Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FIQHIYAH

Tentang

QAWAID DAN DHAWABIT

DISUSUN OLEH

NABILA ALISA PUTRI (1916050081)

RIFQI PASIMURA (1916050082)

Dosen pengampu :

Dr. Anton Akbar, M.Ag

PERBANKAN SYARIAH C’19

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

1444 H / 2022 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Qawaid Dan Dhawabit” Disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Qawaid Fiqiyyah.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 03 Maret 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................................

KATA PENGANTAR.........................................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................

A. Latar Belakang Masalah................................................................................................

B. Rumusan Masalah..........................................................................................................

C. Tujuan Penulisan............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................

A. Pengertian Qawaid Fiqiyah...........................................................................................

B. Pengertian Dhawabith Fiqiyah.......................................................................................

C. Perbedaan qawaid fiqiyah dan Dhawabith Fiqiyah........................................................

BAB III PENUTUP.............................................................................................................

SIMPULAN.........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam hukum Islam dikenal istilah Fiqh, Qawa’id Fiqhiyah, Dhabith Fiqh, dan
lain-lain. Adapun fiqih adalah produk yang dihasilkan oleh Ushul fiqh ataupun
Qawa’id Fiqhiyah. Sebagai landasan aktivitas umat Islam sehari-hari dalam usaha
memahami maksud-maksud ajaran Islam secara lebih menyeluruh, keberadaan
qawaid fiqhiyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau
pembaharuan pemikiran dalam permasalahan-permasalahan kehidupan manusia.
manfaat keberadaan qawa’id fiqhiyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih
praktis yang diturunkan dari nash asalnya yaitu Al-Qur’an dan Al-hadits kepada
masyarakat. Maqasidusy syari’ah diturunkan kepada manusia untuk memberi
kemudahan dalam pencapaian pemecahan masalah hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Qawaid Fiqiyyah?
2. Apa yang dimaksud dengan Dhawabith Fiqiyyah?
3. Apa saja perbedaan dari qawaid Fiqiyyah dan Dhawabith Fiqiyyah?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari Qawaid Fiqiyyah.
2. Mengetahui pengertian dari Dhawabith Fiqiyyah.
3. Mengetahui perbedaan Qawaid Fiqiyyah dan Dhawabith Fiqiyyah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Qawaid
1. Pengertian Qawaid
Kata qawaid merupakan bentuk jamak dari qa’idah yang berarti undang undang,
peraturan dan asas. Secara istilah didefinisikan sebagai undang undang, sumber,
dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua yang dipartikular.
Kata qawaid dapat ditemukan dalam al-qur’an qs al baqarah ayat 127 :

