Anda di halaman 1dari 22

Soal Riba, Gaji Karyawan Bank Tidak

Halal? Ini Kata Quraish Shihab


Jumat, 12 Juni 2015 13:43

shutterstock
ilustrasi

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM- Menyoal uang riba, netizen bertanya di situs


alifmagz.com, apakah gaji karyawan pegawai bank konvensional (bukan bank syariah) halal
atau haram?

Saya sempat tertarik untuk bekerja di sebuah bank konvensional. Namun, saya teringat kalau
gaji yang akan saya dapat adalah hasil dari bunga bank yang diambil dari nasabahnya. Jika
bunga bank termasuk riba, apakah halal pekerjaan sebagai pegawai bank tersebut dan gaji
yang diterima tersebut?, demikian pertanyaan netizen, Irfan, Kamis (11/6/2015).

Dewan Pakar Pusat Studi al-Quran, M Quraish Shihab, menjawab, berikut ini:

Para ulama, bahkan kaum Muslim, sepakat tentang haramnya riba, karena di dalam al-
Quran hal itu disebutkan secara jelas dan pasti. Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba (Q.S. al-Baqarah [2]: 275).

Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang definisinya, sehingga mereka pun berbeda
pendapat tentang praktik bank konvensional, khususnya menyangkut bunga bank.

Karena itu, ada ulama yang membolehkannya dengan alasan bukan riba, ada juga yang
menilanya riba.

Kita mengetahui banyak praktik perbankan dengan aneka jasa yang ditawarkannya. Bila
Anda berpendapat bahwa suatu bank melakukan transaksi atas dasar riba, kemudian hati
dan pikiran Anda cenderung mengharamkan secara mutlak, maka dalam hal ini bekerja dan
membantu terselenggaranya praktik riba itu, apa pun bentuknya, adalah haram.

Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat
belikau Abu Juhaifah, Allah mengutuk pemakan riba dan pemberinya, penulisnya, dan
kedua saksinya.

Karena itu, jika bank itu hanya menawarkan jasa atas dasar riba itu saja, maka tentu saja
keterlibatan pegawainya bekerja di sana juga dinilai haram.

Jika Anda masih ragu tentang hukumnya karena perbedaan pendapat ulama seperti
tergambar di atas maka dalam keadaan seperti itu pun sebaiknya Anda mencari tempat
bekerja yang lain, kecuali jika Anda tidak mendapatkan tempat kerja lain yang dapat
menutupi kebutuhan hidup Anda dan keluarga.

Ini, sekali lagi, jika bank itu hanya menawarkan jasa atas dasar riba. Bila ada jasa lain yang
ditawarkannya, dan jasa tersebut tidak haram, maka ini berarti bank tersebut mencampurkan
antara uang halal dan uang haram.
Pencampuran uang halal dan haram ini membuka peluang untuk dibenarkannya bekerja di
sana, apalagi jika uang tersebut tidak dapat dipisahkan.

Kepada mantan Mufti Mesir, Syaikh Jad al-Haq, pernah diajukan pertanyaan serupa. Setelah
mengutip kaidah-kaidah yang dikemukakan oleh ulama bermazhab Hanafi dan sementara
ulama Syafii, beliau berkesimpulan bahwa apabila aktivitas satu bank bercampur antara
yang halal dan yang haram, maka dalam keadaan ini tidak ada halangan untuk bekerja di
sana.

Demikian pendapat beliau dalam bukunya Buhuts wa Fatawa Islamiyah fi Qadhaya


Muashirah (jilid II, hlm 746).

Demikian, wallahu alam. (M Quraish Shihab/alifmagz)

Konsultasi: Kerja di Bank, Halalkah


Penghasilan Saya?
Pertanyaan:
Assalamualaikum Wr. Wb.
Saya bekerja di bank, di mana sebagian penerimaannya berasal dari bunga. Sementara, saya kerja di
bagian edukasi. Apakah pekerjaan dan penghasilan saya tersebut halal? Mohon penjelasan.

Haryanti, 41 Tahun

Jawaban:
Waalaikumsalam.
Islam telah mengharamkan riba dengan dalil-dalil yang sangat kuat, seperti:

1. Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah: 276, 278, 279, "Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran,
dan selalu berbuat dosa (276). Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (278).
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu ..." (279)

2. Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Hakim, Rasulullah saw bersabda, "Apabila
zina dan riba telah merajalela di suatu negeri, berarti mereka telah menyediakan diri mereka
untuk disiksa oleh Allah."

Jabir bin Abdillah RA meriwayatkan dari hadits Muslim, "Rasulullah melaknat pemakan
riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya." Dan
Beliau bersabda, "Mereka itu sama."

Ibnu Mas'ud meriwayatkan dari hadits Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmizi,
Rasulullah saw melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba,
dua orang saksinya, dan penulisnya."

Dalam riwayat Nasai disebutkan, "Orang yang makan riba, orang yang memberi makan
dengan riba, dan dua orang saksinya, jika mereka mengetahui hal itumaka mereka itu
dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw hingga hari kiamat."
3. Kesepakatan para ulama antara lain:
a. Yang tergabung pada Lembaga Riset Islam Al-Azhar di Kairo tahun 1965
b. Lembaga Fiqih Islam OKI di Jeddah tahun 1985
c. Lembaga Fiqih Islam Rabithah Alam Islami di Mekkah tahun 1406 H
d. Keputusan Muktamar Bank Islam Kedua di Kuwait tahun 1983
e. Fatwa Mufti Mesir tahun 1989 telah menyepakati bahwa bunga bank adalah riba.

Dalil-dalil di atas tentu membuat hati orang-orang beriman yang bekerja pada bank-bank
yang memakai sistem riba menjadi tidak tenang dan gelisah. Permasalahannya adalah sistem
ekonomi kita masih menganut sistem riba. Sementara, di sisi lain, apakah kondisi seperti ini
masih dianggap darurat (walau pun sudah mulai bermunculan bank-bank syariah).

DR Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa untuk memperbaiki kondisi seperti ini, tidak dapat
diubah dan diperbaiki hanya dengan melarang seseorang bekerja di bank atau perusahaan
yang mempraktikkan riba. Tetapi, kerusakan sistem ekonomi ini hanya dapat diubah
oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam.

Perubahan itu harus diusahakan secara bertahap sehingga tidak menimbulkan guncangan
perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan bangsa. Artinya,
kebolehan bekerja di bank konvensional hanya bersifat sementara (darurat).

"... tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Baqarah: 173).

Di samping itu tidak semua transaksi di perbankan tersebut haram, seperti penukaran mata
uang, transfer, jasa penitipan di deposit box dan lain-lain.

Untuk kasus Ibu, yang terpenting adalah tekad yang kuat, ikhtiar, dan doa untuk berusaha
terus menerus mencari pekerjaan yang lebih baik. Semoga Allah memberi jalan yang terbaik
dan mudah untuk meraih kehalalan harta sehingga keberkahan menghiasi kehidupan
sekeluarga.

