Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH USHULFIQIH

“KAIDAH USHULIYAH MUTLAK,MUQOYAD,MUJMAL, MUBAYAN


DAN KAIDAH USHULIYAH MANTHUQ,
MAFHUM,DZAHIR,MU’AWWAL"
Mata kuliah ushul fiqih
Dosen Pengampu : Agus Ali M.Pd.

Di susun oleh :
Alfiansyah Ratih Purwasari
M.Rifqi Maulana Eka Fitria
Rizky Azkia Meli Puspita Sari

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT UMUL QURO AL-ISLAMI
LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR
TAHUN AJARAN 2022-2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Puja puji Syukur kami ucapkan kepada tuhan yang maha esa telah banyak nikmat
yang diberikan. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ushul fiqih.
Yang bertema “Kaidah ushuliyah mutlak,muqoyad,mujmal,mubayan dan
kaidah ushuliyah manthuk,mafhum,dzahir,mu’awwal Kami juga tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu Bapak Agus Ali M.Pd.
makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman kami dan mahasiswa.
Dalam Menyusun makalah ini, ditulis berdasarkan buku yang berkaitan dengan
judul yang diambil. Diharapkan makalah ini dapat memberikan tambahan
informasi dan pengetahuan kepada kita semua tentang “Kaidah ushuliyah
mutlak, muqoyad, majmul, mubayan dan kaidah ushuliyah manthuk,
mafhum, dzahir, mu’awwal”
Saya juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna oleh
karna itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya
harapkan demi kesempurmnaa makalah ini.
Bogor, 12 desember 2023

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah ushuliyah adalah kaidah yang berkaitan dengan Bahasa dan kaidah
ushuliyah ini juga merupakan kaidah yang sangat penting, karena kaidah
ushuliyah merupakan media/alat untuk menggali kandungan makna dan hukum
yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga dengan kaidah
ushuliyah ini, menjadi modal utama dalam memproduk fiqih. Tanpa kaidah
ushuliyah, pengalaman hukum islam cenderung belum semuannya.
Karena pentingnya hal tersebut, sehingga merupakan suatu kebutuhan bagi
kita semua khususnya mahasiswa yang akan meneruskan perjuangan
pendahuluan-pendahuluan kita dalam membela dan menegakan islam untuk
mempelajari hal ini. Karena banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada
yang belum mengerti sama sekali apa itu Kaidah Ushuliyah. Oleh karena itu
penting bagi seorang mujtahid maupun calon mujtahid untuk menggali sebuah
hukum dengan mempelajari kaidah ushuliyah ini

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan
dibahas didalam makalah tentang kaidah ushuliyah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian kaidah ushuliyah mutlak dan muqayad ?
2. Apa pengertian kaidah ushuliyah mujmal dan mubayan ?
3. Apa pengertian kaidah ushuliyah manthuq dan mafhum ?
4. Apa pengertian kaidah ushuliyah dzahir dan mu’awwal ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kaidah ushuliyah mantuq dan muqayad ?
2. Untuk mengetahui kaidah ushuliyah mujmal dan mubayan ?
3. Untuk mengetahui kaidah ushuliyah manthuq dan mafhum?
4. Untuk mengetahui kaidah ushuliyah dzahir dan mu’awwal ?

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 2
C. Tujuan ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah Ushuliyah.................................................................. 3
B. Pengertian Mutlaq Dan Mukayad........................................................... 6
C. Pengertian mujmal Dan mubayan........................................................... 8
D. Pengertian Manthuk Dan Mafhum.......................................................... 10
E. Pengertian Dzahir Dan Mu’awwal.......................................................... 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................. 13
B. Saran........................................................................................................ 14
DAFTAR PUSAKA

