan satus hidup berpisah dengan

129
Ibid., h. 24
116

keluarga induk dan membentuk keluarga yang baru. Prosesi kegiatan dalam
perkawinan adat yang telah dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi
suatu hukum perkawinan adat.
Asas-asas perkawinan dalam hukum adat, yaitu:

1. Asas Keadatan dan Kekerabatan Perkawinan. Dalam hukum adat bukan


sekedar mengikat secara individual, akan tetapi juga mengikat
masyarakat adat dalam arti masyarakat komunal punya tanggung jawab
dalam urusan perkawinan warganya. Oleh itu, perkawinan dalam hal ini
sangat ditentukan kehendak kerabat dan masyarakat adat. Kehendak
yang dimaksud ialah mulai dari pemilihan pasangan, persoalan jujur dan
persoalan-persoalan lainnya. Asas inilah sebenarnya yang mendasari asas-
asas perkawinan dalam hukum adat.
2. Asas Kesukarelaan atau Persetujuan. Dalam hukum adat calon mempelai
tidak mempunyai otoritas penuh untuk menyatakan kerelaan atau
persetujuan perkawinan. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan
orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak
kedudukan suami atau istri yang tidak diakui oleh masyarakat adat
setempat. Pelanggaran terhadap asas ini dapat dikenakan sanksi
dikeluarkan dari lingkungan kekerabatan masyarakat adat, terlebih dalam
masyarakat adat yang masih kental sistem kesukuaannya͵
3. Asas Partisipasi Kerabat dan Masyarakat Adat. Dalam perkawinan,
partisipasi orang tua beserta kerabat dan masyarakat adat sangatlah
besar artinya. Partisipasi ini dimulai dari pemilihan calon mempelai,
persetujuan sampai pada kelanggengan rumah tangga mereka.Secara
langsung ataupun tidak langsung orang tua beserta kerabat punya
tanggung jawab moral terhadapnya.
4. Asas Poligami. Asas poligami dalam masyarakat adat sudah menjadi
tradisi. Tidak sedikit adat raja-raja, adat bangsawan baik yang beragama
mempunyai isteri lebih dari satu bahkan puluhan. Masing-masing isteri
yang dipoligami tersebut mempunyai kedudukan yang berbeda satu sama
lain berdasarkan struktur hukum adat setempat.
5. Asas Selektivitas. Asas selektivitas dalam hukum adat, pada pembahasan
ini diarahkan pada proses dan siapa yang berhak menentukan calon
mempelai. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa dalam hukum
adat, orang tua, kerabat dan masyarakat adat sangat berpengaruh dalam
pemilihan calon mempelai. Dengan demikian, proses memilih calon
mempelai mempunyai sedikit banyak peran yang ditentukan oleh orang
tua beserta kerabat. Dalam proses pemilihan calon mempelai, diarahkan
pada jenis perkawinan yang dikehendaki dan menghindari perkawinan
yang dilarang.130

130
Ibid.
117

Perkawinan ada yang didahului dengan lamaran (pertunangan) dan adapula


tanpa lamaran. Bentuk perkawinan ada yang bersifat kekeluargaan matrilineal.
Setelah kawin, suami tetap masuk pada keluarganya sendiri. Pada prosesnya
calon suami dijemput dari rumahnya kemudian tinggal dan menetap di rumah
keluarga isteri, tetapi anak-anak dan keturunannya masuk keluarga istri dan si
ayah pada hakikatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
Keadaan ini disebabkan rumah tangga suami isteri dan anak-anak keturunannya
dibiayai dari milik kerabat si isteri.
Adapula yang bersifat kekeluargaan patrilineal. Sifat utama dari perkawinan
ini adalah dengan memberikan “jujur” oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan sebagai lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si isteri
dengan orang tuanya, nenek moyangnya dan singkatnya dengan kerabat dan
persekutuannya. Setelah perkawinan si isteri masuk dalam lingkungan keluarga
suami begitu juga anak-anak keturunannya. Sistem jujur tersebut tidak lantas
kemudian dipahami sebagaimana yang difahami oleh para etnolog barat, yaitu
sebagai pembelian tetapi menurut hukum adat yang murni jujur dimaksudkan
sebagai suatu penggantian bahwa kedudukan gadis dalam pengertian religio-
magis-kosmis. Dalam menjaga kesimbangan dalam suatu keluarga maka anak
gadis yang dikawinkan diganti dengan suatu benda dalam memaknai religio-
magis-kosmis’. Kawin jujur mengandungtiga pengertian, yaitu pertama, pada sisi
yuridis akan terjadi perubahan status.Kedua, pada sisi sosial politis, perkawinan
tersebut akan mempererat hubungan antar kerabat, hubungan kekeluargaan dan
menghilangkan permusuhan.Dan ketiga dari sisi ekonomis, adanya pertukaran
barang.
Kemudian ada yang bersifat kekeluargaan parental [garis keturunan Keibu-
Bapaan]. Setelah perkawinan baik si isteri maupun suami menjadi milik keluarga
bersama begitu juga anak-anak dan keturunannya. Dalam sifat ini juga terdapat
kebiasaan berupa pemberian-pemberian dari pihak laki-laki terhadap pihak
perempuan, tetapi pemberian di sini tidak mempunyai arti seperti jujur, mungkin
dulu dasarnya seperti jujur tetapi lebih banyak diartikan sebagai hadiah
perkawinan.
Selanjutnya ada bentuk perkawinan anak-anak. Perkawinan ini dilakukan
terhadap calon suami dan isteri yang belum dewasa, sedangkan pesta dan
upacara menurut hukum adat ditangguhkan. Sebelum upacara perkawinan,
suami belum boleh melakukan hubungan suami istri, ditangguhkan sampai
mereka dewasa dan dilangsungkan pesta dan upacara menurut hukum adat.
Ada lagi bentuk perkawinan permaduan. Permaduan adalah ikatan
perkawinan antara seorang pria dengan dua atau lebih wanita dalam waktu
bersamaan. Pada daerah yang mengenal lapisan masyarakat, wanita yang dari
lapisan tinggi sama dijadikan isteri pertama dan wanita yang dari lapisan bawah
dijadikan isteri kedua dan seterusnya. Para istri yang dimadu selir, masing-
masing beserta anaknya berdiam dan membentuk rumah berpisah satu sama
lain.
118

Kemudian bentuk perkawinan ambil anak. Perkawinan ini terjadi pada


kekerabatan patrilineal, yaitu pihak laki-laki tidak perlu membayar jujur, dengan
maksud mengambil si laki-laki menantunya itu ke dalam keluarganya agar
keturunannya nanti menjadi penerus silsilah kakeknya. Bentuk perkawinan ini
juga bisa terjadi pada masyarakat semendo yang disebut perkawinan semendo
ambik anak, dalam rangka penerus silsilah menurut garis perempuan.
Selanjutnya bentuk perkawinan mengabdi. Perkawinan ini terjadi sebagai akibat
adanya pembayaran perkawinan yang cukup besar, sehingga pihak laki-laki tidak
mampu membayarnya. Dalam bentuk ini suami isteri sudah mulai berkumpul,
sedang pembayaran perkawinan ditunda dengan cara bekerja untuk kepentingan
kerabat mertuanya sampai jumlah pembayaran perkawinan terbayar lunas.
Adapula bentuk perkawinan meneruskan sororat. Perkawinan seorang duda
balu dengan saudara perempuan mendiang isterinya. Perempuan tersebut
meneruskan fungsi isteri pertama tanpa suatu pembayaran jujur. Perkawinan ini
disebut kawin turun ranjang [salin tikar]. Kemudian bentuk perkawinan
mengganti leverat. Perkawinan yang terjadi apabila seorang janda yang menetap
di lingkungan kerabat suaminya, kawin dengan laki-laki adik mendiang suaminya.
Di beberapa tempat perkawinan ini disebut kawin Anggau.
Sistem perkawinan yang berlaku di masyarakat, yaitu endogami, exogami
dan eleutherogami. Sistem endogami yaitu perkawinan yang dilakukan dalam
lingkungan rumpun, antara anggota yang satu lelaki dengan perempuan dari
anggota yang lain tetapi perkawinan tidak dilakukan di luar rumpun. Kawin
endogamy merupakan suatu anjuran yang beralasan pada kepentingan
persatuan dalam hubungan antar keluarga, supaya dapat mempertahankan
tanah tetap menjadi milik lingkungan sendiri atau milik rumpun. Sistem exogami,
yaitu orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya sendiri. Dan Sistem
Eleutherogami, yaitu tidak mengenal larangan-larangan apapun atau batasan-
batasan wilayah, seperti halnya pada endogami dan exogami. Sistem ini hanya
menggunakan berupa larangan-larangan yang berdasarkan pada pertalian darah
atau kekeluargaan nasab turunan yang dekat, seperti ibu, nenek, anak kandung,
cucu dan saudara kandung, saudara bapak atau ibu.

C. Hak Atas Tanah

Kepemilikan atas tanah dalam masyarakat Melayu tradisional disebabkan


oleh dua hal, yaitu:
a. Karena sifatnya, yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang
meski mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap
dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang malah menjadi lebih
menguntungkan.
b. Karena fakta, yakni suatu kenyataan bahwa tanah itu merupakan tempat
tinggal persekutuanatau memberikan penghidupan kepada
persekutuanatau merupakan tempat tinggal kepada dayang-dayang
pelindung persekutuan kepada roh para leluhur persekutuan dan
119

merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal


dunia.
Dalam kaitannya dengan kepemilikan tanah ini, ada yang disebut tanah
“ulayat”. Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini
sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada
kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung
utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.
Adapun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok di
bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan,
tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah
bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama. Dalam
sudut bentuk masyarakat hukum adat, lingkungan adat dikuasai oleh suatu
masyarakat hukum adat atau beberapa masyarakat, yaitu: lingkungan tanah
sendiri, yaitu lingkungan tanah yang dimiliki oleh satu masyarakat hukum
adat.Lingkungan tanah bersama, yaitu lingkungan tanah yang dikuasai oleh
beberapa masyarakat hukum adat yang setingkat, yakni beberapa masyarakat
hukum adat tunggal,beberapa masyarakat hukum adat atasan,dan beberapa
masyarakat adat bawahan.
Persekutuan atas tanah ulayat memperoleh hak untuk menguasai tanah,
memanfaatkan tanah, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di
atas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup yang
bersifat religio magis. Objek hak ulayat adalah tanah, air, tumbuh-tumbuhan
yang hidup secara liar dan binatang yang hidup liar. Persekutuan memelihara
serta mempertahankan hak ulayatnya, yaitu:
a. Persekutuan berusaha meletakkan batas-batas di sekeliling wilayah
kekuasaannya.
b. Menunjuk pejabat-pejabat tertentu yang khusus bertugas menguasai
wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan.
Hak atas tanah yang ada lebih dahulu adalah hak persekutuan, karena
awalnya manusia hidup nomaden secara berkelompok dalam wilayah yang
berpindah-pindah, sehingga:
a. Semua anggota kelompok merasa berhak terhadap semua bidang tanah
dalam wilayah pengembaraan
b. Semua anggota merasa berhak untuk memungut hasil dari semua bidang
tanah dalam wilayah pengembaraan.
c. Hak persorangan belum ada, baru muncul setelah masyarakat mulai
menetap, sehingga hak perseorangan tetumpang di atas hak
persekutuan, seperti hak sewa yang tetumpang di atas hak milik.
Penguasaan tanah oleh persekutuan dan warganya, terjadi hubungan hukum
hak antara persekutuan dengan tanah yang kemudian diikuti dengan munculnya
hak hukum tanah perseorangan. Pola-pola hubungan antara persekutuan atau
individu dengan tanah yang dikuasainya adalah hukum tanah adat. Hak ulayat
mempunyai sifat komunaltistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh para
120

anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu. Dalam


pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat
yang teritorial desa, marga magari, hutan bisa juga merupakan masyarakat
hukum adat geneologik atau keluarga, seperti suku. Anggota kelompok masing-
masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah
bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya. Namun,
tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Hak
bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan
tetapi merupakan hak kepunyaan bersama, maka dalam rangka hak ulayat
dimungkinkan adanya hak milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

D. Hukum Waris Adat

Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat
tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal,
matrilineal, parental atau bilateral, walaupun pada bentuk kekerabatan yang
sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama. Dalam hukum waris
adat, harta warisan tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya,
tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis
macamnya dan kepentingan para ahli warisnya. Harta warisan adat tidak boleh
dijual sebagai kesatuan dari uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para
ahli waris menurut ketentuan yang berlaku. Harta warisan adat terdiri dari harta
yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para ahli
waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik
beberapa para waris, ia tidak boleh memiliki secara perorangan, tetapi ia dapat
dipakai dan dinikmati.
Hukum waris adat mengenal beberapa asas umum, yaitujika pewarisan tidak
dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan secara ke atas
atau ke samping. Artinya, yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki
atau perempuan dan keturunan mereka. Kalau tidak ada anak atau keturunan
secara menurun, maka warisan itu jatuh pada ayah, nenek dan seterusnya ke
atas. Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal
harta dan keturunan mereka, yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping,
dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang
jauh.
Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu
langsung dibagi diantara para ahli waris adalah sipewaris meninggal dunia, tetapi
merupakan satu kesatuan yang pembagiannya ditangguhkan dan adakalanya
tidak dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dibagi untuk selamanya. Hukum adat mengenal prinsip penggantian
tempat. Artinya, seorang anak sebagai ahli waris dan ayahnya, maka tempat dari
anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi cucu dari si
pewaris. Dan bagian dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh
121

ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya. Dikenal adanya lembaga


pengangkatan anak adopsi, di mana hak dan kedudukan juga bisa seperti anak
sendiri [kandung].
Sistem yang digunakan untuk menentukan pewarisan adat bermacam-
macam. yaitu:
a. Sistem Garis Keturunan. Berdasarkan sistem garis keturunan, maka dapat
dibagi menjadi tiga kelompok pewarisan, yaitu:
1. Sistem Patrilinial kelompok garis kebapakan. Sistem keturunan yang
ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol
pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan.
2. Sistem Matrilinial kelompok garis keibuan. Sistem keturunan yang
ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol
pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan.
3. Sistem Parental atau Bilateral kelompok garis ibu-bapak. Sistem yang
ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi bapak-ibu,
dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam
pewarisan.
b. Sistem Pewarisan individual. Sistem pewarisan yang setiap waris
mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta
warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan
tersebut dilakukan pembagian, maka masing-masing ahli waris dapat
menguasai dan memiliki secara individual bagian harta warisannya untuk
diusahakan dan dinikmati.
1. Sistem Pewarisan Kolektif, yaitupengalihan kepemilikan harta
peninggalan dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak
terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap waris
berhak untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat hasil dari
harta peninggalan itu. Sedangkan cara pemakaiannya diatur bersama
atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang
berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan kepala kerabat.
2. Sistem Pewarisan Mayorat. Sistem pewarisan mayorat sesungguhnya
adalah juga merupakan sistem kewarisan kolektif, hanya saja
pengalihan harta yang tidak terbagi itu dilimpahkan kepada anak
tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan
kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga. Sistem mayorat ini
ada dua macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan yang dianut,
yaitumayorat lelaki, yaitu kepemimpinan yang dipegang oleh anak laki-
laki tertua dan mayorat perempuan, yaitu anak tertua perempuan
sebagai penunggu harta orang tua.

E. Delik Adat

Delik adat adalah suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan
kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya
122

ketentraman serta keseimbangan masyarakat dan reaksi adat akan timbul untuk
memulihkan kembali keadaan yang terguncang. Jadi, hukum delik adat adalah
keseluruhan hukum tidak tertulis yang menentukan adanya perbuatan-
perbuatan pelanggaran adat beserta segala upaya untuk memulihkan kembali
keadaan keseimbangan yang terganggu oleh perbuatan tersebut.
Klasifikasi tindak kejahatan menurut adat, yaitu :
a. Kejahatan yang merusak dasar susunan masyarakat, seperti kejahatan
yang merupakan perkara sumbang, yaitu mereka yang melakukan
perkawinan padahal di antara mereka itu berlaku larangan perkawinan.
Larangan perkawinan itu dapat berdasarkan atas eratnya ikatan
hubungan darah dan struktur sosial, misalnya antara mereka yang tidak
sederajat, kejahatan melarikan gadis, walaupun akan dikawini.
b. Kejahatan terhadap jiwa, harta, dan masyarakat pada umumnya adalah
kejahatan terhadap kepala adat, pembakaran dan penghianatan.
Jenis-jenis Delik Adat adalah:
a. Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa
perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib serta segala pelanggaran
yang memperkosa susunan masyarakat.
b. Delik terhadap diri sendiri, kepala adat juga masyarakat seluruhnya,
karena kepala adat merupakan penjelmaan masyarakat.
c. Delik yang menyangkut perbuatan sihir atau tenung.
d. Segala perebutan dan kekuatan yang menggangu batin masyarakat, dan
mencemarkan suasana batin masyarakat.
e. Delik yang merusak dasar susunan masyaarkat, misalnya incest(kawin
dengan saudara sedarah).
f. Delik yang menentang kepentingan umum masyarakat dan menentang
kepentingan hukum suatu golongan famili.
g. Delik yang melanggar kehormatan keluarga serta melanggar kepentingan
hukum seorang sebagai suami.
h. Delik mengenai badan seseorang, misalnya melukai. ʹ
Reaksi masyarakat terhadap perilaku yang dianggap menyeleweng yang
diwakili oleh pemimpin-pemimpinnya, untuk menangani perihal yang menjadi
objek delik adat, yaitu:
a. Merumuskan pedoman bagaiman warga masyarakat seharusnya
berprilaku, sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat;
b. Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga dapat
dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban;
c. Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali;
d. Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan
antara warga-warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi
perubahan-perubahan.
Prilaku yang melanggar akan pula mendapat reaksi yang negatif dari
masyarakat dalam pemulihan keadaan yang dianggap telah rusak. Akan tetapi,
123

dalam praktek kehidupan sehari-hari sulit untuk memisahkan antara reaksi adat
dengan koreksi. Secara teoritis, reaksi merupakan suatu prilaku serta merta
terhadap perilaku tertentu, yang kemudian diikuti dengan usaha untuk
memperbaiki keadaan (koreksi) yang mungkin berwujud sanksi negatif. Diantara
bentuk-bentuk sanksinya, yaitu:
a. Pengganti kerugian “immateriel” dalam pelbagai rupa, seperti paksaan
menikah gadis yang telah dicemarkan;
b. Bayaran uang adat kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang
sakti sebagai pengganti kerugian rohani;
c. Selamatan korban untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran
gaib;
d. Penutup malu, permintaan maaf;
e. Pelbagai rupa hukuman badan;
f. Pengasingan dari masyarakat dan mengucilkan dari pergaulan masyarat

