Anda di halaman 1dari 15

“KEDUDUKAN BUKTI, SAKSI, DAN SUMPAH DALAM PERSPEKTIF

PERADILAN ISLAM”

Tugas Makalah Peradilan Islam


Program Studi Hukum Ekonomi Syariah

Dosen Pengampu:
Dwi Utami Hudaya Nur. S.H.I., M.H.

Dibuat Oleh:

KELOMPOK VIII
Magfira (20256122030)
Cahya Alifyah (20256122052)

JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI BISNIS ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
MAJENE
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah Swt karena atas rahmat dan
hidayah-Nyalah sehingga penyusun mampu menyelesaikan makalah yang berjudul
“Kedudukan Bukti, Saksi, dan Sumpah Dalam Perspektif Peradilan Islam” guna
memenuhi tugas mata kuliah Peradilan Islam yang diampu oleh dosen Dwi Utami
Hudaya Nur. S.H.I., M.H. ini dapat diselesaikan dengan baik.

Tak lupa pula untuk senantiasa mengirimkan sholawat dan salam kepada sang
junjungan, yakni nabi besar Muhammad Saw yang telah menjadi cahaya bagi umat
muslim juga sebagai rahmat bagi manusia dan alam ini.

Pada akhirnya, penyusun menyadari bahwa pada dasarnya makalah ini


sungguh masih jauh dari kata sempurna dan berkenaan dengan itu, penyusun berharap
akan adanya kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar kedepannya,
pembuatan karya tulis dari penyusun semakin meningkat dan menjadi lebih baik.

Majene, Desember 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN 3
A. Definisi Pembuktian. Alat Bukti, Saksi, Dan Sumpah 3
B. Alat Bukti, Saksi, Dan Sumpah Di Masa Dulu 5
C. Alat Bukti, Saksi, Dan Sumpah Di masa Sekarang 7

BAB III PENUTUP 11


A. Kesimpulan 11
B. Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembuktian merupakan hal yang sangat signifikan dalam menyelesaikan suatu
perkara di Pengadilan. Selain itu, pembuktian yang benar dan baik akan menjamin
keadilan putusan hukum. Asas pembuktian dalam hukum Islam banyak dijumpai di
dalam al Qur'an dan hadits Rasulullah SAW.
Hukum Islam sangat respon terhadap eksistensi dan realitas kebutuhan hukum
masyarakat, baik dalam bentuk perubahan maupun perkembangan, dikarenakan
hukum merupakan bimbingan Allah SWT. untuk mengarahkan masyarakat dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Ia tidak sekedar mengatur tapi
juga menafikan kemafsadatan dan menciptakan kemaslahatan dalam masyarakat.
Dalam hukum Islam terkandung nilai-nilai fitriyah yang senantiasa berlandaskan pada
prinsip-prinsip hukum Islam yang tidak bisa dirubah, dalam hal ini termasuk kategori
syari'at yang bersifat tsabat (konstan, tetap), artinya tetap berlaku universal sepanjang
zaman. Bidang ini meliputi segala tatanan qat'iyah dan merupakan jati diri hukum
Islam.
Di antara permasalahan yang menimbulkan perubahan kebutuhan terhadap
hukum adalah perkembangan paradigma pembuktian dalam Lembaga Peradilan
Islam. Perkembangan tersebut dapat berarti secara mekanisme maupun reinterpretasi.
Karenanya lembaga peradilan dengan berbagai sistemnya selalu berkembang dari
waktu ke waktu seiring dengan perkembangan peradaban manusia.1
Para ulama pun telah sepakat bahwa Hakim tidak boleh memutuskan
hukuman kecuali apabila ada bukti-bukti yang menyakinkan. Adapun Bukti-bukti
seperti kesaksian dan sumpah akan penulis bahas lebih lanjut dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi alat bukti, saksi, dan sumpah?
1
Mardi Candra, Skripsi: Pembuktian Dalam Perspektif Hukum Islam (Analisis Terhadap
Alat Bukti Qarinah), (Padang: Institut Agama Islam Negeri, 2002), h. 1-2.