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KAIDAH USHULIYAH


Di antara ulama kalam yang paling menguasai keahliannya dalam bidang
ilmu Ushul Fiqh, ialah ualama syafiiyah dan ulama malikiyah. Kitab-kitab
ushul yang termasyhur dan disusun dengan sistem tersebut diatas, diantaranya
ialah; kitab AlMustashfa karangan Abu Hamod Al Ghozali, safat pada 505 H,
kitab Al Ahkam karangan abu Hasan Al Amidi Al syafii, kitab Al Minhaj
karangan Al Baidhowi Al syafii sedangankan di antara kitab syarah (komentar
dan analisa) yang terbaik adalah kitab Syarah Al Asnawi. Adapun ulama
hanafiyah, kelebihan sistemnya dalam penysysnan ilmu ini, ialaha dalam hal
menyusun kaidah kaidah dan bahasan bahasan ushulihan yang telah diyakini
oleh mereka bahwa para imammnya telah menyandarkan ihtihadnya kepda
kaidah-kaidah dan bahasan bahasanushuliayah tersebut. Sebagaimana yang di
tulis oleh abu-l-abbas Ahmad bin Idris As-sonhaji dalam Firman Arifandi,
bahwa Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah. Dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan istilah kaidah yang bermakna aturan atau patokan,
bisa juga bermakna pondasi. Seperti dikatakan dalam al-Qur‟an :
‫َو ِاْذ َيْر َفُع ِاْبٰر ٖه ُم اْلَقَو اِع َد ِم َن اْلَبْيِت َوِاْسٰم ِع ْيُۗل َر َّبَنا َتَقَّبْل ِم َّناۗ ِاَّنَك َاْنَت الَّسِم ْيُع اْلَعِلْيُم‬
Artinya :”Dan (Ingatlah) ketika Ibrahim bersama-sama nabi ismail
meninggalkan binaan asas-asas {tapak} Baitullah {ka’abah} itu” {QS.Al-
Baqarah : 127 }

Sementara mayoritas ulama ushul mendefinisikan kaidah dengan :


“Hukum umum yang berlaku atas hukum-hukum yang bersifat detail.”1

Qawaid ushuliyah mengkaji dalil hukum (nash al-Qur‟an dan sunah) dan
hukum syarak, sedangkan qawaid fiqhiyah mengkaji perbuatan mukalaf dan

1
Al Qorofi, abu-l-abbas Ahmad bin Idris As-sonhaji. Alfuruq-Anwarul Buruq Fi-L-Furuq, Juz 1/,
(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1998) , hlm 6.

5
hukum syarak. Hukum syarak (fiqih) adalah hukum yang diistinbath dari nash
al-Qur‟an dan sunnah melalui pendekatan ushul fiqih yang diantaranya
menggunakan qawaid ushuliyah. Hukum syarak (fiqih) yang telah diistinbath
tersebut diikat oleh qawaid fiqhiyah, dengan maksud supaya lebih mudah
difahami dan identfikasi.2
Qaidah ushuliyyah adalah dalil syara‟ yang bersifat menyeluruh, universal
dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah
peraturan untuk menggali hukum.Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan
dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.3
Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum
yang terdapat dalam bahasa sumber hukum. Menguasai qaidah ushuliyyah
dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap
peristiwa hukum yang dihadapinya.4 kaidah-kaidah ushul sering digunakan di
dalam takhrîj al-ahkâm, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-
qur‟an dan Sunnah).5

B. Pengertian Mutlaq Dan Muqayad


1. Mutlaq
Kata mutlaq secara sederhana berarti tiada terbatas.6 Dalam bahasa Arab,
kata ‫ مـطـلـــق‬berarti yang bebas, tidak terikat.7 Menurut al-Khudhori Biek,8
‫َاْلُم ْطَلُق َم ا َدَّل َعلَى َفْر ٍد َاْو َأْفَر اٍد َش اِئــــَع ـٍة ِبُد ْو ِن َقـْيــــٍد ُم ْسَتِقــٍّل َلْفــــــظا‬
“Mutlaq adalah perkataan yang menunjukkan satu atau beberapa objek
yang tersebar tanpa ikatan bebas menurut lafal.”

2
Syarif Hidayatullah, “Qawa‟id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan
Syari‟ah Kontemporer(Mu‟amalat, Maliyyah islamiyyah, mu‟ashirah), hlm. 32-35.
3
Arjoson, “Qowoid fiqhiyyah dan qowoid ushuliyah”, di kutip dari http.www.harjosonblog.htm
pada hari jumat, tanggal 13 Januari 2017, jam 12.51 WIB
4
ibid
5
ibid
6
Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal.
990
7
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), 862.
8
Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah,1982), 239.

6
2. Muqayad
Secara sederhana, muqoyyad berarti terikat,9 atau yang mengikat, yang
membatasi. Secara etimologi, muqoyyad adalah suatu lafal yang
menunjukkan suatu hal, barang atau orang yang tidak tertentu
(syai’ah) tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan.
Definisi ini sejalan dengan uraian yang dikemukakan oleh Imam al-Syafi‟i
seperti dikutip oleh Muhlish Usman,10muqoyyad adalah lafal yang
menunjukkan satuan-satuan tertentu yang dibatasi oleh batasan yang
mengurangi keseluruhan jangkauannya. Pembatasan tersebut dapat berupa
sifat, syarat, dan ghayah.11 Sebagai contoh adalah firman Allah swt dalam
(QS. al-Nisa‟ [4]: 92), tentang kifarat 6 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh
(Jakarta: Kencana, 2008), 206seseorang yang membunuh tanpa sengaja,
yaitu:
‫َو َتْح ِر يُر َر َقَبٍة ُم ْؤ ِم َنٍة‬.

