Anda di halaman 1dari 17

15.

Kaidah ke lima belas

ُّ‫الرُّخُّصُُّّلُُّّتُّنُّاطُُّّبُّالشُّك‬
“Keringanan (rukhsah) itu tidak dikaitkan dengan syak (ragu-ragu)”

Dasar qaidah fiqhiyyah :


a. Dalil Al-Qur’an
Al-Qur’an surah al- Haj ayat 78:

ِ ‫علَ ْي ُك ْم ِفي ال ِد‬


‫ِّين ِم ْن َح َرج‬ َ ‫َو َما َج َع َل‬
“Dan Dia (Tuhan) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama sedikit
kesempitan pun.”
‫سا إِ هَل ُو ْس َع َها‬
ً ‫َّللاُ نَ ْف‬
‫ف ه‬ ُ ِّ‫ََل يُ َك ِل‬
Al-Qur’an surah al- Baqarah ayat 286

“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan


kesanggupannya.”

Al-Qur’an surah al- Baqarah ayat 185

‫َّللاُ ِب ُك ُم ْاليُ ْس َر َو ََل يُ ِريدُ بِ ُك ُم ْالعُ ْس َر‬


‫يُ ِريدُ ه‬
“Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan
bagimu.”

b. Hadits-hadits Nabi SAW.:

َ ‫ب ال ِدِّيْنَ أَ َحدٌ ِإَله‬


ُ‫غلَبَه‬ َ ‫ال ِدِّي ُْن يُ ْس ٌر َولَ ْن يُغَا ِل‬
“Agama (Islam) itu mudah. Tiada seorangpun yang akan bisa
mengalahkan/menguasai agama, bahkan agamalah yang mengalahkan ia”
(HR.Baihaqi dari Abu Hurairah ra.)

kaidah ini masuk dalam kaidah pokok "al-masaqat tazlib al-taisir" Kaidah
ini membatasi ruang kebolehan adanya rukhsah apabila ada kesukaran (masaqah).
Yakni ketidakbolehan mendapatkan rukhsah apabila dihubungkan dengan sesuatu
yang masih belum jelas (samar-samar). Rukshah ialah apa yang disyari'atkan
Allah daripada hukum-hukum sebagai keringanan bagi mukallaf dalam keadaan-
keadaan khusus yang menghendaki keringanan ini.
Rukshah hanya diperbolehkan apabila dikaitkan kepada sesuatu yang telah
meyakinkan, tidak boleh dikaitkan kepada yang masih diragukan .
Umpamanya; dibolehkan menyapu sepatu (khuf) bagi orang berwudhu bila
benar-benar kedua kakinya masih bersih dan telah yang dicuci sebelum
memasukkannya ke dalam sepatu tersebut. Namun apabila diragukan sucinya
kedua kaki tersebut, misalnya ia hanya mencuci yang sebelahnya saja, maka yang
demikian ini tidak boleh adanya rukshah tetapi harus mencuci kaki diwaktu
wudhu itu.
Begitu juga apabila ada seseorang yang pergi ke rumah kakeknya di
sebuah kota yang jaraknya tidak begitu jauh. Atau dengan kata lain belum
mencapai batas jarak yang memperbolehkannya menjama' dan mengqashar
shalat. Tetapi ternyata rumah kakeknya itu tidak di dalam kota, yaïtu masih masuk
lagi kepedalaman. Sehingga tersebut menjadi sangsi, adakah jarak antara tempat
tinggalnya dengan kota tujuan semula ditambah jarak antara kota itu dengan
rumah kakeknya, sudah mencapai batas diperbolehkannya menjama' gashar
ataukah belum? Maka disebabkan karena keraguan ini, ia tidak diperbolehkan
melakukan jama' qashar ini.

16. Kaidah keenam belas


ُّ‫الرُّضُّاُّبُّالشُّيُّئُُّّرُّضُّاُّبُّمُّاُّيُّتُّوُّلُّدُُّّمُّنُّه‬
“Rela terhadap sesuatu adalah (juga) rela terhadap apa yang timbul dari
sesuatu itu”

1. Dasar qaidah fiqhiyyah :


a. Dalil Al-Qur’an
Al-Qur’an surah al-Nisa ayat 29:

ِ َ‫يَا أَيُّ َها الهذِينَ آ َمنُوا ََل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُكم بَ ْينَ ُكم ِب ْالب‬
‫اط ِل ِإ هَل أَن‬
‫عن ت َ َراض ِ ِّمن ُك ْم‬ َ ‫تَ ُكونَ تِ َج‬
َ ً ‫ارة‬
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu."

b. Hadist Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Abi Said
al-Khudry:

َ ‫إِنه َما ْالبَ ْي ُع‬


‫ع ْن ت َ َراض‬
"Sesungguhnya jual beli harus dilakukan dengan suka sama suka."

