Anda di halaman 1dari 26

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

Materi FIQIH di MA MUHDI, S.Ag, M.Ag

PERADILAN DALAM ISLAM

Oleh :
Kelompok 11
Ahmad Zaini Ilyas 210101010733
Muhammad Tri Surya Dharma 210101010256
Muhammad Thoriq Al Muhasibi 210101010713

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI ANTASARI BANJARMASIN


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2023 H/ 1444 M
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang
dengan tepat pada waktunya. Sholawat serta salam tak lupa kita haturkan kepada junjungan
kita baginda Nabi Muhammad SAW. karena beliaulah yang membawa umatnya dari zaman
kebodohan menuju zaman yang penuh ilmu pengetahuan.

Penulisan makalah ini tentunya bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh
dosen. Makalah ini ditulis dari penyusunan data-data yang penulis peroleh dari jurnal maupun
buku-buku yang berkaitan dengan materi. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Bapak
Muhdi, S.Ag, M.Ag, yang telah membimbing dan memberikan arahan dalam penulisan
makalah ini. Penulis mengharapkan dengan membaca makalah ini dapat menambah wawasan
kita semua mengenai “Peradilan dalam Islam ” Kami sadar, sebagai seorang mahasiswa yang
masih dalam proses pembelajaran, dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya,
kami sangat mengharapakan kritik dan saran, guna untuk penulisan makalah yang lebih baik
lagi dimasa yang akan datang, semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita.
Aamiin ya robbal'alaamiin..

Banjarmasin, 15 Desember 2023

Kelompok XI
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradilan Islam di Indonesia, yang secara resmi dikenal sebagai peradilan agama,
mendapat perhatian dari kalangan pakar hukum Islam, hukum tata negara, sejarah,
politik, antropologi dan sosiologi. Ia menjadi sasaran pengkajian, yang kemudian
ditulis dalam bentuk laporan penelitian, monografi, skripsi, tesis, disertasi dan buku
daras. Hasil pengkajian itu, sebagian diterbitkan dan disebarluaskan.
Di samping itu, peradilan Islam menjadi bahan pengkajian dalam berbagia
pertemuan ilmiah, baik yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi maupun di
kalangan pembina badan peradilan dan organisasi profesi di bidang itu. Publikasi hasil
pengkajian itu dapat ditemukan dalam berbagai kumpulan karangan dan dalam jurnal.
Ia akan tetap menarik sebagi sasaran pengkajian, khususnya di Indonesia, karena
memiliki keunikan tersendiri sebagi satu-satunya institusi keislaman yang menjadi
bagian dari penyelenggaraan kekuasaan negara. Dengan sendirinya, muncul tuntutan
pemetaan wilayah pengkajian dan metode yang tepat untuk digunakan. Bahkan,
membutuhkan perumusan model pengkajian yang jelas, agar pengkajian peradilan
Islam dapat dilakukan secara berkesinambungan dan produknya mendekati gambaran
yang sebenarnya.
B. Tujuan Pembahasan
1. Apa pengertian peradilan Islam?
2. Apa dasar hukum peradilan Islam?
3. Apa pengertian Hakim serta ruang lingkupnya?
4. Apa pengertian Saksi serta ruang lingkupnya?
5. Apa yang dimaksud dengan Bukti Sumpah serta ruang lingkupnya?
6. Apa pengertian Penggungat dan Tergugat?
C. Rumusan Masalah
1. Pengertian peradilan Islam.
2. Dasar hukum peradilan Islam.
3. Pengertian Hakim serta ruang lingkupnya.
4. Pengertian Saksi serta ruang lingkupnya.
5. Pengertian Bukti Sumpah serta ruang lingkupnya.
6. Pengertian Penggungat dan Tergugat.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PERADILAN DALAM ISLAM


1. Pengertian Peradilan Islam
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peradilan adalah segala sesuatu
mengenenai perkara pengadilan sedangkan pengadilan memiliki arti yang banyak yaitu
dewan atau majlis yang mengadili perkara, mahkamah, proses mengadili, keputusan
hakim yang mengadili perkara, dan mahkamah perkara. 1
Sedangkan menurut istilah, peradilan adalah daya upaya untuk mencari keadilan
atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan
lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan. Adapun dalam Islam, istilah peradilan
diambil dari kata qadla yang secara etimologi berarti menetapkan sesuatu dan
menghukuminya, sedangkan kata qadla menurut istilah adalah memutuskan
perselisihan yang terjadi pada dua orang yang berselisih atau lebih dengan hukum Allah
SWT.2
Orang-orang yang menjalankan peradilan disebut qadli (hakim) karena diambil
dari wazan isim fa‟ilnya yang lafadz qadla yang berarti orang yang menetapkan hukum,
sedangkan disebut hakim karena qadli adalah orang yang menjalankan hukum Allah
SWT terhadap orang yang berperkara. Dengan demikian, peradilan dimaksudkan untuk
menetapkan suatu perkara secara adil sesuai dengan ketentuan hukum yang bersumber
dari al-Qur'an dan sunnah, yang mana peradilan dalam Islam diposisikan sejajar dengan
imamah (kepemimpinan) sebagai kewajiban yang bukan bersifat personal tetapi
merupakan fardlu kifayah. Yakni kewajiban yang dapat gugur dengan adanya salah
seorang dari kaum Muslimin yang mendudukinya, artinya apabila ada beberapa orang
yang memiliki kemampuan untuk menjadi hakim kemudian tidak satupun yang
mendudukinya sekalipun pemimpin mengharapkannya, maka berdosalah semua orang
karena tidak ada yang mewakili kepentingan semua orang dalam mencari keadilan
melalui peradilan.
Dengan demikian, peradilan merupakan hal penting dan menjadi pusat perhatian
bagi keberlangsungan kehidupan insan manusia karena pada umumnya kewajiban yang
bersifat sosial itu bertujuan untuk menjaga stabilitas kehidupan sosial dan melindungi
kewajiban personal dari setiap individu.3 Sebab merupakan kategori fardlu kifayah