Artinya:
“…maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang
mukmin…”
Dalam ayat tersebut, kata roqobah adalah kata yang
berlaku muqoyyad karena ia dibatasi dengan kata mu’minah. Hal ini berarti
bahwa tidak sembarang budak yang dapat dimerdekakan dalam
permasalahan kifaratbagi orang yang membunuh tanpa sengaja ini, tetapi
budak itu haruslah budak yang mukmin.

Kaedah-kaedah Mutlak Dan Muqoyyad


1. Imam al-Syafi‟i seperti dalam Sapiudin Shidiq,12 menjelaskan
kaidahkaidah yang berkaitan dengan mut}laq dan muqoyyad

9
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008), 206
10
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, 57.
11
Sapiuddin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 187
12
Shidiq, Ushul Fiqh, 186-192

7
sebagaimana berikut: 1. Hukum mutlaq. Lafal mutlaq dapat digunakan
sesuai dengan kemutlakannya. Kaidahnya:
‫َاْلُم ـْطَلُق َيْبَقى َع َلى ِإْطاَل ِقِه َم الَــْم َيُقْم َد ِلـْـيٌل َع َلى َتْقِــيْيِدِه‬
“Mutlaq itu ditetapkan berdasarkan kemutlakannya selama belum ada
dalil yang membatasinya.”
Contoh: (QS. Al-Nisa’ [4]: 23).
... ‫َو ُأَّم َهاُت ِنَس اِئُك ْم‬...
artinya:
“…dan ibu-ibu dari istri-istrimu…”
Ayat ini mengandung arti mutlaq karena tidak ada kata yang mengikat
atau membatasi kata ibu mertua. Oleh karena itu, ibu mertua tidak boleh
dinikahi, baik istrinya (anak dari ibu mertuanya) itu sudah dicampurinya
atau belum.
2. Hukum muqoyyad. Lafal muqoyyad tetap dinyatakan muqoyyad selama
belum ada bukti yang me-mutlaq-kan. Kaidahnya:
‫َاْلُم ـَقـَّـيُد بَاِقٌى َع َلى َتْقِيــْيِدِه َم الَــْم َيُقْم َد ِلـْـيٌل َع َلى ِإْطــــاَل ِقِه‬.
Artinya:
“Muqoyyad itu ditetapkan berdasarkan batasannya selama belum ada
dalil yang menyatakan kemutlakannya.”
Contoh: (QS. Al-Mujadalah [58]: 3-4):
‫َو اَّلِذ يَن ُيَظاِه ُروَن ِم ْن ِنَس اِئِهْم ُثَّم َيُعوُدوَن ِلَم ا َقاُلوا َفَتْح ِر يُر َر َقَبٍة ِم ْن َقْبِل َأْن َيَتَم اَّس ا َذ ِلُك ْم ُتوَع ُظوَن ِبِه َو ُهَّللا‬
‫) َفَم ْن َلْم َيِج ْد َفِصَياُم َش ْهَر ْيِن ُم َتَتاِبَعْيِن ِم ْن َقْبِل َأْن َيَتَم اَّس ا َفَم ْن َلْم َيْس َتِطْع َفِإْطَعاُم ِس ِّتيَن‬3( ‫ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر‬
)4( ‫ِمْسِكيًنا َذ ِلَك ِلُتْؤ ِم ُنوا ِباِهَّلل َو َر ُس وِلِه َو ِتْلَك ُح ُدوُد ِهَّللا َوِلْلَك اِفِر يَن َع َذ اٌب َأِليٌم‬
artinya:
“ (3) Orang-orang yang menzihar isteri mereka, Kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (4) Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya)

