ُّالرُّخُّصُُّّلُُّّتُّنُّاطُُّّبُّالشُّك
“Keringanan (rukhsah) itu tidak dikaitkan dengan syak (ragu-ragu)”
kaidah ini masuk dalam kaidah pokok "al-masaqat tazlib al-taisir" Kaidah
ini membatasi ruang kebolehan adanya rukhsah apabila ada kesukaran (masaqah).
Yakni ketidakbolehan mendapatkan rukhsah apabila dihubungkan dengan sesuatu
yang masih belum jelas (samar-samar). Rukshah ialah apa yang disyari'atkan
Allah daripada hukum-hukum sebagai keringanan bagi mukallaf dalam keadaan-
keadaan khusus yang menghendaki keringanan ini.
Rukshah hanya diperbolehkan apabila dikaitkan kepada sesuatu yang telah
meyakinkan, tidak boleh dikaitkan kepada yang masih diragukan .
Umpamanya; dibolehkan menyapu sepatu (khuf) bagi orang berwudhu bila
benar-benar kedua kakinya masih bersih dan telah yang dicuci sebelum
memasukkannya ke dalam sepatu tersebut. Namun apabila diragukan sucinya
kedua kaki tersebut, misalnya ia hanya mencuci yang sebelahnya saja, maka yang
demikian ini tidak boleh adanya rukshah tetapi harus mencuci kaki diwaktu
wudhu itu.
Begitu juga apabila ada seseorang yang pergi ke rumah kakeknya di
sebuah kota yang jaraknya tidak begitu jauh. Atau dengan kata lain belum
mencapai batas jarak yang memperbolehkannya menjama' dan mengqashar
shalat. Tetapi ternyata rumah kakeknya itu tidak di dalam kota, yaïtu masih masuk
lagi kepedalaman. Sehingga tersebut menjadi sangsi, adakah jarak antara tempat
tinggalnya dengan kota tujuan semula ditambah jarak antara kota itu dengan
rumah kakeknya, sudah mencapai batas diperbolehkannya menjama' gashar
ataukah belum? Maka disebabkan karena keraguan ini, ia tidak diperbolehkan
melakukan jama' qashar ini.
ِ َيَا أَيُّ َها الهذِينَ آ َمنُوا ََل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُكم بَ ْينَ ُكم ِب ْالب
اط ِل ِإ هَل أَن
عن ت َ َراض ِ ِّمن ُك ْم َ تَ ُكونَ تِ َج
َ ً ارة
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu."
b. Hadist Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Abi Said
al-Khudry:
ْ َ األ
َ ص ُل فِي العَ ْق ِد ِر
ضي ال ُمتَعَاقِدَي ِْن َونَتِ ْي َجت ُهُ َما إِلتَزَ َماهُ بِااتهعَاقُ ِد
“Pada dasarnya pada akad adalah keridhaan kedua belah pihak yang mengadakan
akad hasilnya apa yang saling diiltizamkan oleh perakadan itu.”
ُّالمتولدُُّّمنُُّّمأذونُُّّفيهُُّّلُُّّأثرُُّّله
Kaidah di atas maksudnya bagi seseorang yang telah merelakan atau
memberikan persetujuan terhadap sesuatu, maka segala akibat yang ditimbulkan
dari sesuatu yang disetujuinya itu, berarti ia terima juga. Atau dengan kata lain
bahwa akibat kerelaannya itu, berarti dia juga menerima risiko yang akan terjadi
dari yang telah disetujui (direlakan) itu.
Contohnya:
Seseorang telah ridha membeli rumah yang sudah rusak, maka dia juga
harus ridha, apabila rumah itu runtuh. Apabila telah ridha menikahkan anak, maka
harus ridha pula dengan akibatnya. Apabila ridha beragama Islam. Maka harus
melakukan kewajibannya.
ُّالرضاُّبالشيئُّرضاُّبماُّيتولدُّمنه
a. Apabila seseorang yang telah ridha membeli barang yang telah cacat,
maka manakala cacat itu bertambah berat, maka tidak ada alternatif lain
baginya, kecuali harus menerimanya.
Maksud kaidah ini, ialah bahwa hukum dari suatu jawaban itu terleak pada
soalnya. Misalnya seorang hakim bertanya kepada seseorang Mas!, apakah
istrimu kau ceraikan?" Lalu ia menjawab: Ya". Jawabanya" ini sama dengan: "Ya,
istriku saya ceraikan", sebab pertanyaan itu diulang dalam jawaban. Maka dalam
keadaan ini kedudukan hukum terhadap istri sebagai wanita yang telah ditalak
(diceraikan).
Contohnya:
kalau ada seseorang yang bertanya : apakah kamu mengambil uang si
fulan? Lalu dia menjawab: “ya.” Maka jawaban ini berarti; “ya, saya mengambil
uang si fulan.” jadi ketika seseorang ditanya dengan pertanyan yang panjang dan
banyak, maka ketika ia menjawab pertanyaan itu walau hanya dengan satu kata
saja maka seakan-akan pertanyaan itu terulang atau ada dalam jawaban yang
diberikannya.