1
Zaini Ahmad Nuh, Hakim Agama dari Masa ke Masa, cet. 1 (Jakarta: Munas Ikaha, 1995,), hlm.15.
2
Muhammad ibn Ahmad al-Syarbini, al-Iqna’ fi hilli Alfadzi Abi Syuja’ Hasyiyah,juz 2 (Bairut; Dar al-Kutub al-
„ilmiyah, 1998), hlm. 602.
3
Muhyiddin Yahya ibn Syarf, Raudlah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, juz 9 (Bairut, Dar al Fikr,1994), hlm.
263.
karena sebagai upaya memerintahkan pada amar ma’ruf nahi munkar (kebaikan dan
mencegah perbuatan munkar). Sepintas terkesan bahwa hukum untuk menjadi hakim
bagi setiap orang adalah fardlu kifayah terutama orang-orang yang dianggap layak dan
mampu menjadi wakil dari pemimpin dalam mengurusi masalah peradilan.
Peradilan Islam tidak hanya menetapkan hukum antara manusia dengan lainnya,
tetapi juga menetapkan segala sesuatu menurut hukum Islam, dengan kata lain bahwa
peradilan Islam tidak hanya menyangkut pada perkara perselisihan yang bersifat
perdata saja tetapi juga menyangkut hal-hal yang bersifat pidana dan kenegaraan. 4
2. Sejarah Peradilan Islam
Pada mulanya peradilan Islam dilakukan langsung oleh Rasulullah SAW, beliau
melakukannya atas dasar perintah Allah SWT sebagai Dzat yang paling berhak
menghukum manusia, karena pada hakikatnya menetapkan hukum itu adalah hak Allah
SWT sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT yang terdapat pada surat al-
An'am ayat 57 dengan redaksi sebagai berikut;
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku (berada) di atas hujah yang nyata (al-Qur'an)
dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk
menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
Pemberi keputusan yang paling baik."
Kemudian Allah SWT, memberikan otoritas peradilan kepada Rasulullah SAW
sebagai wakilnya di muka bumi untuk melakukannya karena beliau telah melakukan
peradilan dengan sebaik-baiknya seperti yang dijelaskan dalam surat an-Nisa ayat 65.
Yang memiliki arti, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau
(Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan (sehingga)
kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau
berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 65)
Tetapi setelah Islam menyebar luas ke berbagai wilayah dan daerah sekitar jazirah
Arabia, maka beliau disamping sebagai rasul yang mempunyai tugas untuk
menyampaikan risalah dari Allah SWT, beliau juga sebagai pemimpin umat Islam
ketika itu, beliau mengangkat qadli (hakim) untuk daerah lain, salah satu contohnya Ali

4
Ahmad ibn Ahmad al-Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby wa ‘Amirah, juz 4 (Bairut;Dar al-Fikr, 1998), hlm. 296-
297.
ibn Abi Thalib yang diangkat Rasulullah SAW untuk menjadi qadli di Yaman.
Berdasarkan ini, para sahabatpun mengikuti apa yang telah dilakukan beliau sehingga
menjadi ijma‟ umat Islam ketika itu bahwa yang berkewajiban mengangkat qadli
adalah pemimpin.
Kewajiban memutuskan masalah hukum sebenarnya adalah pemimpin, namun
karena pemimpin tidak mungkin dapat melakukan putusan setiap permasalahan di
berbagai daerah maka ia wajib mengangkat qadli sebagai wakil pemimpin dalam urusan
peradilan di daerah kekuasaannya. Abu Bakar sebagai khalifah pertama, pernah
mengutus Anas bin Malik menjadi qadli di Bahrein, sedangkan Umar ibn Khattab
mengutus Abu Musa al-Asy'ary menjadi qadli di Bashrah, dan Abdullah ibn Mas'ud di
Kufah.5
3. Unsur - Unsur Peradilan Islam
Unsur-unsur peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha’. Secara bahasa,
rukun yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan sesuatu. Secara istilah, rukun
berarti bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena terwujudnya sesuatu itu mesti
dengan adanya bagian itu. Jadi, rukun qadha’ (unsur-unsur peradilan) yaitu apa yang
menunjukkan eksistensi peradilan itu, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa peradilan Islam mempunyai lima rukun atau
unsur, yaitu:
1. Hakim (Qadhi)
Yakni orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam
menyelesaikan gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak bisa
melaksanakan sendiri tugas-tugas peradilan. Sebagaimana yang dilakukan nabi
Muhammad SAW pada masa hidupnya. Beliau mengangkat qadli-qadli untuk
bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat yang jauh.
2. Hukum (Qodho)
Yaitu suatu keputusan produk qadli untuk menyelesaikan perselisihan dan
memutuskan persengketaan. Ada dua bentuk keputusan hakim :
 Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah salah
satu pihak dengan redaksi “aku putuskan atasmu demikian”, atau
menetapkan suatu hak dengan tindakan, seperti pembagian secara paksa.

