Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“kaidah kaidah ushuliyah”


Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata perkuliahan ushul fiqih

Dosen Pembimbing :
Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M.A
Disusun oleh :
Muhammad ilham g
Muhammad zaky i
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYYAH DIROSATUL QUR’AN
BOJONGSARI-DEPOK
1442 H/2022 M

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum, Wr. Wb.


Alhamdulillah, Puja puji beserta syukur marilah kita haturkan Allah SWT, yang
telah memberikan kita bermacam-macam nikmat-Nya seperti nikmat Iman, Islam dan
Ihsan sehingga kita bisa merasakan indahnya hidup dalam keislaman. Shalawat serta
salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa umatnya dari zaman kebodohan hingga zaman yang penuh akan keilmuan ini.
Tak lupa pula kami ucapkan terima kasi kepada Bpk. Dr. Ahmad Sudirman Abbas,
M.A selaku dosen pembimbing dalam mata kuliah Ushul Fiqih yang telah membimbing
kami, kami juga ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membanttu kami menyelesaikan makalah ini.
Mungkin tugas yang kami buat ini belum sempurna oleh karena itu, kami meminta
maaf jika makalah ini terdapat kesalahan dan kekurangan, kami mohon saran dan
kritiknya untuk memperbaiki makalah ini.
Wassalamu’alaikum, Wr. Wb

Bojongsari, 27 oktober 2022


Penulis,

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................................................4
B. Rumusan masalah.......................................................................................................................4
C. Tujuan.........................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
A. QAIDAH AL-USHULIYAH...........................................................................................................5
1. Pengertian Qaidah Ushuliyah.......................................................................................................5
2. Urgensi Qaidah Ushuliyah............................................................................................................6
3. Jenis-jenis Qaidah Ushuliyah........................................................................................................6
B. QAIDAH AL-TASYRI’IYAH.........................................................................................................7
1. Pengertian Qaidah Al-Tasyri’iyah................................................................................................7
2. Urgensi Qaidah Al-Tasyri’iyah.....................................................................................................8
3. Beberapa Contoh Qaidah Al-Tasyri’iyah......................................................................................9
BAB III.....................................................................................................................................................11
PENUTUP................................................................................................................................................11
A. KESIMPULAN...............................................................................................................................11
B. SARAN............................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................12

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kaidah-kaidah hukum tidaklah disusun dalam suatu kurun waktu tertentu. Hukum-hukum itu
baru tersusun secara sistematis di kemudian hari sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan
ijtihad di kalangan para pakar dan pendiri madzhab dalam hukum islam.
Makna-makna yang tergantung dalam kaidah-kaidah hukum ditetapkan oleh para pakar hukum
islam yang kemudian dikenal sebagai pendiri dan tokoh madzhab hukum. Mereka menyusun
kaidah-kaidah hukum berdasarkan pengalaman empiriknya yang kemudian dirumuskannya
melalui penalaran induktif. Dengan demikian, tidak mengherankan jika kaidah-kaidah hukum itu
baru dikodifikasikan pada abad ke-3 hijriah.
Bunyi pernyataan dalam bentuk kaidah hukum dalam kitab-kitab hukum karya ulama terdahulu
berbeda dengan bunyi pernyataan kaidah hukum dalam kitab-kitab yang ditulis para pakar
hukum islam yang datang kemudian. Tokoh pendahulu dalam penulisan kaidah-kaidah hukum
islam adalah Abu al-Hasan Ubaidillah bin al-Husain bin al-Karkhi (160-340H) yang dikenal
dengan nama al-Karkhi. Kaidah tentang ijtihad dalam karya al-Karkhi berbunyi:
Artinya : Pada pokoknya apabila suatu kasus telah ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad,
maka ketetapan tersebut tidak dapat dihapuskan dengan hasill ijtihad serupa. Ketetapan tersebut
dapat dihapus berdasarkan nash.
Susunan pernyataan yang terkandung di dalam kaidah hukum itu tidak diketahui secara pasti dari
mana asal-usulnya. Akan tetapi, kaidah hukum itu ada yang dipetik sepenuhnya dari teks al-
Qur’an dan dari hadits Nabi.
Dengan mengamati definisi-definisi diatas dapatlah difaham bahwa kaiadah-kaidah hukum yang
dibangun oleh para pakarhukum itu disususn berdasarkan penalan induktif.para ahli ushul fiqh,
yakni kaum epistemology hukum islsm telah menyusun kaidah-kaidah hukum itu berdasrkan
penalaran induktif.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian dan urgensi kaidah ushuliyah ?
2. Apa pengertian dan urgensi kaidah Al-Tasyri’iyah ?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dan urgensi kaidah ushuliyah
2. Mengetahui pengertian dan urgensi kaidah Al-Tasyri’iyah