F. Undang-Undang Melayu Lama

Undang-undang Melayu lama adalah bahan kajian yang penting tentang


sistem pemerintahan, sistem pentadbiran, dan susunan masyarakat Melayu
lama. Bukan itu saja, Undang-Undang Melayu lama juga membayangkan alam
pikiran orang Melayu pada masa lampau. Di antara Undang-Undang Melayu
lama, antara lain:
1. Undang-Undang Malaka
Undang-Undang Malaka yang diketahui pada hari ini sebenarnya
terdiri atas beberapa lapisan. Lapisan pertama atau intisarinya ialah
peraturan yang dikeluarkan oleh Sultan Muhammad Syah (1422-1444)
dan tambahan yang dibuat oleh Sultan Muzaffar Syah (1445-1458). Dalam
peredaran masa, ditambahkan pula bahan-bahan baru. Semua bahan-
bahan ini disalin dan disalin kembali selama empat ratus tahun. Kini
Undang-Undang Malaka, biarpun dianggap sebagai satu teks saja, tapi
lapisan-lapisannya masih tampak jelas, yaitu:
a. Intisari Undang-Undang Malaka; dalam bagian ini, adat
menduduki tempat yang penting. Walaupun begitu, pengaruh
Islam sudah mulai masuk.
b. Undang-Undang Laut; terdiri dari bagian mengenai peraturan
menyelamatkan orang yang lapar, mendapat perahu dan lain-lain.
bagian ini disusun untuk mengatur perdagangan Malaka yang
kian berkembang. Kemudian peraturan-peraturannya dianggap
tidak mencukupi lagi dan disusun pula suatu Undang-Undang Laut
Malaka tersendiri.
c. Hukum Perkawinan Islam; berisi hukum perkawinan yang
merupakan terjemahan dari hukum mazhab Syafi’i.
d. Hukum Perdagangan (ba’i) dan Syahadat; yang menguraikan
hukum berniaga dan hukum bersaksi menurut undang-undang
124

Islam. Sebagian besarnya adalah terjemahan dari kitab-kitab fiqih


seperti al-Taqrib yang disusun oleh Abu Shujak atau syarahnya
Fath al-Qarib yang disusun oleh Ibn Qasim al-Ghazzi.
e. Undang-Undang Negeri; bagian ini berasal dari satu teks undang-
undang yang dipakai di segala teluk rantau Malaka.
f. Undang-Undang Johor.131
2. Undang-Undang Laut
Undang-undang Laut yang berasal dari zaman Malaka itu adalah satu
undang-undang yang penting sekali di Nusantara. Berdasarkan kata
pendahuluan, isi, urutan isi dan bahasanya, Undang-undang Laut dapat
dibagi kepada empat versi, yaitu:
a. Undang-Undang Laut Pokok yang dibuat pada masa Sultan
Mahmud Syah
b. Undang-Undang Laut Malaka yang merupakan bagian kedua dari
Undang-Undang Malaka
c. Undang-Undang Laut Aceh yang diwakili oleh empat naskah saja
dan merupakan bagian kedua dari Undang-Undang Malaka
d. Undang-Undang Laut Versi Patani yang merupakan bagian dari
Undang-Undang Patani yang diwakili enam naskah.132
3. Undang-Undang Minangkabau
Undang-undang Minangkabau terdiri dari beberapa naskah yang berjudul
Undang-Undang Tanah Datar, Undang-Undang Adat, Undang-Undang
Luhak Tiga Laras, Tambo Adat dan Adat Istiadat Minangkabau. Naskah-
naskah ini biasanya terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pertama adalah
Tambo Raja-raja Minangkabau, bagian kedua Undang-undang Adat dan
bagian ketiga hukum adat yang ditinjau dari sudut hukum syarak. 133
4. Undang-Undang Pahang
Undang-undang ini bisa dibagi kepada empat bagian, yaitu bagian
pertama yang terdiri-dari pasal 1-23 disurat pada masa Sultan Abdul
Ghafur Muhaiyuddin Syah yang memerintah Pahang dari tahun 1592-
1614. Bagian kedua, pasal 24-66 mempunyai isi yang sama dengan bagian
Undang-Undang Islam yang terdapat dalam Undang-Undang Malaka.
Bagian ketiga, pasal 67 dan pasal 68, bersesuaian dengan Undang-Undang
Negeri di dalam Undang-Undang Malaka. Dan bagian keempat, dari pasal
69-92 adalah tambahan yang juga banyak bersesuian dengan Undang-
Undang Malaka.134
5. Undang-Undang Kedah
Undang-Undang Kedah terdiri atas 5 bab atau 5 bagian, yaitu (1) undang-
undang Pelabuhan yang sebagian isinya menjelaskan peraturan yang
berlaku di pelabuhan dan tugas para pegawainya. (2) Tembera Datuk Sri
131
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik....., h.523
132
Ibid., h.529
133
Ibid., h.537
134
Ibid., h.545
125

Paduka Tuan yang mengatur tentang tugas seorang penghulu atau


kweng. (3) Hukum Kanun Datuk Star yang menguraikan kewajiban
Temenggung, syarat menjadi raja, kata-kata yang hanya boleh digunakan
raja dan dosa yang hanya boleh diampuni raja. (4) Bunga Mas; (5)
Undang-Undang.
6. Undang-Undang Johor –Lingga
Undang-Undang Johor-lingga ini sebagian besar dipengaruhi oleh Karya
Raja Ali Haji, yaitu Muqaddimah fi Iltizam al-Wazaif al-Muluk dan
Tsamarah al-Muhimmah Diyafah lil Umara wa al-Kubara’ li ahl al-
Mahkamah. Pengaruhnya bisa dilihat dalam pembentukan Undang-
Undang Tubuh Johor 1895 sebagai perlembagaan bertulis pertama di
tanah Melayu yang dihasilkan semasa pemerintahan Sultan Abu Bakar.
Misalnya dalam pelantikan raja, pembesar negeri, menteri-menteri dan
pegawai-pegawai kerajaan. Undang-undang ini telah melakukan
pemisahan antara badan kehakiman dan badan eksekutif dalam
kerajaan135 dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa Raja hendaklah
berbangsa Melayu, berdarah raja yang berketurunan daripada
pemerintah-pemerintah Johor, lelaki dan beragama Islam. Undang-
undang ini juga menyatakan bahwa agama bagi negeri adalah agama
Islam dan agama-agama lain diberi kebenaran menjalankan hal-hal
mereka dengan aman dan sempurna. Selain itu undang-undang Islam
menjadi sandaran bagi raja dalam berkuasa dan memutuskan perkara. 136
7. Babul Qawaid
Babul Qawaid merupakan sebuah kitab hukum yang menjadi pranata
hukum bagi kesultanan siak atau disebut juga “Pintu Segala Pegangan",
yaitu semacam ”konstitusi” kerajaan Siak Sri Indrapura. Di dalamnya
terdiri dari 22 bab yang pada garis besarnya berisi tentang pengaturan
tata pemerintahan administrasi, pengadilan (pidana dan perdata),
lengkap dengan keterangan tentang batas-batas wewenang masing-
masing orang yang memegang fungsi sebagai pelaksana. 137

135
Abd. Jalil Borham, Pentadbiran Undang-Undang Islam Negeri Johor, (Universiti Teknologi
Malaysia Skudai: Johor Darul Ta’zim, 2002), h..176
136
Ibid., h. 86
137
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Riau, h.24
126

11

SISTEM PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI MASYARAKAT MELAYU

SECARA sederhana pengetahuan ialah semua yang diketahui138 sedangkan


menurut pengertian ilmiah, pengetahuan adalah proses kehidupan yang
diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini
yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya
sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui
pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.139
Ahmad Tafsir mengklsifikasikan pengetahuan itu ada tiga macam, yaitu sain,
filsafat dan mistik. Pengetahuan sain objeknya bersifat empiris, menggunakan
metode ilmiah dan kebenarannya rasional-empiris. Dan pengetahuan filsafat,
objeknya bersifat abstrak rasional, menggunakan metode rasional dan
kebenarannya rasional. Sedangkan mistik, objeknya abstrak-supra-rasional,
metodenya melalui latihan dan kepercayaan, dan kebenarannya berdasarkan
rasa, iman, logis dan kadang empiris.140 Sedangkan jenis pengetahuan menurut
Amsal Bakhtiar dibagi ke dalam empat macam, yaitu pengetahuan biasa,
pengetahuan ilmu, pengetahuan filsafat dan pengetahuan agama. Pengetahuan
138
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Pengetahuan,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h.4
139
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), h.86
140
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Pengetahuan, h.11
127

biasa dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense dan sering diartikan
dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu di mana ia menerima
secara baik. Pengetahuan ilmu adalah pengetahuan yang sifatnya kuantitatif dan
objektif serta biasanya dikenal dengan pengetahuan alam. Pengetahuan filsafat
adalah pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif
dan spekulatif. Pengetahuan ini menekankan pada universalitas dan kedalaman
kajian sesuatu. Dan pengetahuan agama adalah pengetahuan yang hanya
diperoleh dari Tuhan lewat para utusannya yang bersifat mutlak dan wajib
diyakini oleh para pemeluknya.141
Pengetahuan itu diperoleh melalui dua cara, yaitu pertama, melalui proses
penalaran rasional. Pendapat ini dipegang oleh kelompok rasionalis yang
menggunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuan. Kedua, melalui
pengalaman. Pendapat ini dianut oleh kelompok empiris yang menyatakan
bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui pengalaman yang kongkrit. Gejala-gela
alamiah menurut anggapan mereka bersifat kongkrit dan dapat dinyatakan lewat
tangkapan panca indra manusia.142
Berdasarkan penjelasan sebelumnya bisa dipahami bahwa pengetahuan
adalah sesuatu yang diketahui manusia; berupa pengetahuan sain, filsafat, dan
mistik (agama) yang diperoleh baik melalui penalaran rasional secara deduktif
maupun melalui pengalaman-pengalaman kongkrit sebagai hasil dari proses
interaksi dengan alam sekitar.
Teknologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Technologia menurut Webster
Dictionary berarti systematic teatcment atau penanganan sesuatu secara
sistematis, sedangkan techne sebagai dasar kata teknologi berarti skill atau
keahlian, keterampilan dan ilmu.143 Kata teknologi sering dipahami oleh orang
awam sebagai sesuatu yang berupa mesin atau hal-hal yang berkaitan dengan
permesinan. Menurut Roger teknologi adalah suatu rancangan atau desain
untuk alat bantu tindakan yang mengurangi ketidakpastian dengan hubungan
sebab akibat dalam mencapai suatu hasil yang diinginkan 144. Sedangkan
pendapat dari Jacques Ellul mendefinisikan teknologi sebagai keseluruhan
metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisien dalam setiap
kegiatan manusia.145 Dan Gary J Anglin berpendapat teknologi merupakan
penerapan ilmu-ilmu prilaku dan alam serta pengetahuan lain secara bersistem
dan menyistemkan untuk memecahkan masalah. 146 Sedangkan menurut Vaza
teknologi adalah sebuah proses yang dilaksanakan dalam upaya mewujudkan
sesuatu secara rasional.147
141
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,..h.87-88
142
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Surya Multi Grafika,
2005), h.51
143
Nana Sudjana dan Ahmad Rifai, Teknologi Pengajaran, (Bandung: Sinar Baru, 1989), h. 183
144
Fatah Syukur NC, Teknologi Pendidikan, (Semarang: Rasai Media Group, 2008), h. 117.
145
Ibid., h. 205
146
Zainal Arifin Dan Adhi Setiyawan, Pengembangan Pembelajaran Aktif Dengan ICT, (Yogyakarta:
T. Skripta Media Creative, 2012), h. 92.
147
Ibid., h. 101
128

Dari pendapat para ahli sebelumnya dapat disimpulkan bahwa teknologi


merupakan suatu rancangan atau desain melalui proses atau tahapan yang
memiliki nilai tambah untuk menghasilkan suatu produk dan memiliki ciri
efesiensi dalam setiap kegiatan manusia. Teknologi bisa dikatakan ilmu
pengetahuan yang ditransformasikan ke dalam produk, proses, jasa dan struktur
praktis. Teknologi pada hakekatnya adalah pengembangan suatu ilmu
pengetahuan untuk merancang sekumpulan alat, termasuk mesin, modifikasi,
pengaturan dan prosedur yang digunakan oleh manusia yang mempunyai fungsi
sebagai alat bantu untuk memecahkan masalah secara efektif dan praktis.

A. Pengetahuan Masyarakat Melayu

Pengetahuan masyarakat Melayu pada awalnya diperoleh sebagai hasil dari


proses adaptasi dan interaksi dengan lingkungan (alam) dimana mereka tinggal.
Alam dalam pikiran orang-orang Melayu tradisional tidak hanya dihuni oleh
manusia tapi juga makhluk-makhluk lainnya baik yang kasat mata maupun yang
tak kasat mata. Alam bagi mereka tidak hanya menjadi sumber kebaikan (berkah)
tapi juga bisa mendatangkan keburukan (bencana). Pengetahuan sederhana ini
kemudian melahirkan apa yang disebut dengan kepercayaan animisme-
dinamisme. Setiap keadaan buruk yang menimpa mereka selalu dihubungkaitkan
dengan perbuatan “makhluk halus” (roh jahat) yang berada di sekitar mereka.
Untuk menetralisir keadaan tersebut, maka munculnya sejumlah ritual (semah)
agar mereka terhindar dari bahaya dan senantiasa mendatangkan keberkahan.
Pengetahuan yang dibangun atas dasar pola pikir mitosentris dalam
menjelaskan fenomena alam tersebut tumbuh dan berkembang sejak kehadiran
gelombang perantau Melayu ke kawasan nusantara; baik Melayu tua (proto
Melayu) maupun Melayu muda (deutro Melayu). Selanjutnya kehadiran Hindu-
Budha ikut memberikan justifikasi terhadap bentuk pengetahuan yang
bernuansa tersebut. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan sastra Hindu-Budha
yang kental akan nilai estetika dan mitologis.
Jejak-jejak pengetahuan mitosentris ini bisa dilihat dari pantang larang yang
diwariskan secara turun menurun oleh masyarakat Melayu tradisional, meskipun
pantang larang tersebut sudah tidak diindahkan lagi oleh sebagian besar
masyarakat Melayu hari ini. Pantang larang itu ada yang berkaitan dengan
hubungan manusia dengan tuhan, seperti:
Tidak boleh tidur menjelang waktu Maghrib, disusupi hantu (kesurupan).
Makan tak boleh jatuh-jatuh nasinya, sebab tuah padi akan marah dan tak mau lagi
kasih rezeki.
Jendela tidak boleh dibiarkan terbuka pada waktu menjelang Maghrib dan setelah
Isya, hantu dan setan masuk ke dalam rumah.
Ada pula yang berhubungan dengan manusia dan alam, seperti:
Sewaktu akan menegak rumah dilakukan upacara menetau (mematikan tanah).
Tidak boleh kencing di bawah pokok, hantu marah, bisa sakit.
129

Membuat lantai dapur tidak boleh lebih tinggi dari rumah, kalau dapur lebih tinggi
nanti perempuan akan lebih menguasai laki-laki.
Dan hubungan sesama manusia, seperti:
Kalau sudah berangkat, berjalan, pantang melihat ke belakang, kalau melihat ke
belakang menyebabkan banyak urusan sangkut, akan banyak halangan.
Anak dara (gadis) dilarang duduk ditengah pintu, nanti balang (diputuskan oleh
tunang).
Tidak boleh makan dengan pinggan atau piring diangkat (pinggan ditangung), nanti
akan membuat istri atau suami diambil orang
Dilarang memotong kuku pada malam hari, mendatangkan kesialan. 148
Meskipun kental akan pola pikir mitosentris, bukan berarti orang-orang
Melayu tidak memiliki pengetahuan yang bersifat logis-empiris. Diantara sisi
pengetahuan logosentris adalah menguasai ilmu perbintangan sederhana yang
biasanya digunakan kepentingan pelayaran dan juga pengetahuan tentang musim
dan arah angin. Pengetahuan-pengetahuan ini terbangun dengan sendirinya
berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan alam. Selain itu juga, mereka
menguasai pengetahuan di bidang pertanian, perkebunan, perkapalan, perikanan,
peternakan dan kerajinan tangan.
Pengetahuan filsafat juga tumbuh dan berkembang baik yang muncul dengan
sendirinya sebagai hasil dari proses refleksi dan kontemplasi, mendapat pengaruh
dari filsafat Hindu-Budha, maupun setelah mendapat pengaruh Islam.
Pengetahuan filsafat atau falsafah ini tercermin dalam petuah, tunjuk ajar, dan
peribahasa Melayu. Falsafah-falsafah Melayu sebagaimana terkandung dalam
petuah, tunjuk ajar, dan peribahasa Melayu itu mengajarkan tentang bagaimana
kehidupan sebaiknya dijalankan. Falsafah-falsafah tersebut mengandung nilai-
nilai kebenaran yang bisa diterima secara akal.
Pengetahuan sains pada tahapan selanjutnya juga berkembang. Orang-orang
Melayu pada tahapan ini sudah bisa berpikir ilmiah-rasional. Mereka sudah bisa
mengetahui dan menjelas hubungan kausalitas dari penomena-penomena
alam.Melalui metode trial and error, mereka bisa menghasilkan rumusan-
rumusan yang bersifat ilmiah dan empiris yang darinya mereka bisa menghasilkan
berbagai macam teknologi dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka dan
memberikan kemudahan bagi kehidupan mereka sehari-hari.

B. Teknologi MasyarakatMelayu

Didorong oleh keinginan-keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup,


orang-orang Melayu menciptakan teknologi-teknologi sederhana, yaitu alat-alat
untuk berburu, seperti tombak, sumpit, jerat dan lain sebagainya. Alat-alat
pertanian dan perkebunan, seperti cangkul, parang, kampak dan sebagainya.
Alat-alat transportasi laut atau sungai, seperti perahu, sampan, rakit dan
sebagainya. Alat-alat tangkap ikan, seperti lukah, pancing, jaring dan sebagainya.