5
Muhammad ibn Habib al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir fi al-Fiqh al-Islami, juz 20 (Bairut; Dar al-Kutub al-
„ilmiyah, t.t), hlm. 53.
 Qadla’ tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada
penggugat: kamu tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu tidak
mampu membuktikan, dan atas sumpah tergugat.
3. Al-Mahkum bih (Hak)
Yaitu sesuatu yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas suatu hak. Pada
qadla’ ilzam, yang dimaksud adalah dengan memenuhi hak penggugat.
Sedangkan pada qadla’ tarki, yang dimaksudkan adalah penolakan atas
gugatannya itu. Atas dasar itulah, al-mahkum bih adalah hak itu sendiri. Hak
itu adakalanya hak Allah semata, hak manusia semata, atau hak yang
dipersekutukan antara Allah dan manusia tetapi salah satu lebih berat.
Apabila hak yang dituntut itu merupakan hak manusia semata, atau menurut
lazimnya merupakan hak manusia, maka penuntutnya adalah pemilik hak itu
sendiri, atau orang yang diberi kuasa olehnya. Si penuntut itu disebut mudda’i
(penggugat). Jika ternyata dia tidak menuntut atau membatalkan tuntutannya,
maka ia tidak boleh dipaksa untuk menuntut haknya. Apabila hak yang dituntut
itu adalah hak Allah semata-mata atau menurut lazimnya hak itu merupakan
hak Allah, maka tuntutan itu dilakukan oleh penuntut umum (jaksa). Menurut
hanafiyyah, yang dimaksud hak Allah adalah hak masyarakat (publik).
4. Al-Mahkum 'alaih
Yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya. Mahkum ‘alaih yaitu orang yang
dikenai putusan untuk diambil haknya, baik ia mudda’a alaih (tergugat) atau
mudda’i (penggugat).
5. Al-Mahkum lahu
Yaitu penggugat suatu hak, yang merupakan hak manusia semata-mata (hak
perdata), atau hak yang lazimnya merupakan hak manusia semata-mata.
Mahkum lah harus melakukan sendiri gugatan atas haknya atau dengan
perantaraan orang yang diberi kuasa olehnya, dan ia harus datang sendiri ke
persidangan atau wakilnya. Adapun bila hak itu merupakan hak Allah semata,
maka mahkum lah-nya adalah syara’. Dalam hal ini, tuntutan bukan datang dari
perorangan, tetapi sesuai syari’at Islam. Tuntutan itu dilakukan oleh lembaga
penuntut umum. 6
4. Fungsi Lembaga Keadilan Dalam Islam

6
Sucita Irfareza, Syaiful Mahya, dkk. Peradilan Islam. (MAN 2: Bukittinggi. 2002). 5-7
Fungsi Peradilan dalam islam adalah untuk menyelasaikan dan memutuskan
setiap perkara dengan adil, maka peradilan berfungsi untuk menciptakan ketertiban dan
ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya hukum. Peradilan Islam
bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat dngan tetap tegaknya hukum Islam.
Karena itu peradilan Islam mempunyai tugas pokok :
1) Mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
2) Menetapkan sanksi dan menerapkan kepada para pelaku perbuatan yang
melanggar hukum.
Hikmah peradilan sesuai dengan fungsi dan tujuan peradilan sebagaimana
dijelaskan di atas, maka dengan adanya peradilan akan diperoleh hikmah yang besar
bagi kehidupan umay, yaitu : Terwujudnya suatu masyarakat yang bersih, karena hak
setiap orang terutama hak asasinya dapat dilindungi dan dipenuhi sesuai dengan
peraturan dan perundangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi SAW :
Artinya : “Dari Jabir katanya : Saya dengar Rasulullah SAW bersabda : Tidak (dinilai)
bersih suatu masyarakat dimana hak orang yang lemah diambil oleh yang kuat (H.R.
Ibnu Hiban).
Sesuai dengan fungsi dan tujuan peradilan sebagaimana dijelaskan di atas, maka dengan
adanya lembaga peradilan akan diperoleh hikmah yang sangat besar bagi kehidupan
umat, yaitu:
 Terwujudnya masyarakat yang bersih, karena setiap orang terlindungi haknya
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. al ini sejalan dengan sabda
Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah dimana beliau
Saw. menjelaskan bahwa satu masyarakat tidak dinilai bersih, jika hak orang-orang
yang lemah diambil orang-orang yang kuat. . Terciptanya aparatur pemerintahan
yang bersih dan berwibawa, karena masyarakat telah menjelma menjadi masyarakat
bersih. . Terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat. Artinya setiap hak orang
dihargai dan dilindungi. Allah SWT berfirman :
Artinya:"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat". (QS.An-nisa : 58)
 Terciptanya ketentraman, kedamaian, dan keamanan dalam masyarakat. Dapat
mewujudkan suasana yang mendorong untuk meningkatkan ketaqwaan kepada
Allah SWT bagi semua pihak. Allah Swt. berfirman :
Artinya : "Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak
keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS.
Almaidah : 8)7

B. DASAR HUKUM PERADILAN ISLAM


Adapun dasar pembentukan peradilan Islam paling tidak atas dasar prinsip bahwa
penerapan hukum-hukum Islam dalam setiap kondisi adalah wajib, pelarangan apabila
mengikuti ajaran lain selain syariah Islam, dan stetmen dalam Islam bahwa ajaran selain
Islam adalah kafir (orang yang mengingkari Allah SWT). Peradilan tidak hanya
diperlukan dalam rangka penegakan keadilan dan pemeliharaan hak-hak individu
dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi juga diperlukan untuk menjaga stabilitas
kehidupan manusia dalam bingkai amar ma’ruf nahi munkar (mencegah kejahatan dan
mengedepankan kebaikan).
Atas dasar prinsip-prinsip inilah, sistem peradilan Islam dibangun dan
diselenggarakan untuk memberikan putusan-putusan yang sah berdasarkan hukum
Allah SWT. Selain prinsi - prinsip di atas, ada lagi landasan sistem peradilan Islam yang
berdasarkan al-Qur`an dan sunnah yang antara lain sebagai berikut :

1. Al-Qur'an
a. Surah Shad : 26
Artinya;
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah SWT. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah SWT