BUNGA BANK DALAM ISLAM


Pengertian Bunga Dalam Islam

Yusuf Qardawi menyamakan suku bunga dengan riba. Ia menyatakan bunga yang

diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan, karena riba adalah semua

tambahan yang disyaratkan atas pokok harta. [1] Ia menambahkan: apa yang diambil

seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa berpayah-payah sebagai

tambahan atas pokok hartanya, maka yang demikian itu termasuk riba. [2]

Bunga menurut Maulana Muhammad Ali adalah tambahan pembayaran atas jumlah

pokok pinjaman.[3] Sedangkan menurut Al-Jurjani, bunga adalah: kelebihan/ tambahan


pembayaran tanpa ada ganti rugi/ imbalan yang disaratkan bagi salah seorang dari dua

orang yang berakad (bertransaksi)[4]

Muhammad Hatta membedakan antara bunga dengan riba. Ia menyatakan bahwa

riba diberlakukan untuk kebutuhan konsumtif. Sedangkan bunga diberlakukan untuk

kebutuhan produktif.[5] Demikian pula istilah usury dan interest, bahwa usury adalah bunga

pinjaman yang sangat tinggi, sehingga melampaui suku bunga yang diperbolehkan oleh

hukum. Sedangkan interest ialah bunga pinjaman yang relatif mudah (kecil). Namun dalam

prakteknya, maulana Muhammad Ali menyatakan bahwa sukar untuk membedakan antara

usury dan interest sebab pada hakekatnya kedua-duanya memberatkan bagi peminjam.[6]

Hukum Bunga Bank Dalam Islam

Penetapan telah terjadinya ijma ulama tentang keharaman bunga bank bukan

kesimpulan yang bersifat gampangan, tetapi setelah melakukan penelitian yang mendalam

terhadap pendapat semua pakar ekonomi Islam sejak tahun 1970-an hingga saat ini.[7]

Beberapa pendapat diantaranya:

a. Yusuf Qardawi

Dalam bukunya Fatwa-Fatwa Kontemporer, Yusuf Qardawi menyamakan bunga

dengan riba dan, riba adalah haram. Ia menyatakan: bunga yang diambil oleh

penabung di bank adalah riba yang diharamkan, karena riba adalah semua tambahan

yang disyaratkan atas pokok harta.[8]

Dalam bukunya yang lain, ia menyatakan bahwa Islam membenarkan

pengembangan uang dengan jalan perdagangan.[9] Seperti firman Allah:



Artinya: Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara
kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan
adanya saling kerelaan dari antara kamu. (an-Nisa: 29)

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa Islam menutup pintu bagi siapa yang

berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba. Seperti firman Allah

SWT[10] :

) 278(






)279(

Artinya: Hai orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa
yang tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu
tidak mau berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan
Rasul-Nya, dan jika kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-
pokok hartamu, kamu tidak boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi. (al-
Baqarah: 278-279)

b. Masjfuk Zuhdi[11]

Masjfuk Zuhdi mengemukakan beberapa ayat al-quran yang mengharamkan riba.

Seperti surat ar-rum ayat 39:

Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya).

Masjfuk zuhdi menjelaskan bahwa ayat di atas membicarakan masalah riba

secara eksplisit sehingga belum kongkret melarang riba. Ia menyatakan ayat ini sebagai

conditioning, artinya mempersiapkan kondisi ummat agar siap mental untuk mentaati

larangan riba yang akan dikeluarkan. Artinya akan ada ayat yang akan diturunkan Allah

mengenai pengahraman riba. Ayat itu adalah surat ali-imran : 130





Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.

Dan ayat berikutnya yang secara jelas mengharamkan riba terdapat dalam surat

Al-Baqarah ayat 287 279:

) 278(






)279(

Artinya: Hai orang-orang yang beriman! Takutlah kepada Allah, dan tinggalkanlah apa
yang tertinggal daripada riba jika kamu benar-benar beriman. Apabila kamu
tidak mau berbuat demikian, maka terimalah peperangan dari Allah dan
Rasul-Nya, dan jika kamu sudah bertobat, maka bagi kamu adalah pokok-
pokok hartamu, kamu tidak boleh berbuat zalim juga tidak mau dizalimi. (al-
Baqarah: 278-279)

Menurut Masjfuk Zuhdi ayat ini dapat dipakai menjadi dalil yang mutlak yang dapat

dipakai oleh semua ulama yang mengharamkan bunga/ riba. Karena ayat ini

menyatakan sedikit atau banyak kadar bunga/ riba yang di minta, hukumnya tetap

haram.

c. Wahbahal-Zuhaily

Tidak berbeda dengan 2 pendapat di atas, wahbah as-zulaily menyatakan

bahwa bungauang atas pinjaman (Qardh) yang di tetapkan dan yang telah berlaku

lebih buruk dari riba yang di haramkan Allah SWT dalam Al-Quran, karena dalam riba

tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam

sistembungatambahan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.[12]


Selain fatwa beberapa ulama di atas, berbagai fatwa majelis fatwa ormas Islam, baik di

Indonesia maupun dunia internasional telah melahirkan suatu asumsi umum bahwa bunga

bank sama dengan riba.

Berikut ini adalah cuplikan dari keputusan keputusan penting yang berkaitan dengan

pengharaman bunga bank yang dikeluarkan oleh beberapa majelis fatwa ormas Islam:

a. Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Beberapa isi Fatwa MUI no. 1 tahun 2004 adalah sebagai berikut:[13]

1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada

jaman Rasulullah SAW, yaitu Riba Nasiah. Dengan demikian, praktek pembungaan

uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.

2. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di lakukan olehBank,

Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya

maupun dilakukan oleh individu.

b. Majelis Tarjih Muhammadiyah

Tarjih Muhammadiyah Sidoarjo (1986) memutuskan: [14]

1. Riba hukumnya haram sesuai dengan dalil al-Quran dan Sunnah

2. Bank dengan sistem bunga hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal

3. Bunga yang diberikan oleh bank bank milik negara kepada para nasabahnya atau

sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara mutasyabihat

c. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)[15]

Sidang yang dilakukan di Karachi, Pakistan pada Desember 1970, telah menyepakati 2

(dua) hal utama, yaitu:


1. Praktik bank dengan sistem bunga tidak sesuai dengan syariah Islam

2. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai

dengan prinsip-prinsip syariah

Hasil kesepakatan inilah yang melatarbelakangi lahirnya bank pembangunan

Islam atau Islamic Development Bank (IDB)

d. Mufti Negara Mesir

Keputusan Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan

konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989, mufti Negara

Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba

yang diharamkan secara syariah.[16]

e. Konsul Kajian Islam Dunia[17]

Ulama ulama besar yang tergabung ke dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah

memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam konferensi II KKID yang

diselenggarakan di universitas al-Azhar, Cairo pada bulan Mei 1965, ditetapkan bahwa

tidak ada sedikitpun keraguan atas keharaman praktik pembungaan uang seperti yang

dilakukan bank bank konvensional.

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa hampir semua ulama di Indonesia maupun

dunia secara tidak langsung berpendapat bahwa praktek pembungaan uang yang dilakukan

oleh bank bank konvensional, dari dahulu sampai sekarang adalah sama dengan riba dan

hukumnya adalah haram.


Apakah bunga bank itu riba?

Tulisan ini membahas bunga riba dalam tinjauan sejarah. Akan dijelaskan secara singkat peran Bani
Israil dan tingkah laku mereka dalam masalah riba.
Kedua, diketengahkan kelakuan orang-orang Yahudi dalam mengubah syariatnya sendiri (Hukum Allah
SWT). Secara singkat akan dipaparkan peran kaum Yahudi dalam menghalalkan riba. Ketiga, masih
dalam kerangka tingkah laku kaum Yahudi, diceritakan juga serba sedikit usaha-usaha mereka dalam
membangun jaringan kehidupan dalam bidang ekonomi dan keuangan dunia, khususnya dalam bidang
moneter dan perbankan. Keempat, mengetengahkan bagaimana bank pada awalnya berdiri, serta
keterlibatan umat Islam Indonesia dalam masalah perbankan pada dekade awal abad XX sampai
sekarang. Kelima, mengetengahkan usaha-usaha para tokoh masyarakat Islam (intelektual dan kaum
modernis) dalam menghalalkan riba (bunga) bank. Keenam, mengetengahkan hukum riba yang tetap
haram sampai Hari Kiamat.

Pertanyaan :

Assalamualaikum wr. wb

Saya saat ini bekerja pada salah satu bank swasta nasional (konvesional). Total masa kerja saya 14

tahun di bidang perbankan (merskipun bukan pada satu institusi). Pada suatu malam di bulan

Ramadhan 1427 yang lalu saya mengikuti ceramah tarawih dengan materi tentang Ekonomi syariah.