Artinya : Dan (ingatlah) ketika ibrahim meninggikan (membina) dasar dasar


baitullah bersama ismail (seraya berd’oa): “Ya tuhan kami terimalah daripada
kami (amalan kami) sesungguhnya engkaulah yang Maha Mendengar Lagi Maha
Mengetahui”.
Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni
kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara
etimologi, kata qaidah (‫)ةدعاق‬, jamaknya qawaid (‫)دعاوق‬. berarti; asas, landasan,
dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi
seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan
non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama). Dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah
pasti, patokan; dalil. Qaidah dengan arti dasar atau fondasi sesuatu yang
bersifat materi.
Kaidah Fiqih (Qawaid Fiqhiyah) adalah salah satu cabang ilmu didalam ilmu
Ushul Fiqih. Kaidah Fiqih terdiri dari dua suku kata, yaitu kata kaidah (qawaid)
dan kata fiqih (fiqhiyah). Kata kaidah (qawaid) secara bahasa / etimologi berarti
asal (al-asl) atau asas (al-asas), yang berarti berarti asas, landasan, dasar, basis
atau pondasi. Dengan demikian Kaidah Fiqih berarti asas, landasan, dasar, basis
atau pondasi Fiqih. Kaidah Fiqih berisi kaidah-kaidah universal bagi pelaksanaan
yurisprudensi (hukum) Islam aplikatif (Fiqih). Kaidah Fiqih berbeda dengan
Kaidah Ushul Fiqih. Kaidah Ushul Fiqih memuat kaidah kaidah dalam berijtihad,
kaidah-kaidah tentang Quran dan Sunah, Kaidah Ijma, Kaidah Qiyas, dan
berbagai kaidah dalam metodologi berijtihad seperti Kaidah Mashlahah, Kaidah
Sadd Dzariah, Kaidah Urf, Kaidah Istishab, Kaidah Qaul Sahabi, dan lainnya.
2. Perkembangan dan Pengkodifikasian Qawaid Fiqhiyyah
Menurut Ali Ahmad al Nadawi , perkembangan qawaid fiqhiyyah dapat dibagi
kedalam tiga fase, yaitu:
a. Fase pertumbuhan dan pembentukan (Abad I-III H)
Pada dasarnya peletakan batu dasar ilmu qawaid fiqhiyyah telah di
mulai sejak tiga kurun pertama dari tahun Hijriyyah, yaitu sejak masa
Rasulullah SAW, Sahabat, dan Tabi’in. Terdapat beberapa Ayat dari Al
Quran yang secara inplisit telah menunjukan Qawaid Fiqhiyyah.
Diantaranya adalah yang terdapat dalam QS. Al Baqarah 228:
“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf….”
Ayat ini dikemudian hari di jadikan sebagai landasan lahinya kaidah “
Adat kebiasaan merupakan hukum”.
Terdapat hadist-hadist Rasulullah yang padat dan singkat. Di antaranya
adalah hadist “Innamal a’malu binniyah….” Dan hadist “La darara wa la
dirara”.
Terdapat Atsar Sahabat yang singkat dan padat yang dapat dijadikan
sebagai sumber dalam mengambil keputusan hukum. Di antaranya atsar
Ali bin Abi Tahlib r.a (wafat 40 H) yang diriwayatkan oleh Abdul Razaq
(211 H) : “orang yang membagi keuntungan tidak harus menanggung
kerugian”.
Dan timbulnya kaidah-kaidah di kalangan para Tabi’in. di antaranya
adalah pernyataan Imam Syafi’i: “Apabila yang besar gugur, maka yang
kecil pun gugur”.
Kaidah fiqh telah ada semenjak masa Ulama Mutaqaddimin (abad 1, 2,
3 H) meskipun belum dikenal sebagai kaidah dan belum menjadi satu
disiplin ilmu tersendiri.mPerkembangan qawa’id fiqhiyyah dapat ditelusuri
lewat pernyatan-pernyatan para ulama di atas, karena mereka adalah
rujukan pertama ilmu ini. Beberapa kaidah yang dibentuk para ulama
mutaqaddimin, terutama apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad bin
Hambal dan Imam Syafi’I , merupakan beberapa kaidah ulama mutakhirin.
Atsar dan pernyataan para ulama mutaqaddimin menjadi rujukan ulama
mutakhirin dalam membentuk, mangumpulkan, dan mengkodifikasikan
qawa’id fiqhiyyah
b. Fase Perkembangan dan Pembukuan (Abad IV-XII H)
Awal mula qawaid fiqhiyyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan
dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa
setelahnya. Ulama pertama yang melakukan pembukuan ilmu Qawaid
Fiqhiyyah adalah ulama dari mazhab Hanafi, yaitu Abu Hasan Al Karkhi
(wafat 340 H). Dalam risalahnya yang berjudul Ushul Al Karkhi, Abu
Hasan Al Karkhi mengembangkan 17 kaidah dari Imam Abu Tahir al
Dabbas menjadi 39 kaidah. Setelah Karkhi ulama mazhab Hanafi yang
mengembangkan ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah Abu Zaid Ubaidullah al
Dabbusi (wafat 430 H) dalam kitabnya Ta’sis an Nadhar.
Selanjutnya Ilmu qawaid fiqhiyyah semangkin mengalami
perkembangan. Pada abad ke-7 H qawa’id fiqhiyyah mengalami
perkembangan yang sangat signifikan walaupun terlau dini untuk
dikatakan matang. Diantara ulama yang menulis kitab qawa’id pada abad