7
Ibid. 7.
akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.
(QS. Shad:26)
b. Surah Al-Maidah : 42
Artinya :
“Dan apabila kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara
itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-
orang yang adil". (Qs. Al-Maidah : 42)
2. Hadits
Dalam catatan sejarah Islam, bahwa Rasulullah SAW sendiri langsung memimpin
sistem peradilan saat itu beliaulah yang menghukumi umat yang bermasalah
sebagaimana disamapaikan Aisyah isteri Rasulullah SAW bahwa beliau berkata,
Sa‟ad Ibn Abi Waqqash dan Abd Zama‟a berselisih satu sama lain mengenai
seorang anak laki-laki. Sa‟ad berkata: “Rasulullah SAW, adalah anak dari
saudaraku Utbah Ibn Abi Waqqash yang secara implisit dia menganggap sebagai
anaknya. Lihatlah kemiripan wajahnya.”. Abd Ibn Zama‟a berkata: “Rasulullah
SAW, dia adalah saudaraku karena dia lahir diatas tempat tidur ayahku dari hamba
sahayanya. Rasulullah SAW lalu melihat persamaan itu dan beliau mendapati
kemiripan yang jelas dengan Utbah. Tapi beliau bersabda, “Dia adalah milikmu
wahai Abd Ibn Zama‟a, karena seorang anak akan dihubungkan dengan seseorang
yang pada tempat tidurnya ia dilahirkan, dan hukum rajam itu adalah untuk
pezina.”8

C. HAKIM
1. Pengertian Hakim
Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang
berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Hakim diberi wewenang
oleh undang – undang untuk mengadili (Pasal 1 ayat 8 KUHAP). Ayat 9,
mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,

8
Ahmad Ibn Hanbal,Musnad al-Imam Ahmad, juz 5 (Bairut;Dar Ihya al-Turats al-„araby, t.t), hlm 233.
memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur,
dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang – udang ini.9

2. Fungsi Hakim
Fungsi hakim secara umum dapat di uraikan sebagai berikut :
a. Menegakkan Kebenaran Dan Keadilan
Fungsi Hakim menegakan kebenaran dan keadilan, bukan hanya
menegakan sebatas mengacu pada peraturan perundang-undangan dalam
arti sempit saja. Maksud dari hal ini adalah hakim tidak
berperan menjadi corong undang-undang dan hakim tidak boleh
berperan mengidentikkan kebenaran dan keadilan itu sama dengan
rumusan peraturan perundang-undangan.
b. Sebagai Media Pendidikan dan Koreksi
Memberi pendidikan, maksudnya adalah hakim melalui produk
putusan harus mampu memberi pendidikan dan pelajaran kepada yang
berperkara dan masyarakat. Dari putusan yang dijatuhkan, anggota
masyarakat harus dapat memetik pelajaran dan pengalaman bahwa
berbuat sesuatu yang tercela atau merugikan orang lain adalah salah
dan keliru. Dan fungsi hakim untuk memberi koreksi, bahwa putusan
hakim harus jelas dan tegas memperbaiki dan meluruskan setiap
kesalahan yang dilakukan seseorang.
c. Proyeksi Tatanan Masa Datang
Salah satu tujuan penegakan hukum melalui putusan hakim,
bertujuan memproyeksikan tatanan masyarakat pada masa yang akan
datang. Penegakan hukum melalui putusan hakim bukan sekedar memberi
kepastian hukum masa kini, tapi sekaligus harus mampu merekayasa

9
TUENTI WAN PUTRA HURA, “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP HAKIM YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA
KORUPSI (Studi Putusan Terpidana Hakim Tripeni Irianto Putro oleh Pengadilan Tipikior)” (s1, UAJY, 2018),
https://e-journal.uajy.ac.id/17102/.
tatanan masyarakat pada masa yang akan datang, dalam hal ini paling
tidak pada bidang kehidupan tertentu.
d. Berperan Mendamaikan
Peran mendamaikan lebih utama dari fungsi memutus perkara,
upaya mendamaikan merupakan prioritas utama, sedangkan fungsi
mengadili merupakan kegiatan dan tindak lanjut atas kegagalan
upaya mendamaikan.10
3. Syarat-syarat hakim
Menurut al-Mawardi, ada tujuh syarat untuk diangkat menjadi hakim:
a. Laki-laki baligh.
Abu Hanifah berkata, “wanita diperbolehkan memutuskan perkara-
perkara yang ia benarkan menjadi saksi di dalamnya.” Namun, Ibnu
Jarir ath-Thabari berpendapat dengan membolehkan wanita memutuskan
semua kasus hukum.
b. Mempunyai akal
Untuk mengetahui perintah (taklif), mengetahui tentang hal-hal yang
penting (daruri), mampu membedakan segala sesuatu dengan benar,
cerdas, dan jauh dari sifat lupa.
c. Merdeka (bukan budak
Kekuasaan budak atas dirinya sendiri tidak utuh atau sempurna, oleh
karena itu ia tidak bisa berkuasa atas orang lain, kesaksian budak
dalam kasus-kasus hukum tidak diterima, maka sangat logis kalau
status budak juga menghalangi penerapan hukum olehnya dan
pengangkatan dirinya menjadi hakim.
d. Islam
e. Adil
Artinya yaitu berkata dengan benar, jujur, bersih dari hal-hal yang

