Anda di halaman 1dari 13

IJMA’ DAN QIYAS

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqh/Ushul Fiqh


Dosen Pengampu: Dr. Asep Saepudin, M.Ag

Disusun:

Silmi Khasraksa NIM 21122468


Siti Halimatus Sa’diah NIM 21122448

Reguler 2A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU


TARBIYAH SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AT-TAQWA
BANDUNG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat allah SWT atas segala rahmat-nya
solawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada nabi Muhammad
SAW serta para sahabat, tabi’in, serta kita selaku umatnya.

Atas rahmat dan hidayah-nya kami dapat menyelesaikan tugas yang


berjudul “Ijma’ dan Qiyas.” Untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqh/ilmu
fiqh tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Asep Saepudin,
M. Ag, selaku dosen mata kuliah ushul fiqh/ilmu fiqh.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini


karna keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini. selain itu kami berharap semoga makalah ini
menambah pengetahuan umumnya bagi pembaca dan khususnya bagi kami.

Bandung, 18 Februari 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A, Latar Belakang Masalah
Pada masa Rasulullah SAW, permasalahan yang timbul selalu bisa
ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur’an dan
Rasulullah SAW.
Bila suatu hukum di sekitarannya kurang dimengerti oleh para sahabat
maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah SAW.
Akan tetapi, setelah beliau wafat, para sahabat kesulitan dalam memutuskan
permasalahan-permasalahan yang terjadi.
Dalam penyelesaian masalah setelah baginda wafat yang terjadi pada para
sahabat sulit menemukan dalil-dalilnya atau tidak ditemukan/tersurat dalam Al-
Qur’an dan Al-Hadis. Padahal permasalahan yang muncul semakin kompleks,
oleh karena itu muncullah ijma’ dan qiyas.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Ijma’ dan Qiyas?
2. Bagaimana Macam-Macam Ijma’ dan Qiyas?
3. Bagaimana Kedudukan Ijma’ dan Qiyas dalam Agama Islam?
4. Bagaimana Pentingnya Ijma’ dan Qiyas dalam Agama Islam?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Ijma’ dan Qiyas
2. Untuk Mengetahui Macam-Macam Ijma’ dan Qiyas
3. Untuk Mengetahui Kedudukan Ijma’ dan Qiyas dalam Agama Islam
4. Untuk Mengetahui Pentingnya Ijma’ dan Qiyas dalam Agama Islam
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan
menurut istilah “kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hokum-hukum
dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan hadis dalam suatu perkara yang terjadi.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam
menetapkan suatu hukum, karena segala persoalan dikembalikan kepada beliau,
apabila ada hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
2. Pengertian Qiyas
 Secara Etimologi (bahasa)
Qiyas menurut arti bahasa arab ialah penyamaan, membandingkan atau
pengukuran, menyamakan sesuatu dengan yang lain.
 Secara Terminologi (istilah)
Menurut ulama ushul, qiyas berarti menerangkan hukum sesuatu yang
tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadis dengan cara
membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash.
 Imam Syafi’i mendefinisikan qiyas sebagai upaya pencarian (ketetapan
hukum) dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu yang pernah
diinformasikan dalam al-Qur’an dan hadis.
 Dalam kitab Ar-Risalah Imam Syafi’i juga berkata, “Qiyas adalah suatu yang
dipecahkan berdasarkan dalil-dalil yang disesuaikan dengan informasi yang
tersirat dalam al-Qur’an atau hadis, karena keduanya adalah kebenaran hakiki
yang wajib dijadikan sumber."
MACAM-MACAM IJMA’ DAN QIYAS
1. Macam-macam Ijma’
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
a. Ijma’ Sharih
Yaitu semua para mujtahid (pejuang islam) mengemukakan pendapat
mereka masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi
keputusan). Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang
mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya dan kemudian menyepakati
salah satunya.
b. Ijma’ Sukuti (diam)
Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh
para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak
pendapat tersebut secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila telah memenuhi
beberapa kriteria berikut :
Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepakatan
atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya kesepakatan,
yang dilakukan oleh sebagian mujtahid. Maka tidak dikatakan ijma’ sukuti,
melainkan ijma’ sharih. Begitu pun jika terdapat tanda-tanda penolakan yang
dikemukakan oleh sebagian mujtahid dan bukan ijma’sukuti.
Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk
memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk
mengemukakan hasil pendapatnya.
Permasalahan yag difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan
ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil dzani (dugaan). Sedangkan permasalahan
yang tidak boleh di-ijtihadi atau yang bersumber dari dalil-dalil tidak qath’i
(pasti), jika seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang
kuat, sedangkan yang lainnya diam hal itu tidak bisa disebut ijma’.
 Contoh ijma’ sukuti
Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang
diprakarsai oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau.
Para sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ beliau dan
diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa
tersebut.
Selain macam-macam ijma’ diatas, terdapat pula beberapa macam ijma’
yang dihubungkan dengan masa terjadinya, tempat terjadinya atau orang-orang
yang melaksanakannya. Ijma’-ijma’ itu adalah :
a. Ijma’ sahabat
Yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW. Contoh
ijma’ sahabat: Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat
seorang imam atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam menyangkut
urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para Sahabat Rasulullah.
b. Ijma’ khulafaur rasyidin
Yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan
Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat
orang itu hidup. Contoh ijma’ khulafa’ rasyidin: Shalat tarawih adalah shalat
dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar. Bilangan rakaatnya yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat. Umar bin Khattab
mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini disepakati oleh
ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin.
c. Ijma’ syaikhan
Yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dab Umar bin Kattab.
d. Ijma’ ahli madinah
Yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama madinah. Madzhab Maliki
menjadikan ijma’ ahli madinah ini sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Menurut pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa ijma’ mujtahid Madinah
saja sudah merupakan kesimpulan ijma’.
e. Ijma’ ulama kuffah
Yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama kuffah. Madzhab Hanafi
menjadikan ijma’ ulama kuffah sebagai salah satu sumber hukum islam. Ijma’
dipandang tidak sah, kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma’ bukan
merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu fatwa dalam masalah agama tanpa
sandaran adalah tidak sah.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi
kepada:
a). ljma` qath`i
Yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i (pasti) diyakini benar
terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian
yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang
lain.
b). ljma` Zhanni
Yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu zhanni (dugaan), masih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang
dilakukan pada waktu yang lain.
2. Macam-Macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut
didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya ‘illat yang ada pada asal
dan furu’, adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Qiyas Awlawi
Yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama daripada
‘illat yang terdapat pada ashl (pokok). Misalnya mengqiyaskan hukum haram
memukul kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “ah” yang terdapat
dalam surat al-Isra’ ayat 23.
ِ ِ ِ ‫ِإ‬ ‫ِ ِإ‬ ‫ك َأاَّل َت ْعب ُ ِإ ِإ‬
ٍّ ‫ُل هَلَُم ا‬
‫ُأف‬ َ ‫ُدوا اَّل يَّاهُ َوبِالْ َوال َديْ ِن ْح َس انًا َّما َيْبلُغَ َّن عْن َد َك الْكَب َر‬
ْ ‫َأح ُدمُهَا َْأو كاَل مُهَ ا فَاَل َتق‬ َ ُّ‫ض ى َرب‬
َ َ‫َوق‬

