“Pembuktian”
Disusun Oleh :
Kelompok VIII
1. Nurhidayanti (10300121078)
2. Benikno (10300121071)
3. Tri Furqan Syah (10300121093)
Kelas : PMH-C/2021
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan Pembelajaran .............................................................................................. 2
BAB II ................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 3
A. Definisi Pembuktian ............................................................................................... 3
B. Tujuan Pembuktian ................................................................................................. 4
C. Beban Pembuktian dalam perkara Konstitusi ......................................................... 4
D. Alat Bukti dalam Perkara Konstitusi........................................................................ 7
BAB III ................................................................................................................................ 13
PENUTUP ........................................................................................................................... 13
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam tahapan pembuktian di Mahkamah Konstitusi secara prosedural
merupakan tahapan yang signifikan dalam upaya mencari dan menemukan
kebenaran materiil. Kebenaran materiil adalah kebenaran yang
selengkaplengkapnya dari suatu peritiwa sehingga akan membuat terang mengenai
perkara yang dimohonkan oleh pemohon di Mahkamah Konstitusi. Pembuktian
merupakan suatu rangkaian dari proses pemeriksaan di depan persidangan untuk
menemukan dan menetapkan terwujudnya kebenaran yang sesungguhnya dalam
putusan yang diambil oleh hakim. Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu
peristiwa telah terjadi dan pemohon bisa mendapatkan keinginan atau harapan dari
permohonannya..
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang dituliskan penulis, maka rumusan masalah
makalah ini adalah :
1
C. Tujuan Pembelajaran
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan pembelajaran makalah ini
adalah ;
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pembuktian
Pembuktian secara etimologi berasal dari kata "bukti" yang artinya dalam
Kamus Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran atau
peristiwa. Kata "buktı" jika mendapat awalan "Pe" dan akhiran "an" maka berarti
"Proses", "Perbuatan", "Cara membuktikan". Secara terminologi pembuktian
berarti usaha menunjukkan benar atau salahnya dalam sidang pengadilan.1
a. Bukti adalah sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk
memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya);
b. Barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu perbuatan
(kejahatan dan sebagainya);
c. Membuktikan mempunyai pengertian-pengertian:
1) Memberi (memperlihatkan) bukti,
2) Melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran, melaksanakan (cita-
cita dan sebagainya)
3) Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu benar),
4) Meyakinkan, menyaksikan.
1
Hidayat R, Pembuktian, Universitas Islam Riau. h. 25
3
Dalam konteks hukum pidana,pembuktian merupakan inti persidangan perkara
pidana, karena yang dicari adalah kebenaran materiil. Pembuktiannya telah dimulai
sejak tahap penyelidikan guna menemukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan
dalam rangka membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangkanya.
B. Tujuan Pembuktian
a. Bagi pemohon tujuan pembuktian adalah untuk keperluan memperkuat dalil
yang dikemukakan dalam permohonannya.
b. Bagi hakim konstitusi tujuan pembuktian adalah untuk menilai alat-alat
bukti yang diajukan dan kesesuaian antara alat bukti tersebut serta untuk
mendapatkan keyakinan konstitusional dalam menjatuhkan putusan.
c. Hakim konstitusi secara aktif menggali kebenaran materiil melalui
pembuktian agar sampai pada keyakinan dalam menjatuhkan putusan yang
bersifat final dan mengikat.3
2
H.S. Brahmana, Teori dan Hukum Pembuktian
3
M Manan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
4
tidak perlu membuktikan semuanya. Teori ini memdasarkan pada pasal
1865 BW.
c. Teori Hukum Obyektif Menurut teori ini mengajukan tuntutan hak atau
gugatan berarti bahwa pengguggat minta kepada Hakim agar hakim
menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang
diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran dari
pada peristiwa yang diajukannya dan kemudian mencari hukum obyektifnya
untuk ditetapkan pada peristiwa tersebut.
d. Teori Hukum Publik Menurut teori ini maka mencari kekuasaan suatu
peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena
itu Hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari
kebenaran. Di samping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum
publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini
harus disertai sanksi pidana.
e. Teori Hukum Acara Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukan
prosesuil yang sama dari pada para pihak di muka Hakim merupakan asas
pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi
beban pembuktian berdasarkan kesamaan dari para pihak. Asas kedudukan
prosesuil yang sama dari para pihak membawa akibat bahwa kemungkinan
untuk menang bagi para pihak harus sama. Oleh karena itu Hakim harus
membebani para pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut.4
4
M Sunge, Beban Pembuktian Dalam Perkara Perdata, Jurnal INOVASI, Volume 9, No.2, Juni 2012.
