Anda di halaman 1dari 13

Tugas Kelompok Dosen Pengampu

Makalah Hukum Acara Peradilan Agama Yuni Harlina,S.HI.,M.SY

PEMBUKTIAN DI MUKA SIDANG

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

Annisya Nur (12020723221)


Mohd.Iqbal (12020)
Reydan Putra Alfayi (12020)

PIH-F/5

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

TAHUN AJARAN 2022


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.
Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas rahmat dan

karunia-Nya yang tiada terkira. Semoga kita insan yang dhoif ini bisa selalu

istiqomah terhadap apa yang telah digariskan-Nya. Semoga kita selalu dalam ridha-

Nya. Shalawat beriring salam setulus hati kepada baginda Nabi Muhammad dan ahlul

baitnya (Shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam), sang reformis agung peradaban dunia

yang menjadi inspiring leader dan inspiring human bagi umat di seluruh belahan

dunia. Semoga syafa’atnya kelak menaungi kita di hari perhitungan kelak. Penulis

dapat sampai pada tahap ini dan dapat menyelesaikan Makalah dengan judul

“PEMBUKTIAN DI MUKA SIDANG”. Penulis menyadari Makalah ini masih belum

sempurna karena keterbatasan penulis, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca

sangat penulis harapkan demi makalah yang lebih baik dan dapat bermanfaat bagi

seluruh pembaca. 

Pekanbaru, Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

Latar Belakang...........................................................................................................1
Rumusan Masalah......................................................................................................2
Tujuan........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3

A. Dasar Hukum Dan Peraturan Perpajakan.......................................................3


B. Asas-Asas Pemungutan Pajak.........................................................................6
C. Sistem Perpajakan Di Indonesia.....................................................................8
BAB III PENUTUP...................................................................................................10