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. QAIDAH AL-USHULIYAH
1. Pengertian Qaidah Ushuliyah
Qaidah ushuliyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah, kaidah dalam bahasa
Arab ditulis dengan qaidah, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang
mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Adapun
ushuliyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah
ushuliyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau
peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai
kaidah Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, kaidah ushuliyah
adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash
yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan
kesusastraan Arab.
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Mengemukakan pengertian kaidah menurut Ahmad
Muhammad Asy-Syafi’i dan Fathi Ridwan. Pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-
Syafi’i adalah sebagai berikut :
Artinya :
“Hukum-hukum yang bersifat menyeluruh yang dijadikan jalan untuk terciptanya masing-masing
hukum juz’i.”
Adapun menurut Fathi Ridwan pengertian kaidah itu adalah sebagai berikut :
Artinya :
“Hukum-hukum yang bersifat umum yang meliputi bagian-bagiannnya.”
Dalil syara’ itu ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal) dan ada
yang hanya ditujukan bagi suatu hukum tertentu dari suatu cabang hukum tertentu pula. Dalil
yang bersifat menyeluruh itu disebut pula qaidah ushuliyah. Qaidah ushuliyah adalah sejumlah
peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan
dalalah lafadz atau kebahasaan.
Kaidah-kaidah ushuliyah menurut Prof. Dr. Muhammad Syabir adalah sebagai suatu perkara
kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum
syar’iyyah al-Far’iyyah dan dalil-dalilnya yang terperinci.
Dari beberapa pengertian mengenai kaidah ushuliyah di atas disimpulkan bahwa kaidah
ushuliyah itu merupakan sejumlah peraturan untuk menggali dalil-dalil syara’ sehingga
didapatkan hukum syara’ dari dalil-dalil tersebut.

5
2. Urgensi Qaidah Ushuliyah
Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah), ‘akal
(prinsip-prinsip dan nilai-nilai), dan bahasa (ushul at-tahlil al-lughawi). Qaidah ushuliyah itu
berkaitan dengan bahasa. Dalam pada itu, sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa.
Oleh karena itu, qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk mengganti ketentuan hukum
yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Mengetahui qaidah ushuliyyah dapat mempermudah
Faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si mengemukakan bahwa kaidah ushuliyah itu sangat penting
karena kaidah ushuliyah itu merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang
tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah ushuliyah merupakan modal utama
memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung belum semuanya
mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan. Beliau juga mengemukakan pendapat Abdul
Wahhab Khallaf dan Abdul Hamid Hakim yang mengatakan bahwa penetapan hukum perintah,
larangan, dan sebagainya, berikut penggalian dalil-dalil yang dijadikan hujjah syar’iyyah dalam
hukum Islam merupakan fungsi utama dari kaidah ushuliyah.
3. Jenis-jenis Qaidah Ushuliyah
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si menjelaskan bahwa penerapan kaidah ushuliyah yang pertama
adalah kaidah lughawiyah, yaitu kaidah bahasa yang berhubungan dengan kalimat-kalimat yang
tersirat dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Adapun kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai
berikut:
Kaidah ushuliyah yang berkaitan dengan amr yang menunjukkan kewajiban bagi mukallaf untuk
mengamalkannya.
Artinya : “Asal dari perintah itu wajib”
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat : 43
Arti dari surat Al-Baqarah ayat 43 yaitu Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah
beserta orang-orang yang ruku’.
Kaidah kedua :
Artinya : “Asal dari perintah itu hukumnya sunnat.”
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 60.
Kaidah ushuliyah yang berhubungan dengan larangan (nahy)
Artinya : “Asal dari larangan itu hukumnya haram.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 11.

6
Arti dari surat Al-Baqarah ayat 11 yaitu Bila mereka dinasehati agar meninggalkan perbuatan-
perbuatan tersebut, mereka membuat dalih dan alasan dengan mengatakan bahwa mereka
sebenarnya berusaha mengadakan perbaikan dan perdamaian antara golongan muslimin dengan
golongan yang lainya. Mereka mengatakan bahwa tindakan-tindakan mereka yang merusak itu
sebagai suatu usaha perbaikan untuk menipu kaum muslimin.
Menurut beliau, selain kaidah lughawiyah, sebenarnya ada pula kaidah tasyri’iyah, tetapi acuan
pokoknya tetap kaidah bahasa. Kaidah yang kedua ini akan penulis jelaskan secara terpisah di
makalah ini setelah pembahasan kaidah ushuliyah.
Adapun contoh-contoh qaidah ushuliyyah yang dipaparkan oleh prof. Dr. Rachmat Syafe’i,MA.
adalah sebagai berikut:
a. Kaidah : Artinya: “Yang dipandang dasar (titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh
bukan sebab khusus (latar belakang kejadian).
b. Kaidah : Artinya : “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka
didahulukan dalil yang melarang.”
c. Kaidah : Artinya: “Makna implisit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna
eksplisit.”
d. Kaidah : Artinya : “Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.
e. Kaidah : Artinya : “Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib.
f. Kaidah : Artinya : “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.
g. Kaidah : Artinya : “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya.

