KAIDAH USULIYYAH
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh Ekonomi Dan Keuangan
Dosen Mata Kuliah: Lisnawati, S.H., M. M.
Oleh:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah Subhanahu wata’ala atas segala karunia dan nikmat-Nya
makalah yang berjudul “Kaidah Usuliyyah” ini dapat diselesaikan dengan maksimal, tanpa ada
kendala yang berarti. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh Ekonomi
dan Keuangan yang diampu oleh ibu Lisnawati, S.H., M. M.
Pemilihan tema makalah didasari atas tugas individu yang sudah ditentukan juga sebagai
pengenalan kepada mahasiswa tentang ushul fiqh ekonomi dan keuangan, Semoga dengan adanya
makalah tugas ini menambah pengetahuan dan pemahaman bagi kita semua. Kami sadari bahwa
tidak ada pekerjaan manusia yang sempurna karena dari itu segala kekurangan yang ada di dalam
makalah baik dari segi penyusunan makalah, EYD, kosa kata, tata bahasa, etika maupun isi. Kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian untuk kami jadikan
sebagai bahan evaluasi.
Demikian, semoga makalah ini dapat diterima sebagai bahan pembelajaran dan menambah
wawasan kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ulama telah sepakat bahwa sumber primer ajaran Islam adalah al-Quran dan Sunnah
Nabi SAW. Dari keduanya dapat diketahui mengenai pedoman-pedoman hidup bagi seluruh
umat manusia. Selain dua sumber primer tersebut terdapat pula sumber sekunder yaitu ijmak
dan qiyas yang sebetulnya dapat dikatakan sebagai alat atau metode bantu untuk
membuktikan bahwa Islam shahih likulli zaman wa makan.
Sekarang ini dapat kita lihat tidak semua pemecahan masalah hukum atas berbagai
kehidupan manusia di dunia dirinci secara jelas dan tegas dalam al-Quran dan Hadis
Rasulullah SAW. Al-Quran dan Hadis Rasulullah SAW berbahasa Arab, sehingga dalam
memahami kandungan hukum-hukumnya akan benar jika menggunakan kaidah-kaidah
bahasa Arab dan seluk beluknya. Karena itu, lewat pendekatan linguistik para ahli ushul fiqh
berusaha menetapkan kaidah-kaidah penggalian hukum yang dikenal dengan term al-
qawa’id al-ushuliyyah (kaidah usuliyyah).
Kaidah ushuliyyah merupakan gambaran umum yang lazimnya mencakup metode
istinbathiyah dari sudut pemaknaan, baik dari tinjauan lughawi(kebahasaan) maupun tarkib
(susunan), dan uslub-uslubnya (gaya bahasanya). Kaidah ushuliyah berarti kaidah atau
aturan untuk memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan pengambilan hukum yang
diperoleh dengan mempelajari bahasa yang terkandung dalam dalil tersebut. Karena itu
semua model-model istinbath harus mengacu pada kaidah yang telah ditetapkan dan
disepakati bersama. Kaidah lughawiyyah atau kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat
untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu). Dapat dikatakan
bahwa pada dasarnya kaidah ushuliyyah merupakan pijakan utama tempat kerangka
pemikiran mujtahid dalam melakukan proses ijtihad untuk mengeluarkan dan menetapkan
hukum yang terdapat dalam nash. Kaidah-kaidah ushuliyyah merupakan katalisator bagi
dinamika hukum Islam.1
B. Rumusan Masalah
Untuk menguraikan beberapa hal yang terkait dalam makalah Kaidah Usuliyyah maka
rumusan masalah yang digunakan untuk pembahasan makalah adalah sebagai berikut:
1
Irwansyah Saputra. “Perkembangan Ushul Fiqh”. Jurnal Syariah Hukum Islam, Vol. 1 No.1, 2018, h.39.
4
5
Artinya: Sungguh, orang-orang sebelum mereka telah mengadakan tipu daya. Maka, Allah
menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari fondasinya, lalu atapnya jatuh
menimpa mereka dari atas. Azab itu datang kepada mereka dari arah yang tidak
mereka sadari. (An-Nahl/16:26)
Dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-
syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah: “Kaum yang
bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan: “Hukum yang biasa
berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.2 Sedangkan Ushul secara
etimologis berarti pangkal, asal, sumber, pokok, pusat, asas, dasar, sebab. Pengertian lain
Ushul adalah sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain.