1
2

2. Bagaimana alat bukti, saksi, dan sumpah di masa dulu?


3. Bagaimana alat bukti, saksi, dan sumpah di masa sekarang?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana definisi alat bukti, saksi, dan sumpah.
2. Untuk mengetahui bagaimana alat bukti, saksi, dan sumpah di masa dulu.
3. Untuk mengetahui bagaimana alat bukti, saksi, dan sumpah di masa sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pembuktian. Alat Bukti, Saksi, Dan Sumpah
Dalam memahami istilah pembuktian, ada beberapa pengertian pembuktian
yang dikemukakan oleh para pakar hukum. Menurut M. Yahya Harahap,
pembuktian dalam pengertian yang luas adalah kemampuan Penggugat atau
Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan
hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam
hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian
hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih
disengketakan, atau sepanjang yang menjadi perselisihan di antara pihak-pihak
yang berpekara.
Pembuktian dalam hukum Islam, dikenal dengan istilah al-bayyinah.
Secara etimologi berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk menjelaskan yang hak (benar). Secara teknis berarti alat-alat bukti dalam
sidang Pengadilan. Dengan demikian dapat juga dipahami, bahwa alat bukti
adalah cara atau alat yang digunakan dalam pembuktian.2
Setiap alat bukti yang diajukan di persidangan sah bernilai sebagai alat
bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian harus mencapai batas minimal.
Jika tidak, alat bukti tersebut dikesampingkan dalam penilaian pembuktian. Batas
minimal secara teknis dan populer dapat diartikan sebagai suatu jumlah alat bukti
yang sah yang paling sedikit harus terpenuhi, agar alat bukti itu mempunyai nilai
kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan atau
dikemukakan. Apabila alat bukti yang diajukan dipersidangan tidak mencapai
batas minimal, alat bukti tersebut tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian

2
Mardi Candra, Skripsi: Pembuktian Dalam Perspektif Hukum Islam (Analisis Terhadap Alat
Bukti Qarinah), (Padang: Institut Agama Islam Negeri, 2002), h. 16-17.

3
4

yang cukup untuk membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun


pernyataan yang dikemukakan.3
1. Alat Bukti
Menurut Hukum Islam, alat bukti adalah segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan suatu perbuatan, alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan
sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran
adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa. Pengertian lain
dikemukakan oleh Al-Bad’i yang dikutip oleh Hasbi Ash Siddiqy bahwa alat
bukti adalah keterangan dalam menyelesikan perkara.
Alat bukti dalam arti lain alat untuk menjadi pegangan hakim sebagai dasar
dalam memutus suatu perkara, sehingga dengan berpegangan kepada alat bukti
tersebut dapat mengakhiri sengketa di antara orang yang berperkara.4
2. Alat Bukti Saksi
Kesaksian dalam hukum Islam disebut dengan syahid (saksi laki-laki) atau
syahidah (saksi perempuan) yang terambil dari kata musyahadah artinya
menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi saksi yang dimaksud adalah
manusia yang hidup. Dalam hal kesaksian para ahli hukum Islam (jumhur
fuqaha) menyamakan kesaksian (syahadah) itu dengan bayyinah. Kesaksian
diberi nama al-bayyinah karena dengan kesaksian itulah yang hak menjadi jelas.
Pengertian al-bayyinah dalam alQur’an, as-sunnah dan perkataan para sahabat
Nabi saw adalah nama bagi setiap sesuatu yang dapat menyatakan dan
mengungkapkan kebenaran.5
3. Alat Bukti Sumpah
sumpah menurut istilah, “Sudikno Mertokusmo” menguraikan sumpah
menurut istilah adalah pada umumnya suatu peryataan yang khidmat yang
3
Sudirman, Hukum Acara Peradilan Islam (IAIN Pare-Pare: Nusantara Press,2021), h.87-88.
4
Syahrul Aswar, Eksistensi Alat Bukti Dalam Pengadilan (Studi Komparatif Menurut Hukum
Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia), Vol.3, Jurnal Qiyas, 2018, No.2, h.28-29.
5
Nur Adzimah, Skripsi: Kedudukan Saksi Perempuan Dalam Kasus Perceraian (Analisis
Perbandingan pendapat Empat Mahzab Dengan Hukum Poistif yang Berlaku Di Indonesia), (Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2015), h. 18.
5