B. QAIDAH AL-TASYRI’IYAH
1. Pengertian Qaidah Al-Tasyri’iyah
Qaidah al-tasyri’iyah terdiri dari dua kata yaitu qaidah dan al-tasyri’iyah. Apa yang dimaksud
dengan kaidah, secara jelas telah dibahas pada pembahasan qaidah al-ushuliyah. Adapun yang
dimaksud dengan al-tasyri’iyah akan diterangkan berikut ini.
Dr. Juhaya S. Praja mengemukakan bahwa dalam bahasa Arab dijumpai kata shara’a yang berarti
membuat jalan raya, suatu jalan besar yang menjadi jalan utama, dengan demikian, kata tasyri’
berarti pembentukan jalan raya itu. Terdapat dua macam tasyri’, antara lain tasyri’ samawiy dan
tasyri’ wad’iy. Tasyri’ Samawiy yaitu peraturan perundang-undangan yang murni dari pembuat
hukum, yaitu Allah. Adapun tasyri’ wad’iy ialah peraturan perundang-undangan yang dibuat dan
dirumuskan oleh manusia yang didasarkan atau dengan referensi tasyri’ samawiy.
Kaidah perundang-undangan yang dalam istilah ahli ushul fiqhi dikenal dengan nama
Qawa’idut-Tasyri’iyah ialah tata aturan yang dibuat pedoman oleh pembuat undang-undang
dalam menyusun undang-undang dan merealisir tujuan yang ingin dicapainya melalui pemberian
beban kewajiban kepada orang-orang mukallaf.

7
Dari definisi di atas diketahui bahwa qaidah al-tasyri’iyah itu sangat berguna terutama dalam
proses penyusunan undang-undang. Undang-undang secara garis besar ada dua macam, yaitu
qanun tasyri’i (peraturan perundangan) dan qanun ijra’i (peraturan prosedural).
Qanun tasyri (peraturan perundangan) adalah undang-undang yang materinya berupa hukum
syara’, atau aqidah, atau kaidah kulliyah syar’iyyah, atau sumber-sumber hukum syara’.
Qanun ijra’i (peraturan prosedural) adalah undang-undang yang materinya berkaitan dengan
sekumpulan cara (uslub), sarana (wasilah), dan alat (adawat) untuk melaksanakan hukum syara’
tertentu.
2. Urgensi Qaidah Al-Tasyri’iyah
Menurut Juhaya S. Praja kata tasyri’ yang berarti pembentukan jalan raya kemudian digunakan
dikalangan ahli hukum Islam dalam arti pembentukan teori-teori hukum Islam. Oleh karena itu,
term tasyri’ berarti pembentukan hukum Islam secara sistematis; pembentukan hukum-hukum
teoritis dan hukum-hukum praktis. Dengan demikian, di dalam term tasyri’ terkandung dua
unsur, unsur wahyu dan unsur akal yang telah bekerja dalam menggali hukum –hukum yang
disebut ijtihad.
Sementara itu dijelaskan bahwa para ulama ushul fiqh memperoleh kaidah-kaidah tasyri’iyah
(kaidah-kaidah perundang-undangan) setelah mengadakan penelitian terhadap hukum-hukum
syari’at, hikmah, illat dan sebab-sebab disyari’atkan suatu hukum, terhadap nash-nash yang
menetapkan dasar-dasar pembuatan syari’at secara umum dan terperinci dan mengistimbathkan
hukum dari nash-nash tersebut dan dari peristiwa yang belum ada nashnya, agar perundang-
undangan tersebut dapat merealisir tujuan syari’at dalam mewujudkan kemaslahatan dan
keadilan dan menghindarkan kerusakan dan ketidakadilan di antara manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa kaidah tasyri’iyah itu
sangatlah penting bagi kita semua. Kebutuhan manusia akan hal itu tak dapat dipungkiri. Kaidah
perundang-undangan yang berfungsi meralisir tujuan syari’at yang mengatur kehidupan manusia
sehingga terwujudnya kemaslahatan di tengah-tengah kehidupan mereka.
Pentingnya kaidah tesyri’iyah (kaidah perundang-undangan) bisa dilihat dari tujuan
diciptakannya syari’at (undang-undang) itu sendiri. Muchtar Yahya dan Fatchur Rahman
mengemukakan bahwa syar’i dalam menciptakan syari’at (undang-undang) bukanlah
serampangan, tanpa arah, melainkan bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum,
memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadatan bagi ummat manusia.
Mereka berdua menjelaskan bahwa ada tiga macam tujuan umum perundang-undangan yang
dikemukakan oleh para ulama ahli ushul, antara lain :
a. Untuk memelihara Al-Umurudh-dharuriyah dalam kehidupan manusia. Yakni hal-hal yang
menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka. Artinya
bila sendi-sendi itu tidak ada, kehidupan mereka menjadi kacau-balau, kemaslahatan tidak
tercapai dan kebahagiaan ukhrawi tidak bakal dapat dinikmati.

