Disusun Oleh:
Kelompok 8
OKTOBER 2021
BAB II
PEMBAHASAN
1Tim Majlis Tarjih dan Tadid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tanya Jawab Agama 2. Yogyakarta: Yayasan
Penerbit Pers “Suara Muhammadiyah”, 2003
6
d. Harga yang disepakati tidak dapat dirubah.
Menurut riwayat Abu Dawud: Barangsiapa melakukan dua jual-beli dalam satu
transaksi, maka baginya harga yang murah atau ia termasuk riba'.
Di dalam Silsilatul Ahaditsish shahihah, dengan sangat jelas AlAlbanie
menyatakan:
فإنكإق يليإا مإا رتيسإإإإر لإق كإا ر ر يعإق الحإا إة بنمن وا إق ك إقا أو كسإإإإيمإةر بإا مه
المعرول الي ب ب يع الت سإإإي ر مع ك كها با رطل ن منق زرادة في بيع النسإإإيمة ر و
من باع بيعتين في بيعة فله أوكسهما أو الربا: في صررح ي له صلى لال عليه وسل
2 Q.S. An-Nisa(4):161
7
Berdasarkan ayat diatas bahwa Allah SWT telah mengharamkan bagi
hambanya yang melakukan riba. Maka dalil ini menjelaskan tentang
pengharaman hukum jual beli secara kredit karena jual beli secara kredit dalam
pelaksanaannya terdapat penambahan harga dari harga semula maka
penambahan harga tersebut dihukumi riba, dan sebagaimana yang kita ketahui
bahwasannya riba itu hukumnya haram.
2) Hukum jual beli kredit
Jual beli sistem kredit, yaitu jual beli dengan penundaan pembayarannya. Hal
ini dibolehkan sebagaimana diberitakan Aisyah r.a. bahwa nabi pernah membeli
bahan makanan kepada seorang yahudi yang bernama Abu Syaham dengan kredit
3
dan beliau mggadaikan perisai besi kepadanya. Hukum jual beli yang
diperbolehkan berdasarkan firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah 282
ٰٓ
ب َ ْ س ًّمى فَا ْكت ُ ُ ْ ۗهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَّ ْينَكُ ْ كَاك ٌۢأب أبا ْل َعقْ ِۖ أل َو ََل رَأَ ٰرٰٓاَرُّ َها الَّ أذرْنَ ٰا َمنُ ْٰٓ ا اأذَا كَقَارَ ْنت ُ ْ أبقَر ٍْن ا ٰألى اَ َ ٍا ُّم
شيْإ ۗا
َ َُس مأ ْنه ْ ّٰللا َ بَّهٗ َو ََل رَ ْخ َق ه علَ ْي أه ا ْل َح ُّق َو ْليَت َّ أ ْ ّٰللاُ فَ ْليَ ْكت ُ ْۚبْ َو ْليُ ْم أل أا الَّ أذ
َ ي علَّ َمهُ ه َ ُ كَاكأب اَ ْن رَّ ْكت
َ ب َك َما
ض أع ْيفًا اَ ْو ََل رَ ْستَطأ ْي ُع اَ ْن رُّمأ َّا ُ َ فَ ْليُ ْم ألاْ َو أليُّهٗ أبا ْل َع ْق ۗ أل َ علَ ْي أه ا ْل َح ُّق
َ س أف ْي ًها اَ ْو َ ي ْ فَا ْأن َكانَ الَّ أذ
ش َه َۤقَاءأُّ ض ْ نَ مأنَ ال َ مأن أ َ ا ألكُ ْۚ ْ فَا ْأن لَّ ْ رَكُ ْ كَا َ ُ لَي أْن فَ َر ُ ا َّوا ْم َراَ ٰك أن مأ َّم ْن ك َْر ْ ش أه ْيقَر أْنَ َوا ْستَ ْش أهق ُْوا
ُش َه َۤقَا ُء اأذَا َما دُعُ ْ ا ۗ َو ََل كَسْإَٔ ُم ْٰٓ ا اَ ْن كَ ْكت ُ ُ ْ ه ُّ ب ال َ ْ اَل ْخ ٰر ۗى َو ََل رَأ
ُ ْ َض َّا اأ ْ ٰقى ُه َما فَتُذَك َأر اأ ْ ٰقى ُه َما اَ ْن ك أ
ٰٓ
َأَل اَ ْن كَكُ ْ ن ٰٓ َّ ش َهادَةأ َواَدْ ٰك ٰٓى اَ ََّل ك َْركَابُ ْٰٓ ا ا س ُ أع ْنقَ ه أ
َّ ّٰللا َواَ ْي َ ُب لأل َ ص أغي ًْرا اَ ْو َك أي ًْرا ا ٰألى اَ َ ل ۗأه ٰذ ألكُ ْ اَ ْي
َ
َّ ض َۤا َ ُعلَ ْيكُ ْ ُ نَاح اَ ََّل كَ ْكت ُ ُ ْ َۗا َواَ ْش أهق ُْٰٓوا اأذَا كَ َا َر ْعت ُ ْ ِۖ َو ََل ر
َ ْسَ اض َرة ً ك ُ أقر ُْر ْوكَ َها َب ْينَكُ ْ فَلَي
كأ َجا َ ة ً َ أ
ع أل ْيَ ٍش ْيءَ ّٰللاُ أب ُك أا ّٰللاُ ۗ َو ه َ ش أهيْق ەۗ َوا ْأن كَ ْف َعلُ ْ ا فَ أاكَّهٗ فُسُ ْ ٌۢق أبكُ ْ ۗ َواك َّ ُ ا ه
ّٰللا ۗ َورُ َع أل ُمكُ ُ ه َ كَاكأب َّو ََل
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang
piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah
penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan
kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang
itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan
janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang
yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan
sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada
(saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang
3 Siah Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hal 61.
8
perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar
jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah
saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan
menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih
mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi
kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual
beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan
(yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan
bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.
Berdasarkan ayat diatas adalah dalil bolehnya akad hutang piutang, sedangkan
akad kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman ayat diatas
bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit. Asalkan syarat-syaratnya terpenuhi.
Syarat-syaratnya adalah: Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak
penjual dan pembeli, pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo
pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari praktek bai’ gharar atau bisnis
penipuan, harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan
lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, hindari penundaan serah
terima barang, penjual memiliki barang yang hendak dia jual dengan sistem kredit,
penjual tidak boleh menjual barang manakala dia sendiri belum memiliki barang
yang hendak dia jual, penjual harus menjadikan barang yang akan dijual sudah
masuk dibawah pertanggung jawabannya artinya jika terjadi sesuatu atas barang
tersebut maka penjual maka penjuallah yang bertanggung jawab mengganti atau
memperbaikinya, jika barang sudah berada di tangan pembeli dan dan kesepakatan
harga sudah disetujui, maka barang dengan resmi menjadi milik pembeli, dengan
demikian penjual tidak berhak menyita atau menarik kembali barang dagangannya
meskipun uang cicilan kredit belum selesai.
9
b. Barang terlebih dahulu dimiliki penjual sebelum akad jual beli kredit
dilangsungkan.
c. Pihak penjual kredit tidak boleh menjual barang yang telah dibeli tapi belum
diterima dan belum berada ditangannya kepada konsumen.
d. Barang yang dijual bukan merupakan emas, perak atau mata uang.
e. Barang dijual secara kredit harus diterima pembeli tunai pada saat akad
berlangsung.
f. Pada saat transaksi dibuat harga harus satu dan jelas serta besarnya angsuran
dan jangka waktu nya juga harus jelas.
g. Akad jual beli kredit harus tegas.
h. Tidak boleh membuat persyaratan kewajiban membeyar denda, atau harga
barang menjadi bertambah, jika pembeli terlambat membayar angsuran.
Bentuk transaksi jual beli kredit yang dibolehkan dan terpenuhi semua persyaratan
di atas ada 2 :
a) Jika penjualnya telah memiliki terlebih dahulu barang yang akan dijual.
b) Jika penjual nya belum memiliki barang yang diinginkan konsumen.
4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. ke-8, Jakarta : Gramedia 2014, h. 628.
10
yang lebih tepat bukan kartu kredit melainkan kartu debit. Akan tetapi, di kalangan
masyarakat yang lebih populer justru kartu kredit. pada prinsipnya antara keduanya
terdapat perbedaan. Kartu kredit bank memberikan hutang pada orang yang tidak
mempunyai uang, yang kemudian utang tersebut harus dilunasi dalam jangka
tertentu. Adapun kartu debit, pemilik harus memiliki simpanan di bank terkait.
ketika transaksi jual beli dilakukan kartu debit digunakan untuk mentransfer
sejumlah uang yang dibebankan dalam jual beli tersebut.
Dalam istilah bahasa Arab kartu kredit disebut dengan bithaqah al- i'timan,
walaupun menurut Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman istilah tersebut tidak
tepat. Menurut nya yang tepat untuk istilah kartu kredit adalah bithaqah al-qardh.
Bithaqah al-i'timan diartikan kartu khusus yang diterbitkan oleh bank kepada
nasabahnya, yang memungkinkan nasabah itu mendapat barang dan jasa dari
tempat-tempat tertentu yang menunjukkan kartu tersebut, merchant (penjual)
memberikan barang dan jasa dan memberikan faktur (sales draf) yang
ditandatangani oleh nasabah kepada bank issuer, lalu bang melunasi nilai barang
atau jasa tersebut dengan mendebet rekening nya yang masih berlaku pada salah
satu pihak yang terkait.5
Sedangkan menurut Mardani, Kartu Kredit adalah kartu yang tidak syaratkan
pemegangnya memiliki rekening pada bank penerbit, akan tetapi yang memberikan
uang yang dibutuhkan nasabah ketika menggunakan kartu kembalikan bang
menagih uang tersebut dari nasabah. Pemegang kartu diberi tenggang waktu untuk
pembayaran, dan batas maksimal kredit ditentukan. Dinamakan kartu kredit karena
pihak bank memberikan kredit kepada nasabah, ini berarti menukar uang tunai
dengan tidak tunai6.
Kartu Kredit adalah suatu jenis alat pembayaran sebagai pengganti uang tunai,
yang sewaktu-waktu dapat ditukarkan apa saja yang kita inginkan di mana saja ada
cabang dapat menerima kartu kredit dari bank, atau perusahaan yang
mengeluarkannya. Pengertian lain yang lebih rinci dari kartu kredit ini adalah uang
plastik yang diterbitkan oleh suatu institusi yang memungkinkan pemegang kartu
untuk memperoleh kredit atau transaksi yang dilakukannya dan pembayarannya
5 Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Banking Cards Syariah, Kartu Kredit dan Debit dalam Perspektif Fiqh.
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2006, h. 6.
6 Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2013, h. 221.
11
dapat dilakukan secara angsuran dengan membayar sejumlah bunga (finance
charge) atau sekaligus pada waktu yang telah ditentukan7.
5. Macam-macam Banking Card
Dilihat dari segi karakter dan sifatnya mengikat dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu :
1) Kartu kredit
Pada dasarnya kartu kredit merupakan suatu kartu yang umumnya
dibuat dari bahan plastik, dengan dibutuhkan identitas dari pemegang dan
penerbitnya, yang memberi hak kepada siapa kartu kredit diisukan
(diterbitkan/diberikan) untuk menandatangani tanda pelunasan pembayaran
harga dari jasa atau barang yang dibeli di tempat-tempat tertentu.
Kartu ini ada tiga macam :
➢ Kartu kredit dengan bunga dan dibayar dengan angsuran.
➢ Kartu kredit temporal tanpa bunga (charge card)
➢ Kartu pembelian eceran (retail cards/in house cards).
2) Kartu debit
Penerbitan kartu debit ini mengharuskan adanya tabungan yang dimiliki
oleh card holder di bank memberikan kesempatan kepada bank untuk menarik
(debit) dan card holder secara langsung dari tabungannya nilai barang dan jasa
yang didapatnya melalui penggunaan kartu dan dokumen yang telah
ditandatangani sebelumnya.
Hukum kartu kredit berbeda dengan hukum kartu debit. Kartu kredit haram,
dalil keharamannya dikembalikan pada dalil tentang riba. Allah SWT berfirman: “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.s. Al-Baqarah 02:278) “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertawakalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan
peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan
taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat” (Q.s Ali Imran 3:130-132)
7 Imam Prayogo Suryodibroto dan Joko Prakoso, Surat Berharga, Jakarta : Bina Aksara, 1987, h. 335.
12
Transaksi menggunakan kartu kredit merupakan bentuk dain (hutang) dari
pengguna kartu kepada pihak bank, disertai dengan bunga dan denda. 8 Adanya
punishment (penalty/denda) dalam kartu kredit merupakan kesepakatan antara dua
pihak yang melakukan akad atas sejumlah kompensasi tertentu pada saat mangkir dari
komitmen awal. Syarat punishment faktanya adalah denda terhadap orang yang tidak
memenuhi komitmen tersebut. Kedua pihak yang melakukan akad bisa memprediksi
dharar (kerugian) terlebih dahulu. Uang yang dideskripsikan dalam tanggungan
statusnya adalah utang. Adanya syarat denda atas utang merupakan riba.
Ibnu Taimiyah berkata,”para ulama sepakat bahwa pemberi utang, jika
mensyaratkan adanya tambahan atas utang yang diberikan, maka syarat itu haram”. Ibn
Qudamah mengatakan,”setiap utang yang didalamnya mensyaratkan adanya tambahan
maka syarat itu haram, dan tidak ada satu pun perbedaan pendapat.” 9
Dengan demikian dari segi akadnya bahwa kartu kredit tidak terlepas dari riba
begitu pula dengan denda/penalty yang terjadi akibat keterlambatan bayar dari tenggat
waktu yang diberikan oleh bank termasuk riba karena merupakan tambahan harta atas
hutang.
Istilah kartu kredit syariah banyak dimunculkan oleh akademisi maupun praktisi
diantaranya ada yang menyebutkan dengan (a) Kartu Kredit berbasis Syari’ah, (b)
Kartu Kredit Syari’ah, (c) Islamic Credit Card, (d) Kartu Kredit berdasarkan Prinsip
Syari’ah. Pada prinsipnya keempat istilah ini memiliki makna yang sama, dan istilah-
istilah tersebut menggunakan kata kredit, unsur dari kredit itu sendiri mengandung riba,
sehingga keempat istilah tersebut menurut penulis tidak tepat untuk digunakan.
Istilah lain dapat dijumpai dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
54/DSN-MUI/X/2006 yang menggunakan istilah Syari’ah Card, Istilah ini memiliki
kelemahan karena menimbulkan ambiguitas bila diartikan berdasarkan istilah kata.
Syari’ah Card secara kata diterjemahkan menjadi “Kartu Syari’ah”. Kartu Syari’ah atau
Syari’ah Card menurut praktisi dapat bermakna luas yang terbagi menjadi 2 (dua) yaitu
kartu debit dan kartu pembiayaan (kartu kredit dalam istilah konvensional). Sehingga
menurut praktisi, istilah kartu kredit dalam Islam lebih tepat menggunakan istilah
8 Hafidz Abdurrahman, Hukum Islam seputar kartu kredit. Bogor: Al azhar press, 2011, h. 14-18
9 Hafidz Abdurrahman, ibid, hlm 16-19.
13
“Kartu Pembiayaan Syari’ah”. Istilah yang hampir serupa juga dapat dijumpai dalam
buku Abdul Ghofur Anshori yang menggunakan istilah “Kartu Pembiayaan
Berdasarkan Prinsip Syari’ah”. 10
Kata “Pembiayaan” itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu pendanaan yang
diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah
direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan
merupakan pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah
direncanakan. 11 Pembiayaan juga merupakan suatu fasilitas yang diberikan bank
syari’ah kepada masyarakat yang membutuhkan untuk menggunakan dana yang telah
dikumpulkan oleh bank syari’ah dari masyarakat yang surplus dana.12
10 Abdul Ghofur Anshori, Pembentukan Bank Syariah Melalui Akuisisi dan Konversi (Pendekatan Hukum Positif
dan Hukum Islam) UII Press, Yogyakarta, 2010, hal 20.
11 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN,
hal 7.
14
DAFTAR PUSTAKA
Siah Khosyi’ah. 2014. Fiqh Muamalah Perbandingan. Bandung: Pustaka Setia.
Departemen Pendidikan Nasional. 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. ke-8,
Jakarta : Gramedia.
Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman. 2006. Banking Cards Syariah, Kartu Kredit dan
Debit dalam Perspektif Fiqh. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Imam Prayogo Suryodibroto dan Joko Prakoso. 1987. Surat Berharga, Jakarta : Bina
Aksara.
Hafidz Abdurrahman. 2011. Hukum Islam seputar kartu kredit. Bogor: Al azhar press.
Abdul Ghofur Anshori. 2010. Pembentukan Bank Syariah Melalui Akuisisi dan Konversi
(Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam). Yogyakarta: UII Press.
Muhammad. 2005. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Yogyakarta: Unit Penerbit dan
Percetakan AMP YKPN.
Muhammad. 2004. Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah,
Yogyakarta: UII Press.
16