8
memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah,
dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kifarat bagi seorang suami yang
melakukan zihar terhadap istrinya adalah memerdekakan budak atau
puasa dua bulan berturut-turut atau kalau tidak mampu, maka ia harus
memberi makan sebanyak 60 orang miskin. Karena ayat ini telah dibatasi
kemut}laqannya, maka harus diamalkan hukum muqoyyadnya.
3. Hukum muthlaq yang sudah dibatasi. Lafal mutlaq jika telah ditentukan
batasannya, maka ia menjadi muqoyyad. Kaidahnya:
‫َاْلُم ـْطَلُق َال َيْبَقى َع َلى ِإْطاَل ِقِه ِإَذ ا َيُقْو ُم َد ِلـْـيٌل َع َلى َتْقِــيْيِدِه‬.
Artinya:
“Lafal mutlaq tidak boleh dinyatakan mutlaqkarena telah ada batasan
yang membatasinya.”
Contoh: (QS. Al-Nisa’ [4]: 11).
..‫ِم ْن َبْع ِد َو ِص َّيٍة ُيوِص ي‬...
Artinya:
“…sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya…”.
Kata wasiat pada ayat ini masih bersifat mutlaq dan tidak ada batasan
berapa jumlah wasiat yang harus dapat dikeluarkan. Kemudian ayat ini
dibatasi ketentuannya oleh hadits yang menyatakan bahwa wasiat yang
paling banyak adalah sepertiga dari jumlah harta warisan yang ada.
Dengan demikian, maka hukum mutlaq pada ayat tersebut dibawa kepada
yangmuqoyyad. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw.
)‫َفِإَّن َر ُسْو َل ِهللا َقاَل َالُّثــُلُث َو الُّثــُلُث َك ِبــــْيٌر (رواه البخــارى ومســلم‬
“Wasiat itu adalah sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak” (HR.
Bukhari dan Muslim)
4. Hukum muqoyyad yang dihapuskan batasannya. Lafal muqoyyad jika
dihadapkan pada dalil lain yang menghapus ke-muqoyyadan-nya, maka ia
menjadi mutlaq. Kaidahnya:

9
‫َاْلُم ـَقـَّـيُد َال َيْبَقى َع َلى َتْقِيــْيِدِه ِإَذ ا َيُقْو ُم َد ِلـْـيٌل َع َلى ِإْطــــاَل ِقِه‬
“Muqoyyad tidak akan tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain yang
menunjukkan kemutlaqannya.
Contoh: (QS. Al-Nisa’ [4]: 23).

.. ‫ َو َرَباِئُبُك ُم الالِتي ِفي ُحُجوِر ُك ْم ِم ْن ِنَس اِئُك ُم الالِتي َد َخ ْلُتْم ِبِهَّن َفِإْن َلْم َتُك وُنوا َد َخ ْلُتْم ِبِهَّن َفال ُجَناَح َع َلْيُك ْم‬...
Artinya:“…dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya…”
Ayat tersebut menjelaskan tentang keharaman menikahi anak tiri. Hal ini
disebabkan karena anak tiri itu “dalam pemeliharaan” dan ibunya “sudah
dicampuri”. Keharaman ini telah dibatasi oleh dua hal tersebut, namun
batasan yang kedua tetap dipandang sebagai batasan
yang muqoyyad sedang batasan pertama hanya sekedar pengikut saja,
karena lazimnya anak tiri itu mengikuti ibu atau ayah tirinya. Bilamana
ayah tiri belum mencampuri ibunya dan telah diceraikan, maka anak tiri
tersebut menjadi halal untuk dinikahi, karena batasan muqoyyadnya telah
dihapus sehingga menjadi mutlaq kembali13
Pada prinsipnya, para ulama bersepakat bahwa hukum dari lafal mutlaq itu
wajib diamalkan kemutlaqannya, selama tidak ada dalil yang membatasi
kemutlaqannya.

C. Pengertian Mujmal Dan Mubayan


1. Mujmal.
Mujmal Secara bahasa berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Secara
istilah berarti: lafadz yang maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam
13
Shidiq, Ushul Fiqh, 189.