10
Muhammad Latif Basith, “Eksistensi hakim sebagai speaker of law dan speaker of justice: Perspektif hukum
positif dan hukum Islam” (undergraduate, Universitas Islan Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2013),
https://doi.org/10/9/09210010%20Daftar%20Pustaka.pdf.
diharamkan, menjauhi dosa-dosa, jauh dari sifat ragu-ragu,
terkendali dalam agamanya dan dunianya
f. Sehat pendengaran dan penglihatan,
Agar dengan pendengaran dan penglihatan yang sehat, ia dapat
menetapkan hak, membedakan antara pendakwa dengan terdakwa,
membedakan antara pihak yang mengaku dengan pihak yang tidak mengaku,
ia membedakan kebenaran dan kebatilan, dan mengenali pihak yang benar dan
pihak yang salah.11
4. Adab dan etika Hakim
Mengenai etika hakim, Rasulullah jauh-jauh hari telah mengingatkan poinpon
penting, antara lain:
a. Larangan memutuskan perkara dalam kondisi diri tidak stabil Sebagaimana
disebutkan dalam hadis yang artinya: “Janganlah seorang hakim memutuskan
perkara ketika marah.” Malik menambahkan, tidak boleh juga dalam kondisi haus,
lapar, takut dan kondisikondisi lainnya.
b. Larangan suap dalam pemutusan perkara
c. Larangan menerima hadiah
Ulama-ulama terdahulu telah menetapkan adab-adab tertentu yang harus dimiliki oleh
seorang hakim, misalnya ketika di luar mahkamah, antara lain keharusan menjaga
pergaulan dengan masyarakat di sekelilingnya dan tidak menerima hadiah dari pihak-
pihak yang berperkara atau yang terkait dengan jabatannya. Sedangkan dalam
pelaksanaan tugasnya, menurut Muhammad Salam Maskur, sebagaimana dikutip oleh
Abdul Manan, hakim harus memperhatikan halhal sebagai berikut:
a. Tidak memihak
b. Bersungguh-sungguh dalam memeriksa perkara
c. Memeriksa perkara dalam kondisi yang stabil (tidak dalam keadaan marah,
susah, gembira yang berlebih-lebihan, sakit, jenuh, lapar dan mengantuk.18
Sedangkan menurut Adil Mustafa Basyuri, sebagaimana
dikutip Abdul Manan,
adabul qadhi meliputi:
a. Bebas dari pengaruh orang lain

11
“misbahuddin-al qada’.pdf,” diakses 15 Desember 2023, https://repositori.uin-
alauddin.ac.id/8627/2/misbahuddin-al%20qada%27.pdf.
b. Persidangannya terbuka untuk umum
c. Tidak membeda-bedakan pihak-pihak yang berperkara
d. Berusaha mendamaikan para pihak - Adil dalam memberikan hak berbicara
kepada pihak-pihak berperkara
e. Bertawakkal dalam setiap putusannya
f. Memberikan hak ingkar pada pihak-pihak berperkara
g. Memperlakukan sama semua pihak-pihak
h. Setiap putusannya harus didasarkan pada ketentuan syariat
i. Melindungi pencari keadilan
j. Memandang sama kepada pihak-pihak
k. Memulai persidangan dengan ucapan yang sopan. 12

5. Kedudukan Hakim Wanita


Kedudukan hakim perempuan sebenarnya masih menimbulkan pro dan kontra
dikalangan ulama-ulama tedahulu. Perbedaan pendapat ini berlandaskan pada pemahaman
tekstual ayat al-qur’an maupun hadits. Indonesia merupakan negara yang berlandaskan pada
peraturan undang-undang tidak mengharuskan jenis kelamin laki-laki dalam persyaratan
menjadi seorang hakim, sesuai dengan pasal 13 undang-undang nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode kualititatif dengan pendekatan penelitian
kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang menitik beratkan pada usaha
pengumpulan data. dan informasi dengan bantuan segala material yang terdapat di dalam ruang
perpustakaan maupun di luar perpustakaan. Hasil dan analisis data dapat disimpulkan bahwa :
a) hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili.
b) peraturan undang-undangan tidak mempermasalahkan jenis kelamin dalam
persyaratan menjadi seorang hakim. Dalam hukum Islam, kedudukan hakim
perempuan masih menimbulkan pro dan kontra.
c) landasan hukum yang digunakan ialah al-qur’an, hadits, qiyas, dan ijma.
d) faktor pebedaan pendapat tersebut dilandasi dengan pemahaman ayat-ayat al qur’an,
hadits maupun berbagai pendapat ulama fiqh.

12
. Asni, Etika Hakim Dalam Dinamika Masyarakat Kontemporer : Perspektif Peradilan Islam, Dosen Fakultas
Syariah IAIN Kendari), Vol. 8 No. 2, Juli 2015.30
e) Imam Hanafi memperbolehkan perempuan menjadi hakim dalam perkara perdata,
tetapi tidak berlaku dalam perkara pidana.

D. SAKSI
1. Pengertian Saksi
Saksi dalam bahasa arab disebut al-shahadah yaitu orang yang mengetahui atau
melihat. Yaitu orang yang dimintakan hadir dalam suatu persidangan untuk
memberikan keterangan yang membenarkan atau menguatkan bahwa peristiwa itu
terjadi.
Pembicaraan tentang saksi dibagi menjadi tiga, yaitu sifat-sifat saksi, jenis kelamin, dan
bilangannya. Sifat-sifat yang dipegangi dalam penerimaan saksi secara garis besar ada
lima, yaitu adil, dewasa, islam, merdeka, dan tidak diragukan niat baiknya. Sebagian
sifat ini telah disepakati dan sebagian yang lain masih diperselisihkan.
Hukum memberikan saksi adalah fardhu kifayah, dengan kata lain, jika terjadi suatu
perkara dan seseorang menyaksikan perkara tersebut maka fardhu kifayah baginya
untuk memberikan kesaksian di pengadilan dan jika tidak ada pihak lain yang bersaksi
atau jumlah saksi tidak mencukupi tanpa dirinya maka ia menjada fardhu a’in. dengan
pemahaman ini saksi tentu tidak akan keberatan atau mangkir dari memberi kesaksian
di pengadilan sebab ia merupakan perbuatan yang bernilai pahala. Selain itu, kesaksian
harus didasarkan pada keyakinan pihak saksi, yakni berdasarkan penginderaanya secara
langsung pada peristiwa tersebut.

