Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“Pembuktian”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Perdata


Dosen Pengampu : Hj. ida Mursidah, S.H, M.M, M.H.

Disusun oleh : Kelompok 8

Aldi Alpian (211120005)

Khenan Abbal Kharist (211120010)

Royan Azizah (211120020)

FAKULTAS SYARIAH
HUKUM TATA NEGARA
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SULTAN MAULANA HASSANUDIN BANTEN

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Bersyukur dan Ikhlas kita haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan
inayahnya-Nya makalah yang yang diberi judul “Pembuktian” dapat selesai. Makalah ini dibuat
dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Qiroatul Qutub dan untuk menambah wawasan
kepada pembaca dan penulis

Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Hj. ida Mursidah, S.H, M.M, M.H. sebagai dosen
pengampu dari mata kuliah Hukum Acara Perdata ini, yang sudah mengintruksikan kepada kami
tugas ini sehingga bisa meningkatkan wawasan dan pengetahuan bagi kita semua. Semoga
makalah ini bisa memberikan informasi tentang “Pembuktian” yang dapat bermanfaat bagi kita
semua. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam proses
penyusunan makalah ini.

Kami mengetahui, tugas yang telah disusun masih belum bisa dikatakan sudah dapat
menghasilkan karya yang terbaik. Sebab itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan untuk menyempurnakan makalah ini. Atas perhatian dan waktunya yang telah
diluangkan,kami ucapkan terimakasih.

Serang, 18 Februari 2023

Penulis,

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

BAB I...........................................................................................................................................

PENDAHULUAN........................................................................................................................

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1

C. Tujuan.............................................................................................................................1

BAB II..........................................................................................................................................

PEMBAHASAN..........................................................................................................................

A. Pengertian Pembuktian....................................................................................................5

B. Teori Pembuktian............................................................................................................6

C. Beban Pembuktian...........................................................................................................9

D. Macam-macam Alat Bukti


BAB III.........................................................................................................................................

PENUTUP....................................................................................................................................

A. Kesimpulan...................................................................................................................14

B. Saran..............................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bukti, pembuktian atau membuktikan dalam Hukum Inggris sering menggunakan istilah dua
perkataan, yaitu: proof dan evidence. Adapun dalam hukum Belanda disebut “bewijs”. Tetapi,
walaupun demikian, arti dari “membuktikan” itu sendiri banyak sekali, dan karena itu, untuk
memahami pengertian hukum pembuktian itu sendiri tentu saja kita terlebih dahulu harus
memahami arti dari pembuktian atau membuktikan itu sendiri. Apalagi untuk kita kaitkan
dengan pengertian “alat bukti” dan pengertian “beban pembuktian”.
Oleh karena membuktikan memiliki pengertian yang sangat luas, yang tidak hanya terdapat
dalam bidang hukum saja, maka terlebih dahulu kita akan mengemukakan arti membuktikan
secara umum.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas, maka
penulis merumuskan masalah yang hendak diteliti, sebagai berikut:
1. Apa yang di maksud dengan pembuktian?
2. Bagaimana teori tentang pembuktian?
3. Apa saja beban-beban pembuktian?
4. Apa saja macam-macam alat bukti?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Pembuktian.
2. Untuk Mengetahui apa itu teori pembuktian.
3. Untuk Mengetahui beban-beban pembuktian.
4. Untuk. Mengetahui macam-macam alat bukti.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembuktian

Prof. R. Subekti, S.H1 mengemukakan bahwa hukum pembuktian memberikan aturan tentang
bagaimana berlangsung nya suatu perkara di muka hakim.
Penulis kurang menyetujui batasan yang terlalu umum itu, karena bukan hanya hukum
pembuktian yang memberikan aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di muka
hakim, melainkan keseluruhan aturan hukum acara, baik hukum acara perdata maupun hukum
acara lain nya, juga memberikan aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di
muka hakim.
Penulis lebih setuju deinisi yang dikemukakan oleh Edward W. Cleary,2 bahwa:
“he law of evidence is the system of rules and standards by which
the admission of proof at the trial of law suit is regulated.”
Deinisi Cleary di atas lebih menampakkan kekhususan hukum pembuktian dalam peranannya
melalui pembuktian di muka persidangan, juga menunjukkan suatu sistem hukum dan standar
bagi keseluruhan aturan pembuktian.