Sejak itu sampai sekarang saya selalu gelisah apabila mengingat salah satu inti ceramah itu yang

menyebutkan bhwa bunga Bank adalah termasuk Riba yang dilarang oleh Allah swt.

Saya saat ini telah berencana untuk berpindah pekerjaan ke sektor non perbankan karena saya takut

apabila bunga Bank benar termasuk Riba, maka alangklah dosanya saya karena selama ini telah

memberikan kepada istri anak dan keluarga saya rezeki yang tidak halal meskipun setiap kali berangkat

bekerja saya selalu meniatkan beribdah memenuhi kewajiban saya sebagai keluarga untuk mencari

rezeki yang halalan thoyiban.

Billahi taufiq wal hidayah.

Wassalamualaikum wr. wb

Yon (xxx@yahoo.com)

Jawab :

BUNGA BANK ADALAH RIBA

Oleh : Ir. Muhammad Ismail Yusanto, MM

Sabda Rasululullah SAW, Akan datang kepada umat ini suatu masa nanti ketika orang-orang

menghalalkan riba dengan alasan: aspek perdagangan (HR Ibnu Bathah, dari Al Auzai).

Pengantar

Dalam kehidupan kaum Muslimin yang semakin sulit ini, memang ada yang tidak memperdulikan lagi

masalah halal dan haramnya bunga bank. Bahkan ada pendapat yang terang-terangan

menghalalkannya. Ini dikarenakan keterlibatan kaum Muslimin dalam sistem kehidupan Sekularisme-

Kapitalisme Barat serta sistem Sosialisme-Atheisme. Bagi yang masih berpegang teguh kepada hukum

Syariat Islam, maka berusaha agar kehidupannya berdiri di atas keadaan yang bersih dan halal. Namun

karena umat pada masa sekarang adalah umat yang lemah, bodoh, dan tidak mampu membeda-

bedakan antara satu pendapat dengan pendapat lainnya, maka mereka saat ini menjadi golongan yang

paling bingung, diombang-ambing oleh berbagai pendapat dan pemikiran.


Dalam tulisan yang singkat ini, ada beberapa aspek yang ingin diketengahkan tentang seputar masalah

riba :

Pertama, bunga riba dalam tinjauan sejarah. Akan dijelaskan secara singkat peran Bani Israil dan

tingkah laku mereka dalam masalah riba.

Kedua, diketengahkan kelakuan orang-orang Yahudi dalam mengubah syariatnya sendiri (Hukum Allah

SWT). Secara singkat akan dipaparkan peran kaum Yahudi dalam menghalalkan riba.

Ketiga, masih dalam kerangka tingkah laku kaum Yahudi, diceritakan juga serba sedikit usaha-usaha

mereka dalam membangun jaringan kehidupan dalam bidang ekonomi dan keuangan dunia, khususnya

dalam bidang moneter dan perbankan.

Keempat, mengetengahkan bagaimana bank pada awalnya berdiri, serta keterlibatan umat Islam

Indonesia dalam masalah perbankan pada dekade awal abad XX sampai sekarang.

Kelima, mengetengahkan usaha-usaha para tokoh masyarakat Islam (intelektual dan kaum modernis)

dalam menghalalkan riba (bunga) bank.

Keenam, mengetengahkan hukum riba yang tetap haram sampai Hari Kiamat.

Riba dan Yahudi dalam Tinjauan Sejarah

Sejak dahulu, Allah SWT telah mengharamkan riba. Keharamannya adalah abadi dan tidak boleh diubah

sampai Hari Kiamat. Bahkan hukum ini telah ditegaskan dalam syariat Nabi Musa as, Isa as, sampai

pada masa Nabi Muhammad saw. Tentang hal tersebut, Al Qur-aan telah mengabarkan tentang tingkah

laku kaum Yahudi yang dihukum Allah SWT akibat tindakan kejam dan amoral mereka, termasuk di da-

lamnya perbuatan memakan harta riba. Firman Allah SWT:

.disebabkan oleh kezhaliman orang-orang Yahudi, maka Kami telah haramkan atas mereka

(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) telah dihalalkan bagi mereka; dan (juga) karena

mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah; serta disebabkan mereka memakan riba.

Padahal sesungguhnya mereka telah dilarang memakannya, dan mereka memakan harta dengan jalan

yang bathil (seperti memakan uang sogok, merampas harta orang yang lemah. Kemudian) Kami telah

menyediakan bagi orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih (QS An Nisaa : 160-161).

Dalam sejarahnya, orang Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu berusaha dengan segala cara

menghalangi manusia untuk tidak melaksanakan syariat Allah SWT. Mereka membunuh para nabi,

berusaha mengubah bentuk dan isi Taurat dan Injil, serta menghalalkan apa saja yang telah diharamkan

Allah SWT, misalnya menghalalkan hubungan seksual antara anak dengan ayah, membolehkan adanya

praktek sihir, menghalalkan riba sehingga terkenallah dari dahulu sampai sekarang bahwa antara Yahudi

dengan perbuatan riba adalah susah dipisahkan. Tentang eratnya antara riba dengan gerak kehidupan

kaum Yahudi, kita dapat mengetahuinya di dalam kitab suci mereka:

Jikalau kamu memberikan pinjaman uang kepada umatku, yaitu kepada orang-orang miskin yang ada

di antara kamu, maka janganlah kamu menjadikan baginya sebagai orang penagih hutang yang keras,

dan janganlah mengambil bunga daripadanya (Keluaran, 22:25).

Dalam kitab Imamat (orang Lewi), tersebut pula larangan yang senada. Pada kitab tersebut disebutkan

agar orang-orang Yahudi tidak mengambil riba dari kalangan kaumnya sendiri:
Maka jikalau saudaramu telah menjadi miskin dan tangannya gemetar besertamu .., maka janganlah

kamu mengambil daripadanya bunga dan laba yang terlalu (besar) jangan kamu memberikan

uangmu kepadanya dengan memakai bunga .. (Imamat 35-37).

Jelaslah di dalam ayat-ayat tersebut bahwa orang-orang Yahudi telah dilarang memakan riba (bunga).

Namun dalam kenyataannya, mereka membangkang dan mengabaikan larangan tersebut. Mengapa

mereka demikian berani melanggar ketentuan hukum Taurat itu? Dalam hal ini, Buya Hamka (alm)

mengutip dari buku Taurat pada kitab Ulangan pasal 23 ayat 20 :

Maka dari bangsa lain, kamu boleh mengambil bunga (riba). Tetapi dari saudaramu, maka tidak boleh

kamu mengambilnya supaya diberkahi Tuhan Allahmu, agar kamu dalam segala perkara tanganmu

mampu memegang negeri, (seperti) yang kamu tuju (cita-citakan) sekarang adalah hendaklah (kamu)

mengambilnya sebagai bagian dari harta pusakamu.

Berdasarkan kutipan di atas, Buya Hamka menarik kesimpulan bahwa ayat tersebut telah menjadi pe-

gangan kaum Yahudi sedunia sampai sekarang. Mereka, biarpun tidak duduk pada kursi pemerintahan di

suatu negeri, tetapi merekalah yang justru menguasai pemerintahan negeri tersebut melalui bentuk

pinjaman ribawi (membungakan uangnya) yang menjerat leher.

Yahudi dan Penguasaan Moneter Internasional

Dalam sebuah penggalan naskah Protokolat, yaitu berupa strategi jahat Yahudi, disebutkan bahwa

kebangkrutan berbagai negara di bidang ekonomi adalah hasil kreasi gemilang mereka, misalnya

dengan kredit (pinjaman) yang menjerat leher negara non-Yahudi yang makin lama makin terasa sakit.

Mereka katakan bahwa bantuan luar negeri yang telah dilakukan boleh dikatakan laksana seonggok

benalu yang mencerap habis segenap potensi perekonomian negara tersebut.