148
Ahmad Moghni Salbani, Saad Othman, Rahimah A. Hamid, Editor, Amalam Kearifan Tempatan
dalam Masyarakat Melayu Nusantara, (Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia, 2014)
130

Kesemua alat-alat tersebut diproduksi dari bahan-bahan yang ada di sekitar


mereka.
Kebutuhan akan tempat tinggal mendorong mereka untuk membangun
rumah sebagai tempat berteduh dari hujan panas dan tempat beristirahat.
Rumah-rumah orang-orang Melayudahulu rata-rata berbentuk rumah panggung
dan memiliki selasar sehingga tempat tinggal mereka seringkali disebut dengan
nama “Selaso”. Bangunan tersebut umumnya terdiri atas beberapa ruangan,
yaitu ruangan bersila, dapur, tempat tidur, hingga anjungan.
Atapnya berbentuk kajang149, layar150, lontik151 dan limas152. Pada kedua
ujung perabung bangunan dibuat hiasan selembayung yang bersilang khususnya
pada atap belah bumbung dan rumah lontik dan di bagian bawah adakalanya
diberi pula hiasan tambahan, seperti tombak terhunus, menyambung kedua ujung
perabung (tombak-tombak) selembayung.153 Keempat sudut cucuran atapnya
memiliki hiasan sayap layang-layang (layangan)154 di bawah cucuran atap
(lispang) dan kadang-kadang di bagian bawah anak tangga dibuat hiasan lebah
bergantung.155 Pada bagian bumbung dipasang singap atau bidai yang berfungsi
sebagai ventilasi (lobang angin) agar terjadi sirkulasi udara di dalamnya sehingga
dapat mengurangi panas.
Kemudian tiang dapat berbentuk bulat atau persegi. Jumlah tiang rumah
induk paling banyak 24 buah, sedangkan tiang untuk bagian bangunan lainnya
149
Atap ini dikaitnya dengan fungsinya, yaitu tempat berteduh dari hujan dan panas. Yang
memiliki makna, hendaknya sikap hidup orang Melayu dapat pula menjadi naungan bagi keluarga
dan masyarakat.
150
Bentuk atap yang bertingkat disebut Atap layar, Ampar labu, Atap bersayap, atau Atap
bertinggam.
151
Atap yang kedua ujung perabungnya melentik ke atas melambangkan bahwa pada awal dan
akhir hidup manusia akan kembali kepada penciptanya. Sedangkan, lekukan pada pertengahan
perabungnya melambangkan Lembah keidupan yang kadang kala penuh dengan cobaan.
152
Hingga saat ini belum diketahui apa makna lambang pada bentuk atap limas. Kemungkinan
dahulu orang melayu mengenal lambang pada bentuk ini, terutama yang berkaitan dengan
kepercayaan dalam agama Hindu dan Budha, atau terpengaruh atap banggunan Eropa. Namun
demikian, bentuk limas ini sudah menjadi salah satu bntuk banggunan tradisional Melayu Riau.
153
Selembayung ini memiliki sejumlah makna, antara lain Tajuk Rumah : selembayung
membangitkan seri dan cahaya rumah, Pekasih Rumah : lambang keserasian dalam kehidupan
rumah tangga, Pasak Atap : lambang sikap hidup yang tahu diri, Tangga Dewa : lambang tempat
turun para dewa, mambang, akuan, soko, keramat,  dan sisi yang membawa keselamatan bagi
manusia, Rumah Beradat  : tanda bahwa bangunan itu adalah tempat kediaman orang berbangsa,
balai atau kediaman orang patut-patut, Tuah Rumah  : lambang bahwa bangunan itu
mendatangkan tuah kepada pemiliknya,  Lambang Keperkasaan dan Wibawa  : selembayung
yang dilengkapi dengan tombak-tombak melambangkan keturunan dalam rumah tangga,
sekaligus sebagai lambang keperkasaan dan wibawa pemliknya dan Lambang Kasih Sayang  :
motif ukiran selembayung (daun-daun dan bunga) melambangkan perwujudan, tahu adat dan
tahu diri, berlanjutnya keturunan serta serasi dalam keluarga.
154
Letak sayap layang-layang pada empat sudut cucuran atap merupakan lambang sari empat
pintu hakiki, yaitu pintu rizki, pintu hati, pintu budi, dan pintu ilahi. Sayap layang-layang juga
merupakan lambang kebebasan, yaitu kebebasan yang tahu batas dan tahu diri.
155
Hiasan ini melambangkan manisnya kehidupan rumah tangga, rela berkorban dan tidak
mementingkan diri sendiri.
131

tidak ditentukan jumlahnya. Pada rumah bertiang 24, tiang-tiang itu didirikan
dalam 6 baris, masing-masing 4 buah tiang termasuk tiang seri. Masing-masing
tiang itu dinamakan tiang tua156, tiang seri157, tiang penghulu158, tiang tengah159,
tiang bujang160, dan tiang dua belas.161.
Selanjutnya pintu disebut juga Ambang atau  Lawang. Pintu masuk bagian
muka disebut pintu muka, sedangkan pintu di bagian belakang di sebut pintu
dapur. Pintu berbentuk persegi empat panjang. Ukuran pintu lebar antara 60 s/d
100 cm, tinggi 1,50 s/d 2 meter. Kemudian jendela lazimnya disebut tingkap atau
pelinguk.Bentuknya sama seperti bentuk pintu, tetapi ukurannya lebih kecil atau
lebih rendah.
Daun jendela dapat terdiri atas dua atau satu lembar daun jendela. Ketinggian
letak jendela di dalam sebuah rumah tidak selalu sama. Perbedaan ketinggian ini
adakalanya disebabkan oleh perbedaan ketinggian lantai, ada pula yang berkaitan
dengan adat istiadat. Umumnya jendela tengah di rumah induk lebih tinggi dari
jendela lainnya.162Pada bagian depan rumah ada tangga yang pada umumnya
menghadap ke jalan. Tiang tangga berbentuk segi empat atau bulat. Bagian atas
disandarkan miring ke ambang pintu dan terletak di atas bendul. Anak tangga
dapat dibentuk bulat atau pipih. Di bagian atas dalam rumah ada loteng yang
disebut langa dan di bagian bawah ada lantai.Lantai rumah induk pada umumnya
diketam rapi dengan ukuran lebar antara 20 s/d 30 cm. Kemudian papan dinding
dipasang vertikal. Kalau ada yang dipasang miring atau bersilang, pemasangan
tersebut hanya untuk variasi. Untuk variasi sering pula dipasang miring searah
atau miring berlawanan, dengan kemiringan rata-rara 45 derajat.
Kebutuhan akan sandang membuat masyarakat Melayu menciptakan berbagai
jenis pakaian. Pakaian tradisional Melayu terbagi lima kategori, yaitu Pakaian
harian, pakaian resmi, pakaian pada upacara adat, pakaian upacara perkawinan
dan pakaian upacara keagamaan (ritual). 163 Yang dimaksud dengan pakaian harian
ialah pakaian yang dipakai setiap hari oleh orang Melayu; baik semasa anak-anak,
156
Tiang utama yang terletak disebelah kanan dan kiri pintu tengah, atau tiang yang terletak
ditengah bangunan yang pertama kali ditegakkan. Tiang tua melambangkan tua rumah, yaitu
pimpinan di dalam banguna itu, pimpinan di dalam keluarga dan masyarakat.
157
tiang yang terletak di keempat sudut bangunan induk, dan tidah boleh dari tanah terus ke atas.
Tiang seri melambangkan Datuk Berempat atau induk berempat, serta melambangkan empat
penjuru mata angin.
158
Tiang yang terletak di antara pintu muka dengan tiang seri di sudut kanan muka bangunan.
Tiang ini melambangkan bahwa rumah itu didirikan menurut ketentuan adat istiadat, dan
sekaligus melambangkan bahwa kehidupan di dalam keluarga wajib disokong oleh anggota
keluarga lainnya.
159
Tiang yang terletak di antara tiang-tiang lainnya, terdapat diantara tiang tua dan tiang seri.
160
Tiang yang dibuat khusus di bagian tengah bangunan induk, tidak bersambung dari lantai
sampai ke loteng atau alangnya. Tiang ini melambangkan kaum kerabat dan anak istri.
161
Tiang gabungan dari 4 buah tiang seri, 4 buah tiang tengah, 2 buah tiang tua, 1 buah tiang
penghulu, dan 1 buah tiang bujang.
162
Jendela mengandung makna tertentu pula. Jendela yang sengaja dibuat setinggi orang dewasa
berdiri dari lantai, melambangkan bahwa pemilik bangunan adalah orang baik-baik dan patut-
patut dan tahu adat dan tradisinya.  Sedangkan yang letaknya rendah melambangkan pemilik
bangunan adalah orang yang ramah tamah, selalu menerima tamu dengan ikhlas dan terbuka.
163
O.K. Nizami Jamil, et.al, Pakaian Tradisional Melayu Riau, (Pekanbaru: LPNU Press,tt), h. 15-95
132

remaja atau setengah baya, orang dewasa, maupun orang tua-tua. Pakaian harian
perempuan adalah baju kurung Teluk Belanga, baju Kebaya Laboh, Baju Kebaya
Pendek. Dan pakaian harian laki-laki adalah Baju Teluk Belangan, Baju Cekak
Musang, Baju Gunting Cina dan lazimnya dilengkapi dengan kain samping dari
kain pelekat dan kopiah.164
Pakaian resmi adalah pakaian yang dipakai dalam acara pertemuan resmi.
Untuk kaum laki-laki adalah baju kurung Cekak Musang yang dilengkapi dengan
kopiah, kain samping yang terbuat dari kain tenun. Dan untuk kaum perempuan
adalah baju Kebaya Laboh dan baju Kurung Teluk Belanga atau baju Kurung
Cekak Musang. Untuk kainnya berupa kain songket atau kain tenun pilihan.
Untuk hiasan di kepala, rambutnya dibentuk siput dan dihiasi dengan bunga
melur, bunga cina atau diberi permata. Setelah memakai siput kepala ditutup
dengan selendang.165
Pakaian pada upacara adat untuk perempuan pada dasarnya sama dengan
pakaian harian hanya letak perbedaannya adalah pada bahan kain dan tata
perhiasan yang dipakai untuk upacara adat. Untuk laki-laki sama saja memakai
baju kurung Cekak Musang berwarna hitam dengan perlengkapan; baju satu stelan
dengan celana panjang, kain samping terbuat dari tenunan, tanjak sebagai penutup
kepala, bengkong pengikat pinggang, sebilah keris dan kasut capal.166
Pakaian upacara perkawinan untuk pengantin laki-laki baju Kurung Teluk
Belanga atau Cekak Musang terbuat dari kain tenun dengan perlengkapan; baju
kurung Cekak Musang satu stel, warna baju dan celananya sama; bertaburan
benang emas dengan motif bunga cengkeh dan tampuk manggis, kain samping
motifnya sama dengan celana dan baju, kepala memakai Distar berbentuk
mahkota memakai tanjak dalam, pakai sebai sebelah kiri bahu, dileher pengantin
dikalungkan rantai panjang berbelit dua, pending atau bengkong, pada ibu jari
kelingking memakai canggai, sepatu runcing atau capal kulit, keris pendek
berhulu burung selindit, memenag sirih telat atau sirih pemanis. Dan pengantin
perempuan memakai Kebaya Laboh atau Baju Kurung Teluk Belanga terbuat dari
kain tenun, di kepala dipakaikan perkakas andam, di kening disebut Ramin,
sanggul lipat pandan atau sanggul lintang serta dihiasi dengan sunting dan genta-
genta atau bunga goyang bermotif bunga Cina, di leher digantung kalung emas
dan rantai papan atau dukoh bertingkat tiga, lima dan tujuh, di lengan kanan dan
kiri diberi gelang berkepala burukng merak, pada bahu kiri diberi tampan-tampan
atau sebai yang bertekat benang emas dan kelingkan, jari kelingking dan jari ibu
diberi canggai yang terbuat dari perak dan emas, di pinggang diikat dengan
pending emas, kaki kiri kanan diberi gelang kaki emas atau perak yang berkepala
kuntum bungan cempaka, kaki beralaskan kasut atau selepa yang terbuat dari
beledru yang dihiasi dengan kelingkan dan manik.167
Pakaian pada upacara keagamaan (ritual), untuk laki-laki memakai baju
Cekak Musang atau baju Kurung Teluk Belanga, memakai kopiah, kain sampain
dari kain pelekat atau kain tenun. Sedangkan untuk perempuan memakai Kebaya
164
Ibid., h. 39-40
165
Ibid., h. 41-46
166
Ibid., h. 64-68
167
Ibid., h. 74-78
133

Laboh atau baju Kurung Teluk Belanga dilengkapi dengan selendang di Kepala
atau kain tudung lingkup untuk menutupi rambut supaya tidak kelihatan.168
Pakaian-pakaianMelayu ini tidak hanya mengandung makna simbolik saja
tapi terdapat nilai-nilai filosofi di dalamnya, diantara nilai-nilai yang tersirat
dalam pakaian Melayu yaitu menanamkan sifat malu, tahu diri, tunjuk ajar,
menegakkan tuah dan membuktkan marwah, mengekalkan Melayu, menolak bala’
dan mendatangkan manfaat.169
Didorong oleh keinginan sarana atau alat untuk memenuhi kebutuhan hidup,
mempertahankan diri, dan menyerang musuh, orang-orang Melayu menghasilkan
sejanta-senjata tradisional. Pada masyarakat Melayu berkembang bentuk-bentuk
senjata yang khas sesuai dengan kebudayaan yang mereka miliki. Bentuk senjata
yang dibuat disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai. Misalnya keris,
senjata untuk menyerang ini dibuat runcing dan matanya tajam. Bentuk ini dibuat
agar mudah mengenai sasaran dan dapat mematikan atau melumpuhkan lawan.
Demikian pula senjata untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti parang dan
pisau. Bentuknya dibuat pipih dan matanya diasah hingga tajam agar dapat
memotong atau membelah hewan, kayu, buah-buahan, sayur-sayuran dan lain-
lain.170
Berdasarkan dari tujuan pembuatan dan penggunaan senjata, senjata
tradisional masyarakat Melayu pada hakekatnya dapat dibagi dalam tiga kategori,
yaitu:
a. Senjata untuk menyerang, seperti keris, pedang, tombak, serampang,
tempuling dan parang;
b. Senjata untuk mempertahankan diri, seperti perisai, tameng, dan baju kulit
yang terbuat dari bahan kulit kayu;
c. Senjata yang bergerak sendiri, seperti panah, sumpit, ketapel dan
perangkap.171
Kebutuhan akan makanan, membuat orang-orang Melayu menciptakan
makanan tradisional mereka. makanan tradisional adalah makanan yang dibuat
dari bahan yang dihasilkan di daerah setempat kemudian diolah dengan cara
atau teknologi yang dikuasai oleh masyarakat setempat, produknya mempunyai
tampilan, cita rasa, dan aroma yang sangat dikenal dan disukai bahkan
dirindukan oleh masyarakat setempat. Bahkan menjadi identitas kelompok
masyarakat asal makanan dan dapat digunakan sebagai sarana pemersatu
bangsa dan membangun cinta tanah air.172
Makanan tradisional sangat banyak macamnya, berdasarkan tingkat
eksistensinya dalam masyarakat hingga saat ini, makanan tradisional dapat
dikategrikan menjadi tiga kelompok, yaitu (1) makanan tradisional yang hampir
168
Ibid. h. 95-107
169
Ibid., h. 155-175
170
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Peletarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjung
Pinang, Bibliografi Beranotasi, Hasil Penelitian Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Tanjung Pinang, 2009, h.91-92
171
Ibid.
172
Eni Harmayani, Umar Santoso, Murdijati Gardjito, Makanan Tradisional Indonesia, (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 2017), h.2
134

punah; (2) makanan tradisional yang kurang populer; (3) makanan tradisional
yang populer (tetap eksis). Makanan tradisional yang hampir punah ini langka
dan jarang dapat ditemui mungkin disebabkan karena ketersediaan bahan
dasarnya mulai sulit atau masyarakat pembuatnya mulai tidak mengerjakan lagi
atau terdesak oleh produk lain. Kelompok makanan tradisional yang kurang
populer adalah makanan tradisional yang masih mudah ditemui, tetapi makin
tidak dikenal dan cenderung berkurang penggemarnya, dianggap mempunyai
status sosial lebih rendah dalam masyarakat. Sedangkan kelompok makanan
tradisional yang populer merupakan makanan tradisional yang disukai
masyarakat dengan bukti banyak dijual, lalu dan dibeli konsumen. 173
Kalau dilihat proses pembuatannya, bahan dasar yang digunakan, atau
manfaat khas yang diperoleh oleh penggemarnya, makanan tradisional dapat
dikelompokan menjadi sembilan jenis, yaitu: (1) makanan tradisional kelompok
fermentasi yang diproses dengan cara tertentu, seperti kecap, tauco, tempe dan
lain-lain; (2) makanan tradisional yang memberikan rasa segar, seperti rujak,
pecel dan lain-lain; (3) kelompok minuman tradisional berbasis rempah, seperti
air jahe, air serai dan lain-lain; (4) minuman tradisional berbasis non rempah,
seperti kelapa muda, cincau, dan lain-lain; (5) minuman tradisional yang
berkhasiat untuk kesehatan, seperti jamu; (6) makanan tradisional yang
merupakan tradisi terkait keagamaan, sepertiketan, kolak, bubur, apam, lontong,
jenang dan lain-lainnya. (7) makanan tradisional terkait upacara adat atau
budaya, seperti nasi golong, nasi gurih dan lain-lainnya; (8) makanan tradisional
yang digunakan dalam perjamuan, seperti berbagai kue, kudapan yang disajikan
dalam bentuk suguhan; dan (9) makanan-makanan tradisional lain yang tidak
masuk kelompok-kelompok tersebut.174
Diantara makanan tradisional Melayu sebagai produk fermentasi bahan
nabati adalah tempe, kecap, tauco, tapai, tempoyak, asinan dan lain-lain. dan
produk fermentasi bahan hewani adalah belacan, udang pepai, pekasam, dan
lain-lainnya, Ikan masak asam pedas, sambal Melayu, pacri nenas, nasi lemak,
sambal tanak belacan, ikan salai, roti jala, soto daging, sup daging, ayam goreng,
kepiting lada hitam, udang masak asam, sampolet, pindang, mie sagu, sambal
lado, kerang tumis belacan, lakse/mie sagu, anyang pakis, halwa, gulai kuning,
bubur lambuk, roti kirai, Londek/Lendot, tumis belacan, sarut, mie lendir, sambal
pekasam, bakwan sayur, nasi goreng, karas-karas, sarak terong, lengse ikan,
rendang daging, cumi sambal, rendang jengkol, gulai siput sedot, ikan bakar, cah
kangkung, ikan pepes, singgang ikan bulat, kepurun (sagu), nasi briyani, kwetiau,
sambal telor, sup sayur, roti canai. Jenis-jenis kue, yaitu lepat, lapis lengit,
Rasidah/Hasidah, Bingka, Bolu Kemojo, Kusui, Bolu Dam, Talam, Serimuka
Pandan Ketan. Jenis-jenis minuman, yaitu Laksamana Mengamuk, Es campur
kacang merah, teh tarik, air kelapa jeruk, air mata pengantin 175

173
Ibid.
174
Ibid., h.3
175
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Ensiklopedi Makanan Tradisional Indonesia, 2004
135

12
BAHASA DAN KESUSASTERAAN MELAYU

BAHASA adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh
suatu anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi dan mengidentifikasi
diri176 sementara dalam kamus oxford, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem
komunikasi lisan dan tulisan yang digunakan manusia pada masing-masing
negara. Dalam pengertian yang tidak jauh berbeda, Frida Unsiah dan Ria Yuliati
mendefinisikan bahasa sebagai sistem perlambangan bunyi yang bersifat arbitrer
(semaunya) dan konvensional (kesepakatan bersama) yang digunakan oleh
sekelompok masyarakat sosial untuk hidup bersama, berkomunikasi dan
mengidentifikasi dirinya.177