Qaidah fiqhiyyah muamalah ini adalah sebagai kelanjutan dari qaidah:

ْ َ ‫األ‬
َ ‫ص ُل فِي العَ ْق ِد ِر‬
‫ضي ال ُمتَعَاقِدَي ِْن َونَتِ ْي َجت ُهُ َما إِلتَزَ َماهُ بِااتهعَاقُ ِد‬
“Pada dasarnya pada akad adalah keridhaan kedua belah pihak yang mengadakan
akad hasilnya apa yang saling diiltizamkan oleh perakadan itu.”

Yaitu bahwa bermuamalah, yang sah adalah bermuamalah yang akadnya


dilandasi dengan suka sama suka masing-masing pihak. Dalam bermuamalah
yang akadnya suka sama suka adalah bermuamalah yang tidak didasari oleh
paksaan salah satu pihak, dan bermuamalah yang di dalamnya tidak ada unsur
penipuan dan kezhaliman yang merugikan salah satu pihak. Maksudnya ialah
bahwa seseorang yang telah ridha (suka) akan sesuatu atau telah menerima
terhadap sesuatu atau mengizinkan terhadap sesuatu, maka segala akibat atau
rentetan masalah yang terjadi dari apa yang telah ia terima harus ia terima.
Dengan kata lain, keridhaannya itu berarti menerima segala resiko yang akan
terjadi dari yang telah ia terima. Karena dalam akad, suatu akad lazimnya tidak
dapat difasakh atau dibatalkan oleh salah satu pihak, seperti akad jual-beli, sewa
menyewa dan sebagainya. Berbeda dengan akad yang tidak lazim seperti akad
perwakilan, maka dilaksanakan dengan terpaksa.

Kaidah Fiqhiyah yang serupa dengan kaidah di atas adalah

ُّ‫المتولدُُّّمنُُّّمأذونُُّّفيهُُّّلُُّّأثرُُّّله‬
Kaidah di atas maksudnya bagi seseorang yang telah merelakan atau
memberikan persetujuan terhadap sesuatu, maka segala akibat yang ditimbulkan
dari sesuatu yang disetujuinya itu, berarti ia terima juga. Atau dengan kata lain
bahwa akibat kerelaannya itu, berarti dia juga menerima risiko yang akan terjadi
dari yang telah disetujui (direlakan) itu.
Contohnya:
Seseorang telah ridha membeli rumah yang sudah rusak, maka dia juga
harus ridha, apabila rumah itu runtuh. Apabila telah ridha menikahkan anak, maka
harus ridha pula dengan akibatnya. Apabila ridha beragama Islam. Maka harus
melakukan kewajibannya.

Misalnya orang yang menggadaikan barangnya sebagai jaminan


hutangnya telah mengizinkannya dengan setulus-tulusnya kepada penggadai
untuk memanfaatkannya, kemudian ternyata bahwa barang yang digadainya itu
menjadi rusak, maka si penggadai tidak harus menanggung kerugiannya. Sebab
kerusakan tersebut dari suatu perbuatan yang telah diizinkan oleh orang yang
menggadaikan barang.
Perlu diketahui, bahwa kaidah ini mengecualikan suatu tindakan-tindakan
yang diisyaratkan akibatnya tidak akan membahayakan, misalnya ta'zir yang
dilakukan hakim, guru yang memukul muridnya,dan suami yang memukul
istrinya. Meskipun kesemuanya itu diizinkan, tetapi andaikata pukulan itu
mengakibatkan kematian, maka semuanya (hakim, guru dan suami) tersebut wajib
membayar diyat.
Dengan demikian, apabila bermuamalah dengan cara akad-akad yang
ditentukan syariat sebagaimana diuraikan di tersebut atas, dan ternyata diketahui
sesuatu benda itu ada kekurangannya, maka keridhaan orang yang bermuamalah
(misalnya pembeli) akan menanggung akibat dari keridhaannya.

2. Penerapan Qaidah Fiqhiyyah Muamalah :

ُّ‫الرضاُّبالشيئُّرضاُّبماُّيتولدُّمنه‬
a. Apabila seseorang yang telah ridha membeli barang yang telah cacat,
maka manakala cacat itu bertambah berat, maka tidak ada alternatif lain
baginya, kecuali harus menerimanya.

b. Apabila seseorang yang menggadaikan barangnya sebagai jaminan


utangnya telah mengizinkannya dengan keridhaannya kepada penggadai
untuk memanfaatkannya, kemudian ternyata barang yang digadai itu
terdapat kerusakan, maka sipenggadai tidak harus menanggung
kerugiannya, karena kerusakan tersebut timbul dari suatu perbuatan yang
telah diizinkan oleh orang yang menggadaikan.

c. Jika seorang perempuan ridha dikawini oleh seorang pemuda yang


melarat dan setelah kehidupan rumah tangga berjalan beberapa bulan
keadaan suami bertambah melarat, maka gugatan isteri untuk menfasakh
perkawinannya di muka hakim pengadilan agama lantaran
ketidakmampuan suaminya memberi nafkah, tidak dapat dibenarkan,
karena kemalaratan yang kemudian adalah lahir dari kemalaratan yang
telah diridhakannya.