10
menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau
menjelaskan ukurannya.
 Lafadz yang masih memerlukan lainnya untuk menentukan
maknanya
Terdapat pada kata “rapat” dalam bahasa Indonesia misalnya memiliki dua
makna, yaitu perkumpulan dan tidak ada celah. Sedangkan dalam Al-Qur’an
misalnya pada surat al-Baqarah:228:
‫َو اْلُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َثالَثَة ُقُروٍء‬
kata (‫ )القرء‬dalam ayat tersebut bisa berarti suci atau haidh. Sehingga untuk
menentukan maknanya membutuhkan dalil lain.
 Lafadz yang membutuhkan lainnya dalam menjelaskan tata caranya
Terdapat pada surat An-Nur: 56,
‫َو َأِقيُم وا الَّصالة‬
kata “mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih mujmal/belum jelas karena
tidak diketahui tata caranya, sehingga butuh dalil lainnya untuk memahami
tata caranya. Begitu pula ayat-ayat haji dan puasa.
 Lafadz yang membutuhkan lainnya dalam menjelaskan ukurannya
Pada surat an-Nur:56,
‫َو َآُتوا الَّز َكاَة‬
kata “menunaikan zakat” masih mujmal karena tidak diketahui ukurannya,
sehingga untuk memahaminya masih diperlukan dalil lainnya.14

2. Mubayyan
Mubayyan secara bahasa berarti yang ditampakkan dan yang dijelaskan.
Secara terminologi, mubayyan adalah seperti yang didefinisikan oleh al-
Asnawi, yaitu lafadz yang jelas (maknanya) dengan sendirinya atau
dengan lafadz lainnya.

14
http://zulfa4wliya.wordpress.com/2009/05/06/mujmal-dan-mubayyan/

11
Namun, ada juga yang mendefinisikan Mubayyan sebagai “apa yang dapat
difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau adanya
penjelasan.

Contoh yang dapat difahami maksudnya dengan asal peletakannya


Lafadz langit, bumi, gunung, adil, dholim, jujur, dsb. Maka kata-kata ini
dan yang semisalnya dapat difahami dengan asal peletakannya, dan tidak
membutuhkan dalil yang lain dalam menjelaskan maknanya.

Contoh yang dapat difahami maksudnya setelah adanya penjelasan


Firman Allah ta’ala: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat” (QS. Al-
Baqarah:43)Maka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, keduanya
adalah mujmal, tetapi (Allah ta’ala) telah menjelaskannya, sehingga lafadz
keduanya menjadi jelas setelah adanya penjelasan.
Dalam hubungannya dengan Mubayyan, maka dapat kita pahami bahwa
ada tiga hal disini. Pertama, adanya lafadz yang mujal yang memerlukan
penjelasan atau disebut Mubayyan (yang dijelaskan). Kedua, ada lafadz
lain yang menjelaskan lafadz yang Mujmal tadi atau disebut Mubayyin
(yang menjelaskan). Dan ketiga, adanya penjelasan atau disebut juga
dengan Bayan.

D. PENGERTIAN MANTUQ DAN MAFHUM


1. Mantuq
Mantuq dan Pembagiannya Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu
yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah
atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri.
Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa nash dan zahir. Kalangan
ulama Syafi’iyah,15dilâlah lafal nash dibagi kepada dua macam, yaitu

15
al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir; Dar al-Ta’lif, 1965), h. 376-377

12
dilâlat almantûq (‫( الـمـنطوق داللـة‬dan dilâlat al-mafhûm ‫((الـمـفـهـوم داللـة‬.
Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq ialah :

.‫داللـة الـمـنطوق هى دال لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكآل م ونـطـق بـه‬

“Dilalat mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan


hukum (pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan
langsung oleh lafal.”
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah
suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung
lafadz nash secara tekstual.

Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah


menunjuk-kan secara jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang
berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah digauli. Dilãlat
al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu ; mantûq sarih dan mantuq
gairu sharih.
2. Mafhum
Mafhum dan Pembagiannya Mafhum secara bahasa adalah sesuatu
yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah
“pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau
pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum
mukhalafah). Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal
nash atas suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman
dibalik yang tersurat.
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan
mengucapkan kata kasar “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu
juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan
(tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan
perbuatan lain yang menyakiti orang tua. Mafhum dapat dibagi kepada
dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.

13
2.1 Mafhum Muwafaqah Adalah suatu petunjuk kalimat yang
menunjukkan
bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada
masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai
dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan
dalam maknanya. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum
yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.
2.2 Mafhum mukhalafah Adalah pengertian yang dipahami berbeda
dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi
(meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu
kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan.