8
b. Untuk memenuhi Al-Umurul-hajiyah dalam kehidupan manusia. Yaitu hal-hal yang
dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan.
Artinya bila sekiranya hal-hal tersebut tidak ada, maka tidak sampai membawa tata aturan hidup
manusia berantakan dan kacau melainkan hanya sekedar membuat kesulitan dan kesukaran saja.
c. Untuk merealisir Al-Umurut-tahsiniyah, yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal
yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh kepribadian yang kuat.
Artinya bila umurut tahsiniyah ini tidak dapat dipenuhi, maka kehidupan manusia tidaklah
sekacau sekiranya urusan dharuriyah tidak diwujudkan dan tidak membawa kesusahan dan
kesulitan seperti tidak dipenuhinya urusan hajiyah manusia. Akan tetapi, hanya dianggap kurang
harmonis oleh pertimbangan nalar sehat dan suara hati nurani.
3. Beberapa Contoh Qaidah Al-Tasyri’iyah
Dalam buku yang berjudul “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami” dijelaskan bahwa ada
beberapa kaidah perundang-undangan. Antara lain:
a. Al-Qur’an adalah sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits adalah sumber hukum yang
kedua.
b. Peristiwa yang sudah ditunjuk oleh nash, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits, tidak boleh
ditetapkan hukumnya berdasarkan pendapat logika (ra’yu).
c. Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya atau sudah ada nashnya tetapi tidak qath’i
dalalahnya ditetapkan hukumnya berdasarkan ijtihad. Baik ijtihad jama’i (kolektif) maupun
ijtihad fardi (perseorangan).
d. Keputusan dari ijtihad-jama’i (kolektif) harus didahulukan mengamalkannya daripada hasil
pendapat dari ijtihad-fardi (perseorangan).
e. Landasan utama ijtihad adalah Qiyas atau memelihara kemaslahatan orang banyak.
f. Kedua macam ijtihad tersebut harus berlandaskan kepada muqayasah (saling mengadakan
analogi suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain). Analogi atas kejadian-kejadian khusus
disebut Qiyas mutlaq dan analogi atas kejadian-kejadian umum disebut Qiyas mashlahah atau
mashalihul-mursalah.

Sementara dalam buku yang berjudul “Ilmu Ushul Fiqh” disebutkan bahwa kaidah tasyri’iyah itu
acuan pokoknya tetap pada kaidah bahasa, misalnya kaidah:
Artinya : “Tidak sempurna kewajiban, kecuali menjalankan kewajiban yang lainnya.”
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kaidah di atas adalah kaidah hukum, karena menyebutkan
kata wajib, yakni wajib yang dilaksanakan menjadi tidak sempurna sebelum melaksanakan
kewajiban yang lain, misalnya melaksanakan shalat tanpa berwudhu lebih dahulu.

9
Sebab-sebab dikeluarkannya suatu tuntutan atau perintah yang kuat selalu mengikuti status
hukum musababnya. Artinya jika status hukum musababnya wajib, maka wajib pula hukum
sebab yang menjadi perantaranya.

10
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Qaidah ushuliyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah, kaidah dalam
bahasa Arab ditulis dengan qaidah, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang
mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Adapun
ushuliyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah
ushuliyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau
peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai
kaidah Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, kaidah ushuliyah
adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash
yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan
kesusastraan Arab.
B. SARAN
semoga dengan dibuatnya makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya. Berjuanglah
demi hidup yang lebih baik, tingkatkan prestasimu dan teruslah dalam agama islam karena islam
membuat hidup kita lebih baik dan benar. Kami membuat makalah tentang sumber dan dalil
hokum islam ini bertujuan untuk meningkatan dan menerapkan dalam kehidupan sehari-
hari.sehingga bias mengatasi segala kesalahan terhadap hokum islam

11
DAFTAR PUSTAKA

Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009, hlm. 193-194.
Rachmat Syafe’i, Ulmu Ushul Fiqih (untuk UIN,STAIN,PTAIS), Bandung, Pustaka Setia, 2007,
hlm.147.

12

Anda mungkin juga menyukai