Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

“Pembuktian”

Dosen Pembimbing : Ilham Laman, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :

Kelompok VIII

1. Nurhidayanti (10300121078)
2. Benikno (10300121071)
3. Tri Furqan Syah (10300121093)

Kelas : PMH-C/2021

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul teori
Pembuktian.
Penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca tentang pengetahuan mengenai pembuktian. Penulis mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Ilham Laman, S.Pd., M.Pd. selaku dosen
pemngampuh mata kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Penulis berharap
Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait
pembahasan yang dibahas.
Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Sabtu, 27 April 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan Pembelajaran .............................................................................................. 2
BAB II ................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 3
A. Definisi Pembuktian ............................................................................................... 3
B. Tujuan Pembuktian ................................................................................................. 4
C. Beban Pembuktian dalam perkara Konstitusi ......................................................... 4
D. Alat Bukti dalam Perkara Konstitusi........................................................................ 7
BAB III ................................................................................................................................ 13
PENUTUP ........................................................................................................................... 13
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam tahapan pembuktian di Mahkamah Konstitusi secara prosedural
merupakan tahapan yang signifikan dalam upaya mencari dan menemukan
kebenaran materiil. Kebenaran materiil adalah kebenaran yang
selengkaplengkapnya dari suatu peritiwa sehingga akan membuat terang mengenai
perkara yang dimohonkan oleh pemohon di Mahkamah Konstitusi. Pembuktian
merupakan suatu rangkaian dari proses pemeriksaan di depan persidangan untuk
menemukan dan menetapkan terwujudnya kebenaran yang sesungguhnya dalam
putusan yang diambil oleh hakim. Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu
peristiwa telah terjadi dan pemohon bisa mendapatkan keinginan atau harapan dari
permohonannya..

Pembuktian diartikan sebagai suatu upaya mendapatkan keterangan-


keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu
keyakinan atas benar tidaknya sesuatu yang dimohonkan. Dalam acara pembuktian
di Mahkamah Konstitusi Penasehat Umum dan Majelis Hakim yang memimpin
pemeriksaan perkara di persidangan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan
hukum pembuktian yang mengatur tentang cara pembuktian, beban pembuktian,
macam-macam alat bukti beserta kekuatannya, dan lain sebagainya.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang dituliskan penulis, maka rumusan masalah
makalah ini adalah :

1. Apakah yang dimaksud dengan Pembuktian?


2. Apakah tujuan Pembuktian dalam perkara Konstitusi?
3. Bagaimana beban Pembuktian dalam perkara Konstitusi?
4. Apa saja alat bukti yang berlaku dalam perkara Konstitusi?

1
C. Tujuan Pembelajaran
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan pembelajaran makalah ini
adalah ;

1. Untuk mengetahui definisi dari Pembuktian


2. Untuk mengetahui tujuan Pembuktian dalam perkara Konstitusi
3. Untuk mengetahui beban Pembuktian dalam perkara Konstitusi
4. Unruk mengetahui alat bukti yang berlaku dalam perkara Konstitusi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Pembuktian
Pembuktian secara etimologi berasal dari kata "bukti" yang artinya dalam
Kamus Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran atau
peristiwa. Kata "buktı" jika mendapat awalan "Pe" dan akhiran "an" maka berarti
"Proses", "Perbuatan", "Cara membuktikan". Secara terminologi pembuktian
berarti usaha menunjukkan benar atau salahnya dalam sidang pengadilan.1

Pengertian dari bukti, membuktikan, terbukti dan pembuktian menurut


W.J.S.Poerwadarmintasebagai berikut :

a. Bukti adalah sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk
memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya);
b. Barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu perbuatan
(kejahatan dan sebagainya);
c. Membuktikan mempunyai pengertian-pengertian:
1) Memberi (memperlihatkan) bukti,
2) Melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran, melaksanakan (cita-
cita dan sebagainya)
3) Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu benar),
4) Meyakinkan, menyaksikan.

Menurut Prof.Dr.Eddy O.S Hiariej memberikan kesimpulan (dengan


mengutip pendapat Ian Denis) bahwa : Kata Evidence lebih dekat kepada
pengertian alat bukti menurut Hukum Positif,sedangkan kata proof dapat diartikan
sebagai pembuktian yang mengarah kepada suatu proses. Evidence atau bukti
(pendapat Max. M.Houck) sebagai pemberian informasi dalam penyidikan yang sah
mengenai fakta yang kurang lebih seperti apa adanya.