A. Kesimpulan...................................................................................................10
B. Saran.............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembuktian adalah tahap yang memiliki peranan penting bagi hakim untuk
menjatuhkan putusan. Proses pembuktian dalam proses persidangan dapat
dikatakan sebagai sentral dari proses pemeriksaan di pengadilan. Menurut
Achmad Ali, pembuktian menjadi sentral karena dalil-dalil para pihak diuji
melalui tahap pembuktian guna menemukan hukum yang akan diterapkan
(rechtoepasing) maupun yang ditemukan (rechtvinding) dalam suatu perkara
tertentu.
Dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Rechts
Reglement Buitengwesten (RBg) Pasal 284, Pasal 164 Het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) menerangkan lima alat bukti yang digunakan dalam perkara
perdata yaitu Alat bukti tertulis, Alat bukti saksi, Alat bukti berupa persangkaan-
persangkaan, Alat bukti berupa pengakuan, dan alat bukti sumpah.
Pada perkembanganya dikenal pula alat bukti elektronik yang diatur dalam
UndangUndang No. 11 Tahun 2008 jo Undang-Undang No. 19 Tahun 2016
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang memuat SMS atau Email
atau dokumen percakapan elektronik (chatting) yang dijadikan sebagai alat bukti
di persidangan. Terkait dengan pandangan perubahan terhadap hukum, para ahli
hukum sepakat bahwa hukum harus dinamis, tidak boleh statis dan harus tetap
mengayomi masyarakat.
Permasalahannya bukti elektronik dalam hukum acara perdata tidak
termasuk alat bukti sehingga apabila bukti elektronik diajukan di persidangan
maka tidak akan mengikat hakim dalam pengambilan keputusan dalam perkara
perceraian. Hakim yang berpandangan seperti ini pada umumnya adalah hakim
yang lebih mengacu pada kepastian hukum (berpatokan pada aturan perundang-
undangan) sehingga karena tidak termasuk dalam alat bukti maka hakim dengan
kewenangannya dapat mengenyampingkan bukti elektronik yang diajukan, artinya
yang dilakukan suami dan atau isteri merupakan upaya yang sia-sia.
Dalam hal perceraian, Pengadilan Agama mempunyai peran penting dalam
proses perceraian sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 65 Undang-Undang
Peradilan Agama Nomor 3 Tahun 2006, Pasal 39 ayat (1) Undang- Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Pasal 115 Inpres Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi, “Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut
berusaha dan tidak berhasil Mendamaikan kedua belah pihak”.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah terkait pembahasan makalah ini yaitu :
1. Apa itu alat bukti saksi?
2. Apa itu alat bukti persangkaan?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini diantaranya :
1. Untuk mengetahui alat bukti saksi.
2. Untuk mengetahui alat bukti persangkaan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Alat Bukti Saksi
1. Arti dan Dasar Alat Bukti Saksi
Alat bukti saksi, dalam hukum Islam disebut dengan syahid (saksi lelaki)
atau syahidah (saksi perempuan) yang terambil dari kata musyahadah yang
artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi saksi dimaksudkan adalah
manusia hidup.1
Dasar alat bukti saksi lihatlah HIR, Pasal 139-152 dan 168-172; RBg,
Pasal 1902-1912. Adapun menurut Islam,dasarnya ialah Al-quran surat Al
baqarah ayat 282 yang terjemahannya :
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di
antaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki maka boleh seorang lelaki bersama dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu sukai, supaya jika yang seorang lupa
maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…”
Masih banyak lagi ayat dan hadis tentang saksi tapi ayat disebutkan di atas
adalah menjadi dasar umumnya, yaitu saksi itu secara umum terdiri dari dua orang
lelaki atau seorang lelaki bersama dua orang perempuan, yang semuanya
beragama Islam.
Kebanyakan ahli hukum Islam menyamakan kesaksian itu dengan
bayyinah. Apabila saksi disamakan dengan bayyinah berarti pembuktian dimuka
peradilan Islam, termasuk dimuka peradilan agama hanya mungkin dengan saksi
saja, sebab Rasulullah mengatakan “albayyinah ala almudday wa alyamin ala
man ankar”.
Ada ahli hukum Islam yang mengartikan bayyinah itu sebagai segala
sesuatu apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu
apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu,
misalnya Ibn al-Qayyim al Jauziyah dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyah.
Pengertian ini berarti bahwa kesaksian hanya merupakan sebagian dari bayyinah.
1
Roihan Rasyid,Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2007)hlm.159
Sehubungan dengan pembuktian, rasanya pengertian yang terakhir inilah yang
tepat dipergunakan.
2. Saksi Sebagai Syarat Hukum atau Sebagai Alat Pembuktian
Dalam mempergunakan saksi dimuka sidang Pengadilan Agama
hendaknya kita tahu membedakan apakah saksi sebagai syarat hukum ataukah
sebagai alat pembuktian, sebab fungsi keduanya itu berbeda. Sebagai misal, 2
orang saksi adalah sebagai syarat hukum untuk sahnya perkawinan namun untuk
membuktikan adanya perkawinan tidak mesti dengan 2 orang saksi betul,
melainkan dengan cara lain, seperti: (1) dengan pengakuan kedua suami-istri
dengan sumpahnya, (2) dengan adanya akta nikah, (3) dengan seorang saksi
ditambah sumpah dari salah seorang suami-istri yang dimaksudkan, (4) dan
sebagainya. Hal-hal dilakukan atas ini diakui sendiri oleh para ahli hukum Islam.
Pengadilan Agama dalam hal ini, tentunya bukan bermaksud mau
mengawinkan orang melainkan hanya untuk membuktikan ada atau tidaknya
nikah. Jika saksi sebagai syarat hukum, rasanya kita sepakat bahwa tanpa
kesaksian 2 orang saksi yang beragama Islam perkawinan tidak sah.
Status saksi ada kalanya ia menempati sebagai syarat hukum dan ada
kalanya sebagai alat bukti bahkan ada kalanya ia menempati sebagai syarat hukum
sekaligus syarat pembuktian. Pada keadaan yang disebutkan terakhir ini kita harus
menggunakan saksi sebagai disitu sebagai syarat hukum, sebab syarat pembuktian
sudah sekaligus tercakup (implisit) didalam syarat hukum, dengan kata lain,
segala saksi yang memenuhi syarat hukum, otomatis memenuhi syarat
pembuktian, tetapi tidak sebaliknya.
Seorang lelaki atau perempuan yang sudah dalam keadaan kawin, apabila
melakukan zina akan dirajam. Pembuktian zina disitu tidak bisa ditawar selain
dari 4 orang saksi lelaki yang beragama Islam atau dengan jalan li’an. Kedudukan
saksi disitu sebagai syarat hukum untuk bolehnya/berlakunya rajam dan sebagai
syarat pembuktian telah terjadi zina. Bila pengakuan yang dijadikan dasar maka
pengakuan disitu berfungsi sebagai syarat pembuktian telah berzina sekaligus
syarat hukum untuk berlakunya rajam (bagi yang mengaku) tetapi tidak

