Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

MENIKAH BERBEDA AGAMA


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih ahkam 3

Dosen pengampu :
ZAINUL MUSTOFA M.Pd.I

Oleh
ABDUL GHOFUR

PRODI-S1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
AL-URWATUL WUTSQO JOMBNAG
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha pengasih lagi maha penyayang. Kami
panjatkan puja puji Syukur atas kehadiratNya, Yang telah melimpahkan Rahmat,Hidayat,
serta inayah Nya kepada kami.
Sholawat serta salam kepada Baginda Rosulullah SAW yang kita tunggu sya’fat nya di
yaumil qiyamah.
Sehingga kita dapat menyelesaikan makaalh ilmiyah ini tentang MENIKAH
PERBEDAAN AGAMA , Dan harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menambah wawasan dan pengalaman bagi pembaca. Untuk kedepanya dapat memperbaiki
bentuk menambah isi agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatsan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih banyak akan
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu sangat kami harapkan saran dan kritik
yang membangun daripembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bulurejo, 13 September 2021

Team Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………..........
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………............
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………………….........
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………............
C. Tujuan Masalah...........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Ayat Al-Qur’an dan Hadist yeng berhubungan dengan penikahan pebedaan agama
(QS. 2:221,QS. 5:5, al-Mmtahanah :10 )……………………………………….........
B. Pengertian dan hukum nikah beda
agama……………………………………………………………...............................
C. Ihtilaf tentang ahlu kitab………………………………………………….….............
D. Perkawinan Beda agama dalam UU Nomor 1/1974 tentang
perkawinan…………………………………………..……........................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………………......
B. Saran……………………………………………………………………………........
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….....
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saya ucapkan banyak terima kasih kepad abapak dosen ynag telah memberikan
tugas makalah dengan berjudul menikah beda agama. Yang mana akan menjadi ilmu
bagi kita semua yaitu kalangan pencari ilmu, yang tak lain latar belakang masalah ini
adalah didahului dikarenakan adanya praktek dalam kehidupan sehari-hari.
Nikah merupakan hal yang sakral bagi kita, karena arsy akan goncang jiuka ada
salah seorang ijab kabul. Sesuatu yang di idam idamkan oleh para pencari ridho ilahi
unutuk menyempurnakan keimanannya. Bagaimana tidak sebuah idaman, karena
dengan pernikahan semua ibadah akan menjadi lentera mutiara karena akan ditambah
drajat keimanannya.
Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa pernikahan justru sebuah ancaman
besar bagi seseorang jika disalah gunakan pernikahan itu , yang sebagaimana
contohhadalah nikah lintas agama atau berbedaan agama. Semisal orang beragama
islam menikahi orang ber agama kristen. Sebagai sorotan yaitu para artis-artis
indonesia yang memilih untuk menikah diluar negri sebagai solusi agar bisa tetap akan
menikah, karena indonesia sendiri tidak memperbolehkan pernikahan lintas agama
sebagaimana dalam UUnomor 1 / 1974.
Contoh artis indonesia Rio febrian yang beragama kristen dengan Sabrina yang
muslim berlangsung di Thailand, Dimas Anggara dan Nadine Chandrawinata yang
beragama islam dan Nadine beragama khatolik berlangsung di Buthal ,Nepal, dan
Jeremy thomas dan Ian indayanti berlangsung di singapura yang mana Ina mengikuti
suaminya beragama kristen dan banyak contoh lain.
B. Rumusan Masalah
1. Apa dalil Al-Quran dan Hadist yang berhubungan dengan pernikahan beda
agama ?
2. Apa pengertian dan hukum nikah beda agama ?
3. Apa ihtilaf tentang Ahlu kitab ?
4. Bagaimana perkawinan beda agama menurut UU Nomor 1 / 1974 ?
C. Tujuan Masalah
1. Agar mengetahui dalil Al-Qur’an dan Hadis tentang penikahan beda agama
2. Agar mengetahui pengertian dah hukum nikah beda gama
3. Agar mengetahui ihtilaf ahlu kitab
4. Agar mengetahui perkawinan beda agama menurut UU Nomor 1 / 1974
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dalil Al-Qur’an dan Hadist berhubugan dengan pernikahan beda agama


Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22
Jumadil Akhir 1426 H/ 26-29 Juli 2005 M membuat dua keputusan dalam permasalahan
pernikahan beda agama. Pertama, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
Kedua, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab, menurut qaul mu’tamad,
adalah haram dan tidak sah.
Hal tersebur didasarkan pada beberapa dalil baik Alquran maupun hadits. Dalam
Alquran, An Nisa ayat 3 dan At Tahrim ayat 6 disebutkan

An-Nisa : 3

䁞 堰m 怀㿀䗲怀䖨䗵䖨 䖨䗵䘁㿀䗲 ⾀眰 戰m i䘁eu䗲k 䗲Q䖨 i b䘁t堰 nN䘁s堰 nNs䁞 䗲 䗲뿰N䖨 R䗲䁞 i䘁N 欰 䗑 䁞 䖨䗵䘁馀N䗲 ᆀ 䖨 n䁞 e 䖨 䗲䖨 䖨䗵䘁 䗲 䘁眰 戰m i䘁eu䗲k 䗲N堰
䖨䗵䘁䗵䘁⾀眰 戰m nᆀsm 䗲㿰 i䘁N䘁ᆀ m N 䁞

Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian
itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.

At-Tahrim : 6

i䘁˵ϫ䁞m 䁞 o 䗵䘁 ⾀ 戰 s䖨㿀䗲t eN䗲a ΔN䗲ϜN䁞 䗲 䖨堰 ˴


䘁怀t 馀 䘁 N䖨 ˵䘁s䗵䘁Ω堰 䖨t ᆀ i䘁N 䗲 ˵m堰 i䘁N 䘁uᆀm 䖨䗵䘁Ω 䖨䗵䘁N䁞a R 䗲 䖨 ϫ m
堰䘁ϫ䁞 䘁 䁞 䗵䘁 ⾀u 堰

Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Sedangkan dalam hadis Muttafaq ‘alaih dijelaskan, "Wanita itu boleh dinikahkan karena
empat hal, karena hartanya, karena (asal-usul) keturunannya, karena kecantikannya dan
karena agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang
memeluk agama Islam, (jika tidak), akan binasalah keduatanganmu.”

Namun terdapat tiga ayat yang mengisahkan mengenai pernikahan beda agama.
Diantaranya Al Baqarh ayat 221, Al maidah ayat 5 dan Al Mumtahanah ayat 10.

Al-Baqarah : 221

㿀˸⾀堰 䖨䗵䘁N䁞䗲 䘁 ne怀 R 䗲 ϫ䗲 䘁 䖨 䖨䗵䘁馀N䗲 N䘁眰 戰堰 i䘁Ne˸ m 䗵堰 Δ ϫ䗲 䁞䘁 R䗲䁞 ϫ k ΔN䗲䁞 䁞䘁 Δ䁞 堰 R䗲䁞 䘁 ne怀 Ε
䗲 ϫ䗲 䘁 䖨 䖨䗵䘁馀N䗲 N眰 戰堰
䘁 䗲뿰 ˸䘁 堰 Ϝ䗲 䗲ᆀ㿰䗲Q䗲b 䗲怀ϫ䗲u˶ 䖨堰 Δ䗲 N 䖨 n䗲N 䗵䘁 㿀 䘁o堰 t䗲 N䖨 n䗲N 䗵䘁 㿀
䗲 N 䗲 Ϝ䗲 䗲眰 a R
i䘁 ⾀ ˴ 䗲˶堰䘁m i䘁N˸ m 䗵堰 Γ䗲ϫ 䁞䘁 R䗲䁞 ϫ k R䗲䁞 䁞䘁
堰䘁ϫ e

Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh,
hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan
perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki
yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
(Allah) menerangkan ayat ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.