2. Fungsi Saksi
Dalam sidang pengadilan jinayah yang terdiri dari satu majelis yaitu majlisul al-imamah
al-qubro dalam proses pemeriksaan usaha pengungkapan atau penggalian fakta
didasarkan pada alat bukti, dalam hal ini adalah keterangan seorang saksi sebagai bahan
landasan tetap untuk penjatuhan pidana atau takzir kepada terdawa. Sedangkan saksi
juga digunakan sebagai hujjatul al-ahkam sebagai bentuk pembelaan tehadap tuduhan
yang disandarkan kepada terdakwa sehingga majlisul al-imamah al-qubro mewajibkan
adanya saksi pada saat proses pembuktian mewajibkan (fardhu a’in) dikarenakan
kesalaan dan pembenaran yang merupakan fakta hukum terangkai dalam proses
pembuktian yang berasal dari keterangan saaksi-saksi, hal ini sangat
dipertanggungjawabkan oleh majlisul al-imamah al-qubro. Ha ini sesuai dengan hadist
arba’ah yang berbunyi:

Artinya: Dari Buraidah r.a. menceritakan Rasulullah SAW bersabda: ada tiga
golongan hakim dua dari padanya akan masuk neraka dan yang satu akan masuk surga,
ialah hakim yang mengetahui mana yang benar dan lalu ia memutuskan hukuman
dengannya, maka ia akan masuk surga, hakim yang mengetahui mana yang
bernar,tetapi ia tidak menjatuhkan hukuman itu atas dasar kebenaran itu, maka ia akan
masuk neraka, dan hakim yang tidak mengetahui mana yang benar, lalu ia menjatuhkan
hukuman atas dasar tidak tahun ya itu, maka ia akan masuk neraka pula. (H.R.
Arba’ah)13

3. Syarat-Syarat Saksi
a) Baligh (dewasa).
Setiap saksi dalam setiap jarimah harus baligh. Apabila belum baligh maka
persaksian tidak dapat diterima.
b) Berakal.
Seorang saksi diisyaratkan harus berakal. Orang yang berakal adalah orang
yang mengetahui kewajiban pokok dan yang bukan, yang mungkin dan tidak
mungkin, serta madhorot dan manfaat, dengan demikian, persaksian orang gila
dan kurang akalnya tidak dapat diterima.
c) Kuat ingatan.
Seorang saksi harus mampu mengingat apa yang disaksikanya dan memahami
serta menganalisis apa yang dilihatya, disamping dapat dipercaya apa yang
dikatakanya. Dengan demikian, apabila pelupa, kesaksian tidak dapat diterima.
Alasan tidak dapat diterimanya persaksian dari orang yang pelupa adalah karena
orang yang pelupa itu, apa yang dikatakanya tidak bisa dipercaya sehingga
kemungkinan terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam persaksian.
d) Dapat berbicara.

13
Raja Fahab Abdullah Ali Hunain dan Abdullah bin Muhammad bin sa’ad Ali Khunain, fiqh murofaat,( Mesir:
Darul Asimah, 1422), hal. 257-277
Apabila ia bisu maka status persaksianya diperselisihkan oleh para ulama.
Menurut madzab maliki persaksian orang yang bisu dapat diterima apabila
perkataanya bisa dipahami, sedangkan menurut Hambali orang yang bisu
persaksianya tidak dapat diterima, walaupun isyaratnya dapat dipahami, kecuali
apabila dapat menulis. Sebagian ulama’ syafiiyah dapat menerima kesaksian
orang yang bisu, karena isyaratnya sama seperti ucapan, sebagaimana yang
dilaksanakan dalam akad nikah dan talaq. Akan tetapi sebagian lagi berpendapat
berpendapat bahwa persaksian orang yang bisu tidak dapat diterima, karena
isyarat yang menggantikan ucapanitu hanya berlaku dalam keadaan darurat.
Akan tetapi ebagian yang lain berpendapat bahwa persaksian orang yang bisu
tidak dapat diterima,karena isyarat yang menggantikan ucapan itu hanya
berlaku dalam keadaan darurat.
e) Dapat melihat.
Apabila saksi tersebut orang yang buta maka para ulama bersilisih pendapat
tentang diterimanya persaksian tersebut. Menurut kelompok hanafiyah,
persaksian orang yang buta tidak dapat diterima. Hal ini karena untuk dapat
melaksanakan persaksian, saksi harus dapat menunjukkan objek yang
disaksikanya. Disamping itu, orang yang buta hanya dapat membedakan sesuatu
dengan pendengaranya. 14
f) Adil.
Pengertian adil menurut malikiyah adalah selalu memelihara agama dengan
jalan menjahui dosa besar dan menjaga diri dari dosa kecil, selalu menunaikan
amanah dan bermuamalah dengan baik. Ini tidak berarti tidak melakukan
maksiat sama sekali, karena hal ini tidak mungkin bagi manusia biasa.
Hanafiyah berpendapat bahwa adil itu adalah konsisten melaksanakan ajaran
agama(islam), mendahulukan pertimbangan akal dan hawa nafsu.
g) Islam
Dengan demikian, persaksian orang yang bukan islam tidak dapat diterima, baik
untuk perkara orang muslim maupun orang non muslim. Hal ini merupakan
prinsip yang diterima semua fuqoha. Akan tetapi terhadap prinsip yang sudah
disepakati ini terdapat dua pengecualian yaitu sebagai berikut :
1) Persaksian orang bukan islam terhadap orang bukan islam

14
Hasby Ash-Shidiqy, Sejarah Peradilan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 57
Golongan hanafiyah berpendapat bahwa persaksian orang kafir dzimmi atas
perkara sesamanya dan orang kafir harbi atas perkara sesamanya dapat
diterima, hal ini didasarkan kepada tindakan rasulullan SAW yang
memperkenalkan persaksian orang nasrani atas perkara sesama mereka,
akan tetapi malikiyah menolak.
2) Persaksian non muslim atas perkara muslim dalam hal wasiat di perjalanan
Golongan hanabilah berpendapat bahwa apabila golongan seorang muslim
yang senang bepergian meninggal dan berwasiat dengan kesaksian orang
yang bukan muslim, maka persaksian mereka dapat diterima, apabila tidak
ada orang lain yang beragama Islam. 15
Pendapat zhahiriyah dalam hal ini sama dengan pendapat hanabillah,
akan tetapi malikiyah, hanafiyah, dan syafiiyah, serta zaidiyah tidak
menerima persaksian orang non muslim dalam kasus ini, karena orang fasik
tidak diterima, apalagi orang kafir.