4
merupakan syarat hukum untuk berlakunya rajam (bagi pihak lawannya apabila ia
tidak turut mengaku).
3. Macam-Macam Saksi
1) Saksi yang telah memenuhi kriteria sebagai alat bukti, yakni saksi yang
terdiri dari dua orang yang telah memenuhi syarat formil dan materiil.
2) Saksi yang hanya satu orang (unus testis nullus testis). Hakim
diperkenankan untuk menganggap satu peristiwa terbukti dari keterangan
seorang saksi. Larangan untuk mempercayai keterangan seorang saksi
sebagaimana yang dimaksud Pasal 169 HIR yang menyatakan bahwa
keterangan seorang saksi tanpa ada alat bukti lain tidak dapat dipercaya
dimaksudkan sebagai suatu larangan untuk mengabulkan suatu gugatan
apabila dalildalil penggugat disangkal dan hanya dikuatkan oleh satu
orang saksi saja.
3) Saksi testimonium de auditu, yaitu saksi yang memberikan keterangan dari
apa yang didengarnya dari orang lain. Saksi testimonium de auditu
memang tidak ada artinya, akan tetapi hakim tidak dilarang untuk
menerimanya, yang dilarang adalah apabila saksi tersebut menarik
kesimpulan atau menurut istilah Pasal 171 (2) HIR atau Pasal 308 (2) RGB
memberikan “pendapat atau perkiraan-perkiraan”.
4. Sumpah Bagi Saksi
Saksi didalam Islam, pada prinsipnya tidak perlu lagi di sumpah, tidak
perlu disyahadatkan lebih dahulu, sebab orang Muslim itu pada prinsipnya
dianggap adil, kecuali kalau dibuktikan sebaliknya. Akan tetapi dalam
kenyataannya, kesaksian tanpa dibawah sumpah akan membawa saksi kepada
kemungkinan kurang berhati-hati bahkan tidak takut berbohong. Justru itu, saksi
sebelum memberi keterangannya harus disumpah dan kalau tidak dibawah
sumpah maka keterangan kesaksian tersebut tidak mengikat hakim. Karena saksi
dimuka Peradilan Agama mungkin saja bukan orang Islam, misalnya soal perkara
wasiat dalam perjalanan (musafir) maka teks sumpah harus diturut menurut
agamanya masing-masing.

5
Teks sumpah menurut Islam hendaknya tidak menggunakan teks sumpah
li’an. Jadi teks sumpah cukup berbunyi: “Demi Allah saya bersumpah bahwa saya
akan menerangkan yang sebenarnya.”
Teks sumpah bagi saksi ahli menurut Islam cukup berbunyi: “Demi Allah
saya bersumpah bahwa saya akan memberikan pendapat tentang soal-soal yang
dikemukakan menurut pangetahuan saya dengan sebaik-baiknya.”
Teks sumpah bagi agama lain-lainnya pada prinsipnya sama isinya, hanya
sering ada kelainan dibagian permulaan dan penutup, jadi sesuaikan saja.2
5. Kekuatan pembuktian dengan alat bukti saksi
Mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi, berdasarkan Pasal 1908
KUH Perdata dan Pasal 172 HIR bersifat bebas. Menurut pasal tersebut, hakim
bebas mempertimbangkan atau menilai keterangan saksi berdasar kesamaan atau
saling berhubugannya antara saksi yang satu dengan yang lain. Maksud pengertian
nilai kekuatan pembuktian bebas yang melekat pada alat bukti saksi adalah
kebenaran yang terkandung dalam keterangan yang diberikan saksi di persidangan
dianggap tidak sempurna dan tidak mengikat dan hakim tidak terikat untuk
menerima atau menolak kebenarannya.
Bertitik tolak dari nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas, maka
batas minimal pembuktian dengan alat bukti saksi yaitu saksi paling sedikit 2
(dua) orang yang telah memenuhi syarat formil dan materiil. Dengan demikian,
satu orang saksi saja belum mencapai batas minimal pembuktian karena seorang
saksi tidak merupakan kesaksian (unus testis nullus testis). Akan tetapi, apabila
alat bukti seorang saksi dikuatkan dengan satu alat bukti lain serta keterangan
saksi sesuai dengan alat bukti lain, maka hakim dapat memberikan putusan
berdasarkan kedua alat bukti tersebut.
6. Larangan Untuk Menjadi Saksi
Alquran maupun hadist tidak menyebutkan larangan untuk menjadi saksi
karena hubungan darah/hubungan semenda dengan pihak-pihak yang berperkara.
Ahli hukum Islam, ada yang melarang dan ada yang tidak melarang. Demi untuk
lebih terjaminnya objektivitas tidak memihak, tentu ada larangan, khususnya bagi