Oleh karena itu, lebih tepatnya jika penulis merumuskan batasan tentang pengertian hukum
pembuktian sebagai berikut:
“Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan tentang pembuktian yang menggunakan alat
bukti yang sah sebagai alatnya dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran melalui putusan atau
penetapan hakim.”

B. Teori Pembuktian

Teori-teori Pembuktian tersebut akan dikemukakan sebagai berikut di bawah ini:

1
Prof. R. Subekti, S.H. “Hukum Pembuktian”. Penerbit Pradny-Paramita, Jakarta, 1978, hlm. 5-6.
2
Prof. R. Subekti, S.H. Ibid.

5
a. Teori pembuktian obyektif murni

Teori ini dianut oleh hukum gereja Katholik (canoniek recht) dan disebut juga aliran ini ajaran
positif menurut hukum positif wettelijke. 3 Menurut teori ini hakim sangat terikat pada alat bukti
serta dasar pembuktian yang telah ditentukan oleh undang-undang, yakni dengan menyatakan
bahwa sesuatu perbuatan-perbuatan yang didakwakan telah terbukti haruslah didasarkan kepada
hal-hal yang telah disimpulkan dari sekian jumlah alat-alat pembuktian yang semata-mata
berdasarkan undang-undang.

Sedangkan keyakinan hakim berdasarkan dan berasal dari hati nuraninya yang paling dalam
sekalipun tidak boleh ikut memegang peranan dalam pengambilan keputusan tersebut. Menurut
D. Simons sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief
wettelijke) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan
mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras.4

Dengan demikian ajaran ini disandarkan hanya semata-mata kepada alat-alat bukti yang telah
diatur atau ditetapkan oleh undang-undang, tanpa adanya unsur keyakinan hakim dalam
menentukan kesalahan terdakwa.

Jadi meskipun ia tidak yakin akan tetapi karena kasus tersebut telah diperiksa dua orang
saksi yang menyatakan bahwa terdakwalah yang melakukan, maka hakim harus menghukum.
Teori pembuktian ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang berdasarkan
undang-undang,sehingga putusan hakim tidak mungkin obyektif.

Sehubungan dengan hal ini Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa sistem melulu menurut
undang-undang atau positief wettelijke ini sama sekali tidak mengandung suatu kepercayaan
kepada kesan-kesan perorangan dari hakim sebetulnya bertentangan dengan prinsip bahwa
dalam acara pidana suatu putusan hakim harus didasarkan atas kebenaran.5

b. Teori pembuktian subyektif murni


3
Lihat juga bandingkan Eddy OS.Hiarieej,2012,Teori dan Hukum Pembuktian,Penerbit Erlangga,Jakarta,hal 15
bahwa Positief bewijstheori yang mana hakim terikat secara positif kepada alat bukti undang tanpa perlu
keyakinan hakim dapat menjatuhkan putusan oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa ini digunakan dalam
acara perdata, karena yang dicari adalah kebenaran formal. l.

4
Andi Hamzah, 1984,Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Chalia Indonesia, Jakarta, hal. 229
5
Wirjono Prodjodikoro,1974, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur, Bandung, hal 92

6
Teori pembuktian subyektif murni (conviction in time6 atau bloot gemoedelijk over tuiging) ini
bertolak belakang dengan teori pembuktian obyektif murni karena dalam teori pembuktian
subyektif murni didasarkan kepada keyakinan hakim belaka (Keyakinan semata).

Jadi prinsip pembuktiannya kepada penilaian hakim atas dasar keyakinan menurut perasaannya
semata-mata, dan tidak menyandarkan kepada pembuktian menurut undang-undang tetapi
memberikan kebebasan yang mutlak kepada hakim. Keyakinan hakim dalam aliran ini sangat
subyektif (perseorangan) dalam menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya.