R.Subekti berpendapat bahwa membuktikan ialah meyakinkan Hakim


tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.

1
Hidayat R, Pembuktian, Universitas Islam Riau. h. 25

3
Dalam konteks hukum pidana,pembuktian merupakan inti persidangan perkara
pidana, karena yang dicari adalah kebenaran materiil. Pembuktiannya telah dimulai
sejak tahap penyelidikan guna menemukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan
dalam rangka membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangkanya.

Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti


memberikan atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu kebenaran,
melaksanakan, menandakan menyaksikan dan meyakinkan.2

B. Tujuan Pembuktian
a. Bagi pemohon tujuan pembuktian adalah untuk keperluan memperkuat dalil
yang dikemukakan dalam permohonannya.
b. Bagi hakim konstitusi tujuan pembuktian adalah untuk menilai alat-alat
bukti yang diajukan dan kesesuaian antara alat bukti tersebut serta untuk
mendapatkan keyakinan konstitusional dalam menjatuhkan putusan.
c. Hakim konstitusi secara aktif menggali kebenaran materiil melalui
pembuktian agar sampai pada keyakinan dalam menjatuhkan putusan yang
bersifat final dan mengikat.3

C. Beban Pembuktian dalam perkara Konstitusi


Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian
yang merupakan pedoman bagi Hakim yaitu:

a. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)


Menurut teori ini maka siapa yang mengemukakan sesuatu harus
membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Teori
ini sekarang telah ditinggalkan.
b. Teori Hukum Subyektif Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu
merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan
hukjum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku
mempunyai sesuatu hal harus membuktikannya. Dalam hal ini penggugat

2
H.S. Brahmana, Teori dan Hukum Pembuktian
3
M Manan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

4
tidak perlu membuktikan semuanya. Teori ini memdasarkan pada pasal
1865 BW.
c. Teori Hukum Obyektif Menurut teori ini mengajukan tuntutan hak atau
gugatan berarti bahwa pengguggat minta kepada Hakim agar hakim
menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang
diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran dari
pada peristiwa yang diajukannya dan kemudian mencari hukum obyektifnya
untuk ditetapkan pada peristiwa tersebut.
d. Teori Hukum Publik Menurut teori ini maka mencari kekuasaan suatu
peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena
itu Hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari
kebenaran. Di samping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum
publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini
harus disertai sanksi pidana.
e. Teori Hukum Acara Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukan
prosesuil yang sama dari pada para pihak di muka Hakim merupakan asas
pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi
beban pembuktian berdasarkan kesamaan dari para pihak. Asas kedudukan
prosesuil yang sama dari para pihak membawa akibat bahwa kemungkinan
untuk menang bagi para pihak harus sama. Oleh karena itu Hakim harus
membebani para pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut.4

Di antara berbagai teori tersebut, tentu masing-masing memiliki kelebihan


dan kelemahan dan tidak ada satupun yang sesuai untuk semua perkara. Oleh karena
itu harus dilihat karakteristik perkara atau kasusnya. Di dalam UU MK tidak
ditentukan secara khusus tentang beban pembuktian ini.

UU MK hanya menyatakan bahwa untuk memutus perkara konstitusi, harus


didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti, baik yang diajukan oleh
pemohon, termohon, atau pihak terkait. Tidak ditentukan siapa yang harus

4
M Sunge, Beban Pembuktian Dalam Perkara Perdata, Jurnal INOVASI, Volume 9, No.2, Juni 2012.
h. 7

5
membuktikan sesuatu. Oleh karena itu berlaku prinsip umum hukum acara bahwa
barang siapa mendalilkan sesuatu, maka dia wajib membuktikan. Walaupun
demikian, karena perkara konstitusi yang sangat terkait dengan kepentingan umum,
hakim dalam persidangan MK dapat aktif memerintahkan kepada saksi atau ahli
tertentu yang diperlukan. Oleh karena itu pembuktian dalam peradilan MK dapat
disebut menerapkan “ajaran pembuktian bebas yang terbatas”.

Dikatakan sebagai bebas karena hakim dapat menentukan secara bebas


kepada beban pembuktian suatu hal akan diberikan. Tentu saja dalam menentukan
hal tersebut hakim dapat menggunakan salah satu atau beberapa teori dan ajaran
pembuktian yang ada. Namun dalam kebebasan tersebut hakim juga masih dalam
batasan tertentu. Paling tidak pihak pemohon yang mendalilkan memiliki
kedudukan hukum untuk suatu perkara, harus membuktikan dalil tersebut. Beban
pembuktian terkait kedudukan hukum ini tentu saja tidak dapat dialihkan kepada
pihak lain.5

Beban Pembktian dalam Pasal 18 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang


Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menyatakan:

1) Pembuktian dibebankan kepada Pemohon.