2
Ibid,hlm.171

6
keluarga hubungan darah/hubungan semenda yang masih dekat. Larangan ini
diatur di lingkungan Peradilan Umum, yang kini juga harus diindahkan oleh
Peradilan Agama adalah sebagai berikut:
1. Larangan mutlak, ialah:
a) Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut garis keturunan
lurus dari salah satu pihak, kecuali dalam perkara yang
menyangkut tentang status keperdataan (sipil) atau perjanjian kerja,
yang berkenan dengan nafkah, pencabutan kekuasaan orang tua
atau wali.
b) Suami atau istri meskipun sudah bercerai.
2. Larangan relative, artinya mereka boleh didengar tetapi tidak sebagai
saksi, pula tidak perlu di bawah sumpah, yaitu:
a) Anak-anak yang belum berumur 15 tahun.
b) Orang gila sekalipun kadang-kadang sehat.
3. Mereka yang mempunyai hak ingkar untuk menjadi saksi, atau berhak
minta dibebaskan dari saksi yaitu:
a) Saudara lelaki atau saudara perempuan dan ipar lelaki dan ipar
perempuan
b) Keluarga sedarah menurut garis keturunan lurus dari suami atau
istri

B. Alat Bukti Persangkaan


1. Pengertian Persangkaan
Persangkaan adalah bukti kesimpulan oleh UU atau hakim yang ditarik
dari peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.
Sedangkan Pitlo berpendapat bahwa persangkaan adalah uraian hakim, dengan
mana hakim dari fakta yang terbukti menyimpulkan fakta yang tidak terbukti.3
2. Macam-Macam Persangkaan
1) Persangkaan menurut hakim adalah kesimpulan hakim yang ditarik atau
sebagai hasil dari pemeriksaan sidang. Pengertian persangkaan menurut
hakim sesungguhnya amat luas. Segala peristiwa, keadaan dalam sidang,
3
Sudirman,Hukum Acara Peradilan Agama,(Sulawesi:IAIN Parepare Nusantara Press,2021)hlm.95

7
bahan-bahan yang didapat dari pemeriksaan perkara tersebut dapat
dijadikan bahan untuk menyusun persangkaan hakim.
2) Persangkaan menurut UU adalah persangkaan berdasarkan suatu ketentuan
khusus UU yang dihubungkan dengan perbuatan atau peristiwa tertentu.
Persangkaan menurut UU dibagi atas dua jenis yaitu yang masih
memungkinkan pembuktian lawan dan yang tidak memungkinkan
pembuktian lawan.
3. Kekuatan pembuktian alat bukti persangkaan
1) Persangkaan menurut hakim mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang
bersifat bebas. Oleh karena itu, hakim bebas untuk menerimaatau menolak
kebenaran yang terdapat di dalam persangkaan tersebut. Dengan demikian,
karena nilai kekuatan pembuktiannya bebas maka persangkaan menurut
hakim tidak dapat berdiri sendiri, minimal harus ada dua persangkaan atau
satu persangkaan dikuatkan dengan satu alat bukti lain.
2) Persangkaan menurut UU yang tidak memungkinkan pembuktian lawan,
maka nilai kekuatan pembuktiannya bersifat sempurna, mengikat dan
memaksa. Dengan demikian, kebenaran yang melekat pada alat bukti ini
bersifat imperatif bagi hakim untuk dijadikan sebagai dasar penilaian
dalam mengambil putusan. Oleh karena pada alat bukti ini melekat nilai
kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan, maka
alat bukti tersebut dapat berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain dan
telah memenuhi batas minimal pembuktian.
3) Adapun persangkaan menurut UU yang memungkinkan pembuktian
lawan, maka nilai pembuktiannya tidak absolut karena dapat dibantah
dengan bukti lawan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian alat
bukti ini menjadi alat bukti permulaan dan tidak dapat berdiri sendiri tetapi
harus mendapat dukungan alat bukti lain agar dapat mencapai batas
minimal pembuktian.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Sebagaimana

B. Saran

Demikianlah makalah ini dipaparkan, semoga para pembaca dapat


menambah ilmu pengetahuan dan mengerti dengan mata kuliah Hukum Acara
Peradilan Agama tentang Pembuktian di Muka Sidang. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran dalam penulisan makalah ini agar menjadi
makalah yang benar dan baik.
DAFTAR PUSTAKA

10

Anda mungkin juga menyukai