17. Kaidah ke tujuh belas

ِ ‫س َؤا ُل ُم َعادٌ ِف ْي ْال َج َوا‬


‫ب‬ ُّ ‫ال‬
“Pertanyaan itu diulangi dalam jawaban”

Maksud kaidah ini, ialah bahwa hukum dari suatu jawaban itu terleak pada
soalnya. Misalnya seorang hakim bertanya kepada seseorang Mas!, apakah
istrimu kau ceraikan?" Lalu ia menjawab: Ya". Jawabanya" ini sama dengan: "Ya,
istriku saya ceraikan", sebab pertanyaan itu diulang dalam jawaban. Maka dalam
keadaan ini kedudukan hukum terhadap istri sebagai wanita yang telah ditalak
(diceraikan).
Contohnya:
kalau ada seseorang yang bertanya : apakah kamu mengambil uang si
fulan? Lalu dia menjawab: “ya.” Maka jawaban ini berarti; “ya, saya mengambil
uang si fulan.” jadi ketika seseorang ditanya dengan pertanyan yang panjang dan
banyak, maka ketika ia menjawab pertanyaan itu walau hanya dengan satu kata
saja maka seakan-akan pertanyaan itu terulang atau ada dalam jawaban yang
diberikannya.
Apabila sebuah jawaban itu dengan lafadz yang singkat seperti “ya atau
tidak” atau lainnya setelah sebuah pertanyaan yang panjang dan terperinci, maka
seakan-akan pertanyaan itu terulang dalam jawaban tersebut. Dan tidak boleh bagi
orang yang diberikan pertanyaan untuk meniatkan sesuatu yang lainnya selain
pertanyaan tersebut.

18. Kaidah ke delapan belas

َ ‫ب اِلَى‬
‫سا ِكت قَ ْو ٌل‬ َ ‫ََل يُ ْن‬
ُ ‫س‬
“Yang diam itu tidak bisa dianggap bicara”

a. Uraian Kaidah
Dalam hal kaidah ini, ada Ulama yang telah menyusun kitab yang secara
khusus. Sedangkan redaksi kaidah seperti tersebut di atas, adalah ibarat yang
orisinil dari Iman Syafi'i. Selain itu ada redaksi lain yang semakna, yakni:

‫ض ْال َحاج ِة اِلَى‬ ُّ ‫سا ِكت قو ٌل َولَ ِك ْن ال‬


ِ ‫س ُك ْوتُ ِف ْى َم ْع َر‬ َ ‫ب اِلَى‬
ُ ‫س‬ َ ‫َلَ يُ ْن‬
ِ ‫ْالبَ َي‬
ٌ ‫ان بَ َي‬
‫ان‬
“Perkataan tidak bisa disandarkan kepada yang diam, tetapi sikap diam dalam hal
yang membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan.”

Kepada orang yang diam, suatu keputusan hukum tidak bisa diambil
darinya, kecuali apabila ada qarinah-qarinah yang dapat menguatkannya.
Sedangkan diamnya seseorang yang sedang dibutuhkan keterangannya,dapat
dijadikan dalil adanya suatu keterangan. Misalnya seorang Hakim yang meminta
jawaban kepada seorang terdakwa tentang tuduhan yang dilemparkan kepadanya
dan dia diam saja, maka dengan diamnya ini dapat ditetapkan, bahwa ia
mengingkari tuduhan itu dan kepada si penggugat diwajibkan mendatangkan
bukti-bukti yang meyakinkan.
Begitu juga bagi seorang janda yang diberitahu oleh walinya,bahwa ia
akan dikawinkan dengan seorang laki-laki. Apabila janda itu diam saja, maka
tidak bisa ia dianggap mengucapkan "ya".
Pernyataan ini merupakan bagian pertama dari kaidah ini, yang merupakan
pernyataan dari imam Syafi’i Rahimahullah. makna kaidah ini adalah bahwa suatu
perkataan tidak diperbolehkan untuk disandarkan kepada orang yang diam apabila
dia tidak mengatakannya.