Menurut Abu Ja’far At-Thobari, bahwa sebagian ulama berkata: Maksud turunnya
ayat ini adalah haramnya seluruh musyrikah untuk para lelaki muslim baik ia menyembah
berhala, yahudi, nasrani, majusi dan lainnya. Lalu kemudian turun ayat Al Maidah,
Al-Ma'idah : 5

R䗲䁞 Ε
䘁 N 馀䘁 䖨堰 Ε
䗲 N䗲䁞 䘁 䖨 R䗲䁞 Ε
䘁 N 馀䘁 䖨堰 i䘁  撰䗲怀 i䘁N䁞䘁 ⾀䗑堰 i䘁N 撰䗲怀 欰 e䗲N䖨 䖨䗵䘁眰堰䘁m R 䗲 䖨 ‫ތ‬䘁 ⾀䗑堰 Ε
䘁 ˸䗲뿰 䖨 i䘁 䘁N 撰䗲怀䘁m ‫ތ‬䗵 䖨
㿀䖨䗲 䗲 䗲b ϫ䘁uN R䁞堰 䖨㿀km 䗲 䗲 e䘁䁞 戰堰 R 馀
䗲 䗲䖨 䁞䘁 ϫ a R 䗲N䗲 馀䘁䁞 R䘁˵t䗵䘁 䘁m R䘁˵䗵䘁 䘁e 眰a 䖨㿰䗲N i䘁N䗲 ˸Ω R䗲䁞 欰 e䗲N䖨 䖨䗵䘁眰堰䘁m R 䗲 䖨
R ϫ䗲 䗲 䖨 R䗲䁞 䗲怀ϫ䗲k·䖨 䗲䖨 䗵䘁˵堰 䘁Ϝ䘁 Ϯ䗲˸怀

Pada hari ini, dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab
itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi)
perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang
beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan
piaraan. Barang siapa kafir setelah beriman, maka sungguh sia-sia amal mereka dan di
akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.

Bahwa ayat ini menunjukkan halalnya menikahi para wanita ahli kitab, yaitu wanita Yahudi
atau Nashrani.

Al-Mumtaḥanah : 10

R䘁˵䗵䘁⾀䗲 ϫ眰 N䖨 Ε N䗲䁞 䁞䘁 R䘁˵䗵䘁 䘁e 䗲 䗲Q䖨 R䗲 䗲ᆀ 䗲Q䗲b i䘁 m 䘁o R䘁˵䗵䘁N馀


䗲 e䁞 䖨 Ε䖨ϫ䗲 䘁 N䗲䁞 䘁 䖨 i䘁 䘁
䁞䘁 Ε 䖨㿰䗲N 䖨䗵䘁N䁞a R 䗲 䖨 ϫ m
戰堰 R䘁˵t䗵䘁 䘁m R䘁˵䗵䘁 䘁e 眰a 䖨㿰䗲N R䘁˵䗵䘁馀N䗲 N眰 m i䘁N N䘁 戰堰 䖨䗵䘁 uᆀm 䁞 i䘁˵䗵䘁眰a堰 R䘁  䗵ϫ 馀
䗲 i䘁˵ 戰堰 i䘁  撰䗲怀 R䘁˵ 戰 t䗲 u䘁N䖨 n䗲N
i N䗲 怀 i 䗲 䘁o堰 i䘁NN b i䘁 䘁N馀 䗲o i䘁 N䘁怀 i䘁N䗲㿰 䖨䗵䘁 uᆀm 䁞 䖨䗵䘁ϟ 堰 i䘁e uᆀm 䁞 䖨䗵䘁ϟ 䖨堰 ϫ䗲 䗲䖨䖨䗵N䖨 i䗲 ⾀䗲 䗲b 䖨䗵䘁N䗲 䘁眰

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang


berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir
(suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang
kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah
mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayarkan
kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang
telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali
mahar yang telah mereka bayarkan (kepada mantan istrinya yang telah beriman).
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui, Mahabijaksana.

Ayat diatas menjelaskan bahwa seorang wanita mukmin dilarang menikah dengan laki-laki
kafir atau musyrik itu. Begitu pun sebaliknya jika wanita itu musyrik penyembah berhala,
tidak dibolehkan bagi laki-laki mukmin menikahinya dan mempertahankan pernikahan
dengannya.