176
KBBI offline 1.5
177
Frida Unsiah, Ria Yuliati, Pengantar Ilmu Lingusistik, (Malang: UB Press, 2018), h. 5
136

Merujuk pada pengertian di atas bahasa mempunyai peranan penting dalam


berinteraksi. Selain berfungsi sebagai alat komunikasi utama, bahasa juga
merupakan salah satu keahlian yang hanya dimiliki oleh manusia, hal inilah
membedakan interaksi manusia dengan interaksi makhluk-makhluk lainnya di
bumi. Jadi secara garis besar dapat didefinisikan bahwa bahasa sebagai sistem
bunyi yang memiliki makna, lambang bunyi, dan dituturkan dari sistem arbitrer
manusia dalam situasi yang wajar yang digunakan sebagai alat komunikasi.
Sistem bunyi merupakan rangkaian bunyi-bunyi atau suara ujar yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia yang sifatnya sistematis dan berulang-ulang. Sistematis
mengandung arti bahwa bahasa dapat diuraikan atas satuan-satuan bunyi atau
bukan merupakan sistem tunggal melainkan terdiri atas sub-sub sistem
pembentuk, seperti bunyi (phonem), gramatikal (syntax) atau disebut dengan
sistem arbitrari artinya bahasa merupakan sistem bunyi ujaran yang dikeluarkan
oleh alat ucap yang mengandung makna.178
Sastra adalah karya seni yang menggunakan medium bahasa yang memiliki
nilai dan estetika.179 Bahasa yang digunakan dalam karya sastra adalah bahasa
yang dikenal dalam masyarakat atau bahasa natural. Hanya saja oleh sastrawan
bahasa itu dijadikan milik yang lebih bersifat individu dengan menggali lebih
dalam makna, menambah makna atau mengasingkan dari makna yang dipakai
oleh masyarakat.180
Pencirian bahasa sastra mengandung unsur emotif dan bersifat konotatif
sebagai kebalikan dari bahasa non sastra khususnya bahasa ilmiah dan denotatif.
Tujuannya adalah untuk menampilkan sisi estetika dan keindahannya. Namun
perwujudan keindahan dalam karya sastra berbeda dengan karya seni lainnya.
jika aspek keindahan dalam karya seni lainnya bisa dinikmati secara langsung
melalui bentuknya, sastra tidak demikian. Sastra mampu memancarkan
keindahan dalam dirinya tidak hanya dari bentuk, namun yang lebih utama lagi
adalah dari bahasa yang digunakan di dalamnya. 181
Dilihat dari bentuknya, sastra itu ada dua jenis, yaitu Sastra lisan dan Sastra
Tulisan. Sastra lisan yaitu seperangkat pertunjukan penuturan lisan yang
melibatkan penutur dan kalayak (audien) menurut tata cara dan tradisi
pertunjukannya. Dan sastra tulisan yaitu adalah karya sastra yang beredar di
masyarakat atau diwariskan secara turun-memurun dalam bentuk tulisan. Dilihat
dari sisi keterikatannya, sastra terbagi dua, yaitu prosa dan puisi. Prosa adalah
karya sastra yang tidak terikat, seperti novel, cerpen dan drama. Dan puisi adalah
karya sastra yang terikat dengan kaedah dan aturan tertentu, seperti syair dan
pantun. Dilihat dari priodesasinya secara umum, juga ada dua, yaitu sastra lama
dan sastra baru.182 Dan dilihat dari sisi sifatnya, ada dua, yaitu sastra non
178
Yendra, Mengenal Ilmu Bahasa (Linguistik), (Yogyakarta: Budi Utama, 2018), h.2-3
179
Susanto, Pengantar Teori Sastra, sebagaimana dikutip Juwati, Sastra Lisan Bumi Silempari,
Teori, Metode dan Penerapannya, (Yogyakarta: Budi Utama, 2018), h.2
180
Ibid.
181
Ibid., h.3
182
Surastina, Pengantar Teori Sastra, (Yogyakarta: Elmatera, 2018), h.12
137

imaginatif dan sastra imaginatif. Sastra non imaginatif, seperti esei, biografi,
catatan harian dan sebagainya. sastra imaginatif seperti puisi dan prosa. 183

A. Bahasa Melayu
Bahasa Melayu adalah anggota terpenting dari kerabat bahasa Austronesia
yang memiliki batasan luas, diluncurkan dari peradaban Asia Timur pada sepuluh
ribu tahun yang lalu. Bahasa Austronesia yang terdiri atas 1000 bahasa,
digunakan mulai dari pantai Afrika di Madagaskar sampai ke pulau-pulau di
Amerika, di Rapanui (Pulau Paska, Cili) dari daerah pengunungan di Taiwan
sampai ke puncak-puncak vulkanik yang bersalju di Selandia Baru, tetap
merupakan satu di antara keluarga bahasa yang paling luas daerah
persebarannya di dunia.184
UU Hamidy menyatakan bahwa bahasa Melayu memegang peranan penting
di Kepulauan Nusantara jauh sebelum berdirinya kerajaan-kerajaanMelayu.
Sejarah menunjukkan bahwa bahasa Melayu telah berhasil menjadi lingua
feranca atau bahasa perdagangan di kawasan nusantara dan Asia Tenggara. 185
Meskipun sudah menjadi bahasa populer yang banyak digunakan ketika itu,
namun bahasa Melayu belum mencapai bahasa yang dominan. Baru kemudian
setelah berdirinya kerajaan Melayu yang menetapkan bahasa Melayu sebagai
bahasa resmi dan sekaligus sebagai pusat penyebarannya, bahasa Melayu
semakin mendominasi. Kerajaan Sriwijaya misalnya sebagai kerajaan maritim
yang besar memakai bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dalam
pemerintahannya sebagaimana dapat dilihat dalam prasastinya membuat
pengaruh bahasa Melayu semakin besar dan mendunia. 186 Disamping peran
kerajaan Sriwijaya ini, keberadaan suku Melayu yang memang para perantau dan
pelaut menyebabkan semakin tersebarnya bahasa Melayu ke mana-mana
sehingga terbentuklah dialek-dialek bahasa Melayu di tempat yang baru itu. 187
Selain Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan lainnya, seperti kerajaan Pasai di
Aceh, kerajaan-kerajaan Melayu Riau memakai bahasa Melayu sebagai bahasa
resmi dalam kerajaan dan daerah taklukannya. Kerajaan Melayu Riau memiliki
peranan yang sangat penting dalam melanjutkan penyebaran dan
pengembangan bahasa Melayu melalui pengaruh dan strategi kerajaannya. Dan
karena besarnya pengaruh kerajaan Melayu Riau ini membuat bahasa Melayu
mempunyai prediket baru, yaitu bahasa Melayu Riau.188
Ada tiga periode penyebaran Bahasa Melayu Riau, yaitu periode kerajaan
Bintan dan Tumasik, periode kerajaan Malaka, Johor, Pahang, Riau dan Lingga,
dan periode Kerajaan Riau dan daerah taklukannya (sesudah kerajaan Melayu

183
Sumarjo, Saini, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h.18-19
184
James T. Collin, Bahasa Melayu Bahasa Dunia, (Jakarta: Yayasan Obor, 2005),h.1
185
UU Hamidy, Riau sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu, (Pekanbaru: UNRI Press,
2003), h.6
186
Ibid., h.7
187
Ibid.
188
Ibid., h.8
138

Riau dipecahbelahkan oleh Belanda dan Inggris). Dalam kaitannya dengan


penyebaran bahasa Melayu, hanya dua periode yang terakhir yang sangat
penting.189
Pasca terbelahnya kerajaan Melayu akibat tindakan para Penjajah Belanda
dan Inggris berdasarkan penjanjian London 1824; Singapura dan Semenanjung
Malaka jatuh ke tangan Inggris dan Kepulauan Riau dan beberapa daerah lainnya
jatuh ke tangan Belanda, membuat pemakai bahasa Melayu terpecah dua, yaitu
bahasa Melayu Riau dalam daerah kerajaan Riau di Kepulauan Riau dan bahasa
Melayu dalam daerah Singapura dan Semenanjung Malaka. Bahasa Melayu Riau
di Kepulauan Riau dan sekitarnya dalam sejarah dan perjuangan kemerdekaan
Indonesia, mendapat aspirasi nasional dari berbagai suku di Nusantara berubah
nama menjadi bahasa Indonesia. Dan bahasa Melayu di Semenanjung Malaka
dan Singapura mendapat aspirasi dari suku-suku Melayu di sana, sehingga dia
mendapat prediket nasional pula, yaitu bahasa Melayu Persekutuan Tanah
Melayu. Dalam perkembangan selanjutnya, wajah nasional itu jauh lebih nyata
lagi, yaitu setelah perubahan persekutuan Tanah Melayu menjadi Malaysia,
maka bahasa nasionalnya menjadi bahasa Malaysia.190
Bahasa Melayu dalam perkembangannya telah mendapatkan pengaruh dari
bahasa-bahasa asing. Diantaranya terutama bahasa Arab. Bangsa Melayu
mendapatkan agama orang Arab dengan perantaraan orang India, demikian pula
abjadnya. Segala sesuatu yang bersifat Arab, menurut orang Melayu adalah baik
dan indah, seringkali nyaris dianggap suci, dan adakalanya, apalagi dahulu, ia
mengubah lafal bahasanya sendiri untuk meniru lafal Arab dalam bahasa Melayu.
Banyak kata Arab yang kini telah terserap oleh bahasa Melayu, terutama
kata-kata yang ada hubungannya dengan agama ataupun hukum Islam; tetapi di
samping itu masih banyak lagi lambat laun menetap dalam bahasa itu. Kata-kata
yang berasal dari bahasa Arab, misalnya saboen, pikir, kertas, ‘adat, hoeroef,
hikajat, sohbat, chabar, kitab, hoekoem, hormat, ‘adil, daerah, ra’jat, serikat,
waktoe, wakil, maksoed, djawab, zaman atau djaman, hakim, hadji. 191
Bahasa Melayu juga mendapatkan pengaruh bahasa Sanskerta, namun sejak
seribu tahun pengaruh tidak terasa lagi. Diantara bahasa Melayu yang terambil
dari bahasa Sanskerta adalah harga, roepa, baoe, bangsa, warna, socka, kerdja,
negeri, aksara, saudara, gadjah, bahasa, perkara, peti, agama,poeasa, naraka,
soerga, bidjaksana, aniaya, boedi, dena, sempoerna, angkasa, tjakerawala,
boemi, raksasa.192 Selain itu juga mendapat pengaruh dari bahasa Persia, yaitu
bandar, anggoer, djam, pelana, pasar, tjaboek, pinggan. Kemudian dari bahasa
Hindi, seperti djori (sepasang kuda), lagam (kekang kuda), oenta, rati, tjoeka. Ada
juga dari bahasa Tamil, seperti binara (pemutih), talam, segala, kapal, kedai,
matjam, manikam, moetoe, modal. Dari bahasa Cina misalnya anglo, njonjah,
teh, tangloeng, tjonto, koeah. Dari bahasa Portugis, seperti beloede, sepatoe,
189
Ibid.
190
Ibid., h.12
191
C.Spat, Bahasa Melayu: Tata Bahasa Selayang Pandang, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.8
192
Ibid.
139

kamedja, bandera, geredja, tembakau, peloeroe, pita, kereta, tjenela, garpoe,


djendela, bangkoe, bola, renda, lelang, minggoe (hari Minggoe), mentega,
medja, kedjoe, peniti, tinta, roda.Dari bahasa Belanda, seperti botol, sekodji,
serdadoe, laksir, doeit, balok, gelas, bolsak.193

B. Kesusateraan Melayu
Kesusasteraan Melayu termasuk kesusasteraan yang kaya di Kepulauan
Nusantara. Banyak hikayat, syair, pantun, dan karya sastera lainnya yang indah-
indah dan usianya sudah berabad-abad. Hikayat si Miskin, Hikayata Hang Tuah,
Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken
Tambuhan, dan sejarah Melayu ialah beberapa diantara karya-karya sastera
klasik Melayu. Pengarang-pengarngnya pun tidak sedikit, terutama berasal dari
lingkungan ulama dan kesultanan di Kepulauan Riau. diantara yang paling
termasyhur adalah Raja Ali Haji, Nurudin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah
Fansuri, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.194
Liaw Yock Fang telah melakukan kajian mendalam tentang kesusasteraan
Melayu Klasik dan membaginya dalam sejumlah kategori menurut fase
perkembangannya195, yaitu:
1. Kesusasteraan Rakyat
Kesusasteraan rakyat adalah sastra yang hidup di tengah-tengah
rakyat. Ditutur oleh ibu kepada anaknya yang dalam buaian. Tukang cerita
juga menuturkannya kepada penduduk kampung yang tidak bisa
membaca. Cerita ini diturunkan secara lisan dari satu generasi kepada
generasi yang lebih muda.
Cerita rakyat dapat dibagi atas empat jenis, yaitu cerita asal usul,
cerita binatang, cerita jenaka, dan cerita pelipur lara. Cerita asal usul
seperti cerita asal usul berbagai tumbuhan dan binatang misalnya cerita
Si Kelembai, cerita mengapa tongkol jagung berlubang; si Dagun dan
Gadung, asal usul buaya putih; Nakhoda Ragam dan Isterinya (Cik Siti),
cerita si Kantan. Cerita binatang, seperti Hikayat Sang Kancil, Hikayat
Pelanduk Jenaka, Pelanduk dengan Anak Memerang. Cerita Jenaka
seperti cerita Pak Kadok, Lebai Malang, Si Luncai, Pak Pandir, Pak
Belalang, Mat Jenin, Musang Bejanggut, Hikayat Mahasyodahk, Hikayat
Abu Nawas. Cerita Pelipur Lara seperti Hikayat Awang Sulung Merah
Muda, Hikayat Malim Dewa, Hikayat Malim Deman, Hikayat Raja Muda,
Hikayat Anggun Cik Tunggal, Hikayat Raja Donan, Hikayat Raja Ambong,
Hikayat Raja Budiman, Hikayat Terong Pipit, cerita Si Umbut Muda,
Sabah Nan Aluih.
2. Epos India dan Wayang dalam Kesusasteraan Melayu

193
Ibid.
194
Ajip Rosidi, Ihtisar Sejarah Sastera Indonesia, (Bandung: Pustaka Jaya, 2018), h.15
195
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2016),
h. 1
140

Cerita yang berasal dari India juga mempengaruhi kesusasteraan


Melayu klasik, seperti kisah Ramayana dan Mahabharata. Kisah
Ramayana dikenal dengan Hikayat Sri Rama. Hikayat Sri Rama dikenal
dari dua versi yang agak berbeda; versi pertama diterbitkan oleh Roorda
Van Eysinga 1843 dan versi kedua diterbitkan oleh W.G. Shellabear 1915.
Versi Roorda tidak bertanggal, tapi diduga sebagai naskah tertua dalam
bahasa Melayu. Dalam versiShellabear sudah nampak pengaruh Islam
yang kuat. Sedangkan cerita Mahabharata dalam sastra Melayu terkenal
dengan nama Hikayat Pandawa. Pada perkembangannya berkembang
menjadi Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Pandawa Jaya, Pandawa Panca
Kelima.
Wayang kulit juga sangat populer di daerah yang sudah dipengaruhi
oleh kebudayaan Melayu, misalnya Palembang, Jakarta, dan Banjarmasin
di Indonesia serta Kelantan di Malaysia. Sumber cerita-cerita Wayang
Melayu seperti Wayang Pandu, Hikayat Arjuna Mangunjaya, Lakon Jaka
Sukara, Hikayat Maharaja Garebak Jagat.
3. Cerita Panji dari Jawa
Cerita Panji adalah hasil sastra Jawa yang sangat digemari oleh orang
Indonesia terutama rang Jawa dan Bali. Orang Melayu juga gemar sekali
akan cerita Panji. Ini dibuktikan dengan banyaknya naskah cerita Panji
yang masih tersimpan di berbagai perpustakaan di London, Leiden,
Jakarta dan Kuala Lumpur. Kepopuleran cerita Panji mungkin karena
sifatnya yang menyerupai cerita pelipur lara yang menceritakan kisah
pengembaraan dan peperangan.
Cerita-cerita Panji Melayu yang terkenal, ialah Hikayat Galuh
Digantung, Hikayat Cekel Waneng Pati, Hikayat Panji Kuda Semirang,
Hikayat Panji Semirang, Hikayat Misa Taman Jayeng Kusuma, Hikayat
Dewa Asmara Jaya, Hikayat Undakan Penurat.
4. Sastra Zaman Peralihan Hindu-Islam
Sastra zaman peralihan adalah sastra yang lahir dari pertembungan
sastra berunsur Hindu dengan pengaruh Islam. ciri-cirinya adalah Tuhan
yang dijunjung Tinggi, mula-mula adalah Dewata Mulia Raya atau Batara
Kala kemudian diganti oleh Raja Syah Alam atau Allah swt.
Di antara hikayat yang berkembang pada zaman ini adalah Hikayat
Puspa Wiraja, Hikayat Parang Punting, Hikayat Langlang Buana, Hikayat
si Miskin, Hikayat Berma Syahdan, Hikayat Indra Putra, Hikayat Syah
Kobat, Hikayat Koraisy Mengindra, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat
Jaya Langkara, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat Ahmad Muhammad,
Hikayat Syah Mardan, Hikayat Isma Yatim.