diberikan atau yang diucapakan pada waktu pemberian janji atau keterangan
dengan mengingat akan sifat maka kusa dari Tuhan dan percaya siapa yang
memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehnya, jadi
hakikatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan
dalam peradilan
M. H. Tirtaamidjaja, mendefinisikan sumpah adalah suatu keterangan yang
diucapkan dengan khidmat, bahwa jika orang yang mengatakan sumpah itu dan
memberikan keterangan yang tidak benar, ia bersedia dikutuk Tuhan. Jadi
sumpah menurut istilah suatau ucapan atau keterangan dengan menyebut nama
Tuhan sesuai dengan keyakinan yang melakukan dan memberikan sumpah.6
B. Alat Bukti, Saksi, Dan Sumpah Di Masa Dulu
Datangnya Islam di jazirah Arab yang ditandai dengan lahirnya Rasulullah
saw. merupakan cikal bakal tumbuhnya sistem peradilan Islam berdasarkan
wahyu Allah swt., baik itu melalui Al-Qur’an maupun lisan Rasulullah saw.
Bersamaan dengan masuknya Islam, maka aturan hukum yang wajib untuk ditaati
adalah keputusan hukum dalam Al- Qur’an sebagai Undang-undang yang mampu
menggantikan seluruh aturan hukum yang ada saat itu dengan prinsip utamanya
adalah tegaknya keadilan serta kebenaran secara komprehensif dan bersifat
universal.
Adapun jenis perkara yang diselesaikan Rasulullah meliputi segala jenis
perkara, mulai perkara keluarga, perdata, pidana, hukum acara hingga masalah
hukum internasional. Dalam kapasitas sebagai hakim, tidak jarang Rasulullah
saw. melimpahkan wewenang kepada sahabat yang dipercayainya, seperti, `Alī
bin Abī Ṭālib, Ḥużaifah bin al-Yaman, `Uqbah bin `Amr, Ma`qil bin Yasār, `Amr
bin al-Āṣ, `Alqamah dan sebagainya, baik ketika Rasulullah saw. sedang berada
di tempat tersebut maupun tidak, beberapa di antara mereka diutus ke daerah-
daerah kekuasaan Islam. Di antara bukti keimanan seseorang pada saat itu adalah

6
Wahyuddin, Skripsi: Kekuatan Hukum Sumpah Sebagai Alat Bukti Dalam Hukum Acara Di
Indonesia, (Makassar: Universitas Islam Negeri, 2015), h. 13-14.
6

menyerahkan segala jenis perkara yang diperselisihkan kepada Rasulullah saw.