h. 7
5
membuktikan sesuatu. Oleh karena itu berlaku prinsip umum hukum acara bahwa
barang siapa mendalilkan sesuatu, maka dia wajib membuktikan. Walaupun
demikian, karena perkara konstitusi yang sangat terkait dengan kepentingan umum,
hakim dalam persidangan MK dapat aktif memerintahkan kepada saksi atau ahli
tertentu yang diperlukan. Oleh karena itu pembuktian dalam peradilan MK dapat
disebut menerapkan “ajaran pembuktian bebas yang terbatas”.
5
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI Cetakan Pertama, Agustus 2010. h. 37
6
Pasal 18 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
6
Beban Pembuktian untuk perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara,
Pasal 16 PMK Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara menyatakan:
7
Pasal 16 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara
Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara
8
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI Cetakan Pertama, Agustus 2010. h. 38
7
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu.
2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dapat
dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum.
3) Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan
alat bukti yang sah.
4) Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam
persidangan Mahkamah Konstitusi.9
Secara umum, alat bukti tertulis pada umumnya berupa tulisan yang
dimaksudkan sebagai bukti atas suatu transaksi yang dilakukan, atau surat dan jenis
tulisan yang dapat dijadikan dalam proses pembuktian, seperti surat menyurat,
kuitansi, dan catatan-catatan. Selain itu juga dikenal adanya akta sebagai tulisan
yang sengaja dibuat untuk membuktikan suatu peristiwa dan ditandatangani.
Dikenal dua jenis akta, yaitu akta di bawah tangan dan akta otentik. Akta di bawah
tangan merupakan akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat
urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantara seorang
pejabat umum. Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu,
ditempat akta itu dibuat.10
Dalam Hukum Acara MK tentu semua kategori bukti tertulis yang berlaku
dalam hukum perdata, pidana, maupun tata usaha negara juga berlaku, bahkan lebih
luas sesuai dengan jenis perkara yang ditangani. Untuk perkara perselisihan hasil
Pemilu misalnya, keberadaan akta otentik berupa berita acara penghitungan suara
9
Pasal 36 ayat UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
10
Dalimunthe BYH, Penerapan Alat Bukti Tertulis dalam Pemeriksaan Perkara Pembuktian.
Makalah Yazid, h. 4
8
atau rekapitulasi hasil penghitungan suara sangat diperlukan dalam proses
pemeriksaan persidangan. Sebaliknya, dalam perkara pengujian undang-undang
yang penting bukan apakah suatu dokumen undang-undang yang diajukan sebagai
alat bukti merupakan dokumen otentik atau bukan, melainkan apakah dokumen
tersebut adalah salinan dari undang-undang yang otentik, yaitu undang-undang
sebagaimana dimuat dalam lembaran negara dan tambahan lembaran negara
sehingga norma yang diatur di dalamnya memang berlaku sebagai norma hukum
yang mengikat.11
b. Keterangan Saksi
11
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI Cetakan Pertama, Agustus 2010. h. 41
12
Soeikromo D, Proses Pembuktian dan Penggunaan Alat-alat bukti pada Perkara Perdata di
Pengadilan, Jurnal Hukum Unsrat, Vol.II/No.1/Januari-Maret /2014. h. 134
9
ini juga berlaku prinsip satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis). Walaupun
demikian, keterangan seorang saksi tentu dapat digunakan untuk mendukung suatu
peristiwa jika sesuai dengan alat bukti yang lain.13
c. Keterangan Ahli
13
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI Cetakan Pertama, Agustus 2010, h. 42
14
https://id.wikipedia.org/wiki/Saksi_ahli#:~:text=Saksi%20ahli%20adalah%20orang%20yang,ses
uai%20keahlian%20ahli%2C%20disebut%20sebagai%20%22
10
salah satunya harus memenuhi hak untuk didengar secara berimbang (audi et
alteram.
e. petunjuk
f. Informasi elektronik
11
Ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf f UU No. 24 Tahun 2003 menyebutkan
salah satu alat bukti adalah “alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa
dengan itu.” Alat bukti dimaksud secara singkat dapat disebut sebagai informasi
elektronik.
15
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI Cetakan Pertama, Agustus 2010. h. 43-44
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah :
13
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Saksi_ahli#:~:text=Saksi%20ahli%20adalah%
14