‫َواَل َتْن َه ْرمُهَا َوقُ ْل هَلَُما َق ْواًل َك ِرميًا‬

Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan


menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” ( Q.S. Al-Isra’:
23)
Karena alasan (‘illat) sama-sama menyakiti orang tua. Namun, tindakan
memukul dalam hal ini cabang (far’u) lebih menyakiti orang tua sehingga
hukumnya lebih berat dibandingkan dengan haram mengatakan “ah” pada ashl.
b. Qiyas Musawi
Yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama
bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok). Contohnya
keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman Allah surah An-nisa’ :
10.

ْ َ‫ال الْيَتَ َامى ظُل ًْما ِإنَّ َما يَْأ ُكلُو َن فِي بُطُونِِه ْم نَ ًارا َو َسي‬
‫صلَ ْو َن َس ِع ًيرا‬ ِ َّ
َ ‫ِإ َّن الذ‬
َ ‫ين يَْأ ُكلُو َن َْأم َو‬

Yang artinya: “Sebenarnya orang-orang yang memakan harta anak yatim


secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.
Dari ayat di atas kita dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan
atau kesalahan pengelolaan atau salah manajemen yang menyebabkan hilangnya
harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.
c. Qiyas al-Adna
yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada furu’ (cabang) lebih rendah
bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok). Sebagai
contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadhal (riba
yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan
kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini, ‘illat hukumnya
adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan
dan ditakar. Namun ada segi yang lain dari ‘illat gandum yang tidak terdapat pada
apel, yakni apel bukan makanan pokok. Oleh karenanya, ‘illat yang ada pada apel
lebih lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada gandum yang menjadi
makanan pokok.
Apabila dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat yang menjadi
landasan hukum, maka qiyas dapat dibagi menjadi dua macam:
a. Qiyas Jali
Yaitu qiyas yang dinyatakan ‘illatnya secara tegas dalam Al-Qur’an dan
Sunnah atau tidak dinyatakan secara tegas dalam kedua sumber tersebut, tetapi
berdasarkan penelitian kuat dugaan bahwa tidak ada perbedaan antara ashl dan
cabang dari segi kesamaan ‘illatnya. Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua
orang tua dengan larangan mengucapkan “ah” sebagaimana dalam contoh qiyas
awla di atas. Menurut Wahbah al-Zuhaili, qiyas jali ini meliputi apa yang disebut
dengan qiyas awla dan qiyas musawi.
b. Qiyas Khafi
Yaitu qiyas yang ‘illatnya diistinbatkan atau ditarik dari hukum ashl.
Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan memakai benda tajam karena ada
kesamaan ‘illat antara keduanya, yaitu kesengajaan dan permusuhan pada
pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan
dengan menggunakan benda tajam.