dengan menjadikan beliau sebagai hakim di antara mereka, kemudian mereka
dengan sepenuh hati menerima keputusan Rasulullah Swt.
Di zaman Nabi saw., setelah perkara diputuskan oleh Rasulullah, para pihak
melaksanakan dengan sukarela. Dalam hal gugatan hak, pihak yang kalah dengan
sukarela memenuhi tuntutan dan memenuhi hak pihak yang menang. Tidak
pernah
terdengar adanya pihak yang bersengketa untuk menentang putusan Rasulullah
saw. Hal ini dimungkinkan karena yang memutus perkara adalah pribadi al-Amīn
(terpercaya), dan merupakan pemegang mandat dari Allah swt. untuk
menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat dengan putusan yang adil. Hal itu
disebabkan karena apa yang beliau ucapkan dan putuskan bersumber dari wahyu,
Allah swt.
Dalam menangani perkara, Nabi saw. selalu mendengar keterangan kedua
belah pihak. Nabi saw. tidak akan menetapkan sebuah putusan sebelum
mendengar kedua belah pihak. Hal ini dilakukan agar perkara tersebut menjadi
jelas baginya dan ia dapat memutuskan secara adil. Sebagai contoh dalam hal ini,
beliau pernah berpesan kepada ‘Alī bin Abī Ṭālib secara khusus dan kepada para
hakim secara umum agar tidak tergesa-gesa memutuskan perkara sebelum
mendengar pembicaraan kedua belah pihak. Berdasarkan keterangan para pihak,
Nabi saw. memutuskan berdasarkan pertimbangan dengan hukum Allah swt.
meskipun demikian, perlu untuk ditegaskan bahwa apa yang diputuskan oleh Nabi
saw. semata-mata berdasarkan zahirnya perkara, sumpah, atau berdasar bukti-
bukti yang dikemukakan dalam persidangan. Oleh karena itu, keputusan yang
ditempuh oleh Nabi saw. dalam hal seperti ini adalah berdasarkan ijtihadnya.
Ijtihad beliau sebagai manusia biasa tentu berdasarkan wahyu Allah swt., baik itu
secara langsung maupun tidak langsung. Nabi saw. telah mengisyaratkan dalam
sebuah hadis tentang pengambilan keputusan berdasarkan bukti dan sumpah
7

dalam sabdanya Artinya: “Bukti wajib bagi penggugat dan sumpah wajib bagi
orang yang mengingkarinya”.
Hadis di atas menjadi dasar hukum dalam menetapkan al-Bayyinah dan
sumpah sebagai alat bukti dalam menetapkan putusan pada sebuah peradilan.
Kedua alat bukti tersebut masih relevan dan digunakan sampai hari ini. Hal
tersebut menunjukkan bahwa sistem peradilan yang dikembangkan dari masa ke
masa berasal dari sistem peradilan yang cikal bakalnya sudah ada di zaman Nabi
saw.7
C. Alat Bukti, Saksi, Dan Sumpah Di masa Sekarang
Setelah berkembangnya zaman berkembang pula alat bukti yang di gunakan
oleh Rasulullah Saw dalam menyelesaikan suatu perkara, dan masih digunakan
hingga saat ini. Dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara (pencari
keadilan), alat bukti artinya adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh
pihak-pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim dipengadilan agama. Alat
bukti ini juga upaya yang bisa dipergunakan oleh majelis dalam memutus perkara.
Jadi alat bukti diperlukan oleh pencari keadilan maupun pengadilan.
Adapun macam- macam alat bukti sebagai berikut:
1. Alat Bukti Surat (Tulisan)
Menurut Sudikno Mertokusumo, SH. Alat bukti surat adalah segala sesuatu
yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang dituangkan dalam surat atau
tulisan.
Contoh alat bukti surat atau tulisan yaitu A beragama islam, ia membuat
surat wasiat di muka Notaris B yang isinya memberikan semua harta A (setelah
wafatnya nanti) kepada C. Setelah wafat, timbullah masalah, apakah surat wasiat
tersebut sah dan dapat dilaksanakan atau tidak. Secara material bentuk alat bukti,
wasiat yang dibuat di depan notaris sudah termasuk alat bukti karena dalam
7
Awal Rifai Wahab, Dkk, Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah Dan KhulafauRsyidin:
Studi Komparatif Peradilan Islam Era Klasik, Vol. 3, Jurnal, Bustanul Fuqaha Bidang Hukum Islam,
2021, No. 1, h. 36-38.
8