Memang dalam kenyataannya pada masa sekarang, orang-orang Yahudi telah berhasil menguasai

sistem moneter internasional, khususnya dalam bidang perbankan. Misalnya, penguasaan mereka

terhadap pusat keuangan di Wallstreet (New York). Tempat ini merupakan pangsa bursa (uang) terbesar

di dunia. Sirkulasi keuangan di Amerika Serikat telah dikuasai oleh orang-orang Yahudi sejak awal abad

XX sampai sekarang.

Di samping itu, mereka juga menguasai bidang-bidang industri (yang umumnya dibutuhkan oleh orang

banyak), perdagangan internasional (dalam bentuk perusahaan-perusahaan raksasa), yang tersebar di

seluruh Amerika, Eropa dan negeri-negeri di Asia dan Afrika. Sebagai misal, di Amerika, orang-orang

Yahudi menguasai perusahaan General Electric, Fairstone, Standard Oil, Texas dan Mobil Oil. Dalam

perdagangan valuta asing, maka setiap 10 orang broker, sembilan di antaranya adalah orang-orang

yahudi.

Di Perancis, sebagian saham yang tersebar di berbagai bidang kehidupan adalah milik orang-orang

Yahudi. Dalam menghancurkan moral di suatu negeri, orang-orang Yahudi dan antek-anteknya ikut

andil; misalnya mengelola usaha Kasino, Nigth Club, atau perdagangan obat bius.

Umat Islam Indonesia dan Perbankan

Sistem perbankan telah muncul di dunia Islam sejak kedatangan penjajah Barat menyerbu ke berbagai

negeri Islam. Di negeri-negeri jajahannya, mereka menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme yang
bertumpu kepada sistem perbankan (riba).

Di Indonesia muncul bank pertama, yaitu Bank Priyayi, tahun 1846 di Purwokerto, dengan pendirinya

Raden Bei Patih Aria Wiryaatmaja dari kalangan keraton. Kemudian secara meluas di berbagai daerah,

berdiri Bank Rakyat (Volksbank); antara lain di Garut (1898), Sumatera Barat (1899), dan Menado

(1899).

Dalam menanamkan sistem perbankan ini, penjajah Belanda mendirikan Sentral Kas, tahun 1912, yang

berfungsi sebagai pusat keuangan. Dari kalangan intelektual, didirikanlah Indonesische Studie Club di

Surabaya tahun 1929. Kemudian Belanda, dalam menyuburkan sistem riba, mendirikan Algemene

Volkscredit Bank (AVB) tahun 1934.

Pada tahun-tahun pertama setelah terusirnya pejajah Belanda dari Indonesia, didirikanlah Yayasan

Pusat Bank Indonesia tahun 1945, yang menjadi cikal bakal Bank Indonesia sekaligus memberikan

rekomendasi pendirian bank-bank yang ada. Melalui PP No.1, tahun 1946, lahirlah Bank Rakyat

Indonesia (BRI). Pada tahun yang sama, menyusul berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI) 1946.

Kemudian jumlah bank semakin bertambah banyak. Di antaranya Bank Industri Negara (BIN, 1952),

Bank Bumi Daya (BBD, 19 Agustus 1959). Bank Pembangunan Industri (BPI, 1960), Bank Dagang

Negara (BDN, 2 April 1960), Bank Export-Import Indonesia (Bank Exim) yang dinasionalisasikan pada

30 Nopember 1960. Pada tahun-tahun berikutnya sampai sekarang, dunia perbankan tumbuh seperti

jamur di musim hujan.

Secara garis besar, dunia perbankan di Indonesia didominasi oleh bank-bank yang menjadi Badan Usaha

Milik Negara/BUMN (misalnya BNI 1946, BRI, BDN) dan bank-bank milik swasta. Untuk yang pertama,

jumlahnya tidak terlalu banyak. Tetapi untuk yang kedua, ia terbagi ke dalam tiga kategori; yaitu

swasta asli Indonesia (misalnya Bank Susila Bakti, Bank Arta Pusara, Bank Umum Majapahit), swasta

merger bank luar (misalnya Lippo Bank, BCA, Bank Summa), dan bank luar tulen (misalnya Chase

Manhattan, Deutsche Bank, Hongkong Bank, Bank of America).

Untuk melihat perkembangan perbankan di Indonesia, saat ini telah dibangun sejumlah 2652 bank

(tidak termasuk BRI dan BRI Unit Desanya). Menurut standard Amerika ditilik dari jumlah penduduk

Indonesia, maka negeri ini masih memerlukan 7800 bank lagi.

Sistem Perbankan dan Organisasi Keagamaan

Sebelum tahun 1990-an umat Islam Indonesia belum terlibat langsung. Sistem ini sejak dahulu hanya

diminati oleh kalangan konglomerat. Namun sejak diadakan penandatangan kerja sama antara Bank

Summa dengan Organisasi keagamaan NU tanggal 2 Juni 1990, maka umat Islam Indonesia telah mulai

dilibatkan langsung dalam praktek perbankan. Dalam perjanjian kerjasama tersebut telah disepakati

untuk didirikan sebanyak 2000 buah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di seluruh Indonesia. Namun

sebelumnya BPR telah berdiri tanggal 25 Februari 1990. BPR ini memberikan pinjaman kredit sebesar

antara 100.000 sampai 500.000 rupiah dengan bunga 2,25% per bulan, untuk pengusaha /pedagang

kecil, petani, dan untuk umum kredit tersebut berkisar antara 25 sampai 200 juta rupiah.

Rencana NU untuk mendirikan BPR sesungguhnya bukan masalah baru lagi. Ide itu telah ada dan

dibahas berulang-ulang dalam berbagai kesempatan kongres besar NU. Pada awalnya NU

mengharamkannya; kemudian memberikan alternatif fatwa yaitu haram, halal dan subhat; dan terakhir

tanggal 22 Juli 1990, NU melalui Abdurrahman Wahid sebagai PB NU telah menghalalkannya.

Fatwa NU ini lalu diikuti oleh Muhammadiyah melalui AS Projokusumo (sebagai PB Muhammadiyah).
Alasan yang dikemukannya adalah karena fatwa tersebut diputuskan melalui perdebatan para ulama

yang dikenal telah mendalami masalah-masalah hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia, melalui KH

Hasan Basri, menyambut baik keputusan NU ini. Menurut beliau, keputusan tersebut dikeluarkan atas

dasar musyawarah para ulama yang memahami hukum Islam.

Fatwa ini menimbulkan reaksi antara yang pro dan kontra di kalangan ulama dan intelektual Muslim.

Dari kubu yang tidak setuju, muncullah pernyataan dari Dekan Fakultas Syariah IAIN Jakarta, Dr Peunoh

Daly. Ia berkata bahwa bank yang dibentuk oleh NU maupun Muhammadiyah seharusnya bank yang

Islami, bukan bank yang hanya menjadi alat untuk pemerataan riba. Beliau menandaskan bahwa sam-

pai sekarang belumlah ada bank yang bersifat Islami di Indonesia. Ia merasa heran mengapa sistem

muamalah yang telah diatur oleh Islam, yaitu sistem muamalah mudlarabah, qiradh dan salam itu tidak

dihidupkan. Akibatnya, umat Islam terjerat ke dalam sistem bank yang mengandung riba, celanya.

Di kalangan NU sendiri, ternyata ada suara yang tidak puas atas fatwa ini. Kalangan fungsionaris

Syuriah PB NU, misalnya, menilai bahwa fatwa tersebut tidak sejalan dengan garis kebijakan mereka.

Sebab, menurut mereka, NU seharusnya membentuk bank muamalah mudlarabah (berdagang bersama

yang saling menguntungkan), bukan bank umum yang lebih cenderung menganut sistem rente.

Bagaimana silang pendapat di kalangan intelektual dan ulama modernis di negeri ini? Sesuaikah

pendapat mereka dengan ketentuan syara? Dapatkah pendapat mereka diterima? Lebih jauh dari itu,

apakah mereka boleh disebut mujtahid atau lebih baik disebut sebagai muqallid?