C. KEDUDUKAN IJMA’ DAN QIYAS


1. Kedudukan Ijma’
Kebanyakan ulama’ mengetahui bahwa ijma’ merupakan sumber hukum
yang kuat dalam menetapkan hukum Islam dan menduduki tingkatan ketiga dalam
sumber hukum Islam. Kekuatan ijma’ sebagai sumber hukum Islam ditunjukkan
dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadist, di antaranya ialah: QS. An-Nisa: 59.
ِ َّ ِ ِ َ ‫الرس‬ ِ ِ
‫ين َُّأي َها يَا‬ َ ‫ول َوَأطيعُوا اللَّهَ َأطيعُوا‬
َ ‫آمنُوا الذ‬ ُ َّ ‫األم ِر َو ُْأولى‬
ْ ‫م ْن ُك ْم‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Nya),
dan Ulil Amri di antara kamu”
Dengan demikian, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternatif dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa yang di dalam Al-Qur’an atau Al-Hadis tidak
ada atau kurang jelas hukumnya.
2. Kedudukan Qiyas
Dalam peranannya pada agama Islam, qiyas sebagai hujjah (sumber
hukum) Islam yang keempat setelah al-Qur’an, al-hadis, dan ijma’. Seperti yang
sudah kita ketahui, bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad, maka Imam
Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan
qiyas. Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui tentang qiyas dengan benar serta
memungkinkan mujtahid untuk memilih hukum asal yang lebih dekat dengan
objek. Mereka berpendapat demikian dengan berpegang kepada
Firman Allah SWT:
‫ـصا ِر‬ ِ ‫فَـا ْعــتَ ـبِـ ْـيـ ُـر ْوا يَـآ اُ ْو‬
َ ْ‫لى اْالَ ب ـ‬
"Hendaklah kamu mengambil i’tibar (contoh / ibarat / pelajaran). Hai
orang-orang yang berfikiran". (Q.S. Al-Hasyr : 2)
Karena i’tibar artinya adalah "Qiyash Syai’i bisy Syai” (Membanding
sesuatu dengan sesuatu yang lain).

D. PENTINGNYA IJMA’ DAN QIYAS DALAM AGAMA ISLAM


Apabila kita tidak mendapatkan hukum dalam al-Qur’an maupun dalam
As-Sunnah, maka kita tinjau apakah para ulama kaum muslimin telah ijma’.
Apabila ternyata demikian, maka ijma’ mereka kita ambil dan kita laksanakan.
Para ulama bersepakat bahwa yang dijadikan landasan oleh ijma’ hanyalah
Al-Qur’an dan Sunnah. Sementara itu untuk qiyas masih terdapat perbedaan
pendapat. Dalam hal ini para fuqaha terbagi menjadi tiga pendapat: Qiyas tidak
dapat dijadikan landasan bagi ijma’, karena qiyas mempunyai beberapa segi yang
bermacam-macam. Di segi lain kehujjahan qiyas bukanlah sesuatu yang
disepakati, sehingga tidak mungkin qiyas dapat dijadikan landasan bagi ijma’.
Qiyas dengan segala bentuknya dapat dijadikan sandaran ijma’, karena
qiyas adalah hujjah syar’iyyah yang didasarkan pada dalil-dalil nash. Apabila
‘illat suatu qiyas disebutkan dalam nash atau sudah jelas sehingga tidak
memerlukan pembahasan yang mendalam yang dapat menimbulkan perbedaan
persepsi, maka qiyas dapat dijadikan landasan oleh ijma’. Sebaliknya jika ‘illat
suatu qiyas tidak jelas atau tidak disebutkan dalam nash, maka qiyas tersebut tidak
dapat dijadikan landasan ijma .
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa ijma’ dan qiyas adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat
kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nash (Al Qur’an dan hadits). Ia
merupakan dalil-dalil setelah Al-Qur’an dan hadits yang dapat dijadikan pedoman
dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dan qiyas
dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan
kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui
hukumnya.
Adapun dari ijma’ dan qiyas itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan
sebagai hujjah/sumber hukum.
Serta dari ijma’ dan qiyas itu sendiri terdapat beberapa macam. Dari
beberapa versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama
mengenai ijma’ dan qiyas itu sendiri.
B. Kritik dan Saran
makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber
Islam (ijma’ dan qiyas) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat
(masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran
dan kritikan yang konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Hasan, M. (2007). Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Rifa’i, Mochammad. (1973). Ushul Fiqih. Bandung: PT. Alma’arif.
Wahab Khallaf, Abdul. (2003). Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Amani.
Wahab Khallaf, Abdul. (1994). Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Dina Utama.
Syafi’i, Rachmat. (2007). Ilmu Usul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Abu Zahrah, Muhammad. (1994) (2005). Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Karim, A. Syafi’i. (1997) (2001). Fiqih Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Uman, Chaerul, Dkk. (1998). Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai