Anda di halaman 1dari 13

‫ِخَّت‬ ِ ‫ما حِّرم‬

ُ‫است ْع َمالُهُ ُحِّر َم ا َ ُذه‬


ْ َ ُ َ
(Apa Yang Haram Digunakan, Haram Pula Didapatkannya)

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Qawaid al-Fiqhiyah

Oleh :

PENYUSUN:

SULFI ALIS

NIM: 80100218074

Dosen Pemandu:
Prof. Dr. H. Kasyim Salenda, S.H, M.Th.i
Dr. Ahmad Musyahid, M.Ag

PROGRAM MAGISTER DIRASAH ISLAMIYAH


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2019

i
ii

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum, wr. wb

Segala puja dan puji semoga tetap senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah

swt yang telah membimbing manusia dengan petunjuk-petunjuknya yang

terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang senantiasa menjadi pedoman

bagi umat muslim menuju jalan yang lurus dan diridhoi oleh Allah swt.

Shalawat serta salam semoga senantiasa dihaturkan kepada baginda

Rasulullah saw, para sahabat dan keluarga serta para pengikutnya sampai di hari

kiamat, terutama bagi para Mujtahid yang senantiasa menuangkan hasil pemikiran

mereka untuk kemaslahatan umat Islam.

Makalah ini berisi tentang kaidah fiqhi “Apa yang haram digunakan,

haram pula didapatkannya” maupun hal-hal yang lain yang berkaitan dengan judul

makalah ini. Makalah ini dibuat sebagai syarat dan juga tuntutan akademik dan

diharapkan memberikan pengetahuan baru bagi kita untuk lebih mengetahui

pemikiran hukum Islam yang ada di tengah masyarakat. Dan tentunya, dalam

penyusunan makalah ini tidak terlepas dari segala kekurangan, penulis telah

berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir kekurangan-kekurangan

tersebut. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran dari pembaca demi

kesempurnaan revisi makalah ini nantinya. Semoga bermanfaat bagi kita semua

dan khususnya bagi penyusun.

Samata, 30 September 2019

Penyusun,

SULFI ALIS
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL........................................................................ i

KATA PENGANTAR......................................................................... ii

DAFTAR ISI........................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1

A. Latar Belakang.......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah..................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................... 2

A. Pengertian kaedah Ma Hurrima Isti’maluhu Hurrima

Ittakhadzuhu.............................................................................. 2

B. Penerapan dan Contoh Kaedah Ma Hurrima Isti’maluhu Hurrima

Ittakhadzuhu.............................................................................. 3

BAB III PENUTUP............................................................................. 9

A. Kesimpulan............................................................................... 9

B. Saran.......................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 10
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kaidah-kaidah fiqhi merupakan isntrumen yang dibantu seorang faqih


untuk memahami masalah-masalah partikular (al-juz’iyyah), masalah-masalah
yang mirip dan serupa (al-asybah wa an-naha’ir) di dalam seluruh pokok bahasan
fiqhi. Kaidah-kaidah ini sangat banyak dan bercabang-cabang.1

Dari kaidah inilah seorang pengkaji hukum Islam atau fiqih tidak dapat
memahami segala kajian hukum Islam kecuali ia mempelajari qawaid al-
fiqhiyyah. 2

Semakin tinggi tingkat pemahaman seorang faqih akan kaidah-kaidah ini,


maka tingkat prestisenya akan semakin naik dan rankingnyapun akan semakin
meningkat, dan terbukalah jalan dihadapannya menuju prosedur fatwa.3

Oleh karena itu, mempelajari qawaid al-fiqhiyyah merupakan keniscayaan


bagi setiap orang yang menggeluti fiqhi baik pada tataran khusus maupun umum.4

B. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan ulasan tersebut maka, ada beberapa pokok rumusan


masalah yang berkaitan dengan kaedah Ma Hurrima Isti’maluhu Hurrima
Ittakhadzuhu yaitu:
1. Apa Pengertian Kaedah Ma Hurrima Isti’maluhu Hurrima Ittakhadzuhu ?
2. Bagaimana Penerapan dan Contoh Kaedah Ma Hurrima Isti’maluhu
Hurrima Ittakhadzuhu?
BAB II
1
Nahr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyyah
(Cet. II; Jakarta: 2009), h. v.
2
Nahr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyyah, h.
vi.
3
Nahr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyyah, h.
vi.
4
Nahr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyyah, h.
vi