2) Apabila dipandang perlu, Hakim dapat pula membebankan pembuktian
kepada Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait.
3) Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait dapat mengajukan
bukti sebaliknya (tegen-bewijs).
4) Dalam hal Mahkamah menentukan perlu mendengar keterangan
Presiden/Pemerintah DPR, dan DPD, keterangan ahli dan/atau saksi
didengar setelah keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan DPD kecuali
untuk kepentingan kelancaran persidangan Mahkamah menentuan lain.6

5
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI Cetakan Pertama, Agustus 2010. h. 37
6
Pasal 18 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

6
Beban Pembuktian untuk perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara,
Pasal 16 PMK Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara menyatakan:

1) Beban pembuktian berada pada pihak pemohon.


2) Dalam hal terdapat alasan cukup kuat, Majelis Hakim dapat membebankan
pembuktian kepada pihak termohon.
3) Majelis Hakim dapat meminta pihak terkait untuk memberikan keterangan
dan/atau mengajukan alat bukti lainnya.7

Untuk perkara perselisihan hasil Pemilu, setiap pihak diberikan kesempatan


untuk melakukan pembuktian apa yang didalilkan. Namun untuk kepentingan
pembuktian MK dapat memanggil KPU provinsi, kabupaten, dan/atau kota untuk
hadir dan memberi keterangan dalam persidangan. Sedangkan untuk pembuktian
perkara impeachment dibebankan kepada DPR sebagai pihak yang mengajukan
pendapat dan Presiden dan/ atau Wakil Presiden berhak memberikan bantahan
terhadap alat bukti DPR serta mengajukan alat bukti sendiri.8

D. Alat Bukti dalam Perkara Konstitusi


Pasal 36 ayat UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
menetapkan tentang alat bukti sebagai berikut:

1) Alat bukti ialah:


a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan

7
Pasal 16 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara
Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara
8
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI Cetakan Pertama, Agustus 2010. h. 38

7
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu.
2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dapat
dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum.
3) Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan
alat bukti yang sah.
4) Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam
persidangan Mahkamah Konstitusi.9

a. Surat atau tulisan

Secara umum, alat bukti tertulis pada umumnya berupa tulisan yang
dimaksudkan sebagai bukti atas suatu transaksi yang dilakukan, atau surat dan jenis
tulisan yang dapat dijadikan dalam proses pembuktian, seperti surat menyurat,
kuitansi, dan catatan-catatan. Selain itu juga dikenal adanya akta sebagai tulisan
yang sengaja dibuat untuk membuktikan suatu peristiwa dan ditandatangani.
Dikenal dua jenis akta, yaitu akta di bawah tangan dan akta otentik. Akta di bawah
tangan merupakan akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat
urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantara seorang
pejabat umum. Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu,
ditempat akta itu dibuat.10

Dalam Hukum Acara MK tentu semua kategori bukti tertulis yang berlaku
dalam hukum perdata, pidana, maupun tata usaha negara juga berlaku, bahkan lebih
luas sesuai dengan jenis perkara yang ditangani. Untuk perkara perselisihan hasil
Pemilu misalnya, keberadaan akta otentik berupa berita acara penghitungan suara

9
Pasal 36 ayat UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
10
Dalimunthe BYH, Penerapan Alat Bukti Tertulis dalam Pemeriksaan Perkara Pembuktian.
Makalah Yazid, h. 4

8
atau rekapitulasi hasil penghitungan suara sangat diperlukan dalam proses
pemeriksaan persidangan. Sebaliknya, dalam perkara pengujian undang-undang
yang penting bukan apakah suatu dokumen undang-undang yang diajukan sebagai
alat bukti merupakan dokumen otentik atau bukan, melainkan apakah dokumen
tersebut adalah salinan dari undang-undang yang otentik, yaitu undang-undang
sebagaimana dimuat dalam lembaran negara dan tambahan lembaran negara
sehingga norma yang diatur di dalamnya memang berlaku sebagai norma hukum
yang mengikat.11

b. Keterangan Saksi

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan/kesaksian di depan


pengadilan mengenai apa yang mereka ketahui, lihat sendiri, dengar sendiri atau
alami sendiri, yang dengan kesaksian itu akan menjadi jelas suatu perkara.
Keterangan seorang saksi harus disampaikan secara lisan dan pribadi artinya tidak
boleh diwakilkan kepada orang lain dan harus dikemukakan secara lisan disidang
pengadilan.12