Pendapat Intelektual dan Ulama Modernis

Di antara pekerjaan yang dikelola bank, maka yang menjadi topik permasalahan dalam Fikih Islam

adalah soal bunga (rente) bank. Sebab, secara umum tujuan usaha bank adalah untuk memperoleh

keuntungan dari perdagangan kredit. Bank memberikan kredit kepada orang luar dengan memungut

bunga melalui pembayaran kredit (yang jumlahnya lebih besar dari besarnya kredit). Selisih

pembayaran yang biasanya disebut bunga, itulah yang menjadi keuntungan usaha bank.

Dalam masalah ini, para intelektual dan ulama modernis mempunyai pendapat yang berbeda-beda,

tergantung dari sudut pandang mereka. Ada segolongan dari mereka yang mengharamkannya karena

bunga bank tersebut dipandang sebagai riba. Tetapi segolongan lainnya menghalalkannya.

Ke dalam kubu pertama (yang mengharamkan bunga bank), tersebutlah Mahmud Abu Saud (Mantan

Penasehat Bank Pakistan), berpendapat bahwa segala bentuk rente (bank) yang terkenal dalam sistem

perekonomian sekarang ini adalah riba. Lalu kita juga mendengar pendapat Muhammad Abu Zahrah,

Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Cairo yang memandang bahwa riba Nasiah

sudah jelas keharamannya dalam Al Qur-aan. Akan tetapi banyak orang yang tertarik kepada sistem

perekonomian orang Yahudi yang saat ini menguasai perekonomian dunia. Mereka memandang bahwa

sistem riba itu kini bersifat darurat yang tidak mungkin dapat dielakkan. Lantas mereka menawilkan

dan membahas makna riba. Padahal sudah jelas bahwa makna riba itu adalah riba yang dilakukan oleh

semua bank yang ada dewasa ini, dan tidak ada keraguan lagi tentang keharamannya. Buya Hamka

secara sederhana memberikan batasan bahwa arti riba adalah tambahan. Maka, apakah ia tambahan

lipat-ganda, atau tambahan 10 menjadi 11, atau tambahan 6% atau tambahan 10%, dan sebagainya,

tidak dapat tidak tentulah terhitung riba juga. Oleh karena itu, susahlah buat tidak mengatakan bahwa

meminjam uang dari bank dengan rente sekian adalah riba. (Dengan demikian) menyimpan dengan

bunga sekian (deposito) artinya makan riba juga.


Ke dalam kubu kedua (yang menghalalkan bunga bank), peminatnya kebanyakan berasal dari kalangan

intelektual dan ulama modernis. Mereka memandang bahwa bunga bank yang berlaku sekarang ini

dalam batas-batas yang wajar, tidaklah dapat dipandang haram. Tersebutlah A. Hasan, salah seorang

pemuka Persatuan Islam (Persis), yang mengemukakan bahwa riba yang sudah tentu haramnya itu

ialah yang sifatnya berganda dan yang membawa (menyebabkan) ia berganda. Menurut beliau, riba

yang sedikit dan yang tidak membawa kepada berganda, maka itu boleh. Ia menambahkan bahwa riba

yang tidak haram adalah riba yang tidak mahal (besar) dan yang berupa pinjaman untuk tujuan

berdagang, bertani, berusaha, pertukangan dan sebagainya, yakni yang bersifat produktif.

Drs Syarbini Harahap berpendapat bahwa bunga konsumtif yang dipungut oleh bank tidaklah sama

dengan riba. Karena, menurutnya, di sana tidak terdapat unsur penganiayaan. Adapun jika bunga

konsumtif itu dipungut oleh lintah darat, maka ia dapat dipandang sebagai riba. Sebab, praktek tersebut

memberikan kemungkinan adanya penganiayaan dan unsur pemerasan antarsesama warga masyarakat,

mengingat bahwa lintah darat hanya mengejar keuntungan untuk dirinya sendiri. Adapun jika bunga

tersebut dipungut dari orang yang meminjam untuk tujuan-tujuan yang produktif seperti untuk

perniagaan, asalkan saja tidak ada dalam teknis pemungutan tersebut unsur paksaan atau pemerasan,

maka tidaklah salah dan tidak ada keharaman padanya.

Pernyataan Syarbini Harahap ini dalam perkembangan selanjutnya, ternyata sama nadanya dengan apa

yang difatwakan NU via Abdurrahman wahid, atau lewat pernyataan Syafruddin Prawiranegara,

Muhammad Hatta, Kasman Singodimejo, dan lain-lain.

Bertolak dari alasan bahwa transaksi kredit merupakan kegiatan perdagangan dengan uang sebagai

komoditi, Dawan Rahardjo, mengatakan bahwa kalau transaksi kredit dilakukan dengan prinsip

perdagangan (tijarah), maka hal tersebut dihalalkan. Riba yang tingkat bunganya berlipat ganda dan

diharamkan itu perlu digantikan dengan mekanisme perdagangan yang dihalalkan.

Berbagai pendapat dan fatwa yang berani tersebut dalam upaya menghalalkan riba dalam bentuk bunga

bank telah melibatkan jutaan kaum Muslimin ke dalam kegiatan perbankan. Walaupun demikian masih

terdapat jutaan lainnya yang membenci praktek dan menjauhi dari memakan harta riba. Kebencian

mereka terhadap praktek riba tersebut sama halnya dengan kebencian mereka memakan daging babi.

Oleh karena itu masih banyak kalangan kaum Muslimin yang tidak mau meminjam dan menyimpan

uang di bank karena takut terlibat riba, walaupun di kalangan kaum Muslimin tidak banyak mengerti

sejauh mana aspek hukum dan kegiatan perbankan, serta banyak pula di antara mereka yang bingung

terhadap hukum yang sebenarnya tentang riba (bunga) bank. Itulah fakta tentang keadaan umat Islam

setelah umat ini diragukan dan dikaburkan pengertian mereka terhadap riba (bunga) bank.

Bolehkah Kita Menghalalkan Riba ?

Orang Islam yang awam sekalipun pasti tahu bahwa memakan harta riba adalah dosa besar. Bahkan

dalam sebuah hadits disebutkan bahwa memakan harta riba termasuk dosa yang paling besar setelah

dosa syirik, praktek sihir, membunuh, dan memakan harta anak yatim. Malah dalam sebuah Hadits

lainnya disebutkan bahwa perbuatan riba itu derajatnya 36 kali lebih besar dosanya dibandingkan

dengan dosa berzina. Rasul SAW bersabda :

Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada

perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam) (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).
Oleh karena itu, tidak ada satupun perbuatan yang lebih dilaknat Allah SWT selain riba. Sehingga Allah

SWT memberikan peringatan yang keras bahwa orang-orang yang memakan riba akan diperangi (QS Al

Baqarah : 279).

Jika pada awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi sebelum Rasulullah

saw wafat, telah diturunkan yaitu ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari ayat 278-281) yang menurut

asbabun nuzul-nya merupakan ayat-ayat terakhir dari Al Qur-aan. Dalam rangkaian ayat-ayat tersebut

ditegaskan bahwa riba, baik kecil maupun besar, berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan

sampai Hari Kiamat. Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rangkaian ayat-ayat tersebut, Allah SWT telah

mengharamkan segala jenis riba, termasuklah di antaranya riba (bunga) bank:

Mereka berkata (berpendapat bahwa) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba; padahal Allah telah

menghalalkan jual beli dan telah mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepada mereka

larangan tersebut dari Rabbnya lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah

diambilnya (dipungut) pada waktu dulu (sebelum datangnya larang ini) dan urusannya (terserah) Allah.

Sedangkan bagi orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang-orang tersebut adalah

penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (QS Al Baqarah : 275).