Prof Andi Hamzah, berpendapat bahwa sistem ini memberikan kebebasan kepada hakim terlalu
besar sehingga sulit diawasi, di samping itu terdakwa atau penasehat hukumnya sulit melakukan
pembelaan.7

Hal yang sama dikemukakan pula oleh Prof.Wirjono Prodjodikoro bahwa : terkandung di
dalamnya suatu kepercayaan yang terlalu besar kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan
belaka dari hakim. Pengawasan terhadap putusan-putusan hakim seperti ini sukar untuk
dilakukan, oleh karena badan pengawas tidak dapat tahu pertimbangan-pertimbangan hakim
yang mengalirkan pendapat hakim ke arah putusan.8

c. Teori pembuktian yang bebas

Teori pembuktian yang bebas (conviction rainsonce] atau vrije bewijsleer adalah merupakan
ajaran/sistem pembuktian yang menghendaki agar hakim dalam menentukan keyakinannya
secara bebas tanpa dibatasi oleh undang-undang, akan tetapi hakim wajib
mempertanggungjawabkan cara bagaimana hakim tersebut memperoleh keyakinan dan
6
Lihat juga bandingkan Eddy OS.Hiarieej,2012,Teori dan Hukum Pembuktian,Penerbit Erlangga,Jakarta,Hal 16
bahwa salah satu Negara yang menggunakan conviction in time dalam persidangan perkara Pidana adalah Amerika.Hakim di Amerika adalah Unus Judex atau Hakim Tunggal yang tidak
menentukan benar atau salahnya terdakwa,melainkan Jurilah yang

menentukan. Kendatipun demikian Hakim di Amerika dalam menyidangkan suatu perkara memiliki hak Veto. Dalam titik yang paling ekstrim,seandainya semua Juri mengatakan terdakwa

bersalah,namun Hakim tidak berkeyakinan demikian,ia dapat membebaskan terdakwa.Begitu pula sebaliknya jika semua juri mengatakan terdakwa tidak bersalah,tetapi hakim berkeyakinan

bersalah,ia dapat menjatuhkan pidana.Jumlah Juri dalam Pengadilan berkisar antara 11 samapai 15 Juri,kecuali untuk kasus serius yang melibatkan pejabat Negara atau kasus tersebut mendapat

sorotan masyarakat,kasus tersebut dinilai oleh grand jury yang terdiri 23 orang,Selama persidangan para Jury diisolasi agar mereka tidak menerima pengaruh dari luar seperti publisitas tentang kasus

tersebut.Para Anggota Juri tinggal dihotel dan hanya memiliki akses keberita-berita yang telah disensor.istilah para Juri dalam persidangan suatu perkara didikenal dengan istilah

Sequestration(Mengasing diri dari Masyarakat)

7
Andi Hamzah, Op. Cit, hal 231
8
Wirjono, Op. Cit, hal. 90

7
selanjutnya hakim wajib menguraikan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya yakni
semata-mata dengan keyakinan atas dasar ilmu pengetahuan dan logika serta hakim tidak terikat
pada alat-alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam sistem ini hakim dapat
menggunakan alat bukti lain di luar ketentuan perundang-undangan.

Sehubungan dengan teori ini Martiman Prodjohamidjojo mengatakan bahwa :ajaran ini
disandarkan semata-mata atas dasar pertimbangan akal (pikiran) dan hakim tidak dapat terikat
kepada alat-alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang dengan demikian hakim dapat
mempergunakan alat-alat bukti lain yang di luar ketentuan perundang-undangan.9

d. Teori pembuktian yang negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke) Di dalam teori
pembuktian yang negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke), ada dua hal yang
merupakan syarat syarat sebagai berikut :Wettelijke, disebabkan karena alat-alat bukti yang sah
dan ditetapkan oleh undang-undang.Negatief, disebabkan oleh karena dengan alat-alat bukti yang
sah dan ditetapkan undang-undang saja belum cukup untuk hakim menganggap kesalahan
terdakwa telah terbukti, akan tetapi harus dibutuhkan adanya keyakinan hakim.10