posisi surat wasiat yang sudah bertanda tangan. Namun menurut hokum material
islam siapa dan dimana pun yang membuat dan dibuat surat wasiat itu, mutlak
tidak sah dan tidak dapat dilaksanakan, karena maksimal pemberian wasiat harta
hanyalah sepertiga saja dari seluruh harta yang membuat wasiat. Jadi apabila
bukti ini di bawa ke pengadilan agama maka hakim majelis akan menggugurkan
alat bukti surat wasiat ini.8
2. Alat Bukti Saksi
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan pasal
1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim
dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.9
Syarat-syarat diterimanya persaksian seseorang:
a. Islam : Persaksian orang kafir tidak diterima Berdasarkan firman Allah swt
dalam (QS.Ath-Tholaq : 2)
b. Baliqh dan Berakal: Anak kecil (belum baliqh) persaksiannya tidak diterima,
walaupun disifati dengan adil, karena akalnya belum sempurna.
c. Bisa berbicara: persaksian orang bisu tidak diterima walaupun isyaratnya
dipahami; hanya saja diterima persaksiannya dalam hukum-hukum yang
khusus pada saat darurat.
d. Adil: para ulama sepakat mensyaratkan saksi harus adil, tidak
diterimakesaksian orang fasik seperti pezina, pemabuk, pencuri dan yang
semisal. Tetapi orang fasik jika ia terpandang dalam masyarakat, bermartabat
dapat diterima kesaksiannya, karena kehormatan dan martabatnya
menghindarkannya dari kecondongan dan berdusta dalam kesaksian.

8
Amri, Hukum Acara Pengadilan Agama (Malang: CV. Literasi Nusantara Abadi,2021), h.
47.
9
Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian Di Peradilan Agama (Yogyakarta: Inset Grafika
2019), h.51.
9

e. Bukan dugaan/sangkaan: orang yang suka menyangka ditolak kesaksiannya.


Suatu kesaksian, untuk dapat dijadikan sebagai dasar dalam memutus perkara
tidak boleh berupa dugaan ataupun dengan keterangan yang belum cukup
memadai dari yang seharusnya10
3. Alat Bukti Sumpah
Dari segi bahasa, (‫ )اليمين‬al-yamiin berarti tangan kanan, kemudian sumpah
dinamai dengan istilah al-Yamiin lantaran dahulu orang-orang jahiliyah apabila
bersumpah, mereka saling membentangkan tangan kanannya (bersalaman)
sebagai tanda penguat sumpah mereka.11
Adapun secara istilah fiqih-nya, sumpah adalah menguatkan perkataan
dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan dengan bentuk kalimat tertentu.
Dan dasar hukum sumpah juga terdapat dalam al-quran dan hadis.
Adapun syarat-syarat sumpah adalah:
a. Orang yang bersumpah adalah mukallaf, tidak dipaksa dan sengaja
bersumpah;
b. Sumpahnya dilaksanakan atas nama Allah atau dengan sifat- sifat Nya;
c. Perkara yang dikuatkan dengan sumpah itu tidak merupakan perkara yang
tetap, tetapi termasuk perkara yang muhtamal (ijtihadi).
Tegasnya sumpah dapat dikatakan sebagai alat bukti bila memenuhi kereteria
sebagai berikut:
a. Pengangkat sumpah adalah mukallaf;
b. Tidak dalam kondisi terpaksa dan adanya unsur kesengajaan bersumpah;
c. Sumpah tersebut mengandung unsur penyebutan nama Allah atau salah satu
dari sifat-Nya;
d. Perkara yang diperkuat dengan sumpah bahkan merupakan perkara yang qath'i
atau yang merupakan hak Allah semata.
10
Nur Adzimah, Skripsi: Kedudukan Saksi Perempuan Dalam Kasus Perceraian (Analisis
Perbandingan pendapat Empat Mahzab Dengan Hukum Poistif yang Berlaku Di Indonesia), (Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2015), h. 25-26.
11
Kosim Rusdi, Fiqih Peradilan (Yogyakarta: Diandra Press 2012),h. 112.
10

Adapun Jenis-jenis sumpah yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Sudikno