4. Saksi yang ditolak


1) orang yang mendapat sangsi karena menuduh orang lain berzina.
2) anak yang bersaksi untuk bapaknya dan bapak yang bersaksi untuk anaknya.
3) Istri yang bersaksi untuk suaminya.
4) Suami yang bersaksi untuk istrinya
5) pelayan yang lari dari pekerjaanya
6) serta oang yang bermusuhan kepada tedakwa.16

E. Bukti dan Sumpah


1. Pengertian bukti dan sumpah
Sumpah menurut bahasa hukum islam disebut al yamin atau al hilf
tetapi kata al yamin lebih umum dipakai. Menurut hadist Rasulullah
sebagaimana sudah diungkapkan pada asas pembuktian bahwa pihak yang
menuntut hak dibebankan untuk membuktikan sedangkan pembuktian
pengingkar (negatif) dari pihak yang dituntut adalah dengan sumpah. Ini

15
Ibid, 58
16
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 130
menunjukkan bahwa hukum asal sumpah itu adalah hak dari pihak yang
digugat atau dituntut.17
Bukti (Bayyinah) Barang bukti adalah segala sesuatu yang ditunjukkan
oleh penggugat untuk memperkuat kebenaran dakwaannya. Bukti-bukti
tersebut dapat berupa surat-surat resmi, dokumen, dan barang-barang lain yang
dapat memperjelas masalah terhadap terdakwa.
2. Sumpah sebagai alat bukti
Bukti (Bayyinah)
Barang bukti adalah segala sesuatu yang ditunjukkan oleh penggugat untuk
memperkuat kebenaran dakwaannya. Bukti-bukti tersebut dapat berupa surat-
surat resmi, dokumen, dan barang-barang lain yang dapat memperjelas masalah
terhadap terdakwa.
Dalam peradilan agama, dikenal 4 macam sumpah yang dijadikan sebagai alat
bukti, yaitu:
a) Sumpah pelengkap (suppletoireed), yaitu sumpah pelengkap atau tambahan.
b) Sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decisoir.
c) Sumpah penaksir (aestimatoir, schattingseed), yaitu sumpah yang diperintahkan
oleh hakim, karena jabatannya kepada Penggugat untuk menentukan sejumlah
uang ganti kerugian. Sumpah penaksir dilaksanakan karena dalam praktik sering
terjadi bahwa jumlah uang ganti kerugian yang diajukan oleh pihak yang
bersangkutan itu simpang siur, maka soal ganti rugi harus dipastikan dengan
pembuktian.
a. Sumpah li‘an, yaitu sumpah yang khusus dalam hal perkara permohonan
talak dengan alasan istri berbuat zina, sumpah li‘an ini berbeda dengan
sumpah pemutus dan sumpah pelengkap.

3. Syarat-syarat orang yang bersumpah


a) Mukallaf
b) Didorong oleh kemauan sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun.
c) Disengaja bukan karena terlanjur,
d) Dan lain-lain.

17
. “Surgana and Wicaksono - 2015 - PEMBUKTIAN SUMPAH DI PERADILAN AGAMA.pdf,” 3, diakses 15
Desember 2023, https://media.neliti.com/media/publications/61432-ID-pembuktian-sumpah-di-peradilan-
agama.pdf.
4. Lafal-lafal sumpah
Menurut Syekh Sayyid Sabiq dalam kitabnya yang fenomenal Fikih Sunah,
ditinjau dari sisi syara, sumpah adalah penguatan dan penegasan sesuatu
dengan menyebut nama Allah SWT atau salah satu sifat-Nya.
''Pengertian lain dari sumpah ( yamin ) adalah akad yang dengannya orang
yang bersumpah menguatkan tekadnya untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu,'' tutur ulama terkemuka dari Mesir itu.
Sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW, bersumpah harus menyebut nama
Allah SWT. '' Ada tiga kata atas nama Allah, yakni wallahi , billahi
dan tallahi . Nah, ketiga kata itu disebut dengan huruf qasam artinya huruf
yang berkaitan dengan sumpah. Sedang lillahi itu bukan kata sumpah,''.
5. Tujuan Sumpah
Tujuan Sumpah Dalam perspektif Islam yaitu :
a) Menyatakan tekad untuk melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh
dan bertanggung jawab terhadap tugas tersebut.
b) Membuktikan dengan sungguh-sungguh bahwa yang bersangkutan di
pihak yang benar Tujuan sumpah yang kedua inilah yang dilakukan di
pengadilan. Sumpah tergugat adalah sumpah yang dilakukan pihak
tergugat dalam rangka mempertahankan diri dari tuduhan penggugat.
Selain sumpah, tergugat juga harus menunjukkan bukti-bukti tertulis
dan bahan-bahan yang meyakinkan hakim bahwa dirinya memang
benar-benar tidak bersalah.