Kaidah ini memiliki implikasi yang banyak, akan kami sebutkan diantanya
adalah sebagai berikut:

1) Jika seseorang melihat orang asing menjual hartanya, kemudian ia


diam saja, maka diamnya ini tidak dianggap memperbolehkan atau
mewakilkan.
2) Jika seseorang melihat orang lain merusak hartanya, kemudian ia
diam, ini bukan berarti izin untuk merusaknya.
3) Di dalam suatu persidangan, seorang hakim tidak diperbolehkan
menetapkan status hukum seseorang yang sedang diadili yang hanya
diam tanpa mengakui dakwaan yang ditunjukkan kepadanya.
b. Diam dalam sesuatu yang ditawarkan merupakan pengakuan

Artinya, diam dalam hal yang diharuskan untuk berbicara merupakan


pengakuan. Pengakuan ini diterima karena kondisi/ kasus yang sedang terjadi
mengharuskan untuk tidak diam saja. Kaidah ini juga memiliki banyak
aplikasi yang diantaranya:
1) Diamnya anak perawan ketika ditawarkan menikah dengan seorang laki-
laki oleh walinya, dianggap sebagai ridho atau persetujuannya.

2) Diamnya orang yang menjadi wakil, dan orang yang dititipi, dianggap
sebagai penerimaan, sela ma tidak ada penolakan secara terang-terangan.

3) Diamnya pembeli sebelum akad jualbeli ketiak penjual memberitahukan


adanya aib pada barang yang akan dijualbelikan, dianggap sebagai
persetujuan dari pembeia akan adanya aib tersebut.

4) Diam dalam hal sewa menyewa dianggap sebagai qabul dan persetujuan,
seperti perkataan seseorang kepada orang yang menempati rumahnya,”
tinggallah kamu didalamnya dengan harga sewa sekian, jika tidak
keluarlah dan pindahlah dari sini,” lalu orang itu hanya diam dan tetap
menempati tempat tersebut, maka dia wajib membayar uang sewa yang
telah disebutkan.

c. Masalah-masalah yang Dikecualikan

Imam Jalaluddin as-Suyuthi mengeluarkan masalah-masalah dan kaidah di


atas ada tujuh, sementara Ulama yang lain berpendapat bahwa selain tujuh
masalah itu, masih ada lagi. Adapun tujuh masalah itu, ialah:

1) Diamnya seorang gadis waktu diberitahu hendak dikawinkan, maka


dianggap memberi izin (tidak menolaknya).7
2) Seorang yang terdakwa seharusnya bersumpah, ketika diminta untuk
bersumpah ternyata diam saja. Maka menurut hukum ia dianggap tidak
berani (tidak mau disumpah).
3) Seorang yang sedang ihram, tetapi dia diam saja ketika temannya datang
dan terus mencukurnya. Menurut hukum, ia wajib membayar fidyah.
4) Seorang yang menjual budak dan waktu itu, budak tersebut diam saja tidak
mau membantah, maka diamnya dianggap sebagai pengakuan, bahwa ia
adalah benar-benar milik orang yang menjualnya.
5) Majikan yang mempunyai hamba sahaya yang merusak hak milk orang
lain, maka wajib mengganti barang yang dirusak budaknya, apabila ia
mengetahui dan diam saja.
6) Sebagian orang kafir yang mengikat perjanjian dengan Kia,langgar janji,
sedangkan sebagian yang lain diam saja. Menurut hukum semua orang
kafir dianggap telah merusak perjanjian tersebut
7) Seorang yang sedang membaca kitab di depan gurunya, dan guru rersebut
diam saja (dengan mendengarkan bacaan yang dibaca), maka hacaan orang
tersebut dianggap sebagaimana bacaan guru.

Dasamya adalah hadits Nabi SAW. "Janganlah dinikahkan perempuan


janda sebelum diajak bermusyawarah..". (HR. Jama'ah ahli hadits). Lihat. H.
Sulaiman Rasjid, op. cit., hlm. 366.
Sebagaimana Hadits Nabi SAW., pada waktu para sahabat bertanya
mengena perawan yang diminta izin untuk dikawinkan walinya, "Bagaimana cara
izin peranan itu, ya Rasulullah?" Jawab Rasululah: "Diamnya tanda izinnya". (HR
Jama'ah ahli hadits)

19. Kaidah ke sembilan belas

ً‫ضل‬
ْ َ‫َما َكانَ اَ ْكث َ ُر ِف ْعلً َكانَ اَ ْكثَ ُر ف‬
“Apa yang lebih banyak perbuatannya, tentu lebih banyak
keutamaannya”
a. Dasar Pengambilan
Kaidah di atas bermula dari sabda Rasulullah SAW. kepada istri beliau
Aisyah ra. yang berbunyi:
)‫(ر َواهُ ُم ْس ِل ٌم‬ َ َ‫علَى قَ ْد ِر ن‬
َ ‫ص ِب َك‬ َ ‫اَ ْج ُر َك‬
Artinya:
“Besarnya pahalamu tergantung pada usahamu. (HR. Muslim)