5. Kesusasteraan Zaman Islam


141

Seiring dengan kehadiran dan perkembangan Islam di Nusantara,


berkembang pula sastra Islam. Sastra Islam adalah sastra tentang orang
Islam dan segala amal salehnya. Sedangkan sastra Islam Melayu adalah
sastra orang Islam yang ditulis dalam bahasa Melayu.
Sastra Melayu Zaman Islam mempunyai beberapa ciri yang menonjol,
yaitu sastra tertulis yang mewujud sesudah Islam masuk dan hurud jawi
diciptakan. sastra ini tertulis dalam bahasa Melayu yang memang sudah
menjadi bahasa perantaraan (lingua franca), sebagian besar dari hasil
sastra ini adalah terjemahan atau saduran yang berasal dari bahasa Arab
atau Parsi, hampir semua hasil karya ini tidak diketahui nama pengarang
atau tarikh penulisannya.
Diantara sastra Melayu yang berkembang di zaman Melayu Islam
adalah cerita al-Quran, cerita Nabi Muhammad, cerita sahabat Nabi
Muhammad, cerita Pahlawan Islam dan Sastra Kitab. Cerita al-Quran
misalnya Kisasul Anbiya,Suratul Anbiya, Hikayat Fir’aun, Hikayat
Maharaja Ali, Hikayat Raja Jumjumah. Cerita Nabi Muhammad, misalnya
Hikayat Muhammad Hanafiyah, Hikayat Nabi, Hikayat Nur Muhammad,
Hikayat Nabi Wafat, Hikayat Mikraj, Hikayat Bulan Terbelah, Hikayat
Nabi Bercukur. Cerita Sahabat Nabi Muhammad misalnya Hikayat Tamim
al-Dari, Hikayat Sama’un, Hikayat Raja Handak. Cerita Pahlawan Islam
misalnya Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah, Kisah Badi
ul-Zaman.
6. Cerita Berbingkai
Cerita berbingkai adalah cerita yang biasanya di dalamnya disisipkan
cerita-cerita lainnya. lazimnya seorang tokoh atau lebih bercerita dan
giliran tokoh dalam cerita itu bercerita pula, misalnya untuk membuktikan
kebenaran kata-katanya.
Dalam sastra Melayu ada beberapa cerita berbingkai yang terkenal,
yaitu Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Kalilah dan Dimnah, Hikayat
Bakhtiar, Pancatantra, Hikayat seribu satu malam, dan Sukasapti.
7. Sastra Kitab.
Sastra kitab adalah sastra yang berisi kajian tentang al-Quran, tafsir,
tajwid, arkan al-Islam, ushuluddin, fikih, ilmu sufi, ilmu tasawuf, tarekat,
zikir, rawatib, doa, jimat, risalah, wasiat, dan kitab thib (obat-obatan,
jampi menjampi). Ada juga yang mendefinisikan sastra kitab adalah sastra
tasawuf yang berkembang di Aceh pada abad ke-17.
Diantara sastra kitab ini seperti karya Hamzah Fansuri; asrar
al-‘Arifin, Syarab al-‘Asyikin dan al-Muntahi. Karya Nuruddin Ar-Raniri;
Sirat al-Mustakim, Bustanus Salatin, Asrar Al-Insan Fi Ma’rifat al-Ruh wa
al-Rahman, Hujjat al-Shidiq li Daf’ al-Zindiq, Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan,
Shifa al-Qulub, dan sebagainya. Karya Abdur Rauf Singkel; Umdat al-
Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, Kifayat Muhtajin, Mir’at al-Tullab,
Daka’iq al-Huruf, Tarjuman al-Mustafi. Karya Abd al-Samad al-Palimbani;
142

Zuhrat al-Murid fi Bayan Kalimat Tauhid, Hidayat al-Saliki fi Suluk Maslak


al-Muttakin, Siyar al-Salikin ila ‘Ibadat Rabb al-‘Alamin. Sastra kitab
lainnya adaah Hikayat Seribu Masalah, Tajus Salatin, Hikayat Wasiat
Lukman Hakim.
8. Sastra Sejarah
Sastra sejarah adalah suatu cabang sastra Melayu yang paling kaya
dan mungkin juga paling penting. Hampir setiap kerajaan di Nusantara
mempunyai sejarahnya sendiri. Sejarah itu biasanya menceritakan
peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi di istana dan nasib kerajaan
selama beberapa keturunan menjadi pusat perhatiannya. Gagasan
penulisan biasanya juga datang dari kalangan istana dan peminatnya juga
hanya di kalangan istana saja.
Diantara Sastra Sejarah ini adalah Hikayat Raja-Raja Pasai, Sulalatus
Salatin, Hikayat Aceh, Hikayat Siak, Hikayat Negeri Johor, Silsilah Melayu
Bugis, Tuhfat al-Nafis, Hikayat Patani, Hikayat Hang Tuah.
9. Pantun dan Syair
Pantun pada mulanya adalah senandung atau puisi rakyat yang
dinyanyikan. Tentang asal usul pantun, berbagai pendapat telah
dikemukakan. Pantun dianggap sebagai bentuk krama dari kata Jawa
parik yang berarti pari, artinya paribahasa atau peribahasa dalam bahasa
Melayu. Arti ini juga berdekatan dengan umpama atau seloka yang
berasal dari India. Brandstetter, seorang ahli perbandingan bahasa bangsa
Swiss berkata bahwa kata pantun berasal dari akar kata tun yang terdapat
dalam berbagai bahasa Nusantara, misalnya dalam bahasa Pampanga,
tuntun yang berarti teratur; dalam bahasa Tagalog ada tonton yang
berarti bercakap menurut aturan tertentu; dalam bahasa Jawa kuno,
tuntun yang berarti benang dan atuntun yang berarti teratur dan
matuntun yang berarti memimpin; dalam bahasa Batak Toba ada juga
kata pantun yang berarti kesopanan, kehormatan.
Dalam bahasa Melayu, pantun berarti kuatren, yakni sajak yang
berbaris empat, dengan sanjak ab ab. Sedangkan dalam bahasa Sunda,
pantun berarti cerita panjang yang bersanjak dan diiringi musik. Diantara
contoh pantun:
Telur itik dari Sanggora
Pandan terletak dilangkahi
Darah titik di Singapura
Badannya terlantar di Langkawi

Syair adalah puisi lama yang terdiri dari empat baris, setiap baris
mengandung empat kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari sembilan
sampai dua belas suku kata. Bedanya dengan pantun ialah keempat baris
dalam syair merupakan satu bagian dari sebuah puisi yang lebih panjang.
143

Aturan sanjak akhir adalah “aaaa” dan sanjak dalam (internal rhyme)
hampir-hampir tidak ada.
Syair pertama kali muncul dalam sastra Melayu menurut Winstedt
pada abad kelima belas dalam Syair Ken Tambuhan. Tapi pendapat ini
tidak disetujui oleh A.Teeuw. menurutnya kemunculan syair dalam sastra
Melayu tidak mungkin lebih awal daripada abad ke-16. Sekitar tahun
1600, syair masih berarti puisi secara umum dan bukan sesuatu jenis puisi
tertentu. A.Teeuw berpendapat bahwa Hamzam Fansuri adalah pencipta
syair Melayu yang pertama. Ia menamakan puisi yang ditulisnya ruba’i
(puisi yang berbaris empat). Pendapat ini didukung oleh Syed Naquib Al-
Attas yang menyatakan Hamzah Fansuri mendapat pengaruh atau bentuk
asal puisinya dari puisi Arab, Syi’ir yang berbaris empat, seperti syi’ir yang
dikarang oleh Ibn Arabi dan Iraqi yang banyak dikutipnya.
Menurut isinya syair dapat dibagi lima golongan, yaitu Syair Panji,
Syair Romantis, Syair kiasan, Syair Sejarah, dan Syair Agama. Syair Panji
sebagian besar adalah olahan dari bentuk prosanya misalnya Syair Panji
Semirang, Syair Ken Tambuhan, Syair Angreni, Syair Damar Wulan, Syair
Undakan Agung Udaya, Cerita Wayang Kinudang. Syair Romantis
menguraikan tema yang biasa terdapat di dalam cerita rakyat, penglipur
lara dan hikayat. Misalnya Syair Bidasari, Syair Yatim Nestapa, Syair Abdul
Muluk, Syair Sri Banian, Syair Sinyor Kosta, Syair Cinta Berahi, Syair Raja
Mambang Jauhari, Syair Tajul Muluk, Syair Sultan Yahya. Syair Kiasan
adalah syair yang mengisahkan percintaan antara ikan, burung, bunga,
atau buah-buahan. Ia mengandung kiasaan atau sindiran peristiwa
tertentu. Misalnya Syair Ikan Terubuk, Syair Burung Pungguk, Syair
Kumbang Melati, Syair Nuri, Syair Bunga Air Mawar, Syair Nyamuk dan
Lalat, Syair Buah-buahan. Syair Sejarah adalah syair yang berdasarkan
peristiwa sejarah. Diantara peristiwa sejarah yang paling penting adalah
peperangan, dan karena itu syair perang juga merupakan syair sejarah
yang paling banyak dihasilkan. Misalnya Syair Perang Mengkasar, Syair
Kompeni Welanda Berperang dengan Cina, Syair Perang di Banjarmasin,
Syair Raja Siak, Syair Sultan Ahmad Tajuddin, Syair Siti Zubaidah Perang
Melawan Cina. Syair agama adalah syair yang berisi ajaran agama. Ia
terbagi dua, yaitu syair sufi dan syair yang menerangkan ajaran Islam.
Misalnya Syair Hamzah Fansuri, Syair Perahu, Syair Dagang, Bahr An-
Nisa, Syair Kiamat, Syair Takbir Mimpi, Syair Raksi.

Memasuki era modern sastra Melayumengalami perkembangan. Sastra


Melayu modern diperkirakan bangkit pada tahun lima puluhan dengan lahirnya
gerakan “Angkatan Lima Puluhan”. Pada masa itu terdapat pengaruh yang kuat
sekali dari tradisi pantun dan syair. Tema utama sajak di era ini biasanya
cenderung mengangkap aspek moralitas dan bertendensi. Sajak-sajak angkatan
ini disamping indah dan mudah dipahami. Demikian pula cerpen mengangkat
tema-tema moralitas; kesengsaraan rakyat kecil, kezaliman kelas atas, dan
144

perlunya untuk menciptakan masyarakat yang damai dan adil. Perwatakannya


sangat sederhana: hitam melawan putih. Plot selalu mengharukan hati si
pembaca. Memang agak naif, tapi pembaca senang dengan visi dunia yang
begitu sederhana.196
Berbeda dengan sastra Melayu tradisional, sastra Melayu modern bersifat
individualistik; lebih mementingkan nama dan pengalaman penulis secara
individu. Sikap ini tampak jelas pada sastra-sastra yang dihasilkan sastrawan
angkatan lima puluhan. Perkembangan ini dipengaruhi oleh sastra modern di
dunia.197
Ajip Rosidi (1969:13) sebagaimana dikutip Yudiono KS membagi sejarah
sastra Indonesia ke dalam dua masa dan setiap masa ada beberapa periode,
yaitu:
I. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu
1900-1945 yang dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu:
1. Periode awal hingga 1933
2. Periode 1933-1942
3. Periode 1942-1945
II. Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi
beberapa periode, yaitu:
1. Periode 1945-1953
2. Periode 1953-1961
3. Periode 1961-1968198
Pada periode awal (1900-1933) menurut Ajip yang paling menonjol adalah
persoalan adat yang sedang mengalami akulturasi sehingga menimbulkan
beberapa problem bagi kelangsungan eksistensi masing-masing. sedangkan para
periode 1933-1942 diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan
kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantis-idealis. Perubahan
terjadi pada periode 1942-1945 atau masa pendudukan Jepang yang mewarnai
masa pelarian, kegelisahan, dan peralihan. Sedangkan warna perjuangan dan
pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953
dan selanjutnya warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali
terhadap warisan leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Pada
periode 1961-1968 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan
mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan
dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra.199
Kalau diperhatikan, sastra pada era modern sepertinya mengalami pasang
surut seiring perkembangan zaman dan tantangannya serta mengambil corak
dan tema yang beragam. Semuanya tergantung pada sistuasi dan masa di
manapara sastrawan itu hidup dan tinggal. Hal ini merupakan sesuatu yang lazim
dan niscaya karena setiap penulis sastra sudah tentu dipengaruhi oleh dinamika
196
Harry Aveling, Rumah Sastra Indonesia, (Jakarta: Indonesia Tera, 2002), h.11
197
Ibid., h.40
198
Yuidonoo KS, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2010) h. 44
199
Ibid., h. 45
145

dan perkembangan yang terjadi pada masanya. Dinamika dan perkembangan


tersebut menjadi sumber inspriasi bagi lahirnya karya-karya sastra mereka.

B. Kesusasteraan Melayu Riau

Sastra di Riau telah tumbuh dan berkembang sejak abad ke-19 yang dipelopori
oleh Raja Ali Haji yang memprakarsai berdirinya kelompok Rusydiah Klub pada
18 Februari 1855 yang beranggotakan para cendekiawan. Salah satu syarat
menjadi anggota dalam klub ini adalah harus telah menerbitkan sebuah buku.
Mereka yang bergabung dalam kelompok ini adalah Raja Ali Haji, Raja Ali Tengku
Kelana, Tengku Usman, Raja Hitam, Raja Abdullah alias Muhammad Adnan, dan
Syeid Syekh al-Hadi.

Melalui Rusydiah Klub, kehidupan sastra di Riau berjaya selama waktu lima puluh
tahun. Namun pada perkembangan selanjutnya mengalami kemunduran karena
dipengaruhi oleh kondisi bangsa indonesia yang belum stabil dan dalam fase
perjuangan penjajah. Namun setelah tahun 1930-an sampai sekarang kehidupan
sastra di Riau kembali bangkit.

Pada tahun 1930-an muncul nama Soeman, HS yang lahir di Bengkalis, 4 April
1904 dalam jagat sastra Indonesia yang mempelopori cerita pendek dan fiksi
detektif. Di antara karyanya adalah Kasih Tak Terlarai (1930), Percobaan Setia
(1931), Mencari Pencuri Anak Perawan (1932), Kasih Tersesat (1932), Kawan
Bergelut (1938), Tebusan Darah (1939), dan sebagainya. pada tahun 1960-an
muncul penyair Abdurrahman Sidik bin Muhammad Apip. Abdurrahman Sidik
adalah seniman tradisional pemain mendu, randai, pembaca syair dan hikayat.

Pada tahun 1970-an muncul Sutardji Calzoum Bachri yang eksistensinya sebagai
penyair tidak hanya diakui di Riau tapi juga di Indonesia. Beliau didaulat sebagai
presiden penyair Indonesia. Pada rentang tahun yang sama, 1970-an muncul
penyair lainnya, yaitu Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, Ibrahim Sattah,
Iskandar Leo (Nama Pena Rida K. Liamsi), dan Hasan Yunus. Selain itu muncul
juga Tennas Effendy yang pada perkembangan karirnya menjadi budayawan dan
peneliti dari Pusat Pengkajian Bahasa dan Kebudayaan Melayu.

Pada tahun 1980-an, bermunculan generasi muda yang turut mengembangkan


sastra di Riau, yaitu Dasril al-Mubari, Kazzaini Ks, Tien Marni, A. Aris Abeba,
Taufik Ikram Jamil, Abel Tasman, Syaukani al-Karim, Fakhrunnas MA Jabbar, dan
Husnu Abadi. Pada dekade 1990-2000-an, muncul pula sastrawan baru, seperti
Musa Ismail, Saidul Tombang, Hang Kafrawi, Marhalim Zaini, Murparsaulian,
Griven H. Putra, Hary B Kori’un, Olyrinson, Fitrimayani, dan penulis-penulis muda
produktif lainnya.

Geliat sastra di Riau semakin diperkuat eksistensinya dengan keberadaan


komunitas sastra, seperti komunitas paragraf yang didirikan Marhalim Zaini,
146

Yayasan Membaca yang didirikan Taufik Ikram Jamil beserta beberapa teman,
Sanggar Sastra dan Yayasan Puisi Nusantara yang didirikan Husnu Abadi dan
Ibrahim Sattah, Yayasan Taman Puisi yang didirikan Husnu Abadi, Fakhrunnas MA
Jabbar dan Tien Marni, dan Forum Lingkar Pena Cabang Riau.

13

KESENIAN DAN PERMAINAN TRADISIONAL MELAYU

KESENIAN berhubungan dengan segala ekspresi hasrat manusia akan


keindahan (estetika), sehingga menghasilkan benda, suasana, atau karya lainnya
yang menimbulkan rasa indah dan decak kagum.Ia berdiri di atas dua landasan
yaitu psikis-emosional dan landasan teknik. Landasan psikis emosional artinya
landasan yang muncul dari dalam diri manusia yang bersifat kodrati untuk
menyatakan daya kreasinya sehingga menghasilkan suatu karya yang indah.
Sedangkan landasan teknik artinya bentuk kesenian yang merupakan manifestasi
dari perasaan dan imaginasi manusia itu ditetapkan secara kebudayaan. Tiap-tiap
kebudayaan mempunyai ukurannya sendiri tentang seni. Meskipun demikian
beberapa ahli antropologi mengemukakan satu hipotesis bahwa dalam seni ada
unsur pokok, unsur dasar dan bentuk yang mempunyai appeal yang bersifat
universal200
Kesenian merupakan facet yang vital dalam kebudayaan. Ia bukanlah
merupakan hal yang “luks” dalam kehidupan manusia, kesenian adalah pokok
yang penting bagi kehidupan kebudayaan. Keseniaan merupakan faktor yang
amat esensial untuk integrasi, dan kreatifitas kultural, sosial maupun individual.
Dalam sejarah perkembangan kesenian bisa dikatakan bahwa ketika manusia
masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil di daerah-daerah pedesaan dan
pertanian yang tradisional, kesenian lebih memiliki fungsi sosial. juga dalam
melakukan berbagai upacara, kesenian memainkan peranan penting, dan banyak
orang dapat ikut serta dalam kesenian itu. Kesenian ini disebut dengan kesenian
rakyat. Selain itu juga kesenian acapkali menjagi pengiring upacara-upacara
religius di masyarakat201
Menurut Koentjaraningrat dilihat dari sudut cara kesenian sebagai ekspresi
hasrat manusia akan keindahan itu dinikmati, ada dua bidang (lapangan) seni

200
Harsojo, Pengantar Antropologi,.....h..231
201
Ibid., h.233
147

besar, yaitu seni rupa atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan mata
dan seni suara atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga. 202
Dalam bidang seni rupa, ada seni patung, seni relief (termasuk seni ukir),
seni lukis serta gambar, dan seni rias. Seni musik ada yang vokal (menyanyi) dan
ada yang instrumental (dengan alat bunyi-bunyian), dan seni sastra lebih khusus
terdiri dari prosa dan puisi. Suatu lapangan kesenian yang meliputi kedua bagian
tersebut di atas adalah seni gerak atau seni tari, karena kesenian ini dapat
dinikmati dengan mata maupun telinga. Akhirnya ada suatu lapangan keseniaan
yang meliputi keseluruhannya, yaitu seni drama karena lapangan kesenian ini
mengandung unsur-unsur dari seni lukis, seni rias, seni musik, seni sastra dan
seni tari, yang semua diintegrasikan menjadi satu kebulatan. Seni drama bisa
bersifat tradisional dan bisa juga bersifat modern.203
Dari penjelasan sebelumnya dipahami bahwa kesenian pada hakekatnya
merupakan ekspresi dari perasaan dan imaginasi manusia yang mengandung
unsur keindahan, menyenangkan, mengharukan dan menakjubkan yang bisa
dinikmati oleh orang-orang yang melihat dan mendengarnya. Bentuknya secara
umum terbagi dua; ada yang berbentuk seni rupa beserta turunannya dan
adapula seni suara dengan segala macam bagiannya.
Permainan didefinisikan sebagai kegiatan yang menyenangkan namun
memberikan manfaat yang besar bagi manusia khususnya anak. Bermain bagi
anak adalah seperti bekerja bagi orang dewasa. Dengan bermain, anak akan
belajar tentang dunia di sekelilingnya, menggali lingkungannya, dan
mengekspresikan emosinya.204
Santrock (2012) sebagaimana dikutip Iswinarti jenis-jenis kegiatan yang
termasuk dalam bermain meliputi:
1. Permainan Sensorimotor, yaitu prilaku yang diperlihatkan oleh bayi untuk
memperoleh kenikmatan dari melatih perkembangan (skema)
sensorimotor mereka;
2. Permainan pura-pura/simbolis, yaitu permainan yang terjadi ketika anak
mentransformasikan lingkungan fisik ke dalam suatu simbol;
3. Permainan sosial, permainan yang melibatkan interaksi sosial dengan
teman-teman sebaya;
4. Permainan konstruktif, yaitu permainan yang mengkombinasikan
kegiatan sensorimotor/praktis yang berulang dengan representasi
gagasan-gagasan simbolis. Permainan ini terjadi ketika anak-anak
melibatkan diri dalam suatu kreasi atau konstruksi suatu produk atau
suatu pemecahan masalah ciptaan sendiri;

202
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,..h.380
203
Ibid.h.381
204
Iswinarti, Permainan Tradisional; Prosedur dan Analisis, Manfaat Psikologis, (Malang: UMM
Press, 2017), h. 1
148

5. Games, yaitu kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh


kenikmatan yang melibatkan aturan dan seringkali dilakukan dalam
bentuk kompetisi dengan satu atau lebih orang.205
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan kegiatan
yang menyenangkan, menarik, bersifat sukarela, dapat dimprovisasi, ada
keinginan untuk mengulangi kegiatan tersebut, dan kegiatan tersebut
mempunyai manfaat bagi aspek-aspek perkembangan anak.