Jadi, kaidah ushuliyah merupakan kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk
memahami hukum-hukum mengenai perbuatan manusia, yang ada dalam nash Al-Qur’an
dan Hadist yang telah dihasilkan oleh ulama’ ushul fiqh berdasarkan penelitian mereka
2
Munadi, “Pengantar Ushul Fiqh”, Jakarta: Unimal Press, 2017, h. 3.
6
7
terhadap ketentuan atas undang-undang bahasa arab. Menurut Ibnu Taimiyah, kaidah
ushuliyah adalah al-adillah al-ammah. Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, kaidah-kaidah
ushuliyah merupakan kaidah-kaidah universal yang dapat diaplikasikan kepada seluruh
bagian dan objeknya.
Kaidah ushuliyah disebut juga kaidah istinbathiyah atau kaidah lughowiyah. Disebut
kaidah istinbathiyah karena kaidah-kaidah tersebut dipergunakan dalam rangka
mengistinbatkan hukum-hukum Syara’ dari dalil-dalilnya yang terperinci. Disebut kaidah
lughawiyah karena kaidah ini merupakan kaidah yang dipakai ulama berdasarkan makna,
susunan, gaya bahasa, dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli
bahasa arab, setelah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dan kesusastraan arab.
Penggunaan aturan ushuliyah hanya digunakan sebagai cara untuk memperoleh bukti hukum
dan hasil hukum. Misalnya penetapan hukum amr, nahi dan sebagainya serta penerimaan
atau penggalian dalil dhanniyah seperti qiyas, istishab, istihsan dan sebagainya. 3
B. Urgensi Kaidah Usuliyyah
Ulama merupakan pewaris Nabi dalam hal mengajarkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran
agama Islam. Ulama memiliki kompetensi dan talenta dalam memahami pesan-pesan Allah
SWT dalam Al-Qur'an dan pesan-pesan Nabi Muhammad SAW dalam Sunnahnya. Salah
satu kompetensi tersebut adalah kemampuan mereka memahami, menganalisis, dan
memberikan konklusi terhadap hukum-hukum di dalam ushul fiqh dan fiqh. Ushul fiqh dan
fiqh merupakan hasil daya nalar ulama atau fuqaha dalam menganalisis dalil-dalil dan
peristiwa-peristiwa yang muncul secara bersamaan. Keberadaan ushul fiqh dan fiqh sangat
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam menyesuaikan diri dengan kondisi
zaman mereka. Jika ushul fiqh dan fiqh tidak ada, maka mukalaf sangat sulit memenuhi
perintah dan menjauhi larangan Allah SWT bahkan beribadah dengan sempurna. Ketaatan
dan ketakwaan akan segera muncul dengan menyikapi fiqh dengan baik.4
Adapun Urgensi kaidah ushul dalam pengembangan pemikiran hukum Islam dapat
dilihat sebagai berikut:
3
Ahmad Samsul Bachri, “Pengaruh Al-Qawaid Al-Usuliyyah Dan Fiqhiyyah Terhadap Perbedaan Pendapat
Dalam Fikih”, Jurnal Et-Tijarie, Vol. 5 No. 2, 2018, h. 68.
4
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, “Fiqh dan Ushul Fiqh”, Jakarta: Prenadautama Group, 2018, h. 6.
8
menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa. Penggalian hukum terutama hukum
syariah tidak terlepas dari pembahasan kebahasaan karena hampir 80% penggalian hukum
syariah menyangkut lafadz. Sebenarnya lafadz-lafadzlah yang menunjukkan hukum harus
jelas dan tegas supaya tidak membingungkan para pelaku hukum namun pada kenyataannya
petunjuk(dalalah) lafadz yang terdapat dalam syara’ itu beraneka ragam. Urgensi kaidah
usulliyah lainnya yaitu sebagai sandaran, pondasi dasar dalam beristinbath dan penetapan
hukum syara yang bersifat praktis dari sumber-sumber asli.5
C. Contoh Kaidah Usuliyyah
Kaidah usuliyyah terbagi menjadi 2 yaitu kaidah usuliyyah lughowiyah dan kaidah
usulliyah Tasyri’riyah. Kaidah usuliyyah lughowiyah terbagi menjadi beberapa macam
yaitu:6
a. Kaidah Amr dan Nahi
1. Kaidah Amr
Amr adalah permintaan melakukan suatu pekerjaan dari yang lebih tinggi
derajatnya kepada yang lebih rendah derajatnya. Dalam Amr terdapat beberapa
kaidah yaitu:
a) Asal dalam perintah itu hukumnya wajib kecuali terdapat dalil yang
menjelaskan tentang perbedaannya. Contohnya firman Allah QS. An-Nisa
ayat: 77 yaitu:
ۤ َۚ
َّ َواَقِْي ُموا
َّ الص هلوةَ َواهتُوا
)77 :4/الزهكوةَ ( النساء
5
Ahmad Labib Majdi, “Al-Qawaid Al-Usulliyah Al-Tasriy’yyah: Dari Teoritis Hingga Praktis”, Jurnal Asy-
Syir’ah, Vol. 45 No. 1, 2011, h. 34.