Dalam hal ini, Ibnu Abbas berkata:

Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi

kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara Islam) untuk menasehati orang-orang tersebut. Tetapi

kalau mereka masih tetap membandel, maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya.

Juga Al Hasan bin Ali dan Ibnu Sirin berkata:

Demi Allah, orang-orang yang memperjualbelikan mata-uang (money changer) adalah orang-orang

yang memakan riba. Mereka telah diingatkan dengan ancaman akan diperangi oleh Allah dan RasulNya.

Bila ada seorang Imam yang adil (Kepala Negara Islam), maka si Imam harus memberikan nasehat agar

orang tersebut bertaubat (yaitu meninggalkan riba). Bila orang-orang tersebut menolak, maka mereka

tersebut wajib diperangi.

Apa sesungguhnya riba itu? Secara global dapatlah disebutkan bahwa definisi riba adalah :

Tambahan yang terdapat dalam akad yang berasal dari salah satu pihak, baik dari segi (perolehan)

uang, materi/barang, dan atau waktu, tanpa ada usaha dari pihak yang menerima tambahan tersebut.

Definisi ini kiranya mampu mencakup semua jenis dan bentuk riba, baik yang pernah ada pada masa

jahiliyah (riba Fadhal, riba Nasiah, riba Al Qardh), maupun riba yang ada pada masa sekarang ini,

seperti riba bank yang mencakup bunga dari pinjaman kredit, investasi deposito, jual-beli saham dan

surat berharga lainnya, dan atau riba jual-beli barang dan uang. Untuk riba yang terakhir ini contohnya

banyak dan dapat berkembang pada setiap masa.

Berdasarkan definisi ini, maka walaupun nama dan jenisnya berbeda namun riba dapat mencakup

banyak macam yang kiranya melebihi 73 macam menurut keterangan dari Hadits Rasulullah saw.

Rasulullah saw melalui penglihatan ghaib yang bersandarkan kepada wahyu, telah mengetahui bahwa

suatu saat nanti umat Islam akan menghalalkan riba dengan alasan perdagangan (bisnis), seperti yang

tertera pada hadits pembuka tulisan ini. Lebih dari itu, beliau telah diberitahukan bahwa riba pada masa
yang akan datang (misalnya zaman sekarang dan seterusnya) akan meliputi berbagai aktivitas bidang

kehidupan ekonomi dan keuangan yang akhirnya akan melibatkan seluruh kaum Muslimin. Sabda

Rasulullah saw:

Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba

tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri (HR Ibnu

Majah, hadits No.2275; dan Al Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Masud, dengan sanad yang

shahih).

Juga sabda Rasulullah saw:

Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang

tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan

terkena debu (riba)nya (HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari

Abu Hurairah).

Semua dalil di atas menunjukkan bahwa segala bentuk dan jenis riba adalah haram tanpa melihat lagi

apakah riba tersebut telah ada pada masa jahiliyah atau riba yang muncul pada zaman sekarang.

Pengertian ini ditegaskan pada ayat 275 surat Al Baqarah tersebut isinya bersifat umum, yakni

hukumnya mencakup semua bentuk dan jenis riba; baik yang nyata maupun tersembunyi, sedikit

persentasenya atau berlipat ganda, konsumtif maupun produktif.

Lafazh yang bersifat umum menurut kaidah Ushul Fiqih tidaklah boleh dibatasi dan disempitkan

pengertiannya. Kaidah Ushul itu berbunyi:

Lafazh umum akan tetap bersifat umum selama tidak terdapat dalil (syariy) yang mentakhsishkannya

(yang mengecualikannya).

Dalam hal ini tidak terdapat satu ayat maupun hadits yang menghalalkan sebagian dari bentuk dan jenis

riba (misalnya riba produktif), dan atau hanya mengharamkan sebagian yang lainnya (misalnya riba

yang berlipat ganda, konsumtif, riba lintah darat). Dengan demikian, telah jelas bagi kita bahwa semua

bentuk dan jenis riba adalah haram dan tetap haram sampai Hari Kiamat. Oleh karena itu, atas dasar

apa para intelektual dan ulama modernis sampai berani menghalalkan riba bunga bank? Mereka telah

berani membeda-bedakan halal-haramnya berdasarkan sifat konsumtif dan produktif, padahal Allah SWT

dan Rasul-Nya tidak pernah membeda-bedakan bentuk dan jenis riba. Tidak ada satupun illat (sebab

ditetapkannya hukum) bagi keharaman riba. Apakah kaum intelektual dan ulama modernis ingin

mengubah hukum Allah SWT dari haram menjadi halal hanya karena faktor kemaslahatan, semisal

untuk pembangunan, mengatasi kemiskinan; atau karena pada masa sekarang kegiatan perbankan

yang berlandaskan kepada aktivitas riba sudah merajalela dalam masyarakat kaum Muslimin?

Barangkali kaum intelektual dan ulama modernis tidak takut lagi kepada ancaman dan siksa dari Allah

SWT:

Bila muncul perzinaan dan berbagai jenis dan bentuk riba di suatu kampung, maka benar-benar orang

sudah mengabaikan (tak perduli) sama sekali terhadap siksa dari Allah yang akan menimpa mereka
(pada suatu saat nanti) (HR Thabrani, Al Hakim, dan Ibnu Abbas; Lihat Yusuf An Nabahani, Fath Al

Kabir, Jilid I, halaman 132).

Pendapat dan fatwa yang muncul dari kalangan intelektual dan ulama modernis sesungguhnya tidak

pada tempatnya dan tidak pula memenuhi syarat bagi orang yang berwenang untuk berijtihad serta

tidak layak disebut sebagai ulama mujtahid. Oleh karena itu mereka tidak berhak mengeluarkan fatwa,

apalagi untuk mengubah hukum Allah SWT dan Rasul-Nya !

Umat Islam diperintahkan untuk menolak setiap fatwa yang tidak berlandaskan kepada syariat Islam.

Kita wajib menolaknya, bahkan wajib dicegah setiap hukum yang berlandaskan kepada akal dan hawa

nafsu. Sebab, manusia tidak berhak menentukan satu hukumpun. Ia harus tunduk kepada hukum Allah

SWT dan RasulNya semata. Bila kita menaati intelektual dan ulama modernis yang menghalalkan riba,

maka itu sama artinya kita menjadikan mereka sebagai Tuhan yang disembah. Itulah yang pernah

dikatakan oleh Rasulullah saw kepada Adiy bin Hatim, ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT:

Mereka mengangkat pendeta-pendeta dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka

mempertuhankan) Al Masih putra Mariyam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang

Satu: Tiada Tuhan kecuali Dia. Maha Suci (Allah SWT) dari yang mereka persekutukan (QS At Taubah :

31).

Kemudian Adiy bin Hatim berkata :

Kami tidak menyembah mereka (para Rahib dan Pendeta) itu. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya

mereka telah menghalalkan apa yang telah dahulu diharamkan, mengharamkan apa yang telah

dihalalkan, lalu kalian menaati mereka. Itulah bentuk penyembahan kalian terhadap mereka (HR Imam

Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir, dari Adiy bin Hatim. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, halaman 349).

Apakah umat Islam ingin menjadikan ulama seperti di atas sebagai Tuhan sesembahan yang berhak

menentukan halal dan haramnya sesuatu perbuatan?

Ya Allah, kami sudah menyampaikannya. Saksikanlah ! [www.faridm.com ]

HARIANACEH.co.id Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa-nya dalam


forum Rapat Kerja Nasional dan Ijtima Ulama Indonesia, sejak hampir 13 tahun yang lalu
tepat pada hari Selasa 16 Desember 2003 telah mengeluarkan fatwa tentang bunga. Fatwa itu
intinya menyatakan bahwa bunga pada bank dan lembaga keuangan lain yang ada sekarang
telah memenuhi seluruh kriteria riba. Riba tegas dinyatakan haram, sebagaimana firman
Allah SWT:



Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 275).