Dalam perkara pengujian undang-undang misalnya, keterangan saksi pada


umumnya diperlukan dalam hal membuktikan legal standing pemohon, yaitu terkait
dengan telah adanya peristiwa sebagai bentuk kerugian hak dan atau kewenangan
yang dimohonkan karena adanya ketentuan undang-undang yang dimohonkan.
Sedangkan pembuktian tentang apakah ketentuan undang-undang dimaksud
bertentangan dengan UUD 1945 lebih berdasarkan argumentasi hukum. Di sisi lain,
untuk perkara pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, keterangan saksi
diperlukan dalam pokok perkara untuk membuktikan apakah Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan suatu pelanggaran hukum yang dapat menjadi
dasar pemakzulan sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dalam proses peradilan
MK, keterangan saksi tentu juga harus didukung dengan alat bukti lain. Dalam hal

11
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI Cetakan Pertama, Agustus 2010. h. 41
12
Soeikromo D, Proses Pembuktian dan Penggunaan Alat-alat bukti pada Perkara Perdata di
Pengadilan, Jurnal Hukum Unsrat, Vol.II/No.1/Januari-Maret /2014. h. 134

9
ini juga berlaku prinsip satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis). Walaupun
demikian, keterangan seorang saksi tentu dapat digunakan untuk mendukung suatu
peristiwa jika sesuai dengan alat bukti yang lain.13

c. Keterangan Ahli

Keterangan Ahli adalah orang yang pendapatnya berdasarkan pendidikan,


pelatihan, sertifikasi, keterampilan atau pengalaman, diterima oleh hakim sebagai
ahli. Hakim dapat mempertimbangkan opini khusus saksi (ilmiah, teknis atau
lainnya) tentang bukti atau fakta sebelum pengadilan sesuai keahlian ahli, disebut
sebagai "pendapat ahli". Saksi ahli juga dapat memberikan "bukti ahli" dalam
bidang keahlian mereka.14

Keterangan ahli sangat diperlukan terutama dalam perkara pengujian


undang-undang yang lebih mengedepankan argumentasi dalam memutus perkara.
Selain itu, luasnya cakupan substansi undang-undang yang diuji juga
mengharuskan hakim konstitusi memperoleh keterangan ahli yang cukup untuk
memutus suatu perkara pengujian undang-undang. Di samping ahli yang diajukan
oleh pemohon pihak terkait pembentuk undang-undang dan pihak terkait lain juga
dapat mengajukan ahli dan saksi agar keterangan.

d. Keterangan para pihak

Keterangan para pihak adalah keterangan yang diberikan oleh pihakpihak


dalam suatu perkara, baik berkedudukan sebagai pemohon, termohon maupun
berkedudukan sebagai pihak terkait. Keterangan dimaksud dapat berupa keterangan
dan tanggapan terhadap isi permohonan, baik berupa kenegasan dalil-dalil,
penolakan dalil-dalil yang dikemukakan maupun berupa dukungan dengan
argumentasi maupun data dan fakta. Keterangan para pihak diperlukan untuk
mendapatkan keterangan komprehensif dan sebagai wujud dari peradilan fair yang

13
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI Cetakan Pertama, Agustus 2010, h. 42
14
https://id.wikipedia.org/wiki/Saksi_ahli#:~:text=Saksi%20ahli%20adalah%20orang%20yang,ses
uai%20keahlian%20ahli%2C%20disebut%20sebagai%20%22

10
salah satunya harus memenuhi hak untuk didengar secara berimbang (audi et
alteram.

Keterangan pihak terkait dalam perkara pengujian undang-undang yang


didengarkan adalah keterangan DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-
undang yang biasanya berisi penolakan terhadap dalil-dalil pemohon, walupun
tidak berkedudukan sebagai termohon. Selain itu sering juga didengarkan
keterangan pihak terkait lain, baik dari lembaga negara maupun dari organisasi
masyarakat yang terkait dengan substansi undang-undang yang sedang diuji. Pada
persidangan Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 mengenai pengujian UU Nomor
1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama misalnya, disamping keterangan pihak terkait DPR dan Pemerintah, juga
didengarkan keterangan pihak terkait organisasi Nahdlatul Ulama dan Majelis
Ulama Indonesia yang pada prinsipnya menolak dalil-dalil pemohon dan
mendukung dalil-dalil pihak terkait DPR dan Pemerintah. Selain itu juga
didengarkan keterangan pihak terkait Komnas HAM yang mengemukakan data dan
fakta tentang pelanggaran kebebasan beragama. partem).

e. petunjuk

Penjelasan Pasal 36 ayat (1) huruf e UU Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan


bahwa petunjuk hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat dan alat bukti. Oleh
karena itu petunjuk dalam hal ini adalah sesuatu yang didapatkan oleh hakim dari
isi keterangan saksi, surat, dan alat bukti lain yang saling mendukung atau
berkesesuaian.