6
Sukanan dan Khairudin, “Ushul Fiqh Terjemahan Mabadi Awaliyah”, h. 5-20.
10
c) Asal dalam perintah itu tidak mesti spontan” karena sesungguhnya tujuan
yang diminta adalah melaksanakan perintah dengan tidak menentukan
waktu pelaksanaannya pada masa awal bukan pada masa kedua.
d) Memerintah sesuatu berarti juga memerintah melaksanakan wasilahnya.
Contoh: perintah melaksanakan sholat juga berarti perintah untuk bersuci
sebelum sholat, karena sholat tidak sah jika tidak bersuci. Memerintah
sesuatu berarti juga melarang yang berlawanan dengan sesuatu itu.
Contohnya firman Allah QS. al-Baqarah ayat 83 yaitu:
ِ َوقُ ْولُْوا لِلن
)83 :2/ ( البقرة٨٣ َّاس ُح ْسنًا
Artinya: “Selain itu, bertutur katalah yang baik kepada manusia.” (Al-
Baqarah/2:83)
e) Jika apa yang diperintahkan telah dilakukan, maka orang yang diperintah
telah keluar dari tanggungan perintah itu. Contohnya: jika seseorang
dengan tidak adanya air ia bertayammum dan melaksanakan sholat, maka
tidak mesti melakukan qadha sholat jika ia telah menemukan air.
2. Nahi
Nahi adalah permintaan meninggalkan pekerjaan dari yang lebih tinggi
derajatnya kepada yang lebih rendah derajatnya. Dalam nahi terdapat beberapa
kaidah yaitu:
a) Asal dalam larangan itu hukumnya haram kecuali terdapat dalil yang
menjelaskan tentang perbedaannya. Contohnya firman Allah QS. al-A’raf
ayat 56 yaitu:
)56 :7/ ( اَلعراف٥٦ ص ََل ِح َها ِ ِ َوََل تُ ْف ِس ُد ْوا ِِف ْاَلَْر
ْ ض بَ ْع َد ا
Artinya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur
dengan baik.” (Al-A'raf/7:56)
b) Melarang sesuatu berarti juga memerintah yang berlawanan dengan
sesuatu itu. Contohnya firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 188 yaitu:
ِ وََل ََتْ ُكلُْٓوا اَموالَ ُكم ب ي نَ ُكم ِِبلْب
)188 :2/ ( البقرة١٨٨ اط ِلَ ْ َْ ْ َ ْ ْ َ
Artinya: “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang
batil.” (Al-Baqarah/2:188)
11
Sedangkan Mukhassis ialah suatu dalil atau alasan yang menjadi alasan adanya
pengeluaran tersebut. Contohnya terdapatnya istisna’ dalam QS. Al-Ashr: 1-3:
ِ الصلِ هح ِ ِ ِ ٍۙ ِ ِ ِ ٍۙ والْع
)3-1 :103/ ( العصر٣ ࣖ ت ٰ اََّل الَّذيْ َن اه َمنُ ْوا َو َعملُوا ه٢ ا َّن ْاَلنْ َسا َن لَف ْي ُخ ْسر١ ص ِر
َْ َ
Artinya: “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh.”