1
2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaedah Ma Hurrima Isti’maluhu Hurrima Ittakhadzuhu

‫“ م ا ح رم اس تعماله ح رم اختاذه‬sesuatu yang haram digunakan/dimanfaatkaan,

maka haram pula mendapatkan/memiliki/menyimpannya”. Kaedah ini diawali


dengan huruf “ ‫ “ ما‬yang merupakan isim mausul. Menunjukkan bahwa hal yang
disifati tergolong pada sesuatu yang umum (nakirah mausuf). Biasanya digunakan
untuk hal-hal yang bersifat kebendaan atau yang bukan manusia (li ghair
al-‘aqil), meskipun terkadang digunakan untuk manusia (lil al-‘aqil)5. Dalam hal
ini, maka objek hukum kaedah yang dimaksud adalah ditunjukkan pada benda apa
saja.

Berikutnya kata (‫ ) حرم‬adalah fiil madhi bina ma’lum dengan timbangan (‫فعل‬
) yang artinya terlarang. Secara bahasa kata haram digunakan untuk melarang
seseorang agar tidak melakukan sesuatu. Sedangkan menurut istilah adalah
tuntutan syar’i (Allah) kepada mukallaf untuk menahan satu perbuatan (tidak
melakukannya), dengan tuntutan yang keras. Dan sebagai konsekuensinya bagi
orang yang mengerjakannya maka ia berdosa dan bagi yang meninggalkannya
maka dia berpahala.

Kata (‫ ) استعماله‬adalah fa’il dari fi’il madhi mazid dengan tiga huruf dari kata
‫( عمل‬mengerjakannya). Setelah ditambahkan ‫ ت‬- ‫ س‬- ‫ ا‬maka artinya
memperkerjakan, memanfaatkan, atau menggunakan.

Adapun kata ‫ اتخاذه‬adalah fail dari fiil mazid dengan dua huruf, dari kata ‫اخذ‬
(mengambil). Setelah penambahan ‫ ت‬- ‫ ا‬maka menjadi ‫ذه‬QQ‫ إإتخ‬yang kemudian
menggabungkan (idgham) dua hamzah tersebut dan menggantikan ibdal dengan ‫ت‬
lalu dibaca ‫( إتخذ‬mengambil dengan usaha).6 Dalam hal ini kata ‫اذه‬Q‫ إتخ‬berarti usaha
untuk memperoleh sesuatu untuk dimiliki.

Prof. HA. Djazuli mengartikan kaedah ini sebagai berikut:


5
Mustafa Al-Galayani, Jami’ Ad-Durus Al-Arabiyyah (Beirut: maktabat al-asriyah, 2000),
h. 140.
6
Ibn Manzur, Lisan Al-Arab (Kairo: Al-Hadis, 2003), h. 93
3

“Apa yang haram digunakannya, haram pula didapatkannya”. Maksudnya


adalah apa yang digunakannya, baik dimakan, diminum, atau dipakai, maka
haram pula mendapatkannya.7

Jika kita cermati dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa setiap yang
haram digunakan, maka usaha untuk memperolehnya juga diharamkan. Ini
konklusi logis dari keharaman sesuatu yang masih pararel hukumnya. Sebab, jika
pengharaman hanya dilakukan secara sepihak, sementara pihak yang lain masih
dibiarkan begitu saja, maka tidak ada efek hukum yang dihasilkan dari pelarangan
tersebut. Dan ini termasuk dalam kategori sadd al-zarai’.

B. Penerapan Contoh Kaedah Ma Hurrima Isti’maluhu Hurrima


Ittakhadzuhu

Ada beberapa hadis Rasulullah saw yang berkaitan dengan kaedah ma


hurrima isti’maluhu hurrima ittakhazuhu yaitu:

1. Hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari


Abdurrahman bin Abi Layli:

‫ب َو الْ ِفض َِّة‬ َّ ‫اج َو اَل تَ ْشربُ ْوا ىِف اٰنِيَ ِة‬
ِ ‫الذ َه‬
َ َ َ‫اَل َت ْلبَ ُس ْوا احلَ ِر ْيَر َو اَل الد ِّْيب‬
Artinya:

Nabi bersabda: kamu sekalian jangan memakai sutera dan jangan minum
dengan tempat dari emas atau perak.8

2. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, An Nasa’i dan At


Tarmidzi, dishahihkan olehnya. Dan dikeluarkan oleh Abu Daud dan
hakim, dan dishahihkan olehnya. Dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dan
dishahihkan oleh Ibn Hazm, dari Abu Musa Al-Asy’ari radiallahu
anhu, bahwa Nabi saw bersabda:

7
H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Jakarta: Kencanan Prenada Media Group, 2007), h. 96.
8
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 5 (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), h. 2052.
4

ِ َ‫الذهب إِلِ ن‬
‫اث اَُّميِت ْ َو ُحِّر َم َعلَى ذُ ُك ْو ِر َها‬ َّ ِ
ُ َ ‫اُح ُّل احلَ ِر ْيُر َو‬
Artinya:

“Emas dan sutera dihalalkan bagi orang-orang perempuan umatku dan


diharamkan bagi laki-lakinya”

3. Hadis Rasulullah saw yang diriwayatkkan oleh Bukhari dari Abi


Mas’ud al-Anshari ra:

‫ان ْال َكاه ِِن‬ ِ ‫أَنَّ َرس ُْو َل هَّللا ِ صلم َن َهى َعنْ َث َم ِن ْال َك ْل‬
ِ ‫ب َو َمه ِْر ْال َبغِىِّ َو ح ُْل َو‬

Artinya:

Bahwasanya Rasulullah SAW. melarang harga penjualan anjing,


maskawin pelacur, dan manisan dukun.9

Qaidah tersebut di atas, maksudnya adalah terhadap segala yang


diharamkan penggunaannya baik untuk dimakan, diminum, dipakai ataupun
lainnya, maka haram juga mengusahakan untuk mendapatkannya.10

Bermuamalah untuk memperoleh uang dan harta benda disuruh yang


hukumnya wajib bagi orang Islam.Namun bermuamalah itu harus sesuai dengan
syariat Islam, yaitu bermuamalah dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat
Islam, begitu pula objek usaha yang halal. Oleh karena itu, para ulama sepakat
bahwa tidak halal menjual daging babi, khamar dan kotoran karena najis, dan
anjing. Dalam berjual beli atau utang piutang tidak boleh dengan mengandung
unsur riba, tipuan dan berlaku zhalim. Diharamkan bayaran pelacuran, dan segala
benda yang dijadikan sarana oleh dukun. Begitu pula memiliki harta kekayaan,
syariat melarang kalau harta kekayan seperti emas dan perak dijadikan sebagai
bijana atau tempat makan dan minum. Karena emas dan perak digunakan sebagai
benda perhiasan yang lebih dari benda yang lain. Oleh karena itu, apabila harta

9
Muhammad bin Futuh al-Humaidi, al-Jam’u Baina Shahihain Bukhari wa Muslim, Juz 1
(Beirut: Dar al-Nasyr, 2002), h. 305.
10
Faturrahman Azhar, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Cet. I; Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU), 2015), h. 237.
5

benda itu diharamkan oleh syariat untuk memakainya, maka syariat melarang pula
untuk menyimpannya.11

Al-Syafi’i dalam kitab al-Umm misalnya, merumuskan bahwa terdapat


persoalan tentang statu hukum harga anjing. Al-Syafi’i meriwayatkan beberapa
Hadis yang seluruhnya berbicara tentang larangan memiliki anjing kecuali untuk
keperluan mengendalikan ternak atau anjing penjaga harta. Berdasarkan Hadis
yang dikemukakan, al-Syafi’i berpendapat bahwa haramnya harga anjing, dan
konskuensinya adalah haram memelihara anjing. Apa yang ingin disampaikan
dalam kasus ini adalah bahwa sesuatu yang diharamkan Karena substansinya akan
membawa kepada keharaman hal-hal lain yang berkaitan. Keharaman hal-hal lain
seputar penggunaan barang-barang haram. Dalam al-asbah wal nazhair al-
Suyuthi memberikan contoh lain misalnya tentang alat-alat musik, alat-alat rumah
tangga yang terdiri dari emas dan perak, babi, hewan berbisa, minuman keras,
sutra dan perhiasan emas bagi laki-laki. Anjing diharamkan memeliharanya
kecuali bagi keperluan berburu. Maka berdasarkan kaidah tersebut di atas, apa
saja yang diharamkan menggunakannya, maka haram pula mengusahakan,
mengadakan atau menyimpannya.12

Apabila sesuatu diharamkan mengambilnya, maka haram pula


memberikannya. Oleh karena itu, seseorang yang memperoleh harta dengan riba,
maka harta itu diharamkan pula diberikan kepada orang lain, sekalipun untuk
kepentingan sosial keagamaan. Begitu pula seseorang yang memperoleh uang
dengan cara korupsi atau suap, maka diharamkan pula mendermakannya untuk
kepentingan baik untuk keluarga, sosial keagamaan dan sosial kemsyarakatan.
Memperoleh uang dengan cara menjual kehormatan dirinya (penjaja seks
komersial) adalah haram, maka haram pula uang tersebut digunakan atau
diberikan untuk kepentingan keluarga atau sosial keagamaan dan lainnya.13

11
Faturrahman Azhar, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, h. 237.
12
Faturrahman Azhar, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, h. 238.
13
Faturrahman Azhar, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, h. 240.
6

Syaikh abu Muhammad al Maqdisi Rahimahullah Ta’ala mengatakan


dalam bukunya al-Mughni: dilarang mengambil kapal dari emas dan perak dan
membuatnya karena apa yang dilarang untuk digunakan juga dilarang untuk
mengambilnya.

Dalam hal ini As-Suyuthi juga menyebutkan beberapa contoh kaedah ma


hurrima isti’maluhu hurrima ittakhadzuhu yaitu:

a. Haram hukumnya memiliki alat-alat yang melalaikan. Hal ini


dikarenakan keharaman menggunakan alat tersebut baik yang
berbentuk musik ataupun permainan. Semua yang emapat mazhab
(Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat untuk
mengahramkannya.14

b. Haram hukumnya memiliki bejana yang terbuat dari emas dan perak.
Hal ini dikarenakan keharaman menggunakannya baik untuk wadah
makanan maupun hiasan. Rasulullah saw bersabda “janganlah kamu
meminum dengan menggunakan bejana yang terbuat dari emas atau
perak, dan jangan makan dengan piring yang terbuat dari keduanya,
karena keduanya untuk orang-orang musyrik semasa mereka di dunia,
dan untuk kamu nantinya di akhirat”.

c. Haram hukumnya memelihara anjing yang bukan digunakan untuk


berburu. Atau memelihara babi. Hal ini diharamkan karena binatang-
binatang tersebut dilarang untuk dimakan.

d. Haram hukumnya untuk semua orang terlibat dalam urusan khamar.


Karena dikhawatirkan akan meminumnya hingga jatuh pada perbuatan
haram. Dalam hadis riwayat ibn majah dan turmudzidisebutkan bahwa
ada sepuluh orang yang dikutuk pada persoalan khamar, yaitu
produsen, distributor, peminum, pembawa, pengirim, penuang,
penjual, pemakan harga hasilnya, pembeli dan pemesan.

14
Wahbah az-zuhaili, fiqh al-islam wa adillatuhu (Beirut: dar al-fikr, 2003), h. 2662-2667.
7

e. Haram hukumnya menyimpan perhiasan (emas) bagi laki-laki, begitu


juga dengan sutra. Karena tidak boleh bagi laki-laki mengenakan
keduanya berdasarkan nash-nash hadis.

Dari beberapa contoh yang telah dikemukakan bisa dipahami bahwa suatu
hukum bersifat pararel dengan sebab yang sebelumnya karena mengarah pada
akibat yang akan muncul sesudahnya. Jika sebuah akhir adalah haram, tentu
mengharamkan permulaannya adalah langka yang lebih tepat sebagai bentu k
pencegahan dini.

Oleh karena itu, setiap benda yang haram digunakan maka apapun cara
memperolehnya, meski tergolong pada cara yang halal maka tetap dihukumkan
haram. Dan sebagai konsekwensi logis, jika memperolehnya saja haram maka
seluruh aktivitas yang berbentuk pemanfaatannya, baik itu disimpan, dimakan,
ataupun diminum, kalau berupa makanan dan minuman semuanya juga haram.

Karena perbuatan tersebut bertentangan dengan QS. Al-Maidah/5:2 yang


berbunyi:

        


       
        
        
       
        
      

Terjemahnya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar


Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id,
dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam
8

(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam


berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.15
Perbuatan itu dilarang karena dilarang bertolong tolongan dalam berbuat
dosa. Oleh karena itu, jika perbuatan itu dibenarkan, maka berarti mendorong
orang berbuat dosa. Sedangkan perbuatan dosa itu adalah haram.16

Dalam menerapkan kaedah ini, ada beberapa kasus yang dapat dijadikan
sebagai contoh dalam penerapan kaedah ma hurrima isti’maluhu hurrima
ittakhadzuhu yaitu:

1. Minum khamr diharamkan maka memproduksi dan membelinyapun


haram.

2. Meminum air dengan bejana yang terbuat dari emas dan perak adalah
haram, maka haram pula membelinya atupun menyimpannya. Karena
jika dibolehkan menyimpannya, suatu saat dikhawatirkan akan
meminum air dengan bejana tersebut.17

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Apa yang haram digunakannya, haram pula didapatkannya”. Maksudnya


adalah apa yang digunakannya, baik dimakan, diminum, atau dipakai,
maka haram pula mendapatkannya. Jika kita cermati dari paparan tersebut

15
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-Juz 30 (Surabaya: Pustaka
Agung Harapan, 2006), h. 141.
16
Faturrahman Azhar, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, h. 241.
17
Faturrahman Azhar, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, h. 241.
9

dapat dipahami bahwa setiap yang haram digunakan, maka usaha untuk
memperolehnya juga diharamkan. Ini konklusi logis dari keharaman
sesuatu yang masih pararel hukumnya. Sebab, jika pengharaman hanya
dilakukan secara sepihak, sementara pihak yang lain masih dibiarkan
begitu saja, maka tidak ada efek hukum yang dihasilkan dari pelarangan
tersebut. Dan ini termasuk dalam kategori sadd al-zarai’.

2. Haram hukumnya memiliki alat-alat yang melalaikan. Hal ini dikarenakan


keharaman menggunakan alat tersebut baik yang berbentuk musik ataupun
permainan. Semua yang emapat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali) sepakat untuk mengahramkannya; Haram hukumnya memiliki
bejana yang terbuat dari emas dan perak. Hal ini dikarenakan keharaman
menggunakannya baik untuk wadah makanan maupun hiasan. Rasulullah
saw bersabda “janganlah kamu meminum dengan menggunakan bejana
yang terbuat dari emas atau perak, dan jangan makan dengan piring yang
terbuat dari keduanya, karena keduanya untuk orang-orang musyrik
semasa mereka di dunia, dan untuk kamu nantinya di akhirat”.

B. Saran

Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekeliruan


karena minimnya referensi yangh kami dapatkan. Oleh karena itu kami masi
mengharapkan kritik dan saran oleh pembaca demi perbaikan makalah ini.
10

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 5. Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987.

Al-Galayani, Mustafa. Jami’ Ad-Durus Al-Arabiyyah. Beirut: Maktabat al-


Asriyah, 2000.

Al-Humaidi, Muhammad bin Futuh. al-Jam’u Baina Shahihain Bukhari wa


Muslim, Juz 1. Beirut: Dar al-Nasyr, 2002.

Azhar, Faturrahman. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Cet. I; Banjarmasin:


Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU), 2015.

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-Juz 30. Surabaya:
Pustaka Agung Harapan, 2006.

Djazuli, H.A. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Kencanan Prenada Media Group,


2007.

Nahr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. Qawaid
Fiqhiyyah. Cet. II; Jakarta: 2009), h. v.

Manzur, Ibn. Lisan Al-Arab. Kairo: Al-Hadis, 2003.

Anda mungkin juga menyukai