Kemudian para mufassir semuanya mempertegas bahwa wanita kafir yang tidak boleh
dinikahi itu adalah dia yang musyrik, sebagaimana ayat ini turun disebabkan terjadinya
perjanjian Hudaibiyah di antara nabi saw dan orang-orang musyrik Quraisy
Mekkah. Sehingga hal ini memicu perbedaan pendapat diantara para ulama tentang
menikahi wanita kafir selain musyrik.
B. Pengertian dan Hukum nikah beda agama
Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara pria dan wanita yang keduanya
memiliki perbedaan agama atau kepercayaan satu sama lain. Perkawinan beda agama bisa
terjadi antar sesama WNI yaitu pria WNI dan wanita WNI yang keduanya memiliki
perbedaan agama/ kepercayaan juga bisa antar beda kewarganegaraan yaitu pria dan wanita
yang salah satunya berkewarganegaraan asing dan juga salah satunya memiliki perbedaan
agama atau kepercayaan.
Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak
memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam
dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi : “Janganlah
kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguh nya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati. Dan janganlah
kamu menikahkah orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang 59 mukmin lebih baik daripada orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki
maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak
beragama Islam. (O.S. Eoh, 1996 : 117) 1) Lelaki Ahli Kitab (Yahudi ataupun Nasrani)
Haram Manikahi Muslimah Menganai lelaki Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) haram
menikahi wanita Muslimah tidak ada kesamaan lagi. Sebagaimana ditegaskan dalam
Alquran Surat al-Mumtahanah: 10 dan al-Baqarah : 221.
Maka Imam Ibnu Qodamah AlMaqdisi menegaskan: “Dan tidak halal bagi
Muslimah nikah dengan lelaki kafir, baik keadaanya kafir (Ahli Kitab) ataupun bukan
Kitabi.” Karena Allah Ta’ala berfirman: Dan janganlah kamu menikahi orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sehingga mereka beriman.” (al-Baqarah :221.
Dan firman-Nya: “Maka jika telah mengetahui bahwa mereka (benarbenar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-rang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi
mereka.” (al-Mumtahanah : 10).
Syaikh Abu Bakar Al-Jazairy Hafidhahullah berkata, “Tidak halal bagi muslimah
menikah dengan orang kafir secara mutlak, baik Ahlul Kitab maupun bukan.. Ia
mendasarkan kepada firman Allah surat al-Mumtahanah : 10. Para ulama mengemukakan
larangan Muslimah dinikahi oleh lalaki Ahli Kitab atau non-Muslim itu sebagaian cukup
menyebutkanya dengan lafal musyrik atau kafir, karena maknanya sudah jelas: kafir itu
mencakup Ahli Kitab dan musrik. Di samping itu tidak ada ayat ataupun hadis yang
membolehkan lelaki kafir baik Ahli Kitab ataupun musyrik yang boleh menikahi Muslimah
setelah turun ayat 10 Surat AlMumtahanah. Sehingga tidak ada kesamaran lagi walupun
hanya disebut kafir sudah langsung mencakup kafir dari jenis Ahli Kitab dan kafir Musyrik.
Bahkan lafal musrik saja, para ulama sudah memasukan seluruh non-Muslim dalam hal
lelaki musrik dilarang dinikahi dengan wanita Muslimah “Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sehingga mereka beriman.“ (QS.
al-Baqarah :221).
Muhammad Ali as-Shabuni menjelaskan, di dalam ayat ini, Allah Ta’ala melarang
para wali (ayah, kakek, saudara, paman dan orang-orang yang memiliki hak perwalian atas
wanita) menikahkan wanita yang menjadi tanggung jawabnya dengan 61 orang musyrik.
Yang dimaksud musyrik di sini adalah semua orang yang tidak beragama Islam, mencakup