(Al-'Asr/103:1-3)
c. Kaidah-kaidah Naskh dan Mujmal
1. Naskh
Naskh menurut bahasa menghapus atau menghilangkan. Sedangkan
menurut syara’ (istilah) Naskh ialah Menghilangkan hukum syara “dengan dasar
dalil syara” yang lebih akhir datangnya. Naskh terbagi beberapa macam salah
satunya yaitu menasakh hukumnya dan menetapkan tulisannya. Contohnya
terdapat pada QS. al-Baqarah ayat 240 sebagai berikut:
ۖ
)240 :2/ْي اِ ْخ َراج َۚ ( البقرة ِ ِ والَّ ِذين ي ت وفَّو َن ِمْن ُكم وي َذرو َن اَزواجا َّو ِصيَّة َِٰلَزو ِاج ِهم َّمت
َ ْ َاعا ا َٰل ا ْْلَْول غ
ً َ ْ َْ ً ً َ ْ ُْ َ َ ْ ْ َ َُ َ ْ َ
Artinya: “Orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-
istri hendaklah membuat wasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) nafkah
sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah).” (Al-
Baqarah/2:240)
2. Mujmal
Mujmal ialah Sesuatu yang membutuhkan penjelasan, contohnya terdapat
pada QS. al-Baqarah ayat 228 yaitu:
ۤ
)228 :2/ ( البقرة٢٢٨ ࣖ ص َن ِِبَنْ ُف ِس ِه َّن ثَ هلثَ َة قُُرْو ۗء ُ َوالْ ُمطَلَّق
ْ َّهت يََََتب
Artinya: “Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu)
tiga kali quru.” (Al-Baqarah/2:228)
d. Kaidah-kaidah Muthlaq dan muqayyad
1. Muthlaq
Muthlaq ialah mengambil pengertian dari lafadz yang menunjukkan
hakikat dan tidak ada yang mengikat (bebas). Dan contoh muthlaq yaitu terdapat
pada QS. al-Mujadalah ayat 3, sebagai berikut:
13
memukul kedua orang tua, yang dapat dipahami dari surat al-Isra ayat 23,
sebagai berikut:
ۤ
)23 :17/ ( اَلسراء٢٣ ف َّوََل تَْن َه ْرُُهَا َوقُ ْل ََّّلَُما قَ ْوًَل َك ِرْْيًا
ٰ ُفَََل تَ ُق ْل ََّّلَُمآْ ا
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak
keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang
baik.” (Al-Isra'/17:23)
b) Mafhum mukhalafah yaitu pemahaman yang diambil berlawanan dengan
yang diucapkan (ditulis). Salah satu contoh mafhum mukhalafah yaitu
tentang tidak bolehnya melakukan ibadah haji selain bulan-bulan yang
telah ditentukan, QS.al-Baqarah ayat 197 sebagai berikut:
)197 :2/ ( البقرة١٩٧ َۚ ت
ٌ اَ ْْلَ ُّج اَ ْش ُهٌر َّم ْعلُ ْوهم
Artinya: “(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah
dimaklumi.” (Al-Baqarah/2:197)
f. Kaidah usulliyah Tasyri’riyah
Menurut Abdul Wahab Khallaf kaidah usulliyah tasyri’yah didefinisikan sebagai
kaidah-kaidah dasar yang digunakan untuk melakukan pembentukan hukum islam.
kaidah usulliyah tasyri’yah bermanfaat sebagai sandaran dan pondasi dalam
penggunaan istinbat al-hukm (penetapan hukum islam) dari sumbernya. Contohnya
seperti beristinbath hukum dari nash-nash dan menjadi keharusan dalam pemeliharaan
beristinbath hukum terhadap perkara yang tidak ada nashnya menjadi ada, supaya
pensyariatan menjadi nyata dalam maksud tujuan menghantarkan kepada
kemaslahatan dan keadilan dalam menjalani kehidupan. Tujuan utama islam dalam
pensyariatan hukum adalah untuk mencapai kemaslahatan manusia yang meliputi
pemenuhan dasar, dan penyempurnaan kebutuhan biasa (hajiy). Disebut hajiy jika
merupakan sesuatu hal yang dibutuhkan manusia untuk mendapatkan kemudahan.
Contohnya yaitu dalam melakukan ibadah puasa, orang yang sakit dan berpergian
boleh tidak berpuasa atau membatalkan puasanya.7
7
Iffatin Nur, “Reformulasi al-Qawa’id al-Uṣuliyyah al-Tashri’iyyah dalam Pengembangan Fiqih
Kontemporer”, Jurnal Studi KeIslaman, Vol. 20 No. 1, 2020, h. 59.
15
8
Ismail, “Perbankan Syari’ah”, Jakarta: Penadamedia Group, 2016, h. 16.
9
Khaidir Hasram, “Al-Qawaid al-Ushuliyah al-Tasyri’iyah sebagai Basis Metodologi Fikih Kontemporer”,
Mazahibuna: Jurnal Perbandingan Mahzab, Vo. 1 No. 2, 2019, h. 148.