A. Bentuk Kesenian Tradisional Melayu


Kesenian berkembang dalam masyarakat Melayu pada awalnya didorong
oleh keinginan istana untuk mengadakan helat atau perayaan tertentu. Anthony
Reid mengatakan banyak dari kehidupan kebudayaan yang penuh kegembiraan
ini diatur oleh kerajaan dalam rangka pengukuhan sendiri secara nyata sebagai
pusat teladan. Kronik-kronik kerajaan banyak bercerita tentang bidang
kehidupan sosial ini, bukan karena minat pada hiburan sehari-hari, melainkan
karena perlombaan, teater, musik dan tarian merupakan pameran kekuatan dan
kemegahan penguasa. Dalam bahasa Geertz sebagaimana dikutip Reid; “negara
menciptakan kekuatannya dari tenaga imajinatifnya, kemampuan semiotisnya
untuk membuat ketidaksamaan menjadi indah. Dengan mementaskan
pertunjukan-pertunjukan spektakuler di mana ribuan orang mengambil bagian,
raja menampilkan diri sepenuhnya sebagai pusat kekuatan adikodrati tempat
berputarna kehidupan negara.206
Pesta-pesta kerajaan dan agama memberi kesempatan bagi raja untuk
mempertunjukan diri di hadapan rakyatnya dengan segenap keagungannya,
dengan kalangan istana, para pejabat, prajurit, pengikut, bahkan orang-orang
asing yang semuanya diberi tempat sebagaimana mestinya dalam arak-arakan
kerajaan. Penobatan raja, perkawinan, penguburan, dan ritus memasuki usia
dewasa, pesta keramaian agama tiap tahun, upacara untuk menjamin kesuburan
dan kesejahteraan negeri, bahkan penerimaan duta-duta luar negeri, semuanya
bisa dilakukan dengan arak-arakan besar dan hiburan umum.207
Keperluan untuk mengikuti perlombaan yang diadakan secara berkala juga
membuat kesenian bagi masyarakat Melayu semakin eksis. Reid menyebutkan
tidak yang lebih khas dari kesusasteraan populer di Asia Tenggara dibandingkan
bentuk antifonal antara dua penyanyi atau kelompok penyanyi. Biasanya
perlombaan berlangsung antara seorang pemuda dan pemudi, masing-masing
bergiliran melantunkan sebait pantun yang bisa saling bersahutan, meneruskan
atau bereaksi terhadap tema tanpa kehilangan irama. Perlombaan ini biasanya
dilakukan pada hari-hari pesta dan selama musim panen.
Perkembangan seni rupa di kalangan masyarakat Melayubisa dilihat dari
pembangunan arsitekur masjid, makam dan hasil kerajinan tangan. Keindahan
205
Ibid. h.3
206
Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2011), h. 201
207
Ibid., h. 202
149

seni arsitektur bangunan masjid tergambar pada bentuk kubah dan bentuk
mihrab yang menghadap ke kiblat. Selain itu juga telihat pada bentuk tiang,
relung (arch), ragam hiasa dan corak daun (arabesque) yang terhias pada dinding
masjid. Bentuk seni arsitektur Islam ini juga turut mempengaruhi seni arsitektur
bangunan lainnya seperti istana kerajaan. 208
Seni ukiran yang sama juga berkembang pada bentuk-bentuk batu nisan di
makam-makam atau perkuburan Islam. selain itu juga seni lukisan Islam juga
turut mempengaruhi seni hiasan dalam kerja tangan dan barang-barang
perhiasan orang-orang Melayu. Hiasan pada barang-barang tersebut bercorak
benda-benda yang tidak bernyawa seperti bunga-bungaan, tumbuh-tumbuhan,
daun-daun dan geometri. Warisan seni dalam bentuk ini dapat dilihat pada hasil
tenunan, tikar sembahyang, dan barang-barang hiasan dalam rumah.209
Seni musik dan lagu berasal dari pengaruh tradisi Asia Barat yang bersumber
dari qasidah, ghazal dan lain-lain. tradisi ini awalnya dibawa ke dunia Melayu
dengan tujuan keagamaan tetapi akhirnya berkembang menjadi alat hiburan. Di
antara alat-alat musik dari Asia Barat yang mempengaruhi seni musik di dunia
Melayu adalah rebana, kompang, seruling kecapi, gambang dan lain-lain. 210
Seni tari juga berkembang di dunia Melayu. Tari merupakan akumulasi
gerakan harmonis dari seluruh anggota tubuh secara serentak mulai dari kaki,
badan, pinggang, leher, kepala, mata, tangan dan jari yang disertai perasaan dan
irama. Tarian Melayu mengagungkan kesopanan dan kesusilaan, penari Melayu
dilarang bersentuhan dengan bukan mahram atau pasangan yang sah apalagi
berdekap-dekapan. Beberapa daerah Melayu mewajibkan penari perempuan
memakai tudung selendang walaupun benda itu hanya diletakkan di atas bahu
seperti selempang saja atau dililitkan di pinggang. 211
Kategori tari tradisi Melayu menurut tempo aslinya dapat digolongkan pada
empat kategori, yaitu kategori Lambat Merindu (tempo lambat). Kategori ini
memiliki filosofi yang bertujuan melahirkan rasa sedih, kesal, cemburu, dan duka.
Tarian jenis Lambat Merindu direpresentasikan pada Tari Senandung yang
dipengaruhi pada lagu-lagu seperti Kuala Deli, Gunung Sayang, Seri Mersing,
Damak, Patah Hati, Seri Serawak dan sebagainya. Kategori kedua, yaitu Sedang
Gembira (tempo sedang), yang lazim disebut sebagai Tari Makinang. Tarian jenis
ini menggambarkan rasa rindu rendam dan kasih mesra, lemah lembut sambil
ajuk mengajuk hati antara pria dan wanita yang didapati dalam lagu rentak
seorang gembira, seperti lagu Cek Minah Sayang, Makinang Pulau Kampai, dan
lagu Pak Malau. Kategori ketiga adalah Cepat Gembira (tempo cepat), biasanya
jenis tarian yang digunakan adalah jenis Tari Lagu Dua yang ditarikan secara
berpasangan dengan tempo cepat gembira seiring dengan lagu-lagu misalnya
208
Febri Yulika, Jejak Seni dalam Sejarah Islam, (Padang: Institut Seni Indonesia Padang Panjang,
2016), h.66
209
Ibid., h.67
210
Ibid., h.67
211
Muhdi Kurnia, Tari Tradisi Melayu, Eksistensi dan Revitalisasi Seni, (Medan: Puspantara, 2016),
h.1
150

Hitam Manis, Tanjung Katung, Pancang Jermal dan lain-lain. dan keempat adalah
Rancak Kencang (tempo cepat kencang) yang ditarikan secara berpasangan dan
dikategorisasi sebagai Tari Pulau Seri yang biasa ditarikan dengan iringan lagu-
lagu misalnya Singapura Dua, Serampang Laut, Gambus dan Zapin.212

B. Permainan Tradisional Melayu


Permainan tradisional Melayu tumbuh pada awalnya sebagai respon akan
ketidakpuasaan terhadap kondisi kehidupan mereka yang monoton. Secara
psikologis, manusia senantiasa mendambakan selingan sebagai hiburan yang
dapat menimbulkan kegairahan hidupnya. Untuk itulah, sebagai pengisi waktu
luang di sela-sela rutinitas kesehariannya mereka bermain.
Tumbuh dan berkembangnya suatu permainan tidak lepas dari
lingkungannya dalam arti luas (alam, sosial, budaya). Lingkungan alam, sosial dan
budaya yang berbeda pada gilirannya akan membuahkan permainan yang
berbeda. Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir misalnya, mereka akan
menumbuh-kembangkan permainan yang berorientasi pada kelautan.
Sedangkan masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman, mereka akan
menumbuh-kembangkan permainan yang berorientasi pada lingkungan alamnya
yang berupa daratan tinggi dan atau pegunungan.
Permainan yang ditumbuh-kembangkan, baik oleh masyarakat pesisir
maupun masyarakat pedalaman pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi
dua, yaitu permainan kelompok dan individual. Kedua kategori permainan itu
sendiri berdasarkan sifatnya dapat dikategorikan menjadi dua pula, yaitu hiburan
dan kompetisi.
Bentuk-bentuk permainan yang dtiumbuh-kembangkan oleh masyarakat
Melayu di Nusantara jumlah sangat banyak sekali, diantaranya Lulu Cina Buta,
Bakiak/Terompa Panjang, Congkak, Engrang/Kaki Anggau, Gasing, Layang-Layang
[Wau], Ligu, Meja Pari, Statak, Tarik Tambang, Petak Umpet, Benteng, Boi-boian,
Kelereng, Gatrik [Tak Kadal], 213

212
Ibid., h.2
213
Ibid., h..43
151

14

SISTEM PEREKONOMIAN MASYARAKAT MELAYU

SECARA sederhana sistem perekonomian bisa dipahami sebagai cara dan


upaya manusia untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya dengan sarana (sumber daya) yang terbatas. Kebutuhan manusia itu
menurut T. Gilarso ada kebutuhan pokok atau dasar (basic), yaitu kebutuhan
minimal yang harus dipenuhi untuk dapat hidup sebagaimana layaknya manusia
yang meliputi kecukupan pangan dan gizi, sandang, perumahan, pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan sarana-sarana pendukung lainnya, seperti
transportasi, persediaan air minum, rasa aman dan sebagainya. Ada juga
kebutuhan sosio budaya yang mencakup banyak hal berkaitan dengan faktor
lingkungan hidup dan tradisi masyarakat serta dengan sifat-sifat psikologis
manusia.Kedudukan tertentu dalam masyarakat mengharuskan orang
mempunyai hal-hal tertentu supaya dipandang layak, seperti pakaian dinas,
sepatu, baju batik, juga sumbangan, sedekang dan lain-lain. Kebutuhan
152

psikologis berhubungan dengan sifat rohani manusia, misalnya kebutuhan akan


rasa aman, rasa dihargai, atau diterima oleh sesama manusia, kebutuhan akan
ketentraman hati, akan kebebasan untuk mengatur hidupnya sendiri dan lain-
lain.214
Jimmy Hasoloan membagi ada tiga sistem ekonomi, yaitu sistem ekonomi
pasar; merupakan sistem ekonomi yang berbasis pada kebebasan individu dan
perusahaan dalam menentukan berbagai kegiatan ekonomi, seperti konsumsi
dan produksi. Sistem ekonomi terpusat dimana pemerintah membuat semua
kebijakan menyangkut produksi, distribusi dan konsumsi. Dengan kata lain,
dalam sistem ekonomi ini, pemerintah mengatur semua aspek ekonomi. Dan
sistem ekonomi campuran, yaitu gabungan sistem ekonomi pasar dan sistem
ekonomi terpusat. Dalam sistem ekonomi ini, kebebasan individu dan
perusahaan dalam menentukan kegiatan ekonomi masih diakui, tetapi
pemerintah ikut campur dalam perekonomian sebagai stabilisator ekonomi
dengan memberlakukan berbagai kebijakan fiskal dan moneter.215
Berdasarkan penjelasan sebelumnya dipahami bahwa sistem perekonomian
berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia; baik
kebutuhan primer maupun sekunder, kebutuhan individu maupun bersama,
kebutuhan jangka pendek maupun jangka panjang yang sistemnya bisa jadi
berbasis pada kebebasan individu maupun diatur oleh pemerintah ataupun
gabungan dari keduanya.

A. Aktifitas Perekonomian Awal OrangMelayu

Pada masa-masa awal, aktifitas perekonomian masyarakat Melayu


bergantung pada pertanian dan perkebunan terutama sekali yang tinggal di
wilayah pedalaman. Ada juga yang terlibat dalam akitifas perburuan. Sedangkan
mereka yang menetap di kawasan yang berhampiran dengan laut atau sungai,
melakukan aktifitas perikanan.216
Penangkapan ikan biasanya dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan sendiri dan keluarga. Sekiranya terdapat kelebihan hasil tangkapan
ikan, mereka akan melakukan pertukaran barang dengan penduduk yang
menghasilkan barang lain, seperti beras. Dengan ini masyarakat Melayu akan
menukar ikan dengan beras dari orang-orang yang tinggal di wilayah pedalaman.
Selain ikan, hasil laut yang turut diperoleh adalah mutiara dan agar-agar. Hasil ini
akan dibuat perhiasan di rumah namun apabila keadaan terdesak, hasil tersebut
akan ditukar dengan barangan lain berbentuk makanan. Untuk memperoleh
makanan lainnya, masyarakat Melayu berternak ayam, itik, menanam buah-
buahan, seperti pisang, tebu, ubi kayu, kelapa dan pinang. Hal ini berdasarkan

214
T. Gilarso, Pengantar Ekonomi Makro, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h.17
215
Jimmy Hasoloan, Pengantar Ilmu Ekonomi, (Yogyakarta: Deepublish, 2010), h. 10-11
216
Uqbah Iqbal, Nordin Hussin, Ahmad Ali Seman, Sejarah Perkembangan Ekonomi Semenanjung
Tanah Melayu dan Sifat Ekonomi Masyarakat Melayu Era Pra Kolonial, (Selangor: Pusat Pengajian
Sejarah, Politik dan Strategi UKM, tt), h.1
153

catatan Cina pada tahun 1419 telah ada orang Melayu yang menanam tebu,
cempedak, pisang, labu, bawang, halia, tembikai dan lain-lain.217
Pada masa ini juga ada yang melakukan aktifitas menambang biji timah dan
emas. Tapi dilakukan secara kecil-kecilan sehingga hasil yang diperoleh juga
sangat terbatas. Selain itu, ada juga yang memungut hasil hutan, seperti akar
kayu, kayu barus, rotan, kayu cendana, damar, lilin serta buah-buahan. Kalau
sekiranya hasilnya berlebihan, mereka akan menukarnya dengan orang lain
untuk mendapatkan pakaian dan makanan.218
Aktifitas peternakan juga dilakukan. Peternakan merupakan aktifitas
sampingan selain aktifitas pertanian (sawah padi) dan perikanan. Diantara
binatang ternak yang dipelihara adalah lembu dan kerbau. Binatang-binatang itu
digunakan untuk membantu pekerjaan membajak sawah serta menarik kayu.
Kemudian aktifitas perburuan juga dilakukan, seperti memburu kancil, rusa,
seladang, dan ayam hutan. Selain itu juga, mereka menekuni kerajinan tangan,
seperti bertukang, menganyam, menghasilkan kerajinan tangan, pelbagai jenis
alat senjata dan membuat perahu. Diantara alat senjata yang digunakan ialah
keris, lembing, pedang, pisau dan kapak. Kemahiran bertenun juga dipraktekan
oleh perempuan Melayu.219
Dari penjelasan sebelumnya dipahami bahwa aktifitas perekonomian awal
orang-orang Melayu adalah bertani, berkebun, berburu, menangkap ikan dan
hasil laut lainnya, menambang timah dan emas, berternak, bertukang,
memungut hasil hutan, dan menghasilkan kerajinan tangan. Transaksi ekonomi
dilakukan dengan menggunakan sistem barter; barang dengan barang, seperti
ikan dengan beras, timah atau emas dengan pakaian dan makanan dan
sebagainya.

B. Era Perdagangan di Asia Tenggara

Aktifitas perdagangan dunia yang berkembang pesat dalam kurun 1400-


1650, telah membawa perubahan siqnifikan dalam aspek perekonomian
masyarakat Melayu. Didukung oleh kemahiran dalam ilmu pelayaran, membuat
mereka ikut terlibat dalam hubungan perdagangan di kawasan Asia Teggara
khsususnya di Semenanjung Melayu. Keadaan ini menjadikan rantau Melayu
sebagai satu kawasan perdagangan yang menjadi tumpuan saudagar India, Arab
dan China.
Menurut catatan China dan laporan pengembara Barat, pada abad 16 atau
lebih awal lagi, pernah mendapati adanya kapal-kapal pedangang Melayu dan
Jawa yang menjalankan kegiatan perdagangan ke Afrika Timur, Madagascar,
Aden dan China.
Mengenai komoditas perdagangan yang laris di pasaran ketika itu menurut
Anthony Reid adalah rempah-rempah dan lada. Rempah-rempah menjadi

217
Ibid., h.2
218
Ibid.
219
Ibid.,
154

penting karena keuntungan yang paling besar diperoleh darinya. Cengkeh, pala
dan bunga pala menjadi komoditas ekspor yang paling diminati oleh Eropa. Lada
juga menduduki peringkat ekspor Asia Tenggara yang terpenting. Anthony Reid
mencatat ada ratusan ribu orang Asia Tenggara terlibat dalam membudidayakan
dan memasarkan lada untuk memenuhi kebutuhan dunia. 220Selain itu juga, ada
bahan makanan, seperti beras, garam, asinan atau ikan kering, dan tuak, tekstil,
barang logam.
Lebih lanjut Anthony Reid menyebutkan Cina merupakan pasar terpenting
untuk mata dangangan di Asia Tenggara. Marco Polo (1298:209) mengatakan
bahwa setiap ada satu perahu Italia di Aleksandria, seraus perahu bermuata
penuh rempah-rempah berlabuh di bandar Cina “Zaiton” (Quan-zhou). Meskipun
India juga hampir sama pentingnya sebagai rekan dagang Asia Tenggara. 221
Sangat melonjaknya permintaan akan produk dari Asia Tenggara adalah karena
adanya enam ekspedisi perdagangan negara oleh Kaisar Yongle dari Dinasti Ming
(1402-1414) dan ekspansi sesaat Cina ke Vietnam dan Burma. Ekspedisi ini
mendorong produksi hasil pertanian untuk pasaran Cina. Kota-kota perdagagan
terbangun di beberapa kawasan di Asia Tenggara, seperti Ayutthaya, Malaka,
Pasai, Brunei, Gresik, dan Demak. Kenyataan ini membawa dampak kemakmuran
perekonomian di wilayah-wilayah tersebut.222
Di era perdagangan ini, sumber keuntungan tidak hanya diperoleh dari hasil
perdagangan saja, tapi juga dari hasil cukai. Kapal-kapal dagang yang melalui
selat Malaka kemudian berlabuh di suatu bandar akan dikenakan cukai.
Pelabuhan Malaka termasuk bandar yang paling banyak disinggahi para
pedagang Asing. Melaka telah menjadi enterpot bagi jalur perdagangan Cina dan
India. Musim Monsun barat daya sekitar bulan Mei hingga Oktober akan
membawa kapal-kapal dari India ke Melaka. Dan musim Monsun timur laut
sekitar bulan Desember hingga Januari akan membawa kapal-kapal dari Cina ke
Melaka.223
Pada masa ini pedagang-pedagang dari Cina, India, Arab dan Jawa terlibat
dalam aktifitas perdagangan di Melaka. Di antara barang-barang yang
diperdagangkan termasuk gula, sutera, perak, mutiara, porselin dari Cina,
rempah, timah, emas, kapur barus, cendana dan kerajinan tangan. Kemunculan
Melaka sebagai pelabuhan enterpot dan pelabuhan internasional di Asia
Tenggara, juga menarik kedatangan para pedagang dari Jepang walaupun hanya
sesekali saja.
Perdagangan yang maju dan pesat di kawasan Asia Tenggara menjadi
mundur pasca kedatangan kolonial dari Eropa yang ingin mengambil alih kendali
atas perdagangan. Ini terjadi dimulai sejak tahun 1499 ketika masuknya kapal-
220
Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 2 (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2011), h. 10
221
Ibid.
222
Ibid.
223
Uqbah Iqbal, Nordin Hussin, Ahmad Ali Seman, Sejarah Perkembangan Ekonomi Semenanjung
Tanah Melayu dan Sifat Ekonomi Masyarakat Melayu Era Pra Kolonial...h.10
155

kapal Portugis ke Samudra Hindia. Orang-orang Portugis ini sedapat mungkin


menenggelamkan atau merampok setiap kapal orang Islam yang mengangkut
rempah-rempah. Kenyataan ini membuat pelaut Islam dan bandar-bandar di
Samudra Hindia yang sudah mantap yang mengirimkan barang-barang dari Asia
Tenggara ke Eropa dan India menjadi sangat rendah selama tiga dekade pertama
abad keenam belas. Mereka telah menguasai kerajaan di Asia Tenggara, yaitu
Malaka pada tahun 1511. Dari tahun 1511 sampai 1530 orang-orang Portugis
mendapat keuntungan lebih baik, mendominasi pasaran Eropa. 224 Tidak hanya
Portugis, orang Belanda, Inggris dan spanyol juga terlibat dalam persaingan lada
dan rempah-rempah dari tahun 1596.
Pada perkembangan selanjutnya, kehadiran kolonial tidak hanya mengambil
alih kendali perdagangan di kawasan Asia Tenggara tapi juga berusaha ingin
mengambil alih kendali pemerintahan. Situasi ini membuat kerajaan-kerajaan
Islam tempatan semakin sulit yang pada akhirnya memicu terjadinya perlawanan
massive terhadap para penjajah. Akan tetapi usaha ini tidak membuahkan hasil
yang menggembirakan. Kerajaan-kerajaan lokal menjadi semakin terdesak. Para
kolonial yang sebagian besar berasal dari bangsa-bangsa Eropa berhasil
mengambil alih pemerintahan dan membagi-bagikan wilayah kekuasaannya
masing-masing. Kenyataan ini membuat kondisi perekonomian orang-orang
Melayu semakin melemah.