penyembahan berhala, Majusi, Yahudi, Nasrani dan orang-orang yang murtad dari Islam.
Al-Imam Al-Qurthubi berkata, “Jangan menikahkan wanita muslimah dengan orang
musyrik. Dan umat ini telah berijma’ bahwa laki-laki musyrik itu tidak boleh menggauli
wanita mukminah, bagaimanapun bentuknya, karena perbuatan itu merupakan panghinaan
terhadap Islam. Ibnu Abdil Barr berkata, (Ulama ijma’) bahwa muslimah tidak halal
menjadi istri orang kafir. Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata, “laki-laki kafir tidak halal
menikahi wanita muslimah, berdasarkan firman-Nya : “Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.”
(al-Baqarah :221).
C. Ikhtilaf tentang ahlu kitab
` Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal (JIL) Perkawinan
beda agama bukan hanya merupakan problem yang terjadi antar pemeluk agama yang
berbeda, akan tetapi dalam satu agama pun merupakan problem yang dari dulu belum
terpecahkan. Dalam Islam sendiri terjadi banyak perbedaan pendapat tentang hukum
pernikahan lintas agama ini. Dalam hal ini JIL yang berpandangan dengan dasar relativisme
kebenaran agama dan kemaslahatan, tidak mempermasalahkan perkawinan antara seorang
Muslim dengan non-Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Ulil Abshar Abdalla,
koordinator JIL mengatakan bahwa larangan pernikahan lintas agama sudah tidak relevan
lagi. Menurutnya, Al-Quran juga tidak pernah secara tegas melarang hal itu, karena
AlQuran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa
melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan
kedudukan orarg Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip
kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan. Berpikir secara tekstual saja
pernikahan beda agama antara laki-laki Muslim dengan wanita ahli kitab, begitu juga antara
wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim (ahli kitab)
Menurut Abdul Moqsith Ghazali, salah satu "petinggi" JIL diperbolehkan. Moqsith
mengqiyaskannya dengan hadis tentang kewajiban menuntut ilmu. Dalam hadis tersebut
tidak ditemukan kata, "Muslimatin" namun pada kenyataannya wanita juga diwajibkan
menuntut ilmu. Ini dapat dilihat dalam kitab Jurmiyah bab al-iktifa’. Sebagai contoh,
dalam kitab ini disebutkan hadis di atas (thalabul 'ilmi. faridhatun 'ala kulli Muslimin). Di
dalam Al-Quran tidak dicantumkan hukum pernikahan wanita Muslimah dengan laki-laki
non-Muslim tidak dicantum sebaliknya, min bab al-iktifa'. Karena itu berlaku hokum
sebaliknya (Mafhumm al mukhalafah). Selain itu dalam teks-teks agama tidak ditemukan
dalil yang melarang pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim.
Menurut Abdul Moqsith Ghazali, salah satu promotor JIL, tidak ada dalil yang melarang itu
adalah dalil diperbolehkannya pernikahan di antara mereka. la menyebutkan salah satu
kaidah ushuliyah, 'adam al-dalil huwa aldalir'. Karena tidak ada dalil AI-Quran yang
melarang, maka berarti sudah menjadi dalil diperbolehkannya, sehingga pernikahan
perempuan Muslimahdengan laki-laki non-Muslim diperbolehkan.12 Jadi pernikahan orang
Islam, baik antar laki-laki maupun perempuan dengan agama apapun menurut JIL boleh
dilakukan. Ada beberapa pokok pikiran yang dijadikan landasan untuk membolehkan
pernikahan lintas agama ini.
Secara teoritis, pernikahan antara orang Muslim dengan ahli kitab memang pernah
terjadi. Pada zaman sahabat misalnya, Utsman bin Affan menikah dengan Bailah binti
Qaraqashah al Kalbiyah beragama Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah dengan perempuan