16
pada kasus riba dan harus didasarkan pada dalil syara. Berikut satu contoh terkait penerapan
al-Qawaid al-Usuliyyah pada kasus riba di dalam di dalam surah Al-Qur’an, yaitu QS. Ali
‘Imran ayat 130:
ِ ِ ۤ ِ ِ
ٰت م ْن ُس ْوء ۛ تَ َوُّد لَْو اَ َّن بَْي نَ َها َوبَْي نَهٗ ْٓٓ اََم ًدا بَعْي ًدا ۗ َوُُيَ ٰذ ُرُك ُم ا هّٰللُ نَ ْف َسهٗ ۗ َو ه
ُاّلل َ ت ِم ْن َخ ْْي ُُّّْم
ْ َضًرا َۛوَما عَمل ْ َْوَم ََِت ُد ُك ُّل نَ ْفس َّما عَ ِمل
ِ ف ِِبلْعِب
)30 :3/ ( ا هٓل عمران٣٠ ࣖ ادَ ٌ َرءُ ْو
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (Ali 'Imran/3:30)
Dalil al-Qur’an yang mengandung larangan di atas, yang larangannya digambarkan
dalam kalimat “La ta’kulu al-Riba”, maka kaidah al-Usuliyyah yang bisa digunakan yaitu
dalil terkait pelarangan itu menunjukkan keharaman. Berdasarkan al-Qawaid al-Usuliyyah
di atas, maka lafadz nahi yang terdapat dalam QS. Ali’Imran ayat 130 bermakna keharaman.
Jadi, hal yang dilarang dalam ayat tersebut, dihukumi haram untuk dilakukan. Dalam hal ini
berarti haram hukumnya melakukan segala bentuk riba.
Riba secara garis besar terbagi menjadi dua bentuk, yaitu riba hutang-piutang dan riba
jual beli. Kemudian, dari keduanya itu terbagi menjadi dua macam, Riba yang pertama, yaitu
hutang piutang, terdiri dari riba Qard dan Riba Jahiliyyah. Sedangkan riba yang kedua, yaitu
riba jual beli terdiri dari riba al-Fadl dan riba Nasi’ah.10 Berikut penjelasannya masing-
masing yaitu:
1. Riba Qard ialah kemanfaatan dan atau tingkat kelebihan yang biasanya menjadi syarat
bagi orang yang memiliki hutang (muqtariḍ).11 Sebagai contoh misalnya, Pak Toni
meminjamkan uang kepada Pak Anto senilai Rp. 100.000. Dalam kasus tersebut, Pak
Anto memberikan pinjaman dengan memberikan ketentuan syarat bahwa Pak Toni
harus mengembalikan uang piinjamannya sebesar Rp. 110.000. Dalam kasus ini maka,
uang lebihan senilai 10.000 itu adalah haram sebab tergolong sebagai riba yang
pertama (riba Qard).
10
Lukita Fahriana dan JM. Muslimin, “Penerapan al-Qawa’id al-Uṣuliyyah dan al-Qawa‘id al-Fiqhiyah dalam
Kasus Riba dan Bank Syari'ah”, Jurnal Kajian Interdisipliner Islam Indonesia, Vol. 10 No. 2, 2020, h. 123-124.
11
Muhammad Sholahuddin, “Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan dan Bisnis Syariah”, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2011, h. 152.
17
2. Riba Jahiliyyah, yaitu ketika hutang yang dimiliki seseorang harus dibaayr lebih dari
hutang pokoknya dikarenakan seseorang tak bisa melunasih hutangnya pada tempo
yang sudah ditentukan. Contoh: Si X meminjam uang kepada si Y sebesar Rp 150.000
selama 3 minggu, saat jatuh tempo si X belum bisa membayar utangnya, lalu si Y
berkata “kamu lunasi utang kamu sekarang sebesar 150.000, atau saya kasih waktu
lagi, tapi dengan syarat uang pembayaran menjadi Rp 170.000”, maka 20.000 tersebut
adalah jenis riba Jahiliyyah.
3. Riba al-Fadl adalah pertukaran antar barang yang sama dengan kadar kuantitas yang
berbeda, bukan sama dalam kualitas dan waktu penyeragannya tidak sama.12 Contoh:
Menukar uang Rp 200.000 menjadi pecahan kecil tetapi yang dikembalikan hanya Rp
190.000, maka selisih 10.000 adalah riba fadl.