Misalnya sedekah seribu rupiah, pahalanya lebih banyak daripada sedekah


seratus rupiah. Juga bagi orang yang menjalankan sendiri-sendiri dua macam
ibadah adalah lebih baik daripada menjalankan secara merangkapnya. Contohnya
menjalankan ibadah haji ifrad (menjalankan ihram haji dulu kemudian terus haji,
melaksanakan ihram 'umrah dulu baru kemudian melakukan umrah, yang masing-
masing dikerjakan sendiri-sendini) adalah lebih baik daripada menjalankan haji
qiran yang semuanya dilaksanakan bersama-sama serentak.

Selain itu menurut sementara ulama ada yang berpendapat bahwa kaidah
ini juga didasarkan kepada firman Allah SWT (QS, An-Najm: 39-41).

‫ف يُ َر ٰى‬ َ ‫] َوأَ هن‬٥٣:٣٩[ ‫س َع ٰى‬


َ ُ‫س ْعيَه‬
َ ‫س ْو‬ َ ‫ان إِ هَل َما‬ ِ ‫س‬ َ ‫ْلن‬ َ ‫َوأَن لهي‬
ِ ْ ‫ْس ِل‬
]٥٣:٤١[ ‫]ث ُ هم يُ ْجزَ اهُ ْال َجزَ ا َء ْاأل َ ْوفَ ٰى‬٥٣:٤٠[
"Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
diusahakan. Dan bahwasanya usaba itu akan diperlibatkan, kemudian akan diberi
balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna."

Contoh kaidah:
1. Shalat witir dengan fashl (tiga rakaat dengan dua salam) lebih utama dari
pada washl (tiga rakaat dengan satu salam) karena bertambahnya
niat,takbir dan salam.
2. Orang melakulan shalat sunah dengan duduk, maka pahalanya setengan
dari pahala orang yang shalat sambil berdiri. Orang yang shalat tidur
mirung, maka pahalanya adalah setengah dari orang yangh shalat dengan
duduk.
3. Memisahkan pelaksanaan antara ibadah haji dengan umrah adalah lebih
utama dari pada melaksanakan bersama-sama.

Sebagaimana redaksi kaidah di atas bahwa barangsiapa mengerjakan


sesuatu yang banyak maka ia mendapatkan keutamaan yang banyak pula. Tentu
maksud kaidah ini hanya terbatas pada hal-hal yang merupakan kebaikan, sebab
tidak mungkin pada suatu kejahatan itu akan mendapatkannya, justru sebaliknya,
makin banyak perbuatannya, makin banyak pula dosanya. Selain itu juga terbatas
oleh perbuatan-perbuatan yang memang sudah ditetapkan (diatur) oleh syara' dan
tidak menyalahi dari ketetapan itu. Misalnya melaksanakan sembahyang witir
dengan memisah-misahkan lebih utama daripada dengan secara bersambung,
karena dengan memisah-misahkan berarti memperbanyak niat takbir dan salam.
Begitu pula bagi orang yang melaksanakan sembahyang dhuha delapan rakaat,
pahalanya lebih banyak daripada dua rakaat.

b. Masalah-masalah yang dikecualikan


Ketentuan-ketentuan di atas, tentunya banyak pula masalah yang harus
keluar dari kaidah di atas, sehingga tidak bisa dimasukkan kedalam ketentuan-
ketentuan terhadap kaidah tersebut.
Menurut Imam Jalaluddin As-Suyuthi ada tiga belas masalah yang harus
dikeluarkannya, yaitu :