Karena riba haram, berarti bunga juga haram. Karena itu, sejujurnya tidak ada yang istimewa
dari fatwa MUI ini. Bahkan sejatinya, untuk perkara yang segamblang atau qath itu tidaklah
diperlukan fatwa, alias tinggal dilaksanakan saja. Artinya, fatwa itu lebih merupakan
penegasan saja. Sebagai penegasan, fatwa ini sungguh penting karena meski jelas-jelas
dilarang al-Quran, praktik pembungaan uang di berbagai bentuk lembaga keuangan tetap saja
berlangsung hingga saat ini.

Tulisan kali ini akan lebih membahas tentang besarnya dosa riba dan keterlibatan di
dalamnya (Tulisan lengkapnya dapat dilihat di buku kami: Hukum Seputar Riba dan
Pegawai Bank yang diterbitkan Ar-Raudhoh Pustaka).

Dosa Riba

Seberapa besar dosa terlibat dalam riba, maka cukuplah hadits-hadits shahih berikut
menjawabnya:
Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali
daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam) (HR Al Baihaqy, dari Anas
bin Malik).

Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan Orang-orang bertanya, apakah gerangan
wahai Rasul? Beliau menjawab: Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang
diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan
diri waktu datang serangan musuh dan menuduh wanita mumin yang suci berzina. (HR
Bukhari Muslim)

Terlibat dalam riba (Bunga Bank) adalah termasuk dosa besar, yang sejajar dengan dosa
syirik, sihir, membunuh, memakan harta anak yatim, melarikan dari jihad, dan menuduh
wanita baik-baik berzina. Naudzubillah. Bahkan apabila suatu negeri membiarkan saja riba
berkembang di daerahnya maka sama saja ia menghalalkan Allah untuk mengazab mereka
semua.

Apabila riba dan zina telah merajalela di suatu negeri, maka rakyat di negeri itu sama saja
telah menghalalkan dirinya dari azab Allah (HR. Al Hakim)

Pertanyaannya, jika Bank itu diharamkam karena Riba, lalu bagaimanakah hukum bagi orang
yang bekerja di dalamnya (pegawai Bank)?

Hukum Menjadi Pegawai Bank Konvensional

Telah sampai kepada kita hadits riwayat Ibnu Majah dari jalan Ibnu Masud dari Nabi SAW:
Bahwa beliau (Nabi SAW) melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya,
para saksi serta pencatatnya. (HR. Bukhari Muslim)

Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:

Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang
yang menjadi saksinya. Dan beliau bersabda: Mereka itu sama. (HR. Muslim)

Ibnu Masud meriwayatkan:

Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba,
dua orang saksinya, dan penulisnya. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:

Orang yang makan riba, orang yang memben makan dengan riba, dan dua orang saksinya
jika mereka mengetahui hal itu maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw.
hingga han kiamat. (HR. Nasai)
Dari hadits-hadits ini kita bisa memahami bahwa tidak diperbolehkan untuk melakukan
transaksi ijarah (sewa/kontrak kerja) terhadap salah satu bentuk pekerjaan riba, karena
transaksi tersebut merupakan transaksi terhadap jasa yang diharamkan.

Ada empat kelompok orang yang diharamkan berdasarkan hadits tersebut. Yaitu; orang yang
makan atau menggunakan (penerima) riba, orang yang menyerahkan (pemberi) riba, pencatat
riba, dan saksi riba. dan saat ini jenis pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang
membanggakan sebagian kaum muslimin serta secara umum dan legal (secara hukum positif)
di kontrak kerjakan kepada kaum muslimin di bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan
dan pembiayaan. Berikut adalah keempat kategori pekerjaan yang diharamkan berdasarkan
dalil-dalil yang disebutkan diatas:

1. Penerima Riba

Penerima riba adalah siapa saja yang secara sadar memanfaatkan transaksi yang
menghasilkan riba untuk keperluannya sedang ia mengetahui aktivitas tersebut adalah riba.
Baik melalui pinjaman kredit, gadai, ataupun pertukaran barang atau uang dan yang lainnya,
maka semua yang mengambil atau memanfaatkan aktivitas yang mendatangkan riba ini maka
ia haram melakukannya, karena terkategori pemakan riba. Contohnya adalah orang-orang
yang melakukan pinjaman hutang dari bank atau lembaga keuangan dan pembiayaan
lainnnya untuk membeli sesuatu atau membiayai sesuatu dengan pembayaran kredit yang
disertai dengan bunga (rente), baik dengan sistem bunga majemuk maupun tunggal.

2. Pemberi Riba

Pemberi riba adalah siapa saja, baik secara pribadi maupun lembaga yang menggunakan
hartanya atau mengelola harta orang lain secara sadar untuk suatu aktivitas yang
menghasilkan riba. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah para pemilik perusahaan
keuangan, pembiayaan atau bank dan juga para pengelolanya yaitu para pengambil keputusan
(Direktur atau Manajer) yang memiliki kebijakan disetujui atau tidak suatu aktivitas yang
menghasilkan riba.

3. Pencatat Riba

Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi pencatat aktivitas yang
menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya para teller, orang-orang yang menyusun anggaran
(akuntan) dan orang yang membuatkan teks kontrak perjanjian yang menghasilkan riba.

4. Saksi Riba

Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi saksi dalam suatu transaksi atau
perjanjian yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya mereka yang menjadi pengawas
(supervisor).

Sedangkan status pegawai bank yang lain, instansi-instansi serta semua lembaga yang
berhubungan dengan riba, harus diteliti terlebih dahulu tentang aktivitas pekerjaan atau
deskripsi kerja dari status pegawai bank tersebut. Apabila pekerjaan yang dikontrakkan
adalah bagian dari pekerjaan riba, baik pekerjaan itu sendiri yang menghasilkan riba ataupun
yang menghasilkan riba dengan disertai aktivitas lain, maka seorang muslim haram untuk
melaksanakan pekerjaan tersebut, semisal menjadi direktur, akuntan, teller dan
supervisornya, termasuk juga setiap pekerjaan yang menghasilkan jasa yang berhubungan
dengan riba, baik yang berhubungan secara langsung maupun tidak. Sedangkan pekerjaan
yang tidak berhubungan dengan riba, baik secara langsung maupun tidak, seperti juru kunci,
penjaga (satpam), pekerja IT (Information Technology/Teknologi Informasi), tukang sapu
dan sebagainya, maka diperbolehkan, karena transaksi kerja tersebut merupakan transaksi
untuk mengontrak jasa dari pekerjaan yang halal (mubah). Juga karena pekerjaan tersebut
tidak bisa disamakan dengan pekerjaan seorang pemberi, pencatat dan saksi riba, yang
memang jenis pekerjaannya diharamkan dengan nash yang jelas (sharih).

Yang dinilai sama dengan pegawai bank adalah pegawai pemerintahan yang mengurusi
kegiatan-kegiatan riba, seperti para pegawai yang bertugas menyerahkan pinjaman kepada
petani dengan riba, para pegawai keuangan yang melakukan pekerjaan riba, termasuk para
pegawai panti asuhan yang pekerjaannya adalah meminjam harta dengan riba, maka
semuanya termasuk pegawai-pegawai yang diharamkan, dimana orang yang terlibat dianggap
berdosa besar, karena mereka bisa disamakan dengan pencatat riba ataupun saksinya. Jadi,
tiap pekerjaan yang telah diharamkan oleh Allah SWT, maka seorang muslim diharamkan
sebagai ajiir di dalamnya.

Semua pegawai dari bank atau lembaga keuangan serta pemerintahan tersebut, apabila
pekerjaannya termasuk dalam katagori mubah menurut syara untuk mereka lakukan, maka
mereka boleh menjadi pegawai di dalamnya. Apabila pekerjaan tersebut termasuk pekerjaan
yang menurut syara tidak mubah untuk dilakukan sendiri, maka dia juga tidak diperbolehkan
untuk menjadi pegawai di dalamnya. Sebab, dia tidak diperbolehkan untuk menjadi ajiir di
dalamnya. Maka, pekerjaan-pekerjaan yang haram dilakukan, hukumnya juga haram untuk
dikontrakkan ataupun menjadi pihak yang dikontrak (ajiir).