4. Riba Nasi’ah penundaan dalam penyerahan maupun penerimaan barang-barang ribawi
yang ditukarkan dengan baran ribawi lainnya.13 Contoh: Leli ingin menukarkan uang
Rp 100.000 dengan pecahan 5000 kepada Loli. Tetapi pada saat itu, Loli hanya
memiliki uang 5000-an sebanyak 12 lembar, lalu 8 lembar laginya diserahkan kepada
Leli setelah 2 jam. Maka, penundaan tersebut dikategorikan ke dalam riba nasī’ah.
Contoh lain: si K dan si L akan saling bertukar emas. Si K memiliki emas 24 karat
yang ingin ditukarkan kepada emas 24 karat punya si L dengan gram yang sama. Akan
tetapi, emas milik si L diserahkan kepada si K satu minggu setelah perjanjian transaksi
tersebut, maka penangguhan waktu satu minggu itu termasuk riba nasi’ah.
Abdul Ghofur Anshori, “Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi)”,
13
18
19
permasalahan ekonomi dan keuangan salah satunya yaitu terdapat pada kasus riba dan
didasarkan pada dalil syara. Berikut satu contoh terkait penerapan kaidah usuliyyah pada
kasus riba di dalam di dalam surah Al-Qur’an, yaitu QS. Ali ‘Imran ayat 130. Dalil al-Qur’an
yang mengandung larangan di atas, larangannya digambarkan dalam kalimat “La ta’kulu al-
Riba”, maka kaidah Usuliyyah yang bisa digunakan yaitu dalil terkait pelarangan itu
menunjukan keharaman. Berdasarkan kaidah Usuliyyah tersebut, maka lafadz nahi yang
terdapat dalam QS. Ali-Imran ayat 130 bermakna keharaman.
B. Saran
Dapat dilihat dari pengertian kaidah usulliyah yaitu kaidah-kaidah yang dapat
digunakan untuk memahami hukum-hukum mengenai perbuatan manusia. Kaidah ushuliyah
pada umumnya berkaitan dengan dalalah lafadz atau kebahasaan pada sumber hukum islam.
Jadi, kaidah usulliyah ini sangat penting untuk para ulama dalam menetapkan hukum islam
dalam menghukumi suatu perbuatan manusia terutama pada zaman sekarang ini. Dimana
dalam memahami sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan Sunnah tidaklah mudah, oelh
karena itu sangat perlu yang namanya kaidah usulliyah.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua orang dan juga penulis.
Mengingat makalah ini masih memiliki banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun
dari segi penyusunannya, maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca dan dapat membantu untuk memperbaiki makalah ini agar
menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur. 2018. “Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan
Implementasi)”. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Bachri, Ahmad Samsul. 2018. “Pengaruh Al-Qawaid Al-Usuliyyah Dan Fiqhiyyah Terhadap
Perbedaan Pendapat Dalam Fikih”. Jurnal Et-Tijarie. Vol. 5 No. 2.
Fahriana, Lukita dan JM. Muslimin. 2020. “Penerapan al-Qawa’id al-Uṣuliyyah dan al-Qawa‘id
al-Fiqhiyah dalam Kasus Riba dan Bank Syari'ah”. Jurnal Kajian Interdisipliner Islam
Indonesia. Vol. 10 No. 2.
Hasram, Khaidir. 2019. “Al-Qawaid al-Ushuliyah al-Tasyri’iyah sebagai Basis Metodologi Fikih
Kontemporer”. Mazahibuna: Jurnal Perbandingan Mahzab. Vol. 1 No. 2.
Ismail. 2016. “Perbankan Syari’ah”. Jakarta: Penadamedia Group.
Majdi, Ahmad Labib. 2011. “Al-Qawaid Al-Usulliyah Al-Tasriy’yyah: Dari Teoritis Hingga
Praktis”. Jurnal Asy-Syir’ah. Vol. 45 No. 1.
Munadi. 2017. “Pengantar Ushul Fiqh”. Jakarta: Unimal Press.
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga. 2018. “Fiqh dan Ushul Fiqh”. Jakarta: Prenadautama Group.
Nur, Iffatin. 2020. “Reformulasi al-Qawa’id al-Uṣuliyyah al-Tashri’iyyah dalam Pengembangan
Fiqih Kontemporer”. Jurnal Studi KeIslaman. Vol. 20 No. 1.
Saputra, Irwansyah. 2018. “Perkembangan Ushul Fiqh”. Jurnal Syariah Hukum Islam. Vol. 1 No.1.
Sholahuddin, Muhammad. 2011. “Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan dan Bisnis Syariah”.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sukanan dan Khairudin. “Ushul Fiqh Terjemahan Mabadi Awaliyah”.
20