1) Dalam perjalanannya seorang musafir yang telah mencapai igamarhalah (t


135 km), menjalankan shalat gashar itu lebih bak daripada
menyempumakannya.
2) Shalat qashar (shalat dzuhur, ashar dan 'isya, yang masing-masing hanya
dikerjakan dua rakaat), maka apabila telah mencapai marhalah tersebut,
maka kedudukannya lehih baik apabila dilakukan secara sempurna yaitu
dengan mengerjakan empat rakaat.
3) Shalat dhuha delapan raka'at, lebih utama daripada dikerjakan 12 rakaat.
4) Shalat witir tiga rakaat, lebih utama daripada dikerjakan lebih dari tiga
rakaat.
5) Shalat Shubuh (dua rakaat) lebih utama daripada shalat fardhu lain (yang
kesemuanya dikerjakan lebih dari dua).
6) Shalat witir satu rakaat, lebih utama daripada shalat sunat fajar. Juga lebih
utama daripada shalat tahajud, walaupun rakaatnya lebih banyak.
7) Walaupun shalat gerhana rakaatnya lebih panjang, tetapi masih lebih
utama mengerjakan shalat hari raya.
8) Shalat sunnah fajar tanpa tathwil (memperpanjang atau memperlama)
adalah lebih utama daripada dengan tatwil.
9) Membaca al-Quran satu surat penuh (meskipun pendek) dalam shalat
adalah lebih baik daripada membaca surat panjang tetapi tidak selesai.
Dengan catatan bahwa tidak ada dalilnya secara khusus, maka dalil itu
lebih kuat.
10) Berkumur (dalam berwudhu) sambil sekaligus menghisap air kedalam
hidung tiga kali, lebih utama daripada dipisah, dengan berkumur sendiri
tiga kali, baru kemudian menghisap air ke hidung tiga kali.
11) Menjalankan haji dan wuquf di Arafah dengan berkendaraan adalah lebih
utama daripada berjalan kaki, meskipun berjalan kaki lebih berat, sebab
menunaikan haji dengan berkendaraan itu mengikuti sunnah Rasulullah.
12) Ihram dari Miqat lebih utama daripada ihram dari desa tempat
13) Shalat berjamaah sekali, lebih utama daripada 25 kali dengan tidak
berjamaah.berkurban
14) Bersedekah daging kurban setelah orang yang ambil berkah dengan
menikmati dagingnya barang sedikit adalab lebih baik daripada
bersedekah seluruh dagingnya.

Selain dari empat belas di atas, para ulama masih ada yang menambahkan
lagi, terutama mengenai masalah-masalah yang mempunyai dalil bahwa yang
sedikit itulah yang lebih baik daripada yang banyak.
50 "Lihat H. Muhlish Usman, op. cit., hlm. 161.
Lihat sebagaimana dikutip Moh. Adip Bisni, Terjemah Al-Faraid al-Babiyyab
(Risalah Qawa'id Figh), op. cit, hlm. 51-52

Shalat dhuha itu minimal 8 rakaat dan maksimal 12 rakaat, Tetapi karena Nabi
sering mengerjakan 8 rakaat, maka biarpun sedikit daripada 12 rakaat, maka lebih
utama hanya dijalankan 8 rakaat. Baca Muhtar Yahya dan Fatchurrahman, op. cit,
hlm.537
Miqat yakni tempat (makani) dan masa-masa (zamani) yang telah ditentukan.
(zamani) yaitu dari awal bulan Syawal sampai terbit fajar hari raya Haji.

20. Kaidah ke dua puluh

ِ َ‫ض ُل ِمنَ اْلق‬


‫اص ِر‬ َ ‫ال ُمتَعَ ِدِّى ا َ ْف‬
“Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain, lebih utama daripada
yang terbatas untuk kepentingan sendiri”

Berdasarkan kaidah di atas bahwa suatu perbuatan yang dapat


menghasilkan kemanfaatan yang dapat mencakup kepada orang lain, yakni dapat
dirasakan kemanfaatannya itu oleh orang lain yang tidak melakuan perbuatan itu,
maka lebih baik daripada suatu perbuatan yang manfaatnya hanya dapat dirasakan
oleh orang yang melakukannya itu saja. Dengan berdasarkan kaidah di atas, Imam
Syafi'i berpendapat, bahwa mencari Ilmu itu lebih utama daripada shalat sunnat.
Sebab mencari ilmu akan dapat dimanfaatkan oleh orang banyak, sedangkan
manfaat shalat sunnat hanyalah bagi diri si pelakunya sendiri. Oleh sebab itulah
Nabi Sulaiman as. ketika mendapat tawaran dari Allah SWT. mana yang lebih
disukai, dikaruniai ilmu atau mendapat kerajaan. Ternyata beliau memilih ilmu,
sebab beliau tahu, bahwa dengan ilmu seseorang bisa saja menjadi raja, tetapi raja
yang tidak berbekal ilmu, hanya akan merupakan boneka bermahkota saja. Begitu
pula Abu Ishaq, Imam Ibrahim dan ayahnya berdasarkan kaidah di atas
berpendapat, bahwa fardhu kifayah itu lebih utama danipada fardhu 'Ain. Sebab
fardhu kifayah dapat membebaskan kewajiban umat, sedangkan fardhu 'Ain hanya
membebaskan dirinya (pelakunya) saja dari tuntutan kewajiban. Walaupun
kedudukan kaidah ini sangat masyhur dalam penggalian dan penerapan hukum
Islam, tetapi Imam 'Izzuddin tidak setuju apabila diithlaqkan (pasti, artinya bahwa
semua amal muta'addi/mencakup kepentingan orang lain, itu pasti lebih utama
daripada amal qashir/ kepentingan sendiri). Beliau berpendapat bahwa sebagian
amal qashir ada yang lebih utama daripada amal muta'addi, seperti Iman adalah
lebih utama daripada amal yang lain; dzikir lebih utama daripada jihad.
Beliau selanjutnya menukil fatwa Imam Ghazali dalam Ihya'nya:

‫ع ْن َها‬ َ ‫علَى قَ ْد ِر ْال َم‬


َ ‫صا ِلحِ النها ِشئ َ ِة‬ َ ‫ت‬
ِ ‫عا‬ ‫ض َل ه‬
َ ‫الطا‬ َ ‫ِإ هن أَ ْف‬
"Sesungguhnya ketaatan yang lebih utama adalah menurut kadar
kemaslahatan timbul darinya".

Sedangkan Ibnu Qoyyim menyatakan:

‫ت للاِ ِفي ُك ِِّل َو ْقت ِب َما ُه َو‬ َ ‫ت ْالعَ َم ُل‬


َ ‫علَى َم ْر‬
ِ ‫ضا‬ ِ ‫ض َل ْال ِع َبادَا‬ َ ‫اِ هن أَ ْف‬
‫ت َو َو ِظ ْيفَ ِت ِه‬ِ ‫ض ذَا ِل َك ْال َو ْق‬َ َ‫ُم ْقت‬
"Ibadah yang paling utama ialah amalan yang diridlai oleh Allah yang
sesuai dengan tuntutan waktu dan perintah melakukan waktunya".
Sebenarnya apabila sebelumnya kita mengetahui sifat kaidah fikih itu
aghlabiyah. Maka tentunya tidaklah ada perselisihan pendapat mengenainya,
sebab disatu sisi ada masalah-masalah yang masuk, namun ada pula yang
dikecualikan.
21. Kaidah ke dua puluh satu

‫ض ُل ِمنَ ْالنه ْف ِل‬


َ ‫ض ا َ ْف‬
ُ ‫الفَ ْر‬
“Fardhu itu lebih utama daripada sunnah”

Dasar kaidah
Kaidah ini merupakan kesimpulan beberapa hadits yang menerangkan
pengertian di atas dengan berbagai redaksi yang berbeda, diantaranya hadits qudsi
yang diriwayatkan Ibn Khuzaymah ra:
‫ َكانَ َك َم ْن أَدهى‬، ‫صا ِل ْال َخي ِْر‬
َ ‫ص َلة ِم ْن ِخ‬ ْ ‫ب ِفي ِه ِب َخ‬ َ ‫ضانَ َم ْن تَقَ هر‬ َ ‫ش ْه ِر َر َم‬َ ‫ِفي‬
‫ضةً ِفي‬ َ ‫ َكانَ َك َم ْن أَدهى‬، ‫ضةً ِفي ِه‬
َ ‫س ْبعِينَ فَ ِري‬ َ ‫ َو َم ْن أَدهى فَ ِري‬، ُ‫ضةً ِفي َما ِس َواه‬ َ ‫فَ ِري‬
)‫ى‬ ِ َ‫س ْل َمانَ الف‬
ِّ ‫ار ِس‬ َ ‫ع ْن‬َ ‫(ر َواهُ ا ْب ُن ُخزَ ْي َم ِة‬ َ
َ ‫غي ِْر ِه‬
“Sesungguhnya Rasullah bersabda: Barang siapa yang melakukan taqorrub
(ibadah sunnah) kepda Allah SWT. Di bulan ramadlon, maka ia akan
mendapakan pahala sebagai ia melakukan satu ibadah fardu dibulan ramadlon,
maka seperti halnya mengerjakan 70 kali ibadah faardu pada selain bulan
romadlon ”
Dalam hadits ini Nabi telah memperbandingkan adalah sunnah dalam
bulan ramadhon dengan fardlu diluar romadhon, dan antara fard‫ا‬u dibulan
romdhon dengan 70 fardhu dibulan romdhon. Semua ini memberi pengertian
bahwa fardhu itu lebih utama daripada sunnat dengan 70 derajat/tingkat.

Kaidah di atas didasarkan juga pada sabda Rasulullah SAW.