Yahudi di Damaskus, Hudzaifah menikah dengan wanita Yahudi di Madinah. Demikian
halnya dengan para sahabat lainnya seperti Ibn Abbas, Jabir, Ka'bah bin Malik,
AlMughirah bin Sy'bah pernah menikah dengan wanita ahli kitab. Bahkan Nabi sendiri
menikah dengan Maria Koptik yang semula beragama non-Islam." Selain itu, pemimpin
Plestina, Yasser Arafat menikah dengan Suha yang beragama Yahudi, dan pernikahan itu
tidak menjadi masalah di Negara Palestine. Landasan historis di atas sebenarnya kurang
relevan. Sebelum pernikahan Rasulullah dengan Shafiyyah binti Hayy bin Akhtab dan
Mariah Qibtiyah, keduanya sudah terlebih dahulu memeluk Islam. Sementara tentang
pernikahan Hudzaifah dan Thalhah, ini dilarang oleh Umar bin Khatab,dengan alas an
khawatir akan diikuti oleh kaum Muslimin yang lain. Umar juga memerintahkan keduanya
untuk menceraikan isteri mereka.
Menurut Abdul Muta'al Al-Jabri, pernikahan para sahabat dengan wanita-wanita ahli
kitab ini tidak dapat dijadikan landasan untuk membolehkan pernikahan pria Muslim
dengan wanita ahli kitab atau non-Muslim, karena pernikahan tersebut ditentang oleh
sebagian sahabat yang lain. Ulama bersepakat bahwa ucapan sahabat (qaul shahaiy) dan
perilaku sahabat atau madzhab shahabiy yang bersumber dari Rasulullah atau yang sudah
menjadi kesepakatan di kalangan sahabat merupakan dalil syari'i. Namun ulama berbeda
pendapat tentang ucapan sahabat (qaul shahabiy) atau perilaku sahabat atau madzhab
shahabiy yang tidak bersumber dari Rasulullah atau hasil ijtihad mereka sendiri dan tidak
ada kesepakatan di antara sahabat. Ada dua pendapat ulama, yaitu pertama, ulama yang
mengatakan bahwa ucapan atau perbuatan sahabat tersebut merupakan dalil syar'i, karena
jarang sekali terjadi kesalahan ketika sahabat melakukan ijtihad. Hal ini karena mereka
mengetahui langsung prosesturunnya Al-Quran, asbab al-nuzul paham akan makna dan
kandungannya. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa ucapan atau perbuatan sahabat
yang tidak bersumber dari Al-Quran atau dari Rasulullah atau tidak ada kesepakatan
diantara mereka, tidak dapat dijadikan dalil syar'i, karena sahabat merupakan manusia biasa
yang juga dapat melakukan kesalahan.
D. Perkawinan beda agama menurut UU Nomor 1 / 1974
Dalam Islam, Perkawinan merupakan sunnatullah yang berlaku secara umum dan
perilaku makhluk ciptaan Tuhan, agar dengan perkawinan kehidupan di alam dunia ini bisa
berkembang untuk meramaikan alam yang luas ini dari generasi ke generasi berikutnya.
Berbicara mengenai perkawinan sejati pada prinsipnya akan berbicara tentang pilihan
pasangan hidup yang benar-benar dari hati yang paling tulus walaupun dalam pemilihan itu
banyak terjadi tantangan akan tetapi bagi mereka yang telah benar-benar yakin
adalah mereka yang ingin segera meresmikan ikatan itu dalam ikatan perkawinan yang sah
dimata agama dan Negara. Selain harus siap berkonflik dengan keluarga, pasangan berbeda
agama juga perlu mendiskusikan agama apa yang kelak diajarkan kepada anak.
Pernikahan antara dua mempelai yang berbeda bukanlah hal yang sederhana di
Indonesia. Selain harus melewati gesekan sosial dan budaya, birokrasi yang harus dilewati
pun berbelit. Tak heran jika banyak pasangan dengan perbedaan keyakinan akhirnya
memilih menikah di luar negeri. Pasangan yang memutuskan menikah di luar negeri
nantinya akan mendapatkan akta perkawinan dari negara bersangkutan atau dari perwakilan
Republik Indonesia setempat (KBRI). Sepulangnya ke Indonesia, mereka dapat
mencatatkan perkawinannya di kantor catatan sipil untuk mendapatkan Surat Keterangan