15
224
Ibid. h.18
156

SISTEM PENDIDIKAN ORANG MELAYU

KEHIDUPAN manusia tak bisa dipisahkan dari proses pendidikan. Selagi ada
anak manusia yang lahir ke dunia, selama itu pula pendidikan diperlukan.
Pendidikan dimaknai sebagai usaha menanamkan nilai-nilai, ajaran,
keterampilan, pengalaman dan sebagainya kepada generasi berikutnya dengan
maksud untuk melahirkan manusia yang terbina seluruh potensi dirinya sehingga
dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.225Sejalan dengan ini, Hasan
Langgulung menulis bahwa pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi
yang terpendam dan tersembunyi dalam diri manusia. 226Dalam redaksi yang tidak
jauh berbeda, Azyumardi Azra menyatakan pendidikan merupakan suatu proses
penyiapan generasi muda untuk menjalankan dan memenuhi tujuan hidupnya
secara lebih efektif dan efisien.227Dalam redaksi yang lebih sederhana, Redja
Mudyahardjo menyatakan pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang
berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.228
Berdasarkan pengertian-pengertian tentang pendidikan di atas dipahami
bahwa pendidikan adalah proses penyiapan generasi agar mereka tumbuh
menjadi manusia yang ideal dan sempurna dengan menanamkan pengetahuan,
nilai, dan keterampilan serta mengembangkan segala potensi yang ada dalam diri
mereka yang berlangsung sepanjang hayat.
Ada beberapa kompenen utama yang terkait dengan proses pendidikan,
yaitu pendidik, peserta didik, kurikulum, dan lembaga pendidikan. Pendidik
adalah orang dewasa yang menolong peserta didik dalam perkembangan jasmani
dan rohaninya agar mampu berdiri sendiri dalam memenuhi tugasnya. 229Peserta
didik adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang secara fisik,
psikologis, sosial dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di
akhirat.230Kurikulum adalah rencana atau bahasan pengajaran, sehingga arah
kegiatan pendidikan menjadi jelas dan terang. Materinya ada empat aspek, yaitu
tujuan, isi, metde atau proses pembelajaran dan evaluasi 231Lembaga pendidikan
adalah badan atau organisasi yang melakukan kegiatan pendidikan. 232

225
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h.31
226
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003), h.1
227
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:
Logos, 199), h.3
228
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001),
h.3
229
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam,...h.159
230
Ibid., h.173
231
Ibid.,h.121
232
Ibid.,h.189
157

Komponen-komponen pendidikan itu harus ada dan saling mendukung


dalam proses pendidikan agar tujuan pendidikan bisa tercapai secara optimal.
Kelemahandalam salah satu komponen saja akan mengakibatkan pendidikan
tidak bisa berjalan efektif dan efisien.Masing-masing komponen ini saling
bertautan dan merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh serta
berhubungan untuk mencapai tujuan pendidikan. Inilah hakekat dari sistem
pendidikan sebagaimana dirumuskan oleh Hamid Darmadi.233
Proses pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah atau madrasah saja,
tapi bisa juga di tempat-tempat lain. Abuddin Nata menulis dalam bukunya Ilmu
Pendidikan Islam ada sejumlah lembaga tempat berlangsungnya proses
pendidikan terutama pendidikan Islam, yaitu (1) Rumah (Bait); yang merupakan
bangunan tempat tinggal atau bangunan pada umumnya, seperti gedung dan
sebagainya. Pendidikan di rumah bersifat informal yang dilakukan oleh kedua
orang tua terhadap putra-putrinya, dan bisa juga bersifat nonformal yang
dilakukan dimana bentuk materi pengajaran, guru, metode pengajaran dan
lainnya tidak dibakukan secara formal; (2) Masjid dan Suffah; yang merupakan
tempat ibadah bagi umat Islam. Sebagaimana rumah, masjid dan suffah juga
melakukan pendidikan bersifat informal dan nonformal. Sebagai tempat
pendidikan informal, masjid menanamkan nilai-nilai pendidikan mental spiritual
yang amat dalam melalui pelaksanaan ibadah di dalamnya. Dan sebagai
pendidikan nonformal, melalui kegiatan pengajaran sistem halaqah (lingkaran
studi) yang biasanya dipimpin oleh seorang ulama dengan materi utamanya
tentang ilmu agama Islam dengan berbagai cabangnya; (3) Al-Kuttab, Surau dan
TPA; (4) Madrasah.234

Sejarah pendidikan di Indonesia telah berlangsung jauh sebelum Indonesia


merdeka, seorang pendeta budha (I Tsing) yang singgah di kerajaan Sriwijaya
pada 687 M menjelaskan bahwa Palembang di waktu itu merupakan pusat
agama budha di mana pemikir dari berbagai negara berkumpul di situ. Hanya
saja, pendidikan pada saat itu belum diatur dan terfokus pada agama Budha. 235

A. Pendidikan dalam Keluarga

Institusi keluarga dalam masyarakat Melayu memainkan peranan yang


sangat penting dalam proses pendidikan awal. Setiap orang tua mempunyai rasa
tanggungjawab dalam mendidik dan menempa anak-anak mereka untuk
berprilaku baik dan terampil agar mereka tidak menjadi orang-orang yang “tidak
jelas” tujuan hidupnya apabila dewasa nanti. Proses pendidikan dalam
lingkungan keluarga ini menitikberatkan pada penanaman nilai-nilai adab dan
budi pekerti serta keterampilan hidup. Nilai-nilai keagamaan (Islam), kejujuran,
kesopanan, dan kesantunan prilaku, menjadi tumpuan utama. Orang-orang tua

233
Hamid Darmadi, Pengantar Pendidikan Era Globalisasi, (Jakarta:An1Mage, 2019), h.206
234
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam,..., h.190-199
235
Hamid Darmadi, Pengantar Pendidikan Era Globalisasi, (AN1MAGE, 2019), h.250
158

Melayu akan merasa malu, kalau sekiranya anak-anak mereka berprilaku


“sumbang” atau “menyalah” baik dilihat dari sudut pandang agama maupun
budaya. Akhirnya mereka akan mengambil tindakan tegas bahkan mungkin
“keras” terhadap anak-anak mereka.
Penanaman nilai-nilai keagamaan (Islam), kejujuran, kesopanan, dan
kesantunan prilaku ini sebagaimana tergambar dalam tunjuk ajar-tunjuk
ajarMelayu berikut ini:

Wahai ananda hendaklah ingat


Hidup di dunia amatlah singkat
Banyakkan amal serta ibadat
Supaya selamat dunia akhirat

Wahai ananda dengarkan peri


Tunangan hidup adalah mati
Carilah bekal ketika pergi
Supaya tidak menyesal nanti

Tunjuk ajar ini mengingatkan bahwa kehidupan di dunia ini berlangsung


singkat. Pada saatnya nanti akan mengalami kematian dan menuju alam akhirat.
oleh karena itu, persiapkanlah bekal sebanyak-banyaknya dengan selalu beramal
saleh agar selamat hidup di dunia dan di akhirat.

Wahai ananda dengarlah madah


Baikkan laku elokkan tingkah
Banyakkan kerja yang berfaedah
Supaya hidupmu beroleh berkah

Wahai ananda dengarlah pesan


Kuatkan hati teguhkan iman
Jangan didengar bisikan setan
Supaya dirimu diampuni tuhan

Tunjuk ajar ini pula mengandung pesan agar manusia senantiasa


memperbaiki tingkah laku dan melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi orang
lain. Kedua hal itu merupakan prasarat untuk memperoleh kehidupan yang
penuh keberkatan. Di samping itu, manusia harus memperteguh keimanan dan
menghindari bujuk rayuan setan dalam rangka memperoleh keampunan Tuhan.

Wahai ananda peganglah janji


Berbuat khianat engkau jauhi
Banyakkan olehmu bertanam budi
Supaya kelak hidup terpuji

Wahai ananda cahaya mata,


159

Janganlah tamak kepada harta


Mencari nafkah berpada-pada
Supaya hidupmu tiada ternista

Tunjuk ajar ini mengajarkan manusia agar menjalankan amanah dengan


sebaik-baiknya dan tidak mengingkari janji yang sudah dibuat. Selanjutnya agar
bisa hidup terpuji, manusia itu harus senantiasa menanam budi yang baik bagi
semua orang.

Wahai ananda sibiran tulang


Betulkan kaji, tegakkan sembahyang
Umur yang ada jangan dibuang
Supaya hidupmu dipandang orang

Wahai ananda belahan diri


Kerja menyalah jangan hampiri
Berbuat maksiat jangan sekali
Supaya hidupmu diberkahi ilahi

Bait-bait terkahir dari tunjuk ajarini kembali mengingatkan manusia agar


memanfaatkan umur di atas dunia ini dengan sebaik-baiknya dengan senantiasa
menegakkan ibadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan supaya keberadaan
manusia di atas dunia selalu dipandang orang. Selanjutnya, tunjuk ajar tersebut
menyatakan kembali tentang kehidupan yang berkah dengan cara tidak
melakukan pekerjaan yang menyalah dan menghindari segala perbuatan
maksiat.

B. Pendidikan di Surau atau Masjid

Keberadaan Surau atau Masjid memiliki arti yang sangat penting bagi
masyarakatMelayu sebagai tempat bagi pendidikan anak-anak mereka
khususnya dalam pembelajaran agama. Dalam tradisi masyarakat Melayu, para
orang tua biasanya akan memerintahkan anak-anak mereka baik laki-laki
maupun perempuan untuk belajar mengaji dan sembahyang (sholat) di surau
atau di masjid di bawah bimbingan seorang ustadz atau guru mengaji. Kegiatan
pembelajaran ini biasanya berlangsung di waktu maghrib sehingga dikenal
dengan istilah “maghrib mengaji”.
Setelah mereka khatam mengaji dan belajar dasar-dasar agama, biasanya
para orang tua akan membuat acara [perayaan] khusus yang disebut dengan
“khatam al-Quran” dan biasanya disandingkan dengan sunat rasul (khitan) untuk
anak-anak laki-laki. Acara [perayaan] ini menyiratkan pesan yang
mengekpresikan kebanggaan para orang tua Melayu bahwa anak-anak mereka
sudah pandai mengaji dan memasuki usia mumayyiz dimana mereka kalau
memasuki usia ini dalam kultur Melayu sudah bisa berada di shaf pertama ketika
menunaikan sholat berjamaah di Surau atau Masjid. Sedangkan untuk anak
160

perempuan, acara khatam al-Quran dilakukan pada saat upacara perkawinan.


Perempuan [seorang isteri] yang pandai mengaji dipandang sebagai salah satu
tanda seorang isteri yang sholehah atau menantu yang baik oleh mertuanya.
Aktifitas pembelajaran di surau atau masjid; ada juga yang menyebutnya
langgar ini berlangsung sangat sederhana dengan menggunakan sistem lingkaran
belajar (sorogan) tanpa menggunakan bangku dan meja dibawah asuhan seorang
guru. Materi pembelajarannya biasanya mengenai al-Quran, ibadah-ibadah
praktis, keimanan dan akhlak. Sedangkan waktu belajarnya biasanya pada waktu-
waktu sholat. Lama belajar di surauatau masjid tidak ditentukan, tergantung
pada kemampuan, kerajinan bahkan situasi dan kondisi setempat. Anak yang
berkemampuan dan rajin bisa menamatkan al-Quran dalam jangka waktu 2 atau
3 tahun. Begitu juga dengan jumlah muridnya tidak tetap pada setiap waktu
belajar, karena di antara anak-anak ada yang rajin dan ada yang malas. 236
Di indonesia pendidikan di surau atau masjid ini banyak berkembang di
wilayah Sumatera terutama sekali di Sumatera Barat. Di antara pendidikan di
Surau yang terkenal di Sumatera Barat, adalah Surau Batu Batuhampar yang
salah satu pemimpinnya adalah Syaikh Ar-Syad bin Syeikh ‘Abdurrahman. Selain
itu Surau Tuanku Syaikh Silungkang di daerah Solok pimpinan Syaikh Muhammad
Saleh yang pernah dikunjungi Belanda pada 1860. Ia dianggap sebagai Surau
terindah dengan hiasan paling baik di Dataran Tinggi Minangkabau. Surau
Silungkang ini membentuk komunitas dimana masalah pengajaran agama tidak
terpisah dari pengajaran kemampuan keterampilan yang diperlukan untuk
kehidupan sehari-hari.237

C. Pendidikan di Rumah Guru dan Rumah Suluk

Selain di Surau atau Masjid, pendidikan bagi orang-orang Melayu juga


berlangsung di rumah orang-orang alim tertentu yang dipanggil tuan guru atau
tok guru. Pendidikan di rumah guru ini diperuntukan bagi orang dewasa yang
ingin memperdalam ilmu agamanya.pembelajaran ini biasa diistilahkan dengan
“kaji diri”. Hampir di setiap perkampungan orang-orang Melayu dahulu terdapat
kelompok-kelompok pengajian ini. Materi kajiannya berkaitan dengan sifat dua
puluh; mengenal eksistensi Tuhan mulai dari hakekat dzat, sifat, nama dan
perbuatan-Nya. Kajian seperti ini dimaksudkan untuk lebih memberikan arti dan
makna bagi pelaksanaan ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim dalam
rangka mendekatkan diri (bertaqarrub) kepada Tuhan dengan cara yang benar.
Selain di rumah guru, pendidikan juga berlangsung di rumah-rumah
suluk.238Pendidikan di rumah suluk muncul seiring masuk dan berkembangnya
236
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h.134
237
Azyumardi Azra, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Tradisi dan Modernisasi, (Kencana:
Jakarta, 2006), h.80
238
Rumah suluk merupakan tempat bagi para pengikut tarekat untuk mengasingkan diri
sementara waktu dari kesibukan-kesibukan duniawi dalam rangka melakukan riyadah dibawah
bimbingan guru tarekat dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt. . Martin van
161

ajaran tarekat di daerahMelayu. Tarekat merupakan tempat berkumpulnya


orang-orang Islam dalam rangka menitijalan spiritual yang di dalamnya berisi
amalan ibadah dan lainnya yang berintikan menyebut nama Allah dan sifat-
sifatnya disertai penghayatan yang mendalam dengan tujuan untuk memperoleh
hubungan sedekat mungkin (secara rohaniah) dengan Tuhan.239
Berbeda dengan pendidikan di rumah-rumah guru, pendidikan di rumah
suluk mengharuskan para murid yang menempuh jalan tarekat untuk
mengasingkan diri sementara waktu, meninggalkan keluarga dan kesibukan
duniawi guna melakukan serangkaian latihan-latihan spiritual, seperti berzikir,
berpuasa, melakukan ibadah-ibadah sunat lainnya, mengatur pola makan,
bertawajuh dan sebagainya di bawah bimbingan mursyid.
Tujuan tarekat adalah mempelajari kesalahan dan kekurangan pribadi, baik
dalam melakukan amal ibadah maupun dalam interaksi dengan masyarakat dan
belajar cara memperbaikinya, dengan cara membersihkan penyakit- penyakit
hati melalui bimbingan serta interaksi berkumpul dengan seorang guru yang
telah mencapai kesempurnaan dan kompeten dalam metode pengobatan
penyakit hati.240
Proses pembelajaran dalam tarekat tidak bisa dilepaskan dari hubungan
guru dan murid. Guru dalam tarekat disebut Mursyid atau Syaikh, dan wakilnya
disebut Badal. Sedangkan pengikutnya disebut Salik (murid). Sedangkan tempat
tarekat disebut Ribath atau Zawiyah atau Taqiyah.Tiap-tiap tarekat memiliki
amalan atau ajaran wirid tertentu, simbol-simbol kelembagaannya, tata tertibnya
dan upacara-upacara lainnya.
Tarekat yang banyak berkembang di daerah Melayu adalah Tarekat
Naqsyabandiyah241 dengan ciri yang menonjol adalah pertama, diikutinya syariat
secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan
terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berzikir dalam hati. Kedua, upaya
serius dalam mempengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta
mendekatkan negara pada agama.242
Pada perkembangan selanjutnya, Tarekat Naqsyabandiyah terbagi dua, yaitu
Nasyabandiyah Qodiriyah dan Naqsyabandiyah Khalidiyah. Tarekat yang paling

Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996),h. 88


239
A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2002), h.263, lihat jugaAbuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h.
270. dan Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalamm Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
h.89
240
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf , (Wonosobo: Amzah, 2005), h.
4
241
Nama Naqsyabandiyah dinisbahkan kepada pendirinya Muhammad bin Muhammad Baha’ al-
Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandiyah (717 H/1318 M-791 H/1389) yang lahir di desa Qashrul
Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari. Lihat Sri Mulyati, et. al,
Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), h.
90,
242
H.A. Fuad, Syekh Abdul Wahab, Tuan Guru Babussalam, (Medan: Pustaka Babussalam, 1991),
h.24
162

banyak diikuti oleh orang-orang Melayu adalah Naqsyabandiyah Khalidiyah


dengan ciri khasnya melakukankhalwat atau suluk, yaitu kegiatan menyepi untuk
sementara waktu dari kesibukan duniawi243yang dilakukan di rumah-rumah
khusus yang didirikan untuk itu dibawah bimbingan seorang guru mursyid
[syaikh].
Pendidikan [spiritual] melalui institusi tarekat ini membawa pengaruh yang
siqnifikan terhadap kehidupan sosial keagamaan orang-orang Melayu. Faham
dan amaliyah keagamaan yang berkembang di dunia Melayu hampir sebagian
besar mengikut ajaran dan praktek yang dikembangkan oleh ulama-ulama
tarekat (tasawuf). Banyak dari pengikut tarekat yang mendapatkan julukan
khalifah memiliki peran penting sebagai tokoh agama yang diseganidan
dihormati di masyarakat. Mereka dipercaya sebagai pemimpin ritual dan praktek
amaliyah keagamaan di tengah-tengah masyarakat disamping sebagai tempat
rujukan bertanya mengenai masalah-masalah keagamaan.