‫علَ ْي ِه ْم َو ََل َيزَ ا ُل‬ ْ ‫ي ِم هما ا ْفتَ َر‬


َ ُ‫ضت‬ ُّ ‫ئ أَ َح‬
‫ب إِلَ ه‬ ٌ ‫ش ْي‬
َ ‫ع ْب ِدى‬َ ‫ب إِلَى‬ ُ ‫َو َما تَقَ هر‬
) ‫ي ِبالنه َوافِ ِل َحت هی أ ُ ِحبُّهُ ( رواه البخاری‬ ‫ب اِلَ ه‬
ُ ‫ع ْب ِدى َيتَقَ هر‬
َ
"Tidaklah seorang hambaku bertaqarrub (mendekatkan diri) kepadaKu
yang lebih Aku sukai, kecuali melaksanakan apa yang telah aku fardhukan
kepadanya, dan tidak henti-hentinya hamba-Ku mendekatka diri pada-Ku dengan
melaksanakan ibadah-ibadah sunnah sehingg Aku mencintainya". (HR. Bukhari
dari Abu Hurairah).
Sebagaimana redaksi kaidah dan hadits di atas, secara jelas mermberikan
maksud bahwa suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu ketetapan yang
diwajibkan, itu kedudukannya lebih utama daripada melaksanakan suatu
ketetapan yang disunnahkan. Dari sinilah kiranya menjadi logis apabila suatu
tugas yang diwajibkan itu lebih utama daripada tugas sukarela, sehingga orang
dapat menyelesaikan tugas dengan sukses akan lebih mulia daripada orang yang
hanya dapat menyelesaikan tugas-tugas tambahan saja.
Misalnya seseorang yang masih mempunyai tanggungan menggadha'
puasa Ramadhan, kemudian ia melakukan puasa bulan Syawal dengan niatan
puasa sunnah, maka yang lebih utama dan yang lebih baik adalah melaksanakan
qadha' puasa Ramadhan terlebih dahulu daripada puasa bulan Syawalnya, sebab
yang lebih penting adalah mengqadha puasa yang wajib (puasa Ramadhan).
Ibadah merupakan suatu keharusan yang dikenal dengan fardlu atau wajib,
ada pula yang hanya dianjurkan pengamalannya (sunah). Perdebatan karasteristik
semacm ini merupakan memberi pengaruh pada tinggi rendahnya derajat ibadah.

Namun demikian ada beberapa masalah yang dikeluarkan dari kaidah ini,
Yaitu:
a. Masalah Ibra' al-Mu'sir, yaitu membebaskan hutang orang yang tidak
mampu melunasinya. Sehingga meskipun ibra' (membebaskan) itu sunnah,
namun kedudukannya lebih utama daripada indhar (memberi tempo) yang
hukumnya wajib. Ini sesuai dengan firman Allah,
“Dan jika (ia) orang yang kesukaran, maka penanggubannya sampai
berkelapangan. Dan pensedekahanmu adalah lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.” QS. Al-Baqarah: 280).

b. Memulai dahulu memberikan salam kepada setiap orang yang bertemu itu
adalah hukumnyasunnah, sedangkan jawaban dari orang Yang
mendengarkan adalah wajib. Tetapi walaupun memulai ini hukumnya
sunnah, kedudukannya lebih utama bagi orang yang menjawab dengan wajib
hukumnya tersebut. Sabda Nabi SAW.

) ‫س َل ِم ( رواه ابوداود‬
‫اح َبهُ ِبال ه‬
ِ ‫ص‬َ َ‫َو َخ ْي ُر ُه َما له ِذي َبدَأ‬
"Dan yang terbaik dari keduanya ialah yang memulai memberikan salam
kepada temannya". (HR. Abu Daud).
c. Orang yang wajib mengalah dalam suatu pertengkaran, adalah theyang
bersalah, sedangkan yang benar, mengalah itu sunnah, demi 2redanya
pertengkaran itu. Namun mengalahnya orang yang benar, niadalah lebih
baik daripada mengalahnya orang yang salah.
d. Melakukan wudhu sebelum masuk waktu sembahyang adalah lebih baik
daripada setelah masuk waktu sembahyang, yaitu waktu bagi andiwajibkan
wudhu. Sebab mengandung kemaslahatan dan membuat hati menjadi
tenteram.

e. Wajib sabar bagi seseorang yang bersalah terhadap orang lain, lalu ia
dimaki-maki. Tetapi bila orang itu tidak bersalah dan dimaki-maki b maka ia
disunnahkan untuk bersabar. Dari keduanya yang lebih baik adalah apabila
ia dimaki-maki sedangkan ia tidak bersalah.

f. Hukum beradzan itu sunnah, sedangkan menjadi Imam shalat Jum'at adalah
wajib. Namun dari keduanya, melakukan adzan kedudukannya lebih utama
daripada menjadi Imam Shalat Jumat.

Ibadah merupakan suatu keharusan yang dikenal dengan fardlu atau wajib,
ada pula yang hanya dianjurkan pengamalannya (sunah). Perdebatan karakteristik
semacm ini merupakan memberi pengaruh pada tinggi rendahnya derajat ibadah.

Anda mungkin juga menyukai