Pelaporan Perkawinan Luar Negeri.
Meski begitu, bukan berarti pernikahan dengan perbedaan agama tak bisa
diwujudkan di dalam negeri. Sejatinya, berdasar putusan Mahkamah Agung Nomor 1400
K/Pdt/1986 para pasangan beda keyakinan dapat meminta penetapan pengadilan.
Yurisprudensi tersebut menyatakan bahwa kantor catatan sipil boleh melangsungkan
perkawinan beda agama, sebab tugas kantor catatan sipil adalah mencatat, bukan
mengesahkan. Hanya saja, tidak semua kantor catatan sipil mau menerima pernikahan beda
agama. Kantor catatan sipil yang bersedia menerima pernikahan beda agama pun nantinya
akan mencatat perkawinan tersebut sebagai perkawinan non-Islam. Pasangan tetap dapat
memilih menikah dengan ketentuan agama masing-masing. Caranya, mencari pemuka
agama yang memiliki persepsi berbeda dan bersedia menikahkan pasangan sesuai ajaran
agamanya, misalnya akad nikah ala Islam dan pemberkatan Kristen.
Namun, cara ini juga tak mudah karena jarang pemuka agama dan kantor catatan
sipil yang mau menikahkan pasangan beda keyakinan. Akhirnya, jalan terakhir yang sering
dipakai pasangan beda agama di Indonesia untuk melegalkan pernikahannya adalah tunduk
sementara pada salah satu hukum agama. Biasanya, masalah yang muncul adalah gesekan
antar-keluarga ihwal keyakinan siapa yang dipakai untuk pengesahan.
Sebagai contoh kasus berdasarkan pengalaman mengurus pernikahan beda agama
dengan cara terakhir ini dialami oleh Mary Anne Ninyo, perempuan beragama Katolik yang
menikah dengan pria Kristen Protestan pada 11 Februari 2018 lalu di Gereja St. Yosep
Matraman, Jaktim. Ia akhirnya memilih mengalah dan tunduk dengan keyakinan suaminya
saat melakukan pernikahan. Toh ia dan calon suami kala itu masih berada dalam cara
ibadah dan kitab yang sama, pikirnya. Ninyo dan suami juga bersepakat tak akan
mempersoalkan keyakinan yang akan dianut anaknya kelak saat dewasa, asalkan masih
berada di lingkup keyakinan mereka berdua. “Terserah suamiku mau bawa aku ke mana,
asalkan tujuannya baik,” ujarnya. Seperti Ninyo, Widana Made yang beragama Hindu juga
menuturkan pengalamannya mengurus pernikahan delapan tahun silam dengan seorang
perempuan muslim. Istrinya, Yuliana Prihandari, bersedia menikah dengan cara Hindu dan
melakukan upacara Sudhi Wadani (upacara masuk agama Hindu). Setelah itu, mereka
mengurus administrasi ke Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Berbekal surat dari
PHDI inilah Made dan Yuli mendapat akta nikah di kantor catatan sipil setempat.
Perkembangan kontemporer manusia dalam meresmikan pasangan hidup telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan akan tetapi
perkembangan jaman menuntun pada permasalahan baru yaitu perkawinan beda agama.
Pembahasan tentang perkawinan beda agama di Indonesia merupakan suatu yang rumit.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
perkawinan beda agama termasuk dalam jenis perkawinan campuran. Adapun perkawinan
campuran diantur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 nomor 158, yang
biasanya disingkat dengan GHR. Dalam Pasal 1 GHR ini disebutkan bahwa perkawinan
campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan.
Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk
perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan
termasuk perkawinan antar agama. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".
Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agama dan kepercayaan. Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, sebagai berikut:
Pasal 4 :
"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan".