E. PENGERTIAN DZAHIR DAN MU’AWWAL


1. Dzahir menurut istilah Ushul Fiqih adalah:
‫المتردد بين أمرين هو فى احد هما اظهر‬

Artinya: “Kuragu-ragukan diantara dua perkara atau dua lafaz,


sedangkan salah satunya adalah lebih jelas.”16

Maksudnya adalah, suatu lafazd yang bisa diartikan dengan dua


makna, tetapi tinjauan dari segi bahasa menunjukkan bahwa salah
satu maknanya, artinya lebih jelas atau lebih menonjol pada lafaz
tersebut dari pada makna lainnya.
Al-Bazdawi memberikan defenisi dzhahir sebagai berikut:
‫إسم لكل كالم ظهر المراد به للسامع بصيغته‬
Artinya: “Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas
maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri.”17
16
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010), cet. 1, hlm 119

17
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 152

14
Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh Al-Sarakhsi:
‫ما يعرف المراد منه بنفس السامع من غير تأّم ل‬
Artinya: “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari
pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.”18

Dari defenisi diatas, dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud


dengan dzahir itu adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan
lafazh itu pendengar bisa langsung mengerti apa maksudnya tanpa
perlu berpikir dan tidak bergantung kepada petunjuk lain.

2. Pengertian Mu’awwal
Mu’awwal menurut kamus istilah fiqih adalah memindahkan
makna lafazh (Dzahir) Al-Qur’an kepada yang mungkin dapat
diterima oleh akal dari makna harfiyahnya.
Pengertian mu’awwal dalam penggunaan istilah adalah suatu
usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an
melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai
kandungan dari lafazh itu. Dengan kata lain, mu’awwal berarti
mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna
yang bukan makna lahiriyahya, bahkan penggunaan secara
masyhur kadang-kadang diidentikkan dengan tafsir.19

18
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah,
2009), hlm. 363
19
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 212

18

19

15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kaidah ushuliyah merupakan prinsip-prinsip dasar dalam menafsirkan teks
agama, terutama Al-Qur'an dan hadis. Beberapa konsep kaidah ushuliyah antara
lain mutlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan, manthuq dan mafhum, serta
dzahir dan mu'awwal. Konsep-konsep ini digunakan dalam proses istinbat hukum
dari teks agama. Secara singkat, konsep-konsep tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Mutlaq dan muqayyad: Mutlaq merujuk pada ketentuan yang umum dan tidak
terbatas, sementara muqayyad merujuk pada ketentuan yang khusus dan terbatas.
Mujmal dan mubayyan: Mujmal merujuk pada ketentuan yang umum dan tidak
jelas, sementara mubayyan merujuk pada ketentuan yang jelas dan terperinci.
Manthuq dan mafhum: Manthuq merujuk pada teks yang diucapkan secara
langsung, sementara mafhum merujuk pada teks yang tersirat atau dapat
disimpulkan dari teks yang diucapkan. Dzahir dan mu'awwal: Dzahir merujuk
pada makna harfiah dari teks, sementara mu'awwal merujuk pada upaya untuk
memahami makna tersirat atau makna yang mungkin dapat diterima oleh akal dari
makna harfiah teks tersebut. Konsep-konsep ini menjadi landasan penting dalam
metodologi ushul fiqh untuk memahami dan menetapkan hukum-hukum agama.
Masing-masing konsep memiliki peranannya sendiri dalam menafsirkan teks
agama dan mengambil hukum darinya.
B. Saran
Makalah ini sangat jauh dari kata sempurna karena kami juga masih tahap
belajar untuk itu kritikan dan saran yang membangun kami tunggu.

16
DAFTAR PUSAKA

 Syarif Hidayatullah, “Qawa‟id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi


Keuangan Syari‟ah Kontemporer(Mu‟amalat, Maliyyah islamiyyah,
mu‟ashirah), hlm. 32-35.
 Syarif Hidayatullah, “Qawa‟id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi
Keuangan Syari‟ah Kontemporer(Mu‟amalat, Maliyyah islamiyyah,
mu‟ashirah), hlm. 32-35.
 Arjoson, “Qowoid fiqhiyyah dan qowoid ushuliyah”, di kutip dari
http.www.harjosonblog.htm pada hari jumat, tanggal 13 Januari 2017, jam 12.51
WIB
 ibid
 ibid
 Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008), hal. 990
 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), 862.
 Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja
Murah,1982), 239.
 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008), 206
 Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, 57.
 Sapiuddin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 187
 Shidiq, Ushul Fiqh, 186-192
 Shidiq, Ushul Fiqh, 189.
 http://zulfa4wliya.wordpress.com/2009/05/06/mujmal-dan-mubayyan/
 al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir; Dar al-Ta’lif, 1965), h. 376-377

17
 Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2010), cet. 1, hlm 119
 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 152
 Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta:
Amzah, 2009), hlm. 363
 Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 212

18
19

Anda mungkin juga menyukai