Selain itu juga Allah SWT mengharamkan kita untuk melakukan kerjasama atau tolong-
menolong dalam perbuatan dosa.







Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. al-Maidah: 02)
Wallahualam

Hukum Bekerja di Bank Menurut Islam


ads

Seiring dengan kemajuan zaman, legiatan perekonomian juga semaking berkembang dengan
pesat termasuk dengan munculnya berbagai lembaga keuangan seperti bank dan sistem
perbankan. Sistem perbankan konvensional adalah suatu sistem dimana terjadi kegiatan
ekonomi yang mencakup kegiatan menanbung, pinjaman, penukaran mata uang, jaminan
surat berharga, giro, transfer dan lain sebagainya.

Terkadang kondisi ekonomi suatu bangsa juga dapat dilihat dari sistem perbankannya,
semakin maju sistem perbankan maka semakin maju pula negaranya. Sebenarnya pokok
aktifitas suatu bank adalah menampung dana dari masyarakat dan disalurkan pada
masyarakat yang lain atau dengan kata lain menyalurkan dana dari pihak yang kelebihan pada
pihak yang kekurangan. Pihak bank sendiri biasanya mendapat keuntungan dari bunga
pinjaman maupun potongan dari tabungan yang diberikan pada nasabah.(baca perkembangan
islam dan islam dan ilmu pengetahuan)

Sistem Perbankan Menurut Islam

Dalam perekonomian modern yang diaplikasilah dewasa ini, pada dasarnya bank adalah
lembaga perantara yang biasa disebut financial intermediary. Meskipun bank memberikan
jasa pelayanan kepada masyarakat atau nasabah, bank bukanlah termasuk lembaga sosial.
Sebenarnya bank dapat dikategorikan sebagai lembaga yang bergerak di bidang perdagangan
dan peredaran uang di masyarakat dan tempat menyimpan harta (baca harta dalam islam dan
pembagian harta dalam islam). Dalam aktivitasnya tersebut bank kemudian memunculkan
istilah bunga.(baca pengertian riba, jenis dan larangannya dalam islam). Sistem bank
konvensional yang menerapkan riba ini dibawa oleh masyarakat barat dan dipengaruhi oleh
kaum yahudi (baca sejarah yahudi dan sejarah islam dunia)

Bunga yang dianut dalam sistem perbankan dalam hukum islam dianggap sebagai riba atau
kelebihan yang bredasarkan pendapat para ulama haram hukumnya. Riba sendiri adalah
sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT karena dapat merugikan orang lain sebagaimana
yang tercantum dalam firman Allah SWT dalam ayat berikut ini (baca hukum riba dalam
islam)

Hukum Bekerja di Bank

Meskipun ulama berpendapat bahwa bank konvensional yang menerapkan bunga adalah
aktifitas riba, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahaimana hukum bekerja di bank itu
sendiri. Untuk lebih jelasnya simak beberapa pendapat ulama berikut ini

a. Menurut Yusuf Qardhawi

Dalam pendangan dan pendapat Yusuf Qardhawi, bekerja dibank sebenarnya tidak
diharamkan karena tidak semua aktifitas atau transaksi dalam dunia perbankan konvensional
mengandung unsur riba. Dalam sistem perbankan juga terdapat transaksi yang sifatnya halal
dan diperbolehkan. Meskipun tetap saja Yusuf Qardhawi mengharamkan bunga atau rioba
dari bank. Demikian juga orang yang bekerja di bank menurutnya hal tersebut diperbolehkan
atas dasar alasan berikut

Tidak semua transaksi perbankan mengandung riba dan mereka yang bekerja dibank tidak
sesalu melakukan aktifitas ribawi yang merugikan pihak lainnya dan tidak semuanya terkait
hutang dan pinjaman. (baca hutang dalam pandangan islam)
Agar sistem perbankan tidak dikuasai oleh orang nonmuslim maka sistem perbankan
konvensional pun sebaiknya dipegang atau dikuasai oleh orang muslim sehingga seorang
muslim menurut Yusuf Qardhawi boleh saja bekerja dan mencari nafkah di bank. (baca
wanita karir dalam pandangan islam dan hukum wanita bekerja dalam islam)
Bekerja dibank hukumnya boleh terutama jika orang tersebut hanya dapat bekerja di sektor
perbankan dan hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Apalagi
seorang umat islam tentunya dianjurkan untuk bekerja sebagaimana yang tercantum dalam
hadits berikut
Gaji yang diterima orang yang bekerja di bank dalam keadaan mendesak hukumnya
diperbolehkan sebagaimana suatu perkara yang haram dapat menjadi halal jika dalam
keadaan mendesak. Adapun hal ini sependapat dengan ulama Mesir yakni Jad Al Haq yang
menyetakan bahwa bekerja di bank halal hukumnya meskipun bank tempatnya bekerja
menggunakan sistem riba selama bank tersebut juga memiliki aktifitas perbankan lain yang
sifatnya halal.
Sponsors Link

b. Menurut Abdul Aziz bin Baz

Ulama Abdul aziz bin Baz menyatakan bahwa semau transaksi yang dilakukan oleh bank
konvensional adalah haram dan tidak diperbolehkan. Begitu juga jika seseorang bekerja di
bank konvensional maka haram hukumnya. Bunga yang diperoleh dari bank adalah riba dan
seseorang haram hukumnya memakan uang riba. Berikut ini adalah alasan-alasan mengapa
bekerja di bank haram hukumnya menurut Abdul Aziz bin Baz

Memakan gaji hasil riba bank konvensional hukumnya sama saja dengan memakan uang
atau harta yang haram sementara riba itu sendiri hukumnya haram. Sesuai dengan sabda
Rassulullah SAW berikut
Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada waktu itu tidak tersisa
seorangpun melainkan akan makan riba; barangsiapa yang tidak memakannya maka ia
akan terkena debunya
Membantu aktifitas bank yang menggunakan riba sama saja dengan mengakui perbuatan
riba dan memperbolehkannya oleh karena itulah sebagian ulama mengharamkan hukum
bekerja di bank konvensional. Sementara kita sebagai umat islam haruslah mengetahui
bahwa riba haram hukumnya dan pelakunya akan mendapatkan hukuman dari Allah SWT.
Bekerja di bank yang melakukan transaksi dan aktifitas riba sama saja hukumnya dengan
membantu mereka melakukan riba yang sifatnya haram sementara Allah melarang umat
muslim untuk membantu satu sama lain dalam hal yang bathil atau diharahkam
sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT dalam Quran surat Al Maidah ayat
2

































Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan
bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-
binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu)
kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-
Nya.(QS Al Maidah : 2)Hal ini juga disebutkah dalam hadits Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Imam muslim bahwasanya rasulullah SAW melaknat pemakan riba,
pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan, Mereka itu
sama saja.(HR. Muslim)

Sponsors Link

Dengan demikian kita mengetahui bahwa hukum bekerja adalah subhat atau masih
diprtentangkan karena ada yang menyebutnya halal dan ada pula yang menyebutkan bekerja
di bank adalah haram. Ada baiknya jika kita sebagai muslim sebaiknya menghindari hal-hal
yang sifatnya meragukan sebagaimana hal tersebut. Umat islam sebagai umat yang berpikir
seharusnya senantiasa menanamkan ajaran agama dalam kehidupannya (baca fungsi agama
dalam kehidupan manusia) dan menanamkan pendidikan anak dalam islam sejak dini agar
tidak dipengaruhi oleh budaya kapitalisme barat. Semoga bermanfaat. (baca juga bahaya riba
dunia akhirat dan cara menghidari riba)

Anda mungkin juga menyukai