Mertokusumo, SH. Sebagai berikut:
1. Sumpah pelengkap (Suppletoir, pasal: 155 HIR, dan 1940 BW).
Adapun sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatınya kepada salah
satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi dasar
putusan. Jadi sumpah ini tidak membatasi jenis perkara dan pihak yang
diperintah untuk bersumpah adalah diperintahkan. atas wewenang hakim,
sedangkan yang mendapatkan tugas untuk bersumpah tidak mempunyai
pilihan lain kecuali untuk mengakat sumpah atau menolaknya.
2. Sumpah Penaksir (Aestimotoir, pasal 155 ayat 2 HIR. Dan Pasal 1940 BW).
Suatu sumpah yang diperintah oleh hakim karena jabatannya kepada
penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian. Sumpah penaksir
ini harus didahului dengan alat bukti yang sah, yang kemudian dengan alat
bukti yang ada, hakim merasa perlu untuk meyakinkan kepatutan tuntutan
penggugat, sehingga ia memerintah penggugat untuk bersumpah.
3. Sumpah Pemutus (Decissoir, pasal 156 HIR dan 1930 BW)
Sumpah pemutus juga disebut seumpah decissoir memutuskan persoalan,
menentukan siapa yang harus dikalahkan dan siapa yang harus
dimenangkan."12

12
Syamsul Hilal, Tinjauan Hukum Islam Alat Bukti Sumpah dalam Hukum Acara Perdata,
(Lampung: Pusaka Media, 2013), h. 3-4.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Hukum Islam, alat bukti adalah segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan suatu perbuatan, alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan
sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran
adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan
tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan
dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil
dalam persidangan.
sumpah menurut istilah, “Sudikno Mertokusmo” menguraikan sumpah
menurut istilah adalah pada umumnya suatu peryataan yang khidmat yang
diberikan atau yang diucapakan pada waktu pemberian janji atau keterangan
dengan mengingat akan sifat maka kusa dari Tuhan dan percaya siapa yang
memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehnya, jadi
hakikatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan
dalam peradilan.

B. Saran
Sesungguhnya makalah ini masih jauh dari kata sempurna, meskipun
begitu dengan penuh kerendahan hati penyusunberharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi sesiapapun yang meluangkan waktu untuk membacanya.
Kritik dan saran yang membangun pun akan penyusun terima dengan senang hati
demi penyusunan makalah maupun artikel yang ke depannya akan menjadi lebih
baik.

11
DAFTAR PUSTAKA
Amri, Hukum Acara Pengadilan Agama (Malang: CV. Literasi Nusantara
Abadi,2021
Awal Rifai Wahab, Dkk, Peradilan Islam Pada Masa Rasulullah Dan
KhulafauRsyidin: Studi Komparatif Peradilan Islam Era Klasik, Jurnal,
Bustanul Fuqaha Bidang Hukum Islam, 3 (1), 2021.
Candra, Mardi, Skripsi: Pembuktian Dalam Perspektif Hukum Islam (Analisis
Terhadap Alat Bukti Qarinah), Padang: Institut Agama Islam Negeri, 2002.
Kosim Rusdi, Fiqih Peradilan Yogyakarta: Diandra Press 2012.
Nur Adzimah, Skripsi: Kedudukan Saksi Perempuan Dalam Kasus Perceraian
(Analisis Perbandingan pendapat Empat Mahzab Dengan Hukum Poistif yang
Berlaku Di Indonesia), Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
2015.
Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian Di Peradilan Agama Yogyakarta: Inset
Grafika 2019.
Sudirman, Hukum Acara Peradilan Islam IAIN Pare-Pare: Nusantara Press, 2021.
Syahrul Aswar, Eksistensi Alat Bukti Dalam Pengadilan (Studi Komparatif Menurut
Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia), Jurnal Qiyas, 3 (2), 2018.
Syamsul Hilal, Tinjauan Hukum Islam Alat Bukti Sumpah dalam Hukum Acara
Perdata, Lampung: Pusaka Media, 2013.
Wahyuddin, Skripsi: Kekuatan Hukum Sumpah Sebagai Alat Bukti Dalam Hukum
Acara Di Indonesia, Makassar: Universitas Islam Negeri, 2015.

12

Anda mungkin juga menyukai