Pasal 40 :
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu;
 Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain;
 Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan
pria lain;
 seorang wanita yang tidak beragam Islam.

Pasal 44 :
"Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang
tidak beragama Islam"

Pasal 61 :
" Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak
sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien"

Berdasarkan penjelasan diatas perkawinan yang dilakukan diwilayah hukum


Indonesia harus dilakukan dengan satu jalur agama artinya perkawinan beda agama tidak di
perbolehkan untuk dilaksanakan dan jika tetap dipaksakan untuk melangsungkan
pernikahan beda agama berarti pernikahan itu tidak sah dan melanggar undang-undang.
Jadi, menurut hukum positif yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawian tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga pernikahan beda
agama belum bisa diresmikan di Indonesia. Pernikahan pasangan beragama Islam
dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan pernikahan pasangan beragama selain
Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara pria dan wanita yang keduanya
memiliki perbedaan agama atau kepercayaan satu sama lain. Perkawinan beda agama bisa
terjadi antar sesama WNI yaitu pria WNI dan wanita WNI yang keduanya memiliki
perbedaan agama/ kepercayaan juga bisa antar beda kewarganegaraan yaitu pria dan wanita
yang salah satunya berkewarganegaraan asing dan juga salah satunya memiliki perbedaan
agama atau kepercayaan.
Al-Mumtaḥanah : 10
R䘁˵䗵䘁⾀䗲 ϫ眰 N䖨 Ε N䗲䁞 䁞䘁 R䘁˵䗵䘁 䘁e 䗲 䗲Q䖨 R䗲 䗲ᆀ 䗲Q䗲b i䘁 m 䘁o R䘁˵䗵䘁N馀
䗲 e䁞 䖨 Ε䖨ϫ䗲 䘁 N䗲䁞 䘁 䖨 i䘁 䘁
䁞䘁 Ε 䖨㿰䗲N 䖨䗵䘁N䁞a R 䗲 䖨 ϫ m
戰堰 R䘁˵t䗵䘁 䘁m R䘁˵䗵䘁 䘁e 眰a 䖨㿰䗲N R䘁˵䗵䘁馀N䗲 N眰 m i䘁N N䘁 戰堰 䖨䗵䘁 uᆀm 䁞 i䘁˵䗵䘁眰a堰 R䘁  䗵ϫ 馀
䗲 i䘁˵ 戰堰 i䘁  撰䗲怀 R䘁˵ 戰 t䗲 u䘁N䖨 n䗲N
i N䗲 怀 i 䗲 䘁o堰 i䘁NN b i䘁 䘁N馀 䗲o i䘁 N䘁怀 i䘁N䗲㿰 䖨䗵䘁 uᆀm 䁞 䖨䗵䘁ϟ 堰 i䘁e uᆀm 䁞 䖨䗵䘁ϟ 䖨堰 ϫ䗲 䗲䖨䖨䗵N䖨 i䗲 ⾀䗲 䗲b 䖨䗵䘁N䗲 䘁眰
Dalam hal ini JIL yang berpandangan dengan dasar relativisme kebenaran agama
dan kemaslahatan, tidak mempermasalahkan perkawinan antara seorang Muslim dengan
non-Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Ulil Abshar Abdalla, koordinator JIL
mengatakan bahwa larangan pernikahan lintas agama sudah tidak relevan lagi. Menurutnya,
Al-Quran juga tidak pernah secara tegas melarang hal itu, karena AlQuran menganut
pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan
agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orarg Islam dan
non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran
kemanusiaan. Berpikir secara tekstual saja pernikahan beda agama antara laki-laki Muslim
dengan wanita ahli kitab, begitu juga antara wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim
(ahli kitab)
Berdasarkan penjelasan diatas perkawinan yang dilakukan diwilayah hukum
Indonesia harus dilakukan dengan satu jalur agama artinya perkawinan beda agama tidak di
perbolehkan untuk dilaksanakan dan jika tetap dipaksakan untuk melangsungkan
pernikahan beda agama berarti pernikahan itu tidak sah dan melanggar undang-undang.
Jadi, menurut hukum positif yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawian tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga pernikahan beda
agama belum bisa diresmikan di Indonesia. Pernikahan pasangan beragama Islam
dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan pernikahan pasangan beragama selain
Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
DAFTAR ISI

Yannor Padli.2019.”Menelaah perkawinan beda agama menurut hukum positif”


https://jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/menelaah-perkawinan-beda-agama-me
nurut-hukum-positif diakses pada 13 September 2021 pukul 21.54
Rozak Abdul.2011.”Pengkajian hukum tentang perkawinan beda agama ( perbandingan
beberapa negara” https://www.bphn.go.id/data/documents/pkj-2011-2.pdf diakses pada 13
September 2021 pukul 21.55
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Presindo. 1992.
Ahmad, Rumaidi. Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 2016. Amini, Ibrahim. Kiat Memilih Jodoh. Jakarta: Lentera Basritama. 2000.
Armita, Pipin. Desember 2016. “Analisis Pasal 39 Ayat 3 Khi Tentang Larangan Kawin
Karena Sesusuan: Perspektif Filsafat Hukum Islam”. Jurnal AlAhwal, Vol. 9, No. 2. Asiah,
Nur. “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang
Perkawinan Dan Hukum Islam”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol. 10 No. 2
Juli-Desember 2015, 208-209. ASM, Saifuddin. Membangun Keluarga Sakinah.
Tanggerang: Qultum Media. 2000. Asnawi. Himpunan Peraturan dan Undang Undang RI.
Kudus: Menara Kudus. 2001. Basri, Hasan. Cinta Kasih. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999.
Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University.
Dardiri, Ahmad Hasanudin dkk. “Pernikahan Beda Agama Ditinjau Dari Perspektif Islam
Dan Ham”. Jurnal Khazanah, Vol. 6 No.1 Juni 2013, 115. Departemen Agama Republik
Indonesia, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 2000.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama. Inpres RI No.1 Tahun 1991 Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Depag RI. 2000. Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama. 2001. Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia. Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah al-Haditsah. Jakarta: PT. Raja
Grafindo. 1998. Hasman dan Wardah Nuroniyah. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia
Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif. Yogyakarta: Teras, 2011.

Anda mungkin juga menyukai