D. Pendidikan Kuttab, Madrasah dan Sekolah


Seiring dengan perkembangan keilmuan dalam Islam yang semakin
kompleks,keberadaan institusi pendidikan baru sangat diperlukan. Kuttab atau
Maktab244 didirikan di samping Masjid245Kuttab merupakan tempat pertemuan
antara guru dengan murid yang mempelajari membaca dan menulis serta
mengajarkan al-Quran dan dasar-dasar agama. 246 Sedangkan materi-materi dan
metode pendidikannya diserahkan sepenuhnya kepada guru-guru. 247
Kurikulum pendidikan di Kuttab berorientasi kepada al-Quran sebagai text
book yang mencakup pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal
bahasa Arab, sejarah Nabi, hadits. Lama belajar di kuttab tidak sama antara satu
anak dengan anak lainnya sangat tergantung pada kecerdasan dan kemampuan
masing-masing anak, karena sistem pengajaran pada waktu itu berbeda dengan
sistem pengajaran sekarang. Sistem pengajaran pada waktu itu belum bersifat
klasikal.248
Setelah kuttab, karena tuntutan zaman yang menginginkan adanya lembaga
pendidikan yang lebih sistematis dan terprogram pada perkembangan
selanjutnya berdirilah madrasah. Berbeda dengan Kuttab, pembelajaran di
madrasah sudah menggunakan sistem klasikal (ruang belajar), kurikulum
243
Ibid., h. 88
244
Kuttab atau Maktab berasal dari kata dasar yang sama yaitu kataba yang artinya menulis.
Sedangkan Kuttab atau Maktab berarti tempat menulis atau tempat dimana dilangsungkan
kegiatan untuk tulis-menulis. Samsul Nizar Editor, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h.112
245
Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Abad ke-20, Pergumulan antara
Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: Kencana, 2012), h.36
246
Haidar Putra Daulay, Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam dalam Lintasan Sejarah, Kajian dari
Zaman Pertumbuhan Sampai Kebangkitan, (Jakarta: Kencana, 2016), h.62
247
Samsul Nizar Editor, Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Sejarah Pendidikan Era Rasulullah
Sampai Indonesia....h.113
248
Ibid., h.115
163

pembelajaran dan kepemimpinan.249 Dilihat dari tingkatannya, Madrasah terbagi


tiga, yaitu tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah.
Keberadaan madrasahsebagai institusi baru pendidikan berikutnya di
Nusantara, mendapatkan sambutan dan dukungan positif dari masyarakat
Melayu khususnya. Banyak orang tua memasukkan anak-anak mereka ke
Madrasah baik yang pola berasrama (seperti pesantren) maupun yang tidak
berasrama. Kenyataan ini membuat pendidikan madrasah semakin maju dan
pesat perkembangannya. Pada sisi lain dengan kehadiran pendidikan madarasah
ini membuat eksistensi pendidikan surau dan kuttab semakin kurang diminati.
Bahkan ada beberapa kuttab yang mengubah wujudnya menjadi Madrasah.
Kedatangan para kolonial di wilayah Nusantara memperkenalkan satu model
pendidikan baru yang kemudian populer dengan sebutan “sekolah”. Sekolah oleh
masyarakat tradisional ketika itu dianggap sebagai “pendidikan sekuler” bila
dihadap-hadapkan dengan “pendidikan madrasah”. Hal ini dikarenakan
kurikulum di sekolah lebih banyak berisi mata pelajaran-mata pelajaran umum.
Ditambah lagi keberadaannya diprakarsai oleh para penjajah.
Sekolah pada masa-masa awal perkembangannya kurang diminati. Akan
tetapi seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman, kehadiran sekolah
bisa diterima. Sehingga tidak ada lagi dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-
ilmu umum. Bahkan pada akhirnya Madrasah juga memasukkan mata pelajaran-
mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya disamping mata pelajaran-mata
pelajaran agama. Dan sekolah pun memasukan mata pelajaran agama (Islam)
meskipun dalam jam pelajaran yang terbatas untuk menghilangkan persepsi
masyarakat terhadapnya sebagai lembaga “pendidik sekuler”.

E. Pendidikan pada Masa Kerajaan Siak Sri Indrapura


Berangkat dari keprihatinan Sultan Syarif Kasim II terhadap kelemahan
Sekolah Umum (HIS dan Sekolah Desa) yang sangat sedikit memberikan pelajaran
yang dapat membangkitkan semangat patriotisme lebih banyak kepada
penyiapan murid-muridnya menjadi pegawai (Amtenaren), Ia mendirikan
Madrasah Taufiqiyah al-Hasyimiah pada tahun 1917. Lama pendidikannya 7
tahun yang terdiri-dari 5 tahun tingkat ibtidaiyah dan 2 tahun untuk tingkat
Tsanawiyah. Madrasah ini diperuntukan khusus untuk laki-laki saja. Waktu
belajarnya di sore hari karena paginya mereka belajar di sekolah umum. Mata
pelajarannya 25 % pengetahuan umum, 75 % Agama Islam.250
Kemudian pada tahun 1929, Sultan mendirikan Madrasat al-Nisa’ yang
diperuntukan khusus untuk kaum perempuan melayu di Siak. Lama pendidikan di
Madrasah ini 7 tahun yang terdiri-dari tingkat Ibtidaiyah 4 tahun dan tingkat
Tsanawiyah 3 tahun. Sedangkan pelajaran yang diberikan pada madrasah ini
adalah pelajaran agama yang meliputi membaca al-Quran, Ibadah Sembahyang,
249
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana, 2018), h.99
250
Ahmad Yusuf, et. al., Sultan Syarif Kasim II, Raja Terakhir Kerajaan Siak Sri Indrapura;
Pemerintahan, Perjuangan, Warisan,..............., h.169
164

Rukun Islam, Rukun Iman, Tauhid, Fiqh, dan Hadits. Sedangkan pengetahuan
umumnya terdiri dari ilmu bumi, keterampilan perempuan, menulis latin,
menulis Arab, dan Bahasa Melayu.251
Selain Madrasah, Sekolah Sulthanah Latifah (Lathifah School) juga didirikan
atas inisiatif Permaisuri Sultan Syarif Kasim II yang bernama Syarifah Lathifah
pada tahun 1926 yang berangkat dari keprihatinannya terhadap kondisi para
perempuan Siak yang banyak tidak mengecap dunia pendidikan. 252 Nama
Lathifah School diambil dari nama permaisuri karena sekolah itu berdiri atas
prakarsanya. Lama pendidikan di sekolah ini adalah 3 tahun yang menekankan
pada keterampilan bagi ibu-ibu rumah tangga atau disebut juga Sekolah
Keterampilan Puteri. Sesuai dengan tujuannya, sekolah ini didirikan dengan
harapan dapat mendidik dan mencerdaskan kaum perempuan Siak. Di samping
itu, sekolah ini juga menanamkan rasa kebangsaan dan patriotisme.253
Sekolah ini berada dalam pengawasan Permaisuri. Semua fasilitas dan biaya
penyelenggaraannya ditanggung sepenuhnya oleh Sultan. Begitu juga
kurikulumnya ditentukan oleh mereka. Belanda tidak ada campur tangannya
sama sekali. Mata pelajaran yang diberikan terdiri-dari Bahasa Belanda,
keterampilan masak-memasak, jahit menjahit dan pengetahuan umum.254

251
Ibid., h. 171
252
Ibid., h.169
253
Ibid., h.170
254
Ibid.
165

DAFTAR KEPUSTAKAAN

A.Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar,


Jakarta: Erlangga, 2006.

Abdul Rahman Hj. Abdullah, Membongkar Sejarah Pemerintahan Islam di Alam


Melayu, Selangor: Hijjaz Records Publishing, 2019.

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.

-----, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2010.

Ahmad Moghni Salbani, Saad Othman, Rahimah A. Hamid, Editor, Amalam


Kearifan Tempatan dalam Masyarakat Melayu Nusantara, Pulau Pinang:
Universiti Sains Malaysia, 2014.

Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi


Pengetahuan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

A.J. Almaney and A.J. Alwan, Communication with the Arabs sebagaimana dikutip
Randy Fujishin, Creating Communication, Exploring and expanding Your
Fundamental Communications Skills Maryland: Acada Books, 2000..JWM
Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius,
1984.

Ajip Rosidi, Ihtisar Sejarah Sastera Indonesia, Bandung: Pustaka Jaya, 2018.
166

Al-Azhar, Nilai-Nilai Asas Jati Diri Melayu sebagai Perekat Persatuan dan
Kesatuan Bangsa (Ceramah Arif Budiman 11), 14 Februari 2015.

Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan, Bandung: Nusa Media, 2014.

Al-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, Surabaya: Bina Ilmu, 2006.

Alwi Shihab, Islam Sufistik, Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di
Indonesia, Bandung: Mizan, 2001.

Amin Syukur dan Masharudin, Intelektualisme Tasawuf,  Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2002.

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia,


Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.

-----, Filsafat Ilmu, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.

Antony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, LP3ES: Jakarta, 2004.

-----, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1, Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2011.

-----, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 2, Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2011.

Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Abad ke-20, Pergumulan


antara Modernisasi dan Identitas, Jakarta: Kencana, 2012.

A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta:


RajaGrafindo Persada, 2002.

A.Samad Ahmad, Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), Kuala Lumpur: Dewan


Bahasa dan Pustaka, 1986.

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994.

-----, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999.

-----, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta:
Logos, 1999.
167

-----, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Tradisi dan Modernisasi,


Kencana: Jakarta, 2006.

Baso Madiong, Zainudin Mustafa, Andi Gunawan Ratu Chakti, Pendidikan


Kewarganegaraan, Civic Education. tt
Chaerudji, Ilmu Kalam, Jakarta: Diadit Media, 2007.

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures sebagaimana dikutip Martine


Lejeune, Culture A Philosophical Perspective, Netherlands: Garant-Publisher,
2016.

C.Spat, Bahasa Melayu: Tata Bahasa Selayang Pandang, Jakarta: Balai Pustaka,
1989.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sistem Gotong Royong dalam


Masyarakat Pedesaan, tt

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Peletarian Sejarah dan Nilai


Tradisional Tanjung Pinang, Bibliografi Beranotasi, Hasil Penelitian Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjung Pinang, 2009.

Edward Burnett Taylor, Primitive Culture; Research into the Development of


Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom, New York:
Dover Publication, 2016.

Eni Harmayani, Umar Santoso, Murdijati Gardjito, Makanan Tradisional


Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2017.

Endang Komara, Teori Sosiologi Antropologi, Bandung: Refika Aditama, 2019.

Fatah Syukur NC, Teknologi Pendidikan, Semarang: Rasai Media Group, 2008.

Febri Yulika, Jejak Seni dalam Sejarah Islam, Padang: Institut Seni Indonesia
Padang Panjang, 2016.
Frida Unsiah, Ria Yuliati, Pengantar Ilmu Lingusistik, Malang: UB Press, 2018.

H.A. Fuad, Syekh Abdul Wahab, Tuan Guru Babussalam, Medan: Pustaka
Babussalam, 1991.

Haidar Putra Daulay, Nurgaya Pasa, Pendidikan Islam dalam Lintasan Sejarah,
Kajian dari Zaman Pertumbuhan Sampai Kebangkitan, Jakarta: Kencana,
2016.
168

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam,


Jakarta: Kencana, 2018.

Hamid Darmadi, Pengantar Pendidikan Era Globalisasi, Jakarta:An1Mage, 2019.

Hari Poerwanto, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Persfektif Antropologi,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Harry Aveling, Rumah Sastra Indonesia, Jakarta: Indonesia Tera, 2002.

Harsojo, Pengantar Antropologi, Bandung: Binacipta, 1984.

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalamm Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1979.

-----, Teologi Islam : Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UIPress,
1986.

Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru,


2003.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan


dan Perkembangan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001.

Hendri Raharjo, Sistem Hukum Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2016.

https://id.wikipedia.org/wiki/Ras_Australoid

https://materiips.com/ciri-ciri-ras-veddoid

Husni Thamrin, Revitalisasi Kearifan Lokal Melayu dalam Menjaga Harmonisasi


Lingkungan Hidup, Jurnal Toleransi, Vol. 6, No.1 Edisi Januari-Juni 2014

Hussin Mutalib, Islam and Etnicity in Malay Politics, (terj), Jakarta: LP3ES, 1996.

Ibn Rusyd, Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, Jakarta: Erlangga, 2006.

Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2010.

Iswinarti, Permainan Tradisional; Prosedur dan Analisis, Manfaat Psikologis,


Malang: UMM Press, 2017.
169

James T. Collin, Bahasa Melayu Bahasa Dunia, Jakarta: Yayasan Obor, 2005.

Jimmy Hasoloan, Pengantar Ilmu Ekonomi, Yogyakarta: Deepublish, 2010.

Johanes Mardimin. Jangan Tangisi Tradisi, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Surya


Multi Grafika, 2005.

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Ensiklopedi Makanan Tradisional


Indonesia, 2004.

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2016.

Maliha Aziz dan Asril, Sejarah Kebudayaan Melayu, Pekanbaru: Cendekia Insani.
2007.

Malik bin Nabi, Bayn al-Arrasyaa wa al-Tayyah,Musykilat al-Hadlarat, Beirut: Dar


al-Fikr, 2002.

Marhalim Zaini, Mengenal Tunjuk Ajar Melayu dalam Pantun, Gurindam dan
Syairu, Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2018.

Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan,


1996.

M.Bakri, Pengantar Hukum Indonesia, Malang: UB Press, 2013.

-----,et.al, Pengantar Hukum Indonesia, Pembidangan dan Asas-Asas Hukum,


Malang: UB Press, 2015.

M.B. Hooker (Ed), Islam in South-East Asia, E.J. Brill, Leiden, 1983.

Muhammad Arifin Ilham, Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, Jakarta:


Hikmah, 2009.

Muhammad Maghfur, Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat


Islam, Bangil: al-Izzah, 2002.
170

Muhdi Kurnia, Tari Tradisi Melayu, Eksistensi dan Revitalisasi Seni, Medan:
Puspantara, 2016.

M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta: Kencana, 2014.

Nana Sudjana dan Ahmad Rifai, Teknologi Pengajaran, Bandung: Sinar Baru,
1989.

Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Bandung: Mizan,
1991.

Nurcholish Madjid, Fiqh Siyasah, Jakarta: Kencana, 2014.

O.K. Nizami Jamil, et.al, Pakaian Tradisional Melayu Riau, Pekanbaru: LPNU
Press,tt.

Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas, Bandung: Kiblat Buku Utama, 2007.

Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, Sebuah Studi Awal tentang Dasar-


Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2001.

Saifullah, Sejarah & Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2010.

Samsul Nizar,Ed., Sejarah Pendidikan Islam, Menelusuri Sejarah Pendidikan Era


Rasulullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.

Sarinah, Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Di Perguruan Tinggi), Yogyakarta:


Deepublish, 2019.

Simanjutak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Fajar Interpratama Mandiri,


2017.

Soerjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: RajaGrapindo Persada,


2006..

Sri Mulyati, et. al, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di


Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011.

Susanto, Pengantar Teori Sastra, sebagaimana dikutip Juwati, Sastra Lisan Bumi
Silempari, Teori, Metode dan Penerapannya, Yogyakarta: Budi Utama, 2018.
171

Sutarto Wijono, Kepemimpinan dalam Persfektif Organisasi, Jakarta:


PrenadaMedia Group, 2018.

Suwardi, MS, Dari Melayu ke Indonesia: Peranan Kebudayaan Melayu dalam


Memperkokoh Identitas dan Jati Diri Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.

Syaiful Sagala, Pendekatan dan Model Kepemimpinan, Jakarta: Prenamedia


Group, 2018.

Surastina, Pengantar Teori Sastra, Yogyakarta: Elmatera, 2018.

Sumarjo, Saini, Apresiasi Kesusastraan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Tenas Effendy,  Pemakaian Ungkapan dalam Upacara Perkawinan Orang


Melayu, Yogyakarta: Balai Kajiandan Pengembangan Budaya Melayu, 2004.

-----, Tunjuk Ajar Melayu, Pekanbaru: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya
Melayu, 2006.

T. Gilarso, Pengantar Ekonomi Makro, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Wonosobo:
Amzah, 2005.

Uqbah Iqbal, Nordin Hussin, Ahmad Ali Seman, Sejarah Perkembangan Ekonomi
Semenanjung Tanah Melayu dan Sifat Ekonomi Masyarakat Melayu Era Pra
Kolonial, (Selangor: Pusat Pengajian Sejarah, Politik dan Strategi UKM, tt.

UU Hamidy, Riau sebagai Pusat Bahasa dan Kebudayaan Melayu, Pekanbaru:


UNRI Press, 2003.

-----, Kebudayaan sebagai Amanah Tuhan, Pekanbaru: UIR Press, 2009.

-----, Jagad Melayu dalam Lintas Budaya di Riau, Pekanbaru: Bilik Kreatif Press,
2011.

Yendra, Mengenal Ilmu Bahasa (Linguistik), Yogyakarta: Budi Utama, 2018.

Yuidonoo KS, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2010.

Yulia, Buku Ajar Hukum Adat, Lhokseumawe, Unimal Press: 2016.


172

Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran: Dari Khawarij Ke Buya Hamka
Hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Kencana, 2004.

Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam


dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Wahbah Zuhaily dan Jamaludin Athiyah, Kontroversi Pembaruan Fiqih, Terj,


Surabaya: Erlangga. 2000.

Wiliam Marsden, F.R.S, Sejarah Sumatera, The History of Sumatra, terj


Yogyakarta: Indoliterasi, 2016.

Zainal Arifin Dan Adhi Setiyawan, Pengembangan Pembelajaran Aktif Dengan


ICT, Yogyakarta: T. Skripta Media Creative, 2012.

Zainal Kling, “Adat Melayu.” di dalam Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin
(ed.), 2004. KepimpinanAdat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut
Seni Malaysia Melaka.

Hasan Yunus, Engku Puteri Raja Hamidah; Pemegang Regalia Kerajaan Riau (Riau: UNRI Press,
2002), h. 32
Jajat Burhanudin, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 213
Ahmad Yusuf, et. al., Sultan Syarif Kasim II, Raja Terakhir Kerajaan Siak Sri Indrapura;
Pemerintahan, Perjuangan, Warisan, (Pekanbaru: Pemerintah Daerah Propinsi Riau, 1992), h.169

Abd. Jalil Borham, Pentadbiran Undang-Undang Islam Negeri Johor, (Universiti Teknologi
Malaysia Skudai: Johor Darul Ta’zim, 2002), h..176
Ibid., h. 86
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Riau, h.24
173

Anda mungkin juga menyukai