6. Pelanggaran Sumpah
Pelanggaran Sumpah Konsekuensi yang harus dilakukan oleh seseorang
yang melanggar sumpah adalah membayar kaffarah yamin (denda pelanggaran
sumpah) dengan memilih salah satu dari ketiga ketentuan berikut :
a) Memberikan makanan pokok pada sepuluh orang miskin, dimana
masing-masing dari mereka mendapatkan ¾ liter.
b) Memberikan pakaian yang pantas pada sepuluh orang miskin.
c) Memerdekakan hamba sahaya.
F. Penggugat dan Tergugat
1. Pengertian
Pengertian tergugat adalah orang yang terkena gugatan dari penggugat
disebut tergugat. Tergugat bisa membela diri dengan membantah kebenaran gugatan
melalui dua cara:
 Menunjukkan bukti-bukti
 Bersumpah
- Dalam peradilan ada beberapa pengistilahan yang perlu dipahami :
 Materi gugatan disebut hak
 Penggugat disebut mudda’i
 Tergugat disebut mudda’a‘alaih
 Keputusan mengenai hak penggugat disebut mahkum bih
 Orang yang dikenai putusan untuk diambil haknya disebut mahkum bih

2. Syarat-syarat
a) Penggugat adalah materi yang dipersoalkan oleh kedua belah pihak
yang terlibat perkara, dalam proses peradilan disebut gugatan.
Sedangkan Penggugat adalah orang yang mengajukan gugatan karena
merasa dirugikan oleh pihak tergugat (orang yang digugat).
b) Penggugat dalam mengajukan gugatannya harus dapat membuktikan
kebenaran gugatannya dengan menyertakan bukti- bukti yang akurat,
saksi-saksi yang adil atau dengan melakukan sumpah. Ucapan sumpah
dapat diucapkan dengan kalimat semisal: “Apabila gugatan saya ini tidak
benar, maka Allah akan melaknat saya”.
c) Ketiga hal tersebut (penyertaan bukti-bukti yang akurat, saksi- saksi
yang adil, dan sumpah) merupakan syarat diajukannya sebuah gugatan.

3. Terdakwa dan pendakwa yang tidak hadir dalam peradilan


Terdakwa yang tidak hadir dalam persidangan Terdakwa yang tidak
hadir dalam persidangan harus terlebih dahulu dicari tahu sebab ketidak
hadirannya. Menurut imam Abu Hanifah mendakwa orang yang tidak
ada atau tidak hadir dalam persidangan diperbolehkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peradilan dalam Islam sangat penting, untuk mewujudkan keadilan dan
kemaslahatan serta sebagai upaya melindungi hak dan kewajiban individu, kelompok
dan masyarakat secara keseluruhan, hal ini sesuai dengan asas prinsip dan tujuan dari
hukum Islam itu sendiri. Dengan adanya peradilan Islam, kebebasan yang dimiliki oleh
setiap individu pun terlindungi, persamaan hak setiap individu didepan hukum maupun
dalam kehidupan sosial terjaga, dan jaminan sosial bagi setiap individu dan masyarakat
dapat terwujudkan. Berdasarakan tujuan dari, pelaksanaan peradilan Islam sebagai
wadah melaksanakan atau menjalankan hukum-hukum Allah SWT dan mengesakan
Allah SWT maka dari sini dapat disimpulakan bahwa pelaksanaan peradilan Islam
merupakan ibadah. Namun bukan berarti setiap orang bisa menjadi hakim sebagai
pelaksanaan pengadilan sebab bisa saja akan terjadi kekeliruan apabila posisi hakim
tidak dilaksanakan orang-orang yang berilmu.
DAFTAR PUSTAKA

Zaini Ahmad Nuh, Hakim Agama dari Masa ke Masa, cet. 1 (Jakarta: Munas Ikaha,
1995,), hlm.15.

Muhammad ibn Ahmad al-Syarbini, al-Iqna’ fi hilli Alfadzi Abi Syuja’ Hasyiyah,juz 2
(Bairut; Dar al-Kutub al-„ilmiyah, 1998), hlm. 602.

Muhyiddin Yahya ibn Syarf, Raudlah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, juz 9 (Bairut,
Dar al Fikr,1994), hlm. 263.
Ahmad ibn Ahmad al-Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby wa ‘Amirah, juz 4 (Bairut;Dar al-
Fikr, 1998), hlm. 296-297.
Muhammad ibn Habib al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir fi al-Fiqh al-Islami, juz 20
(Bairut; Dar al-Kutub al-„ilmiyah, t.t), hlm. 53.
Sucita Irfareza, Syaiful Mahya, dkk. Peradilan Islam. (MAN 2: Bukittinggi. 2002). 5-
7.
Ahmad Ibn Hanbal,Musnad al-Imam Ahmad, juz 5 (Bairut;Dar Ihya al-Turats al-„araby,
t.t), hlm 233.
TUENTI WAN PUTRA HURA, “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP HAKIM
YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Terpidana Hakim
Tripeni Irianto Putro oleh Pengadilan Tipikior)” (s1, UAJY, 2018), https://e-
journal.uajy.ac.id/17102/.
Muhammad Latif Basith, “Eksistensi hakim sebagai speaker of law dan speaker of
justice: Perspektif hukum positif dan hukum Islam” (undergraduate, Universitas Islan Negeri
Maulana Malik Ibrahim, 2013), https://doi.org/10/9/09210010%20Daftar%20Pustaka.pdf.
Asni, Etika Hakim Dalam Dinamika Masyarakat Kontemporer : Perspektif Peradilan
Islam, Dosen Fakultas Syariah IAIN Kendari), Vol. 8 No. 2, Juli 2015.30
Raja Fahab Abdullah Ali Hunain dan Abdullah bin Muhammad bin sa’ad Ali Khunain,
fiqh murofaat,( Mesir: Darul Asimah, 1422), hal. 257-277
Hasby Ash-Shidiqy, Sejarah Peradilan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986),
hal. 57
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hal.
130
“Surgana and Wicaksono - 2015 - PEMBUKTIAN SUMPAH DI PERADILAN
AGAMA.pdf,”3,diakses 15 Desember 2023,
https://media.neliti.com/media/publications/61432-ID-pembuktian-sumpah-di-peradilan-
agama.pdf.

Anda mungkin juga menyukai