Menurut sistem negatief wettelijke menghendaki hubungan causal (sebab-akibat) antara alat-
alat bukti dengan keyakinan. Alat bukti dalam sistem pembuktian negatief wettelijke ini telah
ditentukan secara limitatif dalam undang-undang serta bagaimana cara menggunakannya (bewijs
voering) yang harus diikuti pula adanya keyakinan, bahwa peristiwa pidana benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah. Sistem pembuktian ini ada persamaannya dan perbedaannya dengan
teori pembuktian yang bebas. Persamaannya daripada teori ini adalah bahwa untuk menghukum
terdakwa harus ada unsur keyakinan bahwa terdakwa telah terbukti bersalah dan menyebutkan
alasan dasarnya.

Perbedaannya bertitik tolak dari bahwa teori pembuktian negatief wettelijke menghendaki
keyakinan hakim dengan alasan yang didasarkan pada alat bukti menurut undang-undang,
kemudian teori pembuktian yang bebas, keyakinan hakim

Menurut sistem negatief wettelijke menghendaki hubungan causal (sebab-akibat) antara alat-alat
bukti dengan keyakinan. Alat bukti dalam sistem pembuktian negatief wettelijke ini telah
ditentukan secara limitatif dalam undang-undang serta bagaimana cara menggunakannya (bewijs
9
Martiman Prodjohamidjojo , 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Penerbit Chalia Indonesia, , hal. 17
10
Ibid, hal. 14

8
voering) yang harus diikuti pula adanya keyakinan, bahwa peristiwa pidana benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah. Sistem pembuktian ini ada persamaannya dan perbedaannya dengan
teori pembuktian yang bebas. Persamaannya daripada teori ini adalah bahwa untuk menghukum
terdakwa harus ada unsur keyakinan bahwa terdakwa telah terbukti bersalah dan menyebutkan
alasan dasarnya.

Perbedaannya bertitik tolak dari bahwa teori pembuktian negatief wettelijke menghendaki
keyakinan hakim dengan alasan yang didasarkan pada alat bukti menurut undang-undang,
kemudian teori pembuktian yang bebas, keyakinan hakim didasarkan kepada kesimpulan
(conclusie) yang logis tidak berdasarkan undang-undang. Sistem pembuktian adalah merupakan
hal-hal yang bersifat urgen dalam menjamin proses pemeriksaan perkara pidana, karena di dalam
sistem pembuktian tersebut mengandung asas dan cara pembuktian yang dipakai yang
merupakan perangkat aturan formal guna menemukan kebenaran yang sesungguhnya

C. Beban Pembuktian

Untuk mengetahui arti dan pengertian dari “Beban Pembuktian” (Burden of Proof, Bewijslast),
terlebih dahulu kita harus mengerti arti perkataan “bukti” (proof) itu dahulu. Menurut Edward
W. Cleary11 : “Proof, is an ambiguous word. We sometimes use it to mean evidence, such as
testimony or documents. Sometimes, when we say a thing is “proved” we mean that we are
convinced by the data submitted that the alleged fact is true. hus, “proof” is the end result of
conviction or persuasion produced by the evidence….”
Jadi, E. W. Cleary melihat arti perkataan “bukti” itu bersifat rangkap. Di mana arti bukti itu
bisa dua pengertian12 :
1. Sebagai alat bukti, misalnya kesaksian, dokumen, dan lain-lain.
2. Sebagai terbukti, yang berarti bahwa kita meyakini akan data yang diberikan tentang suatu
fakta itu adalah memang benar. Sehingga E. W. Cleary menyimpulkan, bahwa perkataan “bukti”
berarti hasil akhir dari keyakinan atau persuasi yang diprodukkan oleh alat bukti. Dari pengertian
“bukti” di atas, E. W. Cleary bertitik tolak untuk memberikan pengertian tentang “beban
pembuktian” itu sendiri sebagai berikut:

11
Achmad Ali. Beban Pembuktian Dalam Praktik (Skripsi). Ujungpandang, 1980, hlm. 18
12
Achmad Ali. Ibid.

9
"he term encompasses two separate burdens of proof. One burden is that of producing evidence
satisfactory to the judge, of a particular fact in issue. he second is the burden of persuading the
trier of fact that the alleged fact is true....”
Jadi menurut Cleary di atas, dapat dibedakan adanya dua beban pembuktian yang terpisah, yaitu:
1. Beban untuk mengajukan alat bukti yang dapat memuaskan hakim, tentang suatu fakta tertentu
(the burden of pro ducing evidence).
2. Beban untuk meyakinkan “the trier of fact” bahwa apa yang diajukan adalah benar (the burden
of persuasion).