Untuk memperjelas pengertian petunjuk dapat dilihat pada Pasal 188


KUHAP yang mendefinisikan petunjuk sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan
yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan
siapa pelakunya. Dengan demikian penilaian kekuatan petunjuk dilakukan oleh
hakim setelah pemeriksaan persidangan dan berdasarkan keyakinan hakim.

f. Informasi elektronik

11
Ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf f UU No. 24 Tahun 2003 menyebutkan
salah satu alat bukti adalah “alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa
dengan itu.” Alat bukti dimaksud secara singkat dapat disebut sebagai informasi
elektronik.

Informasi elektronik adalah informasi yang diperoleh dari atau disampaikan


melalui atau disimpan dalam perangkat elektronik. Informasi ini dapat berupa surat
atau bentuk tulisan lain, data komunikasi, angkaangka, suara, gambar, video, atau
jenis informasi dan data lain. Perangkat elektronik yang digunakan dapat berupa
laman (website) atau media perekam lain dalam berbagai bentuk (cakram padat,
hard disk, flash disk, card, dan lain-lain).15

15
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI Cetakan Pertama, Agustus 2010. h. 43-44

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah :

1. Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti


memberikan atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu kebenaran,
melaksanakan, menandakan menyaksikan dan meyakinkan.
2. Bagi pemohon tujuan pembuktian adalah untuk keperluan memperkuat dalil
yang dikemukakan dalam permohonannya. Bagi hakim konstitusi tujuan
pembuktian adalah untuk menilai alat-alat bukti yang diajukan dan
kesesuaian antara alat bukti tersebut serta untuk mendapatkan keyakinan
konstitusional dalam menjatuhkan putusan. Serta Hakim konstitusi secara
aktif menggali kebenaran materiil melalui pembuktian agar sampai pada
keyakinan dalam menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat.
3. UU MK hanya menyatakan bahwa untuk memutus perkara konstitusi, harus
didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti, baik yang diajukan
oleh pemohon, termohon, atau pihak terkait. Tidak ditentukan siapa yang
harus membuktikan sesuatu. Oleh karena itu berlaku prinsip umum hukum
acara bahwa barang siapa mendalilkan sesuatu, maka dia wajib
membuktikan. Walaupun demikian, karena perkara konstitusi yang sangat
terkait dengan kepentingan umum, hakim dalam persidangan MK dapat
aktif memerintahkan kepada saksi atau ahli tertentu yang diperlukan. Oleh
karena itu pembuktian dalam peradilan MK dapat disebut menerapkan
“ajaran pembuktian bebas yang terbatas”.
4. Pasal 36 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
menetapkan tentang alat bukti sebagai berikut: Alat bukti ialah: surat atau
tulisan; keterangan saksi; keterangan ahli; keterangan para pihak; petunjuk;
dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan
itu.

13
DAFTAR PUSTAKA

Dalimunthe BYH, Penerapan Alat Bukti Tertulis dalam Pemeriksaan Perkara


Pembuktian. Makalah Yazid, h. 4

Hidayat R, Pembuktian, Universitas Islam Riau. h. 25

H.S. Brahmana, Teori dan Hukum Pembuktian

https://id.wikipedia.org/wiki/Saksi_ahli#:~:text=Saksi%20ahli%20adalah%

M Manan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

M Sunge, Beban Pembuktian Dalam Perkara Perdata, Jurnal INOVASI, Volume


9, No.2, Juni 2012. h. 7

Pasal 18 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman


Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

Pasal 16 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 08/PMK/2006 tentang Pedoman


Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara

Pasal 36 ayat UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Soeikromo D, Proses Pembuktian dan Penggunaan Alat-alat bukti pada Perkara


Perdata di Pengadilan, Jurnal Hukum Unsrat, Vol.II/No.1/Januari-Maret
/2014. h. 134

Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Mahkamah


Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI Cetakan
Pertama, Agustus 2010

14

Anda mungkin juga menyukai