Apabila sebuah jawaban itu dengan lafadz yang singkat seperti “ya atau
tidak” atau lainnya setelah sebuah pertanyaan yang panjang dan terperinci, maka
seakan-akan pertanyaan itu terulang dalam jawaban tersebut. Dan tidak boleh bagi
orang yang diberikan pertanyaan untuk meniatkan sesuatu yang lainnya selain
pertanyaan tersebut.
َ ب اِلَى
سا ِكت قَ ْو ٌل َ ََل يُ ْن
ُ س
“Yang diam itu tidak bisa dianggap bicara”
a. Uraian Kaidah
Dalam hal kaidah ini, ada Ulama yang telah menyusun kitab yang secara
khusus. Sedangkan redaksi kaidah seperti tersebut di atas, adalah ibarat yang
orisinil dari Iman Syafi'i. Selain itu ada redaksi lain yang semakna, yakni:
Kepada orang yang diam, suatu keputusan hukum tidak bisa diambil
darinya, kecuali apabila ada qarinah-qarinah yang dapat menguatkannya.
Sedangkan diamnya seseorang yang sedang dibutuhkan keterangannya,dapat
dijadikan dalil adanya suatu keterangan. Misalnya seorang Hakim yang meminta
jawaban kepada seorang terdakwa tentang tuduhan yang dilemparkan kepadanya
dan dia diam saja, maka dengan diamnya ini dapat ditetapkan, bahwa ia
mengingkari tuduhan itu dan kepada si penggugat diwajibkan mendatangkan
bukti-bukti yang meyakinkan.
Begitu juga bagi seorang janda yang diberitahu oleh walinya,bahwa ia
akan dikawinkan dengan seorang laki-laki. Apabila janda itu diam saja, maka
tidak bisa ia dianggap mengucapkan "ya".
Pernyataan ini merupakan bagian pertama dari kaidah ini, yang merupakan
pernyataan dari imam Syafi’i Rahimahullah. makna kaidah ini adalah bahwa suatu
perkataan tidak diperbolehkan untuk disandarkan kepada orang yang diam apabila
dia tidak mengatakannya.
Kaidah ini memiliki implikasi yang banyak, akan kami sebutkan diantanya
adalah sebagai berikut:
2) Diamnya orang yang menjadi wakil, dan orang yang dititipi, dianggap
sebagai penerimaan, sela ma tidak ada penolakan secara terang-terangan.
4) Diam dalam hal sewa menyewa dianggap sebagai qabul dan persetujuan,
seperti perkataan seseorang kepada orang yang menempati rumahnya,”
tinggallah kamu didalamnya dengan harga sewa sekian, jika tidak
keluarlah dan pindahlah dari sini,” lalu orang itu hanya diam dan tetap
menempati tempat tersebut, maka dia wajib membayar uang sewa yang
telah disebutkan.
ًضل
ْ ََما َكانَ اَ ْكث َ ُر ِف ْعلً َكانَ اَ ْكثَ ُر ف
“Apa yang lebih banyak perbuatannya, tentu lebih banyak
keutamaannya”
a. Dasar Pengambilan
Kaidah di atas bermula dari sabda Rasulullah SAW. kepada istri beliau
Aisyah ra. yang berbunyi:
)(ر َواهُ ُم ْس ِل ٌم َ َعلَى قَ ْد ِر ن
َ ص ِب َك َ اَ ْج ُر َك
Artinya:
“Besarnya pahalamu tergantung pada usahamu. (HR. Muslim)
Selain itu menurut sementara ulama ada yang berpendapat bahwa kaidah
ini juga didasarkan kepada firman Allah SWT (QS, An-Najm: 39-41).
Contoh kaidah:
1. Shalat witir dengan fashl (tiga rakaat dengan dua salam) lebih utama dari
pada washl (tiga rakaat dengan satu salam) karena bertambahnya
niat,takbir dan salam.
2. Orang melakulan shalat sunah dengan duduk, maka pahalanya setengan
dari pahala orang yang shalat sambil berdiri. Orang yang shalat tidur
mirung, maka pahalanya adalah setengah dari orang yangh shalat dengan
duduk.
3. Memisahkan pelaksanaan antara ibadah haji dengan umrah adalah lebih
utama dari pada melaksanakan bersama-sama.
Selain dari empat belas di atas, para ulama masih ada yang menambahkan
lagi, terutama mengenai masalah-masalah yang mempunyai dalil bahwa yang
sedikit itulah yang lebih baik daripada yang banyak.
50 "Lihat H. Muhlish Usman, op. cit., hlm. 161.
Lihat sebagaimana dikutip Moh. Adip Bisni, Terjemah Al-Faraid al-Babiyyab
(Risalah Qawa'id Figh), op. cit, hlm. 51-52
Shalat dhuha itu minimal 8 rakaat dan maksimal 12 rakaat, Tetapi karena Nabi
sering mengerjakan 8 rakaat, maka biarpun sedikit daripada 12 rakaat, maka lebih
utama hanya dijalankan 8 rakaat. Baca Muhtar Yahya dan Fatchurrahman, op. cit,
hlm.537
Miqat yakni tempat (makani) dan masa-masa (zamani) yang telah ditentukan.
(zamani) yaitu dari awal bulan Syawal sampai terbit fajar hari raya Haji.
Dasar kaidah
Kaidah ini merupakan kesimpulan beberapa hadits yang menerangkan
pengertian di atas dengan berbagai redaksi yang berbeda, diantaranya hadits qudsi
yang diriwayatkan Ibn Khuzaymah ra:
َكانَ َك َم ْن أَدهى، صا ِل ْال َخي ِْر
َ ص َلة ِم ْن ِخ ْ ب ِفي ِه ِب َخ َ ضانَ َم ْن تَقَ هر َ ش ْه ِر َر َمَ ِفي
ضةً ِفي َ َكانَ َك َم ْن أَدهى، ضةً ِفي ِه
َ س ْبعِينَ فَ ِري َ َو َم ْن أَدهى فَ ِري، ُضةً ِفي َما ِس َواه َ فَ ِري
)ى ِ َس ْل َمانَ الف
ِّ ار ِس َ ع ْنَ (ر َواهُ ا ْب ُن ُخزَ ْي َم ِة َ
َ غي ِْر ِه
“Sesungguhnya Rasullah bersabda: Barang siapa yang melakukan taqorrub
(ibadah sunnah) kepda Allah SWT. Di bulan ramadlon, maka ia akan
mendapakan pahala sebagai ia melakukan satu ibadah fardu dibulan ramadlon,
maka seperti halnya mengerjakan 70 kali ibadah faardu pada selain bulan
romadlon ”
Dalam hadits ini Nabi telah memperbandingkan adalah sunnah dalam
bulan ramadhon dengan fardlu diluar romadhon, dan antara fardاu dibulan
romdhon dengan 70 fardhu dibulan romdhon. Semua ini memberi pengertian
bahwa fardhu itu lebih utama daripada sunnat dengan 70 derajat/tingkat.
Namun demikian ada beberapa masalah yang dikeluarkan dari kaidah ini,
Yaitu:
a. Masalah Ibra' al-Mu'sir, yaitu membebaskan hutang orang yang tidak
mampu melunasinya. Sehingga meskipun ibra' (membebaskan) itu sunnah,
namun kedudukannya lebih utama daripada indhar (memberi tempo) yang
hukumnya wajib. Ini sesuai dengan firman Allah,
“Dan jika (ia) orang yang kesukaran, maka penanggubannya sampai
berkelapangan. Dan pensedekahanmu adalah lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.” QS. Al-Baqarah: 280).
b. Memulai dahulu memberikan salam kepada setiap orang yang bertemu itu
adalah hukumnyasunnah, sedangkan jawaban dari orang Yang
mendengarkan adalah wajib. Tetapi walaupun memulai ini hukumnya
sunnah, kedudukannya lebih utama bagi orang yang menjawab dengan wajib
hukumnya tersebut. Sabda Nabi SAW.
) س َل ِم ( رواه ابوداود
اح َبهُ ِبال ه
ِ صَ ََو َخ ْي ُر ُه َما له ِذي َبدَأ
"Dan yang terbaik dari keduanya ialah yang memulai memberikan salam
kepada temannya". (HR. Abu Daud).
c. Orang yang wajib mengalah dalam suatu pertengkaran, adalah theyang
bersalah, sedangkan yang benar, mengalah itu sunnah, demi 2redanya
pertengkaran itu. Namun mengalahnya orang yang benar, niadalah lebih
baik daripada mengalahnya orang yang salah.
d. Melakukan wudhu sebelum masuk waktu sembahyang adalah lebih baik
daripada setelah masuk waktu sembahyang, yaitu waktu bagi andiwajibkan
wudhu. Sebab mengandung kemaslahatan dan membuat hati menjadi
tenteram.
e. Wajib sabar bagi seseorang yang bersalah terhadap orang lain, lalu ia
dimaki-maki. Tetapi bila orang itu tidak bersalah dan dimaki-maki b maka ia
disunnahkan untuk bersabar. Dari keduanya yang lebih baik adalah apabila
ia dimaki-maki sedangkan ia tidak bersalah.
f. Hukum beradzan itu sunnah, sedangkan menjadi Imam shalat Jum'at adalah
wajib. Namun dari keduanya, melakukan adzan kedudukannya lebih utama
daripada menjadi Imam Shalat Jumat.
Ibadah merupakan suatu keharusan yang dikenal dengan fardlu atau wajib,
ada pula yang hanya dianjurkan pengamalannya (sunah). Perdebatan karakteristik
semacm ini merupakan memberi pengaruh pada tinggi rendahnya derajat ibadah.