ini adalah al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613
H) ia menulis kitab dengan judul “al-Qawa’id fi Furu’I al- Syafi’iyah” ,
kemudian al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab
“Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab
terkenal. Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi
Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawa’id al-
Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa
qawa’id fiqhiyyah menglami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H.
Qawa’id fiqhiyyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi
sedikt mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyyah mengalami masa keemasan,
ditandai dengan banyaknya bermunculannya kitab-kitab Qawa’if
fiqhiyyah. Dalm hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif.
Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
1). Al-Asyabah Wa An-Nadhair Karya Ibnu Al-Wakil Al-Syafi’I
(W.716 H)
2). Kitab Al-Qawa’id Karya Al-Maqqari Al-Maliki (W. 758 H)
3). Al-Majmu’ Al-Mudzhab Fi Dhabt Al-Madzhab Karya Al-‘Alai Al-
Syafi’I (W.761 H). Dll
Dengan demikian, ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang secara
berangsur-angsur. Pada abad VIII H, perkembangan ini qawa’id fiqhiyyah
terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya,
khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya
pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni.
Pada abad X H, pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah semakin
berkembang. Imam al-Suyuti (w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan
qaidah fiqhiyyah yang paling penting dari karya al-‘Alai, al-subaki, dan al-
zarkasyi. Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya al-
Asybah wa al-Nadhai. Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut
masih mencakup qawa’id ushuliyah dan qawa’id fiqhiyyah, kecuali kitab
karya al-Zarkasyi.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang.
Dengan demikian, fase kedua dari ilmu qawa’id fiqhiyyah adalah fase
perkembangan dan pembukuan. Fase ini ditandai dengan munculnya al-
Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini
(abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu Qawa’id fiqhiyyah.
c. Fase pemantapan dan penyempurnaan (Abad XIII H)
Pengkodefikasian ilmu qawaid fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika
disusunya Al Majalla Al Ahkam Al Adliyyah pada akhir abad ke 13 H
oleh komite ulama pada masa khalifah Al Ghazi Abdul Azis dari dinasti
Ustmaniyyah. penyusunan dilakukan dengan melalui proses pengumpulan
dan penyeleksian terhadap berbagai kitab-kitab fiqh.
B. Dhawabit
Pengertian al-dhawâbith secara bahasa adalah bentuk jamak dari dhâbith yang
berakar kata dh-b-th. Kata ini merujuk pada pengertian luzûm al-syai wahabsuhu,
tetap dan tertahannya sesuatu. Contoh kalimat yang menunjukkan pada pengertian ini
adalah Dhabth al-Syai’ yang berarti sesuatu yang terikat dan terjaga, hifdzuhu bi al-
hazmi.
Dalam pengertian para ulama disebutkan bahwa Dhâwabith adalah Hukum yang
bersifat global yang mencakup atas bagian-bagiannya. Pengertian yang tercantum
dalam al-Mu’jam al-Wasith ini masih bersifat umum. Bahkan pengertian ini tidak
berbeda dengan pengertian kaidah fiqih pada umunya. Secara lebih spesifik,
pengertian dhawâbith sebagai berikut ini “Segala perkara (yang berimplikasi hukum)
atau hukum yang bersifat Kulliy yang bersimpul pada beragam bagian bagian di
dalam satu bab saja.
Kaidah kaidah dhawabit adalah:
1) Dhawabith fiqhiyah adalah semua yang terbatas juz’iyatnya (bagiannya) pada
suatu urusan tertentu.
2) Dhawabith fiqhiyah adalah apa yang tersusun sebagai bentuk-bentuk masalah
yang serupa dalam satu tema, tanpa melihat kepada makna yang menyeluruh yang
terkait.
3) Dhawabith fiqhiyah adalah apa yang dikhususkan dari qawa’id fiqhiyah pada
bab tertentu.
4) Dhawabith fiqhiyah adalah preposisi universal atau dasar universal atau
prinsip universal yang menghimpun furu’ dari satu bab (satu tema).
C. Perbedaan Qawaid Fiqiyyah dengan Dhawabith Fiqiyyah
Secara umum cakupan dhawabith fiqiyyahh lebih sempit dari cakupan kaidah
fikih dan pembahasan kaidah fikih tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain
halnya dengan dhabith fikih. Dan hanya berlaku bagi anak-anak yang belum dewasa,
maksudnya apabila anak yang belum dewasa melakukan kejahatan dengan sengaja,
maka hukumnya tidak sama dengan hukuman yang diancam kepada orang dewasa