D. Macam-macam Alat Bukti

Membuktikan adalah memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara
yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Dalam
hal membuktikan suatu peristiwa, cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan alat
bukti. Alat bukti adalah sesuatu yang digunakan untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil
atau pendirian. Dalam hukum acara perdata, alat bukti diatur dalam Pasal 164, 153, 154 Herzien
Inlandsch Reglement (HIR) dan Pasal 284, 180, 181 Rechtreglement voor de Buitengewesten
(RBG). Sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RBG, alat-alat bukti yang sah menurut
hukum acara perdata terdiri dari:

1) Surat;

Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan surat adalah sesuatu yang memuat tanda
yang dapat dibaca dan menyatakan suatu buah pikiran dimana buah pikiran tersebut bisa dipakai
sebagai pembuktian. Alat bukti surat terdiri dari 2 (dua) jenis, yakni:

a) Akta; Akta adalah surat yang sengaja sejak awal dibuat untuk pembuktian. Akta terdiri
dari:

1. Akta autentik

Menurut Pasal 1868 BW, akta autentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa di tempat
dimana akta di buat. Adapun yang dimaksud dengan pegawa-pegawai umum tersebut adalah
notaris, polisi, dan hakim.

10
2. Akta di bawah tangan

Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat dan disetujui oleh para pihak yang membuatnya
serta mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Akta di bawah tangan tidak dibuat dihadapan
pejabat yang berwenang seperti notaris, namun hanya dibuat oleh para pihak yang membuat
perjanjian tersebut.

b) Surat biasa

Surat biasa merupakan bukti surat yang awalnya tidak diperuntukkan untuk dijadikan bukti,
namun jika di suatu hari alat bukti surat tersebut bisa membuktikan suatu perkara di pengadilan,
maka alat bukti surat tersebut bisa dipergunakan sebagai pembuktian.

2). Saksi-saksi;

Saksi adalah orang yang memberikan kererangan/kesaksian di depan pengadilan mengenai apa
yang mereka ketahui, lihat sendiri, dengar sendiri atau alami sendiri, yang dengan kesaksian itu
akan menjadi jelas suatu perkara. Keterangan seorang saksi harus disampaikan secara lisan dan
pribadi artinya tidak boleh diwakilkan kepada oeang lain dan harus dikemukakan secara lisan di
sidang pengadilan. Pada prinsipnya setiap orang boleh menjadi saksi kecuali orang tertentu yang
tidak dapat didengar sebagai saksi, antara lain:

a) Keluarga sedarah dan semenda;

b) Istri atau suami, meskipun telah bercerai;

c) Anak-anak yang umurnya di bawah 15 tahun;

d) Orang gila,

3). Persangkaan;

Persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR, namun dalam pasal tersebut tidak dijelaskan secara
rinci apa yang dimaksud dengan persangkaan, melainkan hanya menentukan bahwa persangkaan
itu dapat digunakan sebagai alat bukti apabila persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan ada

11
persesuaian satu sama lainnya. Dalam Pasal 1915 KUHPerdata, dikenal adanya 2 (dua)
persangkaan, yaitu:

a) Persangkaan yang didasarkan atas undang-undang (praesumptiones juris); dan

b) Persangkaan berdasarkan kenyataan (praesumptiones factie). Sedangkan dalam 1916


KUHPerdata yang ditentukan sebagai persangkaan adalah sebagai berikut:

a) Perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dari sidat dan
keadaannya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan undang-
undang;

b) Persitiwa-peristiwa yang menurut undangundang dapat dijadikan kesimpulan guna


menerapkan hak pemilikan atau pembebeasan dari utang;

c) Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada putusan hakim;

d) Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau sumpah oleh salah
satu pihak.