kalau diberikan hukuman maka hukumnya hanya bersifat pendidikan. Sebab
kejahatan yang dia lakukan dengan sengaja, harus dianggap suatu kesalahan oleh
hakim bukan suatu kesengajaan.
Pada dasarnya kaidah semakna dengan dhabith, namun pada prakteknya para
ulama membedakan antara qawa’id fiqhiyyah dengan dhawabith fiqhiyyah. Qawa’id
Fiqhiyyah mencakup berbagai cabang dan masalah dalam bab-bab fiqih yang
berbeda-beda, seperti kaidah yang mencakup bab ibadah, jinayat, jihad, sumpah dan
lain-lain.
Sementara dhawabit fiqhiyyah mencakup berbagai cabang dan masalah dalam
satu bab fiqih saja. Contoh: seorang wanita tidak boleh melakukan shaum sunnah
kecuali seizin suaminya atau suaminya dalam perjalanan. As-Sayuthi berkata:
“Karena sesungguhnya qaidah menghimpun cabang-cabang dari berbagai bab yang
berbeda-beda, sedangkan dhabith menghimpun cabang-cabang dari satu bab saja”.
Ibnu Nujaim berpendapat bahwa perbedaan antara kaidah dan dhabith adalah
“kaidah itu menghimpun berbagai macam cabang dari berbagai jenis masalah hukum,
sedangkan dhabith hanya mencakup pada satu jenis masalah saja. Menurut
Abdurrohman al-Bannany al-Maliky, kaidah tidak dikhususkan pada suatu bab,
berbeda dengan dhabith pendapat seperti itu juga dikemukakan oleh As-Subki dan al-
Jaal as-Suyuti.
Pada umumnya, masing-masing bab memiliki dhabith. Salah satu dhabith fikih
mu’amalah adalah: “setiap hasil tanaman, baik sedikit maupun banyak, baik sawah
tadah hujan maupun yang diairi dengan irigasi harus dikeluarkan zakatnya sebesar
sepersepuluh.”
Ali Ahmad al-Nadawi menjelaskan bahwa perbedaan antara kaidah fikih dengan
dhabith fikih adalah:
1). Kaidah fikih lebih umum daripada dhabith fikih, kaidah fikih mencakup
banyak bab fikih, sedangkan dhabith fikih hanya mencakup salah satu bab atau
bahkan mencakup salah satu bagian dari bab fikih.
2). Dari segi penghadapan dengan furu’, dalam kaidah fikih lebih banyak
dihadapkan kepada furu’ dibanding dengan dhabit fikih.
3). Karena lebih banyak dihadapkan kepada furu’, dalam kaidah fikih terdapat
lebih banyak syadz dibanding dengan dhabith fikih.
4). Dalam kaidah fikih terdapat pengecualian-pengecualian (mustatsnayat), karena
kaidah fikih bersifat pada umumnya, sedangkan dalam dhabith fikih belum ada
penjelasannya mengenai ada tidaknya pengecualian. Dengan demikian diantara
ulama, sebagai dikatakan Muhammad Shidiqi Ibn Burn, ada yang membedakan
kaidah fiki dan dhabith fikih dari segi kesepakatan al-ittifaq atau al-ijma’ ulama dari
berbagai mazhab untuk menggunakan ugeran tersebut.
Berdasarkan pendapat para ulama tersebut, bisa disimpulkan bahwa perbedaan
pokok antara kedua istilah tersebut lebih berkaitan dengan masalah pengungkapan
saja.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Qawa’id Fiqiyyah atau kaidah-kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang
mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok yang
merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan
(menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan
masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaidah.
Dhawabith Al-Fiqiyyah adalah kaidah fikih, karena dhawabith Fiqiyyah
adalah bagian dari kaidah fikih, tetapi dari segi penghadapan terhadap furu’, setiap
qawaid fiqiyyah adalah dhawabith Fiqiyyah, dan tidak setiap Dhawabith Fiqiyyah
adalah Qawaid Fiqiyyah, karena Dhawabith Fiqiyyah hanya mencakup bab fikih
tertentu, sedangkan Qawaid Fiqiyyah mencakup banyak bab fikih.
Ali Ahmad al-Nadawi menjelaskan bahwa perbedaan antara qawaid fiqiyyah
dengan dhawabith fikih adalah: dari segi penghadapan dengan furu’, dalam qawaid
fiqiyyah lebih banyak dihadapkan kepada furu’ dibanding dhawabit fiqiyyah, karena
lebih banyak dihadapkan kepada furu’, dalam qawaid fiqiyyah terdapat lebih banyak
syadz dibanding dengan dhawabith fiqiyyah. Dalam qawaid fikih terdapat
pengecualian-pengecualian (mustatsnayat), karena qawaid fiqiyyah bersifat pada
umumnya, sedangkan dalam dhawabith fiqiyyah belum ada penjelasannya mengenai
ada tidaknya pengecualian.
DAFTAR PUSTAKA

https://ushulfiqih.com/pengertian-kaidah-fiqih/

https://www.gustani.id/2011/09/sejarah-qawaid-fiqhiyyah.html

Nashr Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz, Qawa’id Fiqiyyah, Jakarta: Amzah, 2009.

Yusep Rafiqi, Al-Dhawābith Al-Fiqhiyyah Yang Berkaitan Dengan Jual Beli (Tinjauan
Ringkas dalam Himpunan Undang-Undang Hukum Perdata Daulah Utsmaniyah: al-
Majallah al-Ahkâm al-‘Adliyyah)

Anda mungkin juga menyukai