4) Pengakuan

Pengakuan dalam HIR diatur dalam Pasal 174,175 dan Pasal 176. Apabila melihat ketentuan
Pasal 164 HIR, maka jelas pengakuan menurut undang-undang merupakan salah satu alat bukti
dalam proses penyelesaian perkara perdata. Berdasarkan Pasal 1926 KUHPerdata, pengakuan
dapat dilakukan baik langsung oleh orang yang bersagkutan maupun oleh orang lain yang diberi
kuasa khusus untuk itu, baik secara lisan maupun tulisan. Dalam mengakui sesuatu hal di depan
hakim haruslah berhati-hati karena pengakuan yang dilakukan di depan sidang tidak dapat ditarik
kembali kecuali apabila ia dapat membuktikan bahwa pengakuannya adalah akibat dari
kekhilafan tentang fakta-fakta.

Menurut Pasal 174 HIR, pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna dan mengikat. Sedangkan pengakuan di luar sidang, menurut Pasal 175
HIR, kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim atau dengan kata lain
pengakuan di luar sidang berarti bahwa hakim leluasa untuk memberi kekuatan pembuktian atau
hanya menganggapnya sebagai bukti permulaan.

12
5) Sumpah.

Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 155, 156, 157, 158, dan 177 HIR. Alat bukti sumpah dapat
digunakan sebagai upaya terakhir dalam membuktikan kebenaran dari suatu proses perkara
perdata. Menurut Sudikno Mertokusumo, sumpah merupakan suatu pernyataan yang khidmat
yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi keterangan dengan mengingat sifat Maha
Kuasa dari Tuhan Yang Maha Esa dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji
yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal 3 (tiga) macam
sumpah sebagai alat bukti, yakni:

a) Sumpah Pelengkap (Suppletoir)

Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya untuk melengkapi
pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. Sumpah pelengkap
diatur dalam Pasal 155 HIR/Pasal 182 RBG.

b) Sumpah Penaksiran (Aestimatoir, Schattingseed)

Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk
menentukan jumlah uang ganti kerugian. Syarat pembebanan sumpah penaksiran adalah
kesalahan pihak tergugat telah terbukti, namun jumlah kerugian sulit ditentukan. Sumpah
penaksiran diatur dalam Pasal 155 HIR/Pasal 182 RBG/Pasal 1940 KUHPerdata.

c) Sumpah Pemutus (Decisoir)

Merupakan sumpah yang oleh pihak yang satu melalui perantaraan hakim diperintahkan kepada
pihak lainnya untuk menggantungkan pemutusan perkara tersebut. Sumpah decisoir merupakan
upaya terakhir untuk menyelesaikan suatu perkara yang keberadaannya diatur dalam Pasal 156,
157, 177 HIR.

13
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud maka yang wajib membuktikan adalah
orang yang mengaku mempunyai hak , orang yang membantah dalil gugatan, orang yang
menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya. Hal sebagaimana diuraikan
tersebut dalam hukum acara perdata disebut dengan pembuktian.
B. Saran

Demikianlah sedikit uraian mengenai Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata.


Semoga bermanfaat dan mohon maaf jika ada banyaknya kesalahan penulisan yang kami
buat.

Daftar Pustaka

Achmad Ali. Beban Pembuktian Dalam Praktik (Skripsi). Ujungpandang, 1980, hlm. 18

Andi Hamzah, 1984,Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Chalia Indonesia, Jakarta, hal. 229.

Eddy OS.Hiarieej,2012,Teori dan Hukum Pembuktian,Penerbit Erlangga,Jakarta,hal 15

Martiman Prodjohamidjojo , 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Penerbit Chalia Indonesia, , hal. 17

Prof. R. Subekti, S.H. “Hukum Pembuktian”. Penerbit Pradny-Paramita, Jakarta, 1978, hlm. 5-6.

Wirjono Prodjodikoro,1974, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur, Bandung, hal 92

14
